• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPORSI PENDERITA BATU EMPEDU DENGAN STATUS GIZI OBESITAS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PADA TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROPORSI PENDERITA BATU EMPEDU DENGAN STATUS GIZI OBESITAS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PADA TAHUN"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

i

PUSAT FATMAWATI PADA TAHUN 2015 - 2016

Laporan Penelitian Ini Ditulis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Sarjana Kedokteran

OLEH :

REGI AZISTHA AMRI

NIM: 11141030000098

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Segala Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, tuhan semesta alam, karena atas rahmat, berkah dan kasih sayangnya penulis dapat menyelesaikan penelitian judul “PROPORSI PENDERITA BATU

EMPEDU DENGAN STATUS GIZI OBESITAS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PADA TAHUN 2015 - 2016” tepat pada

waktunya

Penulis menyadari bahwa dengan selesainya pengerjaan laporan penelitian ini, semua tidak luput dari dukungan, doa, bantuan dan juga semangat yang diberikan selama proses pembuatan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS, selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. dr. Femmy Nurul Akbar, SpPD, K-GEH, FINASIM, selaku pembimbing I kami, yang atas dengan bimbingan, arahan, tenaga, dan waktunya untuk peneliti, sehingga terselesaikannya penelitian ini hingga akhir

4. Dr.dr. Mukhtar Ichsan, SpP (K), MARS,FIRS, selaku dosen pembimbing II kami yang selalu meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membimbing dari awal penelitian hingga terselesaikannya laporan penelitian ini

(6)

vi mengoreksi skripsi ini

6. Dr. dr. Francisca A, Tjakadidjaja MS,SpGK, selaku dosen penguji II kami yang telah berkesempatan menyediakan waktu, tenaga dan memberi masukan dalam mengoreksi skripsi ini, sehingga skripsi ini selesai

7. Pak Chris Adhiyanto, M.Biomed, selaku penanggung jawab riset mahasiswa Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter angkatan 2014 8. Kedua orang tua penulis, Amri dan Tasmarni yang selalu mendoakan,

menyemangati, mendukung peneliti baik dalam moril ataupun materiil serta kakak dan adik yang tercinta atas pengertian waktu dan kondisi lingkungan rumah sehingga penelitian ini terselasikan

9. Para pengajar dan staf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

10. Sahabat seperjuangan riset, Jewaqa Brako Muzakki yang dengan penuh kesabaran, motivasi, dan berbaik hati kepada peneliti, serta melewati suka dan duka bersama sehingga penelitian ini terselesaikan

11. Teman teman Penulis,Devina Rahmadewi, Alissa Rifa, Fheby Syabrina Gebry Nadira, Nadira, Asiah Mutia, M. Abdurrahman Faris, Pandu Nur Akbar serta teman teman Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter Angkatan 2014 lainnya

12. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu pada kata pengantar ini

Demikian yang bisa saya sampaikan, besar harapan penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Jakarta, 24 Oktober 2016

(7)

vii

Empedu terhadap Status Gizi (Obesitas) di RSUP Fatmawati Tahun 2015 – 2016.

Latar Belakang: Batu empedu adalahpartikel keras yang berkembang di dalam kandung atau saluran empedu.Terbentuknya batu tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu, seperti jenis kelamin, usia, dislipidemia, diabetes miletus dan obesitas. Obesitas merupakan faktor pendukung utama dari terbentuknya batu di kandung empedu. Tujuan: untuk mengetahui proporsi batu empedu dengan faktor resiko obesitas, usia dan jenis kelamin. Metode: Penelitian menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional deskriptif. Data diperoleh dari rekam medis pasien di RSUP Farmawati tahun 2015-2016 dengan diagnosis batu empedu dan disertakan dengan pemeriksaan USG abdominal. Pengambilan sampel consecutive sampling dengan jumlah sampel sebesar 93. Hasil: Proporsi pasien batu empedu dengan status gizi obesitas di RSUP Fatmawati tahun 2015-2016 sebesar 47,3% dengan rincian obesitas I 31,2% dan obesitas II 16,1%. Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi laki laki adalah 28% dan perempuan 72%,serta usia diatas 40 tahun sebanyak 77,5% dan dibawah 40 tahun sebesar 22,5%. Kesimpulan: Proporsi status gizi pada batu empedu pada umumnya adalah obesitas dan dominan pada jenis kelamin perempuan dengan frekuensi usia diatas 40 tahun

Kata kunci : Batu empedu, Obesitas, Usia, Jenis kelamin

ABSTRACT

Regi Azistha Amri. Medical Education Program. Proportion of Patient

Gallstone disease with Obesity in General Hospital Center Fatmawati from 2015 to 2016.

Background: Gallstones is a bile disease that contain blockage of hard particle in

the bile. The gallstone an by some certain factors, such as gender,age, metabolic syndrome, diabetes milletus, and obesity. Obesity is one of the supporting factors of the formation of stones in the gallbladder. Purpose: to know proportion of gallstones with risk factors for obesity, age, and gender. Method: The study used observational method with cross sectional descriptive approach. Data was obtained from medical records of patients at RSUP Farmawati 2015 -2016 with gallstone diagnosis and included with abdominal ultrasound examination. The sample was taken by consecutive sampling with sample amount of 93. Result: Proportion of gallstones patients with obesity at Fatmawati General Hospital 2015-2016 was 47.3%. Obesity I 31.2% and Obesity II 16.1%. Based on gender, the frequency of male is 28% and female 72%, and sample with age above 40 years is 77,5% and below 40 years is 22,5% Conclusion:Proportion of gallstones patient is dominated by females with age >40 years and obesity.

(8)

viii

COVER ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

KATA PENGANTAR ...v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR ISTILAH ... xii

BAB 1 : PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Rumusan Masalah ...3 1.3.Tujuan Penelitian ...3 1.4.Manfaat Penelitian ...4 1.4.1 Bagi Peneliti ...4 1.4.2 Bagi Institusi ...4 1.4.3 Bagi Masyarakat ...4

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ...5

2.1 Batu Empedu ...5

2.1.1 Definisi Batu Empedu ...5

2.1.2 Anatomi Kandung Empedu ...6

2.1.3 Fisiologi Pembentukan Empedu ...8

2.1.4 Epidemiologi Batu Empedu ...11

2.1.5 Klasifikasi Batu Empedu...12

2.1.6 Faktor Risiko Batu Empedu ...12

2.1.7 Patogenesis Batu Empedu ...16

2.1.8 Gejala Klinis Batu Empedu ...18

2.1.9 Diagnosis Batu Empedu ...21

2.1.10 Komplikasi Batu Empedu ...22

2.1.11 Prognosis Batu Empedu ...23

2.1.12 Tatalaksana Batu Empedu ...23

2.2 Obesitas ...26

2.2.1 Definisi Obesitas ...26

2.2.2 Klasifikasi Obesitas ...26

2.2.3 Epidemiologi Obesitas ...27

2.2.4 Patofisiologi dan kompllikasi Obesitas ...28

2.2.5 Strategi penurunan dan pemeliharaan Berat Badan ...31

2.3 Hubungan Obesitas dan Batu Empedu ...33

2.4 Batu Empedu dan Jenis Kelamin ...34

2.5 Batu Empedu dan Usia ...35

2.6 Pandangan dokter muslim pada penelitian ...36

(9)

ix

BAB 3 : METODE PENELITIAN ...41

3.1 Desain Penelitian ...41

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ...41

3.3 Populasi dan Sampel ...41

3.3.1 Populasi Target ...41

3.3.2 Populasi Terjangkau ...41

3.3.3 Besar Sampel ...41

3.3.4 Cara Pengambilan Sampel ...42

3.4 Kriteria Inkluasi dan Eksklusi ...42

3.5 Cara Kerja Penelitian ...42

3.6 Analisis Data ...43

3.7 Alur Penelitian ...43

BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN ...44

4.1 Deskripsi Sampel ...44

4.1.1 Berdasarkan jenis kelamin ...44

4.1.2 Berdasarkan usia ...45

4.2 Proporsi pasien batu empedu dengan status gizi ...46

4.3 Keterbatasan Penelitian ...48

BAB 5 :KESIMPULAN DAN SARAN ...49

5.1 Kesimpulan ...49

5.2 Saran...49

DAFTAR PUSTAKA...50

(10)

x

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Klasifikasi batu empedu dan komposisi berdasarkan jenis batu ... 11

Tabel 2.2 Klasifikasi berat badan dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriteria Asia Pasifik ... 27

Tabel 2.3 Batu empedu dengan faktor risiko jenis kelamin dan usia ... 35

Tabel 4.1 Distribusi sampel menurut jenis kelamin ... 45

Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan kelompok usia ... 46

Tabel 4.3 Distribusi sampel berdasarkan usia ... 47

Tabel 4.4 Distribusi sampel berdasarkan status gizi ... 47

Tabel 4.4 Distribusi sampel status gizi obesitas dan rerata IMT serta usia berdasarkan jenis kelamin ... 47

