BAB II
ATURAN HUKUM KECELAKAAN BERLALU LINTAS SEBAGAI TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENYEBABKAN KEMATIAN
PADA ORANG LAIN
A. Kepolisian RI Menurut UU No. 2 Tahun 2002
Perkembangan istilah “polisi” mempunyai arti yang berbeda-beda yang
cenderung dipengaruhi oleh penggunaan bahasa dan kebiasaan dari suatu negara,
seperti di Inggris menggunakan istilah “police”, di Jerman “polizei”, di Belanda
“politie” dan di Amerika Serikat dipakai istilah “sheriff”. Istilah “Sheriff” ini
sebenarnya merupakan bangunan sosial Inggris, selain itu di Inggris sendiri
dikenal adanya istilah “constable” yang mengandung arti tertentu bagi pengertian
“polisi”, yaitu: pertama, sebutan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian
(police constable); dan kedua, berarti Kantor Polisi (police constable). Di Inggris
polisi merupakan pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang
serta miliknya dari keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan suatu
bahaya atau gangguan umum dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum.38
Pada awalnya istilah polisi berasal dari bahasa Yunani yaitu “politeia”
yang berarti seluruh pemerintah negara kota. Seperti diketahui bahwa pada abad
sebelum Masehi negara Yunani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “polis”
dimana pada jaman itu istilah “polis” memiliki arti yang sangat luas, yakni
pemerintahan yang meliputi seluruh pemerintahan kota termasuk urusan
keagamaan atau penyembuhan terhadap dewa-dewa. Baru kemudian setelah
lahirnya agama Nasrani urusan keagamaan dipisahkan, sehingga arti “polis”
menjadi seluruh pemerintah kota dikurangi agama39
Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya “Politie Overzee” istilah
“politie” didefenisikan, meliputi organ-organ pemerintah yang berwenang dan
berkewajiban untuk mengusahakan pengawasan dan pemaksaan jika diperlukan,
agar yang diperintah untuk berbuat atau tidak berbuat menurut kewajiban
masing-masing, yang selengkapnya sebagai berikut:
Onder politie vallen de regeneeringorganen, diew bevoegd en gehouden zijn om door toexicht of zo nodig door dwang the bewerken, dat de geregeerden hunnerzijds doen of laten wat hun pliicht is te doen of te laten en welke bestaat uit:
a. het afwerend toexien op naleving door de geregeerden van hun publieken plicht;.
b. het actieve speuren naar niet naleving door de geregeerden van hun publieken plich;.
c. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plicht krachtens rechtelijke tusschenkomst;
d. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plichthetwelk kan gechieden zonder rechterlijke tusschenkomst (gereede dwang).40
Definisi “politie” menurut Van Vollenhoven tersebut dapat dipahami,
bahwa “politie” mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ
pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya
yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan perintah.
Fungsi dijalankan atas kewenangan dan kewajiban untuk mengadakan
pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara
memerintah untuk melaksanakan kewajiban umum, mencari secara aktif
39Ibid, halaman 15-16.
perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban umum, memaksa yang diperintah
untuk melakukan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan memaksa
yang diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa perantaraan
pengadilan.41
Van Vollenhoven memasukkan “polisi” (politie) ke dalam salah satu unsur
pemerintahan dalam arti luas, yakni badan pelaksana (executive-bestuur), badan
perundang-undangan, badan peradilan dan badan kepolisian. Badan pemerintahan
termasuk di dalamnya kepolisian bertugas membuat dan mempertahankan hukum,
dengan kata lain menjaga ketertiban dan ketentraman (orde en rust) dan
menyelenggarakan kepentingan umum.
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa “Police is a branch of the government which is charged with the preservation of public order and tranquility, the promotion of the public health, safety and morals and the prevention, detection, and punishment of crimes”.42 Arti kepolisian di sini
ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai bagian dari
pemerintahan, yakni memelihara keamanan, ketertiban, ketenteraman masyarakat,
mencegah dan menindak pelaku kejahatan. Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa
Indonesia, bahwa Polisi diartikan: 1)Sebagai badan pemerintah yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang
melanggar Undang-Undang, dan sebagainya), dan 2)Anggota dari badan
pemerintahan tersebut di atas (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan
dan sebagainya).43 Berdasarkan pengertian dari Kamus Umum Bahasa Indonesia
tersebut ditegaskan bahwa kepolisian sebagai badan pemerintah yang diberi tugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian fungsi kepolisian
tetap ditonjolkan apa yang harus dijalankan oleh suatu lembaga pemerintah.
Di Indonesia, polisi merupakan badan pemerintah yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang-orang yang
melanggar undang-undang) atau dapat pula diartikan sebagai anggota dari badan
pemerintahan (pegawai negara yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban umum).
