• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Melalui hasil studi dokumen film Indonesia, wawancara dengan kurang lebih duapuluh (20) pembuat film, duaratus limapuluh tiga (253) penonton, dua (2) pengusaha bioskop dan tiga (3) wakil pemerintah; peneliti akhirnya sampai pada pemahaman dan interpretasi atas temuan-temuan di sepanjang penelitian. Interpretasi tersebut membawa peneliti pada gagasan-gagasan baru tentang apa yang terjadi dengan film Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan pengetahuan tentang proses produksi film Indonesia, apresiasi penonton terhadap film tanah air, serta posisi-kontribusi dari pengusaha bioskop dan pemerintah.

Pengetahuan baru yang penulis dapatkan itu, tidak semuanya memiliki relasi langsung dengan pertanyaan besar di awal penelitian serta kerangka awal pemahaman terhadap film Indonesia. Peneliti menemukan munculnya situasi-situasi paradoks yang dihadapi selama proses pembuatan film, apresiasi oleh penonton, pendapat ekshibitor serta peran pemerintah. Oleh karena itu, untuk menambah pemahaman tentang film Indonesia dan situasi-situasi paradoksal atas kreativitas yang terjadi di dalamnya, peneliti kembali mencari literatur tambahan untuk memahami lebih lanjut catatan-catatan interpretasi yang telah ada di Bab tiga sampai enam. Berikut ini adalah catatan penulis dari tambahan literatur tentang paradoks dan manajemen kreativitas dalam bisnis/industri perfilman.

Paradoks Kreativitas

(2)

membuatnya menjadi seorang yang ―jenius‖, bisa menciptakan sesuatu yang baru, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Kreativitas memiliki sifat menuntut hadirnya situasi yang bersifat ―bebas‖, tidak dibatasi, dan fleksibilitas tinggi --karenanya harus didukung sumber daya yang memadai. Namun dalam bisnis, kreativitas diletakkan pada posisi yang harus bisa dilihat dan dikendalikan dan dimonitoring. Ini adalah situasi yang disebut paradoks.

Paradoks digambarkan sebagai situasi dilematis, polaritas, dan bersaingnya nilai-nilai atau kontradiksi, yang seolah menghilangkan apa yang disebut normal. Paradoks bisa jadi sulit dimengerti dan dijelaskan. Paradoks kerap didefinisikan sebagai tegangan-tegangan yang muncul dalam lingkup organisasi dan strategi, misalnya control versus empowerment, centralized versus decentralized, work versus home. Paradoks bisa berupa masalah-masalah tak terpecahkan, siklus yang tak berhenti atau berulang, polarisasi (mempertentangkan) individu ke dalam grup-grup. Mengelola paradoks berarti membangun pola pikir di luar (mengatasi) logika. Memahami paradoks akan memudahkan organisasi untuk mengatasi dan mengelolanya untuk kinerja yang kebih baik.

(3)

bahwa tekanan-tekanan paradoks itu tidak hanya bertentangan tapi juga bekerja sama satu dengan yang lainnya.

Dengan memadukan filosofi Barat dan Timur, organisasi dapat menemukan solusi efektif dan trasformatif dalam menangani kebutuhan-kebutuhan yang kompleks dan saling paradoks.

Sebagai

contoh, k

etika sebuah bisnis menghadapi paradoks antara bertransformasi untuk masa depan, dengan mengamankan posisi pasar hari ini, memimpin perubahan memerlukan sebuah perangkat-alat yang baru. Kebangkrutan tingkat tinggi beberapa perusahaan seperti Blockbuster Video dan Borders Bookstore, menggarisbawahi bahwa ekonomi yang lambat memberi hanya sedikit ruang bagi model bisnis yang sudah ketinggalan (Leslie, J.B., et.al, 2011).

(4)

Paradoks suksesnya adalah, di satu sisi seharusnya inovasi membuat penciptanya berada di sisi terbaik untuk memimpin pasar pada gelombang inovasi berikutnya, namun pada kenyataanya, justru hal itu yang membuat mereka terpaku di masa lalu. Walaupun perusahaan ini sadar bahwa pasar sedang berubah, dan oleh karenanya tercipta peluang-peluang baru, mereka gagal mengeksekusi dan menangkap peluangnya (Binns, A., and Smith, W., 2011). Sementara lingkungan organisasi menjadi lebih global, dinamis dan kompetitif, tuntutan-tuntutan yang saling berkontradiksi pun makin mengemuka. Untuk memahami dan menjelaskan tegangan atau konflik yang demikian, para akademisi dan praktisi makin memakai ―lensa paradoks‖ (Smith, W.K., and Lewis, M.W., 2010).

Banyak akademisi tertarik untuk meningkatkan kreativitas dengan alasan yang baik, namun pertanyaan tentang cara melakukannya menjadi sulit oleh adanya paradoks kreativitas. Bagaimana memajukan kreativitas itu dipersulit oleh paradoks kreativitas; temuan-temuan yang saling kontradiktif namun pada saat yang sama betul (pemikiran konvergen menghambat kreativitas tetapi juga diperlukan). Paradoks-paradoks seperti ini bisa dijinakkan dengan membagi kreativitas dengan tujuh fase yang bergantung pada proses kognitif yang berbeda-beda (pemikiran divergen vs konvergen) dan properti/ciri pribadi (keterbukaan vs kompulsif) difasilitasi oleh kondisi lingkungan yang berbeda (toleransi terhadap kesalahan dengan tuntutan untuk akurat) mengarah pada jenis produk yang bermacam-macam atau berbeda (sesuatu yang radikal vs yang novel yang biasanya terkait kerangka pemikiran klasik).

Empat faktor ―P‖ dalam kreativitas (person, process, product, dan place) untuk dipetakan ke dalam fase-fase tadi, menjadi sebuah tantangan namun sekaligus memberikan analisis tentang metodenya dan bagaimana aktivitas tersebut diterapkan pada pembelajaran. Seorang pemimpin yang memahami tentang proses ini akan bertanya pada dirinya sendiri: ―Bagaimana saya akan:

(5)

2. Mendorong tim untuk mendukung satu sama lain, sementara pada saat yang sama menantang satu dengan yang lain melalui debat yang berkualitas.

3. Memajukan eksperimen, pembelajaran berkelanjutan, dan kinerja yang tinggi?

4. Menentukan bagaimana struktur –aturan, hierarki, perencanaan, dan sejenisnya—menyediakan batasan yang perlu tanpa mematikan improvisasi?

5. Memadukan kesabaran dan rasa mendesak?

6. Menyeimbangkan inisiatif dari bawah dengan intervensi dari atas?‖

Ketika diperhadapkan pada tantangan untuk membebaskan inovasi dalam organisasi, banyak pemimpin gagal. Beberapa mencoba menolong timnya untuk sukses dengan memberi kebebasan yang tak terbatas, hanya untuk menemukan bahwa mereka sudah menciptakan kekacauan dan kinerja yang tidak tinggi. Yang lain mencoba untuk memajukan kreativitas karyawan mereka melalui program-program dan aktivitas yang sudah ditentukan, yang biasanya hanya menghasilkan hasil yang tidak istimewa (Hill, L.A., et.al., 2014).

Setelah mempelajari atau meneliti beberapa ahli yang dapat dipercaya dalam memajukan inovasi organisasi, Linda Hill et. al. (2014) berhasil mengidentifikasi inti dari kesulitannya. Pada inti memajukan inovasi ada tegangan yang fundamental, atau yang disebut paradoks, melekat pada peran pemimpin: para pemimpin perlu melepas atau membebaskan talenta karyawan, tetapi juga memadukan talenta-talenta yang bervariasi itu untuk mendapatkan hasil yang berguna dan kohesif. Ini bisa tidak mungkin, tetapi bukti mendukung bahwa keduanya itu penting. Peran seorang pemimpin dalam organisasi menjadi sangat penting.

(6)

dengan menyadari kapan masing-masing itu cocok atau tepat dan dengan memadukannya di dalam siklus yang tidak pernah berakhir.

Bill Coughran, ketika masih menjadi SVP Engineering di grup infrastruktur Google, membuat definisi yang baik tentang mengelola tegangan-tegangan tersebut, sebagai berikut:

―Managing tensions in the organization is an ongoing issue...you

don‘t want an organization that just salutes and does what you

say. You want an organization that argues with you. And so you want to nurture the bottoms-up, but you‘ve got to be careful

you don‘t just degenerate into chaos‖ (Hill, L.A., et.al., 2014).

Definisi mengenai inovasi –menciptakan sesuatu yang baru dan berguna—mencerminkan paradoks ini. Mudah untuk memikirkan banyak ide, tapi jauh lebih sulit memadukan ide-ide tersebut menjadi sesuatu yang baru dan menyelesaikan masalah. Untuk memahami lebih baik paradoks sentral dari ―melepas‖ dan ―memadukan‖ ini, dan implikasinya dalam memimpin inovasi,sebuah literatur memecahnya menjadi enam paradoks yang akan ditemui oleh setiap orang dalam organisasi, yang diilustrasikan pada Gambar 7.1.

