• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hukum islam terhadap pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hukum islam terhadap pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita."

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita‛. Penulis menemukan surat al-Baqara>h ayat 282 yang membahas masalah keuangan dengan mendatangkan penulis dan saksi, di mana jika dipahami secara tekstual, akan terdapat permasalahan berupa saksi seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua orang perempuan. Amina Wadud, salah satu aktifis feminis muslim yang konsentrasi dibidang gender, dan sepak terjangnya dipandang kontroversial, karena mendekonstruksi terhadap doktrinasi agama, dan akan menjadi menarik ketika meninjau penafsirannya mengenai gender dalam al-Qur’an. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yaitu: pertama, bagaimana pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita? Kedua, bagaimana relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan hukum Islam? Sebagai sebuah penelitian kualitatif berupa kepustakaan (library research), yang bersumber dari bahan-bahan primer yang berupa bahan hukum yang mengikat yakni al-Qur’an dan KHI. Kemudian bahan sekunder berupa tulisan-tulisan Amina Wadud, buku, jurnal, tesis, dan karrya tulis ilmiah lainnya. Dan bahan tersier berupa KBBI, dan kamus Arab-Indonesia. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode content analysis dengan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Amina Wadud menganggap hasil kajian para fukaha dan mufasirin tentang masalah kesaksian wanita mengandung bias laki-laki, karena menempatkan wanita pada posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Menganggap wanita zaman dulu lemah akal, pelupa, dan tidak bisa memimpin. Menurut Amina tidak demikian, melainkan karena adanya pertimbangan konteks kehidupan saat itu, yang membatasi gerak wanita dalam bidang sosial kemasyarakatan. Dua orang perempuan yang dihadirkan sebagai saksi itu memiliki fungsi yang berbeda, satu sebagai saksi dan yang lain sebagai pengingat apabila lupa. Nyatanya menurut Amina, wanita sekarang mampu terjun ke ranah publik, mendapat pendidikan tinggi, dan bahkan menjabat sebagai kepala negara. Sudah sepantasnya diakui setara dengan saksi laki-laki. Dalam masalah saksi akad nikah misalnya, Pasal 25 KHI memuat syarat saksi harus laki-laki, ini akan menimbulkan pola diskriminatif, ketika dihadapkan pada masalah kontemporer. Ulama Syafii dan Hanbali sepakat melarang wanita menjadi saksi dalam masalah akad nikah, h}udu>d, dan talak dengan dalil hadits yang diriwayatkan Abu Ubaid. Sebaliknya Imam Hanafi membolehkan wanita menjadi saksi akad nikah bersama laki-laki, atas argumen akad nikah diqiyaskan dengan akad jual beli. Sedangkan Amina wadud berpendapat wanita dapat menjadi saksi dalam segala bidang, jika memiliki kemampuan dalam bersaksi.

(7)

i

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

MOTTO ... xiv

PERSEMBAHAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

I. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II TEORI KESAKSIAN DAN HAKIKAT MAS}LAH}AH A. Tinjauan Umum Tentang Kesaksian 1. Definisi Kesaksian ... 22

2. Syarat-syarat Saksi ... 24

3. Dasar Hukum Kesaksian ... 29

(8)

ii

B. Teori Mas}lah}ah dalam Hukum Islam

1. Definisi Mas}lah}ah ... 36

2. Macam-Macam Mas}lah}ah ... 37

BAB III AMINA WADUD DAN PEMIKIRANNYA TENTANG KESAKSIAN WANITA A. Biografi Amina Wadud ... 41

B. Karya Intelektual Amina Wadud ... 43

C. Metodologi Tafsir Feminis Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita . 45 D. Konstruksi Pemikiran Amina Wadud ... 50

E. Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita ... 53

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN AMINA WADUD TENTANG KESAKSIAN WANITA A. Kualitas Wanita Sebaga Syarat Menjadi Saksi ... 58

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita ... 61

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam literatur Islam, masalah kesaksian wanita telah menjadi bagian

yang tidak terpisahkan dari kajian sistematis tentang qad{a> (peradilan).

Bahkan, dapat dikatakan bahwa masalah kesaksian wanita telah setua literatur

Islam, karena literatur fikih tertua yang masih bisa kita simak sampai saat ini,

seperti Al-Muwat}t}a’ dan Al-‘Umm, maupun tafsir telah memuat masalah

kesaksian wanita.1

Penafsiran QS. al-Baqara>h ayat 282 menyatakan kehadiran saksi baik

laki-laki maupun wanita selain diperintahkan al-Qur’an kepada para pihak

-pihak yang melakukan sebuah akad atau transaksi untuk menghadirkan saksi,

juga sebagai upaya preventif. Apabila pada masa yang akan datang terjadi

perselisihan antara orang-orang yang mengakadkan akad atau transaksi, maka

dengan adanya saksi pada waktu akad atau transaksi dahulu saksi tersebut

dapat memberikan keterangan.2 Hadits Nabi Muhammad saw:

د ب

د ب

د

ر

د

د

ر

3

(

ه ر

)

ب

د

:

‚Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; aku bacakan di hadapan Malik; dari Abdullah bin Abu Bakar dari ayahnya

1

Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 67.

2 Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian, (Malang: Setara Press, 2015), 68. 3

(10)

2

dari Abdullah bin Amru bin Utsman dari Ibnu Abu ‘Amrah al-Anshai

dari Zaid Ibnu Kholid al-Juhany bahwa Nabi saw bersabda: ‚maukah kalian aku beritahu sebaik-baik persaksian? Yaitu orang yang datang memberi saksi sebelum diminta persaksiannya.‛ (H.R Muslim)

Dalam hal tersebut pada dasarnya saksi harus mengetahui dengan baik

persoalan yang dihadapi dan dikenal juga tingkat keadilan serta kejujurannya.

Pandangan yang tampak berbeda dari doktrin dan aturan di atas adalah

mazhab Hanafi lebih memperluas ruang lingkup saksi yakni dua orang

laki-laki atau satu orang laki-laki-laki-laki dan dua orang perempuan, tidak hanya berhak

menjadi saksi terkait dengan berbagai macam bisnis, tetapi berhak pula

menjadi saksi terkait dengan akad nikah, talak dan rujuk. Artinya mazhab

Hanafi lebih memperluas objek kesaksian yang tidak hanya pada kesaksian

transaksi bisnis, melainkan memperluas makna objek kesaksian ke wilayah

hukum keluarga kecuali kasus hukum yang berkaitan degan kasus h}udu>d dan

qis}a>s}.4

Kedudukan saksi semakin terlihat sangat penting karena menjadi unsur

yang harus ada dalam suatu akad khususnya akad nikah. Sehingga apabila

ketinggalan mengakibatkan tidak sahnya akad nikah.5 Berdasarkan hadits

Nabi saw:

د

د

و

:

و ر

6

(

ب

ى ر د

ه ر

)

‚Aisyah berrkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak sah suatu

pernikahan tanpa adanya seorang wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil (H.R Daruquthni dan Ibnu Hibban)‛.

4

Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian.., 79-80. 5 Ibid., 69.