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun
2002, disebutkan tentang pengertian polisi yaitu kepolisian adalah segala hal
ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.44 Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia.45
Istilah kepolisian di dalam Undang-Undang tersebut mengandung dua
pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Fungsi kepolisian adalah
43 W.J.S. Poerwadarminta, Opcit, halaman 763.
44 Undang-Undang dan Peraturan tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Cetakan Pertama, Jakarta: Visimedia.
sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan
kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang
ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberi kewenangan menjalankan fungsinya
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat ditarik
pemahaman, bahwa berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan
lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini dipengaruhi dari konsep
fungsi kepolisian yang diembannya dan dirumuskan dalam tugas dan
wewenangnya.46
Menurut UU Kepolisian RI No 2 Tahun 2002 fungsi polisi adalah sebagai
berikut:477
a. Polisi menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan hukum yang berlaku, yaitu menegakkan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara individu, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh keadilan sesuai dengan pemerintah), dan antar individu serta antar masyarakat ;
b. Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara ;
c. Mengayomi warga masyarakat, dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat dan negara, masing-masing merupakan sebuah sistem dan secara keseluruhan adalah sebuah sistem yang memproses masukan program-program pembangunan untuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam proses-proses yang berlangsung tersebut, fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keluaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dan sakral dalam proses-proses tersebut tidak terganggu atau dirugikan.
46 Sadjijono, Opcit, halaman 83.
Kewenangan Kepolisian negara Republik Indonesia diatur dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
menegaskan tugas dan wewenang kepolisian dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15,
dan Pasal 16 sebagai berikut: 48
Pasal 13
Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat; b. Menegakkan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14
(1) Dalam menjalankan tugas pokoknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian, khusus penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang:
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
3. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
2. Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf 1 adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.
Kepolisian menjalankan tugasnya harus mengacu kepada tugas pokok
yang telah ditetapkan. Mengenai tugas pokok Polri menurut Pasal 13 dan 14
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 disebutkan tugas pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat; b.menegakkan hukum; c. memberi perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka istilah “polisi” dan “kepolisian” dapat
dimaknai sebagai berikut: Istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga
pemerintah yang ada dalam negara. Sedangkan istilah “kepolisian” sebagai organ
dan fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi
dan terstruktur dalam ketatanegaraan yang oleh Undang-Undang diberi tugas dan
wewenang dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai
fungsi menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang,
yakni fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif melalui pemberian
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan fungsi represif
dalam rangka penegakan hukum. Dikaitkan dengan “tugas” intinya menunjuk
kepada tugas yang secara universal untuk menjamin ditaatinya norma-norma yang
ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat
menjamin kelangsungan, kelestarian masyarakat itu sendiri.49
Sikap utama yang perlu ditonjolkan untuk melaksanakan tugas,
mengembangkan individu dan membangun kelompok adalah keteladanan.
Keteladanan Polri dalam kinerjanya mencakup: keteladanan dalam melaksanakan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keteladanan dalam memberikan
semangat dalam melaksanakan sistem keamanan swakarsa, keteladanan dalam
memberikan dorongan kerja, keteladanan dalam kewaspadaan terhadap
lingkungan, keteladanan dalam “Ambeg Parama Arta”, keteladanan dalam
kesetiaan pada negara, pimpinan dan tugas, keteladanan dalam berhemat,
keteladanan dalam keterusterangan dan keteladanan dalam meregenerasi dan
menyiapkan anggota maju.50
Upaya pengembangan individu anggota Polri dapat ditempuh dengan
jalan: memberikan pemahaman mengenai pentingnya rasa tanggung jawab dalam
melaksanakan tugas, menjelaskan sasaran yang hendak dicapai serta harapan atau
peran serta Polri dalam mensukseskan sasaran yang hendak dicapai, memahamkan
arti penting nilai keadilan, melaksanakan pengawasan, berperan serta dalam
memecahkan masalah. Dalam membangun kelompok mencakup hal-hal: peran
serta Polri mengatasi perpecahan kelompok, perhatian pada kesejahteraan
anggota, perhatian pada kelakuan anggota, memperhatikan sarana membangun.
