• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN : STUDI KASUS DI DESA MOJOPILANG KABUPATEN MOJOKERTO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN : STUDI KASUS DI DESA MOJOPILANG KABUPATEN MOJOKERTO."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN

PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN

(Studi Kasus di Desa Mojopilang Kabupaten Mojokerto)

SKRIPSI

Oleh

Chusnul Khotimah

NIM. C01211015

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

)DNXOWDV6\DULnDKG

an Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Ahwal As-Syakhshiyah

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang dilaksanakan di Desa

Mojopilang Kabupaten Mojokerto dengan judul “ Analisis Hukum Islam

Terhadap Penerapan Perjanjian Pranikah Pasca Perkawinan (Studi Kasus di Desa

Mojopilang Kabupaten Mojokerto)”. Penelitian ini bertujuan menjawab

pertanyaan Bagaimana penerapan perjanjian di Desa Mojopilang? Dan Bagaimana analisis hukum islam terhadap perjanjian pranikah?

Penelitian ini pada dasarnya penelitian field research yang menggunakan metode deskriptif analistis. Data penelitian diperoleh melalui wawancara dengan informan, responden dan juga ditambah dengan dokumentasi, selanjutnya dari data yang diperoleh dilakukan analisa dengan menggunakan pola piker induktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian pranikah yang dilakukan di awal pernikahan oleh para pihak yang bersangkutan ketika semasa perkawinan perjanjian itu tidak diterapkan dengan baik oleh para pihak, dan itu berimbas kepada rumah tangga mereka, yang menimbulkan percekcokan, kedisharmonisan di keluarga mereka bahkan sampai terjadi KDRT. Itu semua berawal ketika sang suami mengalami kebangkrutan dan tertimpa banyak hutang sehingga suami mendesak dan mengancam akan menceraikan istrinya bahkan sampai bertindak ringan tangan terhadap istrinya apabila si istri ini tidak mau membayar hutang-hutangnya. Awalnya si istri ini menolak tetapi lama-kelamaan karena dia merasa takut dan dia juga memikirkan keutuhan rumah tangga dan anak-anak mereka maka istri inipun membayar lunas hutang suaminya. Akan tetapi masalah tidak berhenti disini saja setelah kejadian itu rumah tangga mereka menjadi tidak harmonis dan tidak seutuh dulu.

Berdasarkan kajian keislaman yang dilakukan oleh peneliti, maka diperbolehkan melakukan perjanjian pranikah asal tidak menyalahi aturan agama dan menyalahi hakikat dari perkawinan itu, serta perjanjian itu tidak merugikan salah satu pihak dan tidak menimbulkan kemudharatan dari hasil perjanjian itu .

Dengan demikian perjanjian pranikah boleh dilakukan asalkan tidak

menyimpang dari syari’at islam serta setelah dilakukan perjanjian pranikah tidak

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PENYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Kajian Pustaka ... 8

F. Tujuan Penelitian ... 9

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9

H. Definisi Operasional ... 10

I. Metode Penelitian ... 11

J. Sistematika Pembahasan. ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM A. Pengertian Perkawinan ... 18

B. Akad Nikah dan Konsekuensi Dalam Kehidupan Berumah Tangga ... 24

C. Pengertian Tentang Perjanjian ... 29

(7)

BAB III PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI OLEH PARA PIHAK

A. Gambaran Umum Desa Mojopilang ... 46

B. Isi Perjanjian Pranikah Yang Dilakukan Oleh Para Pihak ... 49

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH (Studi Kasus Di Desa Mojopilang) A. Analisis Hukum Islam Terhadap PerjanjianPranikah ... 53

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Perjanjian Pranikah Pasca Perkawinan di Desa Mojopilang... ... 54

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural, berbagai masyarakat ada di sini. Namun, Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sikap kekeluargaan yang tinggi. Namun dengan bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini semakin kompleks dan rumit.

Manusia sebagai individu mempunyai jiwa kehidupan yang menyendiri, namun sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, karena manusia sejak lahir hidup berkembang dan meninggal dunia selalu dalam lingkungan masyarakat dan menjadi kodrat manusia untuk hidup berdampingan dengan sesama manusia dan berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara melangsugkan pernikahan.

(9)

2

Pernikahan menurut Islam bukan saja salah satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga sebagai salah satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum lainnya.1

Dalam Islam perjanjian menjadi suatu hal yang harus dipenuhi, hal ini dikarenakan pada hakikatnya kehidupan setiap manusia diawali dengan perjanjian dengan-NYA untuk kemudian bersedia hidup bertanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi ini. Selain itu hal tersebut diperkuat dengan firman-firman Allah yang menjelaskan tentang hakikat dari suatu perjanjian dalam Islam disebutkan dalam al-Qur’an surat al maidah ayat 1:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. Juga dalam surat al-isra’ ayat 34:

Artinya :… dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta

pertanggungan jawabnya.

Berdasarkan landasan-landasan inilah perjanjian dalam Islam bukanlah hal yang ringan karena, kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak pada

1 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: UI Press,1974), 47

2 Q.S. Al-Isra’(7):34. Departemen Agama RI, Al-Que’anul Karim: Terjemah Perkata

(10)

3

dasarnya akan menimbulkan hak di satu sisi, dan suatu kewajiban disisi lainnya. Hal ini erat kaitanya dengan aspek hukum yang ada, sehingga di dalam hukum, jika suatu perbuatan memiliki pengaruh atau akibat terkait dengan hukum disebut dengan perbuatan hukum, termasuk dalam hal ini adalah perjanjian.

Perjanjian pada hakikatnya dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, hal ini juga sejalan dengan pengertian perjanjian yang tercantum dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI).3 Yang berarti bahwa perjanjian dapat menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari tidak terkecuali dalam aspek hukum keluarga atau dalam hal ini yaitu pernikahan.

Membuat perjanjian dalam perkawinan pada dasarnya adalah mubah artinya boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat. Namun kalau sudah dibuat maka hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawinan tersebut menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Oleh karena itu, dalam hal ini para ulama memberikan klasifikasi tertentu terhadap syarat-syarat pra-nikah yang wajib dan tidak wajib untuk dilaksanakan.

Selain itu, Abdurrahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.4 Hal ini berarti bahwa terdapat persyaratan administrasi yang harus dipenuhi dalam hal perjanjian perkawinan tersebut.

3 KBBI (Jakarta:Balai Pustaka, 2008 ), 351

(11)

4

Priyanto Hadi Saputra konsultan perkawinan dari kantor hukum P. Hadisaputro menyebutkan beberapa tahun terakhir, perjanjian kawin mulai lazim dilakukan oleh kalangan tertentu yang bergerak di bidang wiraswasta. Misalnya seorang putri pemilik perusahaan menjalin asmara dengan salah seorang staf yang dipercaya mengelola perusahaan.5

Perjanjian tadi dibuat untuk menjaga profesionalisme, hubungan, dan citra mereka. Juga menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak atau keluarganya ingin mendapatkan kekayaan pihak lain, terutama dari hasil pembagian harta gono-gini ( harta yang didapat setelah pernikahan).

