BAB II
TINJAUAN UMUM MEDIASI
A. Definisi Mediasi dan Perkembangan Mediasi 1. Definisi Mediasi
Para penulis dan praktisi yang berusaha menjelaskan pengertian
mediasi.Tetapi, upaya untuk mendefinisikan mediasi bukanlah suatu hal yang
mudah. Hal ini karena mediasi tidak memberi satu model yang dapat diuraikan
secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.
Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan
sengketa dengan bantuan pihak ketiga. Peranan pihak ketiga tersebut adalah
dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi
masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan sebuah proposal.Proposal
tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa
tersebut.11
Mediasi adalah forum penyelesaian sengketa yang sekarang sudah juga
mulai berkembang. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga yang netral. Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Badan Mediasi Asuransi
Indonesia (BMAI), mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui upaya
musyawarah dan mufakat antara pemohon dan anggota yang difasilitasi oleh
mediator.12
Istilah mediasi cukup pesat dipopulerkan oleh para akademisi dan praktisi
dengan mencakup secara jelas makna mediasi dalam berbagai literature ilmiah
melalui riset dan studi akademik.Para praktisi juga cukup banyak menerapkan
mediasi dalam praktek penyelesaian sengketa.Namun, istilah mediasi tidak mudah
11
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Cetakan I, (Jakarat : PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal.29.
12
didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh karena cakupannya cukup luas.
Mediasi tidak memberikan model yang dapat diuraikan secara terperinci dan
dibedakan proses pengambilan keputusan lainnya.13
Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa
mediasi adalah kegiatan menjembatani dua pihak yang bersengketa guna
menghasilkan kesepakatan (agreement).Kegiatan ini dilakukan oleh mediator
sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternative penyelesaian
sengketa.Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk
mencapai kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan
persengketaan.
Makna mediasi secara etimologi dan terminology yang diberikan oleh para
ahli. Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang
berarti berada di tengah. Makna itu menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak
ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak.
14
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasehat. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung 3 (tiga) unsur penting15
a) Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang
terjadi antar dua pihak atau lebih. , yaitu:
b) Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang
berasal dari luar pihak yang bersengketa.
c) Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak
sebagai penasehat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam
pengambilan keputusan.
13
Nurnaningsih Amriani, Op.Cit.,hal.31.
14Ibid.,
hal. 33.
15
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan
pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan perselisihannya.Penjelasan ini amat penting guna
membedakan dengan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian lainnya seperti
arbitrase, negosiasi, adjudikasi dan lain-lain.Mediator berada pada posisi tengah
dan netral antara para pihak yang bersengketa dan mengupayakan menemukan
sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang
bersengketa.Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum sifatnya dan belum
menggambarkan secara kongkrit esensi dan kegiatan mediasi secara
menyeluruh.Oleh karena itu, perlu dikemukakan pengertian mediasi secara
terminology yang diungkapkan para ahli resolusi konflik.16
Para ahli resolusi konflik beragam dalam memberikan definisi mediasi
sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Lawrence Bolle mengatakan
“Mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a
mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to
assist the parties the reach an outcome to which of them can assent”.17
Sedangkan J. Folberg dan A. Taylor memaknai mediasi dengan “……the
process by which the participants, together with the assistance of a neutral
persons, systematically isolate dispute in order to develop options, consider
alternative and reach consensual settlement that will accommodate their
needs”.18
16
Gatot Soemartono, R.M, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal.44.
17Ibid
.
18Ibid.,
hal.46
Pengertian mediasi yang diberikan dua ahli tersebut lebih menggambarkan
esensi kegiatan mediasi dan peran mediator sebagai pihak ketiga. Bolle
menekankan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan
Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Mediasi, yang dimaksud dengan mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian
sengketa. Ada 2 (dua) jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar
pengadilan.Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta,
perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa
yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN) dan dalam asuransi ada
dikenal Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Mediasi yang berada di
dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1
Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan
pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan
Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya.19
2. Perkembangan Mediasi
Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu.Masyarakat Indonesia
merasakan, penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada
kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai
kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat.Masyarakat mengupayakan
penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap menjunjung tinggi nilai
kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individual.Masyarakat
Indonesia, sebagaimana masyarakat lainnya di dunia, merasakan bahwa konflik
atau sengketa yang muncul dalam masyarakat tidak boleh dibiarkan
terus-menerus, tetapi harus diupayakan jalan penyelesaiannya.Dampak dari konflik
tidak hanya memperburuk hubungan antar para pihak, tetapi juga dapat
mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.20
Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada
prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak.Para pihak dapat
menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Para
19
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi.
20
pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang
mereka hadapi tetapi mereka cenderung memikirkan penyelesaian untuk masa
depan, dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka secara
berimbang. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak (walaupun
tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan
mufakat.Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar
pengadilan.
Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam
setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa.Musyawarah
mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar negara, yaitu
Pancasila.Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Nilai tertinggi ini,
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
sejumlah peraturan perundang-undangan dibawahnya.Prinsip musyawarah
merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencapai solusi
terutama di luar jalur pengadilan.Nilai musyawarah terkonkritkan dalam sejumlah
bentuk alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, arbitrase, negosiasi,
fasilitasi, dan berbagai bentuk penyelesaian sengketa lainnya.21
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah
mufakat yang berujung damai juga digunakan di lingkungan pengadilan, terutama
dalam penyelesaian sengketa perdata.Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan
perundang-undangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih
memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan di
Indonesia.Bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk
memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian
sengketa. Dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain
penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama,
melahirkan pihak menang atau kalah, cenderung mempersulit hubungan para
21Ibid.,
pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak-pihak leluasa mengupayakan
opsi penyelesaian sengketa mereka.
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 mengisyaratkan bahwa
penyelesaian sengketa terjadi di kalangan masyarakat dilakukan melalui jalur
pengadilan (litigasi).Badan peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman
yang mewujudkan hukum dan keadilan.Meskipun demikian, sistem hukum
Indonesia juga membuka peluang menyelesaiakan sengketa di luar jalur
pengadilan (non litigasi). Green menyebutkan dua model penyelesaian sengketa
ini dengan metode penyelesaian sengketa dalam bentuk formal dan informal.
Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara (sengketa) menganut
asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.Asas ini berlaku pada lembaga pemegang
kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badan
peradilan-peradilan di bawahnya.
Penerapan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan mengalami kendala
dalam praktek peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya
tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama
peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi
kabupaten/kota.Penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan
banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.Hal ini disebabkan
sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan
upaya hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan
kembali.Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari
mendapatkan hak-hak secara cepat.Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena
berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.22
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi
pola penyelesaian sengketa (perkara) dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau
sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Pengadilan adalah
satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa, dan masyarakat
tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa mereka. Pandangan ini
tidak salah, karena pengadilan memang diberikan otoritas oleh negara untuk
menyelesaikan sengketa.Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia
sebenarnya memiliki aturan hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
sengketa secara cepat baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan.
Dilingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi,
dimana hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar
pengadilan dapat ditempuh jalur abitrase, mediasi, negosiasi atau fasilitasi sebagai
bentuk alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan.Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa dengan upaya damai
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.Dalam Pasal 56 disebutkan pengadilan tidak boleh menolak untuk
memutus atau memeriksa suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
memutuskannya.Keputusan yang diambila hakim tidak menutup kemungkinan
usaha penyelesaian perkara secara damai.
22
pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya, dan
mungkin persoalan mereka diketahui publik.Dalam konteks ini, masyarakat
berada pada posisi ambivalen. Pada satu sisi, masyarakat ingin perkaranya cepat
selesai namun pada sisi lain mereka tidak bersedia berhadapan dengan pengadilan.
Adakah cara lain yang dapat ditempuh guna menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan yang memiliki landasan yuridis kuat dalam negara hukum Indonesia.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution), dan
berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut
adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para
pihak bersengketa agar menunjukkan itikad baik, karena tanpa itikad baik apapun
yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip
win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan dalam
dunia bisnis akhir-akhir ini, sehingga keberadaan Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin
berkembang.23
Posisi mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini berada di bawah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur dua hal utama, yaitu
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 1 disebutkan arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, dan penilaian ahli.
23Ibid.,
payung alternatif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa terdiri
atas sejumlah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif
penyelesaian sengketa cukup terbatas diatur dalam undang-undang ini, yaitu
hanya satu pasal yaitu Pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam pasal tersebut tidak
ditemukan penjelasan mengenai mediasi, persyaratan mediator, pengangkatan
mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan pihak ketiga, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena itu, sangat tepat bla
undang ini disebut sebagai undang arbitrase dan bukan
undang-undang mediasi.
Lembaga atau pusat mediasi di Indonesia tumbuh dan berkembang,
khususnya setelah diterbitkannya Perma No. 2 Tahun 2003.Meskipun aturan ini
jelas mengatur tentang mediasi di peradilan. Jumlah ini akan semakin banyak
seiring adanya tuntutan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.
Di Indonesia terdapat 2 (dua) lembaga mediasi yang telah terakreditasi
oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu The Indonesian Mediation
Center (Pusat Mediasi Nasional) dan Indonesian Institute for Conflict
Transformation (IICT). Untuk lembaga yang kedua ini lebih tepat disebut lembaga
riset karena bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Meskipun
demikian lembaga ini juga melakukan aktifitas yang hampir sama dilakukan oleh
mediasi, seperti menyelenggarakan pelatihan mediator bagi hakim-hakim
pengadilan negeri.24
Pusat Mediasi Nasional yang berdiri pada 4 September 2003 menjelang
ditetapkannya Perma No. 2 Tahun 2003 merupakan salah satu lembaga mediasi
yang telah terakreditasi oleh Pengadilan Tinggi Republik Indonesia melalui Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/044/SK/VII/2004 tanggal 6 Juli
2004. Lembaga ini merupakan realisasi kebijakan program-program pimpinan
MA dalam upaya meningkatkan upaya damai di luar pengadilan, sebagaimana
24
yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung RI dalam temu karya tentang mediasi
pada 7 Januari 2003, yaitu ”Mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional
(National Mediation Center)”.25
Agar program mediasi di Pengadilan Negeri bisa berguna sepenuhnya di
seluruh Indonesia, PMN bertujuan untuk lebih lanjut membantu Mahkamah
Agung dalam menyediakan pelatihan mediasi untuk para hakim (seluruhnya
terdapat 2.800 hakim) diutamakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
dan Bandung.Implementasi dari kegiatan ini sepenuhnya tergantung pada donor
pendukung.
Follow up kegiatan tersebut di iringi dengan Program Post Monitoring
untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, Bandung dan Surabaya. Post
Monitoring terdiri dari: Co-mediation mediator hakim dengan pelatih-pelatih
PMN dan Refresh Course untuk mediator hakim, seperti diskusi dan pengelolaan
materi yang dipandang kurang dipahami. Terdapat program tambahan untuk
Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, sekelompok dari 20 mediator PMN yang
terdaftar memberikan “jasa mediasi pro-bono” untuk kasus mediasi di Pengadilan Menurut Direktur Pusat Mediasi Nasional, Ahmad Fahmi Sahab, Pusat
Mediasi Nasional ini menangani resolusi sengketa, bukan resolusi konflik. Oleh
karena itu bidang garapannya adalah sengketa komersial.Disamping itu, pusat
mediasi ini juga melakukan community development, meskipun kegiatan ini belum
optimal.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan mediator, Pusat Mediasi Nasional
bekerjasama dengan Mahkamah Agung memberikan pelatihan dan
pendidikan.Training ini terbuka bagi umum, khususnya bagi hakim untuk menjadi
mediator.Tempat pelatihan dilaksanakan di kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, dan Bandung.Kegiatan ini dibiayai oleh IALDF-AusAID (Indonesia
Australia Legal Development Facility) dan pada fase pertama berlangsung pada
bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.
25Ibid.,
Negeri. Kegiatan fase pertama dimulai pada bulan Desember 2005 sampai Mei
2006.
Disamping Pusat Mediasi Nasional, Indonesian Institute for Conflict
Transformation (IICT) juga merupakan lembaga mediasi (riset) yang telah
terakreditasi.Lembaga ini berdiri pada tanggal 11 April 2002, dan bergerak di
bidang transformasi dan manajemen konflik.Keberadaan IICT diharapkan dapat
memberi sumbangsih bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang
efektif.Sesuai dengan visinya lembaga ini mengembangkan pola-pola resolusi
konflik untuk membangun masyarakat demokratis, harmonis, dan menghargai
kemajemukan serta kesetaraan. Aktifitasnya terkait dengan mediasi di peradilan,
ia melakukan kegiatan penelitian yang mendukung pengembangan resolusi
konflik di berbagai wilayah di Indonesia dan penyelesaian sengketa alternatif
yang berbasis pada kepentingan dan kebutuhan sebagai upaya pengembangan
akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice).
Lembaga yang saat ini dipimpin oleh seorang direktur eksekutif, yaitu
Fatahillah AS, SH., MLI., M.Si. telah melakukan riset terhadap 4 pengadilan
percontohan dalam melaksanakan Perma No. 2 Tahun 2003. Obyek riset ini
meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya,
Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batusangkar.Hasil penelitian
tersebut kemudian disosialisasikan di beberapa tempat, sekaligus sosialisasi
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 itu sendiri. Kegiatan lain adalah
memberikan pelatihan bagi para hakim Jawa Tengah. Jika PMN memberikan
pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur,
IICT memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan yang berasal dari Jawa
Tengah. 26
26Ibid.
,hal. 45.
Disamping dua lembaga yang terakreditasi diatas, respon untuk
membentuk lembaga mediasi muncul dari kalangan asuransi.Mereka mendirikan
“Badan Mediasi Asuransi” pada tanggal 12 Mei 2006.Tujuan lembaga ini
berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak Tertanggung
atau Penanggung Polis/Ahli Waris dan menyelesaikan sengketa antara pengguna
asuransi dan lembaga asuransi melalui jalur non litigasi.Cara ini merupakan
pilihan karena penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dipandang lebih
efektif dan efisien karena mengkedepankan putusan win-win solution.
B. Unsur, Tujuan dan Jenis Mediasi 1. Unsur Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga
yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif.Mediator dalam
mediasi berbeda dengan arbiter atau hakim.Mediator tidak mempunyai
kewenangan untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang
bersengketa.Kelebihan penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian
sengketa dilakukan oleh seorang yang benar-benar percaya kemampuannya untuk
mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa.Mediator
membimbing para pihak untuk melakukan negosiasi sampai terdapat kesepakatan
yang memihak para pihak.Kesepakatan ini selanjutnya dituangkan dalam suatu
perjanjian.Dalam mediasi tidak ada pihak yang menang atau kalah, karena
kesepakatan akhir yang diambil adalah hasil dari kemauan para pihak itu sendiri.27
Dari penjelasan pengertian mediasi diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa mediasi mengandung unsur-unsur antara lain28
a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas
kesukarelaan melalui suatu perundingan. :
b. Mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa
didalam perundingan.
c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
27
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
(Yogyakarta : Gama Media, 2008), hal.56.
d. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan
selama perundingan berlangsung.
e. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.
2. Tujuan Mediasi
Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun
lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk29
(a) Menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan;
:
(b) Melenyapkan kesalahpahaman;
(c) Menentukan kepentingan yang pokok;
(d) Menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; dan
(e) Menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri
oleh para pihak.
