• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

Abdurrahim R.Lubis, Julahir H.Siregar Divisi Ginjal dan Hipertensi Penyakit Dalam FK USU/RSHAM

Pendahuluan

Secara umum fungsi ginjal diketahui adalah sebagai alat untuk membersihkan tubuh dari

bahan-bahan sisa metabolisme baik yang dari hasil pencernaan maupun dari hasil

metabolisme. Selain fungsi tersebut diatas ginjal memiliki fungsi yang lebih banyak lagi

untuk mempertahankan homeostasis tubuh manusia, seperti: 1) Ekskresi produk sisa

metabolic dan bahan kimia asing, 2) Pengaturan Keseimbangan air dan elektrolit, 3)

Pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, 4) Pengaturan tekanan arteri,

5) pengaturan keseimbangan asam-basa, 6) Pengaturan Produksi Eritrosit, 7) Sekresi,

metabolism, dan ekskresi hormone, 8) Glukoneogenesis.1

Pada penyakit ginjal kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal sehingga lama

kelamaan fungsi diatas mulai terganggu. Penyakit ginjal kronik secara garis besar adalah

suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fugsi

ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.2

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit

ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, hal lain yang dapat berperan

dalam terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik adalah defisiensi Fe, kehilangan

darah, masa hidup eritrosit yang memendek, defisiensi asam folat, serta proses inflamasi akut

dan kronik.2 World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan komsentrasi

hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada

wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada

pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal

adalah 11,5 gr/dl pada wanita dan 13,5 gr/dl pada laki-laki ≤ 70 tahun dan 12,0 gr/dl pada

laki-laki > 70 tahun. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality

Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar

hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien

prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita

(2)

Klinisi harus memikirkan keadaan anemia jika tingkat Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

pasien menurun ke 60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah. Saat LGF mengalami penurunan

tigkat sedang seperti ini, akan labih timbul komplikasi seperti hiperfosfatemia, hipokalsemia,

hiperparatiroid, hipertensi, hiperhomosistinemia, dan termasuk juga anemia.3

Etiologi

Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik normokrom, yang

khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai

derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal kronik stadium 4, tapi

kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3. Tabel 1.2,4

Tabel 1. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik1

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi

1 Kerusakan ginjal dengan LGF

normal

≥90 -

2 Kerusakan ginjal dengan

penurunan LGF ringan

60-89 Tekanan darah mulai naik

3 Penurunan LGF sedang 30-59 Hiperfosfatemia

Hipokalsemia

Anemia

Hiperparatiroid

Hipertensi

Hiperhomosistinemia

4 Penurunan LGF berat 15-29 Malnutrisi

Asidosis metabolik

Cenderung hiperkalemia

Dislipidemia

5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung

Uremia

Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya

produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk

kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi

(3)

pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti

hemoglobinopati dapat memperburuk anemia. Untuk lebih lengkapnya, perhatikan Tabel

2.2,4,5

Tabel 2. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik3

Etiologi Penjabaran etiologi

Penyebab utama - Defisiensi relatif dari eritropoietin

Penyebab tambahan - Kekurangan zat besi

- Inflamasi akut dan kronik

- Pendeknya masa hidup eritrosit

Bleeding diathesis

- Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang

Kondisi komorbiditas - Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,

penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif

Patofisiologi

Pandangan Umum

Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk

fungsi endokrinnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi

patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan

penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.4

Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang

memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi

tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari

fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal

yang berat. Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien

penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang

menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas

penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay

menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien

anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin

(4)

tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit

reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal

terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif. Defisiensi

eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi

glomerulus. Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan

eritopoietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin.3,6

Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor

eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat

pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang

dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi

reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan

kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi

yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH.

Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak

hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis

dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikan, leukopenia, dan trombositopenia bukan

merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak

memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik.

Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih

kontroversi jika dikatakan bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis.

Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari

kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH

dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH

pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH

seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab

dalam hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagal ginjal.7

Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh

karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini

adalah dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-pasien hemodialisis dapat

kehilangan darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah melalui saluran cerna, sering

diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan

anemia. Kekurangan asam folat bisa bersamaan dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan

(5)

Kecendrungan terjadi perdarahan pada uremia agaknya disebabkan oleh gangguan kualitatif

trombosit dan dengan demikian menyebabkan gangguan adhesi.6,7

Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi saluran

cerna yang buruk (antasida yang diberikan pada hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam

usus). Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.

Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga kehilangan besi pada

pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak.6,7

Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang

masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit

ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem

transport besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan

cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.7

Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup

eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan

lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri. Hemolisis pada

gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup

eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang

hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%.

Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang

ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah

merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki

waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase

membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan

mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat

shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan

kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi

semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan.

Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga

menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau

normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in

vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat

menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung

penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui

(6)

respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang

menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan

uremia.3,7

Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang

mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler

(hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan

penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis

dapat timbul akibat kompliksai dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan

kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan

teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup,

bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi

filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin,

penghambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat

disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan

kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme

merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis

sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah

yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa

mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi

pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis

pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali

atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi

maligna.3,7

Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjal

terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh

konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung

aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya

meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut

kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya

dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium

pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine.

Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme

besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui

(7)

Inflamasi

Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, saturasi

transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan besi yang bermanifestasi dengan

tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti

interleukin 6 berhubungan dengan respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada

pasien-pasien gagal ginjal terminal.8

Feritin pada Penyakit ginjal kronik

1. Struktur dan Fungsi Feritin

Feritin merupakan cadangan besi utama yang dijumpai pada jaringan tubuh manusia.

Feritin terdiri dari 24 subunit dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan jantung (H), dengan berat

molekul 19 dan 21 kDa. Subunit H memiliki peranan yang penting dalam mendetoksifikasi

besi secara cepat oleh karena aktivitas feroksidasenya, dimana oksidasi besi menjadi bentuk

Fe(III). Sedangkan subunit L memfasilitasi nukleasi besi, mineralisasi dan cadangan besi

jangka panjang.8

Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi feritin

adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Zat

besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali. Hati

merupakan tempat penyimpanan feritin terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam

mobilisasi feritin serum. Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum

meningkat, hal ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat

pelepasan feritin dari sel hati yang rusak. Pada penyakit keganasan sel darah merah, kadar

feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia. Pada

keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial

dan disekresikan ke dalam plasma. Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan

besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).8,9

2. Ferritin pada keadaan inflamasi

Kadar C-Reactive Protein (CRP) akan meningkat cepat pada infeksi, disebut respon fase

akut. Peningkatan CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi interleukin-6 (IL-6) di

dalam plasma yang sebagian besar diproduksi oleh makrofag. Makrofag merupakan sel imun

yang berperan langsung dengan kadar besi dalam tubuh manusia. Makrofag membutuhkan

zat besi untuk memproduksi highly toxic hydroxyl radical, juga merupakan tempat

(8)

protein fase akut yang dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh

makrofag dengan cara mengatur ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu

peningkatan retensi besi dalam makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur

aktivitas sitokin, proliferasi, dan aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi

makrofag akan terpengaruh.9,10

Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks. Konsentrasi

protein fase akut meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut karena tindakan

pembedahan, infark miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan disebabkan oleh sintesis di

hati, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan penyebab inflamasi. Pengukuran

protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati progresivitas dari inflamasi serta melihat

respon terapi dengan melihat nilai protein fase akut saat mulai meningkat dan kadar yang

tertinggi. Kadar feritin serum tidak dapat menggambarkan indeks cadangan besi dalam tubuh

pada saat terjadi kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh sistem reticulo endotelial, yang

berperan penting dalam proses metabolisme zat besi saat pembentukan hemoglobin dari sel

darah merah senescent. Proses inflamasi dan infeksi akut akan memicu blokade pelepasan zat

besi sehingga akan menurunkan kadar zat besi serum.10

3. Hiperferitinemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim, >2000 ng/ml, biasanya menandakan adanya

kelebihan besi yang juga dikenal dengan hemosiderosis.Kebanyakan laporan kasus mengenai

kelebihan besi dijumpai pada masa belum digunakannya ESA, ketika transfusi darah lebih

sering digunakan dalam mengatasi anemia.10

Peningkatan serum feritin selama inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisi-kondisi

lain yang tidak berhubungan dengan besi dapat menghalangi kemampuan dalam menilai

status besi pada pasien GGK yang berada dalam kondisi-kondisi tersebut. Feritin serum

merupakan penanda adanya malignansi, seperti pada neuroblastoma, renal cell carcinoma

dan limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga berhubungan dengan disfungsi hati. Inflamasi

kronik sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronik dan lebih dari 40-70%

pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat mengalami peningkatan kadar CRP. Sehingga,

inflamasi kemungkinan keadaan yang sering terjadi pada hiperferitinemia pada penyakit

ginjal kronik.10,11

4. Inflamasi Dan Anemia Pada Penyakit ginjal kronik

Inflamasi dan respon fase akut berkaitan dengan sistem hematopoetik. Selama periode

awal respon fase akut, konsentrasi hemoglobin selalu menurun secara drastis. Hal ini

(9)

inflamasi yang teraktivasi yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit yang dilapisi dengan

imunoglobulin atau kompleks imun. Pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang normal,

penurunan hemoglobin yang tiba-tiba merangsang sekresi eritropoetin selama 4-10 hari.

Ternyata, sekresi eritropoetin yang meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin proinflamasi

pada pasien-pasien yang mengalami respon fase akut.11

Faktor pertumbuhan seperti eritropoetin dan beberapa sitokin penting untuk

pertumbuhan dan diferensiasi progenitor eritrosit pada sumsum tulang. Pada konsentrasi

rendah, sitokin-sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1 menstimulasi pertumbuhan awal

progenitor. Efek inflamasi yang mensupresi eritropoesis terutama disebabkan oleh

peningkatan aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada sel-sel prekursor pada berbagai

tingkatan eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi pada prekursor eritroid ini terutama

disebabkan oleh perubahan sensitivitas terhadap eritropoetin. Efek inhibisi TNF-α dan IL-1

pada eritropoesis dapat diatasi dengan pemberian dosis tinggi ESA. Pada pasien-pasien

dengan gagal ginjal terminal, resistensi ESA berhubungan dengan respon inflamasi seperti

pada pasien dengan peningkatan CRP atau fibrinogen kurang respon terhadap ESA. Gunell

dkk melaporkan bahwa albumin serum yang rendah dan kadar CRP yang meningkat juga

memprediksi resistensi terhadap ESA pada pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal dialisis,

yang mendukung konsep bahwa respon inflamasi menyebabkan hipoalbuminemia dan

anemia pada pasien-pasien gagal ginjal terminal.11

Manifestasi Klinis dan Temuan Fisik

Manifestasi klinis yang biasa ditemukan:12

 Kelemahan umum/malaise, mudah lelah

 Nyeri seluruh tubuh/mialgia

 Gejala ortostatik ( misalnya pusing, dll )

 Sinkop atau hampir sincope

 Penurunan toleransi latihan

 Dada terasa tidak nyaman

 Palpitasi

 Intoleransi dingin

 Gangguan tidur

 Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi

 Kehilangan nafsu makan

(10)

 Kulit (pucat)

 Neurovaskular (penurunan kemampuan kognitif)

 Mata (konjungtiva pucat)

 Kardiovaskular (hipotensi ortostatik, takiaritmia)

 Pulmonary (takipnea)

 Abdomen (asites, hepatosplenomegali)

Diagnosis

Pada penyakit ginjal kronik, keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan

dengan penyakit ginjalnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat dijadikan diagnosis

setelah mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan kelainan eritrosit lainnya. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10% atau hematokrit ≤ 30%.2,3,4,13

Beberapa poin harus diperiksa dahulu sebelum dilakukan pemberian terapi penambah

eritrosit, yaitu : 2,3,4,13

- Darah lengkap

- Pemeriksaan darah tepi

- Hitung retikulosit

- Pemeriksaan besi (serum iron, total iron binding capacity, saturasi transferin, serum

feritin)

- Pemeriksaan darah tersamar pada tinja

- Kadar vitamin B12

- Hormon paratiroid

Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit

terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus

darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi, anemia ini bersifat

hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan

morfologi sel darah merah menampilkan proses hemolitik primer, mikroangiopati atau

hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit secara umum menurun. Mean corpuscular volume

meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan kelebihan besi.

Mean corpuscular volume menurun pada pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang

berat, dan intosikasi aluminium yang berat.4,13

Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO), penilaian terhadap

simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangat diperlukan. Pada

(11)

atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum merupakan indikator yang tepat dari

simpanan besi tubuh. Jika simpanan menurun, nilai feritin serum menurun sebelum saturasi

transferin. Walaupun penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan

saturasi transferin kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi

defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berespons

terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau

hemoglobinopati. Walaupun serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan

spesifisitas, untuk memastikan penyebabnya membutuhkan berbagai jalur kehilangan besi

pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari atau 5 ml

kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin disebabkan karena

antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali dialister yang buruk), flebotomi

yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada terapi rHuEPO.13

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht >

30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi

konservatif, target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak anemia

pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan menggambarkan

halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal. Walaupun demikian

efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada pasien uremia dengan

penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat hematokrit dibawah 25 %.

Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki hipertensi dan miokardiopati. Karena

tubuh memiliki kemampuan untuk mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan

meningkatnya cardiac output. Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner

yang berat dan walaupun anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial

iskemik dan angina. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik

melalui transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal.

Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi

(virus hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai

pengobatan anemi primer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan

penelitian serologic telah menjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada banyak kasus,

harus menunggu dalam waktu yang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi

syarat.3,4,13,14,15

(12)

1. Suplementasi eritropoetin

2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen dengan terapi

transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis.

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine

4. Mengkoreksi hiperparatiroid

5. Terapi Androgen

6. Mengurangi iatrogenic blood loss

7. Suplementasi besi

8. Suplementasi asam folat

9. Transfuse darah

1. Suplementasi eritropoetin

Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant

human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di

demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant

eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa,telah dibuktikan menyebabkan

peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar

Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang

membutuhkan transfusi reguler. Penelitian membuktikan bahwa, saat sejumlah erotropoetin

diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon

dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan

menunjukkan bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap

penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan

darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi

ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat

terlihat. 3,4,13,14,15

Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga

peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya

viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan

trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin

pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi

hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan

hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan

(13)

dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien

dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant

human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa

kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke

normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan

manajemen yang utama pada pasien uremia. 3,4,13,14

Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO14

Indikasi:

 Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain

anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:

o Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%

o Tidak ada infeksi yang berat

Kontraindikasi:

 Hipersensitivitas terhadap EPO

 Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:

a) Hipertensi tidak terkendali

b) Hiperkoagulasi

c) Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat beberapa

kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:

a. Anemia dengan status besi cukup

b. Anemia defisiensi besi:

- Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

- Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L

- Saturasi Transferin < 20 %

1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi3,15

Tujuan:

Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.

a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4

minggu.

b. Target respon yang diharapkan :

Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.

(14)

d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10

g/dL)

e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%

f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%

g. Pemantauan status besi:

Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan

panduan terapi besi.

1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan3,15

a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).

- Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu

- Pantau Hb dan Ht setiap bulan

- Periksa status besi setiap 3 bulan

b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)

maka dosis EPO diturunkan 25%

Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya:

a. Hipertensi:

- Tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase koreksi

- Pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat

antihipertensi

- Peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak

berhubungan dengan kadar Hb.

b. Kejang:

- Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi

- Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak

terkontrol.

Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekuat. Respon EPO

tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah

pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang

tidak adekwat yaitu:

a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)

b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE, AIDS)

c. Kehilangan darah kronik

d. Malnutrisi

(15)

f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)

g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,

hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat

dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang

berupa pemberian14:

a. Asam folat : 5 mg/hari

b. vitamin B6: 100-150 mg

c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan

d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang

mendapat terapi EPO

e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid

f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi

besi intravena

g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)

- Dapat mengurangi kebutuhan EPO

- Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati

- Tidak dianjurkan pada wanita

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis

Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya

dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat

membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu,

pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada

menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan

akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya.

Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi detoksifikasi pada uremia dengan

meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau transportasi

konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang

membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang

lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua

terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory

peritoneal dialysis (CAPD), juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler

(16)

selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena

pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan

CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh itu

meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui.14,15

3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine

Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat

selektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjal

selalu harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan normal atau peningkatan

feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan dengan peningkatan

nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral maupun dialisat, gejala

intoksikasi aluminium seperti ensefalopati, penyakit tulang aluminium, dan keberhasilan

percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV selama

satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5

– 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks,

dimana kemudian dibuang dengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama

adalah hipotensi , toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena

infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu,

pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis

menyebabkan perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV,

MCH pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan

terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin.

Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal,

hemoglobine meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.11,15

4. Mengkoreksi hiperparatiroidisme

Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan

merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid

dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan dengan peningkatan anemia. 11,15

5. Terapi Androgen

Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yang positif

yaitu meningkatkan produksi eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin

(17)

cypionate), derivat 17-metil androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone,

methyltestosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone

phenpropionate) telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Responnya

lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat

cukup diberikan dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal

tetapi harus dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki

ratio anabolik: androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan

hirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan

priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan

komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated steroid. Pada

keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubin serum yang

meningkat, terapi harus dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini memiliki

ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral. Terapi dengan androgen

dapat menimbulkan gejala prostatisme atau pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash

kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada

terapi ini.3,4, 11,15

6. Mengurangi iatrogenic blood loss

Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal terminal juga termasuk

pencegahan dan koreksi terhadap faktor iatrogenik yang memperberat. Kehilangan darah ke

sirkulasi darah ekstrakorporeal dan dari pengambilan yang berlebihan haruslah dalam kadar

yang sekecil mungkin.11,15

7. Suplementasi besi

Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi pada usus. Monitoring

penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun

merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi oral

lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki defisiensi

besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron

dextran atau interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra muskular.

Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk

mengurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit

pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish

(18)

harinya atau dosis tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan

diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.4,15

Terapi besi fase pemeliharaan4,11,15:

a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO

b. Target terapi:

- Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L,

- Saturasi transferin > 20 % – < 40 %

c. Dosis  IV :

- iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu

- iron dextran : IV : 50 mg/minggu

- iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu  IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu  Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari  Status besi diperiksa setiap 3 bulan

 Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis

pemeliharaan.

 Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%, suplementasi besi

distop selama 3 bulan.

 Bila pemeriksaan setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun <

40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.

8. Suplementasi asam folat

Asam folat hilang masuk ke dialisat dari darah. Oleh karena itu, defisiensi asam folat dan

anemia makrositik dapat terjadi pada pasien dengan asupan protein yang rendah sejak diet

dari pasien dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung asam folat yang cukup,

defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam folat oral tidak diperlukan.

Akhirnya, dokter harus lebih hati-hati dalam terapi darah ekstrakorporeal yang membawa

resiko potensial yang didominasi oleh darah yang terkontaminasi dan kompartemen dialisat

seperti logam dan kimia, yang dapat menyebabkan kerusakkan sel darah merah dan

hemolisis.4, 11,15

9. Transfusi Darah

(19)

- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

- Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL

- Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik

- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat

EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat

diberikan transfusi darah dengan hati-hati.

Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama dengan

target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya

overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa

pemberian transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan

mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut jantung.

Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah

sedapat mungkin dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis virus B dan

C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfusi. 11,15

Resistensi ESA

Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T

dan monisit, dan juga bersamaan dengan terjadinya produksi sitokin-sitokin proinflamasi di

sumsum tulang. Sitokin-sitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk melawan kerja dari ESA

pada tingkat seluler, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi terhadap terapi ESA.

Peningkatan produksi sitokin pro inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat

menyebabkan respon yang rendah pada ESA. Probabilitas yang rendah terhadap respon awal

ini dapat menjadi peringatan terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi kegagalan terapi.

Strategi yang potensial terhadap terapi masa depan adalah penggunaan terapi anti sitokin

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton Arthur C., Hall John E: Pembentukan urin oleh ginjal, dalam Buku ajar Fisiologi kedokteran Guyton & Hall: ed.11; EGC.2007: 324-333

2. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S, editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6nd ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p.2159-65. 3. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney

Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39: suppl 1, 2012.

4. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrison’s Principles

of internal medicine. 18th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2012.

5. Sibernagl S, Lang F. Color athlas of pathophysiologi. Stuttgart Germany: Gorg Thema Verlag; 2000.

6. Wilson LM. Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors: Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta: EGC; 2012.p. 912-45.

7. Singh AK. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am 2008; vol. 3: 3-6.

8. National institute for Healt and Care Excellence. Anemia management in people chronic kidney disease. Manchester: NICE clinical guideline 114. 2011.

9. National Kidney Foudation. Anemia and chronic kidney disease (stages 1-4). New York: NKF. 2010.

10. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guidelines and clinical practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. American Journal of Kidney Disease May 2006; 47 (5): SUPPL 3.

11. International Society of Nephrology. Kindey disease improving global outcome: Clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney International Supplements 2012; 2: 283-335.

12. Lerma EV. Anemia of chronic disease and renal failure . Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#showall

13. MacGinley RJ, Walker RG. International treatment guidelines for anaemia in chronic kidney disease: what has changed?. MJA 22 July 2013; vol 199 (2).

14. Locatelli F, Covic A, Eckardt KU, Wiecek A, Vanholder R. Anemia management in patients with chronic kidney disease: a potion statement by the anemia working group of European renal best practice (ERBP). Nephrol Dial Transplant 2009; 24: 348-354.

Gambar

Tabel 1. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik1
Tabel 2. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik3

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Pemerintah Daerah Kata Mojokerto telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pendirian Perseroan Terbatas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Forum for East Asia – Latin America Cooperation (FEALAC) dibentuk pada tahun 2001 atas prakarsa dari PM Singapura Goh Chok Tong yang dilatarbelakangi oleh peningkatan perhatian

Hal ini memperkuat kesimpulan yang didapat dalam [9] bahwa frekuensi tertinggi yang bisa disintesis oleh program stimulator bagi SSVEP-BCI yang menggunakan layar monitor

Dan juga fakta yang tidak diketahui bahwa resiko penyakit batu empedu berhubungan dengan obesitas seperti peningkatan aktivitas reduktase HMG-CoA dapat

 Instruksi untuk mendapatkan sejumlah Saham Baru hasil pelaksanaan HMETD ke dalam rekening khusus yang telah disediakan oleh KSEI. 4) Segera setelah BAE Perseroan

Meneruskan hasil ketikan surat undangan rapat/kunjungan kerja Komisi D dan B ke Bagian Umum, memfotokopi surat undangan rapat dan kunjungan kerja Komisi D dan B,

Berdasarkan uraian latar belakang dan penelitian terdahulu, maka yang jadi pokok permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana persepsi pengguna mengenai variabel

18 Tahun 2004: Yaitu merupakan peraturan daerah Kabupaten Pamekasan Tantang Larangan Terhadap Pelacuran dalam Wilayah Kabupaten Pamekasan, pelaksanaannya baik yang