• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkala Ilmiah IlmuPengetahuan dan Teknologi Kehutanan DAFTAR ISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berkala Ilmiah IlmuPengetahuan dan Teknologi Kehutanan DAFTAR ISI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

92-97 98-105 106-114 115-122 123-130 131-142 143-150 151-157 158-165 166-169 170-175 176-184

DAFTAR ISI

Berkala Ilmiah IlmuPengetahuan dan Teknologi Kehutanan

jht

ISSN 2337-7771

E-ISSN 2337-7992

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2 Juli 2013

KOMPOS BERBAHAN ORGANIK LOKAL SEBAGAI AMELIORAN ALTERNATIF SUBTITUSI ABU DI LAHAN GAMBUT

Marinus Kristiadi Harun

STUDI PERAN WANITA PERDESAAN HUTAN DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA DI DESA TELAGA LANGSAT KABUPATEN TANAH LAUT

Asysyifa, Fonny Rianawati, dan Yuniarti

KAJIAN PEMASARAN HASIL HUTAN NON KAYU DARI HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRY DI DESA KERTAK EMPAT KABUPATEN BANJAR

Adnan Ardhana dan Syaifuddin

PEMULIHAN DAN PENCEGAHAN SEMAI TUSAM (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) DARI GEJALA KLOROSIS

Ari Darmawan dan M. Mandira Budi Utomo

TINGKAT BAHAYA EROSI KAWASAN HUTAN ILE MANDIRIKABUPATEN FLORES TIMUR

Mariany Magdalena da Silva

PROSES TRANSFORMASI AGRARIA DAN KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI DAERAH PEDALAMAN: STUDI KASUS DI KECAMATAN LONG BAGUN KABUPATEN KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR Eddy Mangopo Angi dan C. B. Wiati

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN TANAMAN HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BIREUEN-ACEH

Halus Satriawan, Z. Fuady, dan Romainur

KARAKTERISTIK PENGGERGAJIAN KAYU GANITRI (Elaeocarpus ganitrus Roxb.) DARI HUTAN RAKYAT DENGAN POLA AGROFORESTRI

Mohamad Siarudin & Ary Widiyanto

PENGENDALIAN MUTU KAYU LAPIS PADA PT WIJAYA TRI UTAMA PLYWOOD INDUSTRY DI KALIMANTAN SELATAN

Zainal Abidin, Agus Sulistyo Budi, Bandi Supraptono, dan Edy Budiarso

PENGARUH TRICHODERMA SP. PADA MEDIA BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JABON PUTIH (Anthocepalus cadamba)

Tati Suharti, Yulianti Bramasto, dan Naning Yuniarti

PENYARADAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN DI HUTAN TANAMAN DI KALIMANTAN TIMUR

Sona Suhartana dan Yuniawati

MODEL INTERAKSI ANTARA MASYARAKAT DENGAN HUTAN KOTA DI KOMPLEKS BUMI PERKEMAHAN BONGOHULAWA KECAMATAN LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO

(2)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para penelaah yang telah berkenan menjadi Mitra Bestari pada Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2 yaitu:

Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.S., M.Agr.Sc. (Fakultas Pertanian Universitas Lampung)

Prof.Dr.Ir. Wahyu Andayani,M.Sc (Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada)

Prof.Ir. Erry Purnomo,Ph.D

(Fakultas Pertanian Universitas Borneo Tarakan)

Dr.Ir.Leti Sundawati,M.Sc

(Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)

Prof. Dr. Ir. Syukur Umar, DESS (Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako)

Prof. Dr. Ir. Baharuddin Mappangaja, M.Sc. (Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin)

Prof.Dr.Ir.H.M.Ruslan,M.S

(Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat)

Dr. Ir. Kusumo Nugroho, MS

(Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian)

Dr.Ir. Cahyono Agus Dwikoranto, M.Agr. (Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada)

Prof.Dr.Ir.Sipon Muladi

(Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman)

Prof. Dr. Ir, Djamal Sanusi

(Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin)

Dr. Sc. Agr. Yusran, S.P., M.P (Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako)

Dr.Ir.Hj. Darni Subari,M.S

(3)

KATA PENGANTAR

Salam Rimbawan,

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 Nomor 2 Edisi Juli 2013 kali ini menyajikan 12 buah artikel ilmiah hasil penelitian di bidang teknologi hasil hutan, manajemen hutan dan budidaya hutan.

Marinus Kristiadi Harun meneliti dampak negatif praktek besik-bakar dan prospek kompos berbahan organik lokal sebagai substitusi abu untuk amelioran di lahan gambut.

Asysyifa, dkk meneliti besarnya pendapatan wanita, kontribusi pendapatan wanita terhadap pendapatan keluarga dan peran wanita dalam meningkatkan kese-jahteraan keluarga serta menggali potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan kaum wanita di Desa Telaga Langsat Kabupaten Tanah Laut.

Adnan Ardhana dan Syaifuddin meneliti saluran pemasaran, margin pemasaran dan efisiensi pemasaran hasil hutan non kayu hutan rakyat pola agroforestri di desa Kertak Empat, Kabupaten Banjar, Propinsi Kali-mantan Selatan.

Pemulihan dan Pencegahan Semai Tusam (Pinus

merkusii Jungh. et de Vriese) dari Gejala Klorosis diteliti

oleh Ari Darmawan dan M. Mandira Budi Utomo yang menghasilkan plot penelitian pemulihan, persentase kematian semai terendah adalah kombinasi antara pu-puk lambat tersedia dan pelet T. reesei. Pertumbuhan tinggi dan diameter semai terbaik adalah substitusi media dengan pelet T. reesei tanpa pupuk lambat terse-dia.

Mariany Magdalena da Silva meneliti Tingkat Baha-ya Erosi Kawasan Hutan Ile Mandiri Kabupaten Flores Timur. Hasil perhitungan menunjukan bahwa tingkat bahaya erosi yang terjadi cukup bervariasi meliputi erosi sangat ringan, berat dan sangat berat.

Proses transformasi agraria dan konflik sumberdaya

Long Bagun Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur diteliti oleh Eddy Mangopo Angi dan C. B. Wiati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: masyarakat asli maupun pendatang pada wilayah Kecamatan Long Bagun mendapatkan akses atas tanah melalui proses-proses yang sah menurut aturan hukum mereka (kese-pakatan adat/lokal) untuk dapat menguasai tanah yang dimiliki oleh pemilik sebelumnya. Konflik penguasaan tanah di Kecamatan Long Bagun terjadi dikarenakan ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk menyelesaikan konflik tata batas, terutama sejak adanya pemberian izin HPHH seluas 100 ha dan IUKhM. Halus Satriawan, dkk meneliti kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman hutan Rakyat di kabu-paten bireuen-aceh.

Karakteristik penggergajian kayu ganitri

(Elaeo-carpus ganitrus Roxb.) dari hutan rakyat dengan pola

agroforestri diteliti Mohamad Siarudin & Ary Widiyanto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola penggergajian satu sisi dan pola penggergajian semi perempatan meng-hasilkan rendemen dan produktifitas yang relatif sera-gam, namun berbeda sangat nyata pada efesiensi meng-gergaji dan lebar papan rata-rata, serta berbeda nyata pada penggunaan bahan bakar.

Pengendalian Mutu Kayu Lapis Pada PT Wijaya Tri Utama Plywood Industry di Kalimantan Selatan diteliti Zainal Abidin, dkk. Dari kelima jenis ketebalan kayu lapis yang diteliti (2,4 mm, 2,7 mm, 3,2 mm, 3,7 mm dan 5,2 mm), terlihat bahwa relatif ada perbedaan jenis cacat yang terjasi serta prosentasenya.