(11)

3

Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami bahwa pada intinya saksi

adalah sebagai rukun akad nikah, bahkan menjadi rukun pula dalam suatu

perbuatan hukum. Hal ini sebagaimana pada firman Allah swt Q.S al-Baqara>h

ayat 282 bahwa walaupun objek kesaksian pada firman tersebut hanya

berkaitan dengan perkara muamalah (bisnis), tetapi yang mesti ditangkap

adalah adanya perintah untuk mencari dan mendatangkan saksi. Perintah dari

Allah pada awalnya selalu dapat dipahami sebagai hal yang wajib dilakukan.7

Dalam fikih Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam menganut bahwa

saksi juga termasuk rukun. Hal tersebut telah diatur sebagaimana pada Pasal

24 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang tertulis ‚Saksi dalam perkawinan

merupakan rukun pelaksanaan akad nikah‛.8 Selanjutnya pada ayat berikutnya

yaitu ayat (2) disebutkan ‚setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang

saksi‛. Dua orang saksi yang dimaksudkan di sini tentu adalah dua orang saksi

yang memenuhi persyaratan dan yang jelas adalah dua orang saksi laki-laki,

sebagaimana bunyi Pasal 25 ‚Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad

nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan

dan tidak tunarungu atau tuli‛. Persyaratan laki-laki dalam saksi akad nikah

menjadi dilema besar manakala dihadapkan pada masalah kontemporer. Ini

akan menimbulkan pola diskriminatif.9

7 Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian.., 69. 8

Departemen Agama RI, Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, 2004), 171.

9 Abdul Malik Syafe’i, ‚Dekontruksi Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kesaksian

Perempuan dalam Perkawinan‛, Medina-Te, Jurnal Studi Islam, Vol XIV, No. 2 (2 Desember,

(12)

4

Hukum Islam adalah sebuah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan

sunnah Nabi. Ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek

kehidupan manusia dan bersifat universal. Hukum Islam tersebut memiliki

sifat elastis dengan beberapa penggerak atau dasar-dasar pokok yang terus

berlaku mengikuti dinamika perubahan zaman. Seperti yang seringkali

dikatakan bahwa tujuan diterapkannya hukum dalam arti seluas-luasnya

adalah untuk kemaslahatan umat manusia, kontekstual dan harus sesuai

dengan prinsip-psrinsip keadilan dan kebersamaan.10 Firman Allah swt:









 

aynitrA: Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.‛ (QS. al-Anbiya>: 107)11

Prinsip-prinsip tersebut seringkali gagal memaknai sebagai pesan yang

terkandung dalam al-Qur’an, sehingga seringkali nash-nash hukum dipahami

secara tekstual sebagaimana tersurat tanpa memahami konteks

sosio-historisnya.12

Posisi wanita yang ditempatkan sebagai subordinat laki-laki

sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau

peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara populer dikenal dengan sebagai

peradaban patriarki. Pada masyarakat seperti ini, wanita tidak diberi

kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya berperan dalam posisi-posisi

10 Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2007), 25.

11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Cordoba Internasional Indonesia, 2012), 331.

12Yuslam Chanafi, ‚Saksi Perempuan Menurut Al-Qardhawi dan Amina Wadud‛ (SkripsiUIN

(13)

5

yang lebih luas. Sudah menjadi watak al-Qur’an bahwa ia memusatkan segala

sesuatunya berdasarkan langkah-langkah tertentu yang strategis, dan ini hanya

bisa dilakukan secara gradual. Oleh karena itu, akan menjadi kesalahan besar

apabila kita selalu memposisikan wanita dalam setting budaya seperti itu ke

dalam setting sosial dan budaya modern seperti sekarang ini. Hal ini juga

berlaku pada kondisi sebaliknya. Artinya, wanita dalam masyarakat modern

tidak selalu dapat diberikan legitimasi hukum sebagaimana yang diberikan

kepada masyarakat kala itu. Yang menjadi tuntutan al-Qur’an adalah

kemaslahatan dan keadilan. Kemaslahatan dan keadilan adalah apabila kita

mampu memposisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual.13

Dalam kajian tentang kesaksian wanita, baik para ulama klasik (fuqaha

dan mufasirin) maupun para feminis14 sama-sama mendasarkan pendapatnya

pada al-Qur’an, khususnya dalam QS. al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi

sebagai berikut: ....                                    ....

Artinya: ‚...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang -orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua -orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari

13

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKIS, 2002),147.

14

(14)

6

saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya...‛ (QS. al-Baqara>h :282)15

Ayat ini menjadi sangat penting dalam kajian kesaksian karena

memasukkan faktor jenis kelamin dalam kualitas kesaksian, sah atau tidaknya

kesaksian, dan selanjutnya diterima atau tidaknya kesaksian. Sementara

ayat-ayat lain yang lebih banyak, seperti dalam surat QS. an-Nisa>: 15 tentang

pendatangan empat orang saksi terhadap perbuatan keji. QS. at-Thala>q: 2

dalam masalah iddah. QS. an-Nu>r: 6, an-Nu>r: 4, QS. An-Nur: 8, tentang

mendatangkan saksi dalam perzinahan. QS. al-Maida>h: 106, tentang

mendatangkan saksi dalam wasiat dan QS. al-Maida>h: 107, tentang perintah

mendatangkan saksi dalam waris. Dari beberapa ayat al-Qur’an mengenai

kesaksian yang telah disebutkan ternyata lebih menekankan pada kualitas

kejujuran, keadilan dan persentuhan langsung saksi dengan kejadian sebagai

penentu kesaksian, tidak menjadikan jenis kelamin sebagai faktor penentu.16

Ada dua pertanyaan muncul dari aturan tentang kesaksian dalam ayat di

atas. Pertama, kenapa apabila tidak ada dua saksi laki-laki harus diganti

dengan satu laki-laki dan dua wanita? Kenapa tidak satu laki-laki satu wanita

saja? Apakah ketentuan tersebut tidak berarti merendahkan nilai wanita?

Kedua, apakah ketentuan tersebut berlaku khusus untuk kesaksian dalam

urusan transaksi kredit saja atau untuk semua urusan yang memerlukan

kesaksian seperti akad nikah, h}udu>d dan lain-lain?17

15

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya ..., 48. 16

Sulistyowati, Hukum dan Perempuan:Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan

Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), 156.

(15)

7

Meskipun demikian, masalah tersebut tetap merupakan salah satu topik

yang menjadi fokus perhatian para feminis muslim. Hal ini karena para

feminis berpendapat bahwa hasil kajian para fukaha dan mufasirin tentang

masalah tersebut mengandung bias laki-laki karena menempatkan wanita pada

posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Hasil kajian tersebut mereka anggap

tidak sesuai dengan semangat dasar al-Qur’an yang tidak membedakan

manusia atas dasar jenis kelamin, tetapi atas dasar iman dan takwa. Atas dasar

pertimbangan tersebut, para feminis mengkaji ulang masalah itu dan

menghasilkan kesimpulan yang berbeda.18

Adapun dalam skripsi ini, penulis fokus pada Amina Wadud yakni salah

satu tokoh feminis yang menitikberatkan pada masalah eksistensi, dan

hak-hak perempuan. Hal penting dari Amina adalah ide kesetaraan dan keadilan

gender yang dibawanya tidak berhenti dalam wacana, tetapi

diimplementasikan dalam praktek. Amina pernah menjadi imam sholat dengan

makmum lak-laki dan perempuan, yang selama ini dipandang haram dan telah

menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam. Sedangkan titik fokus yang

akan dikaji penulis dalam skripsi ini adalah konsep kesaksian wanita menurut

Amina Wadud, lantaran penafsiran ulama klasik terhadap QS. al-Baqara>h ayat

282 terkesan bias laki-laki.