Perjanjian kawin juga banyak dipilih calon pasangan yang salah satu atau keduanya punya usaha berisiko tinggi.

Dalam pengajuan kredit misalnya bank menganggap harta suami-istri adalah harta bersama. Dengan perjanjian kawin, pengajuan hutang jadi tanggungan pihak yang mengajukan saja, sedangkan pasangan bebas dari kewajiban. Lalu debitur dinyatakan bangkrut, keduanya masih punya harta yang dimiliki pasangannya untuk usaha lain di masa depan. Dan untuk menjamin kesejahteraan keuangan kedua pihak, terutama anak-anak jadi perjanjian kawin dalam hal ini banyak mengandung nilai positifnya.

Perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung, serta mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan pada akta nikah dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat atas

(12)

5

persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.6

Dalam KHI pasal 47 disebutkan (1) pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) perjanjian tersebut dalam ayat 1 dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. (3) disamping ketentuan dalam ayat 2 dan 2 di atas boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta serikat.

Dalam UU No 1 Tahun 1974, perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 ayat 4 dimana perjanjian perkawinan yang telah dibuat dimungkinkan untuk diubah sepanjang tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan pasal 29 di atas. Perjanjian kawin yang diadakan antara suami dan istri adalah perjanjian tertulis kecuali ta’lik talak yang disahkan oleh

Pegawai Pencatat Nikah, apapun yang diperjanjikan asal tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan, serta jika terjadi perjanjian perkawinan itu disahkan bukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka perjanjian itu tidak

6 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta:Indonesia Legal Centre

(13)

6

dapat dikatakan perjanjian perkawinan melainkan perjanjian biasa yang berlaku secara umum.7

Bagi masyarakat Indonesia untuk mengatur harta masing-masing ( calon suami istri) dalam sebuah perjanjian kawin jarang dilakukan, hal tersebut dapat dimengerti karena lembaga perkawinan merupakan sesuatu yang sakral yang tidak hanya menyangkut aspek hukum saja tetapi juga menyangkut aspek religius, untuk itu membuat perjanjian kawin dianggap sesuatu yang menodai kesakralan dari perkawinan itu sendiri.

Seperti halnya perjanjian yang dilakukan oleh salah satu warga Desa Mojopilang ini mereka melakukan perjanjian pranikah yang mana berisi tentang perjanjian harta dimana harta istri dan suami baik menikah maupun setelah menikah harta mereka dipisah sesuai dengan kesepakatan bahwa harta milik suami dan istri baik selama perkawinan maupun sebelum perkawinan tidak ada percampuran harta dan tetap berkewajiban untuk memberi nafkah serta jika keduanya mempunyai hutang maka hutang tersebut ditanggung oleh masing-masing individu. Akan tetapi perjanjian yang mereka buat tidak sesuai dengan isi perjanjian, yakni pihak suami telah melanggar perjanjian yang mana hutang-hutangnya tidak dibayar sendiri melainkan dibayar oleh istrinya disinilah masalah timbul akibat penerapan perjanjian yang tidak dilakukan sesuai dengan isi perjanjian di awal. bahwasannya mereka telah melanggar perjanjian saat si suami dalam masalah keuangan yang mengambil alih untuk pembayaran

7 H.A.Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama (Bandung: Mandar

(14)

7

hutangnya adalah istrinya selain faktor tidak tega, di desak suaminya dan istri juga merasa kasihan karena suami di hadapkan dengan hutang yang menumpuk.

Keterkaitan antara masalah perjanjian di atas dengan judul skripsi yang saya bahas adalah betapa berpengaruhnya suatu penerapan perjanjian yang dilakukan selama perkawinan ataupun diingkari dalam suatu perkawinan yang nanti akan berpengaruh buruk terhadap perkawinan yang mereka bina.

Namun demikian Undang-Undang Perkawinan telah memberi peluang bagi mereka yang mau mengaturnya. Dalam kaitannya dengan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan adalah sama, begitu juga dalam masalah perlindungan harta bawaan, masing-masing pihak boleh saja mengurusnya secara pribadi setelah perkawinan, tetapi harus dilakukan terlebih dahulu perjanjian kawin. Dan betapa pentingnya masalah ini untuk dikaji dan diteliti terkait dengan keutuhan rumah tangga serta keharmonisan dalam berumah tangga ketika suatu perjanjian yang dilakukan di awal pernikahan tidak diterapkan semestinya dalam suatu perkawinan oleh pra pihak yang terkait.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah.

1. Identifikasi

Identifikasi diperlukan untuk mengenali ruang lingkup pembahasan agar tidak terjadi miss understanding dalam pemahaman pembahasannya. Adapun identifikasi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:

a. Pengertian perkawinan,perjanjian dan perjanjian perkawinan. b. Tujuan dan hikmah perjanjian perkawinan .

(15)

8

d. Isi perjanjian pra nikah yang dilakukan para pelaku di Desa Mojopilang. e. Penerapan perjanjian pranikah selama perkawinan berlangsung.

f. Kekuatan hukum atas perjanjian pranikah yang pelaku lakukan.

C. Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah tersebut skripsi ini penulis batasi beberapa masalah

antara lain:.

1. Penerapan perjanjian pranikah semasa perkawinan yang dilakukan oleh para pihak.

2. Kekuatan hukum atas perjanjian pranikah yang dilakukan oleh para pihak.

D. Rumusan Masalah.

Dari latar belakang masalah di atas dapat di kemukakan beberapa rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana penerapan perjanjian pranikah di Desa Mojopilang? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap perjanjian pranikah ?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dibutuhkan untuk memperjelas mempertegas serta membandingkan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan tema yakni perjanjian pranikah.

1. Skripsi yang ditulis oleh Zainiah yang berjudul ” Analisis Kekuatan Hukum

(16)

9

Perdata No.264/pdt.P/2010 di Pengadilan Negeri Malang. Penelitian ini membahas tentang kekuatan hukum akta notaris tentang perjanjian perkawinan dan kekuasaan pengadilan yang sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974 tidak memiliki kekuasaan untuk pasangan suami istri yang mau mendaftarkan perjanjian perkawinannya. Akan tetapi kekuasaan pendaftaran itu diberikan kepada pegawai pencatat nikah.

Sekilas pemaparan skripsi di atas, maka di yakinkan bahwa skripsi yang ditulis penulis ini tidak sama dengan skripsi yang ditulis sebelumnya. Sedangkan skripsi ini membahas tentang penerapan perjanjian selama perkawinan berlangsung oleh para pihak yang mana di tengah perkawinan terjadi pengingkaran atas perjanjian tersebut.

F. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penyusun capai dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui penerapan perjanjian yang telah disepakati tersebut dalam perkawinan mereka.

2. Mengetahui kekuatan hukum perjanjian dalam perkawinan para pihak.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

(17)

10

1. Kegunaan teoritis, untuk memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan perjanjian yang terjadi sebelum perkawinan, memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang isi perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang diperbolehkan dalam KHI dan hukum positif Indonesia serta memberikan pengetahuan kepada pembaca terkait kekuatan hukum perjanjian perkawinan dalam KHI dan hukum positif Indonesia.

