POTRET KEHIDUPAN MAHASISWA YANG TINGGAL DI KOST (Studi Kasus di Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo Surabaya)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi
Oleh:
ADILLA KHOIR
NIM. B05212001
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
J U R U S A N I L M U S O S I A L PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
ABSTRAK
Adilla Khoir, 2016, Potret Kehidupan Mahasiswa yang Tinggal di Kost (Studi
Kasus di Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo Surabaya), Skripsi
Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kata kunci: Potret Kehidupan, Mahasiswa dan Kost.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah tentang potret kehidupan mahasiswa yang tinggal di kost Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo Surabaya. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif studi kasus dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam melihat fenomena yang terjadi adalah teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman.
Dari hasil penelitian ini, ada beragam varian realitas sosial yang berhasil diungkap mengenai lima variabel prilaku individu yang menjadi fokus amatan penelitian ini (1) alasan mahasiswa memilih tinggal di kost karena atas dasar kenyamanan, (2) proses adaptasi yang dilalui bagi yang telah berpengalaman hidup mandiri menjadi suatu hal yang mudah, sedangkan yang tidak berpengalaman membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan internal kostnya tersebut, (3) interaksi sosial yang terjalin antara mahasiswa kost dengan masyarakat sekitar, mereka ada yang aktif dan ada pula yang pasif, (4) mahasiswa kost yang kurang aktif dalam kegiatan sosial keagamaan yang ada di warga kecuali pada kegiatan tertentu seperti ibadah shalat
berjama’ah, mengajar ngaji, membaca istighosah, dan kegiatan pengajian yang
ada di kost, (5) dalam hal prestasi akademik mahasiswa kost mampu mempertahankan prestasi akademik yang telah diperoleh dan masing – masing mahasiswa kost memiliki pembagian waktu belajar sendiri.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 9
2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11
3. Pemilihan Subjek Penelitian ... 12
4. Tahap-Tahap Penelitian ... 13
5. Teknik Pengumpulan Data ... 14
6. Teknik Analisis Data ... 17
7. Teknik Keabsahan Data ... 17
G.Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II : KEHIDUPAN MAHASISWA KOST DALAM TINJAUAN TEORI KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN THOMAS LUCKMAN A.Mahasiswa dan Kost ... 21
B.Teori Konstruksi Sosial ... 32
C.Penelitian Terdahulu ... 44
BAB III : POTRET KEHIDUPAN MAHASISWA YANG TINGGAL DI KOST KELURAHAN JEMURWONOSARI KECAMATAN WONOCOLO SURABAYA A. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ... 49
C. Potret Kehidupan Mahasiswa yang Tinggal di Kost: Analisis
Konstruksi Sosial ... 111
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 125 B. Saran ... 128
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara 2. Dokumen lain yang relevan 3. Jadwal Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut kodratnya, manusia, adalah “makhluk dua dimensi”, yakni
dimensi sosial (masyarakat) dan dimensi individual (perorangan). Dikatakan
berdimensi sosial karena dalam diri manusia terdapat dorongan untuk hidup
bersama dan berada di antara manusia lainnya. Bentuk konkretnya adalah
manusia bergaul, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan manusia lainnya.
Dikatakan berdimensi individual karena dalam diri manusia terdapat
dorongan keakuan yang membuatnya memiliki kecenderungan bertindak
untuk kepentingan dirinya sendiri.1
Dialektika antar kedua dimensi tersebut dapat berwujud kehidupan yang
beragam (bervariasi) dengan pola yang bergerak di antara bandul individual
dan sosial. Bandul kehidupan masyarakat pedesaan (rural society) pada
umumnya digambarkan lebih condong ke arah social heavy, sedangkan
bandul kehidupan masyarakat perkotaan (urban society) lazim digambarkan
condong ke arah individual heavy.
Di samping masyarakat (society) –yang lazim dimaknai sebagai
himpunan individu yang dijalin oleh sistem hubungan yang kompleks-- ada
himpunan lain dengan postur yang lebih kecil dan lebih sederhana atau –
1
Mawardi, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 217
2
tepatnya-- lebih homogen. Himpunan ini disebut komunitas (community).
Jalinan hubungan antar individu dalam komunitas lebih bersifat kultural,
partisipatif-efektif, dan relatif lebih otonom (independen).2
Contoh dari komunitas adalah mahasiswa, yakni himpunan dari
individu-individu terpelajar di lembaga perguruan tinggi. Dalam komunitas
ini individu mahasiswa bergaul, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan
individu mahasiswa lainnya. Tentu saja di luar komunitasnya, individu
mahasiswa adalah juga anggota dari masyarakat di sekitarnya. Yang
dimaksud dengan “masyarakat sekitar” bagi mahasiswa yang kebanyakannya
berasal dari luar daerah tidak lain adalah masyarakat di sekitar rumah kost di
mana mereka tinggal. Dalam konteks ini adalah menarik untuk memotret
kehidupan sosial mahasiswa tersebut, bukan di lingkungan komunitasnya,
melainkan di lingkungan masyarakat sekitar rumah kost di mana ia tinggal.
Pertama, karena mahasiswa yang tinggal di rumah kost itu datang dari
lingkungan sosial yang berbeda-beda di tempat asal mereka. Kedua, karena
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal sekarang merupakan
lingkungan sosial baru. Boleh jadi dari mereka ada yang dilanda semacam
schock (goncangan) sehingga gagap dalam beradaptasi. Boleh jadi juga ada
dari mereka yang justru at home di lingkungan sosialnya yang baru tersebut.
Sebagai bagian dari komunitas terdidik, para individu mahasiswa itu
tentu sudah dijamah oleh seperangkat upaya yang terencana yang
2
Departemen Sains, Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Konsep Komunitas Dan Masyarakat Dalam Perspektif Sosiologi, skpm.ipb.ac.id/konsep-komunitas-dan-masyarakat-dalm-perspektif-sosiologi, akses: 21 Oktober 2015
3
dimaksudkan untuk membentuk mereka “menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.3 Artinya di kampus, para individu mahasiswa itu telah menginternalisasi nilai-nilai baik dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya
nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama mereka. Di antaranya kalau dari
ajaran Islam adalah nilai kehidupan sosial seperti yang dicerminkan oleh
hadis Nabi SAW:
ﹺﺱ
ﻢﻬﻌﻔ ﹶﺃ
ﹺﺱ
ﺮﻴﺧ
(Sebaik-baik manusia adalah yangpaling bermanfaat di antara mereka untuk manusia).P3F
4
P
Sehubungan dengan itu, mahasiswa lazim diidekan sebagai individu
yang memiliki kesadaran kuat untuk mewujudkan hidup yang bermakna di
lingkungan masyarakat sekitarnya. Hanya saja gambaran ideal ini kadang
kurang berselaras dengan kenyataannya. Dari pengamatan sekilas, ada
mahasiswa yang menjadikan rumah kostnya hanya sebagai tempat menginap.
Kehidupan sehari-harinya di sana berjalan rutin dan datar. Pagi/siang pergi ke
kampus untuk kuliah. Sore/malam kembali ke tempat kost untuk
menginap/istirahat. Kadang kala setelah pulang dari kegiatan kuliah di
kampus, mereka tidak langsung kembali ke tempat kost melainkan bermain
dan sebagainya. Namun, kegiatan mahasiswa di kost tidak hanya untuk
beristirahat melainkan ada yang mengerjakan tugas kuliah, belajar, sharing
dengan teman, membersihkan dan merapikan barang pribadi, dan lain
3
www.academia.edu/4784240/SISTEM_PENDIDIKAN_NASIONAL
4
Hadis Nabi SAW ini dituturkan oleh Jabir, dan dimuat dalam al-T}abra>ni, al-Mu’jam al Awsat}, juz 13 (Maktabah Sha>milah), 27
4
sebagainya. Jika ada hari libur, ia gunakan untuk pulang kampung atau pergi
untuk jalan-jalan bersama teman. Ada juga mahasiswa yang menjadikan
rumah kost hanya sebagai alamat tempat tinggal dan sebagai gudang untuk
menyimpan barang-barangnya. Ia jarang tinggal di rumah kost karena
kegiatannya yang padat di organisasi. Sebagai aktivis mahasiswa, ia memilih
banyak tinggal di kampus atau di kantor/sekretariat organisasinya. Ada juga
mahasiswa yang tinggal di rumah kost seperti di rumah sendiri. Saatnya ada
kegiatan di kampus, ia berangkat ke kampus. Usai berkegiatan, ia pulang ke
rumah kost. Ada saatnya juga ia bersosialisasi dengan para tetangga dengan
melibatkan diri dalam berbagai kegiatan mereka.
Bertolak dari latar hasil pengamatan sekilas yang menunjukkan adanya
variasi inilah maka potret kehidupan mahasiswa yang tinggal di kost menjadi
menarik untuk dikaji melalui penelitian yang lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah bagaimana potret kehidupan mahasiswa yang
tinggal di kost di Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo Surabaya?
Masalah penelitian ini akan dijawab dengan mendeskripsikan sejumlah
hal di seputar kehidupan mahasiswa yang tinggal di Kost, mulai dari alasan
mereka memilih tinggal di tempat Kost, adaptasi mereka dengan lingkungan
internal kost, interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar, kehidupan
5
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memahami potret kehidupan mahasiswa yang
tinggal di kost di Kelurahan Jemurwonosari, Kecamatan Wonocolo, Surabaya.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa
bersifat teoritis dan praktis. Untuk penelitian kualitatif, manfaatnya lebih
bersifat teoritis, yaitu untuk pengembangan ilmu, namun juga tidak menolak
manfaat praktisnya untuk memecahkan masalah. Bila peneliti kualitatif dapat
menemukan teori, maka akan berguna untuk menjelaskan, memprediksikan
dan mengendalikan suatu gejala.5 Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:
1. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
dan dapat lebih memperkuat teori ilmu sosial serta dapat dijadikan sebagai
pedoman untuk penelitiannya selanjutnya.
5
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitaif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2008), 219
6
2. Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini disamping sebagai salah satu upaya untuk
memenuhi tugas akhir dalam Program Strata Satu (S1) Program Studi
Sosiologi FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, juga diharapkan mampu
memberikan pengetahuan dan wawasan terkait deskripsi dan
gambaran tentang kehidupan mahasiswa yang tinggal di kost di
Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo Surabaya. Selain itu
juga dapat memberikan manfaat yang sangat berharga, berupa
pengalaman praktis dalam hal penelitian.
b. Bagi Program Studi Sosiologi
Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dari sekian banyak
bahan referensi untuk memahami deskripsi dan gambaran kehidupan
mahasiswa yang tinggal di kost di Kelurahan Jemurwonosari
Kecamatan Wonocolo Surabaya.
c. Bagi Lembaga
Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi penelitian
selanjutnya dan sebagai perbendaharaan perpustakaan untuk
7
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan positif bagi
mahasiswa bahwa kehidupan sosial, agama, dan pendidikan haruslah
berjalan seimbang.
E. Definisi Konseptual
Pada dasarnya konsep merupakan unsur pokok dari penelitian. Suatu
konsep sebenarnya adalah definisi singkat dari sejumlah fakta atau gejala
yang ada. Dengan demikian konsep dalam permasalahan penelitian harus
ditentukan batasan dan ruang lingkupnya dengan harapan tidak terjadi
kesimpangsiuran dalam pemahaman terhadap permasalahan tersebut.
Untuk menghindari salah pengertian berikut ini peneliti jelaskan
pengertian beberapa istilah yang terdapat dalam judul ini, yaitu:
a) Potret Kehidupan
Potret ialah sebuah gambaran. Sedangkan kehidupan ialah cara
(keadaan, hal) hidup6 Yang dimaksud potret kehidupan dalam penelitian ini adalah gambaran tentang kehidupan sosial sehari-hari mahasiswa yang
tinggal di Kost di wilayah Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan
Wonocolo Surabaya.
6
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 351
8
b) Mahasiswa
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi.7 Dalam penelitian ini, yang dimaksud mahasiswa adalah seseorang yang sedang
menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya.
c) Kost (in de kost)
Kost adalah kamar atau rumah yang disewakan dengan sejumlah
pembayaran tertentu untuk setiap periode tertentu (umumnya periode per
bulan) untuk digunakan sebagai tempat tinggal baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Kata "kost" merupakan turunan dari frasa bahasa Belanda "In
de kost" yang berarti "makan di dalam". Bila frasa tersebut dijabarkan
lebih lanjut dapat pula berarti "tinggal dan ikut makan di dalam rumah
tempat menumpang tinggal.”8
Pada umumnya kost (in de kost) terletak di sekitar sekolah, perguruan
tinggi atau universitas, dan pabrik. Dalam penelitian ini, kost yang
dimaksud adalah kost mahasiswa yang terletak di kelurahan
Jemurwonosari kecamatan Wonocolo kota Surabaya.
F. Metode Penelitian
Dalam sub bab tentang metode penelitian ini dikemukakan uraian
mengenai jenis penelitian dan pendekatan penelitian, lokasi dan waktu
7
Ibid., 543.
8
Wikipedia, 01 Maret 2016, https://id.wikipedia.org/wiki/Indekost
9
penelitian, pemilihan sabyek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik abalisis data, dan teknik keabsahan data.
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni jenis
penelitian yang menghasilkan temuan-temuan data tanpa
menggunakan prosedur statistik atau cara lain dari pengukuran
(kuantifikasi).9
Secara sederhana, penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai
penelitian yang diselenggarakan dengan melakukan observasi
langsung ke lapangan dan melakukan wawancara dengan informan.
Dari sisi lain penelitian kualitatif dapat juga dijelaskan sebagai
penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan
analisis dengan pendekatan induktif. Dalam penelitian kualitatif,
proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan.10
Kualifikasi penting lainnya dari jenis penelitian kualitatif ini
adalah:
1) Data disikapi sebagai data verbal atau sebagai sesuatu yang dapat
ditransposisikan sebagai data verbal.
9
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT Rinika Cipta, 2008), 1
10
Ibid., 21.
10
2) Mengutamakan hubungan secara langsung antara peneliti dengan
hal yang diteliti
3) Mengutamakan peran peneliti sebagai instrument kunci (key
informant)11
Penelitian kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan
yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat atau organisasi
dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.12
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi
Kasus, yakni ikhtiar menggambarkan ihwal kehidupan dengan cara
langsung terjun ke beberapa informan mahasiswa yang bertempat
tinggal di Kost di Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo
Surabaya. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar.
Menurut Foerman studi kasus adalah suatu pelukisan dari suatu
fase atau keseluruhan pengalaman yang relevan dari data tertentu yang
dipilih. Apabila perhatian penyelidik dipusatkan pada perkembangan,
maka keterangannya adalah sejarah kasus (case history).
Foerman mencatat bahwa “bahan studi kasus bisa masuk pada
ilmuwan sosial melalui sejumlah dokumen pribadi, beberapa catatan
pengamatan partisipan, laporan orang ketiga. Yang membedakan studi
11
Ibid., 20.
