• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS BAHASA POLITIK PEJABAT PUBLIK I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS BAHASA POLITIK PEJABAT PUBLIK I"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BAHASA POLITIK

PEJABAT PUBLIK INDONESIA BERDASARKAN TINJAUAN FILSAFAT NILAI

Bambang Widiatmoko

ABSTRACT

Political language of Indonesia’s public official have a special characteristics so it is need more exploration based on philosophy of value’s perspective. In this paper the writer describe Indonesia’s public official political language based on philosophy of value. The description is based on two kinds of value ground, namely aestethics value and social value.

Keywords: political language, public official, philosophy of value, aestethics value, social value

PENDAHULUAN

Peran strategis dan vital bahasa sebagai alat komunikasi umat manusia dalam keseluruhan aspek kehidupan membuat bahasa tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, bahasa merupakan bagian integral dari keberadaan manusia karena hanya makhluk berpikir yang diberi kemampuan berbahasa, sedangkan makhluk hidup lain tidak memilikinya.

(2)

LANDASAN TEORI

Pengertian Bahasa Politik

Bahasa digunakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 886) politik adalah (1) (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan), dan (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

Mengacu kepada definisi mengenai politik dan definisi mengenai bahasa, pengertian “bahasa politik” dapat dirumuskan sebagai “bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan masalah kenegaraan dan pemerintahan, termasuk di dalamnya segala macam produk yang dihasilkan oleh perangkat penyelenggara pemerintahan, meliputi lembaga eksekutif, judikatif, maupun legislatif.” Secara umum, bahasa politik dapat diartikan sebagai bahasa yang digunakan oleh warga negara dalam konteks politik, pemerintahan atau kenegaraan. Dalam pengetian ini, bahasa politik bersifat universal dan menyeluruh dan digunakan oleh seluruh kalangan, baik rakyat biasa maupun pejabat pemerintahan.

Pengertian Filsafat Nilai

Filsafat nilai adalah salah satu cabang filsafat yang khusus membahas masalah nilai. Filsafat ini dirumuskan sebagai cabang tersendiri ilmu filsafat pada peralihan abad ke-19 ke abad 20 (Yuliang: 2003). Cabang filsafat nilai membahas nilai secara filosofis/kefilsafatan yaitu mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai kepada hakikat nilai tersebut untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan.

Istilah lain fisafat nilai adalah aksiologi. Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata axia yang berarti nilai dan logia yang berarti ilmu.

Jika diartikan, aksiologi merupakan studi yang berusaha membongkar segala

(3)

Aksiologi secara mendalam membedakan ada (being [keberadaan]) dengan nilai (value). Hal ini dibedakan karena nilai tidak akan ada tanpa ada yang mengemban. Hal ini dapat dirumuskan dengan: Ada = sesuatu + nilai. Oleh karena itu, sifat nilai selalu tergantung pada pengembannya, yaitu sesuatu. Hal ini berarti nilai bersifat parasitis.

Ikhtiar mengembangkan filsafat nilai (aksiologi) terus dilakukan oleh kalangan cendekiawan, sarjana maupun filsuf di berbagai wilayah dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa tokoh cendekiawan Indonesia yang dapat digolongkan sebagai tokoh perintis pengembangan ilmu filsafat antara lain adalah Drijarkara dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Di antara berbagai tokoh perintis filsafat di Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana memiliki kekhasan karena ia pun dikenal sebagai tokoh sastrawan dan budayawan. Sebagai sastrawan ia dikenal sebagai tokoh pelopor lahirnya gerakan Pujangga Baru pada tahun 1933 bersama Amir Hamzah dan Sanusi Pane.

Dalam tulisan ini, filsafat nilai yang menjadi landasan peninjauan bahasa politik pejabat publik Indonesia dibatasi pada filsafat nilai yang dikembangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Ada dua dasar pertimbangan mengapa dipilih filsafat nilai yang dikembangkan oleh Alisjahbana.

Menurut Magnis-Suseno (2002:106-107), pusat pemikiran filosofis Sutan Takdir Alisjahbana adalah filsafat nilai. Menurut Takdir, manusia dibedakan dari hewan karena ia dapat memberikan penilaian. Hewan tidak dapat memberikan penilaian. Hewan adalah satu dengan kegiatannya. Apa yang dilakukan, kelakuan mana yang “dipilih” oleh hewan, ditentukan oleh tarikan nalurinya dan tidak ditentukan oleh suatu penilaian tentang apa yang tepat dan apa yang tidak tepat, apa yang baik dan apa yang tidak baik. Tetapi dalam manusia, kekuatan naluri sangat terbatas. Untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mengembangkan diri, manusia menurut Takdir mengandalkan kemampuan yang hanya ada padanya, yaitu budi, dalam bahasa Inggris mind.