Tati Suharti, dkk meneliti pengaruh trichoderma sp. pada media bibit terhadap pertumbuhan Bibit Jabon Putih (Anthocepalus cadamba). Kombinasi dalian fisik (tanah:kompos:sekam 1:1:1) dan pengen-dalian biologi (Trichoderma sp), signifikan dapat

(4)

mening-Penyaradan kayu ramah lingkungan di hutan ta-naman di Kalimantan Timur diteliti Sona Suhartana dan Yuniawati. Penelitian menunjukkan penggunaan teknik RIL dalam kegiatan penyaradan kayu dapat mening-katkan produktivitas sebesar 14,72%, menurunkan biaya produksi sebesar 17,53% dan meminimalkan ter-jadinya kerusakan lapisan tanah atas sebesar 26,89%. Model interaksi antara masyarakat dengan hutan kota di Kompleks Bumi Perkemahan Bongohulawa diteliti Daud Sandalayuk, dan Samsudin D. Keseluruhan interaksi antara masyarakat dengan hutan kota di

kom-pleks bumi perkemahan Bongohulawa Kecamatan Lim-boto Kabupaten Gorontalo yang meliputi pimpinan, kelompok minat,kepala keluarga, wanita, pemuda diper-oleh skor rata-rata skor capaian responden diperdiper-oleh sebesar 56,44% dengan kualitas yang cukup

Semoga hasil penelitian tersebut dapat menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca untuk dikembangkan di kemudian hari. Selamat Membaca.

Banjarbaru, Juli 2013 Redaksi,

(5)

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2 Juli 2013 ISSN 2337-7771 E-ISSN 2337-7992

PROSES TRANSFORMASI AGRARIA DAN KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI

DAERAH PEDALAMAN: STUDI KASUS DI KECAMATAN LONG BAGUN

KABUPATEN KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR

Process Of Agrarian Transformation And Natural Resources Conflict In Hinterland

Area In Long Bagun District, Kutai Barat Regency, East Kalimantan

Eddy Mangopo Angi

1

dan C. B. Wiati

2

1

Peneliti Bidang Kebijakan dan Tata Kelola Hutan di Konsultan Independen

2

Peneliti Bidang Sosiologi Kehutanan di Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

Jalan H.A. Wahab Syahranie, Sempaja Samarinda, Kalimantan Timur

ABSTRACT. This research was aim to know history and forms of control, ownership and land using by local people, bussines and government. From the history and forms of control, ownership and land using could knowed the agrarian transformation which happen, including the existing of management system, authority system and permit system. Result of this research showed that: (1) Indigenous and outsider people in Long Bagun District has land acces through legal process according to their law rule (custom/local agreement) to control the land from the owner before. This process was done for genera-tions or gotten permit from local head of village; (2) Conflict of land control in Long Bagun District happen because of disability of government of Kutai Barat Regency to finish the conflict of border system, particularly since the existing of HPHH permit for 100 ha and IUKhM; (3) Beside of the existing of investor/big capitalism in villages, natural resources conflict also happen because of the unclear of ownership and unfinished the village border system.

Keyword: agrarian transformation, natural resources conflict, Long Bagun District

ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan bentuk-bentuk penguasaan,

kepemilikan dan pemanfaatan tanah oleh masyarakat lokal, perusahaan dan pemerintah. Dari sejarah dan bentuk penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah tersebut, dapat diketahui proses transformasi agraria yang terjadi termasuk tata kelola, tata kuasa dan tata ijin yang ada. Selain itu pula diketahuinya pula konflik yang terjadi akibat dari proses transformasi agraria yang ada. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Masyarakat asli maupun pendatang pada wilayah Kecamatan Long Bagun mendapatkan akses atas tanah melalui proses-proses yang sah menurut aturan hukum mereka (kesepakatan adat/lokal) untuk dapat menguasai tanah yang dimiliki oleh pemilik sebelumnya. Proses tersebut dapat dilakukan secara turun temurun atau mendapatkan ijin dari pihak petinggi kampung setempat; (2) Konflik penguasaan tanah di Kecamatan Long Bagun terjadi dikarenakan ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk menyelesaikan konflik tata batas, terutama sejak adanya pemberian izin HPHH seluas 100 ha dan IUKhM; (3) Selain disebabkan adanya investor/ kapitalisme besar di kampung-kampung, konflik sumberdaya alam di Kecamatan Long bagun juga terjadi karena tidak jelasnya kepemilikan dan tidak terselesaikannya tata batas kampung.

Kata Kunci:Transformasi agraria, konflik sumberdaya alam, Kecamatan Long Bagun

(6)

132

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2, Edisi Juli 2013

PENDAHULUAN

Di Indonesia, daerah pedalaman sering dikaitkan secara negatif dengan keterbelakangan. kemiskinan, kebodohan, kekacauan dan pembangkangan dengan sikap keras kepala untuk hidup sebagai warga negara yang normal. Penggambaran daerah pedalaman sebagai daerah asing dan terbelakang dipakai untuk mewujudkan agenda tertentu, dan memiliki dampak yang nyata dalam menetapkan model atau rencana pembangunan seperti apa yang perlu dilakukan di daerah pedalaman (Li, 2002). Selanjutnya Peluso (1995) dalam Li (2002), menjelaskan bahwa konsep yang sangat relevan dalam memahami daerah pedalaman masa kini adalah proses teritorialisasi yang didefinisikan sebagai proses yang dilalui semua negara modern dalam membagi wilayahnya menjadi zona-zona politik dan ekonomi yang kompleks dan saling bertumpang tindih, mengatur kembali penduduk dan sumber daya alam di dalam unit-unit dan membuat aturan yang membatasi bagaimana dan oleh siapa wilayah ini dapat dimanfaatkan.

Konsep keterpinggiran merupakan titik awal untuk mengungkap sejumlah dimensi yang terpenting dalam transformasi daerah pedalaman. Salah satu dimensi yang terpenting adalah transformasi agraria di daerah pedalaman. Agraria dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 sebagai peraturan dasar yang mengatur pokok-pokok keagrarian dan merupakan landasan hukum tanah nasional, tidak memberikan pengertian yang tegas baik mengenai istilah tanah maupun agraria (Nurlinda, 2009). Ditambahkan Galudra, dkk (2006), UUPA yang wewenang pelaksanaannya dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Undang – Undang Pokok Kehutanan (UUPK) yang wewenang pelaksanaannya ada ditangan Kementerian Kehutanan. Pengertian agraria dalam UUPA tersebut, mengandung makna yang luas, yang meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam pengertian tersebut maka Harsono (2007) mengatakan bahwa perangkat hukum agraria tidak hanya merupakan satu perangkat hukum saja, tetapi merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak

atas penguasaan sumber-sumber daya alam tertentu termasuk pengertian agraria sebagai diuraikan di atas. Transformasi agraria yang mengatur hak-hak atas penguasaan sumberdaya alam yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan pembangunan daerah pedalaman. Selain itu pula akibat yang ditimbulkan dari penguasaan sumberdaya alam ini adalah akses tanah untuk rakyat/ petani terkait dengan keterpaksaan melepaskan tanahnya karena praktik perijinan memungkinkan alih fungsi tanah berdasarkan peruntukan bagi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan alasan kepentingan pembangunan (Sumardjono, 2006; Dietz, 1998). Pembangunan dalam arti untuk kepentingan kapitalis adalah perkebunan dan pertambangan dalam skala besar (perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu bara, dan lain sebagainya). Pihak kapitalis mengambil alih tanah-tanah yang semula dikuasai rakyat (Widjono, 1998; Semedi dan Bina, 1996)

Hal terpenting lain dampak dari penguasaan sum-berdaya alam ini adalah, konflik kepentingan yang muncul di masyarakat, baik antar masyarakat sendiri, masyarakat dengan pihak penguasa sumberdaya alam (pengusaha) maupun dengan pemerintah setempat. Kasus masyarakat di Kalimantan Barat oleh Semedi dan Bina (1996) disebutkan bahwa penguasaan tanah oleh pengusaha yang mereka sebut ’orang asing’ telah menguasai tanah perwalian mereka. Kasus perseng-ketaan tanah juga dialami di Kalimantan Timur, dimana eksploitasi sumberdaya hutan yang diberikan kepada pengusaha oleh pemerintah untuk mendapat keun-tungan secara ekonomi (Maunati, 2004; Angi dkk, 2010).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dapat digarisbawahi bahwa ketidakpastian penguasaan dan kepemilikan atas tanah baik bagi masyarakat, pengu-saha maupun pengambil keputusan menjadi sumber permasalahan ini. Menurut Contreras, dkk (2006) dan Galudra, dkk (2006), ketidakpastian aturan main dan kepastian penguasaan yang ditetapkan oleh pemerintah menjadi jantung permasalahan. Kementerian Kehutanan misalnya, yang mengklaim kewenangannya atas sebagian besar wilayah Indonesia, tetapi tidak mampu menunjukkan kemampuannya mengelola wilayah yang luas tersebut serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan serta pengelolaan yang dibutuhkan oleh

(7)

Eddy Mangopo Angi & C.B. Wiati: Proses Transformasi Agraria dan Konflik……….(1): 131-142

masyarakat setempat maupun industri.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1). Mengetahui bentuk-bentuk penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah; (2). Mengetahui tata kelola, tata kuasa dan tata ijin yang ada dalam penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah tersebut; (3). Mengetahui konflik yang terjadi akibat dari proses trans-formasi agraria yang ada.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dimulai 3 (tiga) bulan pertama dari bulan April sampai dengan Juni 2008. Dilanjutkan kembali 3 (tiga) bulan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2012. Kegiatannya meliputi kegiatan persiapan (studi literatur), pelaksanaan penelitian, pengolahan data dan penulisan laporan lapangan. Lokasi studi di wilayah administrasi Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Pro-pinsi Kalimantan Timur, dengan titik berat pengambilan data pada pihak-pihak yang menguasai, memiliki dan pemanfaatan tanah. Terutama informan kunci (key

in-formant) di wilayah kampung, kecamatan dan

kabu-paten yang dipilih secara sengaja (purposive sampling) sebagai responden untuk mewakili pihak-pihak pemang-ku kepentingan.

Bahan-bahan terpenting yang dipergunakan untuk studi ini dirinci sebagai berikut: Peta-peta dasar tematik Kabupaten Kutai Barat, daftar list dokumen yang diperlukan dalam studi, daftar list pertanyaan tidak ter-struktur, buku catatan kecil (buku lapangan), dokumen referensi penting dari berbagai sumber sebagai data sekunder. Peralatan di lapangan antara lain: Alat tulis menulis, kertas catatan, buku kecil, buku besar, papan

talysheet, kertas HVS, dll) yang digunakan untuk studi

maupun pelaporan. Bahan visual antara lain: Kamera foto, alat perekam dan film kamera.

Dalam penelitian ini metode analisis yang digu-nakan adalah metode Rapid Land Tenure Assessment

(RATA) yang dikembangkan oleh Galudra dkk, (2006),

dan metode Pengembangan Skenario Alternatif yang dikembangkan oleh Wollenberg dkk (2001). Penggu-naan kedua metode dilakukan untuk lebih memperjelas fakta yang terjadi dilapangan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini.

Studi bersifat eksploratif, dengan mengkombina-sikan metode telaah dokumentasi (documentation

study) dari berbagai sumber data dan metode langsung

(direct methods) yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik wawancara dan observasi la-pangan (ground observation). Dalam pengisian kuesioner dan wawancara jika memungkinkan juga dikutip pernya-taan tentang sikap, keyakinan, pemikiran dan persepsi mereka. Data yang dikumpulkan dalam studi ini berupa data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui hasil diskusi dan wawancara dengan responden dan informan kunci. Sedangkan data sekunder dikum-pulkan melalui studi literatur, pengumpulan data di instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan, Dinas Perke-bunan, Dinas Pertambangan dan Energi, Badan Ling-kungan Hidup Daerah (BLHD), Dewan Perwakilan Rak-yat Daerah (DPRD), Biro Hukum dan Kebijakan Kantor Bupati, Badan Pusat Statistik (BPS), dan lain-lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipologi Kecamatan Long Bagun

Kecamatan Long Bagun, merupakan salah satu kecamatan dari 21 kecamatan di Kabupaten Kutai Barat. Berada di bagian utara Propinsi Kalimantan Timur dengan luas 4.971,20 km2,jumlah penduduk sekitar

8.915 jiwa atau 2.159 KK, dengan kepadatan penduduk mencapai 1,79 jiwa/km2. Suku asli yang mendiami daerah

ini adalah suku Dayak yang meliputi: Dayak Bahau, Busang, Kayan, Punan, Kenyah, Aoheng (Penihing), dan pendatang yang umumnya berdagang dan bekerja atas sumber daya alam seperti: suku Bakumpai, Jawa, Banjar dan Bugis dari Sulawesi Selatan.

Menurut letaknya kecamatan ini berbatasan sebe-lah utara dengan Kabupaten Malinau, sebesebe-lah timur dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, sebelah selatan dengan Kecamatan Long Hubung dan Laham dan sebe-lah barat berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kecamatan Long Pahangai. Sedangkan kampung-kampung yang berada di Kecamatan Long Bagun meliputi: Long Hurai, Long Merah, Mamahak Ilir, Mamahak Ulu, Long Melaham, Ujoh Bilang, Long Bagun Ilir, Batoq Kelo, Batu Majang, Long Bagun Ulu dan Rukun Damai.

Penduduk asli di Kecamatan Long Bagun umumnya bekerja sebagai petani ladang yang merupakan tradisi

(8)

134

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2, Edisi Juli 2013

turun temurun dari masyarakat dayak yang ada di kecamatan ini. Menurut data BPS (2012) disebutkan pertanian yang ada meliputi padi ladang seluas 2.592 ton dengan luas 994 ha. Sementara untuk produksi perkebunan karet mencapai 11,74 kg/ha. Sedangkan penduduk pendatang umumnya bekerja di perusahaan kayu, berdagang bahan keperluan pokok dan juga bekerja mencari emas di sepanjang anak-anak sungai Mahakam. Kegiatan perekonomian digerakan dengan adanya koperasi yang mencapai 17 buah. Selain itu juga berkembangnya Credit Union (CU) yang berada di beberapa kampung.

Sejarah Masyarakat di Kecamatan Long Bagun dan Kondisinya Saat Ini

Sejarah Kampung Ujoh Bilang dan Long Melaham

Hasil wawancara dengan tokoh adat menyebutkan bahwa menurut sejarahnya penduduk Kampung Ujoh Bilang dan Long Melaham berasal dari Apokayan (Dayak Busang) yang meninggalkan daerah tersebut melalui Sungai Boh dan masuk ke Sungai Glat, sehingga mereka dinamakan orang Long Glat yang berarti orang yang mendiami Sungai Glat. Setelah itu dipimpin oleh Kepala Ding, orang-orang Long Glat pindah dan bermukim di Sungai Mahakam, mengikuti orang Kayan yang sudah bermukim di sana sebelumnya. Pada saat itu, pemimpin orang Long Glat seperti Bang Juk mempunyai pengaruh besar di wilayah di bawah riam-riam. Hal tersebut sesuai yang disebutkan Nieuwenhuis (1994), bahwa dalam sejarahnya Mahakam Hulu pernah dikuasai oleh orang Long Glat yang pernah memegang kekuasaan di daerah ini sekitar tahun 1850.