Amina Wadud salah satu tokoh feminis yang fokus pada kesetaraan dan

keadilan gender, hadir dengan mereformulasi hukum kesaksian wanita. Amina

berpendapat bahwa surat al-Baqara>h ayat 282 hanya berkaitan dengan

18

(16)

8

perjanjian keuangan dan dua orang wanita yang dihadirkan sebagai saksi itu

memiliki fungsi yang berbeda, satu sebagai saksi dan yang lain sebagai

pengingat apabila lupa. Amina juga mengemukakan alasan lain perlunya dua

saksi, yakni untuk menghindari adanya kecurangan. Jika salah seorang

melakukan kesalahan atau dibujuk atau dipaksa memberikan kesaksian palsu,

ada saksi lain yang mendukung persaksian itu.19

Berdasarkan penjelasan di atas yaitu kesaksian seorang laki-laki

diseimbangkan dengan dua orang wanita yang selalu mendatangkan

perdebatan, serta sekiranya dapat menghasilkan hukum yang relevan untuk

masalah kesaksian wanita. Dengan maksud apakah kesaksian wanita menurut

Amina Wadud dapat dilakukan pembaruan hukum sebagai implikasi dari

perkembangan zaman dan perubahan sosial masyarakat. Maka penulis tertarik

untuk mengkaji dan meneliti dengan mengangkat judul : Analisis Hukum

Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita.

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka

dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

a. Penafsiran ulama klasik mengenai kesaksian wanita.

b. Kesaksian wanita menurut pemikiran Amina Wadud.

19

(17)

9

c. Perbedaan pemikiran Amina Wadud dengan fukaha tentang kesaksian

wanita.

d. Kontroversi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita.

e. Keberlakuan pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dalam

hukum Islam.

f. Relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan

hukum Islam.

2. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penulisan skripsi ini adalah:

a. Konsep kesaksian wanita menurut Amina Wadud.

b. Relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan

hukum Islam

C.Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan

dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita?

2. Bagaimana relevansi pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita

dengan hukum Islam?

D.Kajian Pustaka

Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara

penelitian yang dilakukan dengan kajian atau penelitian yang pernah

(18)

10

pemikiran Amina Wadud. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan,

ada beberapa penelitian serupa yang meneliti tentang ‚Analisis Hukum Islam

Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Kesaksian Wanita‛. Penelitian

tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Skripsi berjudul ‚Studi Komparatif Tentang Kesaksian Wanita Menurut

Pemikiran Mahmud Syaltut dan Amina Wadud‛. Dalam skripsi ini

dijelaskan perbedaan secara metodologis tentang pandangan mereka

terhadap konsep kesaksian. Syaltut memandang bahwa ayat ini adalah

berlatar belakang sosiologis, yakni reaksi terhadap kondisi sosial saat di

mana ayat tersebut diturunkan. Dan ayat ini tidak bisa dijadikan sebagai

landasan teologis. Sedangkan Amina, lebih pada reaksi sebagai seorang

feminis yang merasa ‘tidak puas’ dengan ketidak setaraan pemahaman

tekstual ayat ini.20

2. Skripsi yang berjudul ‚Kesaksian Perempuan Dalam Al-Qur’an (Suatu

Tinjauan Pendapat Mufasir)‛. Dalam skripsi ini dibahas bahwa menurut

sebagian pendapat Mufassir, kesaksian dua orang perempuan itu

sebanding dengan satu laki-laki dalam hak-hak duniawi. Adapun dalam

perkara-perkara agama seperti periwayatan dan fatwa, maka seorang

wanita satu derajat (sama dengan laki-laki). Perbedaan itu sangatlah jelas

sekali. Sekiranya seorang saksi bila melupakan kesaksiannya namun saksi

yang lainnya mengingatkannya lalu dia teringat kembali, maka kelupaan

20M. Imron Hamid, ‚Studi Komparatif Tentang Kesaksian Wanita Menurut Pemikiran Mahmud

(19)

11

itu tidaklah mengapa bila dapat dihindarkan dengan adanya pengingatan

tersebut.21

3. Tesis yang berjudul ‚Perempuan Dalam Hukum Islam (Studi

Epistemologi Pemikiran Amina Wadud‛. Dalam tesis ini dijelaskan

bahwa dalam pemikiran Amina Wadud, faktor penafsir merupakan poin

paling segnifikan dalam melihat sejauhmana sebuah penafsiran bersifat

obyektif. Hal ini tercermin dari pernyataan Amina Wadud bahwa ajaran

al-Qur’an mengenai perempuan hanya bisa diadaptasi apabila ditafsirkan

sendiri oleh perempuan.22

4. Skripsi yang berjudul ‚Studi Analisis Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Tentang Saksi Satu Orang Perempuan Dalam Perkara Susuan‛. Dalam

skripsi ini dipaparkan Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang wanita

dapat dijadikan saksi dalam perkara susuan, karena hal itu menyangkut

peristiwa yang hanya dapat dilihat, dialami dan dirasakan wanita.

Seorang wanita asalkan diketahui bahwa ia wanita yang bukan tergolong

pendusta maka keterangannya dapat diterima. Berbeda halnya jika wanita

tersebut sebagai orang yang kurang baik dalam arti diketahui sering

berdusta maka hal itu harus dikuatkan oleh bukti lain. Sedangkan

21

Zamzami, ‚Kesaksian Perempuan Dalam Al-Qur’an (Suatu Tinjauan Pendapat Mufasir)‛

(Skripsi--Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Riau, 2011)

22 Fikria Najitama, ‚Perempuan Dalam Hukum Islam (Studi Epistemologi Pemikiran Amina

(20)

12

pendapatnya hanya layak dijadikan sebagai bukti tambahan atau

pelengkap.23

5. Skripsi yang berjudul ‚Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran

Amina Wadud Tentang Tidak Diperbolehkannya Poligami‛. Dalam

skripsi tersebut disimpulkan bahwa pemikiran Amina Wadud tentang

tidak diperbolehkannya poligami karena dia berpendapat bahwa

alasan-alasan yang selama ini diyakini, tidak pernah ada dalam al-Qur’an. Dalam

konteks hukum Islam di Indonesia, pemikiran atau konsep hukum Amina

Wadud ada kesamaan dengan tujuan pembaharuan hukum yang

didasarkan prinsip-prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan di

masyarakat khususnya Islam.24

6. Skripsi yang berjudul ‚Studi Komparasi Antara Hukum Perdata dan

Hukum Islam Tentang Kesaksian Perempuan‛. Skripsi ini

membandingkan konsep kesaksian perempuan menurut hukum Islam dan

hukum Perdataa. Dan hasil penelitian nya mengatakan bahwa pada

dasarnya laki-laki dan perempuan diberikan hak yang sama menjadi saksi,

bahkan menjadi wajib jika mereka mengetahui sesuatu persoalan yang

membutuhkan pembuktian dengan saksi.25

7. Skripsi yang berjudul ‚Saksi Perempuan Menurut Yusuf Al-Qardhawi dan

Amina Wadud‛. Skripsi ini membandingkan pendapat Yusuf al-Qardhawi

23

Siti Mustaqfiroh, ‚Studi Analisis Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Tentang Saksi Satu

Orang Perempuan Dalam Perkara Susuan‛ (Skripsi—IAIN Walisongo, Semarang, 2008) 24

Nur Chabiba, ‚Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Tidak

Diperbolehkannya Poligami‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009)

25 Robiatul Adawiyah, ‚Studi Komparasi Antara Hukum Perdata dan Hukum Islam Tentang

(21)