(4)

1. Nilai-nilai teoritis atau gugus nilai ilmu pengetahuan. Penilaian teoritis mengikuti tolok ukur benar-salah. Yang bernilai positif adalah kebenaran, yang bernilai negatif adalah kekeliruan.

2. Nilai-nilai atau gugus nilai-nilai ekonomi. Sesuatu itu bernilai secara ekonomis tergantung dari apakah sesuatu itu menguntungkan atau tidak, atau malahan merugikan. Jadi, kriterianya adalah untung rugi.

3. Nilai-nilai religius atau gugus nilai agama. Nilai religius tertinggi adalah yang kudus. Lawannya adalah yang profan.

4. Nilai-nilai estetika atau gugus nilai seni. Penilaian estetik adalah mengenai indah-tidaknya sesuatu. Yang indah bernilai positif, yang jelek negatif.

5. Nilai-nilai politis atau gugus nilai kuasa. Dalam dimensi nilai-nilai politis yang bernilai positif adalah kekuasaan, yang negatif adalah ketertundukan. 6. Nilai-nilai sosial atau gugus nilai solidaritas. Inilah nilai-nilai yang

menentukan apa yang positif dan apa yang negatif dalam hubungan dengan orang lain. Kriterianya adalah baik-buruk, juga solider-egois.

Sejak lama Sutan Takdir Alisjahbana menaruh perhatian pada hubungan antara bahasa dan pikiran. Topik ini menarik sekaligus mengandung muatan strategis dalam menggerakkan aktivitas manusia. Menurut Alisjahbana, bahasa sangat berguna untuk mendeskripsi pemikiran. Bahasa adalah “alat pikiran”, “alat pemikiran yang terbaik dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang empunya bahasa itu”, dan “alat berpikir” (Alisjahbana, 1980: 48-49)

Lebih jauh, mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran, Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan:

(5)

Dengan mengacu kepada enam gugus nilai tersebut, dalam tulisan ini akan dianalisis penggunaan bahasa politik pejabat publik berdasarkan tinjauan gugus nilai estetika (keindahan) dan gugus nilai solidaritas.

Secara ideal, bahasa politik yang digunakan oleh pejabat publik hendaknya bukan hanya tercermin dari keindahan susunan kata atau keterpeliharaan ejaan dan tata bahasa, melainkan juga kesantunan isinya. Di samping itu, bahasa politik yang digunakan oleh pejabat publik idealnya berorientasi kepada pemihakan terhadap masyarakat banyak, dan tidak mengutamakan kelompok atau golongan tertentu.

Sebagai alat aktualisasi beragam aktivitas manusia dari berbagai jenis profesi, bahasa, termasuk bahasa politik, harus mencerminkan budi pekerti penuturnya. Dengan kata lain, bahasa harus digunakan dengan tertib. Menurut Suparno (2003:330), ketertiban penggunaan bahasa dan segi kesantunan dapat ditandai dengan menggunakan teori nosi muka (face notion) yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1987). Menurut teori ini, muka bersifat rawan terhadap ancaman muka. Maka itu, partisipan komunikasi wajib menjaga muka agar tidak dipermalukan. Untuk itu, partisipan harus dapat mengukur tingkat keterancaman muka berdasarkan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, besarnya kekuasaan antara penutur dan mitra tutur, dan status relatif jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dalam budaya komunikasi yang bersangkutan.

PEMBAHASAN

Perspektif Nilai Estetika

Pejabat pemerintah Negara Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan sering kali berinteraksi dengan masyarakat luas (publik). Sebagai pejabat publik yang bertugas melayani publik, idealnya interaksi itu didukung oleh pemakaian bahasa politik yang indah, santun, dan komunikatif.

(6)

fakta. Menurut penjelasan Kamus Linguistik (2001:52) eufemisme adalah “pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu.” Ciri manusia Indonesia enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya melalui penggunaan bahasa yang tidak lugas, cenderung berputar-putar, banyak menggunakan simbol, bahkan terkesan menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Kecenderungan ini dijumpai hampir pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk kalangan elit pemimpin dan pejabat publik.