Akhirnya, secara garis besar pelaksanaan tugas mencakup: bertanggung jawab
49 Ibid, halaman 83-84.
50 Djunaidi Maskat H, Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, (Bandung: Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri, 1993),
pada pelaksanaan tugasnya, menetapkan sasaran secara jelas, memastikan tugas
yang diberikan dan akhirnya mengevaluasi hasil kinerja Polri.51
Paradigma baru Kepolisian Republik Indonesia adalah “kedekatan polisi
dan masyarakat dalam mengeliminir akar-akar kejahatan dan ketidaktertiban”,52
menampilkan gaya perpolisian yang lebih responsif-persuasif, polisi abdi rakyat,
bukan abdi penguasa, oleh Satjipto Rahardjo53 disebut sebagai Polisi yang
protagonis. Polisi sipil memiliki 3 (tiga) kriteria yakni: (1) Ketanggapsegeraan
(responsiveness), (2) Keterbukaan (Openness), dan (3) Akuntabel
(accountability). Kriteria demikian itu menuntut sikap dan perilaku yang
berlandaskan nilai-nilai inti (core values) tertentu, yang di dalam Code of Conduct
for Law Enforcement Official PBB dirumuskan sebagai berikut:
a. Integritas Pribadi (integrity) adalah nilai sentral, menurut disiplin pribadi yang
konsisten yang merupakan pondasi penegakan hukum dalam masyarakat
demokratis.
b. Kewajaran (fairness), adalah nilai bersifat netral sebagai landasan Polisi yang
egaliter.
c. Rasa hormat (respect), adalah nilai kebanggaan nasional, penghargaan yang
tinggi kepada warga masyarakat, kontribusi dan kewenangan jabatan
pemerintahan.
51 Ibid, halaman 254-258.
52 Chairudin Ismail, 2008. Kepolisian Sipil Sebagai Paradigma Baru Kepolisian Republik Indonesia, Pembekalan Kepada Peserta Sespati Kepolisian Republik Indonesia Dikreg ke 14 T.P.
d. Kejujuran (honesty), adalah dapat dipercaya, tulus hati, sesuai dengan fakta
dan pengalaman yang ada.
e. Keberanian / keteguhan (courage) adalah nyali untuk berpihak kepada
kebenaran.
f. Welas asih (compassion), yaitu dapat memahami atau bersimpati terhadap
korban atau orang yang menderita.
Nilai-nilai inti tersebut di atas diharmonisasikan dengan nilai yang
terkandung di dalam Tribata dan Catur Prasetia, kemudian diimplementasikan
pada sikap dan perilaku anggota Kepolisian Republik Indonesia yang terakomodir
di dalam Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia
yang ada saat ini.
B. Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Kematian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya merupakan produk hukum yang menjadi acuan utama yang mengatur
aspek-aspek mengenai lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia.
Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-undang-Undang-undang sebelumnya yaitu
Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan
strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru. Setelah undang-undang
mengenai lalu lintas dan angkutan jalan yang lama diterbitkan kemudian
diterbitkan 4 (empat) Peraturan Pemerintah (PP), yaitu: PP No. 41/1993 tentang
Bermotor, PP No. 43/1993 tentang Prasarana Jalan Raya dan Lalu Lintas, PP No.
44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi.
Lalu dibuatlah pedoman teknis untuk mendukung penerapan Peraturan
Pemerintah (PP) di atas yang diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri
(KepMen). Beberapa contohnya KepMen tersebut, yaitu: KepMen No. 60/1993
tentang Marka Jalan, KepMen No. 61/1993 tentang Rambu-rambu Jalan, KepMen
No. 62/1993 tentang Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, KepMen No. 65/1993
tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.54
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga
dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain
yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Korban
kecelakaan lalu lintas merupakan orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas
yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau luka ringan pada
anggota tubuh manusia.55
Macam-macam faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan kematian antara lain:
a. Faktor manusia. Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan.
Hampir semua kejadian kecelakaan lalu lintas didahului dengan pelanggaran
lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan
terhadap arti aturan yang berlaku maupun tidak melihat ketentuan yang
54Kemenhub RI, 2011. Perhubungan Darat Dalam Angka 2010. http://www.hubdat. dephub.go.id. Diakses tanggal 30 Maret 2014.
55 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Direktorat Lalu Lintas 2011. Standar Operasional Dan Prosedur Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas (TPTKP Dan
diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu. Terjadinya kecelakaan lalu lintas
karena kealpaan berasal dari sikap batin dari seorang pengemudi kendaraan,
dalam hal ini kecelakaan juga bisa terjadi karena pengemudi kendaraan saat
mengendarai kendaraan dalam keadaan mengantuk atau sedang sakit, sedang
dibawah pengaruh alkohol sehingga tidak jarang menimbulkan kecelakaan
lalu lintas.
b. Faktor kendaraan. Faktor kendaraan yang kerap kali menghantui kecelakaan
lalu lintas adalah fungsi rem dan kondisi ban. Faktor tersebut diantaranya:
1) Fungsi rem. Rem blong ataupun slip ini sudah pasti akan membuat
kendaraan lepas kontrol dan sulit untuk diperlambat. Apalagi pada mobil
dengan transmisi otomatis yang hanya mengendalikan rem tanpa engine brake.
