BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Farmasi
2.1.1 Pengertian Industri Farmasi
Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang
memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat
atau bahan obat. Industri farmasi, sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk
dapat menghasilkan obat yang harus memenuhi persyaratan khasiat (efficacy),
keamanan (safety) dan mutu (quality) dalam dosis yang digunakan untuk tujuan
kesehatan (Priyambodo, 2007).
Menurut Priyambodo (2007), dibandingkan dengan berbagai industri lain,
industri farmasi memiliki ciri yang spesifik. Ciri industri farmasi yang perlu
diperhatikan antara lain:
1. Industri farmasi merupakan industri yang diatur secara ketat (seperti registrasi,
Cara Pembuatan Obat yang Baik, distribusi dan perdagangan produk yang
dihasilkan, dan lain lain) karena menyangkut jiwa (nyawa) manusia.
2. Industri farmasi di samping menghasilkan obat untuk penderita, juga
merupakan suatu industri yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan
(profit). Jadi tidak hanya aspek sosial namun juga ada aspek ekonomi (bisnis).
3. Industri farmasi adalah salah satu industri beresiko tinggi karena bukan tidak
diinginkan karena penggunaan obat, industri farmasi dituntut dan membayar
ganti rugi yang sangat besar.
4. Industri farmasi adalah industri berbasis riset yang selalu memerlukan inovasi,
karena usia hidup produk atau obat (product life cycle) relatif singkat (lebih
kurang 10-25 tahun) dan sesudah itu akan ditemukan obat generasi baru yang
lebih baik, lebih aman dan lebih efektif.
2.1.2 Persyaratan Izin Industri Farmasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010
tentang Industri Farmasi, proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat
dilakukan oleh industri farmasi.Setiap pendirian industri farmasi wajib
memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang
dimaksud adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana yang tercantum
dalam Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/IX/2010 adalah sebagai berikut:
1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia
masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan
pengawasan mutu
5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
Dikecualikan dari persyaratan di atas poin 1 dan 2, bagi pemohon izin
industri farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
2.1.3 Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi
Berdasarkan Permenkes RI No. 1799/Menkes/Per/IX/2010, untuk
memperoleh izin usaha industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip.
Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal setelah pemohon
memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat
langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan
instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan prinsip ini berlaku selama
3 (tiga) tahun dan dapat diubah berdasarkan permohonan dari pemohon izin
industri farmasi yang bersangkutan.
2.1.4 Penyelenggaraan Industri Farmasi
Suatu industri farmasi mempunyai fungsi:
a. Pembuatan obat dan/atau bahan obat
b. Pendidikan dan pelatihan
c. Penelitian dan pengembangan
Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama industri farmasi
yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
2.1.5 Pembinaan dan Pengawasan Industri Farmasi
Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh
Direktur Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan.
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Permenkes RI No.
1799/Menkes/Per/IX/2010 dapat dikenakan sanksi administratif berupa :
a. Peringatan secara tertulis
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan
obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, atau mutu
c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, atau mutu
d. Penghentian sementara kegiatan
e. Pembekuan izin industri farmasi
f. Pencabutan izin industri farmasi
2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat
dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan
tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan
pengendalian mutu (Anonim, 2006).
Ruang lingkup CPOB meliputi manajemen mutu, personalia, bangunan
dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi
produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan
kontrak, serta kualifikasi dan validasi (Anonim, 2006).
2.2.1 Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya
karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung
jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu” yang
memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di
dalam perusahaan, para pemasok, dan para distributor (Anonim, 2006).
Menurut Anonim (2009), untuk melaksanakan Kebijakan Mutu
dibutuhkan 2 unsur dasar:
1. Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan
kewajiban, semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang
mengatur proses yang ada.
2. Tindakan sistematis untuk melaksanakan sistem mutu, yang disebut pemastian
mutu atau quality assurance.
2.2.2 Personalia
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009, industri farmasi
harus memiliki 3 (tiga) orang apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing
pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi
Sediaan Farmasi.
