• Tidak ada hasil yang ditemukan

inovasi kelindan immaterial n modernisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "inovasi kelindan immaterial n modernisasi"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kelindan Aspek Immaterial dalam Modernisasi Ekonomi

Saefur Rochmat

Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, UNY;

Mahasiswa S-2 International Relations, Ritsumeikan University, Kyoto – Jepang

rochmat@yahoo.com

1. Pendahuluan

Pembangunan ekonomi di negara kita

masih belum beranjak jauh dari situasi

ketika krisis ekonomi melanda Indonesia

pada bulan November 1997, walaupun Era

Reformasi sudah dicanangkan sejak

Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei

1998. Era Reformasi sudah berlangsung

lebih dari 6 tahun, tapi belum ada hasil yang

signifikan. Hal ini terjadi karena krisis yang

terjadi di negara kita bukan hanya sekedar

krisis ekonomi tetapi krisis budaya. Memang

terdapat hubungan yang paralel antara

aspek ekonomi atau material dan aspek

budaya (immaterial).

Dalam bidang immaterial ini, kita belum

berhasil merumuskan bentuk identitas

budaya bangsa. Yang dimaksud dengan

negara Pancasila sebenarnya masih

berproses mencari bentuk. Negara

Pancasila berpretensi sebagai negara yang

tidak sekuler dan tidak berdasarkan agama,

sebagai sarana alternatif untuk menjaga

keutuhan bangsa yang pluralis dari

ancaman yang dirumuskan sebagai SARA

(Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).

Dalam hal ini akan dibatasi keterkaitan

agama sebagai ancaman kesatuan bangsa.

Dimana pada saat menjelang kemerdekaan

ada dua kutub yang saling berlawanan

antara umat Islam dan umat Kristen; dan

masing-masing berkeinginankan

membentuk negara agama. Umat Kristen

yang merupakan mayoritas di Irian Jaya

ingin memisahkan diri dari Indonesia jika

Indonesia menjadi negara Islam.

Pertentangan agama antara Islam dan

Kristen lebih kentara karena keduanya

sama-sama sebagai agama personal,

sekedar untuk membedakan dengan

agama-agama yang berasal dari Peradaban

Timur seperti Hindu dan Budha yang

bersifat impersonal. Yang dimaksud dengan

agama impersonal adalah karakter agama

yang berusaha mencari hubungan yang

harmonis dengan alam, disamping tidak

berkelindan dengan urusan politik;

sedangkan agama personal adalah karakter

agama yang ingin mengatur (menguasai)

alam dan berkompeten untuk mengatur

segala sesuatu, termasuk mengatur urusan

politik dan kadang berkepentingan dengan

negara agama. Bila kita konsisten dengan

karakter ini, Islam tidak bisa digolongkan

kedalam Peradaban Timur. Islam bersama

Kristen dan Yahudi adalah anak kandung

Peradaban Barat, tetapi mereka saling

berkelahi memperebutkan warisan truth

(2)

Umat Islam hendaknya memainkan

peranan yang besar bagi terciptaya identitas

bangsa ini, mengingat jumlahnya yang

mayoritas. Bila umat Islam berhasil

merumuskan kebudayaan Islam

Indonesianis (budaya Pancasila) maka

proses modernisasi (ekonomi) menjadi lebih

cepat berhasil. Selama ini berbagai

kelompok umat Islam masih mengalami

hambatan komunikasi, dan kadang-kadang

mereka mengembangkan ideologi yang

tidak mudah dicarikan titik temunya. Adopsi

ideologi tertentu oleh suatu kelompok

merupakan konsekuensi logis bagi agama

yang bersifat personal (yang sangat

berkepentingan dengan urusan duniawi).

Hendaknya tiap-tiap ideologi tidak

mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran

mutlak, suatu sikap yang tidak mudah untuk

diwujudkan bagi gerakan yang berpretensi

sebagai gerakan revolusioner. Padahal

ideologi bukanlah agama, seharusnya

semua ideologi mau melakukan dialog untuk

mencari suatu program bersama yang

berguna bagi kemanusiaan.