Kampung-kampung di Kecamatan Long Bagun sendiri mulai dibangun sekitar tahun 1900, dimulai saat Hibau Ajang beserta pengikutnya meninggalkan kampung lama mereka milir ke Kampung Muroh untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Kampung Muroh terletak di hulu Batu Dinding (Batu Kapur Kehe dan Batu Teweng) antara Kampung Ujoh Bilang dan Long Melaham. Karena adanya serangan wabah kolera, pada tahun 1928 penduduk Kampung Muroh pindah ke hilir di hulu Sungai Melaham (sekarang Kampung Long Melaham) dan sebagian ke Kampung Mamahak, Ujoh Bilang. Keberhasilan Hibau Ajang menarik saudara

perempuannya Beg Ajang untuk mengikuti jejak kakaknya yang kemudian tinggal di Ujoh Bilang. Keturunan kedua kakak beradik ini yang kemudian hari banyak menjadi pimpinan di Ujoh Bilang dan Melaham. Selanjutnya Hibau Ajang mempunyai anak bernama Hang Hibau yang menikah dengan Bong Lejiu (Anak Raja Long Hubung dari suku Bahau Hwang Saq). Perkawinan Hang Hibau dan Bong Lejiu menurunkan 2 keturunan yaitu: 1). Bulan Hang yang menikah dengan Ajang Bayau (Raja Long Bagun) yang melahirkan keturunan yang menetap di Kampung Long Melaham yaitu Doq Ajang, Song Ajang, Tubu Ajang yang menikah dengan Kuhi Liah (Raja orang Kayan) dari Long Paka’ yang kemudian menjadi kepala desa, Ubung Ajang, Wang Ajang, Lejui Ajang dan Belareh Ajang. 2). Helaq Hang yang menikah dengan Long Liing dari Long Tuyoq, dengan keturunannya Ping Helaq yang menikah dengan Belawing Belareq (sekarang kepala adat besar Long Pahangai) dan Hibo Helaq Setelah Hang Hibau meninggal, Bong Lejiu menikah dengan Liah Lasah (keturunan Raja Lirung Ubing) dengan mendapatkan keturunan yang mendiami Kampung Ujoh Bilang yaitu Devung Liah, Sawing Liah, Ding Liah, dan Long Liah.

Sementara Beq Ajang menikah dengan Liah Ding (orang Long Tuyoq) dan menetap di Long Tuyoq. Setelah Liah Ding meninggal, Beq Ajang kembali ke Ujoh Bilang. Perkawinan Beq Ajang dengan Liah Ding mendapatkan keturunan: Lawing Beq yang menikah dengan Mebeng Gun dan menetap di Ujoh Bilang. Keturunan yang lain Ding Beq yang kembali ke Long Tuyoq menikah dan menetap disana.

Kelompok Bang Juk (Raja di hulu Mahakam) datang ke Ujoh Bilang diperkirakan sebelum tahun 1900. Bang Juk menikah dengan Long Piing dan menghasilkan 2 keturunan yaitu Lejiu Bang yang tidak memiliki anak atau keturunan dan Bit Bang yang merantau ke suku Punan di Tabang dan menikah disana dengan keturunan Mupung. Tahun 1930 saat Bang Juk wafat, kekuasaan jatuh ke tangan Tului Paron (dikenal sebagai Avan dari Long Glat), yang kemudian pindah ke Data Naha untuk menjadi raja disana.

Kekosongan kekuasaan diambil alih oleh Beq Ajang saudara Hibau Ajang, sebagai penguasa di daerah tersebut yang meliputi Long Melahan/Muroh dan Ujoh Bilang. Setelah Beq Ajang meninggal, posisinya

(9)

Eddy Mangopo Angi & C.B. Wiati: Proses Transformasi Agraria dan Konflik……….(1): 131-142

digantikan anaknya Lawing Beq yang dalam perkem-bangannya kemudian diangkat menjadi Kepala Adat dan Petinggi Kampung di Ujoh Bilang. Ketika Lawing Beq diangkat menjadi petinggi di Ujoh Bilang, Helaq Hang diangkat juga sebagai petinggi di Long Melaham. Saat ini keturunan mereka tidak lagi menjadi pemimpin/pe-tinggi Kampung Ujoh Bilang, sehingga sejarah ketu-runan keluarga tersebut tidak dapat diketahui lagi.

Sejarah Kampung Long Bagun Ilir

Sementara itu Kampung Long Bagun Ilir di daerah Sungai Sebunut didirikan oleh suku Aoheng (Dayak Penihing) yang melakukan perpindahan dari Kampung Tiong Ohang di Kecamatan Long Apari. Perpindahan kelompok pertama dilakukan pada tahun 1972 suku Aoheng (Dayak Penihing) ke Kampung Batoq Kelo sebanyak 20 kepala keluarga (KK) yang dipimpin oleh Jalung Bulan. Perpindahan tersebut dilakukan untuk mencari tempat kehidupan yang baru dan lebih baik. Pada tahun 1973 dilakukan pula perpindahan kelompok ke-2 sebanyak 40 KK yang dipimpin oleh Anyeq Sangiq dan Ngo Bulan dari Kampung Tiong Ohang ke Kampung Batoq Kelo. Kemudian pada tahun 1977 perpindahan ke-2 dilakukan dari Kampung Batoq Kelo ke daerah Long Bagun Ilir yang dipimpin oleh Tekwan. Kelompok ke-2 kemudian menyusul yang dipimpin oleh Paron.

Perpindahan suku Aoheng ke Long Bagun Ilir yang didiami orang Dayak BUsang di daerah Sungai Sebunut diterima secara adat dengan memberikan tajau atau guci.. Selanjutnya syarat diterima orang Dayak Busang dengan memberikan batu jala yang berisi parang yang bermakna untuk membuka lahan dan piring putih sebagai tanda menerima kedatangan orang Dayak Aoheng dengan hati yang putih. Penerimaan orang Dayak Aoheng dilakukan oleh Kepala Adat Long Bagun di Kampung Long Bagun Ilir dengan bantuan Jalung Bulan seorang Dayak Aoheng yang dapat berbahasa Dayak Busang. Saat itu penyerahan lahan secara adat oleh Kepala Adat Long Bagun dilakukan setelah menyepakati wilayah Kampung Long Bagun Ilir yang diberikan.

Saat ini Kepala Adat Kampung Long Bagun Hulu (Dayak Busang) ingin mengklaim kembali wilayah Kampung Long Bagun Ilir. Mereka mengklaim wilayah tersebut sampai dengan Sungai Pengaron yang berada

di kiri mudik Sungai Sebunut. Permasalahan ini awal mulanya terkait dengan adanya usulan Ijin Usaha Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (IUHPHH) atau yang dikenal HPHH 100 ha pada tahun 1999. Permasalahan semakin berkembang sejak Lembaga Kampung Long Bagun Ilir mengusulkan Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat (IUKhM) tahun 2005 lewat Badan Pengelola Koperasi Losing Urip di Sungai Sebunut.

Kepemilikan Tanah oleh Masyarakat Bentuk Kepemilikan

Tana’ Peraaq

Tana’ Peraaq atau sering disebut juga Tana Mawa’

yang bermakna tanah kesayangan. Daerah tersebut disayang karena terdapat berbagai sumber daya alam yang diperlukan oleh masyarakat kampung setempat.

Tana’ Peraaq dapat dikatakan sebagai tabungan

masyarakat umum (tanah komunal) karena dapat dimanfaatkan untuk masyarakat secara umum. Pemanfaatan tersebut dapat berupa umum maupun pribadi sepanjang tidak dijual atau diperdagangkan. Kepentingan pribadi misalnya untuk acara kematian, upacara adat, lahan usaha bagi masyarakat yang tidak punya biaya untuk hidup serta untuk cadangan makanan jika terjadi musibah kekeringan atau kelaparan. Sedangkan untuk kepentingan umum misalnya untuk pembuatan gereja, balai adat balai kampung dan sebagainya.