12
Ibid., 22.
11
kasus dengan penelitian survey terletak pada intensitas dan kedalaman
penyelidikannya. Studi kasus biasanya dikenali sebagai pemerikasaan
yang cermat atas berbagai keadaan sosial yang spesifik atau berbagai
aspek khusus dari lingkungan sosial, yang mencakup deskripsi
psikologis tentang orang di lingkungan tersebut.
Studi kasus bersifat luwes berkenaan dengan metode
pengumpulan data yang digunakan. Wawancara, pengamatan dan
berbagai bentuk pengumpulan data lainnya berkemungkinan untuk
digunakan di dalam analisis pendalaman terhadap berbagai situasi
sosial yang spesifik.13
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Kelurahan Jemurwonosari,
Kecamatan Wonocolo, kota Surabaya. Di kelurahan terletak kampus
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) yang di
sekitarnya terdapat banyak rumah Kost untuk kalangan mahasiswa.
b. Waktu Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini peneliti membutuhkan waktu
kurang lebih tiga bulan, yakni mulai bulan Desember 2015 sampai
dengan Februari 2016. Waktu tersebut relatif cukup untuk melakukan
13
James A.Black dan Dean J.Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 1999), 77-79
12
penggalian data secara mendalam mengenai potret kehidupan
mahasiswa yang tinggal di Kost di Kelurahan Jemurwonosari
Kecamatan Wonocolo Surabaya. Berhubung waktu tersebut masih
merupakan rancangan dari peneliti maka yang sewaktu-waktu bisa
berubah, baik terkait dengan kebijakan dari prodi atau pun fakultas
sebagai lembaga tempat peneliti mencari ilmu.
3. Pemilihan Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini ialah mahasiswa yang tinggal di kost di
Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan Wonocolo Surabaya dalam periode
waktu minimal satu tahun. Subyek penelitian yang peneliti pilih yakni
sebanyak 9 orang mahasiswa kost, 2 orang ibu kost, dan 3 orang warga.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini:
Tabel 1.1
Daftar Nama Informan
No Nama Status Fakultas
1. Nina Magfiroh (Nina) Mahasiswa Semester 4 Adab & Humaniora
2. Irma Nur Rosyidah (Irma) Mahasiswa Semester 6 Dakwah & Ilmu Komunikasi
3. Indah Qurniawati (Indah) Mahasiswa Semester 7 FISIP
4. Fifit Mulyana (Fifit) Mahasiswa Semester 7 FISIP
5. M. Bagus Arif (Bagus) Mahasiswa Semester 7 FISIP
6. Rosi Noviandi (Rosi) Mahasiswa Semester 7 FISIP
7. Miftakhul Amin (Amin) Mahasiswa Semester 8 FISIP
8. Uci Nurul Hidayati (Uci) Mahasiswa Semester 8 Ushuluddin & Politik Islam
9. Silvi Royyani (Silvi) Mahasiswa Semester 10 Ushuluddin & Politik Islam
10. Ibu Ibnu Ibu kost -
13
12. Ibu Ningsih Warga -
13. Ibu Dwi Warga -
14. Ibu Yani Warga -
4. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap penelitian adalah gambaran perencanaan keseluruhan
penelitian, pengumpulan data, analisis data, hingga pelaporan data.
Tahapan-tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah:
a. Tahap Lapangan
Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti sebelum turun
langsung ke lapangan di antaranya adalah:
1) Pengajuan judul penelitian
2) Membuat proposal penelitian
Sebelum penelitian dilaksanakan, terlebih dahulu peneliti
membuat proposal penelitian sebagai syarat untuk memperoleh
surat tugas izin penelitian dari prodi Sosiologi kepada pihak
kelurahan dimana peneliti akan melakukan penelitian. Dalam
menyusun proposal, pertama kali peneliti menyajikan uraian
tentang latar belakang masalah yang memuat sejumlah fakta dan
pertimbangan yang menjadi latar dari pentingnya dilakukan
penelitian mengenai “Potret Kehidupan Mahasiswa yang Tinggal
di Kost (Studi kasus di Kelurahan Jemurwonosari Kecamatan
14
penelitian serta merancang metode penelitian, sekiranya metode
yang digunakan itu sesuai dengan obyek yang akan diteliti.
3) Menyusun rancangan penelitian
Sebelum turun ke lapangan untuk melakukan penelitian,
peneliti menyusun rancangan penelitian terlebih dahulu. Dengan
rancangan inilah peneliti bisa mengetahui dan bisa memprediksi
kapan peneliti mulai turun ke lapangan, bisa menentukan siapa saja
informan yang patut untuk dimintai informasi, dan menentukan
banyaknya biaya yang dibutuhkan selama melakukan penelitian.
b. Tahap Lapangan
Pada tahap ini, peneliti mulai melakukan proses penelitian di
lapangan yakni dengan cara observasi lapangan, wawancara
mendalam, dan menelusuri serta mengcopy (menulis kembali)
dokumen tertulis atau informasi lain terkait objek yang diteliti.
5. Teknik Pengumpulan Data
Ada tiga teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini, yaitu:
a. Observasi
Observasi dilakukan peneliti untuk mengamati kehidupan
mahasiswa yang tinggal di kost kelurahan Jemurwonosari kecamatan
15
rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap
fenomena sosial. Selama beberapa waktu tanpa harus mempengaruhi
terhadap fenomena yang sedang diteliti. Dengan mencatat, merekam,
dan memotret fenomena untuk dianalisis.14
b. Interview
Interview atau wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua
orang atau lebih untuk mendapatkan informasi dengan mengajukan
beberapa pertanyaan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Atau juga
bisa diartikan percakapan dengan maksud tertentu oleh dua pihak yaitu
pewawancara (interviewer) sebagai pengaju atau pemberi pertanyaan
dan yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi jawaban atas
pertanyaan.
Adapun, metode wawancara yang digunakan oleh peneliti yakni
wawancara mendalam. Wawancara mendalam secara umum adalah
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya-jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan
atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
pedoman (guide) wawancara, di mana wawancara dan informan
terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian,
kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam
kehidupan informan.
14
Imam Suprayogo dan Tabroni, Metode Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), 167
16
Dengan wawancara secara mendalam ini, peneliti akan ikut
membaur dalam kehidupan informan yang akan diteliti saat berada di
kost. Peneliti tidak menggunakan wawancara yang terstruktur, yakni
pada saat wawancara peneliti tidak menyusun pertanyaan dan jawaban
sistematis, namun hanya berdasar pada pedoman wawancara yang
tetap terkait dengan topik pembahasan penelitian. Hal ini dilakukan
supaya peneliti lebih leluasa dan tidak terkesan melakukan tanya
jawab dengan informan, sehingga informanpun dengan leluasa
memberikan informasi tanpa ada tekanan atau keterpaksaan dari pihak
peneliti. Saat wawancara berlangsung, peneliti membawa instrument
sebagai alat bantu yakni pedoman untuk wawancara dan alat bantu lain
seperti tape recorder untuk merekam, kamera dan lain-lain, sehingga
dapat membantu memperlancar pelaksanaan wawancara.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan
dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu yang dapat berupa
rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip, database, surat-surat,
rekaman, gambar, catatan, buku, dan sebagainya.