2. Kegunaan praktis, dapat dijadikan pertimbangan dalam membuat perjanjian maupun menentukan perjanjian yang akan disepakati, baik oleh para pihak maupun masyrakat lainnya.

3. Dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam penelitian selanjutnya yang sejenis.

H. Definisi Operasional.

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami skripsi ini, maka perlu diberikan definisi yang jelas mengenai pokok kajian yang penulis bahas, yaitu: 1. Hukum islam adalah ketentuan yang ditetapkan Allah SWT yang dijelaskan oleh

Rasul-Nya, tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia, dalam mencapai kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat kelak.

2. Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri secara resmi.

(18)

11

Indonesia, maka yang dimaksudkan perjanjian yang akan diteliti ini yaitu perjanjian perkawinan dalam bentuk lisan dan atau dalam bentuk tulisan.

4. Perjanjian pranikah adalah sebuah kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak calon suami dan calon istri sebelum melangsungkan pernikahan yang berisi sesuai dengan kesepakatan mereka.

I. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini kualitatif. Karena dalam penelitian ini peneliti menggambarkan secara detail dan mendalam tentang suatu keadaan atau fenomena dari obyek penelitian dengan menghimpun data. 8Kemudian menghubungkan dengan variabel lainnya yakni hukum positif Indonesia dan KHI. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian kualitatif yang obyeknya adalah salah satu warga Desa Mojopilang yang melakukan perjanjian pranikah dimana didalam perjanjian tersebut penerapannnya tidak dilakukan sesuai dengan aturan sehingga terjadi kedisharmonisan salam keluarga dan berdampak sangat buruk terhadap sang istri. Kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan akan dihubungkan dengan hukum positif Indonesia dan KHI.

Sedangkan jika dari sudut tujuannya maka penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala masyarakat tertentu. Gambaran data yang

8 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh Paradigma Penelitian Fiqh, Jilid I (Jakarta:

(19)

12

diberikan adalah data tentang perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh salah satu masyarakat Desa Mojopilang. Data deskriptif diperoleh dari data lisan orang yang diamati maupun data tertulis.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Tempat penelitian yang dijadikan objek penelitian oleh peneliti hanya terbatas pada lingkup perjanjian pranikah yang dilakukan dalam sebelum berlangsungnya perkawinan yang dilakukan oleh salah satu warga Desa Mojopilang.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diolah dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Data kualitatif lebih bersifat deskriptif, karena menjelaskan tentang kenyataan empiris non numeric. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sumber data primer

Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dari sumber utama, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya 9. dengan demikian maka data primer dalam penelitian ini adalah data yang dihimpun dari sumber pertama berupa wawancara dengan pihak yang bersangkutan yang tepat untuk dijadikan informan dan diambil informasinya.

9

(20)

13

Sumber primer tersebut adalah sebagai berikut:

1) Informan yang meliputi pasangan suami istri yang melakukan perjanjian pranikah, saksi-saksi dan lain sebagainya yang dapat memberikan informasi tentang data yang di inginkan.

2) Dokumen yang meliputi akta perjanjian pranikah. b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti akan tetapi berasal dari tangan kedua, ketiga,dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri10 misalnya dari buku, jurnal, majalah, keterangan-keterangan dan publikasi lainnya. Adapun data sekunder yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang relevan dengan pembahasan perjanjian pranikah yang masih ada hubungan dengan tema yang dibahas sebagai bahan yang dikorelasikan dengan data primer yang telah dihimpun. Beberapa buku yang menjadi rujukan dari peneliti yakni yang bertemakan hukum perkawinan dan perdata Islam di Indonesia .

Sumber data sekunder tersebut adalah sebagai berikut:

- Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama,karya Abdul Manan

- Al-Ahwal asy-Syakhshiah karya Muhammad Abu Zahrah - Fikih Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq

- Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama karya A.H.Damanhuri - UU Perkawinan No1 Tahun 1974

- Kompilasi Hukum Islam

10

(21)

14

- Fikih Munakahat, karya Abdurrahman Ghazaly - dll.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam merencanakan suatu penelitian, maka tahapan awal sebelum mengolah dan menganalisis data yaitu merencanakan metode pengumpulan data. Pengumpulan data ini memudahkan untuk lanjut pada tahap penelitian berikutnya adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Observasi

Dalam metode observasi, peneliti melakukan pengamatan dan penataan secara sistematis terhadap fenomena dan fakta yang diselidiki. Jadi tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan meskipun obyeknya adalah manusia.11 Artinya bahwa dalam metode ini peneliti hanya mengamati, kemudian mencatat informasi-informasi yang berkaitan dengan obyek suatu penelitian. Proses informasi dimulai dengan mengidentifikasi tempat yang akan diteliti, sehingga memperoleh gambaran umum tentang sasaran penelitian kemudian peneliti mengidentifikasi siapa yang diobservasi, kapan, berapa lama, dan bagaimana.

Adapun dalam metode penelitian ini metode observasi yang dilakukan adalah mengumpulkan, mencatat informasi dan mencari gambaran umum tentang pihak yang melakukan perjanjian pranikah.

(22)

15

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukanoleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

itu.

Dalam melakukan wawancara peneliti menggunakan model wawancara semi terstruktur yakni menentukan dan mencatat beberapa pertanyaan yang akan disampaikan. Akan tetapi tetap luwes dalam mengadakan pertanyaan-pertanyaan pendalaman (probing) terhadap beberapa pertanyaan yang telah dijawab. Dengan

demikian akan diperoleh data-data yang lengkap dan mendalam. c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap.12 Dokumentasi ini merupakan kumpulan-kumpulan data berbentuk tulisan13 yang dapat bersumber dari buku, jurnal, majalah, maupun keterangan-keterangan ilmiah lainnnya.

Adapun dalam penelitian ini metode dokumentasi yang dilakukan yakni pencarian dan pengumpulan sumber-sumber data yang berkaitan dengan konsep dari perjanjian perkawinan menurut hukum positif yakni Undang-Undang perkawinan di Indonesia maupun konsep berdasarkan KHI. Selain itu, bentuk dokumentasi lainnya yaitu dokumen berupa artikel-artikel online atau file yang

12 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta:Rineka Cipta ,2000), 158. 13 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya:Airlangga University press, 2001),

(23)

16

diperoleh untuk menambah referensi dalam penelitian, maupun kekayaan intelektual dari peneliti itu sendiri.

5. Teknik Pengolahan Data

Data-data di atas diperoleh dari sumber data primer dan sekunder dengan teknik mempelajari literatur, melakukan observasi dan wawancara terkait dengan permasalahan faktor-faktor pengaruh perjanjian pranikah , kemudian dari seluruh data yang terkumpul di lakukan analisa secara kualitatif dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data-data yang diperoleh dalam kerangka-kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya, sesuai dengan persyaratan dasar dalam rumusan masalah.

2. Editing, yaitu pengkajian ulang semua data yang telah diperoleh, terutama dari segi kelengkapannya, keterbacaannya, kejelasan makna dan kesesuaian antara satu dengan yang lain.

3. Penentuan hasil, yaitu melakukan analisa lanjutaan terhadap hasil pengorganisasian.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data disini mengatur secara sistematis bahan hasil wawancara dan observasi, menafsirkannya dan mengahasilkan suatu pemikiran, pendapat, teori atau gagasan baru, yang kemudian disebut dengan hasil temuan (findings) dalam

(24)

17

membangun pola khusus, yang berarti pola deduktif ini bertitik tolak dari yang umum - ke khusus.

Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan sebelumnya, dianalisis dengan menghubungkan dan menafsirkan fakta-fakta yang telah ditemukan terkait perjanjian pranikah menurut hukum positif Indonesia dan KHI.

Tentunya dalam melakukan analisa ini peneliti membahasnya menurut rumusan masalah yang telah ditentukan sehingga menjadi sistematis dan lebih terarahkan.

J. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian skripsi ini penyusun membagi menjadi lima bab yang sistematis dan logis yang dapat diuraikan dalam rangkaian sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang mengantarkan seluruh pembahasan selanjutnya. Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, penyusun menyajikan pandangan secara garis besar tentang pengertian perkawinan, akad nikah dan konsekuensi dalam kehidupan berumah tangga, pengertian perjanjian dan perjanjian pranikah.

(25)

18

Bab empat, berisi tentang analisis hukum islam terhadap perjanjian pranikah di desa mojopilang kabupaten mojokerto.

(26)

19

BAB II TINJAUAN UMUM

A. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “ kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nika>h (حاكن)dan zawa>j (جاوز). Kedua kata ini

yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadi>s| Nabi.2 Kata nakah}a terdapat dapat surat an-Nisa>’

ayat 3:

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.

Demikian pula dengan kata zawaja terdapat dalam surat al-Ah}z>ab ayat 37:

1Dep Dikbud,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, cet. III, edisi II, 1994), 456

2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, Cet. II,

2007), 35

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Mahkota, Cet. V,

(27)

20

Artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.4

Secara arti, kata خكن atau جاوزberarti “bergabung” (مض), “hubungan kelamin”

(ءطو) dan juga berarti “akad” (دقع).5 Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata

nakaha yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut.

Dalam menyikapi kemungkinan arti dari kata nakah itu, terdapat beda

pendapat di antara Ulama. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah akad. Mereka mengatakan dengan alasan bahwa Allah

mengharamkan pernikahan karena ada hubungan pernikahan ( )

penghormatan baginya sebagaimana keharaman karena nasab ( ).6 Sebaliknya

ulama Hanafiyah menyatakan bahwa nikah pada hakikatnya adalah

(hubungan intim), dan akad merupakan makna majas.7

Sedangkan menurut istilah para ahli fiqh (fuqaha), nikah didefinisikan sebagai:

4

Ibid., 423

5Wahbah al-Zuhaiyliy, Fiqh al-Islam wa Adillatuh Juz VII, (Beirut: t.th.), 29

6Muhammad ‘Aly ash-Sabuniy,Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Jilid I,

(Jakarta: Dar Kutub al-Islamiyyah, 2001), 360

(28)

21

8

Artinya : “Akad suatu perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafal inkah atau tazwij.”

Penggunakan lafal akad ( ) untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah

suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa

hukum, bukan peristiwa biologis semata atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.9

Sedangkan ungkapan yang mengandung maksud membolehkan

hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu

adalah terlarang, kecuali ada hal yang membolehkannya secara hukum syara’, yang

dalam hal ini adalah dengan adanya akad nikah antara keduanya.10

Adapaun kata , berarti bahwa akad yang membolehkan hubungan

kelamin antara laki-laki dan perempuan itu mesti menggunakan kata nakah}a dan zawaja, oleh karena dalam awal Islam disamping akad nikah ada lagi usaha yang

membolehkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dengan pemilikan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau disebut “perbudakan”.11

8Zainuddin ibn ‘Abdul ‘Aziz al

-malibariy, Fathul mu’in bi Syar’I Qurratu Al-Aini,

(Surabaya:Nurul Huda. tt), 99.

9 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta:Kencana,Cet. II, 2005), 74. 10Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 38.

(29)

22

Adapun pengertian lain dari nikah adalah:

12

Artinya: Nikah adalah akad yang menyebabkan halalnya istimta’ (saling

menikmati) antara kedua orang yang melangsungkan akad sesuai dengan syariat.

Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menjadikan halalnya menggapai kenikmatan bagi masing-masing suami isteri

atas dasar ketentuan yang disyari’atkan Allah SWT.13

Dari beberapa definisi di atas, tidak menunjukan perbedaan yang prinsipil. Semua merujuk pada satu pengertian yang sama, sehingga dapat penulis simpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dan seorang

wanita menggunakan lafal inka>h} atau tazwi>j untuk menghalalkan percampuran atau hubungan kelamin antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan, menjadi sekutu dan teman hidup dalam rumah tangga.

1. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang diperintah oleh Allah dan merupakan sunnah Rasulullah. Diantara ayat-ayat yang menjelaskan hal ini adalah:

(30)

23

1. Surat an-Nu>r ayat 32

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” 14

2. Surat an-Nisa<’ ayat 3

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (ain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”15

14

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah Vol 1,(Jakarta: Jamunu, 1965),, 354. 15

(31)

24

Selain ayat-ayat al-Qur’a>n juga terdapat hadis|-hadis| Nabi yang menerangkan tentang anjuran untuk menikah dan juga tentang larangan untuk membujang. Diantaranya adalah:

1. Hadis| Nabi

Artinya: Dari ‘Abdillah Ibn Yaryid berkata Rasullah SAW bersabda : “Hai

para pemuda, barang siapa yang telah sanggup di antaramu untuk kawin, maka kawinlah, dan barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.” (HR.Bukhori)16

2. Hadits Nabi

16Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhoriy, Shahih Bukhoriy , juz V (Beirut: Dar

(32)

25

Artinya: Dari Aisyah berkata : “Rasulullah bersabda , pernikahan

merupakan sunahku barang siapa yang tidak melaksanakan sunahku maka bukan dari golonganku, menikahlah sesungguhnya aku bangga dengan jumlahmu yang banyak, barang siapa yang sudah sanggup maka menikahlah dan bagi yang belum

dapat maka berpuasalah, sesungguhnya puasa dapat mengekang nafsu.” (HR.Ibnu

Ma>jah)17

Dari begitu banyaknya perintah Allah dan Nabi untuk melaksanakan pernikahan itu, maka pernikahan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan.

B. Akad Nikah dan Konsekuensi Dalam Kehidupan Berumah Tangga

Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, maka terjalinlah hubungan suami istri, yang kemudian berpengaruh pada timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya.

Kewajiban pada suami merupakan hak bagi seorang istri, sedangkan kewajiban seorang istri adalah hak bagi seorang suami. Kewajiban dan hak merupakan suatu pola hubungan timbal balik antara suami istri misalnya, kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah dan pakaian kepada istri maka, nafkah dan pakaian tersebut merupakan hak yang harus diperoleh oleh seorang

17Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Quzwainiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr,

(33)

26

istri. Selain itu kewajiban seorang istri adalah taat kepada perintah suami maka, hal ini menjadi hak yang harus diperoleh suami atas istrinya.18

Jika akad telah sah maka, menimbulkan akibat hukum yang harus ditanggung oleh suami istri yakni berupa hak serta kewajiban. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam yaitu hak bersama suami istri yang berarti kewajiban yang dikenaibagi keduanya, hak istri (kewajiban bagi suami) dan hak suami (kewajiban bagi istri).

