TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI PIRING BONUS DI TOKO NURUL ILMU MAUMERE NUSA TENGGARA TIMUR
SKRIPSI
Oleh Wasita Lianasari NIM. C72212135
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Surabaya
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI PIRING BONUS DI TOKO NURUL ILMU MAUMERE NUSA TENGGARA TIMUR
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh: Wasita Lianasari NIM. C72212135
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
ABSTRAK
Skripsi dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Piring Bonus Di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur, ini merupakan penelitian yang akan menjawab permasalahan, 1) Bagaimana praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur? 2) Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur?
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan menggunakan analisis teknik kualitatif, yaitu menggambarkan kondisi, situasi, atau fenomena yang tertuang dalam data yang diperoleh tentang praktik jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere. Kemudian dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yakni dengan menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal mengenai konsep jual beli. Setelah menjelaskan konsep-konsep akan dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan.
Praktek jual beli piring bonus yang terjadi di Toko Nurul Ilmu dilakukan oleh pemilik toko dan konsumen/pembeli dengan cara pembeli datang ke toko dan berniat untuk membeli piring. Dari pihak pembeli tidak mengetahui bahwasannya piring tersebut merupakan piring bonusan yang sebenarnya piring tersebut merupakan satuan/gandengan dari deterjen Daia, yang mana apabila setiap pembelian deterjen Daia mendapatkan bonus piring. Pada praktek transaksi jual beli piring antara pemilik toko dan pembeli sah. Namun, status dari objek jual beli atau piring tersebut adalah piring bonus yang tidak lepas dari beberapa syarat yang menyangkut mengenai barang jual beli. Prakteknya barang yang dijual itu adalah milik pembeli deterjen Daia, bukan milik dari pemilik toko, maka jual belinya berubah menjadi jual beli batal, karena menjual bukan barang miliknya. Yang mana arti dari jual beli batal adalah apabila salah satu atau seluruh rukun dan syarat tidak terpenuhi, atau jual beli yang pada dasarnya tidak disyariatkan, maka jual beli tersebut menjadi batal. Maka hukum jual beli piring bonus adalah haram, karena mengandung macam-macam jual beli yang batal.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
I. Rukun Hadiah ... 51 J. Dasar Hukum Hadiah ... 51
BAB III : PRAKTEK JUAL BELI PIRING BONUS DI TOKO NURUL ILMU MAUMERE NUSA TENGGARA TIMUR
A. Gambaran Tentang Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa
Tenggara Timur ... 53 B. Gambaran Umum Piring Bonus ... 57 C. Praktek Jual Beli Piring Bonus di Toko Nurul Ilmu
Maumere Nusa Tenggara Timur ... 59
BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI PIRING BONUS DI TOKO NURUL ILMU MAUMERE NUSA TENGGARA TIMUR
A. Tinjauan Praktek Jual Beli Piring Bonus di Toko
Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur ... 67 B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Piring
Bonus Di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara
Timur ... 68
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah yang sempurna, dan mulia diantara makhluk penghuni jagat raya lainnya. Allah memberikan akal fikiran kepada manusia yang tidak sama dengan makhluk penghuni lain, manusia dapat berfikir dengan akalnya menentukan mana yang baik dan buruk.
Secara kodratnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian, ia selalu membutuhkan bantuan diantara yang lain. Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dalam jual beli, sewa-menyewa, bercocok tanam, ataupun perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh.1
Maka dari itu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya supaya manusia dapat memenuhi kebutuhannya, sebagai manusia kebutuhan yang diperlukan tidak cukup hanya keperluan rohani saja, melainkan jasmani yaitu makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain. Untuk tercapainya kebutuhan jasmani, manusia tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berhubungan
1
2
dengan sesamanya dengan kata lain muamalah. Muamalah adalah hubungan manusia dengan manusia untuk mendapatkan alat-alat yang dibutuhkan jasmaninya dengan cara yang sebaik-baiknya, sesuai dengan ajaran dan tuntutan agama.2
Ruang lingkup muamalah dalam kegiatan ekonomi ialah ija@b qa@bul, saling
meridhai, tidak adanya keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera yang berkaitan dengan peredaran harta dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam mencapai kemajuan dan tujuan hidup manusia, diperlukan kerja sama dan kegotong-royongan sebagaimna di tandaskan dalam potongan ayat al-Quran firman Allah SWT, Surat Al-Maidah ayat 2:
Artinya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.3
Maksud dari potongan ayat diatas, tolong-menolonglah kalian sesama dalam hal yang baik tidak menentang hukum Islam. Dalam dunia muamalah banyak diantara mereka yang menjalankan muamalah tidak sedikit yang berbuat curang terhadap sesamanya, hal ini menentang hukum Islam bermuamalah.
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Taja Grafindo Persada, 2005), 2
3
Manusia dalam bermuamalah harus memperhatikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Untuk mempertahankan hidupnya manusia diberi kebebasan dalam memenuhi kebutuhannya, namun kebebasan tersebut tidak berlaku mutlak karena kebebasan itu dibatasi dengan kebebasan manusia yang lain, sehingga diperlukan saling toleransi agar tidak terjadi konflik yang menyebabkan manusia akan kehilangan peluang untuk memenuhi kebutuhannya. sebagaiman firman Allah dalam surat An Nisa’ 29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu”.4
Diantara bermuamalah terdapat akad jual beli, Jual beli yang dimaksud adalah jual beli yang diperbolehkan dalam Islam, baik dari segi jenis barangnya maupun dari proses transaksi yang dijalankan. Dan hal yang perlu diperhatikan dalam transaksi jual beli adalah kaidah-kaidah syariah yaitu aqidah, ilmu dan amal. Dalam bermuamalah akan menghasilkan transaksi antara dua orang atau lebih dalam memperoleh yang dibutuhkan. Akad akan terjadi apabila adanya transaksi terjadi, akad menurut segi etimologi adalah ikatan antara dua perkara, baik ikata secara nyata maupun ikatan maknawi, dari satu segi maupun dari dua
4
4
segi.5 Akad merupakan bukti nyata terjadinya transaksi diantara penjual dan pembeli, karena didalam pelaksanaan akad terdapat hukum yang guna melindungi apabila terjadi sengketa atau masalah yang timbul.