Dokumentasi yang peneliti peroleh dalam penelitian ini meliputi
gambar atau foto hasil kegiatan wawancara yang dilakukan peneliti
dengan informan mahasiswa yang tinggal di kost kelurahan
Jemurwonosari kecamatan Wonocolo Surabaya dan data monografi
17
6. Teknik Analisis Data
Bogdan dan Biklen mengatakan analisis data kualitatif adalah upaya
yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah data menjadi satuan yang dapat dikelola, mengadakan
sintesis, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari serta membuat keputusan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.15
Dalam penelitian ini, sebelum masuk pada tahap analisis data terlebih
dahulu peneliti telah mengumpulkan data–data dari hasil observasi
lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Setelah semua data terkumpul,
selanjutnya peneliti mulai melakukan analisis data dengan menggunakan
teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menentukan,
menafsirkan dan mengurai data yang bersifat kualitatif.
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Pada tahap ini, langkah yang dilakukan peneliti untuk memeriksa
keabsahan data yakni dengan cara menggunakan trianggulasi data.
Trianggulasi data dilakukan untuk mengkoreksi kembali terhadap
sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti dari
sumber-15
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, 192.
18
sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi
(penetapan) tema-tema secara tepat. 16
G. Sistematika Pembahasan
Secara global, skripsi ini dibagi dalam empat pembahasan, yang satu
sama lain saling terkait dan merupakan suatu sistem yang urut untuk
mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah.
Langkah-langkah pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan peneliti memberikan gambaran tentang latar
belakang masalah yang hendak diteliti. Setelah itu menentukan rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi konseptual, metode
penelitian (Jenis dan Pendekatan Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian,
Subjek Penelitian, Tahap-Tahap Penelitian, Teknik Pengumpulan Data,
Teknik Analisis Data, dan Teknik Keabsahan Data), dan sistematika
pembahasan.
BAB II : KAJIAN TEORI
Dalam Bab kajian teori, pertama bagian ini berisi kajian pustaka
tentang mahasiswa dan kost, kedua berisi penjelasan teori Konstruksi Sosial
Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang oleh peneliti akan digunakan
16
Jhon W. Creswell, Research Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi Ke-3 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 286
19
dalam menganalisis masalah dalam penelitian ini yang berjudul “Potret
Kehidupan Mahasiswa yang Tinggal di Kost (Studi Kasus di Kelurahan
Jemurwonosari, Kecamatan Wonocolo, Surabaya), dan ketiga berisi kajian
penelitian terdahulu.
BAB III : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA
Dalam bab penyajian data, peneliti memberikan gambaran mengenai
deskripsi umum lokasi penelitian dan menyajikan data tentang potret
kehidupan kesembilan mahasiswa yang tinggal di kost kelurahan
Jemurwonosari. Potret kehidupan mahasiswa tersebut meliputi beberapa aspek
yakni sosial, ekonomi, agama, dan pendidikan. Penyajian data ini dibuat
secara tertulis, dikemas dalam bentuk analisis deskriptif dan juga disertakan
dokumentasi foto yang mendukung data penelitian ini. Setelah itu akan
dilakukan penganalisahan data dengan menggunakan teori Konstruksi Sosial
yang dipopulerkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab penutup, penulis menuliskan kesimpulan dari permasalahan
dalam penelitian, kesimpulan yang peneliti buat lebih bersifat konseptual dan
terkait langsung dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Selain itu
juga memberikan saran kepada para pembaca laporan penelitian ini. Jika ada
yang positif dari hasil penelitian, maka disarankan lembaga-lembaga lain
untuk menjadikannya sebagai contoh, dan tentunya masih banyak
kekurangannya. Dalam bab ini juga terdapat bagian akhir, yakni berisi daftar
20
penelitian, surat permohonan izin penelitian, surat rekomendasi penelitian dari
BANKESBANGPOL dan LINMAS Surabaya, surat pengantar survey dari
Kelurahan Jemurwonosari, jadwal penelitian, berita acara ujian skripsi, dan
21
BAB II
KEHIDUPAN MAHASISWA KOST DALAM TINJAUAN
TEORI KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER DAN
THOMAS LUCKMAN
A. Mahasiswa dan Kost 1. Pengertian Mahasiswa
Pengertian mahasiswa sangatlah beragam, dijelaskan dalam
peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990, bahwa mahasiswa adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.
Pendapat lain mengatakan bahwa mahasiswa adalah individu yang secara
resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas
usia sekitar 18-30 tahun.1
Mahasiswa sebagai individu yang sedang menuntut ilmu
pengetahuan di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga
lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mereka dinilai memiliki
tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan
kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak cepat dan tepat
merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang
merupakan prinsip yang saling melengkapi.2
Maka secara umum, mahasiswa dapat diartikan sebagai seseorang
yang tengah menjalani pendidikan tingkat perguruan tinggi yang pada
1
Griya Naskah, 22 Agustus 2012, http://gnaskah.blogspot.co.id/2012/08/mahasiswa.html
2
Dwi Siswoyo, Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: UNY Press, 2007), 121
22
masa mendatang akan menjadi seorang intelektual yang kritis, bertindak
cepat dan tepat dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan bangsa
dan negara. Sebab, mahasiswa adalah generasi penerus bangsa.
a. Hak dan kewajiban mahasiswa
Sesungguhnya, hak dan kewajiban mahasiswa haruslah berjalan
secara seimbang. Hak – hak mahasiswa tiada lain adalah memperoleh
pengajaran, pendidikan, fasilitas, dan pelayanan dengan baik selama
menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi.
Mahasiswa sebagai kelompok terpenting dalam sebuah masyarakat
juga harus dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya yakni belajar dan
menuntut ilmu pengetahuan dengan baik. Karena, belajar merupakan
syarat mutlak dalam mencapai tujuan ilmiah.3
Mahasiswa juga bertanggung jawab dalam melaksanakan Tri
Dharma Perguruan Tinggi. Isi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut
yakni:
1) Pendidikan dan Pengajaran.
2) Penelitian dan Pengembangan.
3) Pengabdian Pada Masyarakat.
b. Peran dan fungsi mahasiswa
Sejak awal masa kebangkitan nasional tahun 1908 sampai
pembentukan orde baru pada pertengahan tahun 1966, gerakan mahasiswa
memegang peranan penting dalam memperjuangkan perubahan Negara
3
Yahya Ganda, Petunjuk Praktis Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo, 2004), 1
23
Indonesia. Dalam sejarah, Indonesia tidak bisa lepas dari perjuangan
mahasiswa, bahkan pada hakikatnya perjuangan Indonesia adalah
perjuangan mahasiswa/pemuda.4
Terdapat tiga peran dan fungsi yang sangat penting bagi mahasiwa,
yaitu :
Pertama adalah peran moral, dunia kampus merupakan dunia di
mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka
ingin. Mahasiswa dituntut untuk dapat bertanggung jawab terhadap moral
diri masing-masing sebagai individu dalam menjalankan kehidupan di
masyarakat.
Kedua, adalah peran sosial. Mahasiswa selain memiliki tanggung
jawab pribadi, mereka juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa
keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya
sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Ketiga, adalah peran intelektual. Mahasiswa sebagai orang yang
disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status
tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa
fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan
memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia
miliki selama menjalani pendidikan. 5
4
Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, jilid I (Yogyakarta: Ikis, 2008), 283
5
Markus M Ningmabin, 22 Maret 2012,
http://komapo.org/index.php?option=com_content&view=article&id=77:mengenali-hakekat- gelar-mahasiswa&catid=30:komapo-news-edisi-ii&Itemid=53
24
c. Eksistensi Mahasiswa
Eksistensi mahasiswa yakni sebagai agent of change, agent of
control dan agent of culture.