1. Hak bersama suami istri (kewajiban bagi keduanya)

Hak bersama suami istri yang harus ditanggung keduanya antara lain: a. Kehalalan bersenang-senang (bersetubuh)

Suami istri diperbolehkan saling menikmati hubungan seksual. Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik, masing-masing mereka berhak menikmati kesenangan dengan pasangannya karena memenuhu dorongan fitrah dan mencari keturunan merupakan tujuan yang tinggi dari hubungan yang sakral tersebut, yakni perkawinan. Haram salah satu dari mereka yang mengharamkan pasangan yang melakukan hak ini.19 Allah berfirman:

18 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih As-Sunnah Wa Adilllatuhu wa Tauhid Madzahib Al-Aimmah, terj Khairul Amru Harahap dan Faisal Shaleh, Jilid III, (Jakarta:Pustaka Azzamm 2007), 335.

(34)

27

Artinya: “dan orang-orang yang memelihar kemaluannyam kecuali terhadap

istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka sesungguhnya

mereka tidak tercela”20

b. Istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakeknya, anaknya dan cucu-cucunya. Begitu juga bagi ibu istrinya, anak perempuannya dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.

c. Hak saling mendapatkan warisan akibat dari ikatan perkawinan yang sah. Istri berhak menerima waris atas peninggalan suamim begitupun sebaliknya.

d. Keturunan dan sandaran keturunan kepada kedua orang tua.

Ketika akad nikah sah, maka ditetapkan masing-masing mereka dalam melahirkan keturunan, membesarkan anak-anak dan menisbatkan keturunannya,

21anak yang lahir dari istri bernasab kepada suaminya.

e. Bergaul dengan baik antara suami istri, sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Wajib bagi suami istri untuk saling mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah:

“dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”22

2. Kewajiban suami (hak istri)

20 QS Al-Mukminun (23) : 5-6, Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah (Jawa

Barat: Diponegoro, ), 342.

(35)

28

Para ulama’ sepakat bahwa kewajiban suami terhadap istrinya, yang

sekaligus merupakan hak istri atas suaminya adalah nafkah dan pakaian.23 Berdasarkan pada firman Allah:

“Dan kewajiban ayah menanggung pakaian mereka (anak dan ibu/istri)

dengan cara yang patut”24

Kewajiban suami yang menjadi hak-hak istri ini secara terperinci dijelaskan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam bukunya Fiqih Munakahat, bahwa hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah sebagai berikut:

1) Mahar

Mahar merupakan symbol kesanggupan suami untuk memikul kewajiban-kewajibannya sebagaimana suami dalam hidup perkawinan yang akan

mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati istri. Menurut syara’ mahar

adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur, yakni berupa suatu yang ada nilainya atau harganya sah dijadikan mahar.25Dasar hukumnya disyari’atkan

mahar yaitu:

23 Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta : Pustaka Azzam,

2007), 107.

24 Ibid.,37.

25 Pembahasan Mahar ini tidak penulis pertajam, karena tidak ada hubungan yang signifikan

(36)

29

“dan berikahlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)

sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.26

2) Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut’ah)

Maksudnya disini adalah sejumlah materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisah dari kehidupannya sebab talak atau semakna dengannya dengan beberapa syarat. Mut’ah ini wajib diberikan kepada setiap wanita yang dicerai

sebelum bercampur dan sebelum kepastian mahar. 3) Nafkah tempat tinggal dan pakaian

Para ulama’ sepakat mengenai kewajiban nafkah terhadap istri. Yang

dimaksud dengan nafkah istri adalah tuntutan terhadap suami karena perintah

syari’at untuk istrinya berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,

ranjang, pelayanan dan yang lainnya, sesuai tradisi setempat selama masih dalam

lingkaran kaidah syari’at. 27Adapun kewajiban nafkah didasarkan pada firman

Allah:

26 Ibid., 77.

27 Muhammad Taqub Thalib Ubaidi, Ahkam an-Nafaqah az-Zaujiyah, Terj M. Ashim, (Jakarta:

(37)

30

“ Dan ibu-ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,

bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung

nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”28

4) Adil dalam pergaulan dengan istri, baik muamalah maupun mu’asyaroh, hal

ini khususnya bagi pelaku poligami dalam keluarganya. 3. Kewajiban Istri ( Hak Suami)

Kewajiban istri yang wajib dipenuhi sebagai hak tuntutan bagi suami hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan, sebab menurut hukum Islam istri tidak dibebni kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.

Hak-hak suami pada intinya adalah hak untuk ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami istri. Hal ini kemudian oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam buku Fiqh Munakahat dijelaskan secara terperinci, kewajiban istri terhadap suami antara lain:29

1) Mematuhi suami dengan taat dan tidak durhaka kepdanya. 2) Memelihara kehormatan dan harta suami.

3) Berhias untuk suami. 4) Menjadi partner suami.

5) Istri tidak boleh keluar tanpa seizin suami.

28 Ibid., 37.

(38)

31

6) Istri harus tinggal bersama suaminya. Allah mewajibkan suami menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Sebaliknya, Allah mewajibkan istri untuk tinggal bersama suaminya dirumah yang ia tinggali.30

7) Istri melayani suami, baik dalam hubungan seksual maupun keperluan rumah tangga. Dalam hal melayani urusan

rumah tangga, para ulama’ jumhur berpendapat hal tersebut

merupakan suatu kewajiban. Alasannya adalah karena suami sebagaimana dalam ketentuan kitab Allah adalah pemimpin istri sementara istri menurut ketentuan sunnah Rasulullah adalah pembantu (tawanan) suami. Oleh karena itu tawanan yang baik adalah yang melayani dengan baik.31

C. Pengertian Tentang Perjanjian

Menurut hukum islam perjanjian berasal dari kata aqad yang secara etimologi meyimpulkan dan dalam istilah bahasa berarti ikatan dan tali pengikat.

Dari sinilah kemudian makna aqad diterjemahkan secara bahasa sebagai “

menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya janji dan sumpah karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melakasannya isi sumpah atau meninggalkannya.demikian juga dengan janji halnya dengan janji sebagai perekat hubungan antara kedua belahpihak yang berjanji dan menguatkannya.32

30 Ibid., 31

31 Ibid., 307-308

32 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam

(39)

32

Asas perjanjian dalam hukum islam diantaranya asas ibahah, asas kebebasan beraqad, asas konsensualisme, asas janji mengikat, asas keseimbangan, asas kemaslahatan, asas amanah, dan asas keadilan.

Pengertian perjanjian dapat dilihat juga dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau perjanjian adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum.

Sudikno Mertokusumo menyebutkan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum kedua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah atau hak dan kewajiban, yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijelaskan. Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban, dan kalau kesepaktan itu dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanggar itu dapat dikenakan sanksi.