Tana’ Peraaq di Kampung Long Melaham berada

di Sungai Melaham Bit yang merupakan anak sungai dari Sungai Melaham dan terletak di sebelah kanan mudik. Sedangkan Tana’ Peraaq di Kampung Ujoh Bilang berada di Batu Sap. Penentuan dan pengaturan lokasi Tana’ Peraaq diatur secara adat melalui musyawarah adat yang dipimpin oleh kepala adat berdasarkan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Batas-batas terluar lokasi Tana’ Peraaq Sungai Melaham Bit berdasarkan batas alam dan telah melalui kesepakatan bersama.

Perladangan Tradisional

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat di Kecamatan Long Bagun melakukan kegiatan perladangan dengan membuka hutan. Cara umum yang digunakan adalah dengan sistem tebas

(10)

136

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2, Edisi Juli 2013

dan bakar (slash and burn) yang dilakukan secara gilir balik dalam kurun waktu 10 - 15 tahun secara bersama-sama dan berada dalam satu bentang alam. Saat ini sebagian masyarakat sudah melakukan perladangannya dengan sistem menetap terutama yang hanya memiliki lahan terbatas dan mengolahnya secara turun temurun. Perladangan dilakukan dengan sistem tadah hujan melalui proses tahap pembukaan hutan, pemotongan, pencincangan, pembakaran, penanaman, pemeliharaan hingga pemanenan. Jenis yang ditanam adalah padi gunung dan palawija dan dilakukan hanya sekali dalam setahun.

Perkebunan Karet

Perkebunan karet di Kecamatan Long Bagun berkembang setelah adanya program DAK-DR dan budidaya tanaman kehutanan seperti kebun hutan. Namun demikian penanaman karet di wilayah ini sebe-narnya telah ada sejak tahun 1986 dengan masuknya Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dari Keuskupan Samarinda. Areal untuk pengembangan karet tersebut berada di sekitar Sungai Sebenaq yang dipinjam dari Kampung Ujoh Bilang. Saat itu setiap KK diberikan jatah 1 ha/KK untuk ditanami dengan karet. Untuk Kam-pung Long Bagun Ilir, karet ditanam dibekas ladang yang berada di Sungai Sebunut. Dalam perkembangannya perkebunan karet saat ini dapat membantu ekonomi keluarga sebagai sumber penghasilan sampingan di luar hasil ladang dengan harga jual di tingkat pengumpul di kampung.mencapai Rp 5.000/kg.

Budidaya Agroforestri

Budidaya agroforestri sebenarnya telah lama dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Long Bagun, yaitu dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian/perkebunan yang telah ada sebelumnya. Beberapa model budidaya agroforestri di lapangan misalnya tanaman coklat dicampur dengan beberapa tanaman kehutanan misalnya meranti, kapur dan lain-lain. Ada pula kombinasi antara karet dengan tanaman kehutanan atau tanaman buah. Saat ini budi-daya agroforestri banyak dikembangkan melalui pro-gram DAK-DR dan propro-gram penanaman dalam Izin Usa-ha Kehutanan Masyarakat (IUKhM) yang menggabung-kan tanaman kehutanan, pertanian dan perkebunan.

Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat (IUKhM)

IUKhM merupakan program dari pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk mensejahterakan masyarakat yang berada di sekitar hutan. Sesuai Perda Kabupaten Kutai Barat No. 12 Tahun 2003, tujuan penyelenggaraan IUKhM adalah untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Model pengelolaan IUKhM yang ada dilapangan diantaranya adalah Hutan Kampung, Hutan Adat dan Hutan Rakyat/Waris yang semuanya berada di luar Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dengan peruntukan Kawasan Hutan Produksi Lokal.

Sejak dikeluarkan pertama kali pada tanggal 17 Mei 2005 hingga saat ini sudah terdapat 11 IUKhM yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Tiga dari 6 IUKhM yang ada di Kecamatan Long Bagun diantaranya adalah: (1) IUKhM Lembaga Adat Mamahak Besar dengan Badan Pengelola Koperasi Luvang Kriman; (2). IUKhM Lembaga Kampung Long Melaham dengan Badan Pengelola Koperasi Nedau Apau; (3). IUKhM Lembaga Kampung Long Bagun Ilir dengan Badan Pengelola Koperasi Losing Urip. Dalam pelaksanaannya masing-masing Badan Pengelola selanjutnya akan bermitra dengan perusahaan (pemilik modal) untuk melakukan kegiatan eksploitasi hutan. Hasil yang didapat akan dibagi berdasarkan kesepakatan antara Badan Pengelola dan Pemilik Modal. Sedangkan untuk masyarakat dan Lembaga Kampung/Adat hanya diberi fee yang besarnya berdasarkan kesepakatan.

Bekas Kampung

Bekas kampung merupakan bekas tempat pemukiman masyarakat Dayak yang melakukan perpindahan dari bagian hulu Mahakam dan anak-anak sungainya ke bagian hilir dari sungai Mahakam. Umumnya mereka melakukan beberapa kali perpin-dahan dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk menetap. Salah satu contoh bekas kampung (Lepuun Uma) yang ada di Long Melaham/Muroh berada di sebelah kiri mudik Kampung Long Melaham. Lokasi tersebut tadinya dibangun oleh kelompok Dayak Kayan yang melakukan perpindahan dari kampung lama mereka di Longpaka (Long Pahangai). Saat ini kondisi bekas kampung hanya

(11)

Eddy Mangopo Angi & C.B. Wiati: Proses Transformasi Agraria dan Konflik……….(1): 131-142

berupa bekas-bekas pondok dan beberapa tanaman buah yang masih ada (durian, kelapa, mangga, dan lain-lain).

Kebun Rotan

Berkebun rotan merupakan kebiasaan masyarakat Dayak secara turun temurun yang dilakukan saat mere-ka membumere-ka hutan untuk kegiatan perladangan dengan cara menanam rotan setelah selesai panen padi. Penanaman rotan dilakukan diantara tunggul-tunggul kayu sebagai penyangga jika tanaman tersebut tumbuh. Masyarakat Dayak yang ada di Kecamatan Long Bagun mengenal berbagai jenis tanaman rotan, baik yang telah mereka budidayakan sendiri maupun melalui program DAK-DR dari Dinas Kehutanan Kabu-paten Kutai Barat, atau adapula yang mereka ambil dari hutan hutan dipelihara. Jensi-jenis rotan tersebut diantaranya: Rotan Sega, Pulut Merah, Jahab, Pulut Putih, Manau dan beberapa jenis rotan hutan lainnya. Beberapa lokasi yang telah ditanami rotan berada di Sungai Sebunut milik Kampung Long Bagun Ilir dan Sungai Melaham milik Kampung Long Melaham.

Kebanyakan rotan dimanfaatkan oleh masyarakat Dayak untuk tali pengikat misalnya pengikat tiang rumah, pengikat hewan dan kerajinan ibu rumah tangga. Selain itu umbut rotan juga diambil untuk dimakan. Bagi yang memiliki kebun rotan yang cukup luas hasilnya dijual kepada pengumpul di tingkat kampung/keca-matan, baik dalam bentuk basah atau kering/asapan. Saat ini petani rotan semakin jarang memanen rotan dikarenakan harga rotan yang semakin rendah bahkan mengkonversi lahannya menjadi kebun karet atau dijual kepada pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit/ tambang batubara.