Transaksi jual beli merupakan alat untuk memperoleh barang dan jasa yang diinginkan, adapun masyarakat membutuhkan barang dengan cara membeli, masyarakat yang bekerja dengan berdagang menjualkan barang-barangnya kepada pembeli. Jual beli yang membawa kepadanya perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam, seperti memperdagangkan babi, arak, makanan dan minuman yang diharamkan oleh Allah, patung, salib, dan lukisan maka hukumnya haram dilakukan. Menjualkan barang dan jasa dengan cara yang bathil hukumnya haram. Ada sebuah ayat yang menjelaskan mengenai transaksi jual beli, sebagaiman firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
5
5
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”6
Dengan sekian banyak kerja sama dan perhubungan manusia, maka ekonomi perdagangan termasuk salah satu diantaranya. Bahkan aspek ini sangat penting perannya dalam mewujudkan kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Perdagangan itu sendiri merupakan kegiatan sosial dan ekonomi dalam aktivitas hidup dan kehidupan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang berperilaku ekonomi.7 Walaupun demikian sebagaimana manusia dalam perdagangan, bisnis atau perniagaan tidak boleh lepas dari nilai-nilai keislaman. Dalam leteratur bisnis juga disebut perdagangan dalam artian sempit, dalam artian luas bisnis merupakan usaha yang berkaitan dengan dunia ekonomi dan politik.
Dalam menjalankan perdagangan harus memiliki sifat jujur, karena jujur lebih berharga dibanding sifat lainnya. Kejujuran membawa kalian kepada keberkahan dan jalan yang lurus.
Orang yang telah terjun dalam kegiatan usaha, sudah seharusnya mengetahui hak-hak yang didapatkan sehingga dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak (fasid). Hal tersebut dimaksudkan dengan tujuan agar kegiatan muamalah dapat berjalan dengan sah dan segala pikiran dan tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan. Tidak banyak umat muslimin yang mempelajari muamalah, mereka telah lalai sehingga tidak mempedulikan jika
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, Cet. IV, 2013), 83 7
6
mereka memakan barang haram sekalipun semakin hari usahanya akan meningkat dan mendapatkan keuntungan yang melimpah.8
Para Ulama fiqh telah merumuskan sekian banyak rukun dan syarat sahnya jual beli yang mereka pahami dari nash al-Quran maupun hadis Rasulullah SAW. Salah satu syarat jual beli yang harus dipenuhi adalah barang yang diperjualbelikan adalah milik sendiri (orang yang melakukan akad). Tidaklah sah orang yang menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya atau menjual barang yang hendak menjadi miliknya.9
Sama halnya terjadi transaksi di Toko Nurul Ilmu yang menjualkan piring bonus. Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur adalah sebuah toko sembako yang menjualkan sembilan bahan pokok yang terdiri atas berbagai bahan-bahan makanan dan minuman secara umum sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia secara umum. Tanpa sembako, kehidupan rakyat Indonesia bisa terganggu karena sembako merupakan bahan pokok utama sehari-hari yang harus dijual dipasar. Tidak hanya makanan dan minuman saja yang dijual, melainkan hingga peralatan mandi dan lain-lain.
Di Toko Nurul Ilmu menjual deterjen yang cukup dikenal masyarakat luas yaitu deterjen Daia produk dari Wings, dimana perusahaan Wings memberi promo yang tertera dibungkus deterjen bonus satu piring cantik dengan harga (Rp. 18.000,00). Sebuah bonus atau hadiah yang tertera dibungkus detergen merupakan sebuah alat untuk menarik peminat pelanggan atau konsumen untuk membeli detergen tersebut, sehingga bonus piring yang didapatkan dari
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah , Terjemahan, Jilid 12, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 46
7
perusahaan dari setiap pembelian deterjen Daia harus diberikan kepada pembeli deterjen, karena piring itu merupakan bonus dari deterjen Daia dan merupakan hak milik dari pembeli deterjen, tapi tidak dilakukan oleh pemilik toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur, yang dilakukan pemilik toko menyimpan dan tidak memberikan bonus piring tersebut kepada pembeli deterjen melainkan piring tersebut dijual kepada beberapa warung makan disekitar pasar. Harga piring yang dipejualbelikan (Rp. 35.000,00) per lusin (dua belas biji).10 Hal yang dipikirkan oleh masyarakat bahwasannya bonus piring tersebut harus dimiliki oleh pembeli detergen tersebut.
Berangkat dari permasalahan ini kemudian memberikan motivasi kepada penulis berkeinginan untuk membahas dan meneliti permasalahan guna mencari jawaban mengenai masalah hukumnya yang dihadapi dalam praktek jual beli piring bonus di toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dianggap perlu bagi penulis untuk mengadakan penelitian dengan pembahasan yang lebih jelas mengenai praktek jual beli piring bonus di toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu, ditarik suatu permasalahan dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual Beli Piring Bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur”.
10
8
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat peneliti identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Status piring bonus.
2. Pihak yang menjual piring bonus.
3. Praktik penjualan piring bonus di toko nurul ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
4. Faktor mengapa piring bonus tidak diberikan kepada pembeli.
5. Konsep hukum Islam tentang jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
Batasan masalah ini bertujuan memberikan batasan yang paling jelas dari permasalahan yang ada untuk memudahkan pembaasan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti memberikan batasan yaitu :
1. Permasalahan praktek penjualan piring bonus di toko nurul ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
9
C. Rumusan Masalah
berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana praktik jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan ini tidak melakukan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada. Berdasarkan deskripsi tersebut, posisi penelitian yang akan dilakukan harus dijelaskan.11 Sehingga penelitian/kajian ini benar-benar tidak ada pengulangan materi secara mutlak.
Setelah ditelususri ada beberapa Penelitian terdahulu yang membahas jual beli barang temuan, yang ditulis oleh Vittris Susanti, 2012, yaitu dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Jual Beli Barang Temuan di Sungai
Kalingapuri Desa Pangkakulon Kecamatan Ujung Pangka Kabupaten Gresik”. Pada skripsi ini membahas tentang jual beli barang temuan yang ditemukan di sungai Kalingapuri Desa Pangkakulon Kecamatan Ujungpangka Kabupaten Gresik. Barang temuan itu milik kapal muatan kemudian tenggelam dan barang
11
10
tersebut hanyut. Barang temuan tersebut dijual dengan harga yang ditentukan sendiri dan berbeda dengan harga di toko lainnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa transaksi ini bertentangan dengan hukum Islam karena transaksi ini tidak memenuhi syarat jual beli yakni objek. Hasil dari penelitian ini yaitu, menurut analisis hukum Islam jual beli tersebut tidak sah karena termasuk tindak pencurian begitu pula dengan hukum positif.12
Dalam skripsi lain oleh Ahmad Sathori, 2014, juga membahas tentang masalah jual beli tanah sengketa dengan skripsi yang berjudul ”Analisis Hukum
Islam dan Hukum Positif terhadap Jual beli Tanah yang Bersengketa (Studi Kasus Tanah Tambak di Jl. Keputih 67, Sukolilo Surabaya). Dalam skripsi ini
disimpulkan studi kasus jual beli tanah sengketa di Jl. Keputih 67 Sukolilo Surabaya dianggap tidak sah dan termasuk tindak pencurian, karena prosedurnya tidak sesuai dengan syariat Islam seperti tidak adanya bukti-bukti transaksi dan saksi pada saat terjadinya peralihan hak atas tanah.13
Skripsi lain dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap Jual Beli
Handphone (HP) servis yang tidak diambil oleh pemiliknya di Counter Kaafi
Cell dan Anugrah Cell Sidoarjo”, oleh Farikhatul Masito, 2012. Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa praktek jual beli handphone servis yang tidak diambil oleh pemiliknya di Counter Kaafi Cell dan Anugrah Cell Sidoarjo sama dengan praktek jual beli pada umumnya, yang membedakan adalah handphone yang
11
diperjualbelikan bukan milik penjual (Counter Kaafi Cell dan Anugrah Cell
Sidoarjo) melainkan milik konsumen yang memperbaiki handphonenya di counter tersebut. Seseorang yang menserviskan handphonenya di Counter Kaafi Cell dan Anugrah Cell Sidoarjo, setelah handphonenya selesai diperbaiki pemilik handphone mendapat pemberitahuan bahwa handphonenya sudah bisa diambil,
akan tetapi jika pemilik handphone tidak mengambil handphonenya dalam waktu yang cukup lama karena beberapa alasan, maka pihak counter menjual handpone tersebut. Hasil dari penelitian ini, jual beli tersebut hukumnya tidak
sah atau disebut juga dengan bathil, sebab tidak terpenuhinya syarat sah objek jual beli.14
Dari beberapa penelitian di atas, tentunya berbeda dengan apa yang akan disusun oleh penulis. Dalam penulisan ini penulis akan membahas tentang hukum Islam jual beli piring bonus di toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur kepada warung di pasar, dan tersusun menjadi judul: “Tinjauan Hukum
Islam terhadap Jual Beli Piring Bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur”.
