• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Peran Nyanyian dan Musik Gerejawi di GKMI Pecangan T1 712008012 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Peran Nyanyian dan Musik Gerejawi di GKMI Pecangan T1 712008012 BAB IV"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 4

Tinjauan Kritis Ibadah, Nyanyian dan Musik Gereja di GKMI Pecangaan

4.1. Pendahuluan

Pada bab ini penulis akan menyampaikan hasil tinjauan kritis atas penelitian

yang dilakukan di GKMI Pecangaan berdasarkan teori yang telah disampaikan pada

Bab 2. Tinjauan kritis tersebut berupa analisa dan solusi yang penulis berikan dengan

melihat kondisi GKMI Pecangaan pada saat penelitian. Penulis akan mengangkat

kerinduan jemaat GKMI Pecangaan akan suatu ibadah yang tidak sekedar seremonial

atau formalitas. Selanjutnya, kurangnya pemahaman peran nyanyian yang digunakan

dalam peribadatan oleh pendeta, musisi dan jemaat GKMI Pecangaan sendiri.

Kemudian penulis akan mengangkat harapan jemaat tentang musik dan musisi yang

ideal di GKMI Pecangaan. Pada akhirnya penulis akan mengambil beberapa hal

penting yang bisa dirangkum sebagai kesimpulan.

4.2. Harapan akan Ibadah yang Bermakna

Sebagaimana ditemukan dalam Bab 3, ibadah yang ada di GKMI Pecangaan,

khususnya Kebaktian Umum Minggu dikeluhkan oleh sebagian jemaat sebagai

ibadah yang hanya terasa sebagai rutinitas tanpa makna. Hal ini disampaikan dengan

alasan bahwa musik gerejawi kurang dipersiapkan dengan maksimal dan ketiadaan

liturgi yang variatif. Ibadah yang seperti ini hanya membuat jemaat datang, duduk,

bernyanyi tanpa penghayatan, mendengarkan pelayanan firman jika temanya menarik

dan mengikuti unsur-unsur liturgi sebagai sebuah formalitas. Hal ini bertentangan

(2)

mengekspresikan iman melalui puji-pujian, mendengarkan pemberitaan Firman dan

merespon kasih Allah.1 Kata “mengekspresikan iman” menjadi satu bentuk utama

dari ibadah. Seseorang yang mengekspresikan sesuatu bukan berarti hanya nampak

di wajah atau gerakan tubuh, tetapi harus diikuti oleh suatu dorongan dari dalam atau

penghayatan untuk melakukannya.

Mayoritas alasan yang disampaikan oleh anggota jemaat atas ibadah yang

kurang bermakna di GKMI Pecangaan terletak pada liturgi yang kurang variatif.

Liturgi yang digunakan dalam Kebaktian Umum merupakan liturgi yang ditawarkan

oleh Sinode GKMI tanpa ada pengembangan secara kreatif. Di dalam Tata Dasar dan

Tata Laksana Sinode GKMI, diberikan kebebasan kepada gereja lokal untuk

mengembangkan liturgi yang ada.2 Liturgi yang ditawarkan oleh Sinode GKMI pun

mencapai klimaksnya pada pelayanan Firman, tetapi ini belum dirasa cukup untuk

menjadi liturgi yang mengena dan bermakna.

Liturgi yang autentik dirasa sebagai tawaran jalan keluar untuk menghasilkan

suatu ibadah yang autentik dan kontekstual. Autentik maksudnya adalah ibadah yang

asli, berasal dari kebutuhan jemaat dan memperhatikan kearifan lokal yang ada.

Allah telah memberikan akal budi, talenta, kemampuan kepada manusia untuk

berbudaya, sehingga manusia pun diperkenankan untuk merancang ibadah bagi Allah

sesuai dengan konteks budayanya masing-masing, bukan dalam keseragaman

denominasi.3 Sesuai yang disampaikan pada bab 2 liturgi yang autentik atau asli

sesuai dengan budaya masing-masing akan menghasilkan ibadah yang kontekstual,

sehingga mengena dan bermakna bagi jemaat yang mengikutinya. Liturgi yang

autentik bisa dimulai dari pemilihan kata-kata yang lebih mudah dipahami. Penulis