Sebaiknya selalu melakukan pengecekan pada sistem pengereman sebelum
bepergian. 2) Kondisi ban. Bahayanya kendaraan susah dikendalikan, bisa saja
kendaraan oleng dan terbalik karena beda ketinggian kendaraan akibat ban
meletus. Apalagi saat melaju dalam kecepatan yang cukup tinggi tidak jarang
menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
c. Faktor jalan. Faktor jalan juga berperan penting dalam terjadinya suatu
kecelakaan. Kondisi jalan yang tidak menentu seperti jalan yang berlubang
dapat menyebabkan kecelakaan bagi pengguna jalan terutama kendaraan
bermotor. Selain itu kondisi jalan yang berliku seperti kondisi jalan yang ada
di daerah pegunungan, jalan yang gelap pada malam hari atau minimnya
d. Faktor lingkungan. Faktor ini khususnya dalam cuaca gelap pada malam hari
dapat mempengaruhi jarak pandang pengemudi kendaraan dalam mengendarai
kendaraannya sehingga sering terjadi kecelakaan. Pada musim kemarau yang
berdebu juga membahayakan bagi pengguna jalan terutama kendaraan roda
dua. Pada keadaan berdebu konsentrasi mata pengendara berkurang sehingga
menyebabkan kecelakaan. Jalan licin pada waktu hujan baik pengendara roda
dua dan empat sering tergelincir atau terjadi selip, hal ini yang menyebabkan
pengemudi kendaraan kehilangan kendali sehingga terjadi kecelakaan. Kabut
yang tebal dapat mengelabuhi mata seolah-olah tidak ada kendaraan yang
melaju karena jarak pandang yang terbatas, hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Di antara faktor-faktor tersebut faktor manusia merupakan faktor yang
paling menentukan. Hal tersebut terjadi karena adanya kecerobohan atau kealpaan
pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya, kecerobohan pengemudi tersebut
tidak jarang menimbulkan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian.56
Akibat kecelakaan lalu lintas selain menimbulkan korban jiwa dan harta
juga menimbulkan kerugian secara finansial/materiil serta sangat memprihatinkan
apabila tidak dilakukan langkah-langkah strategis guna meningkatkan
keselamatan dan kepatuhan hukum lalu lintas masyarakat, maka akan menambah
daftar panjang korban jiwa dan kerugian secara materiil.57
56 Agio V. Sangki, Op.cit. halaman 37.
57 Toni. 2012. Analisis Hukum Penegakan Tindak Pidana Pelanggaran Bidang Lalu Lintas. Ringkasan penelitian, Penerapan Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Kompetensi
Secara teknis kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai suatu kejadian yang
disebabkan oleh banyak faktor yang tidak sengaja terjadi (Random Multifactor
Event). Dalam pengertian secara sederhana, bahwa suatu kecelakaan lalu lintas terjadi
apabila semua faktor keadaan tersebut secara bersamaan pada satu titik waktu tertentu
bertepatan terjadi. Hal ini berarti memang sulit meramalkan secara pasti dimana dan
kapan suatu kecelakaan akan terjadi.
Terjadinya kecelakaan lalu lintas dipengaruhi oleh beberapa faktor,
faktor-faktor tersebut seolah bekerja sama sebagai penyebab terjadinya kecelakaan lalu
lintas. Semakin menjadi ketika manusianya sendiri terlihat tidak begitu
mementingkan keselamatan nyawanya buktinya banyak pengendara motor yang
ugal-ugalan tanpa mengenakan helm atau pengendara mobil yang menyepelekan
kegunaan dari sabuk pengaman.58
C. Aturan Hukum Tindak Pidana Kecelakaan Berlalu Lintas dan Perlindungan Hukum Terhadap Korban kecelakaan Lalu Lintas
1. Aturan Hukum Tindak Pidana Kelalaian Kecelakaan Berlalu Lintas yang Mengakibatkan Kematian Pada Orang Lain
Dilihat dari berat ringannya akibat yang ditimbulkan Berdasarkan Pasal
229 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, terdiri atas:
1) Kecelakaan lalu lintas ringan. Kecelakaan lalu lintas ringan merupakan
kecelakaan yang hanya mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
2) Kecelakaan lalu lintas sedang. Kecelakaan lalu lintas sedang merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang.