Daftar Gambar Gambar 2.1 Pola topografi 4 kuadran tubuh ... 6

Gambar 2.2 Pandangan Posterior area nuda pada hepar ... 7

Gambar 2.3 Suplai arterial hepar dan Vesica biliaris ... 7

Gambar 2.4 Anatomi Hati ... 8

Gambar 2.5 Sirkulasi enterohepatik garam empedu ... 10

Gambar 2.6 Major Factor in cholesterol gallstone formation are supersaturation of bile with cholesterol ... 20

Gambar 2.7 Peran lipotoxicity dan inplamasi pada obesitas ... 30

Gambar 2.8 Prevalensi batu empedu pada wanita berdasarkan survey pemeriksaan USG... 35

(11)

xi

Lampiran 1 Jadwal Penelitian dan Anggaran Penelitian...53

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian dan Anggaran Penelitian...54

Lampiran 3 Hasil Analisis Data...56

(12)

xii

ACAT : Asyltransferase asil-CoA asiltransferase BMI : Body Mass Index

CCK : Cholecystokinin

DISIDA : Disopropyl Iminodiacetic Acid DM : Diabetes Mellitus

FDA : Food and Drug Administration GLUT4 : Glucose transporter type 4 HDL : High Desinty Lipoprotein

HMG CoA : Hydroxymethylglutaryl Coenzim A HIDA : Asam iminodiacetic

IMT : Indeks Masa Tubuh

IL : Inter Leukin

IRS-1 : Insulin receptor substrate 1

MCP-1 : Monocyte chemoattractant protein-1 MRI : Magnetic Resonance Imaging NASH : Nonalcoholic steatohepatitis

NF-KB : Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells RAS : Renin Angiotensin Stimulation

TNF : Tumor Necrosis Factor USG : Ultrasonografi

WAT : White Adiposa Tissue WHO : Word Health Organization

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, batu empedu merupakan partikel keras yang berkembang di dalam kantung ataupun saluran empedu. Di Amerika, penyakit ini merupakan salah satu masalah di masyarakat, dengan 10 – 15% orang dewasa atau 20 – 25 juta penduduk Amerika memiliki batu empedu1. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kota Chili, Amerika Selatan, dengan angka kejadian 1,2/100 wanita/tahun. Prevalensi terendah ditemukan di negara Asia dan Afrika. Prevalensi yang dilaporkan di Asia berkisar antara 4,35%-10,7%2. Sementara di Indonesia, prevalensi batu empedu belum tersedia.

Batu empedu sendiri secara garis besar terdiri dari tiga jenis, yakni batu kolesterol, batu pigmen, dan batu campuran. Sebuah penelitian menyebutkan, di beberapa negara berkembang, temasuk Indonesia, lebih dari 85% batu empedu merupakan jenis batu kolesterol. Pola makan tinggi lemak dan gaya hidup mempengaruhi pembentukan batu kolesterol tersebut. Adapun faktor risiko batu empedu mencakup fat (obesitas), forty (umur), female (jenis kelamin), fertile (estrogen) dan fair (etnik), yang disingkat menjadi 5F. Etnis, usia, dan jenis kelamin merupakan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Sedangkan obesitas, penurunan berat badan yang ekstrim dan juga gaya hidup merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi1

Obesitas merupakan salah satu faktor utama dari terbentuknya batu di empedu. Obesitas merupakan suatu kondisi tubuh dengan komposisi lemak yang berlebih dan terakumulasi pada jaringan adiposa sehingga menyebabkan masalah kesehatan. Jumlah kelebihan lemak yang terdistribusi di dalam tubuh baik pada sekitar pinggang atau perut tubuh memiliki implikasi kesehatan yang penting. Seseorang di katakan atau mengalami permasalahan tersebut bila hasil indeks masa tubuh (IMT) lebih dari 24,9kg/m2 yang berdasarkan klasifikasi kriteria berat badan Asia-pasifik. IMT merupakan pengukuran dari pembagian berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. 3

(14)

Obesitas mempengaruhi sebagian besar penduduk, di seluruh dunia. Namun, perkiraan prevalensi tidak tersedia untuk semua negara, dan akurasi data yang tersedia tidak sama rata atau sebanding dikarekan keberagaman etnik pada setiap daerah sehingga sulit untuk menyamaratakan hal tersebut. Menurut National

Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) dalam 50 tahun terakhir

telah memberikan pemantauan terus menerus dari prevalensi dan kejadian obesitas dari perwakilan nasional setiap individu. Data ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas dikalangan orang dewasa mulai meningkat tajam setelah tahun 1980 (4-6). Obesitas dibedakan menjadi obesitas abdominal/sentral (apple shaped) dan obesitas perifer (pear shaped). Individu dikatakan obesitas sentral, jika lingkar perut untuk laki laki >90cm dan perempuan >80cm. Prevalensi di Indonesia, obesitas tipe apple shaped sebesar 26,6%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (18,8%) dan berada dalam rentan usia 40-54 tahun sebanyak 27,4%. Sedangkan pada obesitas tipe pear shaped sebesar 19,1% ,dengan overweight sebesar 8,8% dan obesitas sebesar 10,3%. Pada penelitian epidemiologi di daerah Abadijaya, Depok pada tahun 2001 didapatkan 48,6%, tahun 2002 didapat 45% dan tahun 2003 didapat 44% orang dengan obesitas7.

Obesitas dianggap sebagai salah satu faktor resiko paling penting yang terkait dalam penyakit batu empedu, dikarenakan meningkatnya prevalensi penyakit tersebut pada obesitas8. Beberapa perubahan metabolisme kolesterol cenderung meningkatkan sekresi kolesterol kandung empedu yang berhubungan dengan gangguan motilitas sehingga membantu pertumbuhan batu tersebut. Dan juga fakta yang tidak diketahui bahwa resiko penyakit batu empedu berhubungan dengan obesitas seperti peningkatan aktivitas reduktase HMG-CoA dapat menyebabkan peningkatan sekresi empedu kolesterol(9-11). Penelitian di suatu kota di negara Iran,yang diambil dari 1.494 individu berdasarkan pengukuran antropometri dan USG abdominal pada tahun 2011 di temukan prevalensi batu empedu adalah 17,8 %, dimana dari prevalensi tersebut didapatkan hasil berupa pria dengan IMT>23 memiliki rata rata sebesar 27,31 kg/m2 dan wanita dengan IMT>23 memiliki rata rata sebesar 31,06 kg/m2 dan proporsi sampel batu empedu dengan obesitas sebesar 59,2%.12.

(15)

Selain obesitas, pembentukan batu meningkat seiring bertambahnya usia terkhusus pada usia diatas 40 tahun, kejadian tersebut akan meningkatkan 4 – 10 kali lipat. Hal ini dibuktikan pada penelitian di kota Iran, dari 1.552 sampel dengan rentan umur 30 – 88 tahun, didapati rata rata usia adalah 48.05 ± 11.75 tahun13. Jenis kelamin juga memiliki peran dalam pembentukan batu empedu, wanita memiliki resiko dua kali lebih besar dengan penyakit batu empedu dari pada laki laki, terutama ketika wanita tersebut dalam kondisi fertil9. Di Indonesia sendiri, penelitian tentang obesitas, usia dan jenis kelamin menunjukkan tingginya insiden batu empedu juga masih minim

Dari penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penilitan mengenai gambaran proporsi pasien batu empedu terhadap status gizi obesitas dan frekuensi terhadap usia dan jenis kelamin. Peneliti berharap dengan penelitian ini dapat memberikan data mengenai gambaran batu empedu di Indonesia dan membantu masyarakat mengenal faktor risiko atau mengetahui secara dini tentang penyakit batu empedu, supaya tidak terjadi peningkatan prevalensi batu empedu diwaktu mendatang.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran status gizi obesitas, umur dan jenis kelamin pada pasien penderita batu empedu?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, 1. Tujuan Umum

a. Mengetahui gambaran frekuensi batu empedu berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUP Fatmawati tahun 2015 - 2016

b. Mengetahui gambaran proporsi batu empedu dengan status gizi obesitas di RSUP Fatmawati tahun 2015 - 2016

c. Mengetahui nilai rerata usia dan IMT pasien batu empedu di RSUP Fatmawati tahun 2015 – 2016

(16)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti

1. Mendapatkan pengalaman juga ilmu tambahan mengenai penelitian dibidang saluran cerna dan hati

2. Sebagai salah satu syarat mendapat gelar sarjana kedokteran di fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.4.2 Bagi Institusi