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan
sebab itu industri farmasi farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil
yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas
(Anonim, 2006).
2.2.3 Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain,
konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang
dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata
letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil
terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta
memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk
menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain
yang dapat menurunkan mutu obat (Anonim, 2006).
Untuk pengolahan produk yang mengandung bahan yang beracun dan
bahan sitotoksik, harus disediakan fasilitas tersendiri untuk masing-masing
produk, dengan sistem penyaringan udara khusus (efisiensi minimum 98%).
Sedangkan untuk sediaan beta laktam (turunana penisillin) harus terpisah secara
fisik dengan bangunan non-beta laktam (Priyambodo, 2007).
2.2.4 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki
rancang bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, dan
ditempatkan dengan tepat sehingga mutu dari setiap produk obat terjamin secara
seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan
teratur melalui program perawatan untuk mencegah cacat fungsi atau kontaminasi
yang dapat mengubah identitas, kualitas atau kemurnian suatu produk (Anonim,
2006).
2.2.5 Sanitasi dan Higiene
Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi diterapkan pada setiap aspek
pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan
perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat
merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran dihilangkan melalui
suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh serta terpadu (Anonim,
2006).
Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB terbaru adalah
terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan higiene
divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur
agar selalu memenuhi persyaratan (Anonim, 2006).
2.2.6 Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin
produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar
(registrasi) (Anonim, 2006).
Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.
Menurut Anonim (2006), aspek yang perlu diperhatikan dalam proses produksi
a. Penanganan terhadap bahan awal.
Setiap bahan awal, sebelum dinyatakan lulus untuk digunakan hendaklah
memenuhi spesifikasi bahan awal yang sudah ditetapkan dan diberi label dengan
nama yang dinyatakan dalam spesifikasi. Pada saat penerimaan, hendaklah
dilakukan pemeriksaan secara visual tentang kondisi umum, keutuhan wadah,
segelnya, kebocoran, kemungkinan adanya kerusakan bahan, dan kesesuaian
catatan pengiriman dengan label dari pemasok. Bahan awal yang diterima
hendaklah dikarantina sampai disetujui dan diluluskan untuk pemakaian oleh
kepala bagian pengawasan mutu. Persediaan bahan awal hendaklah diperiksa
dalam selang waktu tertentu. Bahan awal yang cenderung rusak atau turun
potensinya atau aktifitasnya selama dalam penyimpanan hendaknya ditandai
secara jelas, disimpan terpisah dan secepatya dimusnahkan atau dikembalikan
kepada pemasok.
b. Validasi proses
Semua kegiatan produksi hendaklah divalidasi dengan tepat, hal tersebut
bertujuan untuk menguatkan pelaksanaan CPOB. Validasi hendaklah
dilaksanakan menurut prosedur yang telah ditentukan dan catatan hasilnya
disimpan dengan baik. Perubahan penting dalam proses, peralatan atau bahan
harus divalidasi ulang untuk menjamin bahwa perubahan tersebut tetap
menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan.
c. Pencegahan pencemaran silang
Setiap tahap proses, produk, dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba dan pencemaran lain yang dapat timbul akibat tidak
yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian kerja
operator. Sistem penghisap udara yang efektif hendaknya dipasang untuk
menghindari pencemaran dari produk atau proses lain.
d. Sistem penomoran batch dan lot
Sistem ini diperlukan untuk memastikan bahwa produk antara, produk
ruahan atau produk jadi suatu bets atau lot dapat dikenali dengan nomor bets atau
lot tertentu dan tidak digunakan secara berulang.
e. Penimbangan dan penyerahan
Penimbangan atau perhitungan dan penyerahan bahan awal, bahan
pengemas, produk antara, dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus
produksi dan memerlukan dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan
pengemas, produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh
pengawasan mutu dan masih belum kadaluarsa yang dapat diserahkan.
f. Pengolahan
Semua bahan dan peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan
hendaklah diperiksa terlebih dahulu. Semua kegiatan pengolahan hendaklah
dilaksanakan mengikuti prosedur tertulis yang telah ditentukan. Bahan yang dapat
diolah ulang melalui prosedur tertentu yang disahkan serta hasilnya memenuhi
persyaratan spesifikasi yang ditentukan dan tidak mempengaruhi mutu dimana
semua proses pengolahan ulang hendaklah disahkan dan didokumentasikan.