Sawah

Sawah merupakan hal baru bagi masyarakat Dayak yang ada di daerah Kecamatan Long Bagun. Pertama kali diperkenalkan oleh pihak perusahaan kayu yang berada di sekitar kampung mereka, seperti perusahaan Kayu PT. Gunung Jati Rimba (PT. GJR) yang beroperasi di dekat Kampung Long Melaham sejak tahun 1990an. Sawah irigasi seluas 15 ha tersebut dibuat sebagai bentuk Program Bina Desa dari perusahaan kayu tersebut. Sejak perusahaan PT. GJR tutup, sawah di

Kampung Long Melaham tidak lagi dipergunakan karena tidak ada pendampingan untuk pengolahan tanahnya. Umumnya mereka kembali ke sistem perladangan semula dengan membuka hutan dan diberakan sekitar 10 - 15 tahun.

Tata Kuasa

Kampung-kampung yang ada di Kecamatan Long Bagun sudah ada sejak sebelum tahun 1900an. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bekas-bekas kampung tua yang mereka tinggalkan, bekas rumah panjang (lamin), kebun buah dan bekas-bekas kuburan yang ada di gunung-gunung kapur atau perbukitan karena perpindahan ke tempat yang lebih aman dikarenakan kesehatan, perang maupun kebutuhan tanaman pangan. Pada dasarnya mereka mengelola lahan dengan cara membuka hutan yang kemudian dijadikan ladang untuk kehidupan sehari-hari. Lahan yang ada awalnya dimiliki secara bersama-sama (komunal) tetapi dalam perkembangannya karena populasi yang semakin meningkat maka lahan-lahan tersebut dibagikan kepada masing-masing Kepala Keluarga (KK).

Umumnya tanah-tanah yang dikelola merupakan warisan, namun ada juga yang sifatnya dipinjamkan sementara atau juga diberikan oleh sekelompok suku atau kampung kepada kelompok suku lain yang mela-kukan perpindahan dari anak-anak Sungai Mahakam atau dari daerah jeram tinggi yang berada di bagian hulu dari Kecamatan Long Bagun. Hal tersebut dapat terlihat dari catatan perjalanan sejarah dan dokumen-dokumen yang disampaikan tetua adat masing-masing kampong. Sebagai contoh adalah sebagian tanah-tanah yang saat ini dikelola dan dibangun menjadi kampung oleh Suku Dayak Kayan, Kenyah, Aoheng/Penihing dan Punan, dulunya diberikan atau juga dipinjamkan oleh suku yang pertama mendiami daerah tersebut, yaitu Suku Dayak Busang dan Bahau.

Tata Kelola

Sejak adanya perubahan status tanah yang sifatnya komunal menjadi tanah milik di Kecamatan Long Bagun, menyebabkan juga banyak terjadi perubahan pengelolaan lahan (tata kelola). Hal tersebut dapat dilihat dari surat keterangan kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh petinggi setempat. Bahkan sejak

(12)

138

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2, Edisi Juli 2013

adanya Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Kutai Barat, pemerintah daerah setempat mengisya-ratkan untuk mendaftarkan tanah-tanah yang ada men-jadi hak milik.

Perubahan tata kelola di Kecamatan Long Bagun sangat dipengaruhi oleh adanya program DAK-DR, Gerhan, RHL dan IUKhM yang menyebabkan banyak lahan-lahan yang dulunya milik komunal dibagi-bagi ke masing-masing KK dengan luasan 2 ha/KK. Pembagian lahan tersebut awalnya dimaksudkan untuk menanam beberapa jenis tanaman kehutanan, perkebunan mau-pun jenis tanaman pangan lainnya di lahan masyarakat. Namun secara tidak langsung program ini mengajarkan pada masyarakat bahwa pengelolaan tanah dapat di serahkan kepada masing-masing individu KK. Di Kam-pung Long Melaham, Long Bagun Ilir, Batoq Kelo, Long Bagun Ulu misalnya, lahan-lahan bekas IUKhM didis-tribusikan ke masing-masing KK untuk ditanami tanaman kehutan dan perkebunan (misalnya: meranti, kapur, rotan, karet, coklat dll).

Tata Ijin

Tata ijin disini dimaksudkan adalah bentuk dari kewenangan pemilik tanah untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi dan sosial atas tanah tersebut. Bentuk keuntungan ekonomi tersebut adalah berupa pinjam pakai atau juga pengalihan hak kepemilikan. Kasus ini terjadi ketika beberapa perusa-haan perkebunan sawit dan tambang batubara masuk dalam wilayah kampung. Beberapa kelompok masyarakat/kampung merasa perlu memiliki kembali tanah yang dulunya dipinjamkan kepada kelompok masyarakat lain untuk mendapat ganti rugi/untung dari perusahaan. Sementara kelompok masyarakat lain sebagai pihak pemakai/pengguna lahan tidak berdaya apalagi di atas tanah tersebut sudah mereka garap dan ditanami karet yang sudah produksi. Kasus inilah yang banyak terjadi di beberapa kampung di Kecamatan Long Bagun. Hal tersebut yang saat ini menimbulkan konflik kepentingan antara kelompok masyarakat, suku dan kampung di Kecamatan Long Bagun yang dulunya aman dan bersahabat, namun kini harus bermusuhan karena memperebutkan tanah-tanah yang telah bertahun-tahun digarap.

Kepemilikan Tanah oleh Pemerintah dan Pengusaha

Bentuk Kepemilikan Tanah

Perkebunan Kelapa Sawit Skala Besar

Terdapat 6 (enam) perusahaan perkebunan kelapa sawit yang saat ini beroperasi di Kecamatan Long Bagun yaitu PT Tunas Bersusun Abadi, PT Marsam Citra Adiperkasa, PT Karisma Benua Etam, PT Luvang Urip, PT Borneo Mukti Sejahtera dan PT Nusantara Abadi Jaya. PT Tunas Bersusun Abadi (PT TBA) adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang pertama masuk ke Kampung Long Melaham. Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kutai Barat Nomor 525.26/K.451/2008 tanggal 3 Juni 2008, PT TBA diberi konsesi untuk mengelola areal seluas 17.776 Ha yang meliputi Kampung Ujoh Bilang, Long Melaham dan Mamahak Hulu Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kaltim. Berdasarkan laporan doku-men Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) PT TBA bulan Januari 2009, disebutkan bahwa perusahaan yang telah melakukan memulai penanaman perdana pada tanggal 8 April 2010 yang lalu mempunyai rencana membangun pabrik minyak sawit dengan kapasitas 60 Ton TBS/Jam yang direncanakan mulai beroperasi pada tahun 2013.

Pertambangan Batubara Ijin Bupati dan Pusat

Berdasarkan izinnya kegiatan pertambangan di Kabupaten Kutai Barat terbagi atas 2 (dua), yaitu izin tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan mekanisme pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan RI dan ijin tambang dari bupati yang diberikan di Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) atau APL. Untuk wilayah Kecamatan Long Bagun umumnya izin yang dikeluarkan berasal dari bupati dengan mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 15 Tahun 2003 tentang Ijin Usaha Pertambangan Umum Daerah.

Beberapa izin pertambangan batubara yang ada di Kecamatan Long Bagun adalah sebagai berikut: (1) PT. Karya Borneo Agung dengan izin eksplorasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Barat No. 545/K.069b/2008 seluas 9.600 ha; (2) PT. Kayaan Mekaam dengan izin eksplorasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Barat No. 545/K.11a/2009

(13)

Eddy Mangopo Angi & C.B. Wiati: Proses Transformasi Agraria dan Konflik……….(1): 131-142

seluas 5.000 ha; (3) PT. Glory Azzumi International dengan izin eksplorasi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Barat No. 545/K.11f/2009 seluas 5.000 ha; dan (4) PT. Urip Tagang dengan izin eksplorasi berda-sarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Barat No. 545/ K.11b/2009 seluas 5.000 ha.

Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA)

Pola pengelolaan sumber daya hutan yang ada di Kecamatan Long Bagun sebenarnya telah dilakukan sejak jaman banjir kap sekitar tahun 1960an hingga dibukanya Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Perusahaan HPH di sekitar wilayah ini diantaranya, PT Gunung Jati Rimba (PT GJR) yang beroperasi di daerah Sungai Payang selama ± 10 tahun sejak tahun 1980an sampai tahun 1990-an. Perusahaan lain yang pernah masuk di daerah ini adalah PT Dayak Besar (PT DB) yang ber-operasi sekitar tahun 1990an di sekitar Sungai Pusuq dan Melambit dan PT Mulawarman Bakti yang ber-operasi di Sungai Melaham, berdekatan dengan areal eks Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat (IUKhM) Koperasi Nedau Apau Kampung Long Melaham.

Beroperasinya berbagai perusahaan perkayuan di Kecamatan Long Bagun, telah memberikan dampak yang cukup besar berupa kesempatan kerja bagi masya-rakat. Sebagian besar masyarakat umumnya pernah bekerja sebagai tenaga buruh di perusahaan perkayuan. Ada pula masyarakat yang bekerja sebagai surveyor untuk inventarisasi tegakan, operator alat berat seperti

logging/hauling dan kepiting, teknisi, dan lain-lain. Selain

itu masyarakat juga mendapat manfaat dari kegiatan program Bina Desa Hutan (BDH) yang dilakukan oleh PT GJR berupa pembuatan sawah sekitar 15 ha yang lokasinya sekarang masuk dalam wilayah eks IUKhM Koperasi Nedau Apau. Saat ini persawahan tersebut tidak lagi dipergunakan seiring dengan tutupnya PT GJR.

Tata Kuasa

Dalam hal tata kuasa, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat mengacu pada aturan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan RI, dimana kewenangan pemerintah daerah hanya sebatas kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK), sedangkan kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dibawah kewenangan pemerintah

pusat. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Kutai Barat menganggap bahwa KBNK yang ada dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Pendapatan Asli daerah (PAD), baik itu untuk investor dalam maupun luar negeri yang diperuntukan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan kegiatan ekonomi lainnya.

Tata Kelola

Walaupun Pemerintah Kabupaten Kutai Barat mengakui tata kuasa KBK berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan RI, tetapi dalam pelaksanaan-nya di Kecamatan Long Bagun terdapat beberapa KBK yang dikelola oleh masyarakat, misalnya Tana’ Peraaq yang ada di Kampung Long Melaham. Dalam sejarah-nya, Kementerian Kehutanan juga pernah memberikan kewenangan pemberian izin pengelolaan KBK kepada daerah dalam bentuk Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) seluas 100 ha (sekitar tahun 1999-2002). Hal tersebut merupakan bukti bahwa pengelolaan KBK pernah dikelola oleh pemerintah daerah dan masyarakat lewat lembaga kampung dan adat. Sementara untuk KBK yang lain seperti HP, HPT tetap dikelola oleh Hak pengusahaan Hutan (HPH) yang sekarang dikenal dengan IUPHHK-HA.

Sedangkan untuk KBNK yang kewenangannya dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, da-lam pelaksanaannya dikelola oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan, perkebunan, pertanian, agrofo-restri, IUKhM dan aktifitas ekonomi masyarakat lainnya. Tetapi disisi lain sejak masuknya investor/kapitalisme perkebunan sawit dan tambang batubara, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat juga mengeluarkan ijin-ijin di KBNK yang diperuntukan bagi kepentingan PAD. Hal ini yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih lahan dengan masyarakat.

Tata Ijin

Berdasarkan penelusuran ke beberapa instansi di tingkat propinsi dan kabupaten (kehutanan, perkebunan dan pertambangan), banyak izin-izin yang telah dikeluarkan di Kecamatan Long Bagun, baik di KBK maupun di KBNK. Untuk di KBK terdapat izin-izin pengelolaan hutan berupa IUPHHK-HA maupun izin HPHH seluas 100 ha yang dulunya pernah dikeluarkan

(14)

140

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2, Edisi Juli 2013

Pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Sementara untuk KBNK, terdapat izin-izin perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah provinsi dan kabupaten. Kondisi ini yang menimbulkan permasa-lahan karena banyak yang tumpang tindih permasa-lahan dengan lahan masyarakat (ladang, kebun, agroforestri dan lain-lain). Bahkan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat dan akhirnya mencabut Peraturan Daerah (Perda) Kutai Barat yang menjadi dasar dikeluarkannya IUKhM, karena lokasinya yang tumpang tindih dengan perkebunan kelapa sawit milik PT TBA.

Konflik Kepemilikan Tanah

Hadirnya beberapa investor besar yang masuk ke wilayah Kabupaten Kutai Barat, khususnya di Kecamatan Long Bagun diakui sangat berdampak pada kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setem-pat. Namun hal tersebut juga menimbulkan banyak permasalahan yang terkait dengan konflik penguasaan dan pemilikan tanah. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya: (1). Tumpang tindih lahan antara IUKhM Nedau Apau dengan perkebunan kelapa sawit; (2). Tidak adanya kepastian terkait IUKhM yang sudah terlanjur dikeluarkan seperti kasus IUKhM Nedau Apau); (3). Perebutan lahan antara pengelolaan oleh masya-rakat (ladang, kebun, agroforestri, IUKhM dan lain-lain dengan izin tambang atau perkebunan kelapa sawit, (4). Konflik tata batas kampung dengan kampung yaitu Kampung Long Melaham dengan Kampung Mamahak Besar, Kampung Long Melaham dengan Kampung Ujoh Bilang, Kampung Ujoh Bilang dengan Kampung Long Bagun Ilir, Kampung Long Bagun Ilir dengan Kampung Long Bagun Ulu), (5). Konflik tata batas kampung dengan Perkebunan Kelapa Sawit (Kampung Long Melaham dengan PT. TBA).

Penjelasan singkat mengenai konflik tata batas antar kampong yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut:

Konflik Batas Kampung Long Melaham– Kampung Ujoh Bilang

Berdasarkan sejarah kedua kampung ini merupakan kampung yang berdiri secara bersamaan yang dibangun oleh Suku Dayak Bahau dan Dayak Kayan. Konflik dimulai sejak masuknya PT TBA, sebuah peru-sahaan perkebunan kelapa sawit yang membuka areal

di Kampung Ujoh Bilang, Long Melaham dan Mamahak Hulu di Kecamatan Long Bagun. Batas Kampung Ujoh Bilang dan Long Melaham menurut sejarahnya berada di Sungai Sebenaq yang merupakan anak Sungai Mahakam. Wilayah Sungai Sebenaq merupakan areal perkebunan karet kedua kampung tersebut yang dibangun sejak tahun 1986 oleh PSE Keuskupan Samarinda.

Konflik batas kampung ini dimulai saat Kepala Kampung/Adat Ujoh Bilang secara sepihak memperikan izin kepada PT TBA di Sungai Sebenaq untuk dijadikan areal pembibitan kelapa sawit dengan kompensasi air bersih tanpa persetujuan Kepala Kampung/Adat Long Melaham. Areal seluas 3 ha yang diberikan kebetulan berada pada lokasi perkebunan karet milik Kampung Long Melaham. Alasan pemberian izin Petinggi/Kepala Adat Kampung Ujoh Bilang adalah bahwa pihak Kampung Long Melaham tidak berhak atas wilayah tersebut karena dianggap sebagai penduduk pendatang. Menurut tokoh adat di kedua kampung, konflik batas ini seharusnya tidak terjadi jika pihak Petinggi/Kepala Adat Kampung Ujoh Bilang mengetahui sejarah dan asal usul kedua kampung tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa Petinggi/Kepala Adat Ujoh Bilang yang sekarang bukan dari golongan Hipui (bangsawan/raja), tetapi hanya berasal dari golongan Dipan (budak).