Sebagai tambahan untuk pengembahan ilmu pengetahuan di FKIK UIN Jakarta

1.4.3 Bagi Masyarakat

Sebagai penambah pengetahuan akan faktor resiko penyakit batu empedu pada status gizi obesitas dan dapat menjaga kondisi kesehatan, agar tidak terkena penyakit tersebut.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batu Empedu

2.1.1 Definisi Batu Empedu

Batu empedu adalah endapan yang menumpuk dari komposisi cairan dalam sistem pencernaan yang bisa terbentuk di dalam kantung ataupun saluran empedu. Penempatan pembentukan batu, bisa terletak dimana saja, yang dapat di bagi beberapa istilah, yaitu : (1) kolelitiasis, yang merupakan batu empedu secara umum, (2) kolesistolitiasis, yang berarti batu berlokasi di kandung empedu, (3) koledokolitiasis, yaitu batu yang berada di duktus koledokus, dan (4) kolangiolitisis, yang berarti batu berada pada cabang duktus hepatikus dan pembuluh kecil lain di hati17. Batu empedu dapat terjadi bila ada nya ketidakseimbangan unsur kimia empedu yang menghasilkan pengendapan satu atau lebih komponen. Pembentukan batu bervariasi dalam ukurannya, dari yang kecil <1mm sampai 50mm

2.1.2 Anatomi Kandung Empedu a. Anatomi regional

Regiones abdominales/perut/abdomen adalah bagian batang badan

di sebelah inferior terhadap thorax. Dindingnya terdiri dari jaringan musculomembranosum yang mengelilingi suatu cavitas besar (cavitas abdominalis), yang di superiornya di batasi oleh diafragma dan inferiornya oleh pelvic inlet/ pintu masuk pelvis. Divisi topografi abdomen digunakan untuk menggambarkan lokasi organ organ abdomen dan rasa nyeri yang terkait dengan keluhan di abdomen. Pada skema pola 4 regio empedu berada pada kuadran kanan atas14.

(18)

Gambar 2.1 pola topografi 4 kuadran(13) b. Definisi dan struktur Vesica biliaris

Vesica biliaris (fellea) adalah suatu kantung yang berbentuk seperti buah pir yang terletak pada facies visceralis lobus dexter hepatis di dalam suatu fossa di antara lobus dexter hepatis dan lobus quadratus. Dengan memiliki panjang sekitar 7 – 10cm dan diameter 4cm dengan kapsitas berkisar 30 – 60 ml.(13)

Pada minggu ke-4 gestasi, perkembangan embrio pada struktur forgut berkembang menjadi vesica biliaris dan juga saluran biliaris extrahepatic(35)

Struktur ini memiliki(13) :

 Fundus vesicae biliaris, suatu ujung yang membulat, yang terletak pada margo inferior hepar

 Corpus vesicae : suatu bagian besar di dalam fossa, yang dapat terletak di depan colon transversum dan pars superior duodeni, dan  Collum vesicae biliaris : suatu bagian yang sempit, dengan tunika

(19)

Gambar 2.2 pandangan posterior area nuda(13) c. Perdarahan Vesica biliaris

Suplai arterial untuk vesica biliaris adalah arteria cystica cabang dari arteria hepatica dextra (ramus dexter arteri hepatica propia). Vesica biliaris menerima, mengkonsentrasikan, dan menyimpan empedu dari hepar14

(20)

2.1.3 Fisiologi pembentukan Empedu

Sewaktu makanan mengalir ke dalam usus halus,sebelumnya isi lambung tidak hanya bercampur dengan getah yang disekresikan oleh mukosa usus halus saja, tetapi juga bercampur dengan sekresi pankreas eksokrin dan hati yang akan mengalir ke dalam lumen duodenum. Sistem empedu mencakup hati, kandung empedu dan saluran emepedu16.

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi sistem pencernaan untuk mensekresikan garam empedu. Sel hati atau hepatosit merupakan sel yang berfungsi untuk melaksanakan berbagai tugas metabolik. Sekresi empedu bergantung pada sistem transport di membran hepatosit, cholangiocytes dan integritas struktural dan fungsional saluran empedu. Hepatosit merupakan sel hati yang dominan sebesar 65%. Cholangiocytes yang merupakan 3 – 5% dari sel hati akan memodifikasi empedu melalui proses sekresi dan absorbsi saat empedu melewati saluran empedu, dan bertanggung jawab sekitar 30% pada kapasitas empedu16.

Hati tersusun menjadi unit unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral bebentuk segi enam. Di tepi luar setiap potongan lobulus terdapat tiga pembuluh yaitu cabang a. Hepatika, cabang vena porta, dan duktus biliaris. Cabang dari pembuluh tersebut mengalir dari perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid. Pada sela lobulus tersebut juga terdapat kanalikulus biliaris, yang akan dilewati empedu menuju duktus biliaris yang berakhir pada duodenum. Lubang duktus biliaris ke duodenum dijaga oleh sfingter Oddi, yang mencegah empedu memasuki duodenum, kecuali selama dalam proses makan16.

(21)

Gambar 2.4 Anatomi Hati 16

Apabila sfingter tertutup, sebagian besar empedu yang disekresikan oleh hati akan dialirkan ke dalam kandung empedu. Empedu kemudian disimpan dan diemulsikan di dalam kandung empedu di antara waktu makan. Setelah makan, empedu akan masuk ke duodenum, empedu yang disekresikan per hari berkisar dari 250ml sampai 1 liter, bergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi. Keberadaan makanan, terutama produk produk lemak akan memicu pengeluaran cholecystokinin (CCK). Hormon ini merangsang kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga empedu dikeluarkan ke dalam duodenum16.

Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubin, dalam suatu cairan encer alkalis. Garam empedu adalah turunan kolesterol, yang secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya masuk ke duodenum bersama dengan konstituen empedu lainnya. Setelah ikut serta dalam pencernaan, garam empedu sebagian besar akan direabsorpsi ke dalam darah oleh mekanisme transportasi aktif khusus yang terdapat di ileum terminal, yang disebut sebagai sirkulasi enterohepatik16.

Jumlah total garam empedu di dalam tubuh rata rata adalah 3 sampai 4 gram, namun dalam satu kali makan garam empedu yang

(22)

disalurkan ke duodenum dapat mencapai 3 sampai 15 gram. Biasanya hanya 5% dari garam empedu yang disekresikan oleh hati yang lolos melalui tinja setiap harinya16.

Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui emulsifikasi dan mempermudah penyerapan lemak melalui partisipasi mereka dalam pembentukan misel. Kedua fungsi ini terkait dengan struktur garam empedu16.

Gambar 2.5 Sirkulasi enterohepatik garam empedu16

Zat lainnya dalam empedu adalah bilirubin. Bilirubin merupakan konstituen utama empedu, dan sama sekali tidak berperan dalam pencernaan, tetapi merupakan salah satu dari beberapa produk sisa yang diekskresikan dalam empedu. Bilirubin adalah pigmen empedu utama yang berasal dari penguraian sel darah merah yang usang, yang menyebabkan empedu berwarna kuning dan menjadi warna coklat pada tinja yang disebabkan enzim enzim bakteri usus16.

Sekresi empedu dapat ditingkatkan oleh beberapa mekanisme16 :

1. Mekanisme kimiawi (garam empedu), terjadi ketika makan, dimana garam empedu yang dibutuhkan berperan sebagai koleretik yang meningkatkan sekresi empedu oleh hati

(23)

2. Mekanisme hormon, hormon sekretin akan merangsang peningkatan sekresi empedu alkalis cair oleh duktus biliaris

3. Mekanisme saraf (saraf vagus), mendorong peningkatan aliran empedu hati selama fase sefalik pencernaan

2.1.4 Epidemiologi Batu Empedu

Penyakit batu empedu sering dianggap sebagai masalah besar dalam masyarakat modern. Namun, penyakit batu empedu ini sudah diketahui manusia selama bertahun-tahun dahulu, karena mulai ditemukan tumpukan batu empedu pada di dalam mumi Mesir yang berasal dari tahun 1000 SM. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, walaupun memiliki variasi prevalensi yang berbeda pada setiap daerah(14,17,38). Batu empedu menjadi semakin umum dikarenakan penyakit ini dapat ditemukan pada semua kelompok usia, namun kejadian meningkat seiring bertambahnya usia dan sekitar seperempat wanita berusia di atas 60 tahun akan meningkatkan pembentukan batu empedu. Dalam kebanyakan kasus penyakit ini asimptomatik, dan hanya 10% dan 20% yang pada akhirnya akan menjadi simtomatik dalam kurun waktu 5 - 20 tahun. Dengan demikian, rata-rata risiko pengembangan penyakit simtomatik rendah yaitu mendekati 2,0-2,6 %/tahun18,19,20.