Sedangkan Soebekti dalam bukunya yang berjudul ”Hukum Perjanjian”

mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.33

Dalam hubungan hukum, perjanjian kawin merupakan bagian dari hukum perjanjian terikat pada syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat :

(40)

33

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Sesuatu hal tertentu;

4. Sesuatu sebab yang halal.

Dalam perikatan berdasar perjanjian berlaku asas antara lain:34

a. Asas kebebasan berkontrak yaitu dapat mengadakan perikatan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

b. Asas konsesualisme yaitu dalam perikatan didasarkan pada kesepakatan para pihak Pasal 1320 KUHPerdata.

c. Asas kekuatan mengikat yaitu asas pacta suntservanda yaitu kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.

d. Asas kepribadian yaitu untuk menentukan personalia dalam perjanjian sebagai sumber perikatan.

e. Asas kepercayaan atau vertrouwensabeginsel artinya seseorang yang mengadakan perjanjian dan menimbulkan perikatan dengan orang lain, antara para pihak ada kepercayaan bahwa akan saling memenuhi prestasi. f. Asas iktikad baik atau tegoeder trouw yaitu dalam melaksanakan perikatan

didasarkan pada iktikad baik.

Dengan demikian definisi baik dari kalangan ahli hukum perdata dan ahli hukum islam ada persamaan dimana titik temunya adalah kesepakatan untuk mengikatkan dirinya dengan seorang lainnya.

(41)

34

D. Pengertian Perjanjian Pranikah

Perjanjian kawin/pranikah (prenuptial agreement), yaitu suatu perjanjian

yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan.35 Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian kawin yang dilangsungkan sesuai ketentuan undang-undang antara calon suami isteri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya.

Di tegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 47 perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian dengan pihak bank misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama. Akan tetapi melakukan perjanjian pranikah haruslah juga mempetimbangkan beberapa sisi (aspek) yang antara lainnya: keterbukaan di dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan masing-masing pasangan baik sebelum maupun sesudah pernikahan, dengan meujuk juga kepada berapa banyak jumlah harta bawaan masing- masing pihak (pasangan) sebelum menikah dan juga menghitung bagaimana dengan potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan dari orangtua masing-masing.

35Mike Rini, Perlukah Perjanjian Pra-nikah?, http:// www.danareksa.com/,

(42)

35

Selanjutnya masing-masing pasangan secaa fair harus mengatakan berapa jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelummenikah, dan bagaimana potensi hutang tersebut setelah menikah dan siapa nantinya yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya, karena perlulah digaris bawahi dalam hal ini bahwa hal tersebut wajib diketahui oleh masing-masing pasangan agar masing-masing pasangan yang akan menikah mengetahui secara persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang nantinya measa dirugikan dari dan akibat timbulnya perceraian tersebut.

Kerelaan dan dengan carasadar bahwa perjanjian pranikah harus disetujui dan ditandatangani oleh masing-masing pasangan yang pada prinsipnya secara sukarela dan tanpa paksaan dari pihak manapun untuk menandatangani surat perjanjian tersebut tanpa mendapatkan tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, maka secaa hukum perjanjian pranikah dinyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

(43)

36

berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.36

R. Soetojo Prawirohamidjodo, mengatakan bahwa, perjanjian kawin ialah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibatakibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.37 Dari kedua pengertian perjanjian kawin tersebut di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perjajian kawin merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua orang sebagai calon suami isteri, terdapat unsur-unsur yang sama, yaitu perjanijian dan unsur harta kekayaan dalam perkawinan.

Dengan demikian kata perjanjian sebagai perhubungan hukum, apabila berhubungan dengan kata perkawinan akan mencakup pembahasan mengenai janji kawin, sebagai perjanjian luhur antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan, pengertian ta’lik Talak sebagai perjanjian atau janji setia dari seorang suami kepada isteri, dan pengertian persatuan dan atau pemisahan harta kekayaan pribadi calon suami isteri yang menjadi objek perjanjian.

Dalam perkembangan terakhir, Perjanjian Kawin dibuat tak hanya berfokus pada soal harta, tapi juga kepedulian seberapa banyak dan seberapa lama dukungan yang akan didapat dari pasangan. Termasuk di dalamnya, memulai pernikahan dengan keterbukaan dan kejujuran, kesempatan saling

36 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung:

Sumur, 1981), 11.

(44)

37

mengungkapkan keinginan masing-masing, dan hal-hal yang terkait dengan masalah keuangan.

Dengan meningkatnya taraf hidup, banyak pula pasangan memasukkan soal minat dalam Perjanjian Kawin. Misalnya, tetap diizinkan menekuni hobinya dalam olahraga petualangan atau koleksi pernak-pernik yang tak bisa dibilang murah.

Pasangan bisa saling menyeimbangkan dan mengingatkan agar kestabilan keuangan keluarga tak terganggu.

Pada umumnya perjanjian kawin ini dibuat :

1. bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lain;

2. kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar;

3. masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu pihak jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut;

4. atas hutang-piutang yang mereka buat sebelum kawin, masingmasing akan bertanggung-gugat sendiri-sendiri.38

Pada umumnya, perjanjian kawin dibuat untuk mengadakan penyimpangan terhadap hukum harta benda dalam perkawinan. Terdapat perbedaan makna dan fungsi perjanjian kawin yang terkandung dalam Undang Undang Perkawinan dengan perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, dimana yang

(45)

38

dimaksud denganta perjanjian dalam Undang Undang Perkawinan hanyalah mengatur akibat perkawinan dalam bidang harta kekayaan.

Adapun masalah pengaturan perjanjian kawin ini dapat ditinjau dari KUHPerdata dengan Undang Undang Perkawinan sebagai berikut:

1). Perjanjian Kawin Dalam KUHPerdata Dalam Pasal 119 ayat 1 KUHPerdata menyebutkan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Perjanjian kawin dibuat pada umumnya manakala terdapat jumlah harta kekayaan yang lebih besar pada satu pihak daripada pihak lain. Dengan mengadakan perkawinan akan diperoleh keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan oleh kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 154 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian kawin tidak berlaku jika tidak diikuti dengan pelaksanaan perkawinan.

a. Unsur-unsur Perjanjian Kawin

Dengan menghubungkan antara pengertian perjanjian kawin kawin menurut doktrin dan pasal-pasaal yang mengatur mengenai perjanjian kawin, maka dapat dilihat beberapa unsur perjanjiankawin:39

(1) Dibuat oleh calon suami isteri sebelum perkawinan berlangsung.

Pasal 147 KUHPerdata menyebutkan bahwa atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan

39

(46)

39

dilangsungkan. Adakalanya suatu hal yang logis dan sudah semestinya bahwa perjanjian kawin dibaut oleh para pihak karena perjanjian tersebut menyangkut harta kekayaan mereka sebagai akibat perkawinan. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa perjanjian kawin akan berlaku sebagai undang-undang. Pihak ketiga dapat diikutsertakan dalam perjanjian kawin sepanjang kepentingan para pihak dilindungi. Tetapi teknis pembuatannya harus dilakukan dihadapan Notaris oleh kedua calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan.