12
E. Tujuan Penelitian
Penulis dalam meneliti permassalahan ini, dengan tujuan untuk mengetahui :
1. Praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Dengan adanya penelitian ini dapat berguna bagi pembacanya, dan bermanfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis, sebagai berikut :
1. Kegunaan Secara Teoritis
a. Sebagai pertimbangan bagi studi-studi selanjutnya, pada masalah tinjauan hukum Islam terhadap jual beli piring bonus dan menambah bahan pustaka.
b. Sebagai tempat informasi ilmu pengetahuan praktik dari jual beli piring bonus.
2. Kegunaan Secara Praktis
13
b. Dapat dijadikan pijakan untuk implemenstasikan oleh masyarakat umum mengenai aspek yang berkaitan dengan manfaat ditinjau dari hukum Islam.
G. Definisi Operasional
Agar tidak terjadinya kesalahpahaman terhadap judul skripsi “Tinjauan
Hukum Islam terhadap Jual Beli Piring Bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur,” maka perlu dijelaskan arti dari kata judul tersebut,
sebgai berikut :
Hukum Islam : Segala ketentuan hukum yang berdasarkan Dalil Qur’an, Hadits, dan pendapat ulama yang
dalam hal ini berkaitan dengan jual beli dan hadiah.
Jual Beli Piring Bonus :Jual beli piring bonus merupakan suatu transaksi kegiatan ekonomi antara penjual dan pembeli dengan objek piring, yang sebenarnya piring tersebut didapat dari pemilik toko (penjual) dengan gratis karena dengan setiap pembelian detergen Daia.
14
masyarakat di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research)
yaitu penelitian yang objeknya mengenai gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kelompok masyarakat. Sehingga penelitian ini juga bisa disebut penelitian kasus dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini digunakan untuk meneliti praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur. 2. Waktu dan tempat
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 30 Mei 2016 sampai 30 Juni 2016, bertempat di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur. 3. Data yang dikumpulkan
Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu objek uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek.15
Data yang dapat
dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah: a. Data tentang praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu
Maumere Nusa Tenggara Timur.
b. Apa yang melatar belakangi tentang jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
15
4. Subjek Penelitian
Subyek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian. Subyek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki
kredibilitas untuk menjawab dan memberikan informasi dan data
kepada peneliti yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun subyek penelitian ini sebgai berikut :
a. Pihak yang menjualkan pring bonus b. Pihak yang membeli piring bonus 5. Sumber data
Sumber data yang penulis gunakan untuk dijadikan pedoman dalam literatur ini meliputi data primer dan sekunder, sebagai berikut : a. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara) yang secara khusus di kumpulkan oleh peneliti untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Data ini diperoleh peneliti dari hasil wawancara dan terjun ke lapangan dengan para pihak yang terlibat dalam kegiatan jual beli piring bonus. Para pihak yang terlibat antara lain:
1) Pemilik toko Nurul Ilmu yang menjual piring bonus tersebut. 2) Pembeli piring di Toko Nurul Ilmu
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara
16
peneliti yang berupa studi kepustakaan, yaitu dengan cara mempelajari melalui internet dan buku-buku referensi tentang penelitian ini. Buku yang digunakan, antara lain:
1) Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat. 2) Helmi Karim, Fiqh Muamalah.
3) M. Ali Hasan, Berbagi Transaksi dalam Islam. 4) Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah.
5) Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah. 6) Satria Effendi, Ushul Fiqh.
7) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terjemahan, Jilid 12. 8) Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. 9) Yusuf Qordhawi, Halal dan Haram dalam Islam. c. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti, antara lain:
a. Observasi
Metode observasi data pengamatan ini merupakan strategi pengumpulan data mengenai apa yang mereka lakukan dan benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan mereka.16 Dalam teknik ini, peneliti memperoleh data mengenai praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
17
b. Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan agar mendapatkan informasi dan data lapangan secara langsung dari responden yang dianggap valid atau tidak dilihat dari dokumentasi. Wawancara merupakan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh kepada subjek penelitian unuk dijawab.17 Wawancara yang digunakan berpedoman pada wawancara terstruktur, sehingga memiliki pertanyaan yang sudah direncanakan, khususnya kepada pemilik toko, penjual piring bonus dan pembeli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen.18 Pengumpulan data dokumen merupakan metode yang digunakan peneliti untuk menelusuri data historis yang berisi sejumlah fakta yang berbentuk dokumen, hal ini sebagai pelengkap data penelitian, data sebagai penunjang dari hasil wawancara dan observasi.
Dalam teknik ini, peneliti mendapatkan data-data yang berupa dokumentasi seperti foto, video, rekaman hasil wawancara
18
dan dokumen-dokumen yang ada sebagai kelengkapan penelitian ini.
d. Teknik Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul perlu adanya pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kelengkapan data yang dikumpulkan. Teknik ini digunakan untuk meneliti kembali data-data yang diperoleh.19 Hal tersebut dilakukan untuk memeriksa kembali data-data tentang praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur, guna sebagai kelengkapan data-data dan sumber-sumber studi dokumentasi.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang diperoleh.20 Dengan teknik ini, diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran tentang jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
c. Analizing, adalah dengan memberikan analisis lanjutan terhadap hasil editing dan organizing data yang telah
19 Soeratno, Metode Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UUP AMP YKPM, 1995), 127.
19
diperoleh dari sumber-sumber penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnya sehingga diperoleh kesimpulan.21 Kesimpulan dari hasil data mengenai jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur dan dapat disesuaikan dengan hukum Islam.
e. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu data yang dihasilkan dari penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.22 Sehingga teknis analisis data yang digunakan adalah deskriptif. Analisis deskriptif adalah menggambarkan dan menguraikan secara menyeluruh mengenai objek yang diteliti.