3) Kecelakaan lalu lintas berat. Kecelakaan Lalu Lintas berat merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Dilihat dari jumlah korban, bobot kerugian secara politis atau ekonomis
terhadap pemerintah dan/atau tingkat fatalitas yang terjadi dilihat dari anatomi
kecelakaan, meliputi:
1. Kecelakaan menonjol, dengan kategori sebagai berikut:
a) Kecelakaan Lalu Lintas melibatkan pejabat pemerintahan dan/atau menjadi
korban dalam kecelakaan, dengan klasifikasi sebagai berikut:
(1) pejabat Negara Republik Indonesia yang termasuk dalam golongan
VVIP/VIP dan/atau pejabat negara asing yang sedang berada di Negara
Republik Indonesia mewakili negaranya, termasuk keluarganya;
(2) mantan Kepala Negara/Presiden Republik Indonesia dan mantan Wakil
Presiden Republik Indonesia, termasuk isterinya; dan
(3) pejabat tinggi Tentara Nasional Indonesia dan pejabat tinggi Kepolisian
Negara Republik Indonesia, termasuk Panglima Daerah Militer dan
Kepala Kepolisian Daerah.
b) Kecelakaan Lalu Lintas mengakibatkan pejabat pemerintahan luka berat
atau meninggal dunia klasifikasi sebagai berikut:
(1) perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia atau Perwira tinggi
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
(2) kepala daerah provinsi dan kepala daerah kabupaten/kota; dan
(3) tokoh masyarakat, pimpinan partai, dan/atau individu yang berpengaruh
c) Kecelakaan lalu lintas mengakibatkan korban meninggal dunia 10
(sepuluh) orang atau meninggal dunia di TKP sejumlah 5 (lima ) orang;
d) Kecelakaan lalu lintas mengakibatkan lumpuhnya lalu lintas pada jaringan
jalan nasional paling lama 6 (enam) jam, yang disebabkan:
(1) Jembatan pada jalan nasional terputus; atau
(2) Kendaraan khusus pengangkut bahan berbahaya dan/atau bahan yang
mudah meledak mencemari lingkungan dan masyarakat atau terbakar.
e) Kecelakaan lalu lintas melibatkan kendaraan bermotor angkatan
penumpang umum mengakibatkan korban manusia meninggal dunia 10
(sepuluh) orang atau meninggal dunia di TKP sejumlah 5 (lima) orang atau
luka berat lebih dari 20 orang.
f) Kecelakaan Biasa Kecelakaan yang dikategorikan sebagai kecelakaan
biasa adalah kecelakaan yang tidak termasuk kategori menonjol
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
g) Penggolongan Korban. Korban kecelakaan lalu lintas diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai berikut:
(1) Korban mati atau meninggal dunia;
(2) Korban luka berat ;
(3) Korban luka ringan.
Dalam kaitan korban kecelakaan lalu lintas, Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 1993 yang terkait mengenai korban yaitu:
1) Korban Mati atau Meninggal Dunia
Berdasarkan Pasal 93 ayat 3 PP No 43 tahun 1993 yang dinyatakan sebagai
yang dipastikan mati karena akibat langsung dari suatu kecelakaan lalu lintas
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya
kecelakaan.
2) Korban luka berat
Berdasarkan Pasal 93 ayat 4 PP No 43 tahun 1993, dinyatakan sebagai berikut:
(1) Korban manusia yang digolongkan sebagai korban luka berat akibat
kecelakaan lalu lintas adalah:
(a) Orang yang menderita luka-luka karena akibat langsung dari
kecelakaan lalu lintas dan luka-lukanya itu mengakibatkan ia menderita
cacat tetap;
(b) Orang yang menderita cacat karena akibat langsung dari suatu
kecelakaan sehingga ia harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30
(tiga puluh) hari sejak terjadinya kecelakaan;
(2) Kategori penderita luka berat.
Kategori penderita luka berat adalah keadaan atau jenis dan sifat luka berat
atau luka parah sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 Buku Kesatu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 94 ayat (4) bagian
penjelasan PP No, 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan lalu lintas jalan,
yaitu;
(a) Penyakit atau luka yang tidak dapat sembuh atau tidak dapat pulih lagi
dengan sempurna untuk selama-lamanya, sehingga mengakibatkan
(b) Kehilangan salah satu atau keseluruhan panca indera (penglihatan,
penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit) dan suara;
(c) Lumpuh sehingga tidak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhnya;
(d) Hilang akal budi atau berubah pikiran atau pikiran terganggu sehingga
tidak dapat berpikir lagi dengan normal selama lebih dari empat
minggu;
(e) Gugurnya kandungan ibu yang sedang hamil;
(f) Kehilangan sesuatu anggota badan atau tidak dapat lagi menggunakan
salah satu anggota badan atau tidak dapat sembuh/ pulih lagi untuk
selama-lamanya;
(g) Kondisi luka-luka atau penderitaan yang dinyatakan oleh dokter
berdasarkan Visum et Repertum sebagai luka berat.
3) Korban Luka Ringan
Korban luka ringan adalah korban yang tidak termasuk dalam pengertian
korban meninggal dunia dan korban luka berat.
