• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEURALGIA POST HERPETIKA Referat | Karya Tulis Ilmiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NEURALGIA POST HERPETIKA Referat | Karya Tulis Ilmiah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia atau nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP), adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen sensorik (fisik) dan emosional (psikogenik). Nyeri bisa bervariasi berdasarkan: waktu dan lamanya berlangsung (transien, intermiten, atau persisten), intensitas (ringan, sedang dan berat), kualitas (tajam, tumpul, dan terbakar), penjalarannya (superfisial, dalam, lokal atau difus). Di samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Selain itu nyeri juga dihubungkan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang oleh Woolf (2004) disebut sebagai pengalaman nyeri

1,2,3,4,5.

Pada dasarnya susunan saraf terdiri dari sel-sel spesifik yang berfungsi menerima rangsangan sensorik dan meneruskannya ke organ-organ efektor, baik muskular maupun kelenjar. Stimulus yang diterima baik dari luar maupun dari dalam tubuh dihubungkan di dalam susunan saraf. Saraf-saraf ini mempunyai spesifikasi yang tertentu sehingga ia mampu menerima rangsangan yang khusus. 12

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

11,13

(2)

sensasi nyeri yang berbeda. Serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan.11

Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:2,11,13

1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun kimia;

2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi

3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang

4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Susunan saraf, baik di pusat atau tulang belakang dapat terjangkiti nyeri yang datang dan pergi. Nyeri diinformasikan oleh perujungan saraf yang disebut nosiseptor yang memindai rangsangan gangguan pada tubuh. Dalam tubuh kita sendiri terdapat banyak perujungan saraf tersebut, dan kesemua nosiseptor memiliki tugas yang berbeda. Misalnya, merespon rasa terbakar, panas, teriris, infeksi, perubahan struktur kimia, tekanan, dan sensasi lainnya. Nosiseptor menyampaikan pesan ke serabut saraf kemudian meneruskan pesan pada saraf tulang belakang dan otak pada hitungan kecepatan cahaya.1,2,3

(3)

kronis dapat disebabkan oleh gangguan dalam sistem persarafan itu sendiri. Sehingga meski pesan telah diteruskan ke otak, namun penyebab gangguan pada persarafan tak mudah untuk diketahui sebagai sumber nyeri. Nyeri kronis ini dapat pula berasal sebagai tambahan nyeri yang dipicu oleh keberadaaan penyakit utama seperti pada diabetes.4,5,6

Saat ini nyeri tidak lagi dianggap sebagai suatu gejala tetapi merupakan suatu penyakit atau sebagai suatu proses yang sedang merusak sehingga dibutuhkan suatu penanganan dini dan agresif. Proses nyeri merupakan suatu proses fisiologik yang bersifat protektif untuk menyelamatkan diri menghadapi stimulus noksious.4,5,6

Secara patologik nyeri dikelompokkan pada nyeri adaptif atau nyeri nosiseptif, atau nyeri akut dan nyeri maladaptif sebagai nyeri kronik juga disebut sebagai nyeri neuropatik serta nyeri psikologik atau nyeri idiopatik. Nyeri akut atau nosiseptif yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan, merupakan salah satu sinyal untuk mempercepat perbaikan dari jaringan yang rusak. Sedangkan nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri fungsional merupakan proses sensorik abnormal yang disebut juga sebagai gangguan sistem alarm. Nyeri idiopatik yang tidak berhubungan dengan patologi baik neuropatik maupun nosiseptif dan memunculkan gejala gangguan psikologik memenuhi somatoform seperti stres, depresi, ansietas dan sebagainya.1,2

Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.1,2,3

(4)

protektif biologis namun adalah nyeri yang berlangsung dalam proses patologi penyakit itu sendiri. Nyeri bisa bertahan beberapa lama yakni bulan sampai tahun sesudah cedera sembuh sehingga juga berdampak luas dalam strategi pengobatan termasuk terapi gangguan psikologik.1,2,3

BAB II

NEURALGIA POST HERPETIKA

II. 1 Definisi

(5)

onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap

atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin,

1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah

onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher

mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster

lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling

tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The

International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. 1,2,3

Neuralgia pascaherpetik (NPH) merupakan sindrom nyeri neuropatik yang sangat

mengganggu akibat infeksi Herpes zoster. NPH biasanya terjadi pada populasi usia pertengahan

dan usia lanjut serta menetap hingga bertahun-tahun setelah penyembuhan erupsi (cacar).