Dalam pola pikir induktif, yakni memaparkan data-data kasus yang didapatkan kemudian menjadi kesimpulan yang di analisis dengan hukum Islam mengenai jual beli piring bonus, dengan menyatakan keadaan atau fenomena hukum yang terjadi di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
Penulis akan menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal mengenai konsep jual beli. Setelah menjelaskan konsep-konsep akan dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan.
21
Ibid., 195 22
20
I. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan dalam penelitian ini tidak keluar dari jalur penelitian dan lebih mudah untuk dipahami serta lebih sistematis dalam penyusunannya, maka penulis membagi lima bab dalam penulisan pada penelitian ini, sistematika masing-masing bab sesuai dengan urutan sebagai berikut:
Bab pertama adalah berisi pendahuluan: terdiri dari penulis membahas latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, serta metode penelitian yang digunakan dalam memperoleh data yang diperlukan dan sistematika pembahasan.
Bab kedua menjelaskan tentang landasan teori dari penelitian yaitu tentang konsep jual beli dalam hukum Islam, yang meliputi pengertian jual beli dalam hukum Islam, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli dan macam-macam jual beli. Dan juga konsep dari hadiah, yang meliputi pengertian hadiah dan rukun hadiah.
Bab ketiga, menjelaskan tentang praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur, yang berisi gambaran umum Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur, dan praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur, selain itu memuat tentang latar belakang transaksi jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur.
Bab keempat, menjelaskan tinjauan hukum Islam terhadap jual beli piring
21
tinjauan praktek jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tengara Timur, tinjauan hukum Islam terhadap jual beli piring bonus di Toko Nurul Ilmu Maumere Nusa Tenggara Timur dan menganalisis status dari piring bonus apakah itu merupaka hak milik penjual atau hak milik konsumen terakhir.
BAB II
JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Allah SWT telah menentukan bahwa manusia tidak mungkin memenuhi
kebutuhannya sendiri, apalagi pada zaman yang semakin modern ini, dimana
manusia membutuhkan bermacam dan berbagai kebutuhan jasmani dan
rohaninya. Kebutuhan tersebut tak hentinya dan senantiasa diperlukan
selama manusia itu hidup, tidak seorangpun dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sendirian, maka dari itu manusia dituntut untuk berinteraksi
dengan sesamanya dalam menciptakan pertukaran, yakni seseorang
memberikan apa yang dimilikinya untuk memperoleh sesuatu sebagai
pengganti sesuai kebutuhannya dari sesamanya dan begitu sebaliknya.
Secara etimologis, jual beli berarti pertukaran mutlak. Kata al-bai’ ‘jual’
dan asy-syiraa ‘beli’ penggunaannya disamakan antara keduanya. Keduanya
masing-masing mempunyai pengertian lafadz yang sama dan pengertian
berbeda. Dalam syariat Islam, jual beli adalah pertukaran harta tertentu
dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya, atau dengan
pengertian lain memindahkan hak milik dengan hak milik lainnya berdasarkn
persetujuan dan hitungan materi.1
23
Jual beli menurut bahasa berasal dari kata al-Ba>i’ yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar (sesuatu dengan ya ng lain), dan diambil dari kata
asal ba’a, yab’u, bay’an. Kata al-Ba>i’ dalam bahasa arab terkadang
digunakan untuk kata lawannya, yakni as-Shira’ (beli). Dengan demikian,
kata al-Ba>i’ berarti jual, tapi sekaligus berarti beli.2
Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua kata yaitu “jual” dan
“beli”. Sebenarnya kata “jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu sama
lainnya bertolak belakang. Kata jual menunjukkan bahawa adanya dua
perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lainnya
membeli maka dalam hal ini terjadi transaksi jual beli.3
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan
para ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi
sama, antara lain:
ُةَلَد اَبُم
ِهْيِف ِنْوُذْأَمْلا ِهْجَوْلا ىَلَع ٍضَوِعِب ٍكْلِم ُلْقَ ن ْوَا ,يِضاَرَ تلا ِلْيِبَس ىَلَع ٍلاَِِ ٍلاَم
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan”. Atau, “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.4
Dalam definisi diatas terdapat kata “harta”, “milik", “dengan”, “ganti”
dan “dapat dibenarkan” (al-ma’dzun fih). yang dimaksud harta dalam
definisi diatas adalah segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka
dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat; yang dimaksud milik
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progessif, cetakan 14, 1997), 55.
3 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),
hal 113
24
agar dapat dibedakan dengan yang bukan milik; yang dimaksud dengan ganti
agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian); sedangkan yang dimaksud
dapat dibenarkan (al-ma’dzun fih) agar dapat dibedakan denga jual beli yang
terlarang.5
Definisi lain yang dikemukakan Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah
al-Zuhaily, jual beli adalah : menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu
yang bermanfaat”.
Dalam definisi ini terkandung pengertian “cara yang khusus”, yang
dimaksud Hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab dan
kabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari
penjual dan pembeli.di samping itu, harta yang diperjualbelikan harus
bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah tidak
termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak
bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap
diperjualbelikan menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.6
Definisi lain yang dikemukakan dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily, jual beli
25
“Saling Menukar harta denga harta dalam bentuk pemindahan milik dan
pemilikan”.7
Dalam definisi tersebut ditekankan kata “milik dan pemilikan” karena
adanya tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti
sewa-menyewa (al-ijarah).8
Adapun makna daribai’ (jual beli) menurut istilah ada beberapa definisi
dan yang paling bagus adalah definisi yang disebutkan oleh Syaikh
Al-Qalyubi yang sebagaimana dikuti oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam
bahwa: “akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada
kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu
selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah SWT”, dengan kata
lain saling mengganti maka tidak termasuk didalmnya hibah, dan yang lain
yang tidak ada saling ganti.9
Lafal al-bai’ (jual ) dan asy-syirâ’ (beli) kadang-kadang digunakan untuk
satu arti yang sama, misalnya dalam firman Allah SAW pada Surah Yusuf
(12) ayat 20:
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t, Juz V), 302
8 Ibid.,
9 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), 24.