(2) Dibuat dalam bentuk tertulis

Perjanjian kawin dibuat dalam bentuk tertulis, Subekti menyatakan bahwa akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik, jika tanda tangan akta di bawah tangan tersebut diakui oleh para pihak (Pasal 1875 KUHPerdata). Kekuatan pembuktian sempurna tersebut bagi para pihak, dan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Sesuai dengan pendapat Nurnazly Soetarno, berpendapat apa artinya jika perjanjian kawin dibuat di bawah tangan?. Masyarakat tidak mengetahui adanya perjanjian kawin tersebut dan kekuatan pembuktiannya masih kurang kuat, karena masih dapat dibantah, sedangkan kalau diakuipun, akta di bawah tangan mempunyai kekutan bukti sempurna hanya bagi para pihak. Karena itu beliau berpendapat sebaiknya perjanjian kawin dibuat dalam bentuk otentik.

(3) Unsur kesusilaan dan ketertiban umum

(47)

40

dan kesusilaan. Hal ini dimuat pula dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan.

(4) Unsur tidak boleh diubah

Pasal 149 KUHPerdata menyebutkan bahwa setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah.

(5) Unsur bahwa perjanjian kawin mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan.

b. Bentuk Perjanjian Kawin

Di dalam KUHPerdata ditemukan beberapa bentuk ataumacam dari perjanjian kawin yang dapat dilaksanakan oleh para pihak. Apabila di dalam perkawinan, para pihak akan menyimpang dari ketentuan hukum harta benda perkawinan, maka para pihak dapat membuat perjanjian kawin (Pasal 139 KUHPerdata). Bentuk-bentuk perjanjian kawin menurut KUHPerdata sebagai berikut:

1) Perjanjian kawin dengan persatuan keuntungan dan kerugian (gemeenschap van winst en varlies). Keuntungan menurut Pasal 157

KUHPerdata adalah bertambahnya harta kekayaan

(48)

41

2) Perjanjian kawin dengan persatuan hasil dan pendapatan (gemeenschap van vruchten en inkomsten). Dimana calon suami isteri tidak menghendaki harta

kekayaan diatur oleh bentuk persatuan keuntungan dan kerugian dan akan menyimpang dari hukum harta benda perkawinan (Pasal 164 KUHPerdata). c. Syarat-syarat Perjanjian Kawin

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perjanjian kawin sebagai persetujuan atau perikatan antara kedua calon suami isteri itu pada prinsipnya sama dengan perjajian-perjanjian pada umumnya, sebab satu sama lain terikat dengan kepada Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Sesuatu hal tertentu;

4. Sesuatu sebab yang halal.

Pada umumnya, seorang yang masih dibawah umur (belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya Akan tetapi, untuk membuat perjanjian kawin, KUHPerdata memberikan kelonggaran atau pengecualian terhadap para pihak. Calon suami isteri cukup untuk bertinda sendiri yang didampingi atau dibantu oleh orang tuanya atau walinya, yang nantinya akan memberikan ijin untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 151 ayat 1 KUHPerdata, anak yang belum dewasa, cakap untul membuat perjanjian kawin dengan ketentuan:

(49)

42

- Dibantu atau didampingi oleh orang tuanya atau walinya. Bantuan akan bijstand (memberi ijin kawin) ini berbentuk sebagai berikut:40

- Berwujud ijin tertulis atau;

- Yang memberikan ijin itu dapat hadir sendiri dan ikut menandatangani akta perjanjian kawin. Setelah orang tuanya atau walinya membantu dalam hal pembuatan perjanjian kawin dan pada suatu saat orang tua atau walinya meninggal sebelum perkawinan dilangsungkan, harus diulang pembuatannya oleh karena orang tua atau walinya yang akan memberikan ijin telah meninggal. Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa persyaratan perjanjian kawin adalah sebagai berikut:

(1) Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan; (2) Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah; (3) Isi perjanjian kawin tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan

kesusilaan;

(4) Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;

(5) Selama perkawinan berlangsung, perjajian perkawinan tidak boleh dirubah;

(6) Perjanjian dimuat dalam akta Perkawinan (Pasal 12 PP No 9 Tahun 1975).

Dalam Pasal 50 ayat 2 KHI menyebutkan bahwa perubahan serta pencabutan perjanjian perkawinan tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.

(50)

43

d. Manfaat melakukan perjanjian pranikah

Dengan melakukan perjanjian pranikah terdapat manfaat-manfaat sebagai berikut:

a) Melindungi kekayaan dengan pasangannya.

b) Melindungi kepentingan para pihak jika pasangan melakukan poligami sesuai.

c) Membebaskan para pihak dari kewajiban ikut membayar hutang. d) Menjamin kepentingan usaha para pihak.

e) Menjamin kelangsungan harta peninggalan keluarga para pihak. f) Menjamin kondisi finansial setelah perkawinan para pihak putus. g) Menjamin hak para pihak atas asset-aset property dengan status hak

milik.

e. konsekuensi melakukan perjanjian pranikah

Dengan melakukan perjanjian pranikah timbul beberapa konsekuensi diantaranya adalah baik suami maupun istri harus menaati perjanjian yang mereka buat apapun itu dan harus menanggung resiko atau sanksi ketika melanggar perjanjian yang mereka buat dengan kesepakatan yang mereka capai. 2. Perjanjian Kawin Menurut UU No 1 Tahun 1974 Seperti halnya KUHPerdata, UU Perkawinan, juga mengatur mengenai perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 29 sebagai berikut:

(51)

44

sama isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Ayat 2 : Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Ayat 3 : Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; Ayat 4 : Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat

dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dalam pasal tersebut tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan perjanjian kawin, hanya disebutkan dalam penjelasan Undang Undang Perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kawin itu tidak termasuk

ta’lik talak. Tujuan perjanjian kawin adalah untuk menyatukan harta bawaan

menjadi harta bersama, sedangkan perjanjian kawin menurut KUHPer merupakan harta kekayaan perkawinan.

S.A Hakim yang mengatakan bahwa di dalam perjanjian kawin, Pasal 29 Undang Undang Perkawinan dapat termasuk misalnya ketentuan bahwa barang bawaan dalam perkawinan (barang asli) menjadi satu. Akibatnya adalah perkawinan terputus karena cerai

hidup atau cerai mati maka harus bawaan itu dibagi sama, artinya 1 (satu) banding 1 (satu) antara suami dan isteri yang cerai.41

C. Harta Dalam Perkawinan

41

(52)

45

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam perkawinan yang telah dilangsungkan, terdapat harta benda sebagai penopang kehidupan kedua mempelai. Dimana harta tersebut ada yang dieroleh sebelum perkawinan dan sesudah dilangsungkannya perkawinan. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta benda perkawinan itu meliputi (1) harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, disebut

(53)

46

Pasal 35 dan 36) Undang Undang Perkawinan). Hal itu dapat terjadi selama perkawinan berlangsung. Dalam hal terjadi perceraian maka harta bawaan akan kembali kepada masing-masing suami atau istri. Sedangkan terhadap harta bersama, pengaturannya diserahkan kepada hukum adat masingmasing. Menurut Abdul Kadir Muhammad bahwa konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan dari segi ekonomi berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.42 Abdul Mana, menyatakan bahwa “harta bersama adalah harta yang

diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapa”.43 Dari beberapa penjelasan diatas, permasalahannya,

adalah tidak semua harta yang didapat/diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkannya pernikahan.