Di negara barat 10 -15% pasien dengan batu kandung empedu juga di sertai batu pada saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan di negara barat. Di Asia sendiri, prevalensi batu kolesterol semakin meningkat seiringan dengan pola makan yang buruk di masyarakat8. Tetapi di Indonesia sendiri, belum ada data prevalensinya, dikarenakan masih sedikitnya penelitian batu empedu di Indonesia

(24)

2.1.5 Klasifikasi Batu Empedu

Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu3 :

1. Batu kolesterol, dimana komposisi kolesterol melebihi 70% 2. Batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate yang

mengandung Ca-Bilirubinate sebagai komponen utama

3. Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstrasi. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki penyakit hemolitik kronik, sirosis hepar, Gilbert‟s Syndrome atau cystic fibrosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi batu empedu dan komposisi berdasarkan jenis batu21 Kolesterol Bilirubin Karbonat Palmitat Fosfat

Cholesterol uinque >70% - 5% - -

Combination Nucleus Perifer Perifer Perifer -

Cholesterol >70% - - - -

Multiple mixed faceted >60% 5-10% 5% 5% -

Black pigmented - >70% 5-10% >5-10% Yes

Brown pigmented <15% >50% - - -

Composite stones variable - - - -

2.1.6 Faktor Resiko Batu Empedu a. Usia

Semua studi epidemiologi menunjukkan bahwa bertambahnya usia dikaitkan dengan peningkatan prevalensi batu empedu. Batu empedu menyerang 4-10 kali lebih sering pada usia yang lebih tua daripada usia muda9.

(25)

b. Jenis kelamin

Di semua populasi dunia, terlepas dari prevalensi batu empedu secara keseluruhan, wanita selama masa subur mereka hampir dua kali lebih mungkin mengalami pembentukan batu empedu dari pada pria. Keadaan ini berlanjut sampai tingkat yang lebih rendah diperiode saat sudah menopause, namun perbedaan jenis kelamin akan menyempit seiring bertambahnya usia9,20

c. Genetika

Baik penelitian nekropsi maupun populasi telah menunjukkan dengan jelas adanya perbedaan rasial yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh faktor lingkungan. Prevalensi batu empedu kolesterol sangat bervariasi, dari populasi Asia dan Afrika yang sangat rendah (<5%), menjadi menengah (10-30%) Suku Pima dari Arizona memiliki prevalensi batu empedu tertinggi di dunia. Lebih dari 70% wanita Pima yang berusia lebih dari 25 tahun memiliki batu empedu atau riwayat kolesistektomi. Tingkat prevalensi batu empedu yang tinggi juga dilaporkan terjadi di suku Indian Amerika Utara lainnya, termasuk Chippewas, Navajo, Micmacs, dan Cree-Ojibwas. Populasi Hispanik tertentu di AS berada di atas risiko rata-rata penyakit kandung empedu. Beberapa penelitian sangat mendukung adanya gen lithogen Amerindian di Meksiko-Amerika. Riwayat keluarga yang terkena batu empedu, dapat meningkatkan 5 kali faktor terhadap keturunannya20,21.

d. Obesitas dan distribusi lemak tubuh

Obesitas merupakan faktor risiko yang penting untuk penyakit batu empedu, dan lebih banyak terkena pada wanita dari pada pria. Studi epidemiologi telah menemukan bahwa risiko lithogenic obesitas terkuat pada wanita muda, dan status gizi yang normal dapat melindungi terkena batu empedu. Sedikitnya, 25% individu dengan obesitas memiliki bukti adanya penyakit bantu empedu. Wanita dengan obesitas memiliki peningkatan risiko pembentukan batu20.

(26)

e. Penurunan berat badan yang cepat

Penurunan berat badan yang cepat dikaitkan dengan terjadinya endapan batu empedu pada 10-25% pasien dalam beberapa minggu setelah memulai prosedur penurunan berat badan. Jika seseorang kehilangan berat badan terlalu cepat, hati akan mengeluarkan kolesterol ekstra. Selain itu ada mobilisasi kolesterol yang cepat dari jaringan adiposa. Dalam puasa yang berhubungan dengan diet rendah lemak, kontraksi kandung empedu berkurang, dan stasis kandung empedu menyertai pembentukan batu empedu. Meningkatkan pengosongan kandung empedu dengan mengkonsumsi sejumlah kecil lemak dapat menghambat pembentukan batu empedu pada pasien yang mengalami penurunan berat badan yang cepat. Puasa dalam jangka pendek meningkatkan saturasi kolesterol empedu dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan stasis kandung empedu yang bisa menyebabkan endapan, dan akhirnya terbentuk batu empedu20.

f. Diet

Pajanan nutrisi pada pola diet barat, yaitu asupan tinggi lemak, karbohidrat dan penurunan kadar serat merupakan faktor risiko potensial untuk pengembangan batu empedu. Asupan kalsium tampaknya berbanding terbalik dengan prevalensi batu empedu. Diet Kalsium menurunkan saturasi kolesterol empedu dengan mencegah reabsorpsi asam empedu sekunder di usus besar. Vitamin C mempengaruhi aktivitas 7α

hydroxylase dalam empedu dan ditunjukkan bahwa asam askorbat dapat

mengurangi risiko lithogenic pada orang dewasa. Konsumsi kopi nampaknya berkorelasi terbalik dengan prevalensi batu empedu, karena peningkatan sirkulasi asam empedu enterohepatik. Komponen kopi merangsang pelepasan CCK, yang meningkatkan motilitas kandung empedu, menghambat penyerapan cairan kandung empedu, menurunkan kristalisasi kolesterol dalam empedu dan mungkin meningkatkan motilitas usus20.

(27)

g. Aktivitas fisik dan gaya hidup

Olahraga yang teratur dan pola makan yang baik, selain memfasilitasi pengendalian berat badan, dapat memperbaiki beberapa kelainan metabolik yang terkait dengan obesitas dan batu empedu kolesterol. Sebaliknya, buruknya aktivitas fisik ada kaitannya dengan syndrome metabolik dan berhubungan dengan kondisi obesitas, DM tipe 2 dan dislipidemia. Dalam keadaan ini berkaitan dengan resistensi insulin ke hipersekresi kolesterol bilier dan sintesis asam empedu yang berkurang20. h. Obat - obatan

Semua turunan asam fibrat meningkatkan saturasi kolesterol biliaris dan menurunkan kolesterol serum. Clofibrate adalah inhibitor ampuh Asyltransferase asil-CoA asiltransferase hati (ACAT). Penghambatan ACAT menyebabkan peningkatan ketersediaan kolesterol bebas atau tidak teresterifikasi untuk sekresi empedu, mendukung pembentukan batu empedu. Selain itu, penggunaan jangka panjang inhibitor pompa proton telah terbukti mengurangi fungsi kandung empedu, yang berpotensi menyebabkan pembentukan batu empedu. Peran

lithogenic dari ceftriaxone tidak bisa di metabolisme pada empedu,

sehingga meningkatkan konsentrasi20.

i. Diabetes, dislipidemia dan sindrom metabolik

Penderita diabetes umumnya memiliki kadar asam lemak tinggi yang disebut trigliserida. Asam lemak ini dapat meningkatkan risiko batu empedu. Fungsi kandung empedu terganggu pada adanya neuropati diabetes, dan regulasi hiperglikemia dengan resistensi insulin yang meningkatkan kejadian pembentukan batu1,20.

(28)

Pada penderita batu empedu kolesterol, akan berhubungan dengan masalah metabolik, yang berkolerasi dengan kelainan lipid, diabetes miletus dan adipositas. High Desity Lipoprotein (HDL) yang rendah dan trigliserida yang tinggi dapat membawa peningkatan resiko pembentukan batu1.

2.1.7 Patogenesi Batu Empedu

Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol13 :

1. Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, 2. Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol, dan 3. Gangguan motilitas kandung empedu dan usus.

Adanya pigmen di dalam inti batu kolesterol berhubungan dengan endapan kandung empedu pada stadium awal pembentukan batu.

Meskipun kelarutan kolesterol dalam larutan berair sangat terbatas, pada empedu, jumlah yang relatif besar (20 × 10-3M) dapat disimpan dalam larutan tersebut, karena penggabungan sterol dalam campuran misel, bersama dengan garam empedu dan fosfolipid (terutama fosfatidilkolin). Pandangan tradisional adalah bahwa kristalisasi supersaturasi dan kolesterol (langkah awal pembentukan batu empedu) terjadi bila kolesterol terlalu banyak atau tidak cukup melarutkan garam empedu dan molekul fosfatidilkolin yang disekresikan untuk memungkinkan pelarut kolesterol pelarut micellar lengkap. Kolesterol berlebihan dapat disimpan dalam vesikula (yaitu bilayer spheris kolesterol dan fosfolipid) dan pembentukan vesikula dipromosikan oleh fosfolipid berlebih di atas garam empedu. Sebenarnya, dalam patogenesis batu empedu manusia, kristal kolesterol diperkirakan nukleasi secara eksklusif dari vesikel jenuh super dan bukan dari misel jenuh. Informasi penting tentang proses nukleasi kristal kolesterol diperoleh dari sistem empedu model23.

