• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Dirofilaria immitis

Genus Dirofilaria dibagi menjadi dua subgenus, yaitu subgenus Dirofilaria meliputi Dirofilaria immitis dan Dipetalonema reconditum sedangkan subgenus Nochtiella meliputi Dirofilaria ursi, D. repens, D. striata dan D. tenuis (Lok 1988). Menurut Soulsby (1986), klasifikasi D. immitis adalah sebagai berikut :

Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Sub Kelas : Secernentea Sub Ordo : Spirurata Superfamili : Filarioidea Famili : Filariidae Genus : Dirofilaria

Spesies : Dirofilaria immitis

Cacing dewasa D. immitis hidup di dalam ventrikel kanan jantung dan arteri pulmonalis anjing yang merupakan inang definitifnya. Selain anjing, cacing ini juga dapat menginfeksi lebih dari 30 spesies hewan (misalnya coyotes, serigala, rubah dan canidae liar lainnya, kucing dan kucing liar, ferrets, singa laut dan sebagainya) dan manusia (AHS 2007a). Selain canidae, siklus hidup D. immitis juga terjadi secara sempurna pada tikus air (Ondatra zibethica) walaupun mikrofilaria belum ditemukan hingga 160 hari (Karmil 2002). Jika secara alami terbukti bahwa tikus air dapat menjadi reservoir, maka penyebaran CHD akan lebih mudah lagi karena populasi tikus air di Indonesia cukup tinggi.

Gambaran Morfologi

Cacing D. immitis dewasa berbentuk ramping berwarna putih dengan panjang cacing jantan 12 – 16 cm, betina 25 – 30 cm. Ujung posterior cacing jantan berbentuk melingkar dan pada ekor terdapat beberapa papilae lateral. Vulva cacing betina terletak di belakang ujung esofagus (Soulsby 1986, Manfredi et al. 2007). Cacing D. immitis dewasa mengambil makanan dari induk semang

(2)

(inang) berupa plasma dan cacing ini dapat hidup selama 5 – 7 tahun di tubuh inang. Nematoda ini termasuk golongan vivipar, cacing betina melepaskan mikrofilaria ke dalam aliran darah inang (Manfredi et al. 2007)

A B C Gambar 1 Dirofilaria immitis (Manfredi et al. 2007)

A. Ujung posterior cacing jantan B. Ujung anterior cacing betina

C. Cacing dewasa betina (atas) dan jantan (bawah)

Pada pemeriksaan darah anjing terinfeksi, dapat ditemukan beberapa jenis mikrofilaria (mf) yaitu mf Dipetalonema dan Dirofilaria. Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum dapat dilihat pada Tabel 1 (Lok 1988, Tarello 2004, Karmil 2002).

(3)

Tabel 1 Perbedaan morfologi dan ciri-ciri dari D. immitis dan Dipetalonema reconditum (Di. reconditum).

Karakteristik D. immitis Di. reconditum

Mikrofilaria:

• Jumlah dalam darah Sedikit s/d banyak Biasanya sedikit

• Bentuk badan Biasanya lurus Kurva

• Panjang badan 308 (295 – 325) µm 263 (250 – 288) µm

• Lebar badan 5 – 7,5 µm 4,5 – 5,5 µm

• Bentuk ujung badan runcing Tumpul

• Bentuk ekor lurus Kurva atau berkait

• Pergerakan Dari sisi ke sisi

(stationary)

Ke depan

Cacing dewasa:

• Panjang betina 25 – 30 cm 3,0 – 3,2 cm

• Panjang jantan 15 – 20 cm 1,7 cm

• Habitat Ventrikel kanan dan

arteri pulmonalis

Daerah subkutan di

seluruh tubuh

A B C

Gambar 2 Mikrofilaria Dirofilaria sp

A. Mikrofilaria D. immitis (Ohio State University 2007)

B. Detail ujung posterior mikrofilaria D. immitis pada pembesaran 40x (Tarello 2004)

C. Detail ujung posterior mikrofilaria Dipetalonema reconditum pada pembesaran 40x (Tarello 2004)

(4)

Siklus Hidup dan Penularan

Penyebaran D. immitis dari anjing ke hewan lain atau manusia terjadi melalui gigitan nyamuk yang mengandung L3 yang biasa disebut dengan istilah mikrofilaria (mf) ketika menghisap darah anjing terinfeksi (Abraham 1988, Manfredi 2007). Pada hari ke-1, darah yang mengandung mf masih tersisa di bagian mulut, tetapi pada hari ke-2, mf bermigrasi ke bagian midgut dan tubulus malphigi. Pada hari ke-4, mikrofilaria telah berubah menjadi bentuk sosis (L2) dengan ukuran panjang 220 – 240 µm dan lebar 20 – 25 µm. Pada hari ke-9, terjadi penambahan sel intestinum dan sel ekskretori dan akhirnya membentuk organ-organ tubuh dengan ukuran 500 x 20 µm. Pada hari ke-15 sd 17, mikrofilaria menuju thoraks dan akhirnya di labium nyamuk dan bentuk ini disebut bentuk infektif (L3) dengan ukuran 800 – 900 µm.

Pemindahan L3 terjadi ketika nyamuk memuntahkan air liur yang mengandung L3 ketika menjelang menghisap darah hewan. Dari tempat bekas gigitan nyamuk, L3 bermigrasi ke membran subkutikuler dan jaringan adipose inang definitif baru. Pada inang yang baru, L3 mengalami perubahan bentuk menjadi stadium L4, L5, cacing muda dan dewasa dengan indikasi bahwa cacing betina dewasa viviparu akan menghasilkan mf yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan darah perifer. Setelah 85 – 120 hari pasca infeksi, D. immitis dewasa sudah berada di dalam jantung kanan dan arteri pulmonalis dengan ukuran panjang sekitar 32 cm (Gambar 3).

(5)

Secara eksperimen, mikrofilaria dari darah anjing terinfeksi dapat dipindahkan ke anjing lain melalui transfusi darah (Abraham 1988). Mikrofilaria ini dapat beredar di tubuh anjing resipien selama 2,5 tahun. Umumnya mikrofilaria hasil transfusi ini tidak beredar di pembuluh darah perifer namun di dalam organ. Mikrofiaria dari kultur in vitro pun pernah di transfusi secara eksperimen pada anjing normal. Anjing resipien ini dapat memelihara mikrofilaria pada pembuluh darah perifer untuk beberapa minggu, namun dalam jumlah sedikit.

Vektor

Nyamuk merupakan vektor bagi D. immitis. Sebanyak 60 -70 spesies nyamuk diperkirakan dapat menjadi vektor potensial (Nithiuthai, 2003; Lok 1988). Larva D. immitis dapat berkembang menjadi L3 di dalam nyamuk dari genus Culex, Aedes, Psorophora, Mansonia atau Anopheles. Spesies yang dapat menjadi vektor D. immitis adalah spesies yang tidak mempunyai bucco-pharyngeal yang dapat merusak kutikula mikrofilaria sehingga menghambat perkembangannya menjadi larva infektif (Manfredi 2007).

Dinamika Mikrofilaria D. immitis dalam Tubuh Inang

Mikrofilaria (mf) dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah anjing reservoir setiap waktu, akan tetapi angka mikrofilaremik perifer umumnya mengikuti pola periodisitas yang berbeda pada setiap geografis. Di USA, Perancis dan Cina angka minimum dan maksimum mikrofilaremik perifer masing-masing terdapat pada jam 11.00 dan 16.00, 08.00 dan 20.00 serta 06.00 dan 18.00 (Soulsby 1986). Puncak mikrofilaremia di Indonesia khususnya di wilayah DI. Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali terjadi pada pukul 7.00 – 8.00 dan pukul 23.00 – 24.00 (Karmil 2002).

Fenomena rendahnya mikrofilaremia pada anjing terlihat pada siang hari diduga terjadi karena: (1) tekanan O2 di dalam pembuluh darah perifer lebih

rendah dibandingkan dengan di dalam pembuluh darah pulmoner; (2) adanya kecenderungan bahwa anjing mempunyai aktivitas tinggi, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer; (3) aliran darah dalam sirkulasi lebih cepat

(6)

dan kondisi demikian tidak menguntungkan bagi mf dan jumlah mf di dalam pembuluh darah perifer sedikit; (4) reservoir mf terdapat pada pembuluh darah pulmoner, limpa, vena abdominalis dan sinus-sinus vena hepatik, pleksus vena kulit. Berdasarkan sistem vena tersebut ternyata limpa dan pembuluh darah pulmonalis menjadi reservoir dari mf.

Angka mikrofilaremik lebih tinggi pada malam hari dibandingkan pada siang hari, sehingga periodisitas demikian disebut subperiodik nokturnal. Fenomena tentang maksimum mikrofilaremia terjadi pada malam hari ada kemungkinan mengikuti irama sistem sirkulasi darah. Volume darah yang mengalir di dalam pembuluh darah perifer atau di jaringan-jaringan adalah sangat lambat, sehingga pertukaran zat-zat makanan antara darah dan jaringan berlangsung sangat intensif.

Kehadiran mikrofilaria dalam darah anjing terinfeksi tidak selamanya dapat dideteksi. Keadaan ini disebut sebagai occult heartworm infection. Karmil (2002) memperkirakan sebesar 14,27 – 37,76% dari anjing penderita dirofilariosis di DI. Aceh, Jakarta, Bogor dan Bali tergolong occult infection. Kondisi serupa ditemukan pada 10 - 67% anjing yang terinfeksi D. immitis di Korea (Byeon et al. 2007). Kondisi occult infection dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1) infeksi oleh satu jenis cacing saja (single sex), (2) respon imun inang terhadap sirkulasi mikrofilaria dan (3) pemberian obat cacing sebagai pencegahan.

Dinamika mikrofilaria D. immitis di dalam tubuh vektor berkaitan erat dengan (1) jumlah mikrofilaria; (2) jenis nyamuk dan (3) geografi atau iklim (Karmil 2002). Pertumbuhan membutuhkan waktu 15 – 17 hari untuk daerah subtropis dan 18 – 10 hari untuk daerah tropis (Jones et al. 1993). Studi Karmil (2002) menunjukkan bahwa pertumbuhan menjadi stadium mikrofilaria infektif (L3) dalam mikrofilaria lebih cepat di D.I. Aceh (9 hari) dibandingkan dengan di Bogor (12 hari).

Canine Heartworm Disease (Dirofilariosis)

Prevalensi dirofilariosis di berbagai negara sangat bervariasi (Tabel 2) dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur, jenis kelamin, ras dan manajemen pemeliharaan anjing. Seekor anjing dapat terinfeksi sebanyak 1 – 250

(7)

ekor cacing jantung yang masa hidup sekitar 5 – 7 tahun. Masa prepaten rata-rata (waktu dari mikrofilaria masuk ke dalam tubuh host sampai cacing betina dewasa memproduksi mikrofilaria) pada anjing sekitar 6 – 7 bulan. Secara eksperimen infeksi D. immitis, persentase mikrofilaria infektif berkembang menjadi cacing dewasa pada anjing adalah 40 – 90% (AHS 2007a).

Gejala klinis tergantung pada jumlah cacing jantung yang menginfeksi anjing. Gejala yang umum terjadi adalah batuk kronis dan kehilangan stamina. Kemudian terjadi gejala ketidakmampuan jantung, suara murmur jantung yang jelas dan kolaps setelah exercise. Gambaran elektrocardiogram pada saat hewan dalam keadaan tenang dapat menunjukkan gambaran normal, namun pada saat setelah exercise, gelombang "T” dapat terjadi sebaliknya. Berbagai gejala klinis lain yang timbul tergantung pada organ yang terpengaruh secara sekunder (Soulsby 1986).

Cacing dewasa D. immitis umumnya hidup di arteri pulmonaris dan ventrikel kanan. Namun dalam kondisi yang sangat jarang terjadi, L5 dapat bermigrasi ke bagian lain yang menyimpang dari biasanya yaitu otak, sumsum tulang belakang, hati, ruang epidural, mata dan ruang peritoneal Pada operasi sterilisasi anjing betina yang dilakukan Oh et al. (2008) di Korea, ditemukan satu ekor cacing dewasa pada ruang abdominal anjing dan setelah dikonfirmasi dengan PCR dinyatakan D. immitis. Pemeriksaan dengan ulas darah dan Uji Modified Knott ditemukan mikrofilaria pada darah anjing tersebut.

(8)

Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara Negara Wilayah tahun Jumlah

sampel Kasus Positif (%) Metode Pemeriksaan Pustaka

Thailand Bangkok 1992 496 46,17 Uji Knott Nithiuthai

(2003)

Bangkok 1999s/d

2002

83.476 10,2 Uji Knott Nithiuthai

(2003)

29,2 ELISA Nithiuthai

(2003)

Taiwan Nantou county

(central Taiwan) 1993 s/d 1997 1228 41 Ulas darah tebal Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Liuchiu 1993 s/d 1997 1228 1 Ulas darah tebal Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Lanyu 1993 s/d 1997 1228 2 Ulas darah tebal Ching-Cheng dan Ping-Chin (2003) Taiwan utara 1993 s/d 1997 837 57 Ulas darah tebal Wu dan Fan (2003)

Italia Alessandria 1998 7 100 Uji Difil Tarello (2004)

Fermo 1998 7 100 ELISA Tarello (2004)

Indonesia Jakarta dan Bogor 2002 286 19,23 Uji Knott Karmil (2002)

Bali 2002 822 5,23 Uji Knott Karmil (2002)

DI Aceh 2002 1163 10,7 Uji Knott Karmil (2002)

Jakarta 2008 93 2,2 ELISA Satrija et al.

(2008)

Jawa Tengah 2008 22 4,5 ELISA Satrija et al.

(2008)

Bali 2008 57 8,6 ELISA Satrija et al.

(2008)

Jawa Barat 2008 63 15,9 ELISA Satrija et al.

(2008)

Human Pulmonary Dirofilariosis

Kasus Dirofilariosis pada manusia disebut Human Pulmonary Dirofilariosis (HPD). Di Indonesia, sampai saat ini kasus HPD belum pernah ada laporan. Tetapi biasanya pada daerah endemik CHD, besar kemungkinan kasus HPD pada manusia juga tinggi.

Pada manusia, cacing dewasa pernah ditemukan di arteri digitalis, kelopak mata, ventrikel kiri, vena cava inferior, jaringan subkutan dan cacing menjadi penyebab painfark paru-paru. Kasus HPD sering dijumpai pada orang dewasa, dengan ciri-ciri : (1) Pemeriksaan fototoraks, pada lobus paru terlihat massa tumor berbentuk ”coin lesion” (3x3 cm); (2) adanya keluhan nyeri dada, demam dan batuk; (3) temuan histopatologi ditemukan nodul yang terbungkus oleh jaringan

(9)

ikat dan berisi massa putih keabu-abuan berupa nekrosis koagulatif; (4) adanya granuloma yang terdiri dari jaringan infark, sel eosinofil, monosit, neutrofil dan sel ”foreign body giant” (Yoshimura, 1995; Mimori et al. 1986).

Berdasarkan informasi dari Karmil (2002), kasus HPD pada manusia di beberapa negara antara tahun 1968 – 2000 antara lain terjadi di Thailand, Jepang, Australia, Sidney, Quinsland, USA, Michigan, Indiana, Amerika Selatan, Jerman, Spanyol dan Brazil dengan kasus terbanyak terjadi di Michigan.

Faktor Risiko

Tingkat risiko timbulnya CHD dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, ras, jenis kelamin, wilayah, iklim dan manajemen pemeliharaan anjing.

Umur

Anjing pada semua kategori umur berisiko terinfeksi cacing jantung (Nithiuthai 2003). Namun prevalensi infeksi meningkat seiring dengan bertambahnya umur anjing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu pemaparan yang lebih lama, terutama pada daerah endemik penyakit ini.

Boonyapakorn et al. (2008) pada penelitiannya terhadap pasien anjing rawat jalan di Rumah Sakit Hewan Chiang Mai University, Thailand menemukan prevalensi pada anjing umur dibawah 2 tahun adalah 6,4%, lebih rendah daripada anjing pada umur diatas 2 tahun (41,5%). Prevalensi ini berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Satrija et al. (2008) menemukan bahwa anjing umur 3 – 6 tahun menunjukkan seroprevalensi yang paling tinggi terhadap D. immitis yaitu sebesar 16,7% diikuti anjing umur diatas 6 tahun (6,1%) dan anjing umur dibawah 3 tahun (4,7%). Di Korea Selatan, prevalensi tertinggi ditemukan pada anjing umur di atas 6 tahun (50,3%) dibanding anjing umur muda. Analisis chi square mengungkapkan bahwa prevalensi lebih tinggi secara signifikan pada anjing umur 4 – 6 tahun (100%) di wilayah garis pantai dan pada anjing umur 2 – 4 tahun (51,2%) di wilayah perkotaan (Song et al. 2003).

(10)

Ras

Umumnya anjing ras besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis. Anjing-anjing pekerja dan olahraga (Greyhound) juga memiliki risiko tinggi terhadap infeksi cacing D. immitis. Anjing gembala ras jerman dan Boxer mempunyai risiko paling tinggi terhadap infeksi cacing ini.

Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Satrija et al. (2008), anjing-anjing ras lokal memegang peranan sebagai sumber infeksi D. immitis. Prevalensi tertinggi CHD di Indonesia diketahui terjadi pada Pulau Bali (8,8%) dan Kabupaten Sukabumi (15,9%), yaitu salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat dengan populasi anjing tak bertuan (stray dog) yang cukup tinggi. Penelusuran lebih lanjut menyatakan bahwa jika dilihat dari faktor breed/ras, diketahui bahwa prevalensi terbesar terjadi pada breed lokal yaitu sebesar 11,9% dibandingkan ras impor (2,2%) dan ras campuran (9,1%).

Jenis Kelamin

Umumnya, infeksi cacing jantung pada anjing jantan lebih tinggi daripada anjing betina. Lewis dan Losonsky (1978) menyatakan bahwa Rasio infeksi pada anjing jantan terhadap anjing betina adalah 4:1. Pada hewan liar, penelitian terhadap coyote di wilayah Illinois didapatkan prevalensi jantan sebesar 17,7% sedangkan pada coyote betina adalah 14,1% (Nelson et al. 2003). Perbedaan ini diduga akibat pergerakan hewan jantan lebih tinggi dibanding betina sehingga risiko terpapar nyamuk juga meningkat. Hewan betina cenderung membatasi pergerakan mereka selama musim panas dan menjaga anak-anaknya di sarang.

Seroprevalensi CHD pada anjing jantan yang lebih tinggi dibanding betina juga ditemukan oleh Satrija et al. (2008) di Indonesia. Meskipun setelah ditinjau lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak ada asosiasi antara seroprevalensi dan jenis kelamin.

Wilayah

American Heartworm Society (2007b) menyatakan bahwa CHD telah tersebar luas di dunia khususnya pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropics, kecuali di Alaska. Belum pernah ada laporan transmisi CHD di wilayah ini

(11)

bahkan pada importasi anjing dengan kondisi mikrofilaremik. Hal ini disebabkan oleh iklim di belahan utara dunia ini tidak mendukung perkembangan larva infektif.

Wilayah dapat mempengaruhi timbulnya CHD didukung dengan kondisi geografis, iklim dan temperatur serta populasi vektor pada wilayah tersebut (Lok 1988). Hal ini terkait dengan jenis- jenis nyamuk sebagai vektor dan dinamika larva CHD di dalam tubuh vektor tersebut. Gambaran distribusi CHD di dunia dapat dilihat dari peta penyebaran di bawah ini:

Gambar 4. Peta Distribusi CHD di dunia tahun 2001 (Sumber: http://www.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2001/dirofilari asis/Global Distribution.html )

Iklim

Iklim menyediakan temperatur dan kelembaban yang cukup untuk mendukung perkembangan populasi nyamuk dan juga perkembangan larva menjadi stadium infektif (L3) di dalam vektor. Hal ini memegang peranan

(12)

penting dalam transmisi D.immitis. Kondisi temperatur di lingkungan nyamuk hidup merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi larva D. immitis, dimana larva di dalam tubuh nyamuk akan berkembang lebih cepat pada temperatur hangat (Abraham 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan larva D. immitis adalah 22°C - 26,5°C. Pada suhu 27°C, waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva menjadi stadium infektif adalah 10 – 14 hari. Temperatur yang turun di bawah batas ambang (14°C) untuk beberapa jam saja akan memperlambat pematangan larva. Sejalan dengan pernyataan Lok (1988) yang menjelaskan bahwa temperatur hangat (21°C) akan mendukung perkembangan nyamuk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mikrofilaria banyak terdapat pada sirkulasi darah sepanjang musim semi dan musim panas dibandingkan musim hujan dan musim gugur.

Pada perbandingan berdasarkan iklim di Korea Selatan, didapatkan bahwa prevalensi di wilayah garis pantai (69,5%) lebih tinggi dan berkaitan nyata dibanding wilayah perkotaan dan pegunungan (Song et al. 2003). Untuk Amerika Utara, infeksi paling banyak terjadi saat musim panas, temperatur yang sangat cocok untuk perkembangan nyamuk (Rawlings 1998).

Manajemen pemeliharaan

Beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi infeksi D. immitis pada anjing-anjing yang dipelihara atau hidup di luar rumah, 4 – 5 kali lebih tinggi dibanding anjing di dalam rumah. Hal ini disebabkan oleh lebih besarnya kemungkinan anjing yang di luar rumah tergigit oleh nyamuk dibanding anjing yang di dalam rumah (Byeon et al. 2007) sehingga lebih besar pula kemungkinan anjing di luar rumah terinfeksi D. immitis, terutama pada daerah endemik (Nithiuthai 2003).

Diagnosa

Gejala klinis yang muncul pada penderita CHD sangat bervariasi sehingga peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain radiologi, angiografi dan ultrasonografi (ekokardiografi), nekropsi, deteksi mikrofilaria dan uji serologis (Atwell 1988; AHS 2007a).

(13)

Radiologi

Pemeriksaan radiografi paru-paru dan jantung adalah cara terbaik untuk mengevaluasi penyakit. Perubahan secara tipical yang dapat terlihat adalah pembesaran bagian kanan jantung (ventrikel kanan), artery pulmonalis, dan perubahan arteri pulmonalis lobus paru. Pembesaran arteri pulmonalis sering dilaporkan. serta peradangan jaringan paru-paru sekitar arteri pulmonalis juga sering ditemukan.

Angiografi and Ultrasonografi

Angiografi adalah teknik visualisasi pembuluh darah tubuh dengan melakukan radiograph dalam beberapa detik setelah diinjeksi dengan material kontras kedalam pembuluh darah tersebut. Pada infeksi CHD, angiografi digunakan untuk mempelajari perubahan arteri pulmonalis. Ultrasonografi (echocardiography) telah digunakan untuk mengevaluasi pembesaran ventrikel kanan dan untuk melihat kehadiran cacing jantung di ventrikel kanan atau arteri pulmonalis utama.

Nekropsi

Nekropsi merupakan teknik diagnosa yang paling akurat untuk menemukan cacing jantung, namun cara ini tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosa hewan yang masih hidup. Cacing jantung sering ditemukan pada ventrikel kanan jantung atau arteri pulmonalis utama. Cacing juga dapat ditemukan di cabang terjauh arteri pulmonalis. Infeksi “Ectopic heartworm” jarang terjadi. Pada infeksi ini, cacing dideteksi terdapat pada organ selain jantung dan paru-paru atau pada rongga tubuh.

Deteksi Mikrofilaria dalam Darah

Deteksi keberadaan mikrofilaria D.immitis dalam sampel darah mengindikasikan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji knott dan uji filtrasi. Para praktisi sering melakukan pemeriksaan cepat dengan sediaan natif darah untuk melihat kehadiran mikrofilaria.

Metode ini praktis dalam penerapannya, baik dari segi waktu dan biaya. Atas dasar alasan inilah metode deteksi mikrofilaria dengan uji Knott digunakan pada penelitian ini mengingat institusi karantina hewan merupakan pintu terdepan

(14)

yang menyaring kemungkinan masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia. Di sisi lain, metode ini tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa CHD dengan jumlah mikrofilaria yang rendah dalam sampel darah. Selain itu menurut Karmil (2002), waktu pengambilan sampel juga menentukan ketepatan diagnosa dengan metoda ini.

Uji Serologi

Uji serologi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mendeteksi antibodi dan mendeteksi antigen.

1). Deteksi antibodi

Beberapa uji CHD antibodi berkembang dan diperkenalkan pada awal 1980-an. Prinsip uji ini adalah mendeteksi antibodi dengan menggunakan antigen ekskretori-sekretori dari cacing jantung dewasa. Uji ini cukup sensitif (dapat mendeteksi infeksi awal dan infeksi dengan sejumlah kecil cacing jantung) namun tidak cukup spesifik karena dapat terjadi reaksi silang dengan parasit gastrointestinal di tubuh inang. Uji ini kurang populer digunakan sebagai screening test pada anjing.

Keberadaan cacing jantung yang steril, single sex atau ketidakhadiran respon inang terhadap antigen permukaan mikrofilaria, tidak akan memproduksi titer antibodi. Variasi dari uji antibodi ini termasuk menggunakan mikrofilaria yang telah dihancurkan untuk memicu antibodi terhadap antigen somatik. Teknik IFA somatic ini non spesifik dan secara klinis kurang dapat digunakan untuk diagnosa.