13

dan Amina Wadud tentang saksi perempuan dan relevansinya terhadap

keadilan gender. Menurut Yusuf al-Qardhawi kedudukan saksi perempuan

adalah tidak menyebutkan bahwa formulasi bobot saksi perempuan yakni

satu banding dua (satu laki-laki dan dua perempuan), tapi lebih cenderung

kepada arti teks al-Qur’an yang menyatakan ‚jika tidak ada dua saksi

laki-laki maka satu laki-laki dan dua orang perempuan‛, namun dalam hal

ini Yusuf al-Qardhawi tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan

tapi justru ingin memuliakannya. Sedangkan menurut Amina Wadud

saksi perempuan bukan disebut sebagai saksi, tetapi saksi perempuan

dalam hal ini adalah sebagai penguat, walaupun disebutkan bahwa

kesaksian seorang perempuan separuh dari laki-laki. Menurut Amina, ada

beberapa pertimbangan kontekstual yang menyebabkan pada awalnya

dibutuhkan lebih dari satu perempuan. Tujuannya adalah untuk menjaga

supaya tidak ada kesalahan baik yang disengaja atau tidak berkenaan

dengan ketentuan-ketentuan perjanjian.26

Dari ketujuh penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui

perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, adalah dalam hal objek

penelitian yang digunakan ialah pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian

wanita. Yang hasil dari pemikiran Amina kemudian di analisis berdasarkan

konsep hukum Islam, apakah kondisi perempuan sekarang tidak cukup

memenuhi syarat untuk berdiri sendiri menjadi saksi dalam artian 1:1 dengan

laki-laki? Kemudian sumbangan apa yang bisa diberikan pemikiran Amina

26Yuslam Chanafi, ‚Saksi Perempuan Menurut Al-Qardhawi dan Amina Wadud‛ (Skripsi—UIN

(22)

14

bagi kemajuan perempuan dan fikih di bidang hukum keluarga. Dengan

demikian Penelitian yang penulis lakukan tidak pernah dilakukan oleh

peneliti terdahulu.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penulisan

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan gambaran mendalam mengenai pemikiran Amina Wadud

tentang kesaksian wanita

2. Memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang relevansi pemikiran

Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan hukum Islam.

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik

secara teoritis maupun praktis yaitu:

1. Kegunaan teoritis

Secara teoritis, menyumbangkan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan

hukum khususnya di bidang hukum keluarga, hukum Islam dan ilmu

pengetahuan dalam bidang ilmu agama khususnya tentang kesaksian

wanita.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi

penelitian mengenai bagaimana kedudukan saksi wanita dalam hukum

(23)

15

pembuatan Undang-undang tentang perempuan. Serta pembaruan Hukum

Islam mengenai fikih di bidang Hukum Keluarga.

G.Definisi Operasional

Dari beberapa pemaparan di atas terdapat beberapa istilah yang perlu

dijelaskan untuk memudahkan pemahaman dan dapat memperjelas maksud

dari judul penelitian ini, di antaranya yaitu:

Hukum Islam : tata aturan yang digali para ulama dari sumber

ajaran agama Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits,

untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan

umat Islam agar sesuai dengan tuntunan Islam.27

Dalam penelitian ini, hukum Islam yang digunakan

adalah ilmu fikih, karena bersinggungan langsung

pada konteks hukum keluraga.

Pemikiran : proses, cara, perbuatan memikir; problem yang

memerlukan pemecahan.28

Yang dimaksud pemikiran dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui metode dan implikasi

pemikiran dari seorang tokoh yang bersangkutan,

dalam hal ini yakni pemikiran Amina Wadud.

27

Qurrotul Ainiyah, Keadilan Gender Dalam Islam; Konvensi PBB dalam Perspektif Mazhab Syafi’i, (Malang: Intrans Publishing, 2015), 26.

28 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

(24)

16

Amina Wadud : adalah seorang wanita muslim pemikir

kontemporer yang mencoba melakukan rekonstruksi

metodologis tentang bagaimana menafsirkan

al-Qur’an agar menghasilkan sebuah penafsiran yang

sensitif dan berkeadilan gender.29

Dengan gagasan yang kritis, ia berusaha

mengaplikasikan metodologi yang dibangunnya

tersebut. Asumsi dasar yang dijadikan kerangka

pemikirannya adalah bahwa al-Qur’an merupakan

sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan

laki-laki dan perempuan setara.

Kesaksian Wanita : adalah pemberitahuan seorang wanita di depan

pengadilan tentang sesuatu yang disaksikannya dan

dilihatnya langsung dengan mata kepala, bukan

dengan pikiran.30

H.Metode Penelitian

Metode merupakan suatu proses atau tata cara untuk mengetahui

masalah melalui langkah-langkah yang sistematis. Penelitian merupakan suatu

kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan

secara metodis (yakni sesuai dengan metode atau cara tertentu), sistematis

29

Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 65.

(25)

17

(berdasarkan suatu sistem) dan konstinten (yakni tidak ada hal-hal yang

bertentangan dalam suatu kerangka tertentu).31

Dari hal tersebut dapat dikemukakan bahwa metode penelitian adalah

suatu tata cara yang digunakan untuk menyelidiki sesuatu dengan hati-hati

dan kritis guna memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu

pengetahuan melalui langkah-langkah yang sistematis. Dalam penyusunan

skripsi ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,

berupa kepustakaan (library research) dengan mempelajari dan menelaah

bahan-bahan yang tertulis, seperti: buku, majalah, jurnal yang ada

hubungannya dengan masalah yang akan dibahas untuk memperoleh data

yang lengkap dengan dukungan sumber-sumber lain yang berkaitan

dengan kesaksian wanita.

2. Sifat penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian deskriptif-analitik. Deskriptif adalah penelitian yang

menyajikan data-data yang diteliti dengan menggambarkan gejala

tertentu. Metode ini digunakan untuk memaparkan dan menjelaskan

konsep kesaksian dalam berbagai perspektif dan bagaimana pandangan

Amina Wadud dalam hal tersebut. Di samping itu metode analisis

31 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia-UI

(26)

18

digunakan untuk meninjau konsep kesaksian yang ditawarkan dan

bagaimana perspektif hukum Islamnya.

3. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini meliputi tiga kategori yaitu

bahan primer, bahan sekunder, dan bahan tersier.

a. Bahan primer

Adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu:

1) al-Qur’an dan terjemahnya.

2) Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan Sekunder

Yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku karya Amina

Wadud dan literatur lain yang menunjang penelitian ini.

1) Qur’an and Woman; Reading the Sacred Text from a Woman’s

Perspective

2) Qur’an Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan

Semangat Keadilan, Terjemahan Abdullah Ali

3) Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, (Oxford:

Oneworld, 2006)

4) Fiqh as-Sunnah

5) al-Fiqh al-Islamy> Wa’adilatuhu

(27)

19

7) The Qur’an Women and Modern Society, terjemahan Agus

Nuryanto.

8) Dll.

c. Bahan Tersier

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan primer dan sekunder, yaitu:

1) Kamus Bahasa Indonesia

2) Kamus Arab Indonesia Terlengkap

3) al-Munjid fi> al-Lughah Wa al-A’la>m

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik

dokumentasi, yaitu cara mengumpulkan data melalui penelusuran,

pembahasan, kajian bahan tertulis, seperti buku-buku yang ada kaitannya

dengan masalah pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita dan

gender yang ada hubungannya dengan masalah tersebut.

5. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, data-data yang telah didapat dikumpulkan

kemudian dikelompokkan pengertian, interpretasi, dan argumentasi dalam

pembahasan pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita.

Kemudian dianalisis makna-makna apa yang telah diinterpretasi Amina

Wadud dengan metodologi hermeneutika tentang kesaksian wanita yang

(28)

20

6. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul, maka

langkah selanjutnya dilakukan analisis data. Dalam hal ini penulis

menggunakan metode Content Analysis, yaitu sebuah teknik yang

digunakan untuk memahami teks-teks dengan sambil merekonstruksinya

sehingga memperoleh makna dan nuansa uraian yang disajikannya secara

khas.32 Analisis data ini dilakukan sebelum dan sesudah data ditemukan.

Penulis menganalisis isi dari ide, gagasan maupun pemikiran Amina

Wadud tentang kesaksian wanita yang ada dalam bahan primer, kemudian

dikonfrontasikan dengan gagasan dari bahan primer yang lain maupun

bahan sekunder sebagai perbandingan dan hubungan secara kritis.

Selanjutnya untuk memudahkan dalam penarikan kesimpulan, penulis

merasa perlu menggunakan pola berpikir deduktif. Yakni dengan cara

memahami dan menangkap segala pernyataan yang bersifat umum dari

pemikiran Amina Wadud tentang kesaksian wanita, kemudian ditarik

menuju pada pernyataan yang lebih khusus.

I. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas serta mempermudah

pembahasan, maka penulis membuat penulisan secara sistematis sebagai

berikut:

32

(29)

21

BAB pertama, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang

masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan

sistematika penulisan. Inti dari semua uraian diatas dimaksudkan untuk

memberi jawaban umum atas pertanyaan-pertanyaan metodologis apa,

mengapa, dan bagaimana penelitian ini dilakukan.

BAB kedua, teori kesaksian dan hakikat mas}lah}ah meliputi: pengertian

kesaksian, dasar hukum kesaksian, macam-macam kesaksian, beberapa

ketentuan hukum kesaksian, syarat-syarat menjadi saksi, teori mas}lah}ah dalam

hukum Islam, pengertian serta macam-macam mas}lah}ah.

BAB ketiga, merupakan data pokok dalam skripsi ini yaitu penjelasan

mengenai sekilas biografi dan latar belakang Amina Wadud, karya intelektual

Amina Wadud, metodologi tafsir feminis Amina Wadud tentang kesaksian

wanita, Konstruksi pemikiran Amina Wadud, dan kesaksian wanita menurut

pandangan Amina Wadud

BAB keempat, merupakan bab analisis pendapat Amina Wadud

mengenai kualitas wanita menjadi saksi. Kemudian relevansi pemikiran

Amina Wadud tentang kesaksian wanita dengan hukum Islam.

BAB kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan akhir dari proses

penelitian skripsi ini, selanjutnya untuk menambah kekayaan dalam penulisan

skripsi ini diberikan saran-saran untuk membangkitkan para pembaca ataupun

(30)

(31)

22 BAB II

TEORI KESAKSIAN DAN HAKIKAT MAS}LAH}AH

A.Tinjauan Umum Tentang Kesaksian

1. Definisi Kesaksian

Kesaksian adalah keterangan atau pernyataan yang diberikan saksi.1

Artinya, adanya suatu informasi yang disampaikan oleh seseorang yang

disebut sebagai saksi karena ia mengetahui kejadian suatu peristiwa yang

terkait dengan kesaksiannya. Dalam definisi yang lain kesaksian adalah

kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu

peristiwa yang diperkarakan dengan jalan memberitahukan secara lisan

dan secara pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam

berperkara serta ia juga dipanggil dalam persidangan.2

Saksi dalam kitab fiqh cenderung didefinisikan dengan istilah

kesaksian yang diambil dari kata ةدهاش م yang artinya melihat dengan mata

kepala, karena lafadz دهاش (orang yang menyaksikan) itu memberitahukan

tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Maknanya ialah

pemberitahuan seseorang tentang apa yang dia ketahui dengan lafadz دهش ا

‚aku menyaksikan atau aku telah menyaksikannya‛.3 Saksi disebut juga

dengan دهاش (saksi lelaki) atau ةدهاش (saksi perempuan) bentuk jamaknya

adalah ءادهش terambil dari kata ةدهاش م yang artinya adalah menyaksikan

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, 1247.

2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 166. 3

Louis Ma’luf al-Yassu’i, al-Munjid fi al-Lughah Wa al-A’lam (Beirut: Da>r al-Masyriq, 1986),

(32)

23

dengan mata kepala sendiri.4 Para ulama juga memiliki banyak definisi

tentang saksi menurut bahasa, antara lain:

a. Pernyataan atau pemberitaan yang pasti5; dan

b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan

penyaksian langsung.6

Dalam bahasa Arab saksi dikenal dengan sebutan syaha>dah. Orang

yang menjadi saksi disebut sya>hid (saksi laki-laki) atau sya>hidah (saksi

perempuan) yang diambil dari timbangan sya>hida – yusya>hadu – syahdan

–syaha>datan ( ةداهش - ادهش – دهاش ي – دهاش ) yang berarti menyampaikan

sesuatu sesuai yang ia ketahui melalui kesaksian; memberikan kabar yang

pasti (akurat dan kredibel); dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.7

Makna lainnya yang dapat dipahami dari pengertian di atas bahwa

saksi adalah orang dipandang memahami dengan baik terhadap apa yang

disaksikannya.8 Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

kesaksian harus memenuhi unsur-unsur berikut:

a. Adanya suatu perkara;

b. Dalam objek tersebut terdapat hak yang harus ditegakkan;

c. Adanya orang yang memberitahukan objek tersebut secara apa

adanya;

4

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Pogressif, 1997), cet ke-1, 747.

5 Muhammad Thohir M, al-Qada’ fi>>> al-Islam, (Beirut: al-Alamiyah, t.h), 51. 6 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.h), cet ke-6, jilid III, 332.

7 Ahmad Mukhtar Umar, al-Mu’jam al-Mausu>’i li alfa>z} al-Qur’a>n al-Kari>m wa Qira>’atih,

(Riyadh: Mu’assasah at-Tura>s\, 2002), 976.

(33)

24

d. Orang yang memberitahukan memang melihat atau mengetahui

kebenaran objek tersebut; dan

e. Pemberitahuan tersebut diberikan kepada pihak yang berwenang

untuk menyatakan adanya hak bagi orang yang seharusnya berhak.9

2. Syarat-Syarat Saksi

Agar kesaksian dapat diterima, Islam melalui hasil ijtihad para pakar

hukum Islam menentukan beberapa kriteria yang mesti dipenuhi seseorang

yang menjadi saksi. Beberapa kriteria itu adalah:

a. Dewasa

Jumhur ulama sepakat bahwa kesaksian anak-anak yang belum

baligh tidak diterima kesaksiannya. Karena kesaksian anak-anak

dianggap tidak memungkinkan untuk bisa mengantarkan

persaksiannya sesuai dengan yang diharapkan (kebenaran ucapan

dengan fakta).10 Oleh sebab itu, anak kecil tidak boleh menjadi saksi,

walaupun dia bersaksi atas anak kecil yang seperti dia, sebab mereka

kurang mengerti kemaslahatan utuk dirinya, lebih-lebih untuk orang

lain.11

9 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer.., 153.

10 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy Wa’adilatuhu, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), Juz VI, 562. 11

(34)

25

b. Berakal

Kesaksian orang gila dan orang yang tidak waras tidak dapat

diterima, sebab kesaksian mereka ini tidak membawa kepada

keyakinan yang berdasarkan perkara yang dihukumi.12

c. Beragama Islam

Para ahli fiqih bersepakat bahwa seorang saksi harus beragama

Islam. Dengan demikian kesaksian yang diberikan oleh orang kafir

dalam kasus yang menimpa seorang muslim tidak bisa diterima sebab

orang kafir dicurigai akan melakukan pelanggaran-pelanggaran

berkenaan dengan hak seorang muslim. Ulama mazhab Hanafi dan

Hanbali membolehkan seorang kafir memberikan kesaksian dalam

masalah wasiat yang terjadi dalam perjalanan.13 Dalilnya adalah

firman Allah swt:

                                  ... 