1) Mahasiswa sebagai agent of change / agen perubahan
Mahasiswa mengklaim dirinya sebagai agent of change
sebagaimana sikap yang diambil oleh para pejuang dan pahlawan yang
terlibat dalam dinamika kehidupan bangsa dan demi tercapainya suatu
kondisi yang ideal bagi masyarakat dan lingkungan. Maka tak jarang
mahasiswa juga terlibat aktif mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak
pro-keadilan dan pro-rakyat kecil.
2) Mahasiswa sebagai agent of control / agen social
Mahasiswa juga mengklaim dirinya sebagai agen sosial yang ikut
aktif dalam kehidupan sosial masyarakat. Tujuannya adalah untuk
menciptakan kondisi sosial yang ideal dan stabil dari dirinya dan
masyarakat. Sehingga mahasiswa merasa perlu untuk terlibat aktif sesuai
dengan esensi mahasiswanya
3) Mahasiswa sebagai agent of culture / agen budaya
Agen budaya yang dimaksud adalah mengamati perubahan
perilaku dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Mereka juga ikut
mengawali perubahan budaya yang baru bila budaya lama dianggap
merugikan bagi masyarakat dan membawa kepada kebodohan. Namun, tak
jarang mereka juga mempertahankan budaya yang lama atau yang telah
25
mahasiswa tidak hanya belajar untuk meraih IPK tinggi dan memenuhi
ambisi pribadinya. Melainkan juga mahasiswa haruslah eksis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya eksistensi mahasiswa ini
bukan berarti sekedar eksis untuk mencari muka. Namun semata-mata
merupakan bagian dari tanggunjawab yang telah tersematkan pada
identitasnya sebagai “Mahasiswa”.6
2. Pengertian Kost
Kost adalah tinggal di rumah orang lain tanpa makan, dengan
membayar setiap bulannya.7 Dalam Wikipedia definisi kost adalah sebuah jasa yang menawarkan kamar untuk ditinggali dengan sejumlah
pembayaran tertentu setiap periode (umumnya pembayaran dilakukan
setiap bulan). Kata “kost” berasal dari bahasa Belanda yakni in the kost.
Definisi “in the kost” sesungguhnya adalah “makan didalam” apabila
dijabarkan lebih lanjut dapat pula berarti “tinggal dan ikut makan” didalam
rumah tempat menumpang tinggal.8 Namun, maknanya sudah bergeser cukup jauh dari masa ke masa.
Pada dasarnya, rumah kost adalah rumah hunian yang
menyediakan kamar untuk tinggal, lengkap dengan perabot standart tempat
kost yakni tempat tidur dan lemari. Pembayarannya dilakukan bulanan,
dan penghuni kost (biasa disebut anak kost, walaupun mungkin sama
sekali bukan anak-anak) biasanya sudah tidak membayar biaya listrik dan
6
Griya Naskah, 22 Agustus 2012, http://gnaskah.blogspot.co.id/2012/08/mahasiswa.html
7
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia edisi ke 3 (Jakarta: Balai Pustaka 2003), 443.
8
Wikipedia, 01 Maret 2016, https://id.m.wikipedia.org/wiki/Indekost
26
air kecuali dalam kondisi tertentu, misalnya membawa peralatan elektronik
yang mengkonsumsi listrik cukup besar.
a. Sejarah Kost
Kost (in the kost) telah ada sejak zaman kolonial / penjajahan
Belanda di Indonesia. Pada saat itu “in the kost” adalah sebuah gaya hidup
yang cukup populer di kalangan menengah ke atas untuk kaum pribumi,
terutama sebagian kalangan yang mengagung-agungkan budaya barat /
Eropa khususnya adat Belanda, dengan trend ini mereka berharap banyak
agar anaknya dapat bersikap dan berperilaku layaknya bangsa Belanda
atau Eropa yang dirasa lebih terhormat saat itu.
Dalam masa penjajahan, bangsa Belanda ataupun bangsa Eropa
pada umumnya mendapat status sangat terpandang dan memiliki
kedudukan tinggi dalam sastra sosial di masyarakat, terutama di kalangan
masyarakat pribumi Indonesia. Orang-orang yang bukan orang Belanda
dan berpandangan non-tradisional menganggap perlunya anak mereka
bersikap “seperti layaknya” orang Belanda. Dengan membayar sejumlah
uang tertentu sebagai jaminan, anaknya diperbolehkan untuk tinggal di
rumah orang Belanda yang mereka inginkan, dengan beberapa syarat yang
sudah diperhitungkan, dan resmilah si anak diangkat sebagai anak angkat
oleh keluarga Belanda tersebut.
Setelah tinggal serumah dengan keluarga Belanda tersebut, selain
diperbolehkan makan dan tidur di rumah, si anak tetap dapat bersekolah
27
menumpang. Konsep in the kost zaman dulu, yaitu mengadaptasi dan
meniru budaya hidup, bukan sekedar hanya makan dan tidur saja, namun
diharapkan setelah berhenti menumpang, sang anak dapat cukup terdidik
untuk mampu hidup mandiri sesuai dengan tradisi keluarga tempat dimana
ia pernah tinggal.
Seiring berjalannya waktu, saat ini istilah in the kost disebut kost.
Di berbagai daerah di Indonesia, sentra pendidikan, akademi, dan
universitas tumbuh berjamuran. Hal ini diikuti dengan bertambahnya
jumlah rumah-rumah atau bangunan khusus yang menawarkan jasa kost
bagi para pelajar / mahasiswa yang membutuhkannya. Jasa ini tidaklah
gratis, yaitu dengan melibatkan sejumlah pembayaran tertentu untuk setiap
periode, yang biasanya dihitung per bulan atau per minggu. Hal ini
berbeda dengan kontrak rumah, karena umumnya kost hanya menawarkan
sebuah kamar untuk tinggali.9
b. Fungsi Kost
Kost dirancang untuk memenuhi kebutuhan hunian yang bersifat
sementara dengan sasaran pada umumnya adalah mahasiswa dan pelajar
yang berasal dari luar kota ataupun luar daerah. Namun, tidak sedikit pula
kost-kostan ditempati oleh masyarakat umum yang tidak memiliki rumah
pribadi dan menginginkan berdekatan dengan lokasi beraktifitas. Oleh
karena itu fungsi kost-kostan dapat dijabarkan sebagai berikut :
9
Wikipedia, 01 Maret 2016, https://id.m.wikipedia.org/wiki/indekost
28
1) Sebagai sarana tempat tinggal sementara bagi mahasiswa yang pada
umumnya berasal dari luar daerah selama masa studinya.
2) Sebagai sarana tempat tinggal sementara bagi masyarakat umum yang
bekerja di kantor atau tidak memiliki rumah tinggal agar berdekatan
dengan lokasi kerja.
3) Sebagai sarana pembentukan kepribadian mahasiswa untuk lebih
berdisiplin, mandiri, dan bertanggungjawab.
2) Sebagai tempat untuk menggalang pertemanan dengan mahasiswa lain
dan hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya.
c. Fasilitas Tempat Kost
Tempat kost memiliki fungsi yang sama dengan rumah sehingga
tempat kost juga harus memiliki kriteria yang baik sebagai tempat tinggal
mahasiswa yang menuntut ilmu jauh dari daerah asal. Sehingga, fasilitas
menjadi salah satu hal yang penting dalam proses pendidikan. Fasilitas
adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, dan kemudahan.10 Rumah harus memiliki fasilitas yang baik untuk kenyamanan para
penghuninya, sehingga rumah memiliki standar kriteria yang baik, seperti
yang dikemukakan oleh Ettinger, bahwa kriteria rumah yang baik ditinjau
dari kesehatan dan keamanan dapat melindungi penghuninya dari cuaca
hujan, kelembaban dan kebisingan, mempunyai ventilasi yang cukup, sinar
10
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 314.
