5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Uraian Tumbuhan
Pinang (Areca catechu L.) merupakan salah satu tanaman Palmae yang terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama Pulau Sumatera. Tanaman ini dikenal dengan nama lain, seperti pineng (Sumatera), jambe (Jawa), gahat (Kalimantan), buah jambe (Nusa Tenggara), mamaan (Sulawesi), bua (Maluku) dan kamcu (Irian) (Dalimartha, 2009), dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama
betel nut, areca atau areca-nut palm, sedangkan nama ilmiahnya adalah Areca
catechu Linnaeus (Staples dan Bevacqua, 2006).
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tata nama pinang adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae/Palmae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu L.
6 2.1.2 Morfologi tumbuhan
Pohon pinang berbatang langsing, tumbuh tegak, tinggi 10-30 m, diameter 15-20 cm, tidak bercabang, dengan bekas daun yang lepas. Daun majemuk menyirip, tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk roset batang dan panjang helaian daun 1-1,8 m. Pelepah daun berbentuk tabung, panjang sekitar 80 cm dan tangkai daun pendek. Tongkol bunga dengan seludang panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap. Bakal buah beruang satu. Buah bentuk bulat telur sungsang memanjang, panjang 3,5-7 cm, dinding buah berserabut, warna merah jingga jika masak. Biji satu, berbentuk seperti kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan dangkal, panjang 15-30 mm, permukaan luar berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan (Dalimartha, 2009).
2.1.3 Kandungan sabut pinang
Sabut pinang mengandung pektin 25%, pektin oksalat 2%, hemiselulosa 2%, selulosa 40% dan lignin 18% (Chanakya dan Malayil, 2011), serta mengandung flavonoid 52,57 mg/g (Zhang, dkk., 2009).
a. Pektin
7
memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Towel dan Christensen (1973) menyatakan bahwa sejak dahulu pektin digunakan dalam penyembuhan diare dan menurunkan kadar kolesterol darah (Hariyati, 2006). Pektin sebagai antidiare bekerja dengan cara membentuk gumpalan seperti gel, sehingga feses yang terbentuk menjadi lebih padat. Pektin juga bekerja melawan bakteri tertentu yang dapat menyebabkan diare dan oleh flora normal di usus dapat membentuk suatu lapisan yang menutupi bagian usus yang mengalami iritasi, selain itu pektin dapat menghambat motilitas usus (Yajima, 1985).
b. Pektin oksalat
Pektin oksalat merupakan pektin yang tidak larut dalam air yang disebut dengan protopektin (Chanakya dan Malayil, 2011). Protopektin dengan adanya larutan asam akan terhidrolisis menjadi pektin yang mudah larut (Hariyati, 2006). c. Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan
dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan
8 d. Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah polimer glukosa dengan lima monomer yang berbeda, yaitu glukosa, mannosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Hemiselulosa sangat dekat hubungannya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman. Rantai molekul hemiselulosa jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan selulosa (Hermiati, dkk., 2010).
e. Lignin
Lignin atau zat kayu adalah polimer terbanyak kedua setelah selulosa yang terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Lignin berfungsi sebagai pengikat antar sel dan menguatkan dinding sel, sehingga tumbuhan yang besar seperti pohon yang tingginya lebih dari 15 m tetap dapat kokoh berdiri. Struktur molekul lignin sangat berbeda dengan polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenilpropana. Lignin sangat stabil dan sukar dipisahkan dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam, sehingga susunan lignin yang pasti di dalam suatu tanaman tidak menentu. (Nofriadi, 2009).
f. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Redha, 2010).
Flavonoid dapat mengobati diare dengan cara menghambat produksi prostaglandin E2 (Meite, dkk., 2009) karena pada kondisi diare prostaglandin E2
9
yang dikeluarkan terlalu banyak, serta menambah frekuensi defekasi (Sanchez de Medina, dkk., 1997).
2.1.4 Manfaat tumbuhan
Tanaman pinang memiliki banyak manfaat, misalnya daun pinang sebagai obat antidiabetes (Mondal, dkk., 2012), bijinya sebagai obat antifertilitas (Aulanni’am, dkk., 2007), antelmintik (Tiwow, dkk., 2013), antibakteri, antivirus (Joshi, dkk., 2012), antioksidan (Zhang, dkk., 2009) dan lain-lain. Batang pinang dapat digunakan sebagai bahan bangunan, jembatan dan saluran air, sedangkan serabut buah secara tradisional digunakan sebagai obat gangguan pencernaan, edema dan beri- beri, serta dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kuas gambar atau kuas alis mata (Dalimartha, 2009).
2.2Simplisia dan Ekstrak 2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2000).
2.2.2 Ekstrak
10
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian, sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut, sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:
1. Cara dingin, yaitu:
a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya.
11 2. Cara panas, yaitu:
a. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Proses pengulangan umumnya dilakukan pada residu pertama sampai 3-5 kali, sehingga termasuk proses ekstraksi sempurna.
b. Sokletasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat soklet, sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
d. Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C) selama waktu tertentu (15-20
menit).
e. Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.3Diare
12
berulang-ulang yang disertai adanya perubahan bentuk dan konsistensi feses menjadi lembek atau cair tergantung dari individu (Sugiarto, 2008). Peningkatan frekuensi didefinisikan oleh tiga atau lebih buang air besar per hari. Berat feses normal pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gula, bervariasi dari 100 sampai 200 g/hari, sehingga berat feses >200 g/hari dianggap diare, namun beberapa orang yang mengkonsumsi serat memiliki berat feses 300 g/hari atau lebih dengan konsistensi feses normal, tidak berarti diare. Kombinasi frekuensi, konsistensi feses, dan berat feses harus diperhitungkan untuk menentukan diare (Navaneethan dan Giannella, 2011).
Makanan yang terdapat di dalam lambung, secara normal dicerna menjadi bubur (kimus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim pencernaan. Sisa kimus yang terdiri dari 90% air dan sisa-sisa makanan yang sukar dicerna, diteruskan ke usus besar (colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di usus besar mencerna lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Air juga diresorpsi kembali sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat dan dikeluarkan dari tubuh menjadi tinja (feses), namun pada diare terjadi peningkatan peristaltik usus, sehingga pelintasan kimus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penyebab utamanya adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air dan atau terjadinya hipersekresi (Tan dan Rahardja, 2008).
2.3.1Klasifikasi diare
13 1. Berdasarkan adanya infeksi, dibagi atas:
a. Diare infeksi enteral, yaitu diare karena infeksi di usus, misalnya infeksi bakteri (Vibrio cholera, Eschericia coli, Salmonella dan Shigella), infeksi virus (Rotavirus dan Enterovirus) dan infeksi parasit (cacing, protozoa dan jamur)
b. Diare infeksi parenteral, yaitu diare karena infeksi di luar usus, misalnya infeksi saluran pernapasan.
2. Berdasarkan lamanya diare, dibagi atas:
a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak yang segera berangsur sembuh pada seseorang yang sebelumnya sehat. Diare akut biasanya berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu.
b. Diare kronis, yaitu diare yang timbul perlahan-lahan berlangsung 2 minggu atau lebih, baik menetap atau menahun atau bertambah hebat 3. Berdasarkan penyebab terjadinya diare, dibagi atas:
a. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh adanya infeksi, misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan enterotoksin. b. Diare non spesifik, yaitu diare yang tidak disebabkan oleh adanya infeksi
misalnya alergi makanan atau minuman, gangguan gizi, kekurangan enzim dan efek samping obat (Enda, 2010).
2.3.2 Obat-obat diare
Kelompok obat yang sering sekali digunakan pada diare adalah:
14
2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara, yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik sehingga lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus, yakni derivat petidin (loperamid) dan antikolinergik (atropin dan ekstrak beladon).
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin), tanalbumin, garam-garam bismut dan aluminium.
c. Adsorbensia, misalnya karbo adsorbens (pada permukaannya dapat menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau adakalanya berasal dari makanan, seperti udang atau ikan), mucilagines (zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung, seperti kaolin, pektin, garam-garam bismuth dan aluminium). 3. Spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
sering kali menyebabkan nyeri perut pada diare, misalnya papaverin (Tan dan Rahardja, 2008).
2.4Loperamid Hidroklorida
Loperamid hidroklorida (4-(p-Klorofenil)-4-hidroksi-N,N-dimetil-α,α -difenil-1-piperidina butiramida monohidroklorida) mempunyai rumus kimia C29H33ClN2O2.HCl dengan berat molekul 513,51. Pemerian berupa serbuk putih
sampai agak kekuningan, melebur pada suhu lebih kurang 225° disertai peruraian.
15
Loperamid (dosis awal 4 mg dan tidak melebihi 16 mg/hari) merupakan turunan sintesis pethidine yang dapat menghambat motilitas usus dan juga mengurangi sekresi gastrointestinal. Loperamid diyakini bekerja dengan cara mengganggu mekanisme kolinergik dan non-kolinergik yang terlibat dalam reflek peristaltik, menurunkan aktivitas otot sirkular dan longitudinal pada usus (Ebadi, 2008). Loperamid tidak bekerja pada susunan saraf pusat, sehingga tidak mengakibatkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tan dan Rahardja, 2008).
2.5Oleum Ricini
Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak berasal dari biji Ricinus communis suatu trigliserida risinoleat dan asam lemak tak jenuh. Oleum ricini di