10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, Cet. IV, 2013),
26
Dalam ayat ini lafal
ُهْوَرَش
(membeli) digunakan untuk artiُهْوُعاَب
(menjual),ini menunjukkan bahwa kedua lafal tersebut termasuk lafal musytarak untuk
arti yang berlawanan.11
Beberapa pendapat tentang pengertian jual beli di atas dapat disimpulkan
bahwa jual beli adalah kegiatan tukar-menukar barang dengan barang atau
tukar-menukar sejumlah barang dengan sejumlah nilai mata uang tertentu.
Jual beli juga dapat diartikan sebagai kegiatan menukar barang dengan
barang lain dengan cara tertentu (akad) dengan nilai suka sama suka diantara
kedua belah pihak, yang satu menerima benda dan yang pihak lain menerima
sesuai kesepakatan transaksi yang terjadi dibenarkan oleh syara’.
B. Dasar Hukum Jual beli
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW.12
1. Al-Qur’an
Terdapat beberapa ayat al-Qur’an, yang berbicara mengenai jual
beli, antara lain :
11 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), 174.
12
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli
yang berarti kita manusia berhak melakukan transaksi jual beli
dengan jalan yang hala dan akan diridhahi oleh Allah SWT,
sebaliknya mengharamkan jual beli yang mengandung unsur riba
sebaik-baik manusia mentaati perintah Allah SWT dan Jauhi
larangan-Nya.
b. Surat al-Baqarah ayat 198 :
Artinya : “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.14
Allah menyuruh kita untuk bekerja mencari rezeki untuk
keluarga dengan cara yang halal dan akan mendapatkan ridha-Nya.
c. Surat an-Nisa’ ayat 29 : kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.15
13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an..., 47. 14 Ibid., 31.
15
28
Dari penjelasan ayat al-Qur’an diatas bahwa Allah SWT
menyuruh umatnya untuk mencari penghasilan atau pendapatan
rezeki dengan jalan perniagaan yang diridhai Allah SWT bukan
dengan jalan yang bathil. Dan Allah menyuruh umatnya
melakukan perniagaan denga jalan suka sama suka, bukan dengan
cara pemaksaan penipuan yang mengakibatkan rusaknya hubungan
antara sesama manusia. Hikmah disyariatkannya jual beli adalah
setiap kebutuhan manusia bergantung pada apa yang ada di tangan
orang lain, sedangkan orang itu terkadang tidak rela untuk
memberinya.16
2. As-sunnah
Dasar hukum jual beli berdasarkan sunnah Rasulullah SAW,
antara lain :17
a. Hadist yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’ :
ْطَأ ِبْسَكْلا ّيَأ :ملس م هيلع ها ىلص َِِّلا َلِئُس
ِلُجَرلا ُلَمَع :َلاَقَ ف ؟ُبَي
)مكاحاو رازبا هاور( .ٍرْوُرْ بَم ٍعْيَ ب ّلُكَو ِهِدَيِب
“Rasulullah saw ditanya salah seorang sahabat mengenai
pekerjaan (profesi) apa yang paling baik, Rasulullah saw menjawab: usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli
yang diberkati” (HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim).18
16 Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subul As-Salam Syarah Bulughul Maram, jilid 2,
terj. Muhammad Isnan. et al, (Jakarta: Darus Sunnah, 2010), 306.
29
Yang dimaksud hadist diatas adalah jual beli yang jujur, tanpa
diiringi kecurangan-kecurangan, dan mendapat berkat dari Allah
SWT.
b. Hadis dari Ahmad, Rasulullah saw menyatakan:
ِلِطاَبْلاِب ْمُكَْ يَ ب ْمُكَلاَوْمَأ اوُلُكْأَت ََ اوَُمآ َنيِذَلا اَهّ يَأ اَي
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang haram, kecuali berjual beli dengan cara suka sama suka sesamamu, dan janganlah kamu
membunuh saudaramu (sesama muslim).19
Yang dimaksud hadis diatas adalah dalam melakukan transaksi
jual beli haruslah dengan nilai suka sama suka, karena membawa
keberkahan bagi semua pihak yang terlibat.
c. Hadis yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasulullah saw bersabda:
ىذمرلا هاور( ِءاَدَهّشلاَو َِْْقْيِدِصلاَو َِْْ يِبَلا َعَم َِْْمَأْا ُقْوُدَصلا ُر ِجاَتلَأ
“Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di
surga) dengan para nabi, shaddiqin, dan syuhada”.20
Bagi para pedagang yang menjualkan dagangannya sebaiknya
berlaku jujur, karena akan diberi tepat yang indah (surga) dihari
kelaknya.
Dari beberapa penjelasan ayat al-Qur’an dan sunah Rasululullah
SAW di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli mempunyai landasan
yang kuat, karena diperbolehkannya jual beli dan perniagaan dengan
30
suka sama suka. Sehinggan ulama sepakat mengenai kebolehan jual
beli (dagang) sebagai perkara yang telah dipraktekkan dari zaman
nabi hingga zaman modern saat ini.
Dan ada beberapa penjelasan ayat al-Quran dan sunnah Rasulullah
SAW diatas, yang dapat dikemukakan bahwa jual beli merupakan
pekerjaan yang di halalkan oleh Allah SWT, apalagi jika
dilakukannya dengan jujur dan rela.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Sahnya suatu perbuatan hukum menurut hukum agama Islam harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Maka dari itu bermuamalah
(jual beli) merupakan suatu akad yang dianggap sah apabila memenuhi
syarat dan rukun jual beli.
1. Rukun Jual Beli
Transaksi jual beli dianggap sah apabila dilakukan dengan ijab
qabul, kecuali barang-barang yang kecil yang hanya cukup dengan
mua’thaah (saling memberi) sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku pada
masyarakat tersebut. Tidak ada kata-kata khusus dalam pelaksanaan ijab
dan qabul karena ketentuannya tergantung pada akad sesuai dengan
tujuan dan maknanya, bukan berdasarkan atas kata-kata dan bentuk kata
tersebut.21
31
Rukun jual beli ada tiga bagian, yaitu akad (ijab qabul), orang
yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’qu>d ‘alaih (objek akad).22
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam
menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama
Hanafiyah dengan jumhur ulama.
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab
(ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari
penjual). Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu
hanyalah kerelaan (ridha/tarad}i) kedua belah pihak untuk melakukan
transaksi jual beli. Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu merupakan
unsur hati yang sulit untuk dilihat, maka perlu indikasi yang
menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual
beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui
cara saling memebrikan barang dan harga barang.23
Menurut jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada
empat, yaitu:24
a. Ada orang yang berakad atau al-muta’a>qidain (penjual dan
pembeli).
b. Ada shighat (lafal ijab dan qabul).
c. Ada barang yang dibeli.
32
d. Ada nilai tukar pengganti barang.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur
(rukun) jual beli ada tiga, yaitu:25
a. pihak-pihak,
b. objek dan
c. kesepakatan.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang
dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli,
bukan rukun jual beli.