Sejumlah pendekatan dilakukan untuk mengatasi nyeri akibat zoster, menghambat

progresivitasnya menuju NPH dan mengatasi NPH. Beberapa dari pendekatan ini terbukti efektif

namun NPH masih saja merupakan sumber rasa frustrasi bagi pasien dan dokter.

(6)

Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik merupakan tipe

nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan proses signal sistem saraf pusat.

Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens pada area kulit yang terlibat merupakan

akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan

pembuluh darah), trombosis intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia

(kekurangan aliran darah) dari saraf tersebut. Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf

tepi secara spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan.

Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang justru

memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih. Aktivitas perifer (saraf tepi)

yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya,

terjadi respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang

terjadi ini sangat kompleks sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.

II. 2 Etiologi

Neuralgia post herpetik disebabkan oleh infeksi virus herpes zooster. Virus varisella zoster

merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia.

Virus ini termasuk

dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah

icosahedral nucleocapsid

yang

dikelilingi oleh selubung lipid. Ditengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varisella zoster

memiliki diameter sekitar 180-200 nm. Herpes Zooster adalah infeksi virus yang terjadi senantiasa

pada anak-anak yang biasa disebut dengan varicella (chicken pox). Tipe Virus yang bersifat patogen pada manusia adalah herpes virus-3 (HHV-3), biasa juga disebut dengan varisella zoster virus (VZV). Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis terutama nervus kranialis V (trigeminus) pada ganglion gasseri cabang oftalmik dan vervus kranialis VII (fasialis) pada ganglion genikulatum. 4,5,6,7,8
(7)

tersebut, diperkirakan insidennya bisa mencapai lebih dari 500,000 kasus tiap tahun dan sekitar 9-24% pasien-pasien ini akan mengalami NPH. Peningkatan usia nampaknya menjadi kunci faktor resiko perkembangan herpes zoster, insidensnya pada lanjut usia (diatas 60-70 tahun) mencapai 10 kasus per-1000 orang pertahun, sementara NPH juga mencapai 50% pada pasien-pasien ini dan mengalami nyeri yang berkepanjangan (dalam hitungan bulan bahkan tahun). NPH sendiri menimbulkan masalah baru akibat disability, depresi dan terisolasi secara sosial serta menurunkan kualitas hidup. Sekali NPH terjadi, akan sangat sulit melakukan penatalaksanaan secara efektif.

II. 3 Patologi dan patogenesis

Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan

pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui system

respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran

darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh.

Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini

bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun. Patogenesis

terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara

dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang

virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap

virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi

klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit

terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal,

virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari

proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’. Pada

ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel

saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan

dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi

wallerian

dan proses sklerosis. Proses

perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.

Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:

1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf

(8)

3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat dibedakan

dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar dan ganglion.

4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf

yang terlibat.

Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar. Yang luput dari maut dan tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut A-delta dan C. Sehingga semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi perlukaan mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia yaitu respon sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi. 1,2,4,11,17

Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal maka semua impuls yang masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian besar dari serabut tebal sudah musnah, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang. 1,2,4,11,17

Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia.1,2,4,11,17

(9)

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika

ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi

tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

II. 4 Epidemiologi

Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan dari

data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut

bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali

lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita

imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan

untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunidefisiensi

(HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan

kelompok sehat usia sama. Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia

paska herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah

onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka

terjadi neuralgia paska herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari

per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.

Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan, tetapi

presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan

mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Pada herpes zoster

akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya mengalamia neuralgia paska

herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan

mencapai 48%.

II. 5 Faktor resiko

(10)

II. 6 Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika

Tanda khas dari haerpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase: 1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu, 2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan, 3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. 1,3

Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung – gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.1,6

Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang. 1

(11)

Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat – tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum. 6,28

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa

terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang

terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah

tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa

unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.

Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan

ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal

lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi

biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.

Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan

pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi

klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya.

Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil

hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si

penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup

jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau

beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah

nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia

yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum

listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia),

rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi

rangsang yang berulang.

(12)

Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya

neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan dari

herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi

herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di

tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia paska herpetika

ke dalam tiga fase:

- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu

- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan

- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan

setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris

tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat.

Didapatkan pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei

tempat tidur menimbulkan rasa nyeri tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri

ini dapat menganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat

berpakaian atau saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah

lesi, sensitif terhadap perubahan temperatur.

Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan

sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia

hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik

meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih

berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.

Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang

meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis,

hepatitis, pneumonitis.

II. 8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27

1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya.

(13)

3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus

4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus.

5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi.

6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster

7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.

II. 9 Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika

Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia

paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

Terapi farmakologis:

a. Antivirus

Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800 mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. Valasiklovir diberikan dengan dosis anjuran 1 mg/hari selama 7 hari secara oral. Efek samping yang dapat ditemukan da;lam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri perut. Famsiklovir diberikan dengan dosis anjuran 500 mg/hari selama 7 hari selama 7 hari. Efek samping dalam penggunaan opbat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, pusing, nyeri.1,3,22

b. Analgesik

(14)

pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang

lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan

kecacatan.

c. Anti epilepsi

Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. 1,22

d. Anti depressan

(15)

dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.1,22,26

e. Terapi topikal

Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA.1,3,22

Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini). 1,3,22

Terapi non farmakologis

(16)

Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.1

b. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)

Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1

c. Vaksin

Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neurlagia Postherpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %. 4, 23

II. 10 Pencegahan

Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada

penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska herpetika.

Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf,

sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema,

mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.

II. 11 PROGNOSIS

(17)

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1

Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.1

BAB III

KESIMPULAN

(18)

terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini

dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada

penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa

penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh

dengan terapi yang teratur.\

DAFTAR PUSTAKA

1. Martin. Ilmiah : NEURALGIA PASKA HERPETIKA. 2008. [on line] http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?

option=com_content&view=section&id=7 layout=blog&Itemid=63 – 92k –

2. Tanra, H. SUPLEMENT : NYERI SUATU RAHMAT SEKALIGUS SEBAGAI TANTANGAN. Bidang Ilmu Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar 2005; 26 (3) 75-83

3. K. K. Sra, MD and S. K. Tyring, MD, PhD, MBA. TREATMENT OF POSTHERPETIC NEURALGIA. USA : 2008; (29) [on line] http:// Skin Therapy Letter .com 4. McElveen, W. A., dkk. EMEDICINE : POSTHERPETIC NEURALGIA. 2008. [on line]

http//: 1143066 overview.html

(19)

6. Sidharta, P. NEUROLOGI KLINIS DALAM PRAKTEKU UMUM . Jakarta : Dian Rakyat.2004

7. Mayo Foundation For Medical Education And Research. POST HERPETIC NEURALGIA. 2009 [online].http://www.mayoclinic.com/health/postherpetic-neuralgia/DS00277

8. U. S. National library of Medicine and The National Institute of health. MEDICAL ENCYCLOPEDIA : NEURALGIA.2009. [on line]. http://medlineplus.com

9. Ropper, A. H. PRINCIPLES OF NEUROLOGY : VIRAL INFECTION OF THE NERVOUS SYSTEM, CHRONIC MENINGITIS, PRION DISEASE. New York : McGraw-Hill. 2005 (8) : 643-644

10. Harsono .KAPITA SELEKTA NEUROLOGI. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 2005.

11. Pappagallo, M. THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN : NEUROFISIOLOGI OF NOCICEPTION. New York: McGraw-Hill.2005; (1) : 3-4

12. Snell, R. NEURO ANATOMI KLINIK UNTUK MAHASISWA KEDOKTERAN :

PENDAHULUAN DAN ORGANISASI SUSUNAN SARAF. Jakarta : EGC 2006;(1):378 13. Qittun. ARTIKEL KESEHATAN : KONSEP DASAR NYERI. 2008;(1).[on line]

http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/bipkk/article/view/217/217 14. Whitten, C. E, dkk. TREATING CHRONIC PAIN: NEW KNOWLEDGE, MORE