29
matahari dapat masuk ke dalam rumah serta dilengkapi dengan prasarana
air, listrik, dan sanitasi yang cukup.11
Disamping prasarana air, listrik dan sanitasi, masih terdapat
fasilitas penunjang lainnya yang dibutuhkan oleh mahasiswa yaitu sarana
kegiatan belajar mahasiswa. Sarana belajar dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu Pertama, keadaan ruang belajar yang meliputi penerangan,
letak, ventilasi dan perabot di dalamnya (almari, rak buku, meja, kursi dan
sebagainya). Kedua, sumber pelajaran yang meliputi buku pelajaran, buku
penunjangnya, termasuk alat bantu belajar seperti jangkar, penghapus,
penggaris, mesin hitung, alat tulis dan sebagainya.12
B. Teori konstruksi sosial
Penelitian ini menggunakan teori “Konstruksi Sosial” yang dibangun dan
dipopulerkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Peter L. Berger
merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York.
Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt.
Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai
suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan.
Teori konstruksi sosial merupakan kelanjutan dari pendekatan paradigma
konstruktivisme dan fenomenologi dalam paradigma definisi sosial.
11
Panudju Bambang, Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (Bandung: Alumni, 1999), 29.
12
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 233.
30
1. Pendekatan Paradigma Konstruktivisme dan Fenomenologi
Paradigma Konstruktivisme dalam aliran filsafat, muncul sejak
sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan
akal budi dan ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret setelah
Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi,
materi, esensi dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah
makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa
kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogoto, ergo
sum’ atau ‘saya berfikir karena itu saya ada’. Kata-kata Aristoteles yang
terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan
konstruktivisme sampai saat ini.
Sejauh ini terdapat tiga macam konstruktivisme yakni pertama,
Konstruktivisme radikal adalah Konstruktivisme yang hanya dapat
mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Kaum konstrutivisme
radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan
sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka, sebuah realitas
yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Kedua, realisme hipotesis
memandang pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas
yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
Ketiga, konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi
31
realitas itu. Kemudian, pengetahuan individu dipandang sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.
Terdapat kesamaan dari ketiga macam konstruktivisme tersebut,
dimana dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya yang Piaget disebut dengan
skema. Dan konstruktivisme macam inilah yang oleh Berger dan Luckman
disebut dengan kontruksi sosial. 13
Selain itu, pemikiran Berger juga termasuk dalam kategori The
Social Definition (Paradigma Definisi Sosial) yang memusatkan perhatian
pada tindakan, interaksi, dan konstruksi sosial dari realitas.14 Di dalam paradigma definisi sosial terdapat pemikiran Schutzian tentang
fenomenologi yang turut memberi pengaruh terhadap pemikiran Berger
dan Luckman mengenai konstruksi sosial. Alfred Schutz, tokoh yang
mempopulerkan teori fenomenologi menyatakan bahwa dunia sosial
merupakan sesuatu yang intersubyektif dan pengalaman yang penuh
makna. Menurutnya, setiap orang pasti memiliki makna serta selalu
berusaha hidup di dunia yang bermakna.
13
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap Peter L. Berger & Thomas
Luckman (Jakarta: Kencana, 2011), 13.
14
Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam (Jakarta: Kencana, Cetakan 4, 2007), A-16.
32
Schutz kemudian membedakan dua macam makna insani. Ada
makna dalam dunia kehidupan individu sehari-hari, makna yang secara
actual atau potensial dalam jangkauan, yaitu makna-makna yang biasanya
dimengerti sendiri secara alamiah dalam kehidupan sehari-hari. Dan yang
kedua adalah makna yang berada diluar individu sendiri, seperti makna
masyarakat lain atau sector yang kurang akrab dari masyarakat individu itu
sendiri, juga makna-makna dari masa silam, yaitu makna yang secara
langsung muncul secara alamiah, tidak dalam jangkauan, namun
disesuaikan melalui proses inisiasi tertentu, baik melalui pelibatan diri
sendiri dalam suatu konteks sosial atau melalui disiplin intelektual
tertentu.15
Schutz menyatakan pemikirannya mengenai kehidupan sehari-hari
sebagai berikut:
The world of my daily life is by no means my private world but is from the outset an intersubjective one, shared with my fellow men, experienced and interpreted by others: in brief, it is a world common to all of us. The unique biographical situation in which I find myself within the world at any moment of my existence is only to a very small extent of my
own making.16
(Dunia kehidupan keseharianku bagaimanapun adalah dunia
pribadiku namun ia berasal dari suatu dunia intersubyektif, yang dimiliki
bersama dengan orang-orang yang menyertaiku, dialami dan ditafsiri oleh
orang lain: singkatnya, ini adalah dunia biasa bagi kita semua. Situasi
15
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parsons, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), 146 - 147
16
Alfred Schutz, On Phenomenology and Social Relations (Chicago: Chicago Press, 1970), 163 dikutip Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media (Yogyakarta: LkiS, 2004), 50.
33
biografik unik di mana aku mendapatkan diriku di dalam dunia pada
momen kapanpun dari eksistensiku hanyalah untuk ukuran yang sangat
kecil dari buatanku sendiri).
Pemikiran Schutz mengenai kehidupan sehari – hari diatas
mengilhami Berger untuk mengembangkan model teoritiknya mengenai
bagaimana dunia sosial itu terbentuk.
2. Konstruksi sosial menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckman
Dalam risalah teoritiknya yang berjudul The Social Construction of
Reality Berger bersama Thomas Luckmann, meringkas teorinya dengan
menyatakan bahwa “realitas terbentuk secara sosial” dan sosiologi ilmu
pengetahuan (sociology of knowledge) harus menganalisis bagaimana hal
itu terjadi.Para sosiolog tidak bisa disodori pertanyaan filsafat seperti, apa
sebenarnya yang riil? Sebaliknya pertanyaan sosiolog terpusat pada soal
bagaimana realitas sosial terjadi, terlepas dari apapun validitasnya.17 Realitas kehidupan sehari-hari, menurut Berger, memiliki
dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam
menciptakan realitas sosial yang obyektif (eksternalisasi). Sebaliknya
realitas obyektif itu memengaruhi manusia yang mencerminkan realitas
subyektif (internalisasi). Dalam mode yang dialektik ini, di mana terdapat
17
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 300-301
34
tesa, antitesa, dan sintesa, Berger melihat masyarakat sebagai produk
manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. 18
Untuk menggambarkan mode hubungan yang dialektik antara
masyarakat dan individu, Berger dan Luckmann menggunakan terma
Eksternalisasi, Obyektivasi, dan Internalisasi.
a. Eksternalisasi
Ekternalisasi merupakan momen awal yang ada dalam dialektika
Berger dan juga merupakan momen seseorang mengkonstruksi realitas
sosial yang ada disekitarnya. Eksternalisasi adalah usaha pencurahan
atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental
maupun fisik.19 Proses ini merupakan bentuk penyesuaian diri manusia dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia (society is a
human product). 20 Dimana individu berusaha untuk beradaptasi
dengan lingkungannya, sarana yang digunakan bisa berupa bahasa
maupun tindakan. Manusia menggunakan bahasa untuk melakukan
adaptasi dengan dunia sosio-kulturalnya dan kemudian tindakannya
juga disesuaikan dengan dunia sosio-kulturalnya. Pada momen ini,
terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi dan juga mereka
yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan tergantung
dari apakah individu tersebut mampu atau tidak beradaptasi dengan
dunia sosio-kulturalnya.