UULLAJ memuat ketentuan-ketentuan pidana yang tinggi, diantaranya
pasal yang berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
kematian adalah Pasal 310 ayat (3) yang menentukan bahwa setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dengan
pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Sedangkan
ayat (4) dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Berbeda dengan Pasal 311 (UULLAJ) yaitu:
(1) Setiap orang dengan sengaja mengemudikan kendaraannya bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).59
2. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang penting dalam
meningkatkan mobilitas sosial dan sangat dekat masyarakat. Setiap waktu
masyarakat terus bergulat dengan angkutan jalan dengan bermacam-macam
kepentingan. Berbagai kondisi zaman dibarengi dengan berbagai kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan pola tingkah laku
masyarakat telah dilewati oleh Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia dari
masa Pemerintahan Belanda sampai pada era reformasi pada saat ini. Begitupun
dengan Undang-undang yang mengaturnya, pada masa pemerintahan Hindia
Belanda di atur dalam Werverkeersordonnantie” (Staatsblad 1933 Nomor 86)
yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Lalu Lintas Jalan
(Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 Nomor 86), lalu diganti dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya. Undang-Undang No 3 Tahun 1965 ini bahwa ini adalah Undang-Undang
pertama yang mengatur LLAJ di Indonesia setelah Indonesia Merdeka.
Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang juga kemudian diganti oleh
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kecelakaan lalu lintas akan berdampak hukum dengan adanya korban
kejadian luka ringan, luka sedang, luka berat, dan meninggal dunia. Dalam
kegiatan penanganan kecelakaan lalu lintas, kecepatan dan akurasi tindakan serta
efisiensi peralatan yang dipergunakan sangat menentukan efektivitas pertolongan
terhadap korban dalam rangka meminimalisir korban meninggal dunia atau
luka-luka yang mengakibatkan cacat tubuh, kerugian harta benda dan/atau
Dilihat dari berat ringannya akibat yang ditimbulkan Berdasarkan Pasal
229 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),
terdiri atas:60
1) Kecelakaan lalu lintas ringan. Kecelakaan lalu lintas ringan merupakan
kecelakaan yang hanya mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
2) Kecelakaan lalu lintas sedang Kecelakaan lalu lintas sedang merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang.
3) Kecelakaan lalu lintas berat. Kecelakaan lalu lintas berat merupakan
kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Pasal 229 ayat (5) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa
kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan
oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan
dan/atau lingkungan. Tidak hanya mengenai penggolongan kecelakaan lalu
lintas, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga telah secara eksplisit mengatur
mengenai hak korban yang diatur pada Bagian keempat Bab XIV tentang hak
korban dalam kecelakaan lalu lintas. Adapun hak korban kecelakaan lalu lintas
tersebut sebagaimana dijelaskan pada Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan bahwa korban kecelakaan lalu lintas berhak mendapatkan:
1. Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah
2. Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan
lalu lintas, dan
3. Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi
Akibat hukum dari kecelakaan lalu lintas adalah sanksi hukum yang
harus diterapkan terhadap pelaku, terlebih apabila mengakibatkan korban
meninggal, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 359 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi: “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain diancam dengan Pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.61
Sedangkan berdasarkan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, akibat
hukum dari kecelakaan lalu lintas adalah adanya pidana bagi si pembuat atau
penyebab terjadinya peristiwa itu dan dapat pula disertai tuntutan perdata atas
kerugian material yang ditimbulkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Andi
Hamzah,62 bahwa “Dalam berbagai macam kesalahan, dimana orang yang berbuat
salah menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia harus membayar ganti
kerugian”.
Berdasarkan pasal 240 UU LLAJ, prosedur untuk mendapatkan hak
korban kecelakaan lalu lintas darat adalah sebagai berikut:
1. Pertolongan dan perawatan
Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menunjukkan bahwa hak
korban ini biasa diperoleh korban dari pihak yang bertanggung jawab atas
61 Moeljatno, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara, halaman 127.
terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah. Pengaturan mengenai
pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas darat hal
tersebut sebenarnya juga telah diatur pada pasal sebelumnya yaitu dalam Pasal
231 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menjelaskan bahwa
pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas, wajib:
a. Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya
b. Memberikan pertolongan kepada korban
c. Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
terdekat.
d. Memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan
Selanjutnya dalam Pasal 231 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dijelaskan pula bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang karena
keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia terdekat.
