• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paper UAS Kebijakan Imigrasi di Uni Er

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paper UAS Kebijakan Imigrasi di Uni Er"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Imigrasi di Uni Eropa: Peluang, Tantangan, dan Dilema Oleh: Lalu Abdul Fatah1

Latar Belakang

Imigrasi merupakan salah satu isu politik yang berkembang dan sedang dihadapi oleh Uni Eropa (selanjutnya disingkat UE) pada saat ini. Imigrasi Imigrasi netto di Eropa pada tahun 2001 menempati 3 dari 1.000 penduduk dan saat ini populasi imigrannya mencapai 56,1 juta dibandingkan Amerika Utara yang 40,8 juta2. Dari sini terlihat indikasi bahwa pada tahun-tahun mendatang, Eropa akan menjadi tujuan utama bagi para imigran apalagi dengan tersedianya pekerjaan yang membutuhkan buruh serta keterampilan jangka pendek.

Keberadaan imigran membawa peluang bagi UE dalam bidang sosial dan ekonomi. Namun, di sisi lain juga membawa masalah yang tidak sedikit. Oleh karena itu, serangkaian kebijakan telah dan akan terus digodok, baik oleh UE selaku organisasi regional di Eropa, juga oleh negara masing-masing yang menjadi anggota UE.

Estimasi dari Eurostat3 menunjukkan bahwa pada tahun 2006 sekitar 3,5 juta orang menempati residen baru di 27 negara anggota UE. Setelah peningkatan hebat pada tahun 2003 dibandingkan pada tahun 2002, peningkatan yang lebih tinggi lagi terjadi pada tahun 2006, setengah lebih tinggi pada tahun 20024. Akan tetapi, dalam tiga tahun terakhir jumlahnya menurun.

Negara yang paling banyak jumlah imigrannya adalah Spanyol dan Irlandia. Sebaliknya, beberapa negara seperti Jerman, Austria, dan Belanda menunjukkan penurunan imigrasi. Pada tahun 2006, total imigrasi di tiga negara ini masing-masing 14%, 17%, dan 11% lebih rendah ketimbang tahun 20025.

Jika merunut kembali sejarah imigrasi di UE, maka akan ditemukan fakta bahwa fenomena ini secara dramatis berkembang pasca berakhirnya Perang Dunia II. Prancis, Jerman, UK, negara-negara Benelux, Austria, Swiss, Swedia, dan Denmark mulai didatangi oleh gelombang imigrasi setidaknya pada tahun 1960-an. Meskipun sempat terjadi penurunan

1 Penulis adalah mahasiwa aktif semester 5 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga, dengan NIM

070710428. Penulis bisa dihubungi melalui surat elektronik: [email protected].

2 Christina Boswell, 2006, “Migration in Europe”, Global Commission on International Migration (GCIM).

3 Anne Herm, 2008, “Recent migration trends: citizens of EU-27 Members States become ever more mobile

while EU remains attractive to non-EU citizens”, Eurostat statistics in focus.

(2)

dengan adanya penyetopan rekrutmen antara tahun 1973-1974, namun gelombang imigrasi terus berlanjut dalam konteks reuni keluarga (yang terpisah oleh perang), pengungsi, serta migrasi buruh. Level imigrasi tertinggi terjadi sejak 1990-an yang dialami oleh Prancis, Austria, Jerman, Belanda, Swiss, UK, dan negara-negara Skandinavia lainnya. Pengecualian atas Jerman yang justru mengalami penurunan populasi pada awal 1990. Hal ini bisa dipahami karena adanya gelombang perpindahan penduduk dari Jerman, terutama Jerman Timur yang pindah ke Jerman Barat dan negara-negara Eropa Barat lainnya, baik itu untuk bertemu dengan keluarga mereka yang telah terpisah bertahun-tahun, maupun untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Pada tahun 1980-an, kategori negara penerima imigran pun bertambah. Kali ini yang menjadi faktor penarik adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan kemakmuran dari segi ekonomi. Negara-negara tersebut adalah Irlandia, Spanyol, Portugis, Yunani, dan Finlandia. Sementara itu, negara-negara di Eropa utara memberlakukan sejumlah kebijakan yang membatasi kehadiran imigran.

Kategori ketiga negara penerima imigran kali ini disandang oleh negara-negara CEEC (Central Eastern Europe Countries). Setelah tahun 1989, negara-negara bekas reruntuhan Uni Soviet yang berbatasan dengan Eropa di sebelah timur menjadi negara transit yang penting bagi para migran sebelum mereka masuk ke negara-negara penerima lainnya di Eropa Barat. Siprus, Hongaria, Republik Czech, Slowakia, dan Slovenia sekarang menjadi negara-negara dengan migrasi netto yang positif. Artinya, mereka juga menjadi negara penerima imigran.

Jika dilakukan komparasi imigran antara mereka yang melakukan imigrasi untuk bekerja dan untuk mencari suaka (perlindungan), maka jumlah imigran yang ingin mencari pekerjaan relatif lebih banyak daripada imigran yang mencari suaka politik. Data dari OECD6 pada tahun 2004 menunjukkan sejak tahun 1990, terjadi peningkatan gelombang imigran dari Turki, Maroko, juga pencari suaka dari Yugoslavia, Irak, dan Iran. Berikut ini data pada tahun 2001 yang menunjukkan negara asal imigran dan negara penerimanya di Eropa, yakni: Maroko di Belgia; Irak dan Afganistan di Denmark; Rusia di Finlandia; Maroko dan Algeria di Prancis; Poli dan Turki di Jerman; Rumania dan Ukraina di Hongaria; Albania, Rumania, dan Maroko di Italia; Angola dan Cape Verde di Portugal, Irak di Swedia, dan India di Inggris7.

(3)

Itulah sekelumit sejarah tentang imigrasi di UE. Sebagaimana telah disinggung di atas, keberadaan para imigran membawa dampak yang tidak sedikit. Di satu sisi, memang terjadi simbiosis mutualisme, dimana negara-negara Eropa membutuhkan tenaga kerja untuk keberlangsungan industri dan perekonomian mereka dan posisi-posisi itu bisa diisi oleh para imigran. Imigran yang memang tujuan utamanya kebanyakan mencari pekerjaan, akhirnya tidak susah mendapatkannya. Selama lowongan itu bisa disediakan oleh negara-negara penerima, tentu saja bukan suatu masalah. Namun, akan berbeda jadinya jika jumlah imigran membludak tanpa adanya kesiapan dari negara penerima. Ini tentu saja menjadi masalah tersendiri.

Fenomena imigrasi ini menyebabkan perubahan-perubahan dalam negara-negara Eropa. Salah satu faktor penting yang berubah adalah kebijakan. Di satu sisi, penyediaan program migrasi yang legal dari pemerintah di negara penerima amatlah terbatas sebab negara-negara Eropa kini pun melakukan seleksi khusus untuk menyaring migran yang yang memiliki keterampilan tinggi. Adanya program penyeleksian ini mengindikasikan sebuah problematika mengenai buruh-buruh jangka pendek dan ketidaksinkronan antara supply dan

demand di banyak negara Eropa.

Skup yang terbatas dari program ini kemudian memunculkan efek bola salju, dimana tren yang terjadi kemudian adalah ketidakteraturan imigran yang masuk, masalah tempat tinggal, hingga penyediaan lapangan pekerjaan. Terlebih lagi, pembatasan terhadap akses para pencari suaka mengakibatkan adanya jalur-jalur migrasi tertentu sehingga para pengungsi pun beralih pada migrasi yang tidak teratur (tidak sesuai prosedur) tersebut.

Faktor kedua yang memengaruhi arus migrasi selama 15 tahun terakhir ini jug adalah perubahan hubungan antara UE dengan tetangga-tetangganya di Timur dan Selatan. Pada awalnya, penghapusan restriksi untuk melakukan perjalanan bagi negara-negara bekas komunis, membuka jalur yang berlipat-lipat bag mobilitas yang lebih teratur, dimana mudahnya transfer intra-perusahaan, kemungkinan untuk studi, program migrasi buruh secara temporer, penempatan Aussiedler (etnik Jerman), dan lain-lain8. Namun, hal ini pula membuka peluang terjadinya migrasi yang tidak teratur, penyelundupan, dan perdagangan manusia dari dan melalui negara-negara Eropa Timur dan Tengah ke negara-negara Eropa Barat. Kebijakan baru berupa kontrol yang lebih ketat di perbatasan eksternal langsung

(4)

dengan negara-negara CEE juga mengakibatkan terbatasnya mobilitas antara negara-negara anggota baru UE dan tetangga di sekitarnya yang bukan anggota UE.

Permasalan pun makin pelik tatkala di dalam UE sendiri terdapat 27 negara anggota yang masing-masing punya kepentingan dan keinginan berbeda terkait problem imigrasi. Benturan kepentingan terjadi antara masyarakat Eropa yang tinggal di negara-negara Eropa Barat dan Utara dengan masyarakat yang berasal dari negara-negara Eropa Timur dan Tengah yang secara kultur dan etnik berbeda. Sentimen anti-imigran pun termanifestasikan dalam dukungan publik terhadap kebijakan imigrasi terbatas dan kebijakan suaka, pelaporan yang negatif di media tentang imigran dan pencari suaka, isu diskriminasi melawan kelompok minoritas etknik, serta rasisme atau kekerasan anti-imigran.

Dilema Kebijakan

Adanya masalah-masalah di atas pada akhirnya memunculkan dilema dalam pembuatan kebijakan mengenai imigrasi di UE. Dilema tersebut bisa dibagi dalam empat kategori, antara lain dilema dalam: kebijakan migrasi buruh, kebijakan kontrol migrasi, sistem perlindangan dan suaka, serta kebijakan integrasi9.

Penulis akan mulai dari dilema kebijakan migrasi buruh. Di banyak negara, tidak dipungkiri, bahwa ada konflik serius antara ekonomi dengan demografi, khususnya dalam kasus bertambahnya jumlah buruh serta resistensi publik terhadap migrasi yang meninggi. Negara-negara Eropa telah mengompromikan problem ini melalui cara-cara yang berbeda. Dalam banyak kasus, pemerintah telah sukses mengenalkan legislasi atau program liberalisasi. Program dan legislasi ini ditujukan untuk migran yang memiliki keterampilan tinggi atau minimal punya keterampilan di bidang tertentu. Program ini juga diperkenalkan bagi migran yang memang sudah tinggal di negara Eropa sebelum program ini diluncurkan.

Akan tetapi, upaya eksplisit pada pengekspansian program ini secara politik mengandung kontroversial. Pemerintah UE memandang program ini sebagai hal yang menjanjikan dan bersifat temporer dan tidak akan dibuat permanen (sebagaimana contohnya dalam kasus Paspor Hijau di Jerman). Namun, dalam kasus yang berbeda, pemerintah telah menghindari konflik politik dengan mengenalkan liberalisasi melalui sikap yang tidak meminta persetujuan parlemen dan perhatian yang sedikit dari media.

9 Mikko Lahteenmaki, 2004, ‘Refugee and Migration Policy in the European Union’, International Seminar for

(5)

Tak satu pun dari kompromi ini yang menetapkan solusi berkelanjutan bagi buruh jangka pendek.

Kebijakan kontrol migrasi juga meningkatkan dilema bagi pemerintahan UE. Ada hambatan yang serius bagi pemerintah untuk mengontrol perpindahan migran, residen, dan buruh yang tidak teratur. Kontrol internal terhadap pengencangan konsumsi air, misalnya, untuk mencegah penempattinggalan yang tidak teratur. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan prinsip yang diterima di negara-negara liberal demokratis. Mirip dengan itu adalah mahalnya biaya pengontrolan perbatasan dan menyebabkan penundaan yang serius bagi mereka yang akan menyeberang melewati perbatasan, dan efek selanjutnya adalah efek yang negatif terhadap industri pariwisata dan perdagangan. Di sisi lain, jaringan penyelundupan dan perdagangan manusia menjadi lebih canggih lagi metodenya. Akibatnya, kebijakan kontrol ini juga harus mempertimbangkan aspek pengadaptasian hi-tech dalam kegiatannya di lapangan. Dalam kasus negara-negara Schengen, bentuk kontrol di perbatasan internal ini tidak lagi berfungsi karena adanya abolisi pengecekan.

Upaya pengontrolan buruh yang tidak teratur ini menghadapi kendala-kendala pula. Misalnya, konflik antara kepentingan bisnis dalam menyelamatkan suplai buruh yang murah. Adanya kepentingan ini menunjukkan derajat penguatan yang lemah dalam pemberian sanksi bagi pegawai di banyak negara. Sekali saja orang telah menjadi residen dalam perideo yang lama, merupakan hal yang sulit untuk kemudian menyepelekan mereka dengan alasan praktis dan kemanusiaan, dan kemungkinan ada kasus yang lebih kuat lagi dalam pengaturan status mereka. Hal ini tentu saja tanpa problem.

Lalu, sistem suaka pun menyimpan dilema tersendiri. Sejak tahun 1980, negara-negara Eropa telah memiliki pengalaman yang cukup banyak mengenai restriksi terhadap sistem suaka ini – berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 195110. Kesejahteraan dan dukungan akomodasi buat pencari suaka telah dikurangi secara radikal, dan dalam beberapa kasus, para pencari suaka juga telah dipindahkan ke wilayah-wilayah khusus. Dokumen-dokumen aplikasi suaka mereka juga dipertimbangkan melalu prosedur yang telah diakselerasi, serta pembatasan visa, juga aturan dari “negara aman” atau negara transit juga membatasi akses terhadap sistem suaka. Di antara semua perubahan ini, sistem suaka ini juga pada akhirnya gagal mempertemukan dua tujuan utama, yakni: memberikan dukungan bagi mereka yang

(6)

membutuhkan perlindungan serta membatasi dan mencegah mereka yang memang tidak membutuhkan. Kebijakan ini pada kelanjutannya nanti memunculkan protes dari kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia dan juga kelompok-kelompok buruh. Media dan publik pun melanggar sistem suaka lewat pemberitaan dan sikap mereka.

Di sini bisa dilihat bahwa ada dua kasus yang terjadi, yakni konflik antara domestik, Eropa, dan pengungsi internasioal serta norma hak asasi manusia di satu sisi; serta tekanan publik terhadap restriksi di sisi lain.

Masalah terakhir yang masih menjadi dilema dalam kebijakan UE mengenai imigrasi adalah tentang integrasi. Integrasi merupakan isu yang paling banyak menuai perdebatan di Eropa. Hal ini diakibatkan oleh wacana kedaulatan nasional dari masing-masing negara yang masih kuat mempertahankan identitas nasional mereka. Sebab, hal ini mau tidak mau nantinya akan berdampak pada masalah kewarganegaraan dan aturan-aturan negara. Sebenarnya, dilema kebijakan integrasi di Eropa berakar pada masalah klasik, yakni tensi antara kedekatan populis, pertimbangan ekonomi, dan norma-norma serta institusi liberal.

Penyederhanaan ini tentunya terlalu beresiko. Oleh sebab itu, penyederhanaan ini bisa dibagi dalam tiga pendekatan integrasi yang telah mengkristal di Eropa pasca Perang Dunia, yakni: 1) pendekatan multikultural, yang mengimplikasikan toleransi terhadap perbedaan budaya dan agama, penegakan legislasi anti-diskriminasi, serta akses yang mudah untuk mendapatkan kewarganegaraan; 2) pendekatan kewarganegaraan sosial, yakni menawarkan kepada para imigran untuk quasi-membership dalam kerangka memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi, namun membatasi akses untuk memiliki kewarganegaraan penuh; dan 3) pendekatan republikan, yang memberikan akses mudah bagi kewarganegaraan tapi dengan syarat warga negara tersebut membebaskan diri mereka dari keterikatan etnik dan agama tertentu di dalam lingkungan publik.

Kesimpulan

(7)

dan keinginan yang berbeda-beda. Namun, sejalan dengan semakin tingginya komitmen negara-negara anggota terhadap Perjanjian Lisbon (Lisbon Treaty), maka penyempurnaan serta pelaksanaan kebijakan imigrasi ini bukan hal yang tidak mungkin untuk diujudkan.

Daftar Pustaka

Boswell, Christina, 2006, “Migration in Europe”, Global Commission on International Migration (GCIM).

Herm, Anne, 2008, “Recent migration trends: citizens of EU-27 Members States become ever more mobile while EU remains attractive to non-EU citizens”, Eurostat Statistic in focus.

Lahteenmaki, Mikko, 2004, ‘Refugee and Migration Policy in the European Union’, International Seminar for Experts in the Series Great Debates organised by the Cicero Foundation, Paris, 18-19 November 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, pemahaman dan pengalaman aplikatif penulis tentang pola hubungan kemitraan perbankan syariah dengan lembaga keuangan mikro

Bagaimana tata ruang luar dan ruang dalam Pusat Pelatihan Perancang Mode Busana di Yogyakarta sebagai wadah edukasi dan apresiasi mode busana yang berkarakter

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau

Namun, hasil studi Lipe & Salterio (2000) menemukan bahwa, evaluasi kinerja unit yang dibuat oleh manajer menggunakan informasi yang disajikan dalam format

Demikian pengumuman penyedia ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih. Pejabat

Mengingat Tidak Ada atau 0 (Nol) peserta yang memasukkan Dokumen Penawaran, maka Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota Mojokerto menyatakan pelelangan gagal

[r]

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Pengaruh Profitabilitas dan