1 Ray, Gereja yang Hidup, 9.

2 Sinode GKMI, Tata Dasar dan Tata Laksana Sinode GKMI, 27. 3

(3)

menganalisa, liturgi yang diberikan oleh Sinode GKMI cenderung menggunakan

bahasa teologis tinggi dan tidak mudah untuk dipahami oleh jemaat awam. Liturgi

yang menggunakan bahasa kompleks menghambat jemaat dalam merefleksikan kasih

Allah yang telah menyatakan cintaNya melalui kematian Yesus Kristus bagi dosa

manusia. Sekalipun kata-kata yang dipilih sangat indah atau puitis, jika itu tidak bisa

dipahami dan dihayati oleh jemaat, maka liturgi yang ada akan terasa sebagai sebuah

formalitas. Selain tidak adanya liturgi yang autentik, penggunaan liturgi yang sama

pada Minggu I sampai dengan Minggu V dirasa menjadi faktor selanjutnya yang

membuat ibadah terasa membosankan. Pada dasarnya liturgi yang ditawarkan tidak

hanya satu liturgi, tetapi GKMI Pecangaan hanya memilih dan menggunakan satu

liturgi untuk semua Kebaktian Minggu.

Alasan lain bahwa ibadah yang ada kurang bermakna adalah kurangnya

partisipasi aktif jemaat selama ibadah berlangsung. Penulis menyoroti alasan ini dari

dua pihak, yang pertama adalah dari pihak jemaat. Istilah partisipasi aktif dari jemaat

masih dipahami sebagai bentuk partisipasi jemaat sebagai pelayan dalam ibadah,

baik pemimpin doa syafaat, doa tanggapan, dan pengedar kantong kolekte.

Pemahaman ini bukanlah pemahaman yang benar, karena partisipasi aktif bukan

diwujudkan pelayan altar, tetapi seluruh pihak yaitu pendeta jemaat, pemimpin

pujian, musisi gerejawi dan anggota jemaat memiliki rasa kebersamaan untuk

menciptakan suatu persekutuan dan pertunjukan ibadah bagi Tuhan.

Di pihak pelayan ibadah yaitu pendeta, pemimpin pujian dan musisi gerejawi

perlu sebuah persiapan dan usaha mengembangkan pengetahuan dan potensi diri.

Pengetahuan tentang liturgi, nyanyian dan musik perlu dikembangkan untuk

(4)

dan membosankan. Selain itu pemimpin gereja perlu menanamkan pengertian kepada

jemaat untuk bersama-sama menjadi aktor dalam pertunjukan ibadah bagi Tuhan.

Sedangkan pengembangan potensi diri terutama oleh musisi gerejawi diperlukan agar

keterampilannya dalam memainkan instrumen untuk mengiringi nyanyian menjadi

lebih baik.

4.3. Peran Nyanyian yang Tak Disadari

Peran nyanyian dalam ibadah hanya dipahami sebagai pelengkap, baik oleh

Musisi Gerejawi maupun Pendeta Jemaat. Kata “pelengkap” penulis pahami sebagai

suatu unsur untuk mengisi kekosongan yang ada, yaitu jika tidak ada nyanyian

ibadah dirasa kurang lengkap. Tetapi kata “pelengkap” ini pun bermakna ganda,

yaitu nyanyian hanya dipahami sebagai unsur yang dianggap tidak terlalu penting

selain pelayanan Firman. Di dalam bab 2 disampaikan dua keuntungan utama

nyanyian dalam ibadah, pertama, keuntungan vertikal yaitu nyanyian berfungsi untuk

menjalin relasi, memuji, menyembah, mendatangkan hadirat Allah, dan

mempersiapkan diri untuk menyambut sabda Tuhan melalui pelayanan Firman.

Kedua, keuntungan horisontal, yaitu pengajaran, penginjilan, penguatan dan

persekutuan yang erat antar jemaat.4

Peran nyanyian secara vertikal baru dipahami oleh jemaat sebatas bagian dari

ibadah yang mempersiapkan jemaat untuk mendengarkan pelayanan Firman,

sementara peran lain dari nyanyian jemaat seperti: memuji, menyembah, mengucap

syukur, dan menyesali perbuatan dosa belum dipahami sama sekali. Seperti yang

diungkapkan oleh White dan Ray di dalam bab 2, bahwa seseorang yang bernyanyi

4

(5)

dengan indah tidak berbeda dengan seseorang yang berdoa dua kali, karena ketika ia

bernyanyi dengan indah, ia harus memahami lirik dan melodi yang disandangnya.5

Tradisi yang ada di GKMI Pecangaan, seseorang yang bernyanyi dengan

mengangkat tangan untuk mengekspresikan penghayatan terhadap lirik lagu yang

dinyanyikan sering kali dianggap berlebihan. Selain itu nyanyian selalu dimaknai

sebagai sarana untuk mempersiapkan diri mendengarkan Firman Tuhan, tanpa

menyadari bahwa nyanyian memiliki peran yang lain misalnya: membangun,

menguatkan, dan membina persekutuan antar umat percaya.6 Ketika jemaat

bernyanyi bersama-sama dalam kesatuan, disitulah jemaat tengah membangun suatu

persekutuan yang erat dan di dalam persekutuan yang erat inilah jemaat saling

menguatkan satu sama lain.