Pemberian pertolongan dan perawatan terhadap korban kecelakaan lalu
lintas tidak hanya merupakan kewajiban dari pengemudi kendaraan bermotor,
dalam Pasal 232 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan pula bahwa
setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya
kecelakaan lalu lintas wajib:
a. Memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan lalu lintas
b. Melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik
c. Memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Ganti kerugian
Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak
yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, bukan hanya
dimuat dalam Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tetapi diatur pula
dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada BAB XIV bagian ketiga
mengenai kewajiban dan tanggung jawab dan paragraf 1 mengenai kewajiban
dan tanggung jawab pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau
perusahaan angkutan, dalam Pasal 234 dijelaskan bahwa:
a. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan
umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi
b. Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan
angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau
perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
jika:
1) Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan pengemudi
2) Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga,
dan/atau disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah
Besarnya nilai penggantian kerugian yang merupakan tanggung jawab
pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat ditentukan
berdasarkan putusan pengadilan63 atau dapat juga dilakukan di luar pengadilan
jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat dengan
catatan kerugian tersebut terjadi pada kecelakaan lalu lintas ringan.64
Apabila korban kecelakaan lalu lintas meninggal dunia maka
berdasar Pasal 235 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pengemudi,
pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum memberikan ganti
kerugian wajib kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau
biaya pemakaman.
Namun pemberian ganti kerugian atau bantuan tersebut tidak serta
merta menggugurkan tuntutan perkara pidana sebagaimana yang dimaksud
Pasal 230 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
3. Santunan kecelakaan lalu lintas
Sebagai pelaksanaan Pasal 239 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang mengatur bahwa Pemerintah membentuk perusahaan asuransi
Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yaitu pemerintah mempunyai PT. Jasa Raharja (Persero)
sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tugas dan fungsinya ada 2
(dua) yaitu:
63 Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
a. Memberikan santunan atas kejadian kecelakaan pada korban kecelakaan
lalu lintas darat, laut, udara, dan penumpang kendaraan umum.
b. Menghimpun dana pajak kendaraan bermotor melalui Samsat yang mana
dana itu nantinya untuk membayar santunan.
Adapun cara memperoleh santunan adalah sebagai berikut:
a. Menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat
b. Mengisi formulir pengajuan dengan melampirkan:
1) Laporan Polisi tentang kecelakaan Lalu Lintas dari Unit Laka
Satlantas Polres setempat dan atau dari instansi berwenang lainnya.
2) Keterangan kesehatan dari dokter / RS yang merawat.
3) KTP / Identitas korban / ahli waris korban.
4) Formulir pengajuan diberikan Jasa Raharja secara cuma-cuma.
Untuk memperoleh dana santunan caranya adalah dengan mengisi
formulir yang disediakan secara cuma-cuma oleh PT. Asuransi Kerugian Jasa
Raharja (Persero), yaitu:
a. Formulir model K1 untuk kecelakaan ditabrak kendaraan bermotor dapat
diperoleh di Polres dan Kantor Jasa Raharja terdekat.
b. Formulir K2 untuk kecelakaan penumpang umum dapat diperoleh di
Kepolisian/Perumka/Syahbandar laut/Bandar Udara dan Kantor Jasa
Raharja terdekat.
Dengan cara pengisian formulir sebagai berikut:
a. Keterangan identitas korban/ahli waris diisi oleh yang mengajukan dana
b. Keterangan kecelakaan lalu lintas diisi dan disahkan oleh Kepolisian atau
pihak yang berwenang lainnya.
c. Keterangan kesehatan/keadaan korban diisi dan disahkan rumah
sakit/dokter yang merawat korban.
d. Apabila korban meninggal dunia, tentang keabsahan ahli waris, diisi dan
disahkan oleh pamong praja/lurah/camat
Dalam hal korban meninggal dunia, maka santunan meninggal dunia
diserahkan langsung kepada ahli waris korban yang sah, adapun yang
dimaksud ahli waris adalah:
a. Janda atau dudanya yang sah
b. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah, kepada anak-anaknya yang
sah
c. Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah dan anak-anaknya yang sah,
kepada orang tuanya yang sah
d. Dalam hal korban meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, kepada
yang menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian
biaya-biaya penguburan
Terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Jo PP No 17 Tahun 1965
mengatur:
1) Korban yang berhak atas santunan yaitu Setiap penumpang sah dari alat
angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang
yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu saat naik dari
tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan.
2) Jaminan Ganda
Kendaraan bermotor Umum (bis) berada dalam kapal ferry, apabila
kapal ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis
yang menjadi korban diberikan jaminan ganda.