2. Syarat Jual Beli
Jual beli dinyatalan sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat
berikut:26
a. Syarat-syarat pelaku akad
Bagi pelaku akad disayaratkan, berakal dan memiliki
kemampuan memilih. Contohnya untuk anak kecil, orang mabuk
dan orang gila dinyatakan tidak sah apabila melakuka transaksi.
Jika penyakit gila yang diderita pihak berakad sifatnya
temporer (kadang sadar dan kadang gila), maka akadnya yang
dilakukan pada waktu sadar dinyatakan sah, dan akad yang pada
saat dia gila maka akad dianggap tidak sah.
25 Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi hukum Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 30.
33
Dan anak kecil yang sudah mampu membedakan mana
yang benar dan yang slaah, maka sah akadnya, namun tergantung
izin walinya.
Menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang
dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti
menerima hibah, wasiat dan sedekah maka akadnya juga sah.
Sebaliknya, apabila akad ini membawa kerugian bagi dirinya
seperti meminjamkan hartanya kepada orang lain, mewakafkan
dan menghibahkan hartanya, maka tindakan ini tidak sah
hukumnya dan tidak boleh dilaksanakan.27 Segala transaksi anak
kecil yan mumayiz harus dalam pantauan dari walinya untuk
kemaslahatan anak tersebut.
b. Syarat-syarat sah yang terkait dengan Ijab Kabul
Para ulama sepakat bahwa unsur utama dari jual beli yaitu
kerelaan kedua belah pihak. Kedua belah pihak dapat dilihat dari
ijab dan kabul yang dilangsungkan. Menurut ulama ijab dan kabul
perlu diungkapkan secara jelas dalam transaksi-transaksi yang
bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti akad jual beli,
sewa-menyewa, dan nikah. Terhadap transaksi yang mengikat sala satu
pihak, seperti wasiat, hibah dan wakaf tidak perlu kabul, karena
akad seperti ini cukup dengan ijab saja. Bahkan menurut Ibn
Taimiyah (ulama fiqh Hanbali) dan ulama lainnya, sebagaimana
27
34
dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly dan kawan-kawan dari buku
fiqh muamalat,ijab pun tidak diperlukan dalam masalah wakaf.28
Apabila ijab kabul diucapkan dalam akad jual beli maka
pemilik barang atau uang telah berpindah tangan dari pemilik
semula. Barang yang dibeli berpindah tangan menjadi milik
pembeli, dan nilai/uang berpindah tangan menjadi pemilik penjual.
Untuk itu para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab
kabul itu sebagai berikut :
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal,
menurut jumhur ulama atau telah berakal menurut ulama
Hanafiyah, sesuai dengan perbedaan mereka dalam
syarat-syarat orang yang melakukan akad yang
disebutkan di atas.
2) Kabul sesuai dengan ijab. Misalnya penjual mengatakan:
“saya jual buku ini seharga Rp. 20.000,-“ lalu pembeli
menjawab: “saya beli buku ini dengan harga Rp. 20.000,
-“. Apabila antara ijab dan kabul tidak sesuai, maka jual
beli tidak sah.
3) Ijab kabul dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua
belah pihak yang melakukan jua beli hadir dan
membicarakan topik yang sama. Apabila penjual
mengucapkan ijab, lalu pembeli berdiri sebelum
35
mengucapkan kabul, atau pembeli mengerjakan aktivitas
lain yang tidak terkait dengan masalah jual beli,
kemudian ia ucapkan kabul, maka menurut kesepakatan
ulama fiqh jual beli ini tidak sah sekalipun mereka
berpendirian bahwa ijab tidak harus dijawab langsung
dengan kabul. Dalam kaitan ini, ulama Hanafiyah dan
ulama Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan kabul
bole saja diantarai oleh waktu, yang diperkirakan bahwa
pihak pembeli sempat untuk berpikir. Namun, ulama
Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa jarak
antara ijab dan kabul tidak terlalu lama yang dapat
menimbulkan dugaan bahwa obyek pembicaraan telah
berubah.29
c. Syarat-syarat barang akad
Syarat-syarat barang akad sebagai berikut:30
1) Suci (halal dan baik).
Hal tersebut derdasarkan hadis riwayat Jabir bahwa ia
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
.َماَْصَْأا َو َرْ يِزِْْْاَو َةَتْيَمْلاَو ِرْمَْْا َعْيَ ب َمَرَح َها َنِإ
“sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli
khamar, bangkai, babi dan patung-patung”.31
29
Ibid., 73.
30 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., 123.
36
Kata ia dala ucapan Rasulullah SAW diatas maksudnya
akad jual beli. Alasannya, bahwa barang jual beli dicela oleh
Rasulullah dalam tradisi jual beli kaum Yahudi adalah jenis
barang-barang yang disebutkan dalam hadis di atas.
2) Bermanfaat
Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, seperti
bangkai, khamr, dan darah tidak sah untuk diperjualbelikan,
karena dalam pandangan shara’ benda-benda tersebut tidak
bermanfaat bagi umat muslim.
Berbeda dengan hewan yang dapat diambil manfaatnya.
Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya guna berburu
dan memanfaatkan kulitnya maka diperbolehkan. Tidak
hanya itu, gajah diambil manfaatnya guna mengangkut
barang atau muatan.
Adapun jual beli anjing yang tidak jinak, tidak dibolehkan
karena Rasulullah SAW melarangnya. Sedangkan anjing
yang dapat dijinakkan seperti anjing penjaga keamanan,
tanaman, menurut Imam Abu Hanifah boleh
diperjualbelikan. An-Nakha’i berpendapat sebagaimana
dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa anjing yang dibolehkan
hanya anjing untuk berburu, dengan dalil hadis Rasulullah
yang diriwayatkan Nasa’i dan Jabir (al-Hafizh mengatakan
37
melarang mentukan harga (memperjualbelikan) bagi anjing
kecuali anjing untuk berburu.32
3) Milik orang yang melakukan akad
Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang yang ingin
memperjualbelikan barang tersebut maka tidak boleh
dijualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut atau
emas dalam tanah, karena ikan dan emas belum dimiliki oleh
penjual.33
Jual beli seperti itu akan mengakibatkan permasalahan
dikemudian hari, dikarenakan barang yang akan
diperjualbelikan belum pasti itu milik penjual atau bukan.
Maka tidak sah jual beli barang tanpa dimiliki, hal ini
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu."
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu."34
4) Mampu diserahkan oleh pelaku akad
32
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., 126.
33 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh..., 76.