2. Aspek Immaterial Menentukan

Modernisasi

Biasanya diterima asumsi bahwa agama

dianggap sebagai unsur yang paling sukar

dan paling lambat berubah atau terpengaruh

oleh kebudayaan lain, bila dibandingkan

dengan unsur-unsur lain seperti: sistem

organisasi kemasyarakatan, sistem

pengetahuan, bahasa, kesenian,

ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh sistem mata

pencaharian, sistem teknologi dan

peralatan. Tetapi sejarah kehidupan bangsa

kita yang panjang tidak sepenuhnya dapat

disesuaikan dengan asumsi tersebut.

Berbagai agama datang dan berkembang

secara bergelombang ke Indonesia,

mengganti agama yang lama dan

menanamkan ajaran-ajaran agama yang

baru secara silih berganti, tetapi dalam

kenyataannya sistem mata-pencaharian

hidup dan sistem teknologi dan peralatan

yang dikatakan sebagai unsur yang paling

mudah, ternyata yang paling sedikit

mengalami perubahan sejak pra-Hindu

sampai kepada masa sekarang.

Pengalaman sejarah itu justru menunjukkan

agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih

dahulu sebelum yang lain-lain menglami

perubahan.

Pandangan Snouck Hurgronje berikut

juga bertentangan dengan kenyataan

sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode

sejarah kebudayaan sesuatu bangsa,

memaksa kepada orang beragama untuk

meninjau kembali isi dari kekayaan aqidah

dan agamanya. Pandangan itu secara

implisit bermakna bahwa proses peninjauan

kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para

penganutnya sifatnya reaktif karena adanya

perubahan periode kebudayaan di mana

agama itu hidup. Ini juga bertentangan

dengan pengalaman sejarah kebudayaan

pada umumnya yang menunjukkan bahwa

pemahaman baru terhadap ajaran agama

justru menumbuhkan periode baru dalam

kebudayaan bangsa-bangsa.

Sejarah membuktikan bahwa pemikiran

(3)

perkembangan aspek material (kehidupan di

dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial,

maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada

hubungan yang sangat signifikan antara

kemajuan dalam bidang pemikiran

(immaterial) dan kemajuan dalam bidang

material. Hal tersebut telah menjadi

perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924)

dalam bukunya The Protestant Ethic and the

Spirit of Capitalism. Dalam buku tersebut

dirumuskan pertanyaan: Why capitalist

industrialisation became a society-wide

system in Europe and not in the other

places?. Jawabannya adalah pemikiran

agama mempunyai pengaruh yang sangat

besar bagi diterimanya sistem industri

kapitalis. Dia menjelaskan industri modern

berkembang di Eropa setelah tersebarnya

dan diterimanya teologi Protestan dari Jean

Calvin (1509-1564). Calvin sangat

menekankan peranan rasio (akal) dalam

pemahaman agama, dan karenanya para

pendukungnya bersikap rasional dalam

kehidupan di dunia ini. Max Weber

berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme

bekerja keras, menabung uang, dan hidup

ekonomis.

Dalam Islam, pemikiran agama juga

terus-menerus mengalami pembaharuan

untuk memberi makna terhadap perubahan

dan perkembangan dalam kehidupan di

dunia ini, dalam setiap manifestasinya. Akan

tetapi pembaharuan Islam di era modern

masih belum berhasil secara optimal dan

terasa kurang efektif; sebagai

konsekuensinya di bidang materi, umat

Islam juga masih tertinggal dari peradaban

Barat. Memang beberapa negara Islam

telah dapat mengikuti perkembangan

teknologi modern, tapi karena belum

didukung oleh pemikiran agama yang

mampu menopangnya maka hasilnya masih

jauh dari memuaskan. Tony Barnett (1995:

vii) benar bahwa:

the main problems in the Third World

are not, by and large, the absence of

technical specialists - countries such as

…Pakistan have these aplenty; …. The

main problems are sociological and

political problems, the contexts within

which apparently ‘technical’ decisions

are taken.

Dengan kata lain, kemampuan teknis di

dunia Islam belum dapat memberikan

kontribusi yang positif bagi kemajuan

material secara luas karena belum ada

kondisi yang kondusif dalam aspek

immaterial, seperti pemikiran agama.

3. Unsur Rasio dan Tradisi dalam

Modernisasi

Perhatian terhadap realitas sosiologis

historis berbagai komunitas Islam sangat

penting karena masing-masing mewakili

budaya tersendiri dengan berbagai bentuk

konvensinya, seperti diyakini sejarawan

Thomas L. Haskell (1999: 3) bahwa:

“…Nietzsche, who had no qualms at all

about asserting the priority of convention

over reason, just so long as he secured

recognition that both were subordinate to the

“will to power.” Konvensi sebagai

kesepakatan dari suatu komunitas harus

(4)

terkait erat dengan konteks sejarah

berlangsungnya konvensi tersebut. Baru

dilakukan dialog seiring dengan berlalunya

waktu agar dianggap lebih rasional.

Hal itu dilakukan karena rasio bukan

satu-satunya patokan bagi segala sesuatu.

Manusia juga punya aspek perasaan,

sebagai pemberi makna bagi hidupnya di

dunia. Hal tersebut hanya didapatkan pada

budaya atau tradisi suatu kelompok. Karena

itu tradisi harus diperhi-tungkan di dalam

merumuskan pembaharuan Islam, sebagai

realitas sosiologis- historis suatu komunitas,

suatu yang dapat berubah tapi tidak dapat

dihilangkan sama sekali.

Daya tahan tradisi terhadap modernisasi

diakui para pemikir modern gerakan Islam.

Mereka mulai mereformasi strategi dakwah

yang menitikberatkan pendekatan normatif,

yang menjadikan gerakan kembali kepada

Al-Qur'an dan Hadits sebagai kriteria

normatif absolut. Mereka mulai

mengarahkan perhatiannya kepada teologi

rasional sebagai landasan untuk

menegakkan tatanan moral yang lebih

tegas, dimana setiap tindakan memiliki nilai

etisnya sendiri secara obyektif . Baik dan

buruk tidak lagi ditentukan dengan

pendekatan theistic subjective (pendekatan

normatif) yang memaknai baik dan buruk

berdasarkan perintah dan larangan dari

Tuhan, dimana segala keputusan

disandarkan kepada kehendak Allah.

Pendekatan rasional memberikan tanggung

jawab yang besar kepada manusia atas

tindakannya, karena baik dan buruk sudah

ditentukan berdasarkan karakteristik dari

perbuatan itu sendiri.

Dengan demikian teologi Islam yang

selama ini dirumuskan secara rasional

melalui pendekatan normatif harus

dilengkapi dengan pendekatan empiris

obyektif. Pendekatan-pendekatan yang

bersifat normatif, sebagai suatu bentuk

paradigma, memang tidak dapat

dihilangkan, namun jangan sampai menjadi

suatu ideologi yang kaku melainkan harus

diuji dalam realitas sejarah bagi upaya

modifikasi lebih lanjut.

Ijtihad dalam bidang aqidah yang

berkaitan dengan aspek budaya adalah

penuh resiko, karena pembicaraan

mengenai iman (lebih luas dari aqidah)

merupakan pembicaraan yang sangat luas.

Iman menempati segala sesuatu. Iman

memiliki sifat-sifat dan karakter tertentu,

tetapi secara praktis tidak berbentuk

tertentu. Ia teoritis dan konseptual.

Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali

Imran 193 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya

kami mendengar (seruan) yang menyeru

kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu

kepada Tuhanmu.” Maka kami pun

beriman.’

Karena iman tidak bisa dibatasi pada

masalah aqidah saja maka pelaksanaan

purifikasi di lapangan mengalami kesulitan

karena bid’ah yang sering dianggap masuk

wilayah aqidah bercampur aduk dengan

bid’ah dalam wilayah budaya. Jika memang

begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi,

(5)

dengan penuh kehati-hatian, lantaran apa

yang disebut budaya dan tradisi

sesungguhnya jauh lebih luas daripada

aqidah.

Konsekuensi dari pluralitas budaya

tersebut, para pembaharu sejak awal

menyadari sifat parsialis pembaharuannya,

agar ada kesadaran untuk melakukan

pembaharuan yang berkelanjutan karena

memang pembaharuan Islam bukanlah

paket sekali jadi. Memang untuk

merumuskan pembaharuan Islam yang

memiliki kemampuan sinergis dengan

managerial global membutuhkan waktu

dalam proses sejarah yang lama dan

kadang tidak mulus. Adalah sulit untuk sejak

dini merumuskan pembaharuan yang

memiliki daya jangkauan global bila kita

belum memiliki informasi yang lengkap

mengenai realitas sosiologis-historis semua

komunitas Islam. Karena masing-masing

komunitas Islam tersebut memiliki keunikan

budaya yang harus diperlakukan secara

khusus pula.

Variasi budaya berimplikasi pada variasi

pembaharuan Islam. Memang disadari atau

tidak pembaruan selalu berangkat dari

realitas sosiologis-historis suatu budaya.

Karena itu pembaharuan Islam seringkali

dipandang penuh curiga oleh komunitas

Islam lainnya yang memiliki realitas

sosiologis-historis yang berlainan. Memang

ini wajar setiap memulai pembaharuan dan

kita dituntut bersikap dewasa terhadap

mereka yang masih sangsi terhadap

komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya

mampu meyakinkan pembaharuan ini juga

sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha

menjalin kerjasama dengan berbagai

kelompok lain. Toleransi yang tulus di antara

berbagai organisasi Islam di Indonesia ini

merupakan prasyarat bagi terciptanya

budaya Islam Indonesianis.

Sepanjang sejarah Islam, faktor toleransi

diantara berbagai organisasi Islam sangat

sulit diwujudkan. Contohnya, Kekhalifahan

Umayyah dan Kekhalifahan Abbasiyah

selalu berseteru satu sama lain

memperebutkan legitimasi sebagai

satu-satunya pembela Islam yang syah, bahkan

Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama

dengan kerajaan-kerajaan Kristen untuk

menghancurkannya. Akibatnya umat Islam

terusir dari Spanyol. Pertentangan sesama

umat ini tentu melemahkan posisi umat

vis-à-vis Peradaban Barat.

Di lain pihak, kemajuan Barat ini tidak

bisa dilepaskan dari peranan umat Islam,

yang telah mewarisi dan mengembangkan

peradaban Yunani-Romawi kuno. Karena

memang kegiatan intelektual bersifat lintas

budaya. Memang sejarah Islam mencatat

dengan tinta emas sikap toleransi umat

Islam terhadap penganut beragama lain.

Toby E Huff (1998: 46) benar ketika

mengatakan ‘The path to modern science is

the path to free and open discourse….’ Ini

yang menjadi tema utama dalam bukunya

The Rise of Early Modern Science, dimana

dia mengakui pada abad ke-12 dan ke-13

Barat masih ketinggalan dalam

pengembangan iptek, tetapi kemudian Barat

(6)

science karena telah berhasil

mengembangkan suasana free and open

discourse.

Tidak lahirnya iptek modern dari

peradaban Islam bukan karena Islam tidak

kompatibel dengan ide-ide modern tapi

karena interpretasi Islam yang tidak kondusif

bagi perkembangan iptek. Dengan demikian

permasalahannya tidaklah tidak filosofis,

tetapi pada tataran sosial dan kultural

seperti kasus pelarangan penggunaan print

untuk mencetak huruf Arab yang dianggap

suci. Akibatnya peradaban Islam

berkembang sangat lambat dan sebaliknya

peradaban Barat dapat berkembang cepat

berkat penggunaan print ini.

Referensi:

[1] Barnett, Tony, 1995, Sociology and

Development, London: Routledge.

[2] Huff, Toby E 1998, The Rise of Modern

Sciences, Cambridge: Cambridge University

Referensi

Dokumen terkait

Adapun simpulan peneliti terkait hasil penelitian pengembangan serta pembahasan ialah: 1) hasil dari pengembangan buku ajar pada mata pelajaran korespondensi

Praktik sejarah politik penataan ruang kekuasaan dan kepemilikan negara dengan jalan pengambilali- han kawasan kehutanan (produksi maupun konservasi) beser- ta sumberdaya alam

(2) Tarif jasa layanan di bidang inseminasi buatan dan manajemen peternakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam kontrak kerja sama

Citra TK yang eror karena beam hardening disebabkan adanya hubungan yang tidak linear antara koefisien perlemahan dan nilai proyeksi yang terukur.Analisis proses

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kampus berupa informasi mengenai pengaruh variabel perilaku masa lalu, sikap terhadap pembelian produk

Pada proses pembelajaran yang sedang berlangsung, guru harus mengenali karakteristik belajar peserta didik dalam setiap proses pembelajaran, karena semua..

Emergence, concept, and understanding of Pan-River-Basin (PRB). Memanen Air Hujan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Untuk

PT. Viva Packaging industries merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri plastik. Viva Packaging Industries ini adalah anak perusahaan dari PT.Hasil