18
Ibid., 302.
19
Petter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1991), 4
20
Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, (Surabaya: Insan Cendekian, 2002), 206.
35
b. Obyektivasi
Obyektivasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu
menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si
penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan
berlainan dari manusia yang menghasilkannya.21 Pada tahap ini, masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an
objective reality).22
Proses obyektivasi ini dimana individu berusaha berinteraksi
dengan dunia sosio-kulturalnya. Pada momen ini terdapat proses
pembedaan antara dua realitas sosial, yaitu realitas diri individu dan
realitas sosial lain yang berada diluarnya, sehingga realitas sosial itu
menjadi sesuatu yang objektif. Dalam proses konstruksi sosial, proses
ini disebut sebagai interaksi sosial melalui pelembagaan dan
legitimasi. Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut, agen bertugas
menarik dunia subyektifitasnya menjadi dunia obyektif melalui
interaksi sosial yang dibangun secara bersama. Pelembagaan akan
terjadi manakala terjadi kesepahaman intersubyektif atau hubungan
subyek – subyek.23
21
M. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger &
Thomas Luckman. (Jakarta: Kencana 2008), 15
22
Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, 206.
23
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2005), 44
36
c. Internalisasi
Internalisasi, pada proses ini lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga
subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial atau proses
dimana individu melakukan indentifikasi diri ke dalam dunia
sosio-kulturalnya. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah
terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar
kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi
Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu
yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan
dikonstruksi oleh manusia. Dengan pemahaman semacam ini, realitas
berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai
pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan
atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan
konstruksinya masing-masing. 24
Struktur kesadaran subyektif individu dalam sosiologi pengetahuan
menempati posisi yang sama dalam memberikan penjelasan kenyataan
sosial. Setiap individu menyerap bentuk tafsiran kenyataan sosial secara
terbatas, sebagai cermin dari dunia obyektif. Dalam proses internalisasi,
tiap individu berbeda – beda dalam dimensi penyerapan, ada yang lebih
24
M. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, 15
37
menyerap aspek ekstern, ada juga yang lebih menyerap bagian intern.
Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan dalam penyerapan
dimensi obyektif dan dimensi kenyataan sosial. Kenyataan yang diterima
individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara
penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan
dipraktekkan.
Dalam sejarah umat manusia, eksternalisasi, obyektivasi, dan
internalisasi merupakan tiga moment dalam proses perubahan dialektis
yang berjalan terus secara perlahan. Terdapat dunia sosial obyektif “di luar
sana” yang membentuk individu-individu; dalam arti manusia adalah
produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial obyektif tersebut
eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan norma-norma
sosial. Sedangkan aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas
yang langsung dapat diketahui, tetapi bisa memengaruhi segala-galanya,
mulai dari gaya berpakaian, cara berbicara, dan lain sebagainya. Realitas
sosial yang obyektif tersebut dipantulkan oleh orang lain yang cukup
berarti bagi anak, walaupun realitas yang diterima tidak selalu sama antara
anak satu dengan yang lain. Di saat dewasa ia tetap menginternalisasi
situasi-situasi baru dalam dunia sosialnya. Di samping itu, ia memiliki
peluang untuk mengeksternalisasi atau secara kolektif membentuk dunia
38
sosial − perubahan yang kembali melanda mereka dan dapat juga melanda
generasi-generasi berikutnya. 25
Jadi dunia sosial, menurut Berger, menciptakan nomos (keteraturan
dan ketentuan-ketentuan normatifnya) baik secara subyektif maupun
obyektif. Nomos obyektif lahir dalam proses obyektivasi dan menjadi
makna bersama bagi masyarakat yang lebih luas di mana para individu
berpartisipasi. Di sebelah makna bersama atau nomos obyektif itu terdapat
makna-makna subyektif atau individual.
Di samping nomos, terdapat juga apa yang disebut Berger sebagai
Kosmos. Kosmos mentransendentasi realitas sehari-hari, bergerak dalam
dunia di luar verifikasi obyektif. Kosmos inilah yang menempatkan
agama, yang menurut Berger merupakan “usaha manusia dengan mana
kosmos yang suci itu ditetapkan”.26
Mengikuti mode Weberian, Berger dan Luckmann menunjukkan
bahwa dunia sosial yang obyektif tersebut membutuhkan “legitimasi” atau
“cara penjelasan atau pembenaran” asal-usul pengertian pranata sosial dan
proses pembentukannya. Konstitusi Amerika, misalnya, baru memperoleh
legitimasi atau keabsahan setelah diidealisir di tengah-tengah kalbu rakyat
selama hampir dua abad. Sebelum itu, walaupun para ahli sejarah sudah
mengetahui pengertian yang jelas tentang demokrasi institusional yang
diciptakan oleh para pembuatnya, betapa sedikitnya warga negara Amerika
yang sadar bahwa setiap orang memiliki wakil dan hak yang sama untuk
25
M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, 316-317.
26
Ibid,308-30.
39
berpartisipasi dalam pemerintahan. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor
legitimasi berasal dari interaksi individu dan merupakan “tanda terima”
bagi dunia sosial obyektif.27
Dalam kaitannya dengan konstruksi realitas sosial, agama
merupakan sumber legitimasi yang paling efektif dan paling meluas.
Berger menegaskan, “secara historis arti penting agama dalam proses
legitimasi bisa dijelaskan dalam hubungannya dengan kemampuan agama
yang unik untuk menempatkan fenomena manusia ke dalam kerangka
pemikiran kosmis.” Jadi dalam rangka konstruksi realitas secara sosial
agama dapat dikatakan melayani dua tujuan penting: (1) menyediakan
nomos, atau makna dari realitas, dan (2) mengesahkan, atau memberikan
tanda terima realitas itu.28
Dalam perspektif teori Berger di atas, para mahasiswa yang merupakan
anggota dari komunitas terdidik tentu sudah menginternalisasi nilai-nilai baik
dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya nilai-nilai yang dipantulkan dan
disosialisasikan oleh civitas perguruan tinggi mereka melalui berbagai upaya
yang telah terencana untuk membentuk mereka “menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab. Realitas yang berhasil diserap atau diinternalisasi
oleh para mahasiswa tersebut bisa tidak sama. Selanjutnya mereka
27
Ibid., 307.
28
Ibid., 309.
40
mengeksternalisasi realitas itu dalam dunia sosial mereka yang dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan yang akan kembali melanda mereka dan
bahkan generasi sesudah mereka.