(29)

Korelasi patofisiologis dengan pembentukan batu empedu manusia secara in vivo yaitu penyerapan air bersih yang signifikan terjadi selama transfer empedu melalui saluran empedu dan selama penyimpanan berkepanjangan di kantong empedu. Serat garam campuran fosfolipid-empedu semakin terbentuk, karena konsentrasi garam fosfolipid-empedu sekarang semakin melampaui konsentrasi micellar yang diperlukan untuk pembentukan mikel. Karena melarutkan kapasitas misel untuk fosfolipid jauh lebih tinggi daripada kolesterol, ada transfer fosfolipid istimewa, dan vesikula yang tersisa bisa menjadi kolesterol yang jenuh (rasio kolesterol-fosfolipid> 1) dengan nukleasi kristal kolesterol. Urutan kejadian ini menjelaskan mengapa batu empedu umumnya terbentuk di kantong empedu dan bukan di saluran empedu. Pada empedu pasien batu empedu kolesterol, peningkatan jumlah deoxycholate empedu hidrofobik dikaitkan dengan proses kristalisasi yang cepat. Pada pasien tertentu dengan batu empedu kolesterol, pengobatan dengan garam ellodeoxycholate empedu hidrofilik dapat mendeaturasi empedu dan melarutkan batu. Dalam penelitian in vitro dengan model bile, kelas fosfolipid dan komposisi rantai asil fosfolipid memberikan efek mendalam pada kristalisasi kolesterol. Komposisi fosfolipid bilier manusia diatur dengan ketat, dan hampir seluruhnya terdiri dari fosfatidilkolin dengan rantai asil tak jenuh, yang berkontribusi pada kerentanan manusia untuk pembentukan batu empedu. Meskipun modifikasi fosfolipid empedu terhadap komposisi rantai asil yang lebih jenuh akan sangat menarik, modifikasi pola hidup seperti diet untuk mencapai hal ini belum berhasil sejauh ini23.

Pengosongan kandung empedu postprandial yang terganggu, sering hadir pada pasien batu empedu kolesterol, dan dapat memperpanjang waktu empedu di kantong empedu, sehingga memungkinkan lebih banyak waktu untuk nukleasi kristal kolesterol dari empedu jenuh dan pertumbuhan / agregasinya akan menjadi batu makroskopik. Penyerapan kolesterol yang signifikan tampaknya terjadi dari empedu yang mengalami supersaturasi di kantong empedu. Kelebihan kolesterol kemudian dimasukkan ke dalam membran plasma sarcolemmal dari sel otot polos

(30)

kandung empedu, dengan penurunan fluiditas membran, kontraktilitas terganggu dan relaksasi yang terganggu akibatnya. Data in vitro terbaru menunjukkan bahwa berkurangnya kontraksi disebabkan oleh kolesistokinin yang lebih rendah yang mengikat reseptor CCK-1 karena serapan ekstraksi dari reseptor. Peradangan dinding kandung empedu mungkin juga penting dalam pembentukan batu empedu. Dinding kandung empedu terkena garam empedu detergen, kolesterol dan bakteri yang tidak berenergi, yang semuanya bisa menyebabkan peradangan. Meskipun motilitas kandung empedu yang terganggu umumnya faktor sekunder akibat supersaturasi kolesterol biliaris, namun tetap dapat mempermudah proses pembentukan batu empedu. Motilitas kandung empedu sering terganggu pada situasi berisiko tinggi untuk pembentukan batu empedu seperti pada kehamilan, obesitas, diabetes melitus, operasi lambung, pengobatan dengan oktreotida analog somatostatin, diet rendah kalori dan nutrisi parenteral total23.

2.1.8 Gejala Klinis Batu Empedu

Batu empedu dibagi menjadi tiga kelompok menurut gejala klinis nya, yaitu batu empedu asimtomatik, simptomatik dan batu empedu dengan komplikasi. Kelompok batu empedu asimptomatik dialami pada 60 – 80% penderita batu empedu, dan membuat penegakan diagnosis akan penyakit ini terlambat21.

Pasien dengan batu simtomatik paling sering hadir dengan episode berulang dari kuadran kanan-atas atau nyeri epigastrik, mungkin ini terkait dengan impaksi batu di saluran yang kistik. Penderita mungkin mengalami rasa sakit yang hebat di sisi kanan atas perut, dan sering disertai mual muntah, yang terus meningkat selama kurang lebih 30 menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi makanan berlemak(17). Seorang pasien mungkin juga mengalami nyeri yang terlokalisir di antara tulang belikat atau di bawah daerah bahu kanan (tanda Boas). Seringkali, serangan terjadi setelah makan makanan berlemak dan hampir selalu terjadi pada malam hari21.

(31)

Beberapa pasien dengan batu empedu hadir dengan kolesistitis akut. Peradangan dinding empedu menyebabkan sakit perut yang parah, terutama di kuadran kanan atas, disertai mual, muntah, demam, dan leukositosis. Kondisi ini mungkin akan berhenti sementara tanpa operasi, namun terkadang terjadi gangren dan perforasi bila tidak di atasi. Pada kasus yang jarang, batu empedu dapat tersangkut di duktus umum empedu (choledocholithiasis), terkadang dengan penyumbatan saluran empedu umum dan gejala kolestasis21.

Obstruksi yang menyebabkan penyakit kuning umumnya disebabkan oleh batu yang bermigrasi ke duktus empedu umum,yang dapat disebabkan oleh kompresi saluran hepatik umum dengan batu di leher kandung empedu atau saluran kistik (sindrom Mirrizi). Infeksi pada saluran empedu (kolangitis) dapat terjadi bahkan dengan tingkat hambatan yang agak kecil terhadap aliran empedu. Batu-batu di saluran empedu umum biasanya menyebabkan nyeri pada epigastrium atau kuadran kanan atas, namun mungkin tidak menimbulkan rasa sakit. Bagian dari batu empedu biasa dapat memicu pankreatitis akut, mungkin dikarenakan menghalangi saluran utama pankreas di mana ia melewati saluran empedu umum di ampula Vater. Batu empedu dapat dipompa langsung ke duodenum dari kantong empedu selama periode peradangan yang diam. Batu ini bisa berdampak pada duodenum yang menyebabkan obstruksi duodenum (sindroma Bouveret). Batu empedu juga dapat berdampak pada bagian sempit di usus kecil, yang menyebabkan obstruksi disebut ileus batu empedu24.

(32)

Gambar 2.6. Major Factor in cholesterol gallstone formation are

supersaturation of the bile with cholesterol (6)

Penyakit batu empedu memiliki 4 tahapan berikut21:

1. Keadaan Lithogenic, di mana kondisi mendukung pembentukan batu empedu

2. Batu empedu asimtomatik

3. Batu empedu simtomatik, ditandai dengan episode kolik empedu 4. Komplikasi cholelithiasis.

Karakteristik kolik bilier meliputi21:

 Episode sporadis dan tak terduga

 Nyeri yang dilokalisasi ke epigastrium atau kuadran kanan atas, kadang-kadang memancar ke ujung scapular kanan

 Nyeri yang terasa setelah makan, sering digambarkan sebagai intens dan kusam, biasanya berlangsung 1-5 jam, meningkat dengan mantap selama 10-20 menit, dan kemudian secara bertahap berkurang.

 Nyeri yang konstan, tidak terbebas dari emesis, antasida, buang air besar, flatus, atau perubahan posisi, dan kadang disertai dengan diaphoresis, mual, dan muntah

 Gejala nonspesifik (misalnya, gangguan pencernaan, dispepsia, bersendawa, atau kembung)

(33)

Pasien dengan keadaan lithogenic atau batu empedu asimtomatik tidak memiliki temuan abnormal pada pemeriksaan fisik.Membedakan kolik empedu yang tidak rumit dari kolesistitis akut atau komplikasi lainnya adalah penting. Temuan utama yang dapat dicatat meliputi21:

 Kolik bilier tanpa komplikasi - Nyeri yang tidak terlokalisir dan viseral. Pemeriksaan perut pada dasarnya jinak tanpa rebound atau pengawetan, tidak ada demam

 Kolesistitis akut

 Nyeri lokal pada kuadran kanan atas, biasanya dengan rebound dan pengawetan. Tanda Murphy positif (nonspesifik). Sering terjadi demam; Tidak adanya tanda peritoneal; Sering terjadi takikardia dan diaphoresis. Pada kasus yang parah, suara usus yang tidak ada atau hipoaktif

Adanya demam, takikardia, hipotensi, atau ikterus yang terus-menerus memerlukan pencarian komplikasi, yang mungkin meliputi21:

 Cholecystitis  Cholangitis  Pankreatitis

 Penyebab sistemik lainnya

2.1.9 Diagnosis Batu Empedu

Batu empedu didiagnosis dengan riwayat episode berulang dari kuadran kanan-atas atau nyeri epigastrik, yang mengindikasikan tanda bilier empedu dan tanda Boas. Demam,dan adanya Murphy sign pada kuadran kanan atas , dan disertai tanda Ortner.