38
Adapun yang dimaksud dengan hal ini, bahwa pihak
penjual (baik sebagai pemilik maupun sebagai penguasa)
dapat menyerahkan barang yang dijadikan sebagai objek jual
beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan
pada waktu penyerahan barang kepada pihak pembeli.35
Boleh diserahkan apabila akadnya secara syariah dan
konkret, contohnya ikan yang berada di dalam air, maka ini
tidak konkret hukumnya tidak sah. Barang yang tidak
mampu diserahkan karena alasan barang tersebut lari seperti
kucing yang kabur, burung yang masih di udara, dan harta
yang dirampas maka hukumnya tidak sah. Berdasarkan hadis
Nabi Muhammad SAW yang diriwatkan oleh Abu Hurairah
ra. : “Nabi Muhammad SAW melarang manjual barang yang
ada unsur penipuan”. Hal tersebut termasuk gharar
(penipuan), sebab itulah Ibnu Mas’ud berkata:
ََ
.ٌرَرَغ ُهَنِاَف ِءاَمْلا ِِْ َكَمَسلا اْوُرَ تْشَت
“jangan kalian membeli ikan yang masih berada didalam air, karena merupakan penipuan”.36
Karena maksud dari jual beli adalah memberikan hak
tas}arruf (berbuat) dan ini tidak mungkin terjadi pada barang
39
yang tidak bisa diserahkan dengan pertimbangan hilangnya
manfaat pada barang yang dibeli.
5) Mengetahui status barang (kualitas, kuantitas, jenis dan
lain-lain).
Jika barang dan nilai harga atau salah satunya tidak
diketahui, maka jual beli dianggap tidak sah karena
mengandung unsur gharar (penipuan). Dalil hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan Imam Muslim
ِرَرَغْلا ِعْيَ ب ْنَع َمَلَسَو ِهْيَلَع ُها ىَلَص ِها ُلوُسَر ىََ
“Bahwa Rasulullah SAW melarang menjual sesuatu yang tidak jelas (gharar)”.37
Syarat barang diketahui cukup dengan mengetahui
keberadaan barang tersebut sekalipun tanpa mengetahui
jumlahnya, seperti pada transaksi berdasarkan taksiran atau
perkiraan.38
6) Barang tersebut dapat diterima oleh pihak yang melakukan
akad.
Barang sebagai obyek jual beli dapat diserahkan pada saat
akad berlangsung, atau barang diserahkan pada waktu yang
telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.39
37
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010) 57.
38 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..., 131.
40
Adapun dalam transaksi jual beli, barang yang dapat
diterima oleh pihak pembeli, jika barang tersebut berada di
tangan pihak tersebut, dan jika tidak ada barang maka tidak
dapat terjadi transaksi jual beli. Dikarenakan dikhawatirkan
barang tersebut rusak sehingga disembunyikan oleh penjual.
d. Syarat-syarat nilai tukar (harga barang)
Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Terkait dengan masalah nilai tukar ini, para ulama fiqh membedakan al-thaman dengan al-si’r. Menurut mereka al-thaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual di pasar). Oleh sebab itu, harga yang dapat dipermainkan oleh para pedagang adalah al-thaman.40
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-thaman
41
3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayad}ah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh shara’ seperti babi dan khamr, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut
shara’.
D. Macam-macam Jual Beli
Ulama Hanafiyah membagi jual-beli dari segi sah atau tidaknya menjadi
tiga bagian, antara lain:42
1. Jual beli yang s}ah}i@h}
Jual beli yang dapat dikatakan s}ah}i@h} adalah jual beli yang telah
memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan, barang bukan milik
orang lain, dan tidak terikat dengan khiya@r lagi maka jual beli tersebut
s}ah}i@h} dan memikat kedua belah pihak. Contohnya seperti, seseorang
membeli suatu barang, seluruh rukun dan syarat jual belinya telah
terpenuhi. Barangnya juga telah diperiksa oleh pembeli, barang tidak ada
cacat atau rusak. Kemudian pembeli telah menyerahkan uang dan
barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiya@r.
2. Jual beli yang batil
Jual beli dikatakan sebagai jual beli yang batil apabila salah satu atau
seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang pada dasarnya tidak
42
disyariatkan. Maka jual beli tersebut batil. Jual beli batil dibagi atas
beberapa macam:43
a. Jual beli sesuatu yang tidak ada, ulama fiqh telah sepakat bahwa
jual beli barang yang tidak ada maka jual beli tersebut tidak sah.
Contohnya, menjual buah-buahan yang masih berkembang
(mungkin masih bisa jadi buah atau bahkan tidak), atau menjual
anak sapi yang masih dalam perut ibunya.
b. Menjual barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka
jual beli itu tidak sah (batil). Contohnya, menjual barang yang
hilang atau menjual burung peliharaan yang lepas dari sangkarnya.
c. Jual beli yang mengandung unsur tipuan, menjual barang yang ada
mengandung unsur tipuan maka tidak sah (batil). Contonya barang
yang terlihat baik namun baliknya terlihat tidak baik.
d. Jual beli benda najis, hal tersebut hukumnya tidak sah. Seperti,
menjual babi, bangkai, darah dan khamar (semua benda yang
memabukan). Disebabkan karena benda-benda tersebut tidak
mengandung makna dalam arti hakiki menurut syara’.
e. Jual beli al-‘urbun, merupakan jual beli yang bentuknya dilakukan
melalui perjanjian. Apabila barang yang sudah dibeli, dapat
dikembalikan kepada penjual maka uang muka yang diberikan oleh
pembeli menjadi milik penjual. Jumhur ulama mengatakan bahwa
jual beli itu terlarang atau tidak sah.
43
f. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak
boleh dimiliki seseorang, air yang disebutkan ini adalah air milik
bersama umat manusia dan tidak boleh diperjualbelikan. Menurut
Jumhur ulama air sumur pribadi, boleh diperjualbelikan karena air
sumur itu merupakan milik pribadi dari hasilusaha sendiri.
3. Jual beli yang fa@sid
Jumhur ulama tidak membedakan jual beli fa@sid dan jual beli batil,
menurut mereka jual beli terbagi atas dua macam, yaitu: jual beli s}ah}ih} dan
jual beli batil. Sedangkan, ulama Hana@fi@yah membedakan antara jual beli
fa@sid dan jual beli batil. Menurut Imam Hana@fi, muamalah yang fa@sid pada
hakikatnya atau esensinya tetep dianggap sah namun yang rusak atau tidak
sah adalah sifatnya.44
Menurut ulama Hana@fi@yah, jual beli yang fa@sid, antara lain sebagai
berikut:
a. Jual beli al-majhu@l yaitu benda atau barangnya secara kesluruhan
belum diketahui, dengan syarat ketidakjelasannya itu bersifat
menyeluruh. Namun apabia sifat ketidakjelasannya sedikit,
jualbelinya sah karena hal tersebut tidak membawa perselisihan.
b. Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan
penjual kepada pembeli: “Saya jual mobil saya ini kepada Anda
bulan depan setelah mendapat gaji”, menurut Jumhur ulama jual
seperti ini batal. Menurut ulama hanafiyah jual beli ini dipandang
44
sah setelah sampai waktunya yang disyaratkan dan ditentukan
telah berakhir.