Sumber: Hill, L., et.al., 2010

Gambar 7.1. Situasi Paradoksal dalam Proses Kreatif

Posisi sebelah kanan di setiap waktu akan bergantung pada kondisi spesifik situasi saat ini, goal-nya akan selalu untuk

memanfaatkan situasi apapun untuk memampukan atau

(7)

karyawannya; sementara yang ada pada sisi ―unleash‖ akan senantiasa berhadapan dengan kekacauan dan tidak pernah menyelesaikan masalah bagi kebaikan bersama.

Jenis kepemimpinan seperti ini tidaklah mudah, khususnya bagi yang terbiasa dengan gaya top-down, atau yang memandang konflik dan kehilangan kontrol itu sebagai situasi yang tidak menyenangkan. Bahkan pemimpin-pemimpin inovastif yang mumpuni juga menyadari betapa sulit untuk mendukung sisi yang satu dari paradoks tersebut daripada sisi yang lain. Tugas untuk menciptakan hal-hal yang baru dan berguna mengharuskan para pemimpin untuk tiada henti mendefinisikan ulang kebutuhan organisasinya, memodifikasikannya, dan menyesuaikan perilaku karyawannya.

Pemimpin organisasi harus mengembangkan kemampuan memimpin dari tempat yang tepat pada tiap skala untuk moment dan situasinya. Terlebih lagi, inovasi sejati itu pada hakekatnya sulit karena prosesnya tidak teratur dan penuh tegangan. Setiap orang yang terlibat harus terus-menerus bergumul dengan tegangan tersebut dan tekanan yang dimunculkannya. Situasi paradoks itu tak akan pernah hilang – ada di inti proses inovasi. Jadi, paradoks tersebut hanya bisa dikelola, namun tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik. Memahami paradoks dan alasan kemunculannya mungkin menolong, tapi tidak membuatnya mudah untuk ditangani. Itulah mengapa inovasi organisasi itu mensyaratkan baik kerelaan maupun kemampuan orang-orang di dalam organisasi.

(8)

mencegah organisasi tercerai-berai karena tekanan-tekanan yang bertentangan tersebut.

Paradoks-paradoks tersebut menolong menjelaskan mengapa memimpin inovasi itu mensyaratkan lebih dari sekedar kepemimpinan konvensional yang penuh perintah dan kendali. Ini adalah cara berpikir yang berbeda mengenai peran kepemimpinan. Andrew Stanton, pemenang Academy Award untuk sutradara film ―Finding Nemo‖ belajar dari mentornya, John Lasseter sebagai berikut:

What I realized. . .is, ‗Fine, I‘m not an auteur. I need to write

with other people, I need people to work against. It‘s not about self-exploration –it‘s not about me –it‘s about making

the best movie possible.‘ And as soon as I admitted that, it

was amazing how the crew morale pivoted and suddenly everyone had my back. If you own the fact that you don‘t

know what you‘re doing, then you‘re still taking charge, you‘re still being a director…. I learned that from John [Lasseter] on ‗Toy Story‘ – every time he got confessional and

said, ‗Guys, I think I‘m just spinning my wheels,‘ we‘d rise up

and solve the problem for him (Hill, L.A., et.al., 2014).

John Lasseter telah memberikan contoh bagaimana mengelola kreativitas dalam pembuatan film ―Toy Story‖. Ia tidak segan-segan membagikan kebingungan atau kehabisan idenya dengan tim, sehingga yang terjadi kemudian adalah kerja sama yang baik dalam mengeksplorasi dan mengelaborasikan ide-ide kreatif bersama.

Banyak pemimpin dalam organisasi perlu memikirkan ulang apa yang mereka lakukan jika mereka menginginkan inovasi yang lebih inovatif. Diperlukan seorang pemimpin yang kuat untuk melepas dan memadukan inovasi. Kekuatan ini ada di dalam mengelola paradoks ketimbang mengendalikan nasib.

Pengelolaan Kreativitas oleh Pembuat Film

(9)

muncul. Pembuat film yang merupakan pemain lama dan mereka yang baru muncul di era tahun 2000-an, mengelola kreativitasnya, serta paradoks yang muncul di dalamnya, dalam memproduksi film dengan berbagai cara. Beberapa cara yang digunakan tersebut penulis catat sebagai berikut:

a. Membuat film yang diadaptasi dari novel yang sudah laris duluan (punya fan-base).

Cara ini sebenarnya meniru konsep di negara lain, seperti misalnya film ―Harry Potter‖, film ―Twilight‖ yang memiliki tiga sekuel, film ―Maze Runner‖, dan yang terakhir cukup laris juga adalah film ―Mockingjay‖. Di Indonesia, mulai sekitar tahun 2008 film ―Laskar Pelangi‖ dan ―Ayat-ayat Cinta‖ laris dijual di bioskop. Keduanya diadaptasi dari novel yang berjudul sama. Film lain yang menyusul sesudah itu pada tahun 2010-2015 adalah film ―5 CM‖, film ―Tenggelamnya Kapal Van Der Wick‖, film ―Habibie Ainun‖, ―99 Cahaya di Langit Eropa‖, dan ―Supernova‖. Seluruh film tersebut cukup laku di pasar layar lebar.

b. Membuat sekuel atas film yang sudah laris duluan.

(10)

Festival-- dan masuk box-office di Amerika Serikat dan mendapat total penjualan tiket lebih dari satu juta dolar.

c. Membuat film dengan ide cerita (tema) yang sedang laris.

Contoh tema yang sedang laris saat ini, misalnya tema tentang percintaan remaja, agama dan masalah-masalah dalam studi atau karir. Satu genre baru yang muncul Sesudah Reformasi adalah drama romantis dari kalangan remaja. Bisa dipastikan bahwa para penonton di Indonesia sebagian besar terdiri dari para remaja di sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka ini sebelumnya tidak tergolong penonton film Indonesia di era sebelum reformasi11, akan tetapi Sesudah Reformasi, kaum remaja mendapati bahwa tontonan di televisi kurang variatif dan terkesan monoton (hanya berisi sinetron untuk ibu-ibu dan pembantu rumah tangga, atau tayangan musik dan video klip saja) akhirnya kaum remaja pindah mencari tontonan di tempat lain yaitu di bioskop. Film seperti ―Ada Apa Dengan Cinta‖ (AADC) menjadi film pertama yang laris dan ditunggu -tunggu kelanjutannya oleh para remaja. Temanya sekarang sudah lebih variatif, tidak lagi sekedar percintaan dan konflik antarremaja saja, namun melebar ke arah keyakinan (agama) dan studi di luar negeri. Saat ini tema-tema tersebut terbukti paling disukai dan laris di pasar.

d. Film yang tidak terlalu rumit gaya ceritanya (ringan).

Para penonton film ―Guru Besar Tjokroaminoto‖ mengeluhkan rumitnya penceritaan di sepanjang film dan lamanya durasi (2 jam 20 menit). Bagi orang dewasa dan orangtua, film karya Garin Nugroho yang diproduseri Christine Hakim tersebut sangat menarik dan bagus dari segi artistik. Setting jaman dulu

(11)

yang sesuai, akting para pemain jempolan, dan bahasa seni Garin yang sangat kentara dalam dialog-dialognya membuat film tersebut sarat makna dan pesan-pesan. Seperti menonton sejarah bangsa tanpa harus baca buku sejarah. Namun ternyata, untuk para remaja (yang ternyata jumlahnya menempati urutan cukup besar dari total penonton) film tersebut masih terlalu rumit dan monoton. Mereka sulit untuk cepat mengerti dan merasakan keindahan dari film tersebut.

e. Film dengan tema yang tidak biasa namun kosmopolitan.

Masyarakat kita tampaknya masih terpesona dengan gaya kosmopolitan ala film-film luar (Hollywood). Oleh karenanya, film-film dengan tema ―gay‖ atau ―gigolo‖ yang dibuat oleh Nia Dinata tampaknya cukup laris diminati. Fim-film yang termasuk ke dalam tema yang tidak biasa tersebut contohnya film ―Arisan‖, film ―Quickie Express‖ dan film ―Mereka Bilang Saya Monyet‖ karya Djenar Maesa Ayu.

Beberapa contoh di atas mengungkapkan fenomena yang diderita oleh kebanyakan film Indonesia, artistik dan inovatif namun tidak laku di pasar dalam negeri. Film-film Garin sudah terbukti banyak mendapat penghargaan dari berbagai festival film di luar negeri, namun sampai saat ini film-filmnya tidak menghasilkan penjualan yang bagus dan memberikan manfaat ekonomi bagi pembuatnya.

(12)

Ram Soraya, keduanya merupakan pemain lama. Ram Soraya sebelumnya telah memproduseri beberapa film ―Warkop‖ bersama Ram Punjabi. Film-film produksi mereka berada di puncak tangga layar lebar di era Pasca Reformasi, misalnya ―Ayat-ayat Cinta‖, ―Get Married‖, ―Tenggelamnya Kapal Van Der Wick‖, ―Single‖ dan lain-lain. Film-film ini termasuk film-film yang laris dan dikemas secara inovatif.

Apresiasi penonton lokal saat ini sudah makin baik, terbukti dari hasil pendapatan beberapa film yang luar biasa seperti apresiasi untuk film ―Habibie dan Ainun‖, ―The Raid‖ dan ―Berandal‖, ―Laskar Pelangi‖ dan ―Sang Pemimpi‖, ―Ayat-ayat Cinta‖, dan yang terakhir ―Surga Yang Tak Dirindukan‖. Paradoks kreativitas yang muncul dalam industri film menjadi sebuah tantangan untuk munculnya ide-ide baru yang lebih kreatif dan inovatif dari sebelumnya. Bagaimana memadukan pengetahuan tentang seni-budaya dengan manajamen dan bisnis menjadi sebuah kreatifitas baru di masa depan yang layak untuk diusahakan dan diperjuangkan.

(13)

Instagram. Cara-cara berpromosi seperti ini terbukti efektif untuk menarik minat penonton menyaksikan film-film mereka. Beberapa sayembara juga dilakukan untuk penonton mulai merencanakan tidak lupa menyaksikan ―AADC 2‖ di bulan April 2016. Sungguh sebuah langkah dan teknik berpromosi yang baik. Terbukti film ―AADC 2‖ mampu memperoleh penonton sebanyak 3,6 juta orang selama lima minggu penayangan!

Pemetaan Kreativitas

Pengelolaan kreativitas (dan paradoks) yang terjadi di dalamnya, oleh para pembuat film, serta hasil temuan-temuan sebelumnya, mendorong penulis untuk memetakan lebih lanjut proses pengelolaan kreativitas tersebut ke dalam kerangka literatur tentang hal tersebut yang telah penulis ketahui. Duapuluh (20) film hasil karya beberapa movie-maker dipilih sebagai representasi. Beberapa pertanyaan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditawarkan oleh Smith, W.K, dan Lewis, M.W. (2010) sebagai berikut:

1. Apakah proses pengelolaan kreativitas telah meneguhkan kebutuhan pengakuan dan identitas tiap-tiap orang tetapi juga mengarahkannya pada kebutuhan kolektif?

2. Mendorong tim untuk mendukung satu sama lain, sementara pada saat yang sama menantang satu dengan yang lain melalui debat yang berkualitas?

3. Memajukan eksperimen, pembelajaran berkelanjutan, dan kinerja yang tinggi?

4. Menentukan bagaimana struktur –aturan, hierarki, perencanaan, dan sejenisnya—menyediakan batasan yang perlu tanpa mematikan improvisasi?

5. Memadukan kesabaran dan rasa mendesak?

(14)

Di samping pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti juga menggunakan beberapa definisi kreativitas seperti yang dijelaskan berikut ini. Kreatif yang didefinisikan sebagai ide-ide yang bersifat baru atau memiliki keutamaan (novelty), orisinal, dan bermanfaat (memberi pesan-pesan yang baik, bermakna), digunakan untuk meng-analisis beberapa film Pasca Reformasi yang dibuat oleh beberapa movie-maker di bawah ini. Definisi baru atau novel, dilekatkan pada film dengan ide cerita atau cara menuangkan cerita yang berbeda, berasal atau diadopsi dari cerita novel tapi harus mengandung ide-ide kebaruan. Definisi orisinal, diartikan sebagai ide-ide baru yang belum pernah ada sebelumnya, murni kreativitas pembuatnya. Ini bisa dilekatkan pada ide cerita, latar (setting), dialog-dialog, ilustrasi musik, dan sebagainya.Penulis bertukar pendapat dengan beberapa pakar serta pengamat film dan budaya di Bandung mengenai analisis dan pemetaan ini.

Hasil analisis dan pemetaan duapuluh film Pasca Reformasi, berdasarkan diskusi dengan tiga pakar, tampak pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1. Analisis Kreativitas Film-film Pasca Reformasi

No Judul Film Produser/

(15)

No Judul Film Produser/ 13 Sokola Rimba Mira Lesmana

/ Riri Riza

Relasi Kreativitas dengan Penetrasi Pasar

Keduapuluh fim di Tabel 7.1. dilihat kesesuiannya dengan kriteria ―kreatif‖ menurut para ahli serta menjawab atau tidak menjawab pertanyaan 1-6 tentang pengelolaan kreativitas. Film-film tersebut telah diobservasi langsung dengan cara ditonton, bertanya pada yang pernah menonton, atau dibaca sinopsisnya,untuk kemudian didiskusikan.

(16)

marketability). Peneliti mencari data tambahan berupa jumlah perolehan pendapatan atas film yang berasal dari tiket yang terjual. Analisis dan pemetaan ini, didefinisikan sebagai relasi tingkat kreativitas dan tingkat kemampuan penetrasi pasar dari sebuah film.

Berikut ini adalah hasil analisis dan pemetaan keduapuluh film representatif Pasca Reformasi, dalam relasinya dengan tingkat kreativitas dan kemampuan penetrasi pasar, seperti tampak pada Gambar 7.2.

Gambar 7.2. Relasi Kreativitas dengan Penetrasi Pasar

Penjelasan atas masing-masing kuadran (K.1 sampai K.4) diuraikan sebagai berikut:

Kuadran 1 (K.1):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini adalah jenis film yang dinilai cukup tinggi kreativitasnya, namun tidak atau belum memperoleh apresiasi yang baik dari penonton. Film-film tersebut adalah: ―Puisi Tak Terkuburkan‖, ―Denias: Senandung di Atas Awan‖, ―Tabula Rasa‖, ―Sokola Rimba‖, ―Lima Elang‖, ―Miracles: Jatuh dari Surga‖, :Aach.. Aku Jatuh Cinta‖.

(17)

film garapan Garin Nugroho, sekalipun sudah berkolaborasi dengan Raam Punjabi di film nomor 20) penonton kita lebih suka film yang ―ringan‖, (ii) tidak menggunakan aktor/aktris terkenal, dan (iii) terlalu biasa untuk penonton remaja yang butuh hiburan happy ending gaya Hollywood.

Kuadran 2 (K.2):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini adalah jenis film yang dinilai cukup baik, bahkan ada yang sangat baik, kemampuan penetrasi pasarnya. Namun, tidak semua dari film-film itu memiliki tingkat kreativitas yang tinggi. Film-film tersebut adalah: ―Petualangan Sherina‖, ―Jelangkung‖, ―Get Married‖, ―Bulan Terbelah di Amerika‖, ―Sang Pemimpi‖, ―The Raid‖, dan ―Habibie Ainun‖.

Penulis menonton semua film-film tersebut, kecuali film ―Jelangkung‖. Ketika mendiskusikannya dengan sesama penonton, penulis sepakat bahwa film-film tersebut rata-rata memenuhi kriteria kreativitas yaitu, (i) tampak adanya ide-ide baru (keutamaan), (ii) ada orisinalitas, dan (iii) memiliki nilai-nilai yang bermanfaat (menyampaikan pesan yang sarat makna) kepada penonton.

Kuadran 3 (K.3):

(18)

cerita dan penyyutradaraan kurang digarap dengan baik. Film kedua yaitu ―Penghuni Lain‖ yang digarap oleh Roman Malik, merupakan film horor –yang mengikuti trend film horor lain pada saat ini—yang juga kurang menarik. Alasan penonton yang pada saat itu turut menyaksikan pemutarannya di bioskop adalah karena aktor/aktrisnya kurang terkenal (Febi Febiola mungkin sudah tidak seterkenal dulu) dan ceritanya memang kurang menarik.

Kuadran 4 (K.4):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini adalah jenis film yang dinilai sedang-sedang saja kreativitasnya, namun memiliki kemampuan penetrasi pasar yang cukup baik. Film-film tersebut adalah: ―Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan‖, ―Kuntilanank 2‖, dan ―5 CM‖. Film ―Virgin: Ketika...‖ dinilai memiliki tingkat kreativitas yang cukup, karena sekalipun film-film yang serupa dengan cerita ini sudah ada sebelumnya, namun film ―Virgin...‖ berhasil menyajikan sesuatu yang lain kepada penonton khususnya yang berusia remaja. Penceritaan dalam film ini disampaikan dengan cukup baik. Selain itu, aktor/aktris yang memainkan peran-peran di dalamnya, adalah para model yang sudah terkenal dan mereka berhasil membawakan peran masing-masing dengan baik sehingga memperoleh nominasi di Festival Film Bandung dan Festival Film Indonesia.

(19)

P

a

rad

o

k

s d

an

Man

aj

e

m

e

n

K

re

ati

(20)

Hasil rangkuman pada Tabel 7.2 tersebut dituangkan ke dalam kriteria (faktor-faktor) yang harus ada dalam sebuah manajemen bisnis perfilman di Indonesia seperti tampak pada Gambar 7.3 dan 7.4.

Gambar 7.3. Proses Produksi Film Indonesia (Sumber : Manurung, E.M., 2016)

Sumber : Manurung, E.M., 2016

(21)

Sejak awal proses pembangunan (development) ide cerita, penulisan skrip, pemilihan sutradara, sampai proses berlangsungnya syuting (pemililhan lokasi, aktor/aktris, kru dll.) di tahap produksi, sang produser perlu untuk terus mendorong timnya dan menghidupkan suasana yang memungkinkan timbulnya ide-ide kratif yang selalu baru dan mutakhir. Jangan terjebak trend (kondisi pasar) masa kini sehingga kreativitas terlupakan. Kreativitas pribadi harus didorong untuk terus muncul, dan didiskusikan dalam kelompok.

Penulisan skrip yang kurang baik, atau pemilihan tokoh (aktor, aktris) yang kurang menjiwai perannya, tidak bisa melakukan penokohan dengan baik misalnya, akan membuat gagalnya produksi film unggul Indonesia. Itu sebabnya, saat ini banyak produser yang menuangkan ide cerita berdasarkan novel yang sudah laris, ada fan-base-nya. Aspek sinematografi seperti tempat atau lokasi pembuatan film, pengambilan gambar, pengaturan cahaya, dan suara, harus dibuat maksimal. Film yang bagus/unggul adalah film yang tidak akan dilupakan begitu saja oleh penontonnya. Film itu harus dikemas apik dan menarik supaya yang menonton puas. Apalagi masyarakat Indonesia sudah terbiasa dan dimanja dengan film-film Hollywood yang relatif sangat maju secara teknologi, karenanya sinematografi yang memuaskan adalah syarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Proses editing film di laboratorium menjadi syarat yang cukup menentukan.

Di tahap pasca produksi, editing film di laboratorium dan proses distribusi serta pemasarannya wajib dicermati dan dilakukan terobosan-terobosan terbaru untuk mengundang jumlah penonton lebih banyak lagi di penayangan film tersebut kelak di layar lebar.

(22)

Ditambah lagi dengan kuis dan hadiah menarik bagi para followers yang bisa menebak jalan cerita atau apapun yang ditanyakan tentang film tersebut. Tampaknya Mira dan Riri tahu betul siapa sasaran calon penonton film ―AADC 2‖ dan bagaimana terus menarik mereka untuk menanti-nantikan dan menyambut peluncuran film ―AADC 2‖ di bioskop dengan antusias. Gaya berpromosi dengan bahasa yang ringan ala remaja, serta soal-soal kuis yang mengedepankan nuansa cinta dan romantisme tokoh-tokoh utama di ―AADC 2‖, tampaknya sangat pas dengan penonton yang disasar. Belum lagi, ketika para pemain ―AADC 2‖ road show ke beberapa kota dan mendatangi langsung para penggemarnya di bioskop, membuat penonton lain atau penonton yang sama ingin terus menonton dan menonton lagi. Strategi yang diterapkan Mira Lesmana dan kawan-kawan ini merupakan contoh strategi pemasaran film yang sangat pas untuk masa kini.

Contoh strategi pemasaran lain yang juga baik adalah strategi yang diterapkan oleh Falcon Pictures untuk film ―My Stupid Boss‖ yang baru-baru ini tayang di layar lebar. Hampir setiap hari masyarakat Indonesia melihat promosinya di televisi, media sosial,cinema XXI, baliho dan sebagainya. Promosi di televisi juga menggunakan berbagai cara, bukan hanya dalam bentuk kuis seperti yang biasa dilakukan, tapi juga masuk ke beberapa infotainment yang bukan sekedar acara gosip, seperti ―Hitam Putih‖ dan tayangan-tayangan berita. Di beberapa tayangan berita publikasi penayangan film ―My Stupid Boss‖ di bioskop juga didukung oleh Bapak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta. Promosi film ―My Stupid Boss‖ terkesan ―gila-gilaan‖, ini tidak mengherankan karena di saat yang sama film tersebut bersaing dengan ―AADC 2‖ dan film Hollywood ―X-Men: Apocalypse‖.

(23)

Selain melakukan interpretasi terhadap kuadran dua (K.2) dan menuangkannya ke dalam sebuah model manajemen (pengelolaan) kreativitas yang baik dalam industri/bisnis film Indonesia yang tampak pada Gambar 7.4, peneliti juga menelusuri alasan-alasan di balik munculnya pemetaan film-film yang menurut peneliti kurang baik pengelolaan paradoks kreativitasnya, yaitu yang muncul pada kuadran satu, tiga, dan empat. Hasil analisis dituangkan pada Gambar 7.5., 7.6., dan 7.7.

Gambar 7.5. Model Pengelolaan Kreatifitas K-1 (Sumber : Manurung, E.M., 2016)

FILM INDONESIA

KREATIF NAMUN KURANG KOMPETITIF

IDE CERITA BARU

RISET YANG MEMADAI

SKRIP YANG BAIK SINEMATOG

RAFI

(24)

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.6. Model Pengelolaan Kreatifitas K-3

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.7. Model Pengelolaan Kreatifitas K-4 ()

FILM INDONESIA YANG TIDAK UNGGUL DAN TIDAK KOMPETITIF

IDE CERITA MENIRU YANG

SUDAH ADA

FILM INDONESIA YANG KURANG

KREATIF NAMUN LAKU

(KOMPETITIF)

PEMILIHAN AKTOR YANG

SESUAI

SINEMATO-GRAFI MEMUASKAN STRATEGI

(25)

Film yang merupakan produk budaya sekaligus industri kreatif, harus dikelola sesuai dengan masanya. Pengelolaan film di masa kini, era Pasca Reformasi, tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Produk budaya seperti film, harus mampu dilihat dari perspektif manajemen kontemporer juga.Kreatifitas sebagai modal utama, harus senantiasa dipertahankan dan didorong terus-menerus ke arah timbulnya inovasi, terobosan-terobosan yang baru. Dari segi proses produksinya maupun distribusi dan pemasarannya. Inovasi tidak berhenti di proses produksi dan penceritaan sebuah film saja, namun juga masuk/harus sampai ke lini berikutnya yaitu lini distribusi dan promosi. Sejumlah anggaran harus dipikirkan oleh pihak produser dan timnya.

Produk budaya tetap mengedepankan kreatifitas dan inovasinya, tanpa mengabaikan aspek ekonominya. Aspek ekonomi dikelola dengan cara menata-ulang fungsi-fungsi yang belum lengkap saat ini, yaitu distribusi dan pemasaran. Strategi pemasaran juga menjadi hal yang tidak boleh luput dari rencana kegiatan dan anggaran produksi film di Indonesia. Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh movie-maker memang sudah mulai nampak, seperti yang telah dilakukan Mira Lesmana dan kawan-kawan. Namun demikian, karena berlangsung secara beragam, terpisah dan sendiri-sendiri, dirasakan kebutuhan yang cukup penting juga tentang ekonomi pasar dan manajemen budaya bagi para movie-maker.

(26)

Manajemen Bisnis Film Berorientasi Kreativitas

Sebagai sebuah industri yang unik, penuh dinamika dan sangat lentur, perlakuan atas film akan berbeda dari industri manufaktur yang lain. Film yang merupakan industri kreatif akan memerlukan proses bisnis dan manajemen bisnis yang berbeda pula. Tidak seperti industri manufaktur klasik lain yang menekankan biaya dan efisiensi, proses bisnis film yang berorientasi pada kreativitas dan berinovasi dalam pasar akan memerlukan pendekatan atau model proses bisnis tersendiri.

(27)

Gambar 7.8. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM oleh Seidel, S., Roseman, M.(2008).

Sumber: Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.9. Model Pengelolaan Paradoks Kreativitas dalam Bisnis

Pada kerangka model pengelolaan kreativitas dalam bisnis di

(28)

Gambar

Gambar 7.1. Situasi Paradoksal dalam Proses Kreatif
Tabel 7.1. Analisis Kreativitas Film-film Pasca Reformasi
Gambar 7.2.
Tabel 7.2. Manajemen Bisnis Film Berorientasi Kreativitas
+5

Referensi

Dokumen terkait

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

The methodology presented here is useful for situations where massive sensor data need to be compressed in a way that allows a progressive retrieval with increasing

Jika jumlah siswa SD Sukamaju 245 orang, berapa orang jumlah siswa

Saat Indonesia merdeka, desa menjadi satu bagian dalam negara yang memiliki karateristik yang sama sebagai lingkungan politik, sosial, ekonomi dan budaya seperti dalam

To assess the phenological changes in Moist Deciduous Forest (MDF) of western Himalayan region of India, we carried out NDVI time series analysis from 2013 to 2015 using Landsat 8

Dengan bangga, apresiasi tinggi juga kami alamatkan kepada para fasilitator lokal atau fasilitator negeri, yang mengambil peran sangat besar dalam membantu mem- fasilitasi negeri

This paper presents the results of forest change including deforestation, forest degradation, reforestation, and revegetation detected by annual MODIS PTC and its

Pasta gigi Formula berdekatan dengan atribut rancangan produk, hal ini mencirikan bahwa pasta gigi Formula memiliki posisi yang kuat pada atribut rancangan