Peran lain nyanyian yaitu pengajaran dan penginjilan pun belum dipahami.

Penekanan bahwa pengajaran dan penginjilan hanya ada dalam pelayanan Firman

tidaklah sepenuhnya benar. Melalui nyanyian, jemaat mengenal ajaran Kristen, dan

melalui nyanyian jemaat mengenal Kristus. Riemer mengutip ide Luther dan Calvin

yang berpendapat bahwa firman Allah dapat dinyanyikan sehingga masuk ke dalam

hati anggota jemaat.7 Ayat-ayat yang disandangkan pada melodi yang mudah diingat

dan dinyanyikan akan menjadi sebuah nyanyian yang lebih efektif untuk mengajar.8

Pernyataan di atas dikuatkan oleh pendapat Agastya, yaitu pokok-pokok Kekristenan

lebih mudah dikenalkan, dipahami dan dihayati umat melalui nyanyian.9

Selain itu melalui nyanyian setiap anggota jemaat diberi kesempatan untuk

memberikan suara terbaik mereka dengan penghayatan yang mendalam sehingga

5

White, Pengantar Ibadah Kristen, 102.

6 Detwiler, Church Music and Colossian, 365. 7 Riemer, Cermin Injil, 172.

8 Riemer, Cermin Injil, 172. 9

(6)

turut melebur dalam “pertunjukan ibadah”. Kunci dari semua ini terletak pada

pemilihan nyanyian yang tepat, maksudnya adalah nyanyian yang disesuaikan

dengan unsur liturgi tetapi juga mudah untuk dipahami, mudah untuk dinyanyikan,

memiliki kedalaman teologis, dan merupakan nyanyian kesukaan jemaat. Jika

seluruh anggota jemaat menyenangi sebuah nyanyian, sekalipun itu merupakan

nyanyian baru, maka lagu tersebut akan dinyanyikan penuh penghayatan. Jemaat

yang bernyanyi bersama-sama telah menunjukkan wujud partisipasi aktif jemaat

dalam peribadatan. Ketika rasa partisipasi aktif ini muncul, maka ibadah tidak lagi

terasa membosankan, tak bermakna atau sekedar ritual keagamaan belaka.

4.4. Musik dan Musisi yang Diharapkan

Sebagian Jemaat GKMI Pecangaan sependapat bahwa musik memiliki peran

penting dalam sebuah Ibadah Kristen. Musik menjadi unsur yang membedakan

Ibadah Kristen dengan ibadah umat beragama lainnya. Musik membantu jemaat

melebur melalui nyanyian yang dilantunkan. Dalam prakteknya musik yang

digunakan dalam peribadatan terutama Kebaktian Minggu di GKMI Pecangaan

sudah cukup memenuhi perannya tetapi juga perlu dievaluasi dan dikoreksi.

Musik yang ada bagi sebagian jemaat belum bisa mengajak mereka untuk

memuji Tuhan. Kekurangan ini bertolak belakang dengan pemahaman Anton Ampu

Lembang yang disampaikan di bab 2 tentang peran musik di dalam ibadah, yaitu

sebagai sarana memuji Tuhan.10 Prakteknya jemaat bernyanyi tanpa ada motivasi

untuk memuji Tuhan. Faktor penyebab yang disebutkan antara lain kesalahan

pemilihan nada dasar, tempo yang tidak tepat, pemilihan akor yang kurang pas, dan

10

(7)

kurangnya persiapan musisi. Lamanya musisi dalam mengoperasikan synthesizer

membuat jemaat yang tadinya merasa siap memuji menjadi bosan karena harus

menunggu cukup lama.11 Berdasarkan alasan tersebut penulis menganalisa bahwa

gereja membutuhkan musisi yang tidak hanya bisa bermain musik tetapi memiliki

pengetahuan tentang nyanyian dan musik itu sendiri. Penulis menganalisa bahwa

musisi yang ada di GKMI Pecangaan belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk

menentukan tempo, tanda birama, dan progresi akor. Berdasarkan penuturan para

musisi yang aktif melayani di GKMI Pecangaan, penentuan akor, jenis irama musik,

dan tempo dilakukan hanya berdasarkan intuisi atau perasaan semata dari musisi

tanpa mempelajari notasi atau informasi yang sudah tercantum dalam tiap lagu.12

Sebagai contoh adalah nyanyian dalam PPR 1 berjudul “jaminan mulia” yang

bertanda sukat 9/8 dalam prakteknya dibawakan dalam tempo yang lambatsehingga

menjadi kurang bersemangat dan tidak mencerminkan isi teks. Contoh lain adalah

“Gloria Patri” yang tidak dibawakan sesuai dengan notasi yang ada di dalam PPR 1

dan tempo yang tertulis. Kesalahan-kesalahan ini yang membuat nyanyian yang

seharusnya mampu menggugah jemaat untuk bernyanyi dengan sepenuh hati justru

mengurangi antusiasme jemaat.

Tinjauan kritis selanjutnya yang penulis peroleh berdasarkan hasil penelitian

adalah harapan akan musik yang variatif. GKMI Pecangaan bukan gereja yang

tertutup terhadap perkembangan musik. Gereja ini menerima berbagai jenis dan

instrumen musik yang bisa digunakan sebagai musik gereja. Jemaat menikmati

Kebaktian Penutupan Bulan Keluarga yang diiringi kelompok musik keroncong dari

11 Wawancara dengan Sdri. PNS, anggota jemaat GKMI Pecangaan, Sabtu 21 Juli 2012 pukul 21.40

WIB.

12 Wawancara dengan PK, majelis dan musisi gerejawi GKMI Pecangaan, Sabtu 21 Juli 2012 pukul

(8)

kelompok Pulodarat untuk mengiringi nyanyian yang ada. Demikian pelayanan

musik yang menggunakan perpaduan beberapa keyboard dan electone sebagai

ansambel musik. Ini berarti jemaat membutuhkan suasana yang baru atau musik yang

lebih bervariasi. Agaknya jemaat merasa jenuh dengan permainan solo synthesizer

yang berlangsung hampir di setiap Minggunya. Sebagai sebuah Gereja Tiong Hoa,

anggota jemaat GKMI Pecangaan memiliki prosentase kurang lebih lima puluh

persen jemaat etnis Tiong Hoa. Sisanya merupakan jemaat etnis Jawa dan beberapa

etnis lainnya. Pada dasarnya filosofi hidup antara etnis Tiong Hoa dan Jawa tidak

terlalu jauh berbeda. Demikian pula nyanyian dan musik yang diusung. Bagi penulis,

salah satu usaha kontekstualisasi musik gereja adalah dengan mengusung alat musik

atau irama musik etnis-etnis tersebut dalam ibadah. Penggunaan sitar, kecapi, atau

jenis tone tersebut dalam keyboard akan memberi suasana baru untuk mengiringi

nyanyian bermelodi pentatonik.

Adanya musisi muda yang melayani di tiap Minggu II bagi sebagian jemaat

pun belum dirasa cukup untuk membangkitkan semangat bernyanyi atau memuji

Tuhan. Kerasnya suara drum yang dipukul oleh pemain justru dinilai mengganggu

pendengaran. Minggu II merupakan tugas dari Tim Musik Junior yang

beranggotakan gabungan beberapa orang dari Komisi Pemuda yang mampu

memainkan instrumen musik. Konsep yang dibawa adalah modern band, sehingga

instrumen yang digunakan adalah synthesizer, gitar, bass, dan drum. Kekurangan

dari tim ini adalah cenderung mengesampingkan nyanyian yang berjenis himne dan

lebih memilih untuk mengangkat nyanyian rohani kontemporer. Padahal banyak

jemaat berharap musisi muda mampu mengolah kembali himne yang ada sehingga

(9)

Melihat fakta yang ada di atas, penulis berpendapat bahwa komitmen yang

dimiliki oleh tiap musisi yang ada kurang kuat. Kondisi ini diperjelas pada bab 3

yaitu kurangnya kesadaran musisi untuk melaksanakan tugas sesuai jadwal sehingga

membuat iringan yang ada pada setiap Minggu hanya berupa solo synthesizer. Kedua

kurangnya persiapan dalam mengiringi karena kesepakatan berlatih dua kali pada

hari Kamis dan Sabtu hanya dijalankan satu kali. Ketiga keengganan untuk

mengembangkan kualitas permainan instrumen dan pengetahuan tentang nyanyian

juga menjadi penghambat ketika musisi mengiringi nyanyian. Dengan demikian

penulis berpendapat bahwa musisi yang ada belum menyadari betul tentang peran

musik bagi sebuah ibadah. Di sisi lain, anggota jemaat yang telah menyadari peran