Dalam batas-batas tertentu, eufemisme dapat memberikan kontribusi positif, misalnya meredam gejolak sosial sehingga mampu menciptakan dan menjaga stabilitas yang diperlukan dalam menjalankan program pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, eufemisme yang digunakan secara berlebihan menunjukkan berkembangnya gejala kurang sehat yaitu semakin mengakarnya budaya tidak mau berterus terang, sikap tidak jujur, dan cenderung menyembunyikan masalah alih-alih memecahkannya.

Menurut Muslich (2006), jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, eufemisme untuk menutupi kenyataan yang ada, sebagaimana yang sering dilakukan oleh kalangan pejabat. Di sini terjadi kebohongan terhadap publik dan kebohongan itu termasuk bagian ketidaksantunan berbahasa.

Pandangan Mochtar Lubis tentang ciri-ciri manusia Indonesia yang termuat dalam buku Manusia Indonesia (2001) memiliki relevansi dengan gejala eufemisme pejabat publik Indonesia. Mochtar Lubis menyebut enam ciri manusia Indonesia, yaitu: (a) hipokrit alias munafik; (b) enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya; (c) berjiwa feodal; (d) percaya tahayul; (e) artistik; dan (f) berwatak lemah.

Perspektif Nilai Sosial

(7)

Indonesia sering kali mencampuradukkan bahasa agama dengan bahasa politik (Tangkisan Letug: 2002).

Meskipun diakui bahwa agama menjiwai orang yang berpolitik, hal itu tidak seharusnya menyeret orang mencampuradukkan bahasa agama dan bahasa politik karena di antara keduanya ada perbedaan yang signifikan. Bahasa agama dapat diartikan sebagai bahasa mengenai relasi manusia dengan Tuhan sehingga bersifat transendental, artinya mengatasi kodrat manusia sebagai mahluk ciptaan Sang Pencipta. Selain itu, dalam bahasa agama manusia menempatkan Tuhan sebagai yang absolut atau mutlak. Karena Tuhan adalah yang mutlak dan absolut, manusia tidak bisa meminta pertanggungjawaban pada Tuhan karena segala sesuatu yang dikenakan pada Tuhan adalah sempurna.

Dalam bahasa agama, orang sering merujuk pada apa yang disebut sebagai kitab suci yang dianggap absolut karena merupakan "kalimat/firman Allah". Karena itu pula, referensi kepada kitab suci itu bersifat ideologis, artinya kitab suci dianggap dan diyakini sebagai sesuatu yang benar tanpa perlu mengkritisinya terlebih dahulu karena kitab suci adalah sabda atau firman Allah.

Ideologi di balik bahasa agama terletak pada kepercayaan atau keyakinannya akan Tuhan yang mutlak yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Kalau bahasa religius merupakan bahasa yang mengungkapkan relasi manusia dengan Yang Mutlak, bahasa politik mengacu kepada relasi manusia dengan manusia. Sejalan dengan itu, ciri bahasa politik adalah keterbukaannya dalam memberikan pertanggungjawaban rasional kepada publik atau orang lain. Selain itu, bahasa politik dengan karakternya sebagai bahasa publik, tidak mengenai kepentingan pribadi atau individual. Bahasa politik dituntut terbuka dan bersifat rasional karena landasan bahasa politik bukanlah yang mutlak, melainkan hubungan antarsesama manusia atau publik.

(8)

argumentasi rasional terhadap persoalan kongkrit hubungan antarmanusia. Dalam konteks ini, tindak korupsi yang dalam bahasa politik adalah tindak pidana, dikait-kaitkan dengan dosa yang merupakan bahasa agama sehingga terjadi penggeseran dari tindak pidana (yang harus menerima tuntutan tanggung jawab) kepada urusan pribadi seseorang dengan Tuhan semata-mata. Ciri pokok bahasa politik Indonesia yang cenderung rancu ini tidak dapat dilepaskan dari watak bangsa Indonesia yang enggan bertanggung jawab atas perbuatannya.

Di sisi lain, kerancuan bahasa politik pejabat publik Indonesia mencerminkan masih rendahnya kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan biasa disebut tatakrama (Muslich, 2006) Menurut Muslich (2006), kesantunan dapat dibagi

tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kesantunan berbuat dan kesantunan berbuat --berbeda dengan kesantunan berpakaian-- tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan sebagai tolok ukur.

Meskipun demikian, ada beberapa indikasi yang dapat dijadikan pegangan. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, seseorang sepatutnya tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang dipikirkannya. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, ia akan dinilai negatif, misalnya dianggap sombong, angkuh, tidak acuh, egois, bahkan tidak berbudaya.

(9)

bernuansa seks, kata-kata yang merujuk kepada organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada benda yang menjijikan, dan kata-kata kotor dan kasar termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari.

Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, maka penggunaan eufemisme (ungkapan penghalus) patut dipertimbangkan. Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan menghormat saat berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan.

SIMPULAN

Setidaknya ada dua ciri-ciri menonjol bahasa politik pejabat publik Indonesia selama kira-kira 32 tahun era pemerintahan orde baru yang hingga kini masih berlangsung. Pertama, bahasa politik pejabat publik Indonesia kental dengan gaya bahasa penghalusan bahasa secara berlebihan atau eufemisme. Kedua, bahasa politik pejabat publik cenderung dicampuradukkan dengan bahasa

wacana lain yang sifatnya nonpolitik.

Pada umumnya, bahasa politik pejabat publik yang kental dengan eufemisme mencerminkan aktualisasi sejumlah sikap negatif yang kurang kondusif bagi penciptaan iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, seperti: sikap kurang terbuka, kurang tegas, cenderung berputar-putar, dan bertindak manipulatif.

(10)

Sehubungan dengan itu, perlu ditingkatkan dan diterapkan kesantunan dalam berbahasa bagi seluruh kalangan masyarakat, termasuk kalangan pejabat publik Indonesia. Sebab, gaya bahasa yang digunakan oleh pejabat publik memiliki dampak besar terhadap kelompok pemakai bahasa lainnya.

Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Jika masyarakat Indonesia memperhatikan aspek kesantunan dalam pemakaian bahasa, kepribadian bangsa niscaya akan berkembang dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir, 1981. Pembimbing ke Filsafat Metafisika, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, cet-5.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fromkin, Victoria and Robert Rodman. 1983. An Introduction to Languag.. Holt, Ribehart and Winston.

Letug, Tangkisan. 2002. “Bahasa Religius dan Bahasa Politik.” Sumber: //www.hamline.edu/apakabar/basisdata; diakses 23 Januari 2006.

Lubis, Mochtar.2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Magnis-Suseno, Franz. 2002. “Sutan Takdir Alisjahbana dan Kebangsawanan

Filsafat.”. Dalam Jurnal Filsafat dan Teologi Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, Diskursus. Vol. 1, No. 2, Oktober 2002.

Muslich, Masnur. 2006. “Kesantunan Berbahasa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik”; Sumber: http://re-searchengines.com/1006masnur2.html; diakses 19 November 2006

Suparman Abdullah. “Dari Filsafat ke Bahasa Sebuah Refleksi Awal Menuju Filsafat Bahasa”. Dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Sawo Manila, Vol. 1, Nomor 2, Desember 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan hanya mencakup tentang gambaran umum 5 kecamatan di kota malang (Lowokwaru, Kedungkandang, Klojen,

Penatalaksanaan tindakan asuhan kebidanan yang dilakukan pada kasus Bayi ”Y” dengan Berat Badan Lahir Rendah dengan umur kehamilan 40 minggu 1 hari dengan berat 2.200 gram dimana

Bersesuaian dengan itu, makmal Sains telah diwujudkan di sekolah-sekolah rendah dan juga menengah, di mana makmal Sains merupakan tempat yang penting dan kondusif bagi guru

Karena syarat uji Chi square tidak terpenuhi, maka pada penelitian ini menggunakan uji alternatifnya, yaitu uji Fisher’ exact, menunjukan bahwa nilai

Dari gambar 4 dapat dilihat grafik perbandingan Tekanan kompresor untuk masing-masing alat ekspansi dan kondisi pengujian, hasil pengujian didapatkan bahwa tekanan

Kredit bermasalah yang tinggi dapat menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena harus membentuk cadangan penghapusan yang besar, sehingga mengurangi

Menurut Clement [4], setiap proses penalaran dalam masalah analogi melewati empat tahapan, yaitu:1) Generating the analogy , yaitu proses merepresentasikan kondisi

Simpulan penelitian ini adalah anak balita yang terpapar asap rokok lebih banyak mengalami pneumonia, anak balita yang tinggal di rumah tidak sehat lebih banyak mengalami