Artinya: ‚Wahai, orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang

(di antara) kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu...‛(QS. al-Ma>idah: 106)14

d. Adil

Para ulama telah sepakat bahwa syarat bagi saksi adalah adil.

Berdasarkan Firman Allah swt:

12

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987) 56.

(35)

26













....

Artinya: ‚....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil

di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.‛ (QS. at-Thala>q: 2)15

Adapun yang dimaksud adil di sini adalah orang yang menjauhkan

dirinya dari berbuat dosa besar dan tidak terbiasa (berkenalan)

berbuat dosa kecil, dosa besar umumnya berzina, membunuh, makan

riba, mencaci ibu bapak, meninggalkan sholat, dan sebagainya.

Dosa-dosa kecil seperti mengeluarkan kata-kata yang kurang sopan

didengar, bersenda gurau.16 Adapun kriteria adil menurut madzhab

Abu Hanifah menetapkan bahwa kriteria adil adalah sisi lahiriah

kemusliman seseorang. Dengan demikian, seorang saksi tidak perlu

ditanyai mengenai keadilan nya kecuali jika lawan perkaranya

mempertanyakan kadilan nya tersebut. Akan tetapi, apabila kasusnya

adalah h}udud dan qis}as}, seorang saksi harus ditanyai mengenai

keadilan nya meskipun perkaranya tidak meminta itu. Dalil yang

menyatakan bahwa untuk menetapkan keadilan seseorang cukup

hanya dengan sisi lahiriah kemuslimannya adalah sabda Nabi

Muhammad saw:

د د ب

:

و

د

و

:

و ر

:

ه د

15

Ibid., 558.

16 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka

(36)

27

17

.

د

د

Abu Bakar Ibn Abi Syaibah berkata: bahwa Abu Bakar telah berkata kepadaku bahwasannya Abdur Rahim bin Sulaiman berkata kepadanya dari Hajjaj, dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‚Semua orang muslim adalah adil antara sebagian dan sebagiannya kecuali seorang muslim yang pernah dihukum had karena menuduh orang lain berzina‛.18

e. Saksi harus dapat melihat

Dalam masalah ini, menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad,

dan Imam al-Syafi’i bahwa syarat saksi adalah harus bisa melihat.

Maka menurut mereka kesaksian orang buta tidak dapat diterima.

Karena seseorang yang buta tidak dapat membedakan suara, sehingga

kesaksiannya diragukan. Maka Hanafiyah mengukuhkan pendapatnya

tersebut dan tidak setuju diterimanya saksi orang yang buta.19 Hal ini

juga dikaitkan dengan makna asal dari pada saksi menurut bahasa

yang disebutkan di atas, yaitu harus bisa menerangkan tentang apa

yang ia lihat, dengar, serta yang dialaminya.

f. Saksi harus dapat berbicara

Seorang saksi harus bisa berbicara. Apabila ia bisu dan tidak dapat

berbicara maka kesaksiannya tidak dapat diterima, sekalipun ia dapat

mengungkapkan dengan isyarat, dan isyaratnya itu dapat dipahami,

kecuali ia menuliskan kesaksiannya dengan tulisan. Demikianlah

pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat yang sah dari mazhab

17

Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushonnaf lil Aha>di>ts wa Al-A>tsa>r, jilid IV, (Riya>dh: Maktabah ar-Rusyd, 2004), 352.

(37)

28

Imam al-Syafi’i. Golongan Malikiyah menerima kesaksian orang yang

bisu, bila saksi tersebut dapat dipahami dalam mengungkapkan

dengan isyarat. Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili, bahwasannya

dalam masalah persaksian, yang dituntut adalah suatu keyakinan, oleh

sebab itu yang diharapkan di sini adalah persaksian dengan ucapan.

Menurut pendapat ahli hukum yang lain, syarat-syarat kesaksian yang

dituntut padanya ada dua segi, yaitu:

1) Syarat ia membawa kesaksian itu, yaitu kesanggupan memelihara

dan menghafal kesaksian

2) Syarat Islam menunaikan kesaksian itu, yaitu kesanggupan

mengungkapkan dengan ucapan yang benar menurut syara’.20

Tentang syarat sahnya seorang menjadi saksi, Sayyid Sabiq

menambahkan dua hal lagi, yaitu: pertama, saksi itu harus cermat dan

faham, karena menurutnya kesaksian orang yang buruk hafalannya,

banyak lupa dan salah, maka kesaksiannya tidak dapat diterima

karena ia kehilangan kepercayaan pada pembicaraannya.21

Kedua, bersih dari tuduhan. Karena orang yang dituduh karena

percintaan atau permusuhan, kesaksiannya tidak diterima. Perihal

syarat-syarat seseorang menjadi saksi, Sayyid Sabiq memberikan

tambahan yaitu bahwa seorang saksi harus memilik daya ingatan

yang baik dan bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).

20 Usman Hasyim dan M Ibnu Rahman, Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayah Islam, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), cet ke 1, 4.

(38)

29

Syarat tidak adanya paksaan bagi saksi maksudnya orang yang

memberikan kesaksian atas dasar intimidasi demi orang lain bisa

mendorongnya untuk mempersaksikan hal yang bukan

pengetahuannya. Oleh karenanya dapat mempengaruhi

kepercayaannya terhadap kesaksiannya. Hal itu berdasarkan sabda

Rasulullah saw:

و

و

(

و

ه ر

)

ب

‚Tidak boleh diterima kesaksian seorang laki-laki pengkhianat,

kesaksian seorang wanita pengkhianat serta kesaksian orang yang mempunyai iri dengki dan permusuhan terhadap saudaranya. Juga tidak boleh diterima kesaksian pembantu terhadap keluarga tuannya.‛ (HR. Ahmad dan Abu Dawud)22

3. Dasar Hukum Kesaksian

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber daripada segala sumber hukum Islam,

bahkan sumber dari segala hukum-hukum manusia lainnya. Oleh

karena itu menjadi suatu kewajiban bagi orang yang beragama Islam

untuk mengembalikan segala persoalan hidupnya kepada sumber

hukum ini.23

22

Termasuk di dalamnya kesaksian pembantu dan sesorang yang memberikan nafkah kepada sebuah keluarga dikarenakan adanya unsur kecintaan terhadap mereka, sehingga ia akan mengikuti permintaan mereka. Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6860; dan Abu Dawud, no. 3600. Menurut Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Talkish, bahwa sanad hadits ini termasuk kuat.

23

(39)

30

Adapun tentang kesaksian, Allah sebenarnya mewajibkan untuk

menjadi saksi terhadap sesuatu yang diketahui. Terlebih bagi yang

mengetahui persoalan yang dihadapi, sementara ada orang lain yang

membutuhkan kesaksian itu, maka umat Islam diwajibkan untuk

menjadi saksi bahkan dilarang menyimpan informasi berharga yang

berkaitan dengan kesaksian. Tujuannya adanya kesaksian ini

setidaknya dapat menjadi media untuk menegakkan kebenaran,

sehingga hak-hak orang yang benar pun tidak dizhalimi oleh

orang-orang yang memiliki kepentingan. Ayat al-Qur’an yang berkaitan

dengan hal tersebut adalah:

                                                                                                                         

(40)

31

persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..‛ (QS. al-Baqara>h: 282)24

Apabila dipahami bahwa ayat Allah ini diawali dengan adanya

perintah kepada manusia untuk meregistrasikan atau mencatat semua

transaksi khususnya utang piutang antara satu dengan yang lainnya.

Bahkan pencatatan tersebut penting dilakukan walaupun nilai

transaksinya sangat kecil. Berbeda halnya apabila transaksi

(perdagangan) dilakukan secara tunai, tampaknya Allah memberikan

pilihan baik untuk melakukan pencatatan atau tidak melakukannya

kendatipun sebenarnya apabila dikehendaki kembali Allah

menghendaki agar setiap transaksi itu tetap dicatat dan dibukukan.25

Selain melakukan pencatatan, Allah juga memerintahkan agar

kegiatan transaksi muamalah yang dilakukan mesti disaksikan oleh

saksi. Saksi tersebut minimal berjumlah dua orang yang semuanya dari

jenis kelamin laki-laki. Namun apabila di antara saksi tersebut hanya

ada satu orang laki-laki dan kebetulan misalnya saksi lainnya adalah

perempuan, maka saksi perempuan tersebut mesti dua orang. Adanya

keharusan dua orang perempuan yang menjadi saksi karena kegiatan

bisnis adalah umumnya laki-laki dan jarang atau kurang familiar

dilakukan perempuan pada waktu ayat ini diturunkan sehingga apabila

24

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya .., 48. 25

(41)

32

salah seorang dari keduanya ada yang lupa, maka seorangnya dapat

mengingatkan tentang point-point yang menjadi objek kesaksian

keduanya.26 Selanjutnya dalam firman Allah berikutnya adalah:













 

Artinya: ‚Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan

persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.‛ (QS. Al-Baqara>h: 283)27

Apabila dipahami, ayat di atas mengingatkan kepada para saksi

yang diberikan kepercayaan untuk menjadi saksi agar tidak

menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya ketika terjadinya suatu

permasalahan sementara pihak yang berperkara sangat membutuhkan

kesaksiannya. Selain itu, termasuk pula dalam pengertian tidak

menyembunyikan kesaksian adalah tidak menyampaikan sama sekali

atau jangan mengurangi, melebihkan kesaksian sehingga di antara yang

berperkara ada yang dirugikan.28

b. Hadits

Kemudian berdasarkan sabda Rasulullah saw

29

(

ه ر

).

ب

د

26 Ibid.

27 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya .., 48.

28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 571.

29

(42)

33

‚Maukah aku beritahukan kepada kalian mengenai para saksi yang terbaik? Yaitu yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta bersaksi.‛(H.R Muslim).

Hadits di atas menceritakan sebaik-baik orang yaitu yang datang

memberikan kesaksian walaupun tanpa diminta adalah terkait dengan

orang-orang yang sebenarnya mengetahui dengan jelas perkara yang

disaksikan dan diyakini bahwa seorang saksi tersebut harus memiliki

kredibilitas yang tinggi sehingga apabila ia bersaksi, bukti kebenaran

pun dapat ditegakkan.30

Berdasarkan dasar hukum di atas tempaknya dapat disimpulkan

bahwa sebenarnya kedudukan saksi baik laki-laki atau pun wanita

dalam suatu akad atau transaksi adalah sangat penting. Pentingnya

kedudukan saksi ini dapat dilihat dari pesan al-Qur’an yang

memerintahkan kepada pihak-pihak yang terkait dengan sebuah akad

atau transaksi untuk menghadirkan saksi.31

4. Kesaksian Wanita dalam Islam

Hukum melakukan kesaksian dalam Islam adalah fard}u kifa>yah,

termasuk kesaksian yang dilakukan perempuan. Kesaksian perempuan

diterima di dalam semua perkara yang tidak mungkin disaksikan laki-laki

secara mutlak. Diterimanya kesaksian perempuan dikuatkan oleh

30

Ibnu Elmi AS Pelu dan Abdul Helim, Konsep Kesaksian.., 31. 31

(43)

34

prinsip syariat dalam kondisi tertentu. Sebab kesaksian merupakan salah

satu sarana yang menjadi sandaran dalam memutuskan hak seseorang.32

Sebagaimana diterimanya kesaksian 1 laki-laki untuk kasus-kasus di

luar hud}ud, maka demikian halnya kesaksian 1 perempuan. Rasulullah Saw

pernah menerima kesaksian seorang hamba sahaya perempuan berkulit

hitam dalam masalah susuan yaitu ketika ‘Uqbah bin al-Harits hendak

menikah dengan ‘Umm Yahya binti Abu Lahab, kemudian datanglah

seorang hamba sahaya perempuan tersebut dan berkata: ‚Saya telah

menyusui kalian berdua‛. Lalu ‘Uqbah menceritakan perihal tersebut

kepada Nabi Saw, dan beliau pun membatalkan perkawinan ‘Uqbah dan

Umm Yahya.33

Pengakuan kesetaraan dalam kesaksian antara laki-laki dan

perempuan dalam Islam sangat jelas dalam hukum Islam. Namun

demikian, tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki mutlak sama tanpa

adanya ketentuan yang mengatur secara khusus. Kesaksian perempuan

yang disepakati para fukaha terbagi menjadi tiga bagian:

a. Bagian yang menerima kesaksian perempuan secara mutlak;

b. Bagian yang menerima kesaksian perempuan jika bersama laki-laki;

dan

32

Muhammad Zaidan, ‚al-Itsba>t bi Syaha>dat al-Nisa>’ Munfarida>t‛, Majallah Jami’ah al-Azhar,

dalam Henri Shalahuddin, ‚Konsep Kesetaraan dalam Kesaksian Perempuan: Antara Perspektif Wahyu dan Perspektif Gender‛, TSAQAFAH, Jurnal Peradaban Islam, Vol.12, No.2, (November 2016), 371.

33

(44)

35

c. Bagian yang tidak menerima kesaksian perempuan.

Kesaksian perempuan dalam semua kasus-kasus yang berhubungan

dengan perkara-perkara yang tidak mungkin dilihat laki-laki

diperbolehkan. Ulama mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat

bahwa kesaksian yang hanya diberikan wanita bisa diterima dalam

kasus-kasus yang memang biasanya tidak diketahui kaum lelaki, seperti masalah

keperawanan, janda, kelahiran, haid, penyusuan, suara lahirnya bayi, aib

fisik wanita tertutup baju seperti luka dan retak, begitu juga masalah

selesainya iddah.34 Meski begitu, mereka berbeda pendapat mengenai

jumlah saksi perempuan tersebut supaya kesaksian mereka diterima.

Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa kesaksian seorang

wanita yang adil bisa diterima. Adapun ulama bermazhab Maliki

berpendapat bahwa kesaksian wanita bisa diterima jika terdii dari dua

orang. Adapun ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa minimal harus

empat orang wanita sebab Allah swt menetapkan bahwa saksi laki-laki

satu adil setara dengan dua saksi perempuan yang adil.35

Kesaksian perempuan bersama laki-laki diterima selagi berkitan

dengan semua kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah keuangan

dan agama. Adapun dalam kasus zina, hud{ud, atau qis}a>s, menurut

mayoritas ahli fikih kesaksian perempuan tidak diterima.36

34

Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa’adilatuhu.., 190. 35

Ibid., 191. 36

Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundhir al-Nisuburi, al-Ijma>’, dalam Henri

Shalahuddin, ‚Konsep Kesetaraan dalam Kesaksian Perempuan: Antara Perspektif Wahyu dan

(45)

36

B.Teori Mas}lah}ah dalam Hukum Islam

1. Definisi Mas}lah}ah

Dilihat dari segi bahasa metode mas}lah}ah yang berasal dariحل ص ي

-حل ص diartikan sebagai حاص لا yaitu “kebaikan” atau داس ف لا د 37 yaitu

“lawan dari kerusakan”. Pemahaman yang tidak jauh berbeda dari para

pakar ushul fikih, selain memahaminya sebagai حاص لا, mereka biasanya

juga menyebut metode ini dengan sebutan ةع ف ن م لا. Yaitu “sesuatu yang

bermanfaat”. Sesuatu yang mengandung kebaikan di dalamnya, baik untuk

memperoleh kemanfaatan, kebaikan, maupun menolak kemadharatan,

maka semua itu bisa disebut mas}lah}ah. Adapun pengertian mas}lah}ah

secara terminologi ada beberapa pendapat dari ulama di antara lain:

a. Al-Khawarizmi, menjelaskan yang dimaksud al-mas}lah}ah adalah

memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindari kemafsadahan dari

manusia. Dari pengertian tersebut beliau memandang mas}lah}ah dari

satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadah semata, padahal

kemasalahatan mempunyai sisi penting yang justru lebih penting, yaitu

meraih manfaat.38

b. Menurut Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur sebagaimana yang dikutip

oleh Kemal Muhtar bahwasannya ketentuan-ketentuan hukum baru

yang berhubungan dengan peristiwa atau masalah-masalah baru dapat

37

Muhammad Ibn Mukram bin Manzhur, Lisa>n al-‘Arab, Jilid II, (Beirut: Dar ash-Shadir, Tth), 516.

38

(46)

37

ditetapkan berdasarkan dalil mas}lah}ah karena adanya alasan-alasan

berikut ini:39

1) Hukum itu dapat mewujudkan kebaikan masyarakat, dengan

adanya hukum itu dapat ditegakkan kebaikan masyarakat dengan

sebaik-baiknya.

2) Hukum itu dapat menolak atau menghindarkan kerusakan dan

kerugian bagi manusia baik terhadap individu maupun masyarakat.

3) Hukum itu harus dapat menutup pintu-pintu yang mengarah pada

perbuatan terlarang. Ada suatu perbuatan yang hakikatnya boleh

dikerjakan, namun jika pekerjaan itu ketika dikerjakan akan

membuka pintu kemadharatan maka hal itu termasuk perbuatan

terlarang.

Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa mas}lah}ah

merupakan tujuan dari adanya syari’at Islam, yakni memelihara agama,

memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan, serta

memelihara harta.

2. Macam-macam Mas}lah}ah

Pembagian mas}lah}ah dapat ditinjau dari beberapa segi antara lain,

mas}lah}ah berdasarkan tingkat kebutuhannya, mas}lah}ah berdasarkan ada

atau tidaknya Syariat Islam dalam penetapannya.

39

Kemal Muhtar, Mas}lah}ah Sebagai dalil Penetapan Hukum Islam dalam M. Amin Abdullah,

(47)

38

a. Mas}lah}ah berdasarkan tingkat kebutuhannya

Mas}lah}ah berdasarkan tingkat kebutuhannya sebagaimana merujuk

kepada pendapat al-Syatibi dalam menjaga lima tujuan pokok syari’at

(Maqa>s}id Syari’ah), maka al-Syatibi membaginya kepada tiga kategori

dan tingkat kekuatan kebutuhan akan mas}lah}ah, yakni:

1) Al-Mas}lah}ah al-D{aru>riyah (kemaslahatan primer) adalah

kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat

manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terdiri atas lima

yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,

memelihara keturunan, memelihara harta.

2) Al-Mas}lah}ah al-Hajiyyah (kemaslahatan sekunder) adalah sesuatu

yang diperoleh oleh seseorang untuk memudahkan dalam menjalani

hidup dan menghilangkan kesulitan dalam rangka memelihara lima

unsur di atas, jika tidak tercapai manusia akan mengalami

kesulitan seperti adanya ketentuan ruksh}ah (keringanan) dalam

ibadah.

3) Al-Mas}lah}ah Tahsiniyah (kemaslahatan tersier) adalah memelihara

unsur pokok dengan cara meraih dan menetapkan hal-hal yang

pantas dan layak dari kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik, serta

menghindarkan sesuatu yang dipandang sebaliknya oleh akal.40

(48)

39

b. Mas}lah}ah dilihat dari segi keberadaan mas}lah}ah menurut syara’

Sedangkan mas}lah}ah dilihat dari segi keberadaan mas}lah}ah menurut

syara’ dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Al-Mas}lah}ah al-Mu’tabarah, yaitu mas}lah}ah yang secara tegas

diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum

untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan berjihad untuk

memelihara agama dari musuh, diwajibkan hukuman qishash untuk

menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman atas peminum khamr

untuk memelihara akal, ancaman hukuman zina untuk memelihara

kehormatan dan keturunan, serta ancaman hukum mencuri untuk

menjaga harta.

2) Al-Mas}lah}ah al-Mulgha>, yaitu sesuatu yang dianggap mas}lah}ah

oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyatannya

bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya, ada anggapan

bahwa menyamakan pembagian waisan antara laki-laki dan anak

perempuan adalah mas}lah}ah. Akan tetapi kesimpulan seperti itu

bertentangan dengan ketentuan syari’at, yaitu surat an-Nisa>’ ayat

11 yang menegaskan bahwa pembagian anak laki-laki dua kali

pembagian anak perempuan. Adanya pertentangan itu

menunjukkan bahwa apa yang dianggap mas}lah}ah itu, bukan

mas}lah}ah di sisi Allah.

3) Al-Mas}lah}ah al-Mursalah, adalah mas}lah}ah yang secara eksplisit

(49)

40

menolaknya. Secara lebih tegas mas}lah}ah al-mursalah ini termasuk

jenis mas}lah}ah yang didiamkan oleh nash. Dengan demikian

mas}lah}ah al-mursalah merupakan mas}lah}ah yang sejalan dengan

tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam

mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia agar terhindar

dari kemudharatan.41

41

(50)

41 BAB III

AMINA WADUD DAN PEMIKIRANNYA TENTANG

KESAKSIAN WANITA

A.Biografi Amina Wadud

Cara terbaik memahami karakter dan

Gambar

Tabel 1.1 Klasifikasi Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Kesaksian Perempuan
Tabel 2.1 Kedudukan Saksi Wanita dalam Perkara Keluarga

Referensi

Dokumen terkait

satu partner dari Bank dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) sebagai salah satu alat penunjuk arah atau lokasi ( Location Based Services /LBS) berbasis

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id.. pemisahan antara harta suami atau harta istri

Kewenangan yang dimiliki Majelis Pengawas Pusat adalah untuk menjalankan sanksi tersebut berdasarkan pada Pasal 84 UUJN yang menyatakan bahwa: “Tindakan pelanggaran yang

Penelitian yang dilakukan oleh (Mindaputra, 2009) menemukan bahwa algoritma koloni semut sering digunakan untuk penyelesaian masalah pencarian jalur terpendek salah

(2007) Laboratorium Pemrograman dan Informatika Teori Universitas Islam Indonesia Yogyakarta [4] dengan permasalahan yaitu Seringkali penyelesaian masalah jalur

Adapun hubungan antar entitas yang terbentuk pada diagram ER desain logikal dalam perancangan basis data ini, disesuaikan dengan informasi yang akan dihasilkan dari sistem

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan diri dalam bidang akademik (academic

1) Tabel isian dan semua peralatan yang akan digunakan, disiapkan. 2) Bingkai/kuadran ukuran 1m x 1m dilempar secara acak di petak pengamatan sesuai dengan jumlah cuplikan yang