Tiga metode utama yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit kandung empedu adalah ultrasonografi (USG), pemindaian nuklir

cholescintigraphy (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI).

Endoscopi Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) merupakan prosedur enndoskopi yang menggunakan x-rays dan untuk melihat saluran

(34)

empedu dan juga saluran pankreas25. Saat ini, USG adalah metode yang paling sering digunakan untuk mendeteksi cholelithiasis dan cholecystitis. Kadang-kadang batu empedu didiagnosis dengan sinar-X polos. USG memiliki spesifisitas dan sensitivitas 90-95%, dan dapat mendeteksi batu setebal 2 mm diameternya. Pemeriksaan ini sangat efektif karena dapat menunjukkan adanya batu empedu pada saluran empedu, menunjukkan dilatasi saluran empedu dan mendeteksi penebalan dinding kantong empedu. CT dan MRI, merupakan satu satunya pencitraan yang dapat menunjukan batu di dalam kandung empedu24.

Dalam cholescintigraphy, seorang pasien disuntik dengan sejumlah kecil bahan radioaktif non-berbahaya yang diserap oleh kantong empedu, yang dirangsang untuk berkontraksi jika suntikan cholecystokinin intravena diberikan sebagai tambahan. Isotop berteknologi berumur pendek teknetium-99 m, yang terikat pada salah satu dari beberapa radioaktif HIDA (asam iminodiacetic acid) atau DISIDA (disopropyl iminodiacetic acid,) yang diekskresikan ke dalam saluran empedu, dapat memberikan informasi fungsional tentang kontraksi kandung empedu, dapat mendeteksi obstruksi total saluran empedu, namun tidak dapat memberikan informasi anatomis, dan tidak dapat mengidentifikasi batu empedu. Cholescintigraphy memiliki sensitivitas dan spesifisitas sekitar 95% untuk kolesistitis akut, dalam keadaan nyeri pada kuadran atas atau sedang terjadinya peradangan20.

2.1.10 Komplikasi Batu Empedu Kolesititis akut

Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik megalami kolesititis akut. Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual, muntah dan panas7. dan seringkali merupakan infeksi sekunder oleh mikroorganisme usus, terutama spesies Escherichia coli dan

Bacteroides5. Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas dan sering teraba kandung empedu yang membesar dan tanda

(35)

tanda peritonitis. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan selain lekositosis kadang kadang juga terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faal hati kemungkinan akibat kompresi lokal pada saluran empedu7.

Patogenesis kolesititis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan volume kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan iskemi dari dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke proses nekrosis dan perforasi. Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril dan baru pada tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri. Kolesititis akut juga dapat disebabkan lumpur batu empedu (kolesistitis akalkulus). Komplikasi lain seperti ikterus, kolangitis, dan pankreatitis juga dapat terjadi26.

2.1.11 Prognosis Batu Empedu

Kesembuhan dari penyakit batu empedu dengan pengobatan adalah baik. Angka kematian penyakit ini seringkali terjadi setelah terapi bedah dan kurang dari 0,1%. Setelah di lakukan pembedahan atau kolesistektomi pasien akan mengalami rasa nyeri yang persisten ataupun rekurens, atau disebut juga “post kolesistektomi syndrome”. Namun, apabila telah timbul komplikasi kolesititis akut, maka angka kesembuhan bisa menjadi dubia atau malam, bahkan tingkat kematian bisa lebih dari >50%. Kolesititis tanpa dilakukan operasi bedah meningkatkan kekambuhan sekitar 50% selama 6 tahun18.

2.1.12 Tatalaksana Batu Empedu

Pengobatan batu empedu sebagian bergantung pada apakah itu menyebabkan gejala atau tidak. Episode berulang nyeri perut bagian atas yang berkaitan dengan batu empedu adalah indikasi paling umum untuk pengobatan batu empedu. Menunda kolesistektomi elektif sampai episode nyeri berulang terjadi menghasilkan sedikit penurunan harapan hidup20.

(36)

Kolesistektomi profilaksis untuk batu empedu telah direkomendasikan pada kelompok tertentu, seperti anak-anak, karena gejala berkembang pada hampir semua pasien. Ini juga direkomendasikan pada pasien penyakit sel sabit dengan batu empedu, karena gejala batu empedu dapat meniru krisis sel sabit, dan kolesistektomi elektif jauh lebih aman daripada kolesistektomi darurat pada kelompok ini. Kolesistektomi insidentil untuk batu empedu sering dilakukan bersamaan dengan pembedahan untuk obesitas yang tidak sehat, mengingat tingginya kejadian batu empedu simtomatik selama penurunan berat badan yang cepat. Beberapa ahli bedah merekomendasikan kolesistektomi insidentil untuk batu empedu pada pasien yang menjalani operasi perut lainnya20.

Kolesistektomi profilaksis juga dianjurkan pada kelompok berisiko tinggi tertentu untuk mencegah kanker kandung empedu. Pasien pada populasi umum dengan batu atau batu yang sudah berlangsung lebih dari 3 cm dan pasien dengan dinding kandung empedu yang kalsifikasi, atau kantung empedu "porselen"20.

Kolesistektomi profilaksis direkomendasikan untuk pasien diabetes dengan batu empedu karena peningkatan risiko kolesistitis akut dan peningkatan mortalitas dengan kolesistektomi darurat. Studi terbaru menunjukkan bahwa pasien diabetes telah meningkatkan risiko operasi dengan operasi kantung empedu dan selektif darurat terkait dengan risiko penyakit kardiovaskular dan kondisi lain yang berdampingan daripada diabetes melitus itu sendiri. Sebagian besar pihak berwenang tidak merekomendasikan kolesistektomi pada pasien diabetes tanpa gejala batu empedu20.

Kolesistektomi terbuka sebelumnya adalah standar pengobatan emas untuk batu empedu, sampai munculnya kolesistektomi laparoskopi. Kolesistektomi terbuka pada individu sehat berisiko tinggi memerlukan rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari. Kelemahan terbesar untuk kolesistektomi terbuka adalah menimbulkan rasa sakit yang lama dan juga jejas pasca operasi. Kolesistektomi laparoskopi telah banyak digunakan

(37)

sejak pertama kali dilakukan pada tahun 1988 dengan tingkat komplikasi mungkin setidaknya sama baiknya dengan prosedur terbuka. Namun seorang pasien yang telah menjalani operasi perut beberapa kali mungkin bukan kandidat yang cocok untuk kolesistektomi laparoskopi karena adhesi yang luas di sekitar kantong empedu. Seorang pasien yang secara medis terlalu tidak stabil untuk menjalani kolesistektomi terbuka juga bukan kandidat yang baik untuk kolesistektomi laparoskopi. Evaluasi dan penanganan dugaan batu di saluran empedu umum dapat dilakukan dengan kolangiopagreatografi retrograd endoskopik sebelum kolesistektomi laparoskopi. Jika batu empedu-empedu secara tak terduga ditemukan dengan kolangiografi selama kolesistektomi laparoskopi, diperlukan eksplorasi terbuka dari saluran empedu yang umum20.

Prosedur laparoskopi membutuhkan waktu operasi lebih banyak daripada prosedur terbuka, tapi biasanya hanya satu malam di rumah sakit pasca operasi. Nyeri pasca operasi sangat berkurang, dan pasien biasanya dapat kembali bekerja lebih awal, yaitu dalam satu sampai 2 minggu, dibandingkan dengan 4-6 minggu setelah kolesistektomi terbuka20.

Upaya untuk menggunakan garam empedu oral untuk melarutkan batu empedu dimulai lebih dari 30 tahun yang lalu karena mereka yang menolak atau berisiko buruk dalam operasi. Asam biroodeolikamat (chenodiol) dan asam ursodeoksikolat (ursodiol) diketahui melarutkan batu empedu, namun chenodiol menyebabkan diare dan kadar aminotransferase menjadi abnormal, sedangkan ursodiol tidak. Terapi dengan garam empedu sangat sesuai untuk sebagian kecil pasien dengan batu empedu kolesterol simtomatik. Hal ini tidak sesuai untuk pasien dengan kolesistitis akut atau batu di saluran empedu umum, yang memerlukan tindakan segera. Pemilihan untuk pengobatan dengan garam empedu harus memiliki saluran sistik paten dan batu empedu kolesterol yang tidak terkalsifikasi. Batu empedu sering kambuh setelah pemberian garam empedu oral dihentikan20.