Sebagai komunitas yang hidup secara hampir bersamaan dalam banyak
varian lingkungan di antaranya yang dominan adalah lingkungan kampung
tempat asal dan tinggal semasa liburan, lingkungan kampus tempat menempuh
studi, lingkungan rumah kost dan kampung tempat tinggal selepas kegiatan
studi. Maka dari itu mahasiswa kost dapat dibilang terpapar oleh realitas
obyektif yang beragam. Pada sub-sub lingkungan tersebut, realitas-realitas
obyektif yang bervariasi mengalami proses konstruksi sosial dengan mode
dialektik yang melibatkan rangkaian moment-moment eksternalisasi,
obyektivasi, dan internalisasi. Dengan pendekatan konstruksi sosial, penelitian
ini berupaya memotret realitas kehidupan mahasiswa yang tinggal di kost
kelurahan Jemurwonosari, kecamatan Wonocolo, Surabaya sebagai gejala
yang sifatnya tidak tetap dan selalu mempunyai pertalian dengan masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang. Dengan pendekatan itu pula, penelitian ini
tidak dimaksudkan untuk memecahkan masalah atau membentuk teori,
melainkan membangun pemahaman terhadap realitas kehidupan mereka
maupun dunia pengalaman peneliti sendiri yang hubungannya dengan
kehidupan mereka dalam konteks realitas tersebut. Dengan demikian,
pemahaman yang akan dibangun bukan sesuatu yang ditemukan melainkan
41
C. Penelitian terdahulu
Dari hasil penelusuran pustaka yang penulis lakukan, ditemukan 5 (lima)
penelitian terdahulu yang tema kajiannya bersinggungan dengan tema kajian
penelitian ini, yakni penelitian yang mengkaji tentang mahasiswa yang tinggal
di kost, yaitu:
1. Penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Pandangan Masyarakat
Terhadap Aktivitas Pacaran Mahasiswa Di Rumah Kos: Studi Deskriptif
di RT Y, RW Y, Kelurahan Nginden Jangkungan Kecamatan Sukolilo
Kotamadya Surabaya Jawa Timur”,29 oleh Nuning Rumbiarso. Terdapat
beberapa aspek yang dikaji dalam penelitian ini yakni (1) Bagaimana
pengetahuan anggota masyarakat RT Y, RW Y, Kelurahan Nginden
jangkungan, Kecamatan Sukolilo, Surabaya terhadap aktivitas seksual
mahasiswa di lingkungan rumah kosnya? (2) Bagaimana pandangan
anggota masyarakat RT Y, RW Y, Kelurahan Nginden Jangkungan,
Kecamatan Sukolilo, Surabaya terhadap aktivitas seksual mahasiswa di
lingkungan rumah kosnya? (3) Peraturan-peraturan mengenai rumah kos
yang ada di RT Y, RW Y, Kelurahan Nginden Jangkungan, Kecamatan
Sukolilo, Surabaya?
Penelitian ini menghasilkan temuan, bahwa warga masyarakat RT Y
mengetahui di lingkungan mereka terdapat aktivitas pacaran mahasiswa di
29
Nuning Rumbiarso, Pandangan Masyarakat Terhadap Aktivitas Pacaran Mahasiswa Di Rumah Kos: Studi Deskriptif di RT Y, RW Y, Kelurahan Nginden Jangkungan Kecamatan
Sukolilo Kotamadya Surabaya Jawa Timur, Skripsi (Surabaya: Fak. FISIP Antropologi Unair
2008), 2
42
rumah kos. Warga RT Y membuat peraturan yang mengatur masalah
aktivitas pacaran mahasiswa di rumah kos, yaitu melarang mahasiswa atau
anak kos memasukkan pasangan lawan jenis atau pacar mereka ke dalam
kamar kos, dengan adanya saknsi berupa terguran, sidak terhadap rumah
kos. Peraturan ini tidak membuahkan hasil karena mahasiswa atau anak
kos masih melakukan aktivitas pacaran di rumah kost.
Terdapat dualisme pandangan pada warga masyarakat yang
mengakibatkan adanya dua bagian masyarakat dalam melihat aktivitas
seksual mahasiswa di rumah kos. Pertama, bagian masyarakat yang
memandang aktivita seksual adalah sakral, suci, karena itu aktivitas
seksual harus dilakukan di dalam lembaga pernikahan. Bagian masyarakat
ini tidak memperbolehkan mahasiswa atau anak kost memamsukkan
pasangan lawan jenis atau pacar mereka ke dalam kamar kost. Kedua,
bagian masyarakat yang memandang aktivitas seksual bersifat biasa saja,
dapat dilakukan di luar lembaga pernikahan meskipun tidak ada ikatan
pernikahan diantara pelakunya. Aktivitas seksual bersifat pribadi sehingga
tidak dapat diganggu oleh orang lain. Bagian masyarakat ini membiarkan
mahasiswa atau anak kost melakukan aktivitas seksual di rumah kost.
Pesimifitas terhadap aktivitas seksual mahasiswa di rumah kost
dilatarbelakangi oleh faktor finansial. Rumah kost merupakan sumber
pemasukan finansial bagi pemiliknya, dan juga bagi warga di sekitar
rumah kost. Dengan adanya rumah kost memicu bertumbuhnya
43
warung makan, toko bahan pokok, jasa pencucian pakaian (laundry), jasa
pengetikan (rental), warung telekomunikasi (wartel).
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama –
sama mengkaji tentang mahasiswa yang tinggal di kost. Untuk
perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya, penelitian terdahulu
meneliti tentang pandangan masyarakat terhadap aktivitas pacaran
mahasiswa di rumah kos sedangkan penelitian ini meneliti tentang potret
kehidupan mahasiswa yang tinggal di kost dari segi alasan mahasiswa
memilih tinggal di kost, adaptasi mahasiswa dengan lingkungan sekitar
kost, interaksi sosial mahasiswa dengan lingkungan sekitar kost,
kehidupan sosial keagamaan mahasiswa kost, dan prestasi akademik
mahasiswa kost.
2. Penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Kontribusi Mie Instan
Terhadap Kecukupan Gizi dalam Hubungannya Dengan Status Gizi
Mahasiswa Kos (Studi Pada Mahasiswa Yang Bertempat Tinggal Di
Kos-Kosan, Di Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya)”,30
oleh Henny. Aspek yang dikaji dalam penelitian ini ialah seberapa besar
kontribusi energi dan protein dari mie instan terhadap kecukupan gizi
dalam hubungannya dengan status gizi mahasiswa kos.
30
Henny, Kontribusi Mie Instan Terhadap Kecukupan Gizi dalam Hubungannya Dengan Status Gizi Mahasiswa Kos (Studi Pada Mahasiswa Yang Bertempat Tinggal Di Kos-Kosan, Di
Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya), Skripsi (Surabaya: Fak. Kesehatan
Masyarakat Unair, 2006), 2
44
Penelitian ini menghasilkan temuan, bahwa sebagian besar
responden (75%) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, 60%
responden terbiasa mengkonsumsi mie instan 2-3 kali dalam satu minggu.
Sekitar 80% responden mengaku memberikan variasi menu saat
mengkonsumsi mie instan dengan bahan pangan lainnya (seperti telur,
sayuran, dan sebagainya). Berdasarkan hasil penelitian juga dapat
diketahui bahwa kontribusi energi dari mie instan (10,35%) terhadap
kecukupan gizi, lebih besar dibandingkan dengan kontribusi protein dari
mie instan (8,3%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan energi dengan status
gizi (p=0,000 dan a = 0,05), namun sebaliknya tidak ada hubungan yang
bermakna antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (p=0,229
dan a = 0,05).
Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sama –
sama mengkaji tentang mahasiswa yang tinggal di kost. Untuk
perbedaannya terletak pada fokus penelitiannya, penelitian terdahulu
meneliti tentang kontribusi mie instan terhadap kecukupan gizi dalam
hubungannya dengan status gizi mahasiswa kost sedangkan penelitian ini
meneliti tentang potret kehidupan mahasiswa yang tinggal di kost dari segi
alasan mahasiswa memilih tinggal di kost, adaptasi mahasiswa dengan
lingkungan sekitar kost, interaksi sosial mahasiswa dengan lingkungan
sekitar kost, kehidupan sosial keagamaan mahasiswa kost, dan prestasi