c. Menjual barang yang ghaib yang tidak diketahui pada saat jual
beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli,
ulama Hana@fi@yah memeperbolehkan jual beli seperti ini apabila
sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-sifatnya terssebu
tidak berubah sampai barang itu diserahkan.
d. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta, jual beli tersebut
hukumnya sah, apabila orang buta tersebut memiliki hak khiya@r.
e. Barter barang dengan barang yang diharamkan, seperti
menjadikan barang-barang yang diharamkan sebagai harta.
f. Jual beli al-ajl, contoh jual beli seperti ini adalah seseorang
menjual barangnya senilai Rp 100.000,- dengan pembayaran
ditunda selama satu bulan. Setelah penyerahan barang kepada
pembeli, pemilik barang membeli kembali barang tersebut
dengan harga yang rendah mosalnya Rp 75.000,- sehingga
penjuak teteap berhutang kepada pemilik barang sebesar Rp
25.000,-.
g. Jual beli anggur untuk tujuan membuat khamr, apabila penjual
anggur tersebut mengetahui hal tersebut, maka hukumnya para
ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Sha@fi’i menganggap
jual beli itu sah, tetapi hukumnya makruh. Mazhab Ma@liki dan
45
h. Jual beli yang bergantung pada syarat, seperti ucapan pedagang:
“Jika kontan harganya Rp 1.200.000,- dan jika berhutang
harganya Rp 1.250.000,-, jual beli ini dinyatakan fa@sid.
i. Jual beli sebagian barang yang tidak dapat dipisahkan dari
satuannya, contohnya menjual tanduk kerbau yang diambil dari
kerbau yang masih hidup. Menurut Jumhur ulama hukumnya
tidak sah. Menurut Ulama Hana@fi@yah hukumnya fa@sid.
j. Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna
matang panennya, menurut ulama Hana@fi@yah jika buah-buahan
itu telah ada di pohonnya tatapi belum layak untuk dipanen maka
apabila pembeli disyaratkan untuk memanen buah-buahnya maka
jual beli itu sah. Apabila disyaratkan buah-buhan itu dibiarkan
sampai matang maka jual belinya fa@sid karena tidak sesuai
dengan tuntutan akad.
E. Pengertian Hibah
Secara bahasa kata hibah berasal dari bahasa Arab al-Hibah yang berarti pemberian atau hadiah bangun (bangkit). Kata hibah berasal dari
kata “hubu>bur ri>h” artinya muruuruha (perjalanan angina). Kemudian, dipakailah kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta atau bukan.45
Secara pengertian syara’, hibah berarti akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain pada saat dia masih hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memebrikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak keemilikan, maka hal itu disebut
46
i’a>rah “pinjaman”. Begitu juga jika seseorang memberikan harta berupa
khamar atau namgkai, maka hal tersebut tidak layak sebagai hadiah dan bukanlah sebuah hadiah. Jika hak kepemilikan belum terlaksana pada saat pemberinya masih hidup, tetapi diberikan setelah dia meninggal maka itu disebut wasiat, dan jika pemberian itu disertai dengan imbalan maka itu disebut jual-beli.46
Benda yang diberikan statusnya belum menjadi milik orang yang diberi kecuali benda itu telah diterima, tidak dengan semata-mata akad. Nabi Muhammad SAW pernah memberikan 30 buah kasturi kepada Najasyi, kemudian Najasyi meninggal dan ia belum menerimanya lalu Nabi mencabut kembali pemberiannya itu.47
Makna yang sudah dijelaskan diatas merupakan makna khusus hibah, ada beberapa makna umum dari hibah sebagai berikut:48
1. Ibraa yaitu menghibahkan utang kepada orang yang berutang.
2. Sedekah yaitu menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat.
3. Hadiah yaitu menuntut orang yang diberi hibah untuk
memberi imbalan.
F. Dasar Hukum Hibah
Para ulama fiqh sepakat bahwa hokum hibah itu sunnah. Hal ini didasari oleh nash al-Quran dan hadis Nabi.
1. Dalil al-Quran
47
Artinya:
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
“Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya.”50
“seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang tentu
aku akan menerimanya. Dan seandainya aku diundang untuk makan sepotong kaki binatang tentu aku akan mengabulkan
undangan tersebut”. (HR Ahmed dan at-Turemudzi)52
49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an..., 80.
50 Ibid., hal 29.
51 Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulûghul Marâm..., 383.
48
Adapun yang dimaksud dengan pemberian di sini adalah berujud benda. Sedangkan yang dimaksud dengan benda itu adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, dalam hal ini tentunya dapat berbentuk benda berujud (material) seperti memberikan buku, rumah, lemari dan lain-lain dan dapat juga berbentuk benda tidak berujud (immaterial) seperti memberikan kepada seseorang tertentu hak untuk mendiami rumah, Hak cipta, Hak Paten dan lain-lain.53
G. Rukun dan Syarat Hibah
1. Rukun Hibah
Adapun hibah sah berlaku melalui ijab-qabul dalam bentuk apapun selagi pemberian harta tersebut tanpa adanya imbalan. Misalnya
seorang penghibah berkata: “aku menghibahkan kepadamu, aku hadihkan kepadamu, aku berikan kepadamu”. Dan orang yang menerima berkata: “ya, aku terima”. Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa dipegangnya qabul didalam hibah. Kalangan mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab sudah cukup dan itulah yang paling shahih. Sedangkan kalangan mazhab Hanbali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan keterkaitan dengannya, karena Nabi SAW memberikan dan memberikan hadiah, begitu pula yang dilakukan para sahabat bahwa mereka tidak mensyaratkan ijab qabul dan sebagainya.54
Jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun hibah itu ada empat, yaitu:55
1. Orang yang menghibahkan (al-wahib)
53 Chairuman Pasaribu, Hukum perjanjian..., 115. 54 Sayyid Sabiq..., 437.
49
Orang yang berhak memberikan hartanya dan memiliki barang yang akan diberikan.
b. Barang yang tifak sah dijual, tapi sah diberikan
c. Kulit bangkai sebelum disamak tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
3. Lafal hibah
Yaitu ijab dan qabul berupa ucapan dari kedua belah pihak.
4. Orang yang menerima hibah (mauhub lahu).
2. Syarat Hibah
Hibah mengharuskan adanya pihal pemberi hibah, penerima hibah dan sesuatu yang dihibahkan, sebagi berikut:57
1. Syarat pemberi hibah
a) Pemberi hibah memilki barang yang dihibahkan
b) Pemberi hibah bukan orang yang dibatasi haknya. c) Pemberi hibah adalah baligh.
d) Pemberi hibah tidak dipaksa, sebab akad hibah
mensyaratkan keridhahan.
2. Syarat penerima hibah
Adapun syarat penerima hibah adalah hadir pada saat pemberian hibah, apabila tidak ada atau diperkirakan ada, misalnya janin, maka hibah tidak sah.
Apabila penerima hibah ada pada saat pemberian hibah, tetapi masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh