• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jual Beli dan Muamalah Rabawiyah (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jual Beli dan Muamalah Rabawiyah (3)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

JUAL BELI & MU’AMALAH RABAWIYAH

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah studi fiqh

Dosen Pengampu Eva Nur Lailatul Fitriyah, MA

Disusun Oleh :

Ulil Huda (12660064)

Ayu Tria N.M (13670059)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK

IBRAHIM

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-aturan-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Jual Beli dan Mu’amalah Rabawiyah” untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqh.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bisa menjadi salah satu sumber ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.

Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bahwasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh kalangan yang membutuhkan.

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan...2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Jual Beli dalam Islam...3

A. Pengertian Jual Beli dan Hukumnya...3

B. Rukun dan Syarat Jual Beli...5

C. Ba’i Al-Ghaib...11

D. Larangan Dalam Jual Beli...13

E. Khiyar...14

2.2 Riba dan Kaitannya dengan Bank ...21

A. Pengertian Riba...21

B. Hukum Riba...24

C. Hukum Muamalat dalam Bank...25

BAB III PENUTUP A. Simpulan...32

B. Saran...32

DAFTAR PUSTAKA

(4)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama lain. Bagaimanapun sifat manusia tersebut, ia tak akan lepas dari hal-hal yang berhubungan dengan manusia lain. Katakanlah si A merupakan orang yang sangat pendiam, suka menyendiri dan tidak suka bergaul dengan orang lain. Namun, sudah dapat dipastikan bahwa si A tak akan bisa lepas dari“berhubungan” dengan manusia lain. Contoh sederhana saat ia pergi ke mini market untuk membeli barang, maka ia sudah masuk kedalam kategori berhubungan dengan orang lain. Dalam istilah fiqh, hubungan antara manusia satu dengan manusia lain disebut “Hablum minan naas”. Hubungan antar manusia ini, diatur dalam sebuah disiplin ilmu yang disebut “Fiqh Mu’amalah”. Salah satu cabang ilmu yang diatur oleh fiqh muamalah yaitu jual beli dan riba.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap orang pasti melakukan suatu transaksi yang biasa disebut jual beli. Si penjual menjual barangnya dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang tersebut dengan sejumlah uang/barang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika pada zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas dalam satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi dan maraknya penggunaan internet kedua belah pihak dapat betransaksi dengan lancar.

Bagaimana pula dengan riba? Secara sedehana riba merupakan tambahan uang/barang untuk suatu transaksi yang diisyaratkan sejak awal. Di dalam Islam, riba dalam bentuk apapun diharamkan sedangkan jual beli dihalalkan. Nah sebenarnya apa itu menurut Fiqih Muamalah seta apa saja yang temasuk kedalam riba? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah hukumnya menurut Fiqih Muamalah? Hal ini sangat menarik untuk dibahas.

(5)

Dari uraian diatas tentang jual beli dan riba, maka dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan dibahas dalam pembahasan:

1. Apa yang dimaksud dengan jual beli dalam Islam dan apa saja hal-hal terkait dengan jual beli?

2. Apa itu muamalat rabawiyah dan bagaimana kaitannya dengan Bank Konvensional?

1.3 Tujuan

Dari rumusan-rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah ini:

1. Untuk mengetahui hal-hal terkait jual beli dalam Islam.

2. Untuk mengetahui hal-hal terkait mu’amalat rabawiyah dan kaitannya dengan Bank

BAB II

(6)

2.1 Jual Beli dalam Islam

2.1.1 Pengertian jual beli dan hukumnya

Menurut etimologi, jual beli diartikan:

ءىشلاب ئشلا ةلباقم Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)

Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.

Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Alquran surah Fathir ayat 29 dinyatakan:

رروببتر ننلر ةةرراجرتت نروجبرنير ةةيرنتلعرور اررةست منهبانرقنزررر امررمت اوقبفرننأرور ةرلصررلا اومباقرأرور هتلررلا براتركت نرولبتنير نريذتلررا نررإت Artinya: “ Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”

(QS. Fathir: 29)

Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama bebeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

a. Menurut ulama Hanafiyah1:

“ Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”

b. Menurut Imam Nawawi2 dalam kitab Al-Majmu’:

“ Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan” c. Menurut Ibnu Qudamah3 dalam kitab Al-Mugni

“ Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik”

Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli adalah : "menukar barang dengan barang atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan"

Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ yakni:

a. Al-Qur’an

1 Alaudin Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Juz V hlm.133

2 Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj. Juz II. hlm 2

(7)

Artinya: “ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah: 275).

b. As-Sunnah

رروورربومم عريوبم للركروم ههدهيمبه لهجررلملا لرممعم لماقم ؟ بريمطوأم بهسوكملوا يلرأم ممللمسموم ههيولمعم لا ىللمصم يلربهنلملا لمئهسر

مكاحلاو رازبلاا هاور

Artinya: “Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, ‘Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)

Maksud dari mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli yang terhindar dari tipu menipu dan merugikan orang lain.

c. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian. Bantuan atau barang tersebut harus diganti dengan barang lain yang sesuai.

Dapat disimpulkan bahwa hukum asal jual beli adalah boleh. Namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan hukumnya menjadi haram, mandub, makruh bahkan haram. Jual beli menjadi wajib hukumnya jika dalam keadaan terdesak misal, dia memiliki persediaan makanan yang lebih, dan ada orang lain yang sangat membutuhkannya, maka penguasa berhak memaksanya untuk menjual barangnya. Jual beli menjadi mandub hukumnya jika harga barang mahal, menjadi makruh seperti menjual mushaf, bisa juga jadi haram contohnya sepeti menjual anggur kepada pembuat arak.4

(8)

Hal-hal terkait jual beli ini diatur dalam Fiqh Muamalah. Fiqh Muamalah membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, hutang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewa.

Adapun prinsip prinsip dalam bermuamalah adalah sebagai berikut:

1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-qur’an dan sunnah rasul. Bahwa hukum islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.

2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan.

3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.

4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan. Bahwa segala bentuk muamalat yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan.

2.1.2 Rukun dan Syarat Jual beli

Rukun dan syarat jual beli adalah:

1. Penjual dan pembeli

Penjual dan pembeli haruslah seorang yang berakal sehat dan baligh. Jika penjual/pembeli tersebut mumayyiz (meskipun belum baligh), maka jual belinya sah jika ia mendapatkan izin dari walinya untuk melakukan transaksi jual beli. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, dan Ats-Tsauri. Dan hendaknya penjual merupakan pemilik sempurna barang yang akan dijual atau ia mendapatkan izin dari pemiliknya untuk menjualkan barang tersebut.

(9)

Akad jual beli dianggap sah dengan segala hal yang menunjukkan tujuan jual beli, baik itu dengan perkataan maupun perbutan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Sebagian ulama mengatakan bahwa akad itu harus dengan lafadz yang diucapkan. Kecuali bila barang yang diperjual-belikan termasuk barang yang rendah nilainya.

Namun ulama lain membolehkan akad jual-beli dengan sistem mu'athaah, ( هاطاعم) yaitu kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk bertransaksi tanpa mengucapkan lafadz.

3. Barang yang dijual

Rukun yang ketiga adalah adanya barang atau jasa yang diperjual-belikan. Para ulama menetapkan bahwa barang yang diperjual-belikan itu harus memenuhi syarat tertentu agar boleh dilakukan akad. Agar jual-beli menjadi sah secara syariah, maka barang yang diperjual-belikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :

a. Suci

Benda yang diperjual belikan harus benda yang suci dana arti bukan benda najis atau mengandung najis. Di antara benda najis yang disepakati para ulama antara lain bangkai, darah, daging babi, khamar, nanah, kotoran manusia, kotoran hewan5 dan lainnya.

Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :

: - -

هرلررلار نررإت ةركررمربت ورهبور حتتنفرلنار مراعر لبوقبير هتلررلار لروسبرر عرمتسر هبنررأر امرهبننعر هبلررلار يرضترر هتلررلار دتبنعر نتبن رتبتاجر ننعر

متانرصنلراور رتيزتننختلناور ةتترينمرلناور رتمنخرلنار عرينبر مررررحر هبلروسبررور

Dari Jabir Ibnu Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: ”Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi, dan berhala”. (HR. Muttafaq Alaih).

(10)

Bank Darah

Darah yang dibutuhkan oleh pasien di rumah sakit tidak boleh didapat dari jual-beli. Karena itu Palang Merah Indonesia (PMI) telah menegaskan bahwa bank darah yang mereka miliki bukan didapat dari membeli. Lembaga itu pun tidak melakukan penjualan darah untuk pasien.

Kalau ada pembayaran, bukan termasuk kategori memperjual-belikan darah, melainkan biaya untuk memproses pengumpulan darah dari para donor, penyimpanan, pengemasan dan juga tentunya biaya-biaya lain yang dibutuhkan. Namun secara akad, tidak terjadi jual-beli darah, karena hukumnya haram.

Kotoran Ternak

Demikian juga dengan kotoran ternak yang oleh umumnya ulama dikatakan najis, hukumnya tidak boleh diperjual-belikan. Padahal kotoran itu sangat berguna bagi para petani untuk menyuburkan tanah mereka. Untuk itu mereka tidak melakukan jual-beli kotoran ternak. Kotoran itu hanya diberikan saja bukan dengan akad jual-beli.

Pihak petani hanya menanggung biaya penampungan kotoran, pengumpulan, pembersihan, pengangkutannya. Biaya untuk semua itu bukan harga kotoran hewan, sehingga tidak termasuk jual-bel

b.Punya Manfaat

Yang dimaksud adalah barang harus punya manfaat secara umum dan layak. Dan juga sebaliknya, barang itu tidak memberikan madharat atau sesuatu yang membahayakan atau merugikan manusia.

Oleh karena itu para ulama As-Syafi'i menolak jual-beli hewan yang membahayakan dan tidak memberi manfaat, seperti kalajengking, ular atau semut. Demikian juga dengan singa, srigala, macan, burung gagak.

(11)

seperti alat musik. Dengan syarat bila setelah dirusak tidak bisa memberikan manfaat apapun, maka jual-beli alat musik itu batil. Karena alat musik itu termasuk kategori benda yang tidak bermanfaat dalam pandangan mereka. Dan tidak ada yang memanfatkan alat musik kecuali ahli maksiat. Seperti tambur, seruling, rebab dan lainnya.6

c. Dimiliki oleh Penjualnya

Tidak sah berjual-beli dengan selain pemilik langsung suatu benda, kecuali orang tersebut menjadi wali (al-wilayah) atau wakil.

Yang dimaksud menjadi wali (al-wilayah) adalah bila benda itu dimiliki oleh seorang anak kecil, baik yatim atau bukan, maka walinya berhak untuk melakukan transaksi atas benda milik anak itu.

Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah seseorang yang mendapat mandat dari pemilik barang untuk menjualkannya kepada pihak lain.

Dalam prakteknya, makelar bisa termasuk kelompok ini. Demikian juga pemilik toko yang menjual barang secara konsinyasi, dimana barang yang ada di tokonya bukan miliknya, maka posisinya adalah sebagai wakil dari pemilik barang.

Adapun transaksi dengan penjual yang bukan wali atau wakil, maka transaksi itu batil, karena pada hakikatnya dia bukan pemilik barang yang berhak untuk menjual barang itu. Dalilnya adalah sebagai berikut :

Tidak sah sebuah talak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk mentalak. Tidak sah sebuah pembebasan budak itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk membebaskan. Tidak sah sebuah penjualan itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak untuk menjual. Tidak sah sebuah penunaian nadzar itu kecuali dilakukan oleh yang memiliki hak berkewajiban atasnya. (HR. Tirmizi - Hadits hasan)

(12)

Walau pun banyak yang mengkritik bahwa periwayatan hadits ini lemah, namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat banyak jalur sehingga derajatnya naik dari hasan menjadi hadits shahih.

Dalam pendapat qadimnya, Al-Imam Asy-syafi'i membolehkan jual-beli yang dilakukan oleh bukan pemiliknya, tetapi hukumnya mauquf. Karena akan dikembalikan kepada persetujuan pemilik aslinya. Misalnya, sebuah akad jual-beli dilakukan oleh bukan pemilik asli, seperti wali atau wakil, kemudian pemilik asli barang itu ternyata tidak setuju, maka jual-beli itu menjadi batal dengan sendirinya. Tapi bila setuju, maka jual-beli itu sudah dianggap sah.

Dalilnya adalah hadits berikut ini :

'Urwah ra berkata,"Rasulullah SAW memberi aku uang 1 Dinar untuk membeli untuk beliau seekor kambing. Namun aku belikan untuknya 2 ekor kambing. Lalu salah satunya aku jual dengan harga 1 Dinar. Lalu aku menghadap Rasulullah SAW dengan seekor kambing dan uang 1 Dinar sambil aku ceritakan kisahku. Beliau pun bersabda,"Semoga Allah memberkatimu dalam perjanjianmu". (HR. Tirmizi dengan sanad yang shahih).

d.Bisa Diserahkan

Tidak boleh menjual barang yang tidak mampu diserahkan seperti menjual burung diudara, ikan dalam air, unta yang lari, kuda yang hilang, atau harta yang dirampas, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: “Nabi SAW melarang menjual barang yang ada unsur menipu.” Menjual hal yang tidak bisa diserahkan termasuk menipu (gharar).

Para ahli fiqih di masa lalu mengatakan bahwa tidak sah menjual setengah bagian dari pedang, karena tidak bisa diserahkan kecuali dengan jalan merusak pedang itu.

e. Harus Diketahui Keadaannya

(13)

Dari segi kualitasnya, barang itu harus dilihat oleh penjual dan pembeli sebelum akad jual-beli dilakukan meskipun hanya sampel. Agar tidak terjadi gharar.

Dari segi kuantitas, barang itu harus bisa ditetapkan ukurannya. Baik beratnya, atau panjangnya, atau volumenya atau pun ukuran-ukuran lainnya yang dikenal di masanya.

Tidak diperbolehkan menjual jika zat, jumlah dan sifat pasti nya tidak diketahui, misal jika dikatakan “Saya jaul kepadamu satu dari dua baju ini”. Walau harganya sama, tapi tidak pasti barang mana yang akan dijual.

Dalam jual-beli rumah, disyaratkan agar pembeli melihat dulu kondisi rumah itu baik dari dalam maupun dari luar. Demikian pula dengan kendaraan bermotor, disyaratkan untuk dilakukan peninjauan, baik berupa pengujian atau jaminan kesamaan dengan spesifikasi yang diberikan.

Di masa modern dan dunia industri, umumnya barang yang dijual sudah dikemas dan disegel sejak dari pabrik. Tujuannya antara lain agar terjamin barang itu tidak rusak dan dijamin keasliannya. Cara ini tidak menghalangi terpenuhinya syarat-syarat jual-beli. Sehingga untuk mengetahui keadaan suatu produk yang seperti ini bisa dipenuhi dengan beberapa tekhnik, misalnya:

- Dengan membuat daftar spesifikasi barang secara lengkap. Misalnya tertera di brosur atau kemasan tentang data-data produk secara rinci. Seperti ukuran, berat, fasilitas, daya, konsumsi listrik dan lainnya.

- Dengan membuka bungkus barang sampel, atau garansi yang memastikan pembeli terpuaskan bila mengalami masalah.

4. Saling ridha

Jual beli yang tidak disertai keridhaan di antara penjual dan pembeli, maka jual belinya tidak sah. Diriwayatkan dari Abu Sa id Al-Khudri.‟

(14)

“Sesungguhnya jual beli itu (atas dasar) saling ridha (suka sama suka).” (HR. Ibnu Majah : 2185. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani 5 dalam Shahihul Jami ‟

A. Bai’ Al-Ghaib (Menjual Barang yang Tidak Ada Saat Jual Beli)

Menurut pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib, yaitu barang yang tidak dilihat oleh kedua orang yang bertekad atau salah satunya, berbeda dengan tiga imam yang lain, walaupun ia menentukan akan segera menyerahkannya karena kabar tidak sama dengan melihat secara langsung. Pendapat ini berlaku jika barang yang dijual tidak diketahui ciri atau jenisnya, tapi jika jenis atau macamnya diketahui seperti dia mengatakan: “Saya jual kepadamu baju yang terbuat dari Yaman yang ada di dalam lemari rumahku, atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada di kandangku , ada dua pendapat ulama:

Dalam qaul qadim-nya, Imam Syafi’i mengatakan: jual beli demikian sah, dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika dia melihatnya, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa Usman r.a. membeli sebidang tanah di Kufah kemudian Usman berkata: “Aku menjual tanahku dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya,” lalu Thalhah berkata:”yang berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang belum saya lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli,” lalu keduanya mengadukan masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan kepada Usman bahwa jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia membeli sesuatu yang ghaib dan karena ia satu bentuk tekad terhadap benda, maka boleh walaupun ada yang tidak diketahui tentang sifatnya sama seperti nikah.

(15)

sebab ia termasuk dalam jual beli, maka tidak sah jika ada yang tidak diketahui dari sifatnya sama seperti jual beli sistem salam (ordering). Namun jika kita mengambil qaul qadim, apakah sahnya akad mengharuskan kita untuk menyebutkan semua sifat (ciri barang) atau tidak? Ada tiga pendapat:

1. Tidak sah sampai semua sifat (ciri)nya disebutkan sebagaimana barang yang dipesan (musallam fihi).

2. Tidak sah sampai sifat-sifat utamanya disebutkan.

3. Sah dan tidak perlu menyebutkan sifatnya. Ini adalah pendapat yang dipilih dalam mazhab kami (Syafi’i) karena yang menjadi patokan adalah ru’yah (melihat) dan dia memiliki hak khiyar ketika melihat, sehingga tidak perlu menyebutkan cirinya.

Jika diterangkan sifatnya lalu setelah melihat ternyata ada yang tidak sama, maka pada saat itu pembeli ada hak khiyar, namun jika sama atau lebih baik, maka ada dua pendapat. Pertama, tidak ada khiyar karena dia mendapatinya sama dengan yang dijelaskan sama seperti barang yang dipesan. Kedua, ada hak khiyar (sehingga ia bolehmeneruskan atau mebatalkan akad), karena dia tahu ada khiyar ru’yah, maka tidak boleh tanpa khiyar.

B. Larangan Dalam Jual Beli

Larangan tidak selamanya membatalkan, namun terkadang ia juga dapat membatalkan. Larangan yang dimaksud dalam makalah ini adalah larangan yang membatalkan. Ia dapat terwujud jika pengharaman ditujukan pada akad itu sendiri, seperti hilangnya rukun. Diantaranya yaitu7:

1. Jual Beli Sperma Hewan Jantan (Asbu Al-Fahl)

(16)

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ibnu Amru yang artinya:

“Bahwasanya Nabi SAW melarang menjual sprema hewan ajntan.”

2. Jual Beli Anak Hewan dalam Janin (Habl Al-Hablah)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu umar dengan lafal:”Rasul SAW melarang menjual Habl Al-Hablah. Hal ini juga berlaku pada janin manusia.

3. Jual Beli Mulasamah dan Munabadzah

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan Abi Sa’id hadis ini dengan lafal: “Rasulullah melarang munabadzah dan mulasamah dalam jual beli”

4. Jual Beli Hushat (dengan kerikil)

Maksudnya disini adalah, jika penjual melempar batu, maka jual beli menjadi wajib, dengan cara mengatakan:”Saya jual kepadamu baju-baju ini yang terkena lemparan batu.

5. Jual Beli Al-‘Urbun

Maksudnya yaitu seseorang membeli satu barang dan memberi penjual sejumlah uang dengan syarat uang tersebut menjadi bayaran atas harga barang jika si pembeli rida dengan barang, kalau tidak maka barang dikembalikan atau status barang berubah jadi hibah.

6. Dua jualan dalam Satu Akad

Contohnya seperti:”Saya jual kepadamu kuda ini dengan syarat kamu menjual rumahmu seharga seribu dinar atau kamu membeli rumahku dengan harga sekian”

(17)

Haram, jika tawarn oleh orang yang petama dianggap sah. Jika tawaran dari orang petama tidak sah maka tidak haram. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi SAW yang artinya:

“ Jangan seorang laki-laki menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya”(HR. Muttafaq ‘alaihi)

Maksud hadis diatas adalah larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain. Namun jika lamaran pertama tidak sah, maka boleh.

C. Khiyar

a. Pengertian Khiyar

Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan ( ةرايخو اريخ ريخي راخ - - - ) yang sinonimnya: ((هلريخوهام هاطعأ yang artinya” memberikan kepadanya sesuatu yanglebih baik baginya”.

Menurut istilah kalangan ulama fikih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.8 Sayyid Sabiq

memberikan definisi khiyar sebagai berikut.

Artinya: khiyar adalah menuntut yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskan (akad jual beli) atau membatalkannya.

Khiyar itu dimaksudkan untuk menjamin adanya kebebasan berpikir antara pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu kalau pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hatinya kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka oleh karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak

(18)

atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.9

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa

khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela atau setuju.10

b. Dasar Hukum Khiyar

Berdasarkan prinsip wajib menegakkan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat yang diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.11

Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Diantara sunnah tersebut adalah hadis yang diriwaytkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Al-Harits:

Artinya: Dari Abdullah bin al-harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi saw beliau bersabda: “ penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. ( HR. Al-Bukhari).12

9 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 408.

10 Ahmad Wardi Muslich. op.cit. hlm. 216.

11 Hamzah Ya qub. ‟ op. cit. hlm. 153.

(19)

Disamping itu ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Umar dengan arti sebagai berikut:

Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi SAW: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda:atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari)13

Dari hadis tersebut jelaslah bahwa khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apalagi apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syari at Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar‟

tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqih adalah disyari’atkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.14

c. Macam-Macam Khiyar

Salah satu prinsip dalam jual beli menurut syari’at Islam adalah adanya hak kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Hak tersebut dinamakan khiyar. Hikmahnya adalah untuk kemaslahatan bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi itu sendiri, memelihara kerukunan, hubungan baik serta menjalin cinta kasih di antara sesama manusia. Adakalanya seseorang sudah terlanjur membeli barang, sekiranya hak khiyar ini tidak ada, maka akan menimbulkan penyesalan salah satu pihak dan dapat menjurus pada kemarahan, kedengkian, dendam dan persengketaan dan juga perbuatan buruk lainnya yang dilarang oleh agama.

Syari’at bertujuan melindungi manusia dari keburukan-keburukan itu, maka syari’at menetapkan adanya hak khiyar dalam rangka tegaknya keselamatan, kerukunan dan keharmonisan dalam hubungan antar manusia. 15

Berdasarkan dari hal tersebut ada beberapa macam khiyar yang perlu untuk

13 Imam Bukhori, Ibid. hlm. 25 .

14 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta:Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005, hlm. 80.

(20)

diketahui. Adapun macam khiyar tersebut antar lain: a. Khiyar Majelis

Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad menurut kalangan ahli fiqih adalah tempat kedua orang yang berakad berada dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya akad. Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad apapun keadaan pihak yang berakad.16

Adapun menurut istilah khiyar majelis adalah khiyar yang ditetapkan oleh syara‟

bagi setiap pihak yang melakukan transaksi, selama para pihak masih berada di tempat transaksi. Khiyar majelis berlaku dalam berbagai macam jual beli, seperti jual beli makanan dengan makanan, akad pemesanan barang (salam), syirkah.17

Dasar hukum khiyar majlis adalah hadist Al-Bukhari dari Ibnu Umar yang artinya: “Dari ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan kepada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar”. (HR. Al-Bukhari).18

Ketika jual beli telah berlangsung, masing-masing pihak berhak melakukan khiyar antara membatalkan atau meneruskan akad hingga mereka berpisah atau menentukan pilihan. Perpisahan terjadi apabila kedua belah pihak telah memalingkan badan untuk meninggalkan tempat transaksi. Pada prinsipnya

khiyar majlis berakhir dengan adanya dua hal: 1. Keduanya memilih akan terusnya akad

2. Di antara keduanya terpisah dari tempat jual beli.19

Tidak ada perbedaan di antara kalangan ahli fiqih yang mengatakan bolehnya khiyar majlis, bahwa akad dengan khiyar ini adalah akad yang boleh, dan bagi masing-masing pihak yang berakad mempunyai hak untuk mem-fasakh atau meneruskan selama keduanya masih dalam majlis dan tidak memilih meneruskan akad.20

b. Khiyar Syarat

16 Abdul Aziz Muhammad Azzam. op.cit. hlm. 177.

17 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi i Al-Muyassar,‟ Terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, “ Fiqih Imam Syafi i”, Jakarta: Almahira, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 676.‟

18 Imam Bukhori, loc.cit. hlm. 25.

19 Sudarsono, op.cit. hlm. 410.

(21)

Menurut Sayyid Sabiq khiyar syarat adalah suatu khiyar dimana seseorang membeli sesuatu dari pihak lain dengan ketentuan dia boleh melakukan khiyar

pada masa atau waktu tertentu, walaupun waktu tersebut lama, apabila ia menghendaki maka ia bisa melangsungkan jual beli dan apabila ia mengendaki ia bisa membatalkannya.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa khiyar syarat adalah suatu bentuk khiyar dimana para pihak yang melakukan akad jual beli memberikan persyaratan bahwa dalam waktu tertentu mereka berdua atau salah satunya boleh memilih antara meneruskan jual beli atau membatalkannya.

Dasar hukum khiyar syarat adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Umar yang artinya:

“Dari Ibnu Umar r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual beli, maka masing-masing pihak berhak melakukan khiyar, baik kedua-duanya maupun salah satunya. Apabila salah satu dari keduanya melakukan khiyar terhadap yang lainnya, kemudian mereka berdua melakukan jual beli atas dasar kesepakatan mereka, maka jual beli telah wajib dilaksanakan. Apabila mereka berpisah setelah melakukan jual beli dan salah satu pihak tidak meninggalkan jual beli, maka jual beli wajib dilaksanakan”.

(HR. Muttafaq alaih, dan redaksi dari Muslim).21

Khiyar syarat disyari’atkan untuk menjaga kedua belah pihak yang berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang kemungkinan di dalamnya terdapat unsur penipuan dan dusta. Oleh karena itu, Allah SWT memberi orang yang berakad dalam masa khiyar syarat dan waktu yang telah ditentukan satu kesempatan untuk menunggu karena memang diperlukan. Kalangan ulama fiqih sepakat bahwa khiyar syarat sah jika waktunya diketahui dan tidak lebih dari tiga hari dan barang yang dijual tidak termasuk barang yang cepat rusak dalam tempo ini.22

(22)

pengembalian barang akibat adanya cacat dalam suatu barang yang belum diketahui, baik aib itu ada pada waktu transaksi atau baru terlihat setelah transaksi selesai disepakati sebelum serah terima barang.

Yang mengakibatkan terjadinya khiyar disini adalah aib yang mengakibatkan berkurangnya harga dan nilai bagi para pedagang dan orang-orang yang ahli dibidangnya.23 Menurut ijma’ Ulama, pengembalian barang karena cacat boleh

dilakukan pada waktu akad berlangsung, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadis, yaitu hadis „Uqbah bin Amir r.a, dia berkata, “ Aku mendengar Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim yang lafaznya:

“Dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim adalah saudaranya muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim apabila menjual barang jualannya kepada muslim lain yang didalamnya ada cacat, melainkan ia harus menjelaskan (aib atau cacatnya) itu kepadanya”. ( HR. Al-Hakim dari „Uqbah Ibnu Amir).24

Jika akad telah dilakukan dan pembeli telah mengetahui adanya cacat pada barang tersebut, maka akadnya sah dan tidak ada lagi khiyar setelahnya.25

Alasannya ia telah rela dengan barang tersebut beserta kondisinya. Namun jika pembeli belum mengetahui cacat barang tersebut dan mengetahuinya setelah akad, maka akad tetap dinyatakan benar dan pihak pembeli berhak melakukan

khiyar antara mengembalikan barang atau meminta ganti rugi sesuai dengan adanya cacat.

Dimyauddin Djuwaini mengatakan bahwa khiyar aib bisa dijalankan dengan syarat sebagai berikut:

1. Cacat sudah ada ketika atau setelah akad dilakukan sebelum terjadi serah terima, jika aib muncul setelah serah terima maka tidak ada khiyar.

2. Aib tetap melekat pada obyek setelah diterima oleh pembeli.

3. Pembeli tidak mengetahui adanya ‘aib atas obyek transaksi, baik ketika melakukan akad atau setelah menerima barang. Jika pembeli mengetahui sebelumnya, maka tidak ada khiyar karena itu berarti telah meridhoinya.

23 Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm. 98.

24 Ahmad Wardi Muslih. op.cit. hlm. 233.

(23)

4. Tidak ada persyaratan bara’ah (cuci tangan) dari aib dalam kontrak jual beli, jika dipersyaratkan, maka hak khiyar gugur.

5. Aib masih tetap sebelum terjadinya pembatalan akad.26

Pembeli diperbolehkan memilih antara mengembalikan yang telah dibeli dan mengambil harganya, atau tetap menahan barang tersebut tanpa memperoleh ganti apapun dari pihak penjual. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa pembeli tetap membawa barang yang dibelinya sedang penjual memberikan ganti rugi cacatnya kebanyakan fuqaha anshar membolehkannya.27

Hukum kerusakan barang baik yang rusak seluruhnya atau sebagian, sebelum akad dan sesudah akad terdapat beberapa ketentuan yaitu:

a. Barang rusak sebelum diterima pembeli

1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak oleh penjual, maka jual beli batal.

2) Barang rusak oleh pembeli, maka akad tidak batal dan pembeli harus membayar.

3) Barang rusak oleh orang lain, maka jual beli tidaklah batal, tetapi pembeli harus khiyar antara melanjutkan atau membatalkan akad jual beli.

b. Jika barang rusak semuanya setelah diterima oleh pembeli

1) Barang rusak dengan sendirinya atau rusak yang disebabkan oleh penjual, pembeli atau orang lain, maka jual beli tidaklah batal sebab barang telah keluar dari tanggung jawab penjual. Akan tetapi jika yang merusak orang lain, maka tanggungjawabnya diserahkan kepada perusaknya.

2) Jika barang rusak oleh penjual maka ada dua sikap yaitu:

a) Jika pembeli telah memegangnya baik dengan seizin penjual maupun tidak, tetapi telah membayar harga, maka penjual yang bertanggung jawab.

b) Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya dan harga belum diserahkan, maka akad menjadi batal.

c. Barang rusak sebagian setelah dipegang oleh pembeli

1) Tanggung jawab bagi pembeli, baik rusak oleh sendirinya ataupun orang

26 Dimyauddin Djuwaini. op.cit. hlm.99.

(24)

lain.

2) Jika disebabkan oleh pembeli, maka perlu dilihat dari dua segi. Jika dipegang atas seizin penjual, hukumnya sama seperti barang yang dirusak oleh orang lain. Jika dipegang bukan atas seizinnya, maka jual beli batal atas barang yang dirusaknya.28

d. Khiyar Ru’yah

Khiyar ru'yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya.

Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa.

Sedangkan menurut Imam Syafi i khiyar ru yah ini tidak sah dalam proses‟ ‟

jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah.

Syarat Khiyar Ruyah bagi yang membolehkannya antara lain:

a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.

b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.

c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.29

2.2 Riba dan Kaitannya dengan Bank 2.2.1 Pengertian Riba

Secara bahasa riba berarti tambahan (ziyadah). Dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta.

Adapun menurut ahli fiqh riba adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa adanya ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan

28 Rahmat Syafi i, ‟ Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 90.

(25)

dianggap riba karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya, melainkan keuntungan jual. Hanya saja tambahan dengan istilah “Riba” yang diharamkan dalam Al-Qur’an menerangkan pengharamannya karena tambahan yang diambil itu adalah sebagai ganti dari tempo. Misal seseorang menjual barang kepada orang lain secara terhutang hingga tempo tetentu, dan jika jatuh waktu tempo dan belum dibayar akan dinaikkan jumlah hutangnya serta melambatkan tempo30.

Hanafi mengatakan bahwa riba itu terbagi menjadi dua, yaitu riba Al-Fadhl dan riba An-Nasa'. Sedangkan Imam As-Syafi'i membaginya menjadi tiga, yaitu riba Al-Fadhl, riba An-Nasa' dan riba Al-Yadd. Dan Al-Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba AlQardh. Semua jenis riba ini diharamkan secara ijma' berdasarkan nash Al Qur'an dan hadits Nabi" (Az Zawqir Ala Iqliraaf al Kabaair vol. 2 him. 205).

Secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua besar, yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Fokus kepada riba dalam jual beli yaitu :

Riba Fadhl

Riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam masalah barter atau tukar menukar benda. Namun bukan dua jenis benda yang berbeda, melainkan satu jenis barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Dan jenis barang yang dipertukarkan itu termasuk hanya tertentu saja, tidak semua jenis barang. Barang jenis tertentu itu kemudian sering disebut dengan "barang ribawi".

Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).

Apakah riba fadhl hanya berlaku pada harta yang disebukan dalam hadis saja? Ulama bereda pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat

(26)

Syafi’iyyah, alasan berlakunya riba pada emas dan perak karena keduanya adalah alat tukar jual beli, maka dengan ini hukum penukaran uang dengan uang pun harus sama kadar/konversinya. Sedangkam komoditi lainnya seperti garam dan sebagainya adalah sebagai bahan makanan. Jadi tukar menukar barang yang sejenis dimana barang itu termasuk bahan makanan, berlaku hukum riba jika tidak sama kadarnya. Namun menurut ulama Syafi’iyyah jika tukar menukar barang yang tidak sejenis misal gandum dengan jagung, maka tidak dikenai hukum riba meskipun ada tambahan31.

 Emas : Barter emas dengan emas hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, emas 10 gram 24 karat tidak boleh ditukar langsung dengan emas 20 gram 23 karat. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.

 Perak : Barter perak dengan perak hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, perak 100 gram dengan kadar yang tinggi tidak boleh ditukar langsung dengan perak200 yang kadarnya lebih rendah. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.

 Gandum : Barter gandum dengan gandum hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg gandum kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg gandum kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.

 Terigu : Demikian juga barter terigu dengan teriguhukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 100 Kg terigu kualitas nomor satu tidak boleh ditukar langsung dengan 150 kg terigu kuliatas nomor dua. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu.

 Kurma : Barter kurma dengan kurma hukumnya haram, bila kadar dan ukurannya berbeda. Misalnya, 1 Kg kurma ajwa (kurma nabi) tidak

(27)

boleh ditukar langsung dengan 10 kg kurma Mesir. Kecuali setelah dikonversikan terlebih dahulu masing-masing benda itu

 Garam

Riba Nasi’ah

Nasi'ah bersal dari kata nasa' yang artinya penangguhan. Sebab riba ini terjadi karena adanya penangguhan pembayaran. Inilah riba yang umumnya kita kenal di masa sekarang ini. Dimana seseorang memberi hutang berupa uang kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa hutang uang itu harus diganti bukan hanya pokoknya, tetapi juga dengan tambahan prosentase bunganya. Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Contoh : Yuka ingin membeli rumah. Dia meminjam uang kepada bank sebesar 200 juta dengan bunga 14 % pertahun. Sistem peminjaman seperti ini, yaitu harus dengan syarat harus dikembalikan plus bunganya, maka transaksi ini adalah transaksi ribawi yang diharamkan dalam syariat Islam.

2.2.2 Hukum Riba

Riba adalah salah satu dari 7 dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits berikut ini :

: :

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan". Para shahabat bertanya,"Apa saja ya Rasulallah?". "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menuduh zina. (HR. Muttafaq alaihi)

(28)

 At-Takhabbut : Kesurupan seperti kesurupannya syetan.

 Al-Mahqu : Dimusnahkan oleh Allah keberkahan hartanya

 Al-Harbu : Diperangi oleh Allah SWT

 Al-Kufru : dianggap kufur dari perintah Allah SWT. Dan dianggap keluar dari agama Islam apabila menghalalkannya. Tapi bila hanya memakannya tanpa mengatakan bahwa riba itu halal, dia berdosa besar.

 Al-Khuludu fin-Naar : yaitu kekal di dalam neraka, sekali masuk tidak akan pernah keluar lagi dari dalamnya

2.2.3 Hukum Muamalat dalam Bank

A. Kredit dan Kartu Kredit

Kredit dibolehkan dalam hukum jual-beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.

Namun sebagai syarat harus dipenuhi ketentuan berikut :

1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya : harga rumah 100 juta bila dibayar tunai dan 150 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.

2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.

Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan) Untuk lebih jelasnya agar bisa dibedakan antara sistem kredit yang dibolehkan dan yang tidak.

Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.

(29)

yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.

Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual-beli kredit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual-beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemaksaan dan kezaliman.

Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram. Imam Syaukani berkata: "Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat."

Kartu Kredit

Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak kelebihan. Diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Masalah keamanan.

Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan, kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang, seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik kartu tersebut akan diblokir.

b. Masalah kepraktisan.

(30)

Tapi kartu kredit juga tidak bisa dipakai dengan segala kondisi. Selain itu dengan maraknya kasus carding atau pemalsuan kartu kredit di internet terutama dari Indonesia, sampai-sampai transaksi online bila pemesannya dari Indonesia tidak akan dilayani. Pada dasarnya, prinsip kartu kredit ini memberikan uang pinjaman kepada pemegang kartu untuk berbelanja di tempat-tempat yang menerima kartu tersebut. Setiap kali seseorang berbelanja, maka pihak penerbit kartu memberi pinjaman uang untuk membayar harga belanjaan.

Untuk itu seseorang akan dikenakan biaya beberapa persen dari uang yang dipinjamnya yang menjadi keuntungan pihak penerbit kartu kredit. Biasanya uang pinjaman itu bila segera dilunasi dan belum jatuh tempo tidak atau belum dikenakan bunga, yaitu selama masa waktu tertentu misalnya satu bulan dari tanggal pembelian.

Tapi bila telah lewat satu bulan itu dan tidak dilunasi, maka akan dikenakan bunga atas pinjaman tersebut yang besarnya bervariasi antara masing-masing perusahaan. Jadi bila dilihat secara syariah, kartu kredit itu mengandung dua hal. Pertama, pinjaman tanpa bunga yaitu bila dilunasi sebelum jatuh tempo. Kedua, pinjaman dengan bunga yaitu bila dilunasi setelah jatuh tempo.

Bila seseorang bisa menjamin bahwa tidak akan jatuh pada opsi kedua, maka menggunakan kartu kredit untuk berbelanja adalah halal hukumnya. Tapi bila sampai jatuh pada opsi kedua, maka menjadi haram hukumnya karena menggunakan praktek riba yang diharamkan oleh Allah SWT.

B. Bunga Bank

Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah saw memalui ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash itu adalah :

(31)

Al-Quran mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut

- Tahap Pertama

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 )

Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.

Tahap Kedua

.

مهذخأو اريثك هللا ليبس نع مهدصبو مهل تلحأ تابيط مهيلع انمرح اوداه نيذلا نم ملظبف اميلأ اباذع مهنم نيرفاكلل اندتعأو لطابلاب سانلا لاومأ مهلكأو هنع اوهن دقو ابرلا

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. (QS. An-Nisa : 160-61)

Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.

- Tahap Ketiga

نوحلفت مكلل هللا اوقتاو ةفعاضم افاعضأ ابرلا اولكأت ل اونمآ نيذلا اهيأآي

(32)

Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda.

- Tahap Keempat

.

برحب اونذأف اولعفت مل نإف نينمؤم متنك نإ ابرلا نم يقب ام اورذو هللا اوقتا اونمآ نيذلا اهيأآي

نوملظت لو نوملظت ل مكلاومأ سؤر مكلف متبت نإو هلوسرو هللا نم

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)

Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata (ابرلا) mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi'ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (عيبلا) yang berarti semua jenis jual-beli.

2. As-Sunah

As-Sunnah juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama .

Dalam hadits lain disebutkan :

(33)

Dengan dalil-dalil qoth'i di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat sharih dan jelas. Bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang yang menjalankan riba itu.

Pendapat yang mengharamkan bunga bank

1. Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c :

- bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal

- bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.

-2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.

3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal : Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

(34)

Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.

5. Konsul Kajian Islam

(35)

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pada pembahasan dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Hukum asal jual beli adalah mubah, namun bisa menjadi wajib, mandub, makruh aau haram dengan kondisi tertentu.

2. Allah mengharamkan segala jenis paktek riba berdasarkan alasan yang sudah dipaparkan dalam pembahasan.

3.2 Saran

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafiz.2010.Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira

Abdul Wahid Muhammad Ibnu Rusyd, 2007.Bidayatul Mujtahid, Ghazali Said, Terj. “Bidayatul Mujtahid”, Jakarta: Pustaka Amani

Alaudin Al-Kasyani, Bada’I Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-syarai’. Syirkah Al-Mathbu’ah, Mesir

Al-Fiqihul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-zuhaili jilid 4

Azharudin Lathif, 2005.Fiqh Muamalat.Jakarta: UIN Jakarta Press

Aziz MA, Abdul. 2009.Fiqh Ibadah.Jakarta :Amzah

Dewi ,Gemala. 2005 .Hukum Perikatan Islam di Indonesia Cet. Ke 1,Jakarta:Prenada Media Ya qub‟

Dimyauddin Djuwaini. 2008.Pengantar fiqh muamalah..Yogyakarta :Pustaka Pelajar

Hamzah.1992.Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV.Diponegoro

Ibnu Qudamah. Al-Mugni. Mathba’ah Al-Imam, Mesir

Kifayatul Akhyar

Mughni Al-Muhtaj jilid 2

Muhammad Asy-Syarbini. Mugni al-muhtaj.

Rahmat Syafi i, 2001.‟ Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia

Sayyid Sabiq. 2011.Fiqih Sunnah.Semarang Pena Publishing

Shohih Imam Bukhori

Sudarsono, 1992.Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta

Wahbah Zuhaili, 2010 Al-Fiqhu As-Syafi i Al-Muyassar‟ Cet. Ke-1, Terj. Muhammad Afifi,

Referensi

Dokumen terkait

penentuan sampel ini menggunakan teknik purposive sampling , yakni menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal

Pada gambar 2 menunjukkan sistem yang dibuat terdiri dari 4 entitas yaitu admin, pelanggan, pemasok dan pimpinan dan memiliki 15 proses yaitu kelola hak akses,

Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Lingkungan kerja (X) secara tidak langsung berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Kinerja Karyawan (Y) melalui

Hal ini perlu dilakukan melihat rendahnya tingkat promosi perusahaan. Selama ini CV. Playbil hanya melakukan kegiatan promosi melalui brosur dan internet sementara

Mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar gamma yang dikombinasi dengan seleksi in vitro pada konsentrasi NaCl letal (LC50) terhadap kalus tebu varietas PS862

b. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam me-laksanakan tindakan yang tepat. Ketidakmampuan keluarga untuk menciptakan kebersihan lingkungan Sesuai dengan fungsi

Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan kegiatan yang bersifat edukatif kepada para pemuda salah satunya dengan memberikan Memberikan Pelatihan “ Lompatan”