Pencegahan pencemaran silang dilakukam untuk setiap pengolahan.
g. Pengemasan
Pengemasan berfungsi membagi-bagi dan mengemas produk ruahan
pengawasan yang ketat untuk menjaga identitas, keutuhan, dan mutu produk akhir
yang dikemas. Produk jadi yang sudah dikemas hendaklah dikarantina sambil
menungu pelulusan dari bagian pengawasan mutu.
h. Pengawasan selama proses
Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memantau hasil dan memvalidasi
kinerja dari proses produksi yang mungkin menjadi penyebab variasi karakteristik
produk selama proses berjalan.
i. Penanganan bahan dan produk yang ditolak, dipulihkan dan dikembalikan
Bahan dan produk yang ditolak hendaklah diberi penandaan yang jelas dan
disimpan terpisah di area terlarang (restricted area). Bahan atau produk tersebut
hendaklah dikembalikan kepada pemasoknya atau, bila dianggap perlu diolah
ulang atau dimusnahkan. Langkah apapun yang diambil hendaklah lebih dulu
disetujui oleh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) dan dicatat.
j. Karantina produk jadi dan penyerahan ke gudang obat jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum
penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Selama menunggu
pelulusan dari bagian manajemen mutu, seluruh bets/lot yang sudah dikemas
hendaknya disimpan dalam status karantina. Setelah pelulusan, produk tersebut
dipindahkan dari daerah karantina ke gudang produk jadi.
k. Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan
dan produk jadi. Bahan atau produk hendaknya disimpan rapi dan teratur
untuk mencegah risiko tercampur baur atau pencemaran serta memudahkan
pemeriksaan dan pemeliharaan. Hendaknya semuanya disimpan dalam kondisi
l. Pengiriman dan pengangkutan produk jadi
Pengawasan distribusi produk jadi pada sistem distribusi hendaknya
dirancang dengan tepat sehingga menjamin produk jadi yang pertama masuk akan
didistribusikan terlebih dahulu. Pengiriman dan pengangkutan produk dilakukan
setelah ada permintaan pengiriman.
2.2.7 Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu adalah bagian yang esensial dari cara pembuatan obat
yang baik untuk memastikan tiap obat yang dibuat senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya. Keterlibatan dan
rasa tanggung jawab semua unsur yang berkepentingan dalam seluruh rangkaian
pembuatan adalah mutlak untuk mencapai sasaran mutu yang ditetapkan mulai
dari saat obat dibuat sampai distribusi obat jadi (Anonim, 2001)
Pengawasan mutu mencakup semua kegiatan yang dilakukan di
laboratorium, termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan
awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini juga mencakup
uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam
rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui
spesifikasi bahan dan produk, serta metode pengujiannya (Anonim, 2006).
2.2.8 Inspeksi Diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek
produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB.
Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam
pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh
petugas yang kompeten dari perusahaan. Ada manfaatnya juga bila menggunakan
auditor luar yang independen. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan
pada situasi khusus, misalnya bila terjadinya penarikan kembali obat jadi atau
terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya
dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan
dibuat program tindak lanjut yang efektif (Anonim, 2006).
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan
pabrik, namun inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh dilaksanakan
minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri tertulis dalam prosedur
tetap inspeksi diri (Anonim, 2006).
Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri.
Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagian dari sistem
manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkan mutu. Audit mutu
umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau tim yang
dibentuk khusus untuk hal ini oleh manajemen perusahaan (Anonim, 2006).
2.2.9 Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk
dan Produk Kembalian
Penarikan kembali produk adalah suatu penarikan kembali dari satu atau
beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran. Hal ini dilakukan
bila ada produk yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan
(Anonim, 2006).