Konflik semakin berkembang karena ternyata di lapangan PT TBA melakukan penggusuran perkebunan karet untuk areal pembibitan kelapa sawit Lahan bukan hanya seluas 3 ha, tetapi meluas menjadi 5 ha. Selain itu pihak masyarakat Kampung Long Melaham yang lahannya mengalami penggusuran sama sekali tidak mendapatkan kompensasi yang dijanjikan. Dalam perkembangannya PT TBA malah memperluas areal pembibitan kelapa sawit menjadi menjadi 11 ha. Hal ini membuat masyarakat Kampung Long Melaham menjadi marah dan melaporkan kejadian ini kepada pihak kecamatan. Sayangnya pihak kecamatan menyatakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan menyerahkannya kepada pihak kabupaten.

Konflik Batas Kampung Long Bagun Ilir – Long Bagun Hulu

Konflik batas Kampung Long Bagun Ilir dan Long Bagun Hulu sudah dimulai sejak tahun 1999 akibat adanya pemberian izin HPHH seluas 100 ha oleh Bupati

(15)

Eddy Mangopo Angi & C.B. Wiati: Proses Transformasi Agraria dan Konflik……….(1): 131-142

Kubar kepada kedua belah pihak kampung. Konflik tersebut dilatarbelakangi pemberian fee kepada masyarakat Kampung Long Bagun Ilir dan pihak masya-rakat Kampung Long Bagun Hulu merasa bahwa Sungai Sebunut yang menjadi lokasi HPHH seluas 100 ha masih termasuk dalam wilayah kampung mereka. Bah-kan menurut pihak Kampung Long Bagun Hulu, wilayah Kampung Long Bagun Ilir yang merupakan masyarakat pendatang hanya sampai Sungai Pengaron yang merupakan anak Sungai Sebunut.

Konflik batas antar kedua kampong semakin meningkat ketika Pemerintah Kabupaten Kutai Barat mengeluarkan IUKhM kepada Lembaga Kampung Long Bagun Ilir dengan Badan Pengelola Koperasi Losing Urip pada tahun 2005 di kiri mudik Sungai Sebunut. Konflik tidak dapat diselesaikan karena saat ini sudah tidak ada lagi saksi hidup saat penyerahan wilayah Kam-pung Long Bagun Ilir dari pihak Adat Dayak Busang (Kampung Long Bagun Hulu). Demikian juga dengan bukti tertulis, karena tidak ada penyerahan dokumen bukti batas antar kedua kampong antara Petinggi/Kepala Adat lama ke Petinggi/Kepala Adat baru.

KESIMPULAN

Masyarakat asli maupun pendatang pada wilayah Kecamatan Long Bagun mendapatkan akses atas tanah melalui proses-proses yang sah menurut aturan hukum mereka (kesepakatan adat/lokal) untuk dapat mengu-asai tanah yang dimiliki oleh pemilik sebelumnya. Pro-ses tersebut dapat dilakukan secara turun temurun atau mendapatkan ijin dari pihak petinggi kampung setempat; Konflik penguasaan tanah di Kecamatan Long Bagun terjadi dikarenakan ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk menyelesaikan konflik tata batas, terutama sejak adanya pemberian izin HPHH seluas 100 ha dan IUKhM;

Selain disebabkan adanya investor/kapitalisme besar di kampung-kampung, konflik perebutan tanah di Kecamatan Long bagun juga terjadi karena tidak jelasnya kepemilikan dan tidak terselesaikannya tata batas kampung.

DAFTAR PUSTAKA

Angi, Eddy Mangopo, Martua Thomas Sirait, Andiko, Bambang Rudi Ananto dan Jentra, 2010. Rapid

Social and Legal Assessment Pengelolaan

Sum-ber Daya Alam di Luar Kawasan Hutan Kutai Barat, Kaltim. Materi Presentasi Hasil Assessment Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat (IUKhM) di Kabu-paten Kutai Barat, Provinsi Kaltim pada Tanggal 18 Mei 2010 di Sendawar. Kerjasama WWF Indo-nesia - Pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Anonim, 2010. Berita Acara Rapat Tapal Batas Wilayah

Kampung Ujoh Bilang dengan Kampung Long Bagun Ilir Kecamatan Long Bagun Tanggal 5 Januari 2010.

Anonim, 2009. Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) PT Tunas Bersusun Abadi 2009. Renca-na Kegiatan PembanguRenca-nan PerkebuRenca-nan dan Pabrik Minyak Sawit Kapasitas 60 Ton TBS/Jam PT Tunas Bersusun Abadi di Kampung Ujoh Bilang, Long Melaham dan Mamak Hulu Kaca-matan Long Bagun Kabupaten Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur

Anonim, 2001. Berita Acara Kesepakatan Batas Wila-yah Desa Long Bagun Ulu dengan Long Bagun Ilir Tanggal 13 September 2001.

Badan Pusat Statristik (BPS), 2012. Kutai Barat Dalam Angka Tahun 2012.

Contreras, Arnoldo, Hermosilla dan Chip Fay, 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia Mela-lui Pembaruan Penguasaan Tanah. Permasalahan dan Kerangka Tindakan. Penerbit World

Agro-forestry Centre – Asia Tenggara (ICRAF). Bogor.

Dietz, Ton, 1998. Hak Atas Sumberdaya Alam. Penerbit Pustaka Pelajar Yogjakarta.

Galudra, Gamma; Gamal Pasya; Martua Thomas Sirait dan Chip Fay, 2006. Rapid Land Tenure

Assess-ment (RATA). Panduan Ringkas bagi Praktisi. World Agroforestry Centre – Asia Tenggara

(ICRAF). Bogor.

Harsono, Budi, 2007. Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Jilid I Hukum Tanah Nasional. Penerbit Djambatan Jakarta.

Li, Tania Murray. 2002. Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Trasformasi Daerah Pedalaman. Yayasan Obor Indonesia.

(16)

142

Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 2, Edisi Juli 2013

Perjalanan dari Pontianak ke Samarinda 1894. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerja-sama dengan Borneo Research Council, Indone-sia Office. Jakarta.

Nurlinda, Ida, 2009. Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum. Penerbit Raja Grafindo Persa-da Jakarta.

Semedi, Pujo dan Bina Rijanto, 1996. Rumah Panjang

Tak Lagi Terlihat: Telaah Perubahan Agroekosistem di Kalimantan Barat. Penerbit Konphalindo Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W. 2006. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Penerbit PT Kompas Media Nusantara Jakarta.

Widjono, Roedy Haryo, 1998. Kearifan Masyarakat Adat Dayak dan Ancaman Kelestariannya. Seri Publikasi Hutan dan Masyarakat Adat. Diterbitkan atas Kerjasama LBB Puti Jaji, Japan NGO Net-work on Indonesia, Asia Center Japan Founda-tion, Rissho Kosei Kyokai.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tampak bahwa rerata skor hasil belajar siswa yang diajar dengan metode pembelajaran pemecahan masalah adalah 8,10, lebih tinggi dari siswa yang

(1) Seksi Jalan dan Jembatan Lingkungan dipimpin oleh Seorang Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Bidang mempunyai tugas pokok menyusun

Melalui latihan dan pemberian tugas siswa dapat menggambar bangun ruang balok dengan penuh ketelitian.. Melalui latihan dan pemberian tugas siswa dapat menggambar bangun ruang

aktivitas siswa kembali meningkat menjadi 25 dengan persentase 89.28% kategori amat baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan metode teknik the power of

J: Batasan akses ke tempat kerja sudah diterapkan, apabila terdapat orang asing (selain karyawan) maka petugas resepsionis dan karyawan akan menanyakan keperluan orang

[r]

Selain itu Arduino Mega juga berfungsi untuk menerima perintah dari Smartphone Android melalui media sms dengan modem Wavecom GSM agar memerintahkan modul GPS

B : bahan kemasan sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi K : bahan kemasan tidak dengan jenis pangan yang diproduksi Penilaian unsur hanya ada "B" dan