3) Korban yang mayatnya tidak diketemukan
Penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan
dan atau hilang didasarkan kepada Putusan Pengadilan Negeri. Menurut
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Jo PP No 18 Tahun 1965
mengatur:
a) Korban Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu:
(1) Setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang
menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat
kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan
tersebut, contoh: Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
(2) Setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan
bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaraan bermotor
yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai penyebab
kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan
b. Tabrakan Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor
1) Apabila dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan
bahwa pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab
terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi maupun penumpang
kendaraan tersebut tidak terjamin dalam UU No 34/1964 jo PP no
18/1965
2) Apabila dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum
diketahui pihak-pihak pengemudi yang menjadi penyebab kecelakaan
dan atau dapat disamakan kedua pengemudinya sama-sama sebagai
penyebab terjadinya kecelakaan, pada prinsipnya sesuai dengan
ketentuan UU No 34/1964 jo PP No 18/1965 santunan belum dapat
diserahkan atau ditangguhkan sambil menunggu Putusan Hakim/
Putusan Pengadilan
c. Kasus Tabrak Lari terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran
kasus kejadiannya
d. Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Kereta Api
1) Berjalan kaki di atas rel atau jalanan kereta api dan atau menyeberang
sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan
bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan
kereta api, maka korban terjamin UU No 34/1964
2) Pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang
difungsikan sebagaimana lazimnya kereta api akan lewat, apabila
tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin oleh UU No 34/1964
Besarnya santunan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan RI No 36/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari 2008 adalah:
No Sifat Cidera Santunan sesuai PMK
No. 36/PMK.010/2008
1. Meninggal Dunia Rp. 25.000.000,-
2. Luka-Luka Rp. 10.000.000,-
3. Cacat Tetap Rp. 25.000.000,-
4. Biaya Penguburan
(apabila tidak ada ahli waris)
Rp. 2.000.000,-
Namun, pemberian hak pada korban tersebut tidak berarti tidak mengenal
batas waktu (kadaluarsa) atau pengecualian. Hak santunan menjadi gugur /
kadaluarsa jika:
a. Permintaan diajukan dalam waktu lebih dari 6 bulan setelah terjadinya
kecelakaan.
b. Tidak dilakukan penagihan dalam waktu 3 bulan setelah hak dimaksud
disetujui oleh jasa raharja.
Beberapa pengecualian yang dimaksud, yaitu:
1. Dalam hal kecelakaan penumpang umum atau lalu lintas jalan
a. Jika korban atau ahli warisnya telah memperoleh jaminan berdasarkan
UU No 33 atau 34/1964.
b. Bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada
pihak korban atau ahli waris.
c. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang dalam
diakibatkan oleh atau terjadi karena korban memiliki cacat badan atau
keadaan badaniah atau rohaniah biasa lain.
2. Dalam hal kecelakaan yang terjadi tidak mempunyai hubungan dengan
resiko kecelakaan penumpang umum atau lalu lintas jalan
a. Kendaraan bermotor penumpang umum yang bersangkutan sedang
dipergunakan untuk turut serta dalam suatu perlombaan kecakapan atau
kecepatan
b. Kecelakaan terjadi pada waktu di dekat kendaraan bermotor
penumpang umum yang bersangkutan ternyata ada akibat gempa bumi
atau letusan gunung berapi, angin puyuh, atau sesuatu gejala geologi
atau metereologi lain.
c. Kecelakaan akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung
mempunyai hubungan dengan, bencana, perang atau sesuatu keadaan
perang lainnya, penyerbuan musuh, sekalipun Indonesia tidak termasuk
dalam negara-negara yang turut berperang, pendudukan atau perang
saudara, pemberontakan, huru hara, pemogokan dan penolakan kaum
buruh, perbuatan sabotase, perbuatan teror, kerusuhan atau kekacauan
yang bersifat politik atau bersifat lain.
d. Kecelakaan akibat dari senjata-senjata perang
e. Kecelakaan akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan
sesuatu perintah, tindakan atau peraturan dari pihak TNI atau asing
kecelakaan yang disebabkan dari kelalaian sesuatu perbuatan dalam
penyelenggaraan tersebut.
f. Kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan penumpang umum
yang dipakai atau dikonfliksi atau direkuisisi atau disita untuk tujuan
tindakan angkatan bersenjata seperti tersebut di atas
g. Kecelakaan yang diakibatkan oleh angkutan penumpang umum yang
khusus dipakai oleh atau untuk tujuan-tujuan tugas angkatan bersenjata.
h. Kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi atom
3. Kecelakaan tunggal tidak ada lawan sehingga tidak ada yang menjamin,
karena sebetulnya jika kecelakaan 2 kendaraan bermotor yang 1 mendapat
santunan (pihak yang tidak bersalah) dan yang 1 (pihak yang bersalah)
tidak mendapatkan secara otomatis melainkan atas kebijakan Direksi. Hal
ini yang tidak banyak diketahui masyarakat sehingga masyarakat berasumsi
bahwa kecelakaan 2 kendaraan bermotor, kedua-duanya mendapat