CHOICES. 2005 (9): 4. [on line] http://images.google.co.id/imgres?

imgurl=http://bp2.blogger.com/_N-RTY7s9S4A/SCXhDQmyP4I/AAAAAAAAAA0/T58w_MjMyGw/s320/nyeri.jpg&imgr

efurl=http://cetrione.blogspot.com/2008/05/nyeri-

nosiseptif.html&usg=__dFY28Zf7fv5EkDZictLb_5C-DO4=&h=320&w=314&sz=19&hl=id&start=1&um=1&tbnid=BGN9Xux7zapZ 7M:&tbnh=118&tbnw=116&prev=/images%3Fq%3Dtransduksi%2Bnyeri %26um%3D1%26hl%3Did%26sa%3DN

15. Lumbantobing. NEUROLOGI KLINIK PEMERIKSAAN FISIK DAN MENTAL : SARAF OTAK. Jakarta: Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2008; (11): 55-60 16. Donald, G. H. NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE : NEUROLOGIC

COMPLICATIONS OF THE REACTIVATION OF VARICELLA–ZOSTER VIRUS. 2000; (342): 635-645.[on line] http//: New England Journal of Medicine= 635.html 17. Mardjono, M dan Sidharta, P. NEUROLOGI KLINIS DASAR : SARAF OTAK DAN

PATOLOGINYA. Jakarta : Dian Rakyat. 2008; (13) : 158-160

(20)

19. U. S. National Library of Medicine and The National institutes of Health. MEDICAL ENCYCLOPEDIA : NEURALGIA.2009. [on line].

:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001407.htm

20. Aminoff, M. J. dkk. CLINICAL NEIROLOGY : HEADACHE AND FACIAL PAIN. New York : Mc-Graw-Hill. 2005; (6):84-85

21. Oxman , M.N.dkk. NEW ENGLAND JOURNAL OF MEDICINE : A VACCINE TO

PREVENT HERPES ZOSTER AND POSTHERPETIC NEURALGIA IN OLDER ADULTS. 2005; 352(22):2271-2284.[on line]:http:// New England Journal of Medicine 2271.htm

22. Mansjoer,A dkk. 2005. KAPITA SELEKTA.ED.2.Jakarta : Universitas Indonesia. 2005

23. Wikipedia. FREE ENCYCLOPEDIA : POST HERPETIC NEURALGIA. 2009.[on line]. http://en.wikipedia.org/wiki/post herpetic_neuralgia.

24. Kumar, P. Dan Clark, M. CLINICAL MEDICINE : CNS INFECTION AND INFLAMATION. Toronto : W. B. Saunders. 2003;(5):1195.

25. Feldman, E dkk. ATLAS OF NEUROMUSCULAR DISEASES : HERPES NEUROPATHY. Austria : Springer-Verlag.2005;(1): 281

Referensi

Dokumen terkait

penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik-beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji. Harapannya

Kebijakan perdagangan yang dilakukan pemerintah dengan tujuan menurunkan biaya produksi dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk luar negri

sasaran indikator target program indikator target kegiatan indikator target Renja Keterangan Terlaksananya Pemantauan Kualitas Udara. Ambien

Untuk mengetahui analisis tinjauan Hukum Ekonomi Islam terhadap pelaksanaan kebebasan sistem waralaba (franchise) dan sistem akad yang diterapkan pada produk es krim

Strategi interaktif yang dilakukan oleh petani untuk mereduksi risiko lebih ditekankan pada penggunaan teknologi usahatani yang sesuai dengan rekomendasi diantaranya : (1) jarak

Berikut dijelaskan kawasan perkotaan, miskin dan daerah bantaran sungai yang dijadikan sebagai wilayah studi buku putih antaralain Kecamatan Babussalam, Badar, Lawe

Dalam proses pemisahan dengan kromatografi kolom, adsorben silika gel harus senantiasa basah karna, jika dibiarkan kering kolom yang terbentuk dari silika gel bisa

Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan