• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2 Tinjauan Pustaka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1. Pernikahan dan Keluarga

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia, pernikahan merupakan suatu tindakan untuk membentuk sebuah ikatan sebagai suami istri yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Menurut Undang – undang Republik Indonesia no 1 tahun 1974, bab 1 pasal 1 (Undang – Undang Perkawinan, 2004) pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan adalah hubungan intim yang diterima secara sosial dan berkaitan dengan beberapa aspek yaitu emosi, upacara pernikahan, hukum, kesetiaan dan peran sebagai orang tua (Williams, Sawyer dan Wahlstrom, 2006). Sedangkan menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) pernikahan merupakan hubungan yang kemungkinan besar permanen antara dua orang, laki – laki dan perempuan, diakui secara hukum dimana mereka menjadi satu secara seksual, ekonomi serta melahirkan atau mengadopsi dan membesarkan anak.

Berdasarkan definisi yang telah ada sebelumnya, dapat disimpulkan pernikahan adalah suatu hubungan intim yang diterima secara sosial serta diakui secara hukum, mengikat dua orang sebagai suami – istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga dan mencakup aspek emosi, kesetiaan dan peran sebagai orang tua.

Keluarga adalah dua atau lebih orang yang menjadi sebuah kesatuan yang terikat karena hubungan darah, pernikahan atau diadopsi dan tinggal secara bersama-sama (Williams, Sawyer dan Wahlstrom, 2006). Sedangkan menurut Lestari (2012) keluarga adalah anggota dalam suatu rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau memiliki fungsi – fungsi instrumental mendasar dan fungsi – fungsi ekspresif bagi anggota tersebut. Dalam Corbett (2004) keluarga adalah suatu unit orang yang terikat secara genetika, pada dasarnya terdiri dari ayah, ibu dan anak – anaknya, atau secara moral dan hukum telah mereplikasi kaitan genetika yang ada, misalnya adopsi. Dapat dikatakan, keluarga adalah sekelompok orang yang terikat secara ataupun pernikahan serta memiliki fungsi instrumental mendasar serta fungsi ekspresif terhadap mereka.

(2)

Keluarga diibaratkan dengan lingkaran kehidupan, lingkaran kehidupan menurut Carter dan McGoldrick dalam Santrock (2008), yaitu: tahap pertama, menjadi orang dewasa yang hidup sendiri dengan meninggalkan rumah. Pada tahap ini seseorang keluar dari rumah keluarganya sendiri namun ikatan kekeluargaan dan hubungan emosional dengan keluarganya tetap terjadi. Tahap ini merupakan waktu yang tepat bagi seseorang untuk membentuk identitas, memikirkan tujuan hidupnya dan menjadi lebih mandiri sebelum membangun keluarga.

Tahap kedua dalam lingkaran kehidupan ini yaitu bergabung menjadi keluarga melalui pernikahan. Di tahap ini, sebuah keluarga baru terbentuk melalui penyatuan dua individu dari keluarga yang berbeda. Penyatuan tersebut berupa peran gender, budaya yang berbeda, serta jarak tempat tinggal dengan anggota keluarga.Tahap ini juga meliputi penyusunan kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman.

Berikutnya, tahap ketiga, menjadi orang tua dan keluarga dengan kehadiran anak. Tahap ini, orang dewasa akan menjadi pengasuh dan memberi kasih sayang bagi anak – anak mereka dan sangat dibutuhkan komitmen sebagai orang tua, memahami peran sebagai orang tua, dan dibutuhkan juga penyesuaian diri dengan perubahan perkembangan anak.

Tahap keempat adalah keluarga dengan anak remaja. Pada tahap ini berlangsung sekitar 10-15 tahun. Remaja merupakan masa perkembangan individu yang mengembangkan identitas diri dan menginginkan kebebasan.

Kemudian tahap kelima, keluarga pada kehidupan usia tengah baya. Ini merupakan tahap yang tepat untuk melepas anak, berperan penting dalam hubungan antargenerasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan hidup pada usia tengah baya.

Tahap keenam yaitu keluarga pada kehidupan usia lanjut. Pada tahapan ini diperlukan penyesuaian diri karena pada usia ini orang tua kemungkinan telah melakukan pensiun dan gaya hidup mereka juga telah berubah.

Berdasarkan tinjauan yang ada, dapat dijelaskan bahwa penelitian kepuasan pernikahan pada dewasa madya berfokus pada pasangan yang telah berkeluarga dengan kehidupan setengah baya dimana anak – anak telah mandiri dan dibutuhkannya penyesuaian hidup kembali.

(3)

2.2. Kepuasan Pernikahan

2.2.1. Definisi Kepuasan Pernikahan

Kepuasan pernikahan menurut Funk dan Rogge (2007) adalah suatu proses yang terjadi terus menerus antar pasangan, dilihat dari hubungan dan pernikahan yang sedang dijalankan berdasarkan hasil kualitas hubungan yang dirasakan masing-masing pasangan. Sedangkan menurut Spanier (1976) kepuasan pernikahan adalah proses yang terus berubah dari hasil penyesuaian diri yang telah dilakukan dan dievaluasi pada waktu tertentu.

Baumeister dan Vohs (2007) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu kondisi yang menggambarkan persepsi yang seseorang rasakan mengenai sesuatu yang diberikan dan diterima dalam menjalankan kehidupan pernikahan. Selain itu, Karney dan Bradbury menyatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi dari waktu ke waktu terhadap kualitas dan kestabilan pernikahan yang dapat dilihat melalui proses adaptasi atau adaptive process dengan pasangan dan keadaan sekitar (Parker, 2002). Dari definisi tersebut, disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu proses yang terjadi terus menerus dan berubah, dilihat dari persepsi seseorang mengenai sesuatu yang telah diberi dan diterima selama pernikahan dan dievaluasi pada waktu tertentu.

2.2.2. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan

Menurut Olson, Larson & Olson (2009) aspek-aspek yang terkait dengan kepuasan pernikahan yaitu komunikasi. Komunikasi adalah kepercayaan, perasaan dan sikap saat berkomunikasi dengan pasangan dalam hubungan yang dijalankan. Komunikasi ini berfokus pada perasaan nyaman satu dengan yang lain untuk dapat berbagi mengenai informasi dan pendapat antar pasangan, serta persepsi mengenai kemampuan mendengarkan dan berbicara dan persepsi mengenai kemampuan diri sendiri dalam berkomunikasi dengan pasangan. Komunikasi yang dilakukan dari waktu ke waktu akan menjadikan pasangan lebih terbuka dan ekspresif sehingga dapat mendorong kepuasan pernikahan seseorang (Mackey dan O’Brein dalam Parker, 2002).

Selain komunikasi, penyelesaian konflik juga merupakan aspek terkait dengan kepuasan pernikahan. Penyelesaian konflik adalah evaluasi sikap individu, perasaan dan keyakinan mengenai keadaan dan penyelesaian konflik dalam hubungan dengan melihat keterbukaan pasangan dalam menyelesaikan masalah,

(4)

strategi dan proses yang digunakan untuk mengakhiri perdebatan, dan tingkat kepuasan terhadap cara menyelesaikan masalah. Dalam Mackey dan O’Brien dalam Parker (2002) konflik dalam pernikahan semakin meningkat pada proses membesarkan anak. Pengelolaan konflik secara terbuka dan langsung dapat meningkatkan kepuasan pernikahan.

Berikutnya, gaya dan kebiasaan pasangan sebagai aspek yang terkait kepuasan pernikahan. Gaya dan kebiasaan pasangan adalah persepsi dan kepuasan mengenai kebiasaan pribadi dan perilaku pasangan. Umumnya, fokusnya pada isu seperti kesabaran, suasana hati dan sikap keras kepala serta melihat ketergantungan dan kecenderungan pasangan untuk mengatur

Aspek berikutnya yaitu keluarga dan teman. Keluarga dan teman adalah perasaan dan kepentingan terhadap saudara, mertua dan teman. Fokusnya pada sikap keluarga dan teman terhadap pernikahan, harapan mengenai waktu yang dapat dihabiskan bersama keluarga atau teman, perasaan nyaman dengan keluarga dan teman pasangan, serta persepsi terhadap situasi mengenai konflik atau kepuasan.

Aspek selanjutnya yaitu pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan adalah sikap dan kepentingan mengenai cara mengelola ekonomi bersama pasangan, dilihat kecenderungan individu untuk menyimpan atau menghabiskan uang, kesadaran dan kepentingan mengenai masalah kredit dan hutang, kepedulian dalam pengambilan keputusan mengenai pembelian yang akan dilakukan secara finansial, kesepakatan dalam hal finansial, pengelolaan keuangan dan kepuasan dengan status ekonomi.

Waktu luang sebagai aspek terkait kepuasan pernikahan adalah kehadiran pasangan untuk menghabiskan waktu kosong bersama yang dilihat dari aktivitas sosial dibandingkan aktivitas pribadi, kepentingan aktif dibandingkan kepentingan pasif, memilih untuk berbagi atau tidak, dan harapan untuk menghabiskan waktu luang secara bersama-sama atau waktu luang digunakan secara seimbang antara aktivitas sendiri dan bersama pasangan.

Kemudian, aspek harapan berhubungan seksual. Aspek harapan berhubungan seksual adalah perasaan individu mengenai kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangannya yang dinilai dari ekspresi rasa kasih sayang, kenyamanan dalam mendiskusikan hal-hal seksual, sikap terhadap perilaku seksual, keputusan keluarga berencana dan kesetiaan dalam berhubungan seksual.

Kepercayaan spiritual juga termasuk kedalam aspek yang terkait dengan kepuasan pernikahan. Kepercayaan spiritual adalah sikap, perasaan dan perhatian

(5)

terhadap makna dari kepercayaan dan praktek keagamaan dalam hubungan dengan pasangan dilihat dari makna dan pentingnya suatu agama yang melibatkan kegiatan di tempat ibadah dan harapan mengenai peran agama dalam kehidupan pernikahan.

Aspek berikutnya adalah harapan dalam pernikahan. Harapan dalam pernikahan adalah harapan individu mengenai cinta, komitmen dan konflik dalam hubungan dengan melihat seberapa besar harapan terhadap pernikahan dan hubungan yang realistis didasarkan pada hal – hal yang objektif.

Kemudian, aspek peran dan tanggung jawab. Peran dan tanggung jawab adalah kepercayaan, sikap dan perasaan individu mengenai peran dan tanggung jawab di dalam pernikahan dan keluarga dengan melihat kepuasan melalui pembagian pekerjaan rumah dan pengambilan keputusan. Cara pengambilan keputusan dalam pernikahan selalu mengalami peningkatan (Mackey dan O’Brein dalam Parker, 2002). Pada tahap awal pernikahan umumnya pria lebih memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan namun seiring dengan berjalannya waktu pengambilan keputusan semakin lebih baik saat anak-anak menjadi lebih dewasa dan meninggalkan rumah dan pengambilan keputusan semakin sering dilakukan bersama (Mackey dan O’Brein dalam Parker, 2002). Mackey dan O’Brein dalam Parker (2002) juga membahas bahwa kepuasan pernikahan akan meningkat jika pengambilan keputusan dilakukan secara bersama.

Aspek selanjutnya yaitu memaafkan. Memaafkan adalah persepsi mengenai kemapuan untuk memaafkan setelah terjadinya konflik, penghianatan atau perasaan terluka diketahui melalui bagaimana pasangan memaafkan dan dimaafkan di dalam hubungan. Selain itu, bertanggung jawab, meminta maaf, mengembalikan kepercayaan serta melangkah maju merupakan hal penting yang diperhatikan dalam memaafkan.

Selain aspek-aspek tersebut terdapat dua apek lainnya menurut Mackey dan O’Brein dalam Parker (2002) terkait dengan kepuasan pernikahan yaitu nilai rasional mengenai perasaan saling percaya, menghormati, memahami dan adil. Pada awal pernikahan, saling percaya, menghormati dan memahami merupakan hal penting untuk mendapatkan kepuasan pernikahan. Dan selama pernikahan hubungan timbal balik seperti itu yang akan mempengaruhi kepuasan pernikahan. Dalam beberapa kegitan terkesan salah satu pasangan bertindak lebih banyak seperti wanita lebih banyak mengasuh anak daripada pria namun jika pasangan dapat merasakan keadialan maka kepuasan pernikahan dapat terbentuk.

(6)

Aspek lainnnya yaitu keintiman seksual dan psikologis. Keintiman merupakan penggabungan antara saling memahami, percaya, menghormati dan menerima pasangan dengan sikap terbuka dan jujur mengenai perasaan dan refleksi diri baik secara fisik maupun psikologi. Kepuasan pernikahan digambarkan melalui keintiman psikologis. Keintiman psikologis ini telah dirasakan selama bertahun-tahun melalui orang tua, setelah keintiman psikologis terpenuhi dilanjutkan dengan keintiman fisik.

Berdasarkan teori kepuasan pernikahan ini, maka hal yang akan difokuskan adalah komunikasi, penyelesaian konflik, gaya dan kebiasaan pasangan yang dapat berkaitan dengan kepuasan pernikahan.

2.2.3. Vulnerability – Stress – Adaptation Model of Marriage

Karney dan Bradbury dalam Karney (2010) mengidentifikasi sebuah gambaran mengenai kepuasan pernikahan yang berubah dari waktu ke waktu yang dikenal dengan Vulnerability – stres – adaptation model of marriage.

Gambar 2. 1 Vulnerability-Stress-Adaptation Model Of Marriage (sumber: Karney, 2010)

Terdapat 3 elemen terkait perubahan kepuasan pernikahan (Karney dan Bradbury dalam Parker 2002) yaitu; (1) enduring vulnerabilities merupakan kekuatan dan kelemahan masing-masing pasangan dibawa ke dalam hubungan mereka. Karakteristik tersebut mencakup kepribadian pasangan, keyakinan dan sikap mengenai pernikahan, keluarga pasangan dan latar belakang sosial; (2) stresful life

Enduring Vulnerabilities Marital Dissolution Change in Marital Satisfaction Adaptive Process Initial Satisfaction Stresful Life Event

(7)

event merupakan peristiwa, transisi, atau keadaan yang dihadapi oleh pasangan yang dapat mempengaruhi hubungan mereka dan menciptakan ketegangan atau stres; dan (3) adaptive processes merupakan cara pasangan mengatasi konflik, bagaimana cara pasangan berkomunikasi, saling mendukung dan pemikiran pasangan mengenai pernikahan, pasangan mereka serta sikap pasangan mereka.

Vulnerability – stres – adaptation model of marriage ini menjelaskan bahwa adaptive processes mempengaruhi secara langsung perubahan kepuasan pernikahan dari waktu ke waktu (Karney dan Bradbury dalam Karney, 2010). Adaptive processes ini dipengaruhi oleh enduring vulnerabilities dan stresful life event (Karney dan Bradbury dalam Karney, 2010). Selain itu, Vulnerability – stres – adaptation model of marriage juga menjelaskan beberapa faktor yang berkaitan dengan perubahan kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan (Karney dan Bradbury dalam Karney, 2010) yaitu: (1) pada dasarnya terdapat pasangan yang lebih baik daripada pasangan lainnya, misalnya terdapat pasangan yang ketika menghadapi konflik hanya melihat dari perspektifnya sendiri dan pasangan lain melihat dari prespektif lain serta melakukan kompromi; (2) dibutuhkan usaha untuk mempertahankan hubungan, namun hal tersebut tidak selamanya berjalan dengan baik, misalnya dalam keadaan stres tinggi, pasangan yang biasanya efektif untuk mempertahankan hubungan juga akan mengalami kesulitan dalam melakukannya dan pasangan dalam keadaan stres yang rendah umumnya pasangan mampu menjelaskan dengan baik mengenai perilaku negatif yang mereka lakukan. Sehingga, dapat dikatakan kemampuan saja tidak cukup jika pasangan tidak memiliki kapasitas untuk melakukan kemampuan tersebut.

Selain kedua hal ini, kesehatan mental, penyalahgunaan obat terlarang, masalah keuangan juga dapat menjadi kendala dalam adaptive processes untuk mempertahankan kepuasan pernikahan (Karney dan Bradbury dalam Karney, 2010)

Berdasarkan teori kepuasan pernikahan ini, hal-hal yang akan diperhatikan berupa adaptive process yang digunakan pasangan untuk mengatasi konflik, cara pasangan berkomunikasi, saling mendukung dan pemikiran pasangan mengenai pernikahan, pasangan mereka serta sikap pasangan mereka.

2.3. Negative Assertion

Menurut Smith (2011) negative assertion merupakan bagian dari sikap asertif. Bersikap asertif adalah tindakan yang menunjukan rasa hormat terhadap diri

(8)

sendiri dan orang lain dengan mengungkapkan apa yang dirasakan jika dibutuhkan (Pipas dan Jaradat, 2010). Ungkapan tersebut dilakukan dengan mengekspresikan perasaan senang maupun yang tidak disenangi serta hak yang dimiliki, selain itu, individu juga harus menghargai perasaan dan hak yang dimiliki oleh orang lain (Pipas dan Jaradat, 2010). Buhrmester (1988) menggambarkan negative assertion dengan; (1) menyampaikan pada orang terdekat mengenai perilaku yang diterima. (2) mengatakan tidak pada sesuatu yang tidak diinginkan. (3) menolak permintaan yang tidak logis. (4) menuntut hak yang dimiliki. (5) memberitahu orang terdekat bahwa ia telah membuat kita malu, menyakiti perasaan atau membuat kita marah.Sehigga disimpulkan negative assertion adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan hal-hal tidak disenangi yang dirasakan dan mempertahankan hak yang dimiliki secara tegas dan jelas namun tetap menghargai perasaan dan hak orang lain.

2.4. Self Disclousure

Bersikap terbuka secara mendalam mengenai diri sendiri ini menunjukkan bagaimana seseorang mengungkapkan dirinya sendiri karena individu tidak mampu untuk mencari tahu sendiri (Wood, 2010). Keterbukaan dalam diri seseorang ini tampak melalui ungkapan berupa harapan, ketakukan, kedekatan perasaan, pengalaman, persepsi dan tujuan dengan orang lain (Wood, 2010). Dalam Buhrmester (1988) ditampilkan beberapa contoh perilaku yang menggambarkan sikap terbuka secara mendalam mengenai diri sendiri yaitu: (1) mengemukakan hal yang pribadi saat berbincang-bincang dengan pasangan. (2) mengatakan hal yang membuat diri malu pada pasangan. (3) mempercayai pasangan dan membiarkan mereka mengetahui mengenai diri sendiri. (4) melepas pertahanan diri karena mempercayai seseorang. (5) secara terbuka menampilkan pada orang terdekat bahwa kita menghargai dan menyayangi mereka. Jadi bersikap terbuka adalah kemampuan untuk terbuka kepada seseorang, menyampaikan informasi yang bersifat pribadi dan memberi perhatian sebagi bentuk penghargaan kepada seseorang.

2.5. Emotional Support

Menurut Rees et al dalam Charless dan Douglas (2010), dukungan emosional adalah tindakan yang dilakukan agar seseorang merasa nyaman dan aman dalam kondisi stres, serta meyakinkan seseorang bahwa dirinya diakui oleh orang lain. Seseorang yang kurang mendapatkan dukungan emosional akan merasa terisolasi,

(9)

putus asa dan depresi (McWilliam, 2010). Dalam Buhrmester (1988) dukungan emosional tergambarkan melalui: (1) bantuan yang diberikan kepada pasangan mengenai pilihan hidup. (2) mendengarkan masalah pasangan. (3) membantu masalah pasangan. (4) mengatakan dan melakukan hal yang mendukung saat pasangan tidak bersemangat. (5) menunjukan empati tulus. (6) memberikan saran yang dapat diterima. Jadi dukungan emosional adalah kemampuan seseorang menunjukan empati, menenagkan pasangan serta memberi rasa nyaman dan aman dalam kondisi tertentu.

2.6. Conflict Management

Pengelolaan konflik merupakan bagaimana seseorang menyelesaikan masalah yang ada tidak hanya mengurangi, mengabaikan atau membatasi masalah tersebut (Spaho, 2013). Menurut Fincham (2004) konflik yang dapat dikelolah akan mendorong pada kesuksesan hubungan dan perasaan tersakiti antar pasangan dapat terhapuskan. Dalam Buhrmester (1988) perilaku yang menunjukan pengelolaan konflik yaitu: (1) mengakui kesalahan saat permasalahan menjadi lebih serius. (2) mengesampingkan perasaan iri dan kesal. (3) mendengarkan keluhan yang dirasakan pasangan. (4) melihat dari perspektif lain. (5) menahan diri untuk mengatakan hal yang menyebakan munculnya masalah. (6) menyelesaikan masalah tanpa menuding. (7) mampu menerima sudut pandang yang benar. Disimpulkan bahwa pengelolaan konflik adalah yang kemampuan dilakukan seseorang untuk menyelesaikan masalah yang ada agar tidak menjadi besar.

2.7. Dewasa Madya

Masa perkembangan dewasa madya menurut Papalia, Olds & Feldman (2010) terjadi pada usia 40 hingga 65 tahun, namun rentan usia tersebut dapat berubah-ubah. Hal ini terjadi karena tidak adanya ketetapan kapan dewasa madya diawali dan diakhiri, seperti informasi dari National Council dalam Papalia, Olds & Feldman (2010) yang menyatakan bahwa di Amerika sekitar tahun 70-an, usia 65-69 dinyatakan sebagai dewasa madya. Menurut Santrock (2010) terdapat tiga perkembangan pokok yang terjadi pada tahap dewasa madya, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan sosioemosional.

(10)

Perkembangan Fisik pada dewasa madya terjadi secara bertahap. Perubahan fisik yang tampak jelas pada dewasa madya ini berupa keriputnya kulit, munculnya bintik – bintik hitam, rambut menipis dan beruban. Selain itu, juga terjadinya kenaikan berat badan dan tinggi badan perlahan menurun. Pada usia ini, perubahan yang cukup mengganggu terjadi pada perubahan sistem pendengaran dan penglihatan yang semakin menurun. Papalia, Olds & Feldman (2010) menyatakan bahwa terdapat lima area yang terkait gangguan penglihatan yaitu penglihatan jarak dekat, penglihatan dinamis seperti membaca tulisan yang bergerak, sensitif terhadap cahaya, sulit untuk mencari seperti mencari sebuah tanda, dan kecepatan dalam memproses informasi visual. Tidak hanya hal tersebut, dewasa madya juga mengalami penurunan pada ketajaman penglihatan (Papalia, Olds & Feldman, 2010). Pendengaran pada dewasa madya akan menurun pada usia 40 tahun yang dimulai dari menurunnya sensitivitas pada nada tinggi.

Secara seksual, dewasa madya juga mengalami perubahan. Pada wanita akan terjadi menopause. Menopause merupakan penghentian menstruasi dan kemampuan untuk melahirkan seorang anak (Papalia, Olds & Feldman, 2010). Tidak hanya wanita, pria juga mengalami perubahan hormon seksual yang terjadi secara perlahan dimana hormon testosterone pada pria akan menurun 1 persen. Dalam Papalia, Olds & Feldman (2010) penurunan hormon testosterone ini akan berdampak pada penurunan kepadatan tulang dan massa otot, dorongan untuk berhubungan seksual, kenaikan berat badan, mudah marah. Selain itu, juga terjadi erectile dysfunction dimana pria tidakmampu untuk mempertahakan ereksi penis dalam performa seksual (Papalia, Olds & Feldman, 2010)

Selain perkembangan fisik juga terdapat perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif pada dewasa madya mengalami kemunduran dalam beberapa hal yaitu penurunan daya ingat terutama ingatan jangka panjang akibat kapasitas working memory pada dewasa madya terbatas karena penuaan dan dewasa madya cenderung lebih lambat dalam hal memproses informasi. Namun, perkembangan scara kognitif ini tidak mengalamin penurunan saja. Papalia, Olds & Feldman (2010) menjelaskan bahwa kemampuan verbal dan crystallized intelligence pada dewasa madya mengalami peningkatan.

Berikutnya adalah perkembangan Sosioemosional. Menurut Erikson dalam Papalia, Olds & Feldman (2010) perkembangan dewasa madya berada pada tahap Generativity vs Stagnation. Generativity berfokus pada pengembangan dan

(11)

pengarahkan serta mempengaruhi generasi penerus agar mengikuti diri dewasa madya tersebut. Sebaliknya, stagnation akan berkembang jika dewasa madya tidak mampu untuk mengembangkan, mengarahkan dan mempengaruhi generasi penerusnya. Virtue pada tahap perkembangan ini adalah care. Care merupakan komitmen untuk merawat orang lain dan orang yang membutuhkan perhatian.

Dalam pernikahan, masa dewasa madya ini merupakan masa transisi kehidupan dimana anak meninggalkan rumah, pensiun dalam pekerjaan serta merawat orang tua dan pasangan mereka. Kehidupan pada masa ini akan berdampak terhadap pernikahan yang dijalani oleh dewasa madya (Blieszner dan Bedford, 2012). Dalam masa transisi dewasa madya ini mengalami masa krisis seperti merasa terjebak untuk peluang masa depan, kehidupan yang tidak terbuka lagi, dan kehilangan tujuan atau ambisi muda dalam diri (Nevid, 2007). Selain itu, krisis yang sering terjadi pada dewasa madya ini adalah empty nest syndrome (Nevid, 2007). Empty nest syndrome adalah emosi negatif disertai dengan perasaan kehilangan arah dan tujuan yang dapat terjadi ketika anak telah tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah (Nevid, 2007).

Meskipun terdapat banyak keyakinan bahwa empty nest dapat berdampak negatif pada pernikahan, penelitian saat ini menunjukkan bahwa empty nest ini meningkatkan kepuasan pernikahan pasangan dimana seseorang dapat menikmati waktunya dengan pasangan mereka (Blieszner dan Bedford, 2012). Penelitian Mackey dan O’Brien dalam Blieszner dan Bedford (2012) menemukan bahwa konflik pasangan pada masa empty nest semakin berkurang dan lebih mendiskusikan konflik yang ada secara langsung namun kualitas dalam berhubungan seksual dengan pasangan semakin menurun. Selain itu, penelitian Mackey dan O’Brien dalam Blieszner dan Bedford (2012) juga menemukan bahwa kepuasan pernikahan dan keintiman psikologis pasangan dalam penelitian ini cukup tinggi pada masa empty nest. Kepuasan pernikahan dan keintiman psikologis pasangan akan rendah ketika pada masa empty nest, anak mereka kembali pulang ke rumah (boomerang kids) dimana pasangan dewasa madya lebih memperhatikan anaknya kembali dan kehilangan kebebasan untuk melakukan hal yang menarik bagi mereka saat anak mereka telah meninggalkan rumah (Blieszner dan Bedford, 2012).

Selain empty nest, pensiun pada dewasa madya juga berpengaruh pada kepuasan pernikahan (Blieszner dan Bedford, 2012). Pasangan dewasa madya yang pensiun akan memiliki kualitas dan kepuasan pernikahan lebih tinggi namun jika

(12)

pasangan pria pensiun dan wanita masih bekerja maka kepuasan pernikahan serta kualitas pernikahan akan menjadi rendah (Blieszner dan Bedford, 2012).

Blieszner dan Bedford (2012) juga menyatakan pada masa dewasa madya ini, pasangan dewasa madya akan memiliki peran untuk merawat atau memperhatikan orang tua mereka dan pasangan mereka. Terdapat perbedaan antara merawat orang tua dan pasang mereka dimana jika dewasa madya merawat pasangan mereka maka kepuasan pernikahan akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan merawat orang tua (Blieszner dan Bedford, 2012).

2.8. Kerangka Berpikir

Isu perceraian yang sering terdengar belakangan ini adalah isu perceraian yang dialami oleh dewasa madya. Salah satu prediktor perceraian pada dewasa madya ini disebabkan karena faktor kepuasan pernikahan (Borman dalam Fine dan Harvey, 2006). Karney dan Bradbury dalam Miller, Perlman dan Brehm, 2007) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan memiliki faktor yang sangat besar terhadap kestabilan pernikahan dibandingkan dengan faktor lainnya. Menurut Karney dan Bradbury dalam Parker (2002) kepuasan pernikahan adalah evaluasi mengenai kualitas dan kestabilan pernikahan dari waktu ke waktu yang dapat dilihat melalui proses adaptasi atau adaptive processes terhadap pasangan dan kondisi dalam pernikahan.

Pada dasarnya, kepuasan pernikahan ini cenderung berubah-ubah, tergantung bagaimana pasangan melakukan adaptive processes. Karney dan Bradbury dalam Parker (2000) menyatakan bahwa kepuasan dan kestabilan pernikahan relatif tinggi jika pasangan memiliki adaptive processes yang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepuasan pernikahan relatif rendah jika pasangan memiliki adaptive processes yang kurang baik. Agar dapat memiliki adaptive processes yang baik sehingga kepuasan pernikahan meningkat dibutuhkan sebuah kapasitas atau kemampuan (Karney, 2010).

Kapasitas atau kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan mengungkapkan ketidaksenangan (negative assertion), kemampuan untuk terbuka secara mendalam mengenai diri sendiri (self disclosure), kemampuan untuk memberi dukungan emosional (emotional support) dan kemampuan mengelola konflik (conflict management). Keempat kemampuan ini digunakan karena keempat kemampuan ini dapat digunakan apabila seseorang telah memiliki hubungan personal

(13)

yang dekat dengan orang lain (Guerrero, Andersen dan Afifi, 2011) dan penelitian ini ingin melihat cara pasangan dewasa madya menjalani hubungan pernikahan dimana hubungan pernikahan adalah hubungan personal yang dekat dan mendalam antara suami dan istri (Strong, DeVault, dan Cohen, 2011).

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, adaptive processes membutuhkan kemampuan atau kapasitas untuk meningkatkan kepuasan penikahan (Karney, 2010). Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan mengungkapkan ketidaksenangan (negative assertion), kemampuan untuk terbuka secara mendalam mengenai diri sendiri (self disclosure), kemampuan untuk memberi dukungan emosional (emotional support) dan kemampuan mengelola konflik (conflict management). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila dewasa madya mampu untuk mengungkapkan ketidaksenangan pada pasangan, terbuka secara mendalam kepada pasangan, mampu memberi dukungan emosional kepada pasangan dan mampu mengelola konflik bersama pasangan maka kepuasan pernikahannya akan meningkat. Kepuasan pernikahan yang meningkat ini, nantinya akan mendorong pasangan dewasa madya untuk semakin meningkatkan kemampuan mereka dalam mengungkapkan ketidaksenangan, terbuka secara mendalam mengenai informasi diri, dan memberi dukungan kepada pasangan serta kemampuan mengelola konflik bersama pasangan.

Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir

Negative Assertion Emotional Support Self Disclosure Conflict Management Kepuasan Pernikahan

Gambar

Gambar 2. 1 Vulnerability-Stress-Adaptation Model Of Marriage (sumber:
Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Pelingkupan No Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Berpotensi Menimbulkan Dampak Lingkungan Pengelolaan Lingkungan yang Sudah Direncanakan Komponen Rona Lingkungan Terkena

KAJIAN TUGAS AKHIR STRATA SATU (S1)  FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS INDONESIA Shinta T. Effendy 1 , Rahmat M. Samik­Ibrahim 2

Pada pengujian satu penyebab dengan yang memiliki beberapa jenis masalah, pengujian menggunakan contoh seorang siswa yang menginputkan penyebab ‘Saya boleh pulang

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ADMINISTRASI PEMERINTAHAN PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA BARAT KEPALA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Bab ketiga adalah berisi tentang pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten, yang meliputi praktik bilas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedalaman gerusan dan pola gerusan yang terjadi di sekitar abutmen pada kondisi aliran jernih (clear-water scour) untuk saluran

Alat analisis yang digunakan adalah pendpatan koto, pendapatan bersih dan efisiensi pendapatan dengan cara menghitung pendapatan kotor yang dikurangi dengan total biaya

Anda mungkin memiliki keterampilan atau keahlian untuk melaksanakan tugas- tugas yang dituntut oleh pekerjaan yang ditawarkan, tetapi pimpinan perusahaan juga ingin mengetahui