• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi IgM Terhadap Antigen Lipopolisakarida (lps) O9 Kuman Salmonella Typhi Pada Demam Tifoid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi IgM Terhadap Antigen Lipopolisakarida (lps) O9 Kuman Salmonella Typhi Pada Demam Tifoid"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau

Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.14

2. 2 . Etiologi

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang mempunyai

flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.15

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

(2)

3. Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

2.3. Epidemiologi

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia tenggara dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Di . Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan angka kematian 3,1-10,4%.2 Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok umur 5 -14 tahun di daerah perkotaan.4

2.4. Patofisiologi

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam

(3)

propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.15

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke Plaque Peyeri Ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik). Bekterimia pertama terjadi 24-72 jam setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa gejala karena jumlah kuman tidak cukup banyak untuk dapat menimbulkan gejala, dan kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem retikuloendotelial tubuh terutama hati, limpa dan sumsum tulang . Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 15

(4)

saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamsi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit perut, sakit kepala, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.15

2.4.1. Aspek Imunologik

Seperti halnya mekanisme tubuh terhadap penyakit infeksi umumnya, mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya kuman Salmonella typhi pada manusia dapat timbul segera, yang di periksa oleh mekanisme imunologik non spesifik dan selanjutnya diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.16

(5)

dalam lapisan subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan dari 3 mekanisme pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan, sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi Salmonella

typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial, yang juga

terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques, kelenjar, limfe lain ( hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang meningkat ).16

Mekanisme pertahanan imunologik spesisfik biasanya menyangkut antibodi, lomfosit B dan T dan komplemen yang terbagi atas imunitas seluler dan imunitas humoral. Respon imunitas seluler sangat penting dalam penyembuhan penyakit demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel limfosit T dan fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial humoral dan fagosit polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang limfosit T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga akan berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.37

(6)

yang dibentuk dalam respon imun. Karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya infeksi dini. Adanya antibodi humoral ini bisanya dipakai sebagai dasar berbagai pemeriksaan laboratorium.37

Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi

Salmonella typhi Periode Fase Demam.

2.5 Gejala Klinis

(7)

Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 16

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor di bagian tengahnya (coated tongue) dengan ujung dan tepi lidahnya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan Kesadaran

(8)

d. Gejala Lain

Rose spot dapat dijumpai pada penderita tifoid, yaitu suatu

ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 sampai 4 um seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, jarang terjadi pada anak Indonesia. Kadang-kadang ditemukan bradikardi pada anak dan mungkin pula ditemukan epistaksis.

Tabel 1. Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan RHH.15

No Gejala Klinis Skor

1 Demam < 1 minggu 1

2 Sakit kepala 1

3 Lemah 1

4 Mual 1

5 Nyeri perut 1

6 Anoreksia 1

7 Muntah 1

8 Gangguan motilitas 1

9 Imsomnia 1

10 Hepatomegali 1

11 Splenomegali 1

(9)

13 Bradikardi relative 2

14 Lidah tifoid 2

15 Melena 2

16 Gangguan kesadaran 2

Skor 1-20, semakin tinggi skor semakin mendukung demam tifoid. Penilaian klinis suspek demam tifoid bila skor ≥8 .

2.6. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologi; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.17

2.6.1. Pemeriksaan Darah Tepi

(10)

leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. 9

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).8

2.6.2. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / Biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.6,17

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.17

(11)

yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.12 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.17,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk

Salmonella typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.3

(12)

pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.3,20 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 3,6,18 Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.21

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.3,22

(13)

2.6.3. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.3 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes Tubex TF; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik

Salmonella typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis

spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 6

2.6.3.1.Uji Widal

(14)

reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. 6,18

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.21

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.23 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.17

(15)

masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.17, 21

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).9 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off

point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan

titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.8

2.6.3.2. Tes Tubex TF

(16)

O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubex TF ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.3 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.12 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.17 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.12

(17)

2.6.3.3. Metode Enzyme Immunoassay (EAI) Dot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella

typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada

demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.3

(18)

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.6,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.3

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 6

2.6.3.4. Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

(19)

antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.26 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan

Brucellosis. 17,27

3.6.3.5. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen

LPS Salmonella typhi dengan menggunakan membran

(20)

pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 3,28

(21)

3.6.4. Identifikasi Kuman Secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri

Salmonella typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam

nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain

reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk

Salmonella typhi. 31

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.32 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).33

(22)

memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. 6,31

2.7. Komplikasi

2.7.1. Komplikasi Intestinal 2.7.1.1. Perdarahan Usus

Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus limen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bias tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah.15,34

2.7.1.2. Perforasi Usus

(23)

2.7.2. Komplikasi Ekstraintestinal 2.7.2.1. Hepatitis Tifosa

Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman.15,34,35

2.7.2.2. Miokarditis

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan gelombang ST dan gelombang T pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung.15,35

2.7.2.3. Neuropsikiatri.

(24)

2.8. Sumber Penularan (Reservoir)

Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :

1. Penderita Demam Tifoid

Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya. Sehingga penderita seperti ini masih dapat menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sehat.15,36

2. Karier Demam Tifoid.

Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 sampai 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.

(25)

anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.15,36

2.9. Pencegahan

2.9.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella

typhi yang dilemahkan.35

2.9.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.Pencegahan sekunder dapat berupa : Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans tifoid serta perawatan umum dan nutrisi diet yang sesuai.35

2.9.3. Pencegahan Tersier

(26)
(27)

2.10 Kerangka Konsep

Salmonella typhi

Bakteriemia skunder demam

Feses Usus halus/

plaques peyeri

Jumlah kuman, virulensi, lingkungan

IgM terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) kuman Salmonella typhi

Reaksi imunologik

Tubex TF Asam lambung

Darah

Gambar

Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi
Tabel 1. Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan
Gambar 2. Mekanisme Reaksi Negatif dan Mekanisme Reaksi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui gambaran gejala klinis, hemoglobin, leukosit, trombosit dan uji widal pada penderita demam tifoid dengan pemeriksaan IgM

PROPORSI PEMERIKSAAN IgM ANTI Salmonella typhi O9 POSITIF MENGGUNAKAN TUBEX DENGAN PEMERIKSAAN WIDAL POSITIF PADA PASIEN KLINIS DEMAM TIFOID AKUT DI RSUD

UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN TUBEX-TF DAN WIDAL TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID.. Melisa, 2010, Pembimbing I : Penny S.M.,

Diagnosa sepsis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan marker-marker, seperti procalcitonin, CRP, Laju Endap Darah (LED) dan hitung leukosit, dan baku emas adalah