1. Asal Usul Harta Dalam Perkawinan

Terdapat empat sumber/asal usul harta suami isteri dalam perkawinan yaitu: a. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau isteri.

Harta tersebut tetap menjadi milik suami atau isteri yang menerimanya, demikian pula apabila terjadi perceraian tetap dikuasai oleh masing-masing pihak. Apabila salah pihak meninggal dunia dan mereka tidak mempunyai anak,

42 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: PT.Citra Aditya, 1994), 9. 43 H. Abdul Manan, Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama, (Mimbar Hukum, No 33, Tahun

(54)

47

maka barang-barang tersebut kembali pada masing-masing keluarga suami atau isteri yang masih hidup. Tujuannya agar barang tersebut tidak hilang dan kembali ke asalnya. Sebaliknya apabila mereka mempunyai anak, maka barang-barang tersebut beralih kepada anak dan keturunan seterusnya yang melanjutkan hak atas kekayaan dari keluarganya.

b. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah.

Terhadap harta ini, maka suami isteri secara sendiri-sendiri menjadi pemiliknya. Dalam hal terjadi perbuatan hukum seperti melakukan transaksi dengan barangbarang tersebut, diperlukan kemufakatan dari kerabat yang bersangkutan, sekurang-kurangnya sepengetahuan dari ahli waris yang bersangkutan.

c. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan.

(55)

48

d. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami isteri dan selain dari harta warisan.

(56)

49

sebagai hukum positif. Harta benda perkawinan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:

a ) harta Bersama

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, tanpa dipersoalkan asalnya baik yang diperoleh dari isteri maupun dari suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami isteri.

b) harta Bawaan

Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk oleh masingmasing suami isteri kedalam perkawinannya. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan termasuk harta bawaan53. Dalam kaitannyan dengan harta dalam perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 menyebutkan :

a. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan.

(57)

BAB III

PENERAPAN PERJANJIAN PRANIKAH PASCA PERKAWINAN

DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI OLEH PARA PIHAK

A. Gambaran Umum Desa Mojopilang 1. Keadaan geografis Desa Mojopilang

a. Luas dan Batas Wilayah

Desa Mojopilang merupakan salah satu desa dari Kecamatan Kemlagi yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Jarak antara Pemerintahan Desa dengan pusat kota Kabupaten Mojokerto + 15 km, dan untuk ke ibukota Surabaya berjarak + 44 km.

Wilayah Mojopilang mempunyai luas wilayah 153.513 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara Desa Kemlagi - Sebelah Selatan Desa Berat Kulon - Sebelah Barat Mojowono

- Sebelah Timur Mojokusumo

Desa Mojopilang mempunyai ciri khas yaitu merupakan daerah industri kerajinan kurungan.

b. Asal nama Mojopilang

(58)

51

bernama mbah Wilis Suci dengan istrinya,Masyarakat menyebutnya dengan sebutan Mbh Bongsoyang telah mengembara,Akhirnya beliau menemukansebuah dusun kecil di tengah rawa-rawa yaitu dusun kanisari dan bertemu denganseorang tua,ia disuruh mengembangkan Agama islam.Karena warga semakin banyak memperluastempat pemukimandan saat membabat menemukan pohon yang besar bernama pohon Mojo dan pohon Pilang,lalu desa ini di beri nama Desa Mojopilang, Dan terdiri dari 4 Dusun waktu itu.

2. Keadaan penduduk Mojopilang a. Jumlah penduduk

Berdasarkan pada lokasi penelitian diperoleh data yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Desa Mojopilang tahun 2010 adalah 2886 jiwa dengan jumlah 1433 jiwa laki-laki dan 1453 jiwa perempuan.

b. Keadaan Pendidikan

Masyarakat Desa Mojopilang Kec. Kemlagi memiliki kesadaran yang tinggi mengenai pendidikan, khususnya pendidikan agama, oleh karena itu sebagian besar masyarakat melanjutkan pendidikan ke Pesantren. Bagi masyarakat Desa Mojopilang pendidikan agama merupakan hal yang terpenting sebagai pegangan dalam menjalani hidup, oleh karena itu mayoritas masyarakat desa tersebut lebih senang menyekolahkan anak mereka ke pesantren daripada ke sekolah umum.

(59)

52

tingkat menengah atas. Hanya beberapa orang yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

c. Keberagamaan

Berdasarkan data yang diperoleh, mayoritas masyarakat Desa Mojopilang menganut agama Islam, bahkan hampir tidak ditemukan masyarakat yang menganut agama lain. Kesadaran akan pemahaman agama masyarakat Desa Mojopilang cukup tinggi, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengajian rutin yang diadakan baik pengajian untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Kegiatan pengajian yang diadakan adalah:

1) Maulid al Habsyi yang dilaksanakan oleh remaja putra dan remaja putri. 2) Yasinan dan arisan rutin yang dilaksanakan oleh bapak-bapak satu minggu

sekali.

3) Burdah yang dilaksanakan oleh ibu-ibu.

4) Memperingati hari-hari besar keagamaan seperti maulid Nabi Muhammad SAW dan Isra al-Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

5) Pengajian

Untuk menunjang pelaksanaan ibadah dan kegiatan keagamaan di Desa Mojopilang maka disediakan sarana ibadah berupa langgar.

d. Keadaan Ekonomi

Mayoritas masyarakat Desa Mojopilang bekerja di sektor pertanian. Sisanya

bekerja di sektor perdagangan, pengrajin Kurungan, jasa angkutan, dan pegawai

Referensi

Dokumen terkait

Dari data Penelitian Tindakan Kelas siklus pertama dan kedua di atas menunjukkan bahwa Mean atau rata-rata hasil belajar Tarikh Islam kelas 2H melalui strategi

Shuhaid Al-Undulusi (d- 426 A.H.) and His Contribution to Arabic Literature&#34; under my supervision. The work is his original contribution to the topic. It is now forwarded for

Modal kerja dan rasio leverage mempunyai peranan penting dalam pembentukan rentabilitas, karena dengan adanya pengelolaan modal kerja yang efektif dan manajemen hutang yang baik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, komposisi media batang jagung 68%, jerami 17%, bekatul 10%, dan dolomit 5% merupakan variasi komposisi media dengan berat basah, berat kering,

4.6783 OKTA KURNIA SARI TEP minat studi Teknik SDA dan Lingkungan. 4.6784 PRIESKARINDA LESTARI TEP minat studi Teknik SDA

Sejalan dengan renstra Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian tahun 2011 – 2014, program kerja Direktorat Pengelolaan Air Irigasi yaitu : 1)

Iklan televisi Djarum Black di beberapa unsur atau parameter iklannya terdapat susunan pola – pola yang membentuk variasi ataupun bentuk pengulangan yang saling

tersebut membuat masyarakat Melayu di Malaysia tidak menyenangi akan hal itu, karena bagi mereka masyarakat Melayu yang berada di Thailand Selatan adalah bagian dari