Obat kembalian adalah obat jadi yang telah beredar yang kemudian
dikembalikan ke pabrik karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa,
sehingga menimbulkan keraguan akan keamanan, identitas, mutu dan jumlah obat
yang bersangkutan (Anonim, 2006).
Penanganan keluhan dan laporan hendaknya dicatat dan secepatnya
ditangani kemudian dilakukan penelitian dan evaluasi. Tindak lanjut dilakukan
berupa tindakan perbaikan, penarikan produk dan dilaporkan kepada pemerintah
yang berwenang (Anonim, 2006).
Pencatatan dilakukan untuk penanganan obat kembalian dan dilaporkan,
dan setiap pemusnahan dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh pelaksana
dan yang menyaksikan pemusnahan (Anonim, 2006).
2.2.10 Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan
dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu.
Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap
personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga
memperkecil resiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya btimbul
karena hanya mengandalkan komunikasi lisan (Anonim, 2006).
2.2.11 Pembuatan dan Analisis berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,
disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara
jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak
diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen mutu
(Pemastian Mutu) (Anonim, 2006).
2.2.12 Kualifikasi dan Validasi.
CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang
perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan
yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses
dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi (Anonim, 2006).
2.2.12.1 Perencanaan Validasi
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program
validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana
Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV sekurang-kurangnya mencakup:
kebijaksanaan validasi; struktur organisasi kegiatan validasi; ringkasan fasilitas,
sistem, peralatan dan proses yang akan divalidasi; format dokumen, protokol, dan
laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan; pengendalian perubahan;
acuan dokumen yang digunakan (Anonim, 2006).
2.2.12.2 Dokumentasi
Protokol validasi tertulis hendaklah dibuat untuk merinci kualifikasi dan
validasi yang akan dilakukan. Protokol hendaklah dikaji dan disetujui oleh kepala
bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Hendaklah dibuat laporan yang
mengacu pada protokol kualifikasi dan/atau protokol validasi dan memuat
ringkasan hasil yang diperoleh, tanggapan terhadap penyimpangan yang terjadi,
kesimpulan dan rekomendasi perbaikan tiap perubahan terhadap rencana yang
ditetapkan dalam protokol hendaklah didokumentasikan dengan pertimbangan
2.2.12.3 Kualifikasi
Kualifikasi dibedakan atas :
1. Kualifikasi Desain (KD)
Kualifikasi desain (KD) adalah unsur pertama dalam melakukan validasi
terhadap fasilitas, sistem atau peralatan baru.
2. Kualifikasi instalasi (KI)
Kualifikasi Instalasi adalah (KI) hendaklah dilakukan terhadap fasilitas,
sistem dan peralatan baru atau yang dimodifikasi.
KI hendaklah mencakup, tidak terbatas pada hal berikut:
a. Instalasi peralatan, pipa dan sarana penunjang dan instrumentasi hendaklah
sesuai dengan spesifikasi dan gambar teknik yang didesain;
b. Pengumpulan dan penyusunan dokumen pengoperasian peralatan dari
pemasok
c. Ketentuan dan persyaratan kalibrasi
d. Verifikasi bahan konstruksi.
3. Kualifikasi Operasional (KO)
KO hendaklah dilakukan setelah KI selesai dilaksanakan, dikaji dan
disetujui.
KO hendaklah mencakup, tidak terbatas pada hal berikut:
a. Pengujian yang perlu dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang proses,
sistem dan peralatan.
b. Pengujian yang meliputi satu dan beberapa kondisi yang mencakup batas
4. Kualifikasi Kinerja (KK)
KK hendaklah dilakukan setelah KI dan KO selesai dilaksanakan, dikaji
dan disetujui.
5. Kualifikasi Fasilitas, Peralatan dan Sistem Terpasang yang telah
Operasional.
Hendaklah tersedia bukti untuk mendukung dan memverifikasi parameter
operasional dan batas variabel kritis pengoperasian alat. Selain itu, kalibrasi,
prosedur pengoperasian, pembersihan, perawatan preventif serta prosedur dan