musik dalam ibadah berharap bahwa musik yang diusung memotivasi jemaat untuk

untuk bernyanyi sepenuh hati, menghayati unsur liturgi, menguatkan, menyegarkan,

dan membangun persekutuan yang erat.13

4.5. Penutup

Berdasarkan hasil tinjauan kritis dengan melihat praktek ibadah, nyanyian

dan musik gerejawi yang ada di GKMI Pecangaan, maka penulis menyimpulkan

beberapa hal sebagai berikut: Jemaat mengharapkan suatu ibadah yang bermakna dan

tidak terasa sebagai suatu ritual keagamaan belaka. Sebuah ibadah yang tidak

menghalangi mereka dalam mengekspresikan kerinduan bersekutu bersama umat

Allah dan dengan Allah sendiri. Jemaat mengalami kejenuhan dengan liturgi yang

digunakan, sehingga mengharapkan suatu variasi liturgi yang lain. Kejenuhan ini

terjadi karena liturgi yang sama digunakan sepanjang bulan. Tawaran yang penulis

13 Wawancara dengan Sdri. PNS, anggota jemaat GKMI Pecangaan, Sabtu 21 Juli 2012 pukul 21.40

(10)

berikan adalah dengan membuat beberapa liturgi autentik dan kontekstual untuk

diterapkan pada Minggu yang berbeda. Jemaat belum merasa sebagai partisipan aktif

dalam ibadah karena nyanyian dan musik yang dipilih belum bisa membuat jemaat

merasa berpartisipasi dalam ibadah. Di sisi lain, sebagian jemaat berasumsi bahwa

partisipasi aktif hanya dirasa oleh jemaat yang dipilih sebagai pelayan, misalnya

sebagai pendoa syafaat, pendoa tanggapan firman dan pengedar kantong kolekte.

Baik Jemaat, Pendeta Jemaat dan Musisi Gerejawi sepakat menyatakan

bahwa nyanyian berfungsi sebagai pelengkap dalam suatu ibadah. Peran itu

dijabarkan sebagai sarana mempersiapkan diri untuk mendengarkan Firman Tuhan,

menyatakan ungkapan syukur dan membangun suasana ibadah yang tepat. Belum

ada kesadaran dan pemahaman peran nyanyian sebagai doa, sarana pekabaran Injil,

menguatkan dan membangun persekutuan yang erat, dan sarana mengajarkan

Kekristenan melalui lirik yang terkandung. Jemaat memahami peran musik untuk

membantu mereka dalam menghayati unsur liturgi dan nyanyian yang dipilih dalam

ibadah. Jemaat mengharapkan musik yang lebih bervariatif dan bukan hanya diiringi

satu instrumen musik seperti synthesizer tunggal.

Musisi yang ada masih memiliki sikap subyektif dalam mengiringi nyanyian,

misalnya Tim Junior yang cenderung memilih nyanyian kontemporer rohani daripada

himne. Musisi yang ada belum memiliki komitmen yang kuat untuk melayani, karena

tidak menjalankan tugas dan kesepakatan berlatih dengan disiplin. Perlunya suatu

pelatihan teoritis dan praktis tentang musik gereja terutama bagi musisi, untuk

memahami peran musik dalam sebuah ibadah dan mengembangkan pengetahuan

musisi dalam menganalisa suatu nyanyian sehingga dalam prakteknya musisi dapat

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah yang di limpahkan oleh kehadirat Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah melimpahkan segala rahmat serta karunia yang

Pilih dan aktifkan jurnal yang salah dengan cara mengklik tanda panah di bagian kiri di dalam tabel.. Setelah terbuka,klik menu Edit yang ada dibawah tulisan MYOB Accounting, lalu

Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem Paket adalah sistem penyelenggaraan

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokusan pada hal-hal yang penting, sesuai dengan permasalahan yang diteliti yakni Proses

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

In fact, the master’s degree students’ structure lacked critical links for only four concepts (cash, cash flow, accounts payable, and cost of goods sold).. Finally, the

PANITIA PELELANGAN PEMILIHAN LANGSUNG DAN PENUNJUKAN LANGSUNG KEGIATAN DI LINGKUNGAN YAYASAN PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI.. KABUPATEN KAMPAR TAHUN

Siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang anggotanya masing-masing 3-4 orang dan mendiskusikan masalah yang diberikan guru tentang penggunaan perbandingan senilai