3. Jenis Mediasi
Secara umum, mediasi dapat dibagi ke dalam 2 (dua) jenis yakni mediasi
dalam sistem peradilan dan mediasi di luar pengadilan. Mediasi yang berada di
dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1
Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan
pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan
Negeri tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator
swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian
sengketa.30
a. Mediasi dalam Sistem Peradilan
Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan
dilaksanakan dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta
persetujuan damai (akta perdamaian).
29Ibid.,
hal.57.
30Ibid.,
Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam bentuk
tertulis.Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam lingkup pengadilan
tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan.
Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi
menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh
para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul pencabutan
perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Pasal 17 ayat (1) dan (6)).
b. Mediasi di Luar Pengadilan
Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung di
luar pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.Hal tersebut dapat
dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging pada
kebanyakan masyarakat Indonesia.Misalnya seorang kepala adat atau kepala
kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah masalah/
sengketa dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena mediasi di luar
pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu
maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-beda sesuai dengan
budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah tersebut.
Sampai saat ini, perkembangan mediasi sudah sangat baik.Masyarakat
modern yang dulunya cendrung memilih bentuk penyelesaian perkara melalui
litigasi, sekarang sudah berubah memilih mediasi. Hal tersebut dapat dilihat dari
pengintegrasian proses mediasi kedalam bentuk perundang-undangan. Misalnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan
Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.
c. Mediasi-Arbitrase
Mediasi-Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang
yang netral diberi kewenangan untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia
pun mempunyai kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa
mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan jika tidak menghasilkan
penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang putusannya final mengikat.
d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan
Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi
ad-hoc terbentuk dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan
mediator untuk menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak
permanen. Jenis ini bersifat sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus
untuk menyelesaikan perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan
ketika selesai maka mediasi ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya,
mediasi kelembagaan merupakan mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk
secara institusional/ melembaga, yakni suatu lembaga mediasi yang menyediakan
jasa mediator untuk membantu para pihak.
C. Kelebihan dan Kekurangan Mediasi 1. Kelebihan Mediasi
Secara umum pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai
penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapa keuntungan31
a) Proses cepat. Persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusat-pusat
mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya
berlangsung dua hingga tiga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan
setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai
satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu
yang digunakan dalam proses arbiterase dan proses litigasi. , yaitu:
31
Abdul Halim, Kontekstualisasi Mediasi Dalam Perdamaian, diunduh pada situs
b) Bersifat rahasia. Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan
mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses
pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda
dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang
pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri
oleh publik atau diliputi oleh pers sehingga sebelum pengambilan
keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini publik yang ada
gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa
dalam menyikapi putusan majelis hakim.
c) Tidak mahal. Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan
pelayanan dengan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar
biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang
pengacara kurang dibutuhkan.
d) Adil. Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan
kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang
bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau
dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak.
e) Pemberdayaan individu. Orang-orang yang menegosiasikan sendiri
masalahnya sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada
mereka yang melakukan advokasi melalu wakil seperti pengacara.
Selain itu, kelebihan dari mediasi antara lain32
a) Keputusan yang hemat;
:
b) Penyelesaian secara cepat;
c) Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak;
d) Kesepakatan yang komprehensif;
e) Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan; dan
f) Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
2. Kekurangan Mediasi
Dalam mediasi terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah tidak
ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat
disimpangi oleh para pihak, mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya
lebih memperhatikan pihak lainnya, mediasi bisa mengalami kegagalan
dikarenakan mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama
perundingan berlangsung sehingga dimungkinkan para pihak tidak menemui
penyelesaian yang sifatnya final dan memaksa secara langsung. Dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tidak memberikan pengertian yang jelas tentang berbagai
bentuk penyelesaian sengketa termasuk mengenai mediasi, kecuali arbitrase.
Bahkan proses atau mekanisme masing-masing bentuk lembaganya juga tidak
diatur sebagian besar hanya mengatur secara lengkap tentang proses Arbitrase.
Dalam Pasal 6 ayat (3) hanya menyebutkan bahwa dalam hal sengketa atau beda
pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka
atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator. Pada intinya pasal ini memberi peluang kepada masyarakat untuk
menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.33