(38)

2.2 Obesitas

2.2.1 Definisi Obesitas

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik27. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Batas kegemukan umumnya adalah 20% melebihi standar normal. Obesitas terjadi jika, selama periode waktu tertentu, jumlah kalori yang masuk melalui makanan lebih banyak daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi tubuh, dan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan lemak16.

2.2.2 Klasifikasi Obesitas

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks masa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Saat ini IMT merupakan indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebh atau obes. Orang yang lebih besar-tinggi dan gemuk, akan lebih berat dari orang yang lebih kecil28.

Karena IMT menggunakan ukuran tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. IMT dapat memberikan kesan yang umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah lemak) pada populasi, terutama pada kelmpok usia lanjut dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena variasi lean body mass.

(39)

Tabel 2.2. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT danlingkar perut menurut kriteria Asia Pasifik7

Risiko ko Morbiditas

Klasifikasi IMT (kg/m2) Lingkar perut <90cm (laki-laki) <80cm (perempuan) >90cm (laki-laki) >80cm (perempuan) Berat badan kurang <18,5 Rendah (risiko meningkat pada masalah klinis Sedang

Kisaran normal 18,5 – 22,9 Sedang Meningkat

Berisiko 23,0 – 24,9 Meningkat Moderat

Obes I 25,0 – 29,9 Moderat Berat

Obes II >30,0 Berat Sangat berat

2.2.3 Epidemiologi Obesitas

Pada tahun 1995, diperkirakan ada 200 juta orang dewasa obesitas di seluruh dunia. Pada tahun 2000, jumlah orang dewasa obesitas meningkat menjadi lebih dari 300 juta.. Di negara-negara berkembang, diperkirakan lebih dari 115 juta orang menderita masalah terkait obesitas28. Pada bulan November 2004, database telah mengumpulkan data yang mencakup 86% populasi orang dewasa di seluruh dunia. Dan didapatkan pada tahun 2005, sekitar 1,6 miliar orang diseluruh dunia memiliki kelebihan berat badan dengan 400 juta orang dewasa obesitas 29. Di Amerika, obesitas merupakan suatu masalah yang diakui, angka kejadian obesitas terakhir sekitar 34% orang dewasa dan 15-20% anak anak dan remaja30.Epidemi obesitas saat ini telah dilaporkan di beberapa wilayah di seluruh dunia. Tingkat obesitas tertinggi telah dilaporkan di kepulauan pasifik dan tingkat terendah telah terlihat di Asia. Angka di Eropa dan Amerika Utara umumnya tinggi, sementara kejadian di Afrika dan negara-negara Timur Tengah bervariasi. Pada bulan November 2004, database telah mengumpulkan data yang mencakup sekitar 86% populasi

(40)

orang dewasa di seluruh dunia. 1,6 miliar orang di dunia memiliki berat badan yang berlebih dan 400 juta merupakan orang dewasa dengan obesitas29

Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang teradi di negara-negara yang sedang berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi khusus nya pada kota kota besar. Prevalensi nasional pada obesitas tipe

pear shaped (usia >15 tahun) di Indonesia sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas) dan prevalensi obesitas tipe apple shaped

sebesar 26,6%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (18,8%). Kelompok dengan karakteristik obesitas tipe apple shaped tertinggi di Indonesia berada dalam rentang umur 40-54 tahun sebanyak 27,4%. Penelitian epidemiologi yang di lakukan di daerah sub urban di daerah kota Jakarta Utara, pada tahun 1982, mendapatkan prevalensi obesitas sebesar 4,2% di daerah Kayu Putih, Jakarta pusat. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1992, prevalensi obesitas sudah mencapai 17,1%, dimana ditemukan prevalensi obesitas pada laki-laki dan perempuan masing masing 10,9% dan 24,4%. Pada penelitian epidemiologi di daerah Abadijaya, Depok pada tahun 2001 didapatkan 48,6%, pada tahun 2002 didapat 45% dan 2003 didapat 44% orang dengan berat badan lebih dan obesitas7

2.2.4 Patofisiologi dan Komplikasi Obesitas a. Fungsi Adipokin

Adiposit, yang terdiri lebih dari satu miliar sel, tidak hanya menyimpan triasilgliserol di depot lemak di berbagai tempat tubuh untuk menyediakan cadangan energi, namun secara keseluruhan merupakan jaringan endokrin terbesar yang terus berkomunikasi dengan jaringan lain oleh sekretagog yang dikeluarkan oleh adiposit, seperti proteohormon lectin, adiponektin, dan visfatin. Insulin dan proteohormon membantu mengatur massa lemak tubuh. Kelompok gen lainnya yang berkontribusi terhadap adipokin adiposit meliputi sitokin, faktor pertumbuhan, dan

(41)

protein komplementer. Tumor nekrosis faktor (TNF) a, interleukin (IL) -1, dan IL-6 yang menyebabkan steatonekrosis lokal, namun juga didistribusikan oleh sistem vaskular dan menyebabkan peradangan di tempat lain. Kandungan lemak yang ditingkatkan pada otot menjadi sangat signifikan pada obesitas berat sehingga pencitraan resonansi magnetik seluruh tubuh menunjukkan kumulatif 31.

Depot lemak di lokasi otot yang serupa dengan jaringan adiposa viseral total. Lemak perifer pada bagian pinggul tampaknya berhubungan dengan fungsi endokrin, karena lemak ini banyak digunakan sebagai cadangan energi jangka-panjang. Depot lemak viscial melepaskan adipokin inflamasi., yang bersamaan dengan asam lemak bebas, ini memberikan dasar patofisiologis untuk kondisi komorbid yang terkait dengan obesitas seperti resistensi insulin dan diabetes mellitus. Adipokin viseral akan diangkut oleh sistem vaskular portal ke hati, meningkatkan steatohepatitis nonalkohol (NASH), dan juga oleh sirkulasi sistemik ke berbagai bagian lainnya. Seiring dengan lipotoksisitas asam lemak, adipokin viseral juga berkontribusi terhadap peradangan inflamasi adipokine yang menyebabkan disfungsi sel beta pankreas, yang menyebabkan mengurangi sintesis dan sekresi insulin31.

b. Peran Adipokin Spesifik

Dislipidemia, hipertensi, dan aterogenesis adalah kondisi komorbiditas, di samping resistensi insulin, yang terkait dengan obesitas dan sangat dipengaruhi oleh sekresi adipokin inflamasi yang beragam, terutama dari jaringan adipose putih (WAT) di depot lemak visceral. Adenokin spesifik meningkatkan endotel pada vasomotor dengan mengeluarkan renin, angiotensinogen, dan angiotensin II, yang serupa dengan sistem renin-angiotensin ginjal (RAS), tetapi bila disekresikan dari adiposit dapat meningkatkan hipertensi pada pasien obesitas. Sekresi TNF-α meningkat sebanding dengan peningkatan total massa lemak tubuh dan meningkatkan peradangan pada hati berlemak dan depot lemak di tempat lain, terutama di pankreas, mesenterium, dan situs visceral usus. Tanda

(42)

inflamasi yang meningkat pada obesitas umumnya berkontribusi pada kondisi inflamasi seperti NASH dan di bronkus pasien dengan apnea obstruktif. Penanda ini tidak hanya mencakup TNF-α dan IL-6, tetapi juga reaktan fase imun seperti protein C-reaktif, glikoprotein asam α1, dan antigen amiloid spesifik, terutama pada hati berlemak31.

Reaktan fase-akut adalah penanda peradangan penting yang juga diregulasi dalam keadaan tahan insulin yang terkait dengan diabetes. Adiposit juga merangsang makrofag terkait lemak yang juga mengeluarkan protein kemoattractant monosit (MCP-1), faktor penghambat migrasi makrofag (MMIF), dan resistin, yang semuanya mengurangi sensitivitas insulin yaitu meningkatkan resistensi insulin. Makrofag ini berkontribusi pada keadaan inflamasi yang disempurnakan dan sebagai stimulator imun, meningkatkan kumpulan kinase protein mitogenaktivasi (C-Jun N-terminal kinase, penghambat faktor inti kappa beta Kinase b (NF-KB), dan phosphatidylinositol 3-kinase), menginduksi faktor transkripsi NF-KB yang memungkinkan defosforilasi protein

docking IRS-1 dan -2, yang dapat menghambat transport glukogen

GLUT4, yang mengakibatkan resistensi insulin31.

(43)

c. Anti-inflamasi secretagogues

Untuk mengatasi pembekuan dari efek nflamasi yang merugikan , sel adiposa juga mengeluarkan hormon anti-inflamasi, seperti adiponektin, visfatin, dan protein penguat asilasi yang berhubungan dengan pelengkap, yang memberikan efek menguntungkan yang dapat menghambat adipokin inflamasi. Dengan cara ini, hormon pelindung dan protein pelengkap menjadi anti-inflamasi dan anti ateroskogenik dalam tindakan, karena secara bersamaan meningkatkan sensitivitas insulin dan memperbaiki disfungsi endotel vaskular. Efek ini paling jelas ketika adipokin anti-inflamasi ini menjadi kurang, seperti pada saat tingkat adiponektin menurun seiring dengan meningkatnya obesitas. Kemungkinan defisiensi reseptor adiponektin, adipokin inflamasi, serta asam lemak berlebih, semuanya berkontribusi terhadap resistensi insulin dan komorbiditas lainnya. Menariknya, leptin dapat bertindak baik sebagai secretagogue anti-inflamasi dan pro-inflamasi, karena meningkatkan sensitivitas insulin untuk pengambilan glukosa dalam otot namun mendorong inflamasi dan angiogenesis pada tempat lain31.

2.2.5 Strategi penurunan dan pemeliharaan Berat Badan a. Terapi diet

Pada program manajemen berat badan, terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet harus dimasukkan ke dalam status pasien

overweight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000

kcal/hari, sebaiknya kebutuhan energi basal pasien diukur terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan energi dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict7 :

Laki laki  B.E.E = 66,5+(13,75 x kg) + (5,003 x cm) – (6,775 x age) Wanita  B.E.E = 655.1 + (9.563) + (1850 x cm) – (4.676 x age)

(44)

b. Aktivitas fisik

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai7.

c. Terapi perilaku

Stategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus kontrol, pemecahan masalah, contigency management, cognitive estructuring dan dukungan sosial 7.

d. Farmakoterapi

Sibutramine dan Orlisat merupakan obat obatan penurun berat badan yang telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat. Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahanannya. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner gagal jantung kongestif, aritmia atau riwayat strok.

Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30%. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan pengantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial7.

e. Terapi bedah

Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI >40 atau >35 dengan kondisi kormobid. Terapi bedah

(45)

ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas ekstrem7.

2.3 Hubungan Obesitas dan Batu empedu

Penyakit batu empedu kolesterol juga terkait dengan obesitas, terutama pada wanita dengan berat badan berlebih pada usia subur. Selama puasa, ada peningkatan mobilisasi kolesterol dari depot lemak, yang melewati hati ke saluran empedu. Hal ini memungkinkan peningkatan sekresi kolesterol biliaris dan supersaturasi empedu di kantong empedu, dan mendorong pembentukan batu empedu. Batu empedu semacam itu memunculkan keadaan inflamasi lokal, yang ketika kronis menjadi faktor risiko kanker kandung empedu

Pada individu dengan obesitas dan mengkonsumsi makanan tinggi kalori, dapat membuat terganggunya pengosongan kandung empedu. Yang membuat motilitas kandung empedu terhambat, sehingga empedu yang disimpan di kandung empedu, pada normalnya dialirkan ke usus, namun dikarenakan motilitas tersebut terganggu sehingga terjadi pengendapan. Dimana pada orang obesitas, kadar kolesterol meningkat yang dapat mendukung terbentuknya batu empedu dikarenakan oleh supersaturasi dan motilitas yang buruk pada kandung empedu. Obesitas akan meningkatkan risiko batu empedu kolesterol dengan meningkatnya sekresi kolesterol empedu, sebagai hasil peningkatan aktivitas reduktase koenzim A-2-hidroksi-3-mthilglutaryl (HMGCoA)32.

Pada sebuah survey di Amerika dan Meksiko, menyelidiki kejadian penyakit kandung empedu dengan penilaian distribusi lemak yang menggunakan pengukuran ketebalan lipatan kulit, menunjukan adanya peningkatan risiko batu empedu dengan endapan lemak utama (pada perut). Patogenesis batu empedu dapat dikolerasikan dengan pola distribusi lemak pada regio tertentu, pola ini menjadi indikator gangguan metabolisme yang mungkin terjadi. Peningkatan kerja hepar terhadap akumulasi lemak pada individu yang obesitas juga merupakan penyebab

(46)

terbentuknya batu empedu. Empedu pada individu obesitas biasanya bagaikan lumpur dari pada cairan. Hal tersebut membuat tingginya terbentuk batu kandung empedu8,12.

Beberapa teori mengatakan, penyebaran lemak viceral lebih bepengaruh dalam pembentukan batu empedu. Sebab, lemak viseral memiliki akses hepatik langsung melalui sistem vena porta, sehingga memberikan asam yang tidak teresterifikasi ke hati. Selain itu, lemak viseral akan melepaskan beberapa zat vasoaktif langsung ke sistem vena porta, yang akan memicu respon pro-inflamasi melalui aktivasi makrofag dan pelepasan sitokin inflamasi seperti TNF-α dan IL-6. Sitokin ini memiliki efek penghambatan pada ekspresi adiponektin. Adiponektin yang dilepaskan dari adiposit meningkatkan sensitivitas insulin dan meng-oksidasi asam lemak, sehingga memiliki efek diabetes dan anti-atrogenik. Akibatnya, proses ini menghasilkan resistensi insulin dan manifestasi berupa sindrom metabolik. Hiperinsulinemia dikaitkan dengan penyakit batu empedu melalui pelepasan kolesterol yang berlebihan dari hati dan efek penghambatan pada motilitas kandung empedu 22.

2.4 Batu empedu dan jenis kelamin

Kadar hormon estrogen yang meningkat, akibat kehamilan atau terapi hormon, atau penggunaan kombinasi hormon kontrasepsi kombinasi (estrogen-mengandung), dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu dan juga dapat mengurangi gerakan kandung empedu, dan menghasilkan pembentukan batu empedu(38)

Pada suatu penelitian, di dapatkan penderita batu empedu tertinggi pada negara Amerika serikat bagian utara. Dari data yang dilaporkan, 64,1% penderita bejenis kelamin wanita, dan 29,5% adalah pria1

(47)

Gambar 2.8. Prevalensi baru empedu pada wanita berdasarkan survei pemeriksaan USG 1

2.5 Batu empedu dan Usia

Saturasi kolesterol biliary meningkat seiring bertambahnya usia, akibat penurunan aktivitas kolesterol 7α hydroxylase yang merupakan enzim pembatas laju sintesis asam empedu. Proporsi asam deoxycholic dalam empedu meningkat seiring bertambahnya usia dengan peningkatan 7α dehydroxylation dari asam empedu primer oleh bakteri usus1

.

Tabel 2.3 Batu empedu dengan faktor resiko jenis kelamin, usia dan status pernikahan

Variable No. (%) Screened Gallstone No. (%) OR (95% CI) Gender Male 756 (52.3) 11 (1.4) 1.00 Female 726 (47.7) 29 (4.0) 2.97 (1.47 – 5.99) Age 30-44 years 685 (45) 9 (1.3) 1.00 Over 45 years 837 (55) 31 (3.7) 2.89 (1.37 – 6.11)

Gambar

Gambar 2.1 pola topografi 4 kuadran (13)  b. Definisi dan struktur Vesica biliaris
Gambar 2.2 pandangan posterior area nuda (13)  c. Perdarahan Vesica biliaris
Gambar 2.4 Anatomi Hati  16
Gambar 2.5 Sirkulasi enterohepatik garam empedu 16
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aksen, ornamen islam/Islamic Village kurang terlihat sudah terselessaikan dengan Melalui desain perancangan tempat penyimpanan tas ini yang memiliki konsep logo

Alat pemanas harus selalu digunakan dalam pelepasan gas (fumigan) kedalam ruangan fumigasi, meskipun dalam cuaca yang panas..  Sedangkan apabila tiga peti kemas atau lebih

PT Ajinomoto Indonesia telah melakukan strategi yang cukup bagus, baik dalam usahanya melakukan penetrasi pasar di Indonesia yaitu dengan menetapkan harga yang murah dan

Koefisien korelasi pada regresi linier sederhana bertujuan untuk menunjukkan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, yaitu dalam penelitian ini akan

Meskipun tidak dalam penelitian ini pemberian ekstrak mengkudu tidak berpengaruh terhadap tingkat kanibalisme ikan lele, namun secara umum jika dibandingkan dengan

Adapun upaya perbaikan yang dapat dilakukan adalah penataan kembali pemukiman dan perhotelan yang ada dengan merelokasi kawasan tersebut untuk mengembalikan

Pendidikan nonformal yang diselenggarakan juga dapat berupa lembaga kursus, lembaga pelatihan….khusus untuk kursus dan pelatihan, diselenggarakan bagi masyarakat yang

Penjelasan: Kepatuhan sosial menyiratkan untuk memastikan bahwa semua pekerja mendapatkan setidaknya upah minimum sesuai hukum pada waktu kerja reguler dan peraturan dalam