2). Deteksi antigen

Deteksi antigen spesifik dari cacing jantung dewasa digunakan secara sukses untuk mendeteksi infeksi CHD. Sekarang ini, metode ini telah banyak dilakukan di laboratorium – laboratorium veteriner. Kebanyakan test komersial akan akurat mendeteksi infeksi dengan satu atau lebih cacing jantung dewasa umur 7 - 8 bulan, namun secara umum, uji ini tidak dapat mendeteksi infeksi kurang dari lima bulan (AHS 2007a).

Untuk metode serologis pada penelitian ini menggunakan kit ELISA komersial DiroCHEK®, yang dapat mendeteksi antigen D.immitis dewasa dalam

(15)

sirkulasi darah minimal enam bulan pasca infeksi. Kit ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup tinggi yaitu masing-masing 99,1% dan 90,3% (Atwell 1988). Genchi et al. 2007 merumuskan kelebihan dan kekurangan metode diagnostic CHD pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Metode Pemeriksaan cacing jantung

Metode pemeriksaan kelebihan kekurangan

Natif Cepat dan murah Sensitifitas sangat rendah,

sering terjadi negatif palsu, sulit membedakan spesies mikrofilaria

Metode Konsentrasi

a. Modified Knott Cukup sensitif dan spesifik,

dapat membedakan spesies vector

Membutuhkan keahlian pemeriksa dalam membedakan morfologi mikrofilaria.

b. Filtrasi Cepat dan sensitif, tidak

memerlukan alat untuk sentrifus

Mahal (uji ini tersedia dalam bentuk kit), larutan thelysate dapat menyusutkan

mikrofilaria sehingga untuk membedakan spesies dibutuhkan standar ukuran yang baru

ELISA Sangat spesifik dan sensitif

untuk diagnosa CHD (jika hasil positif, uji ini membuktikan secara pasti terjadi infeksi)

Mahal

Pemeriksaan antibodi Sangat sensitif, sangat

bermanfaat untuk mendeteksi infeksi cacing jantung pada kucing, cocok untuk menilai risiko infeksi pada kucing dan untuk survey epidemiologi

Mahal, tidak spesifik, sulit diinterpretasikan

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Sangat sensitif, spesifik dan akurat. Dapat membedakan spesies filaria

Mahal, membutuhkan waktu lama, butuh laboratorium khusus dan keahlian teknisi pemeriksa

Pengobatan

Sebagian besar anjing terinfeksi cacing jantung dapat berhasil diobati. Tujuan pengobatan yaitu untuk membunuh cacing dewasa dengan adulticida dan membunuh mikrofilaria dengan mikrofilarisida. Hal ini sangat perlu dipenuhi untuk meminimalkan efek bahaya dari obat dan komplikasi yang dapat terjadi akibat cacing jantung yang mati. Infeksi ringan dan tanpa gejala klinis mempunyai tingkat keberhasilan pengobatan yang tinggi (AHS 2007a).

(16)

Dalam proses terapi terhadap CHD, ada lima tahap pendekatan yang benar-benar harus diperhatikan yaitu: (1) Pada preterapi, hewan harus diperiksa dan dievaluasi secara menyeluruh; (2) terapi suportif dan asimptomatik adalah sangat krusial, baik pada preterapi, selama dan pascaterapi adulticida; (3) terapi adulticida; (4) terapi mikrofilarisida (kecuali pada infeksi occult) dan (5) terapi hewan harus diawali dengan medikasi profilaktik (Karmil 2002, Courtney 1988).

Evaluasi Pasien

Sebelum melakukan terapi, hewan harus dievaluasi terlebih dahulu secara seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis urin, radiografi, umur, uji fungsi organ khususnya hati dan ginjal (berkaitan dengan efek toksik dari thiacetarsamide), sehingga pasien dapat dibagi dalam kelompok: (1) tidak boleh diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati dengan syarat dirawat secara intensif. Berdasarkan risiko terjadinya komplikasi thromboemboli pascaterapi, Venco (2007) membagi pasien menjadi dua kategori yaitu risiko rendah (low risk) dan risiko tinggi (high risk). Anjing yang termasuk dalam kategori risiko rendah harus memenuhi kondisi antara lain: (1) tidak menunjukkan gejala; (2) pada pemeriksaan radiograph terhadap thorax menunjukkan gambaran normal; (3) sirkulasi antigen rendah atau negatif dengan mikrofilaria terdapat pada sirkulasi darah; (4) tidak terlihat cacing pada pemeriksaan echocardiograph dan (5) dapat melakukan exercise ringan. Sedangkan anjing kategori risiko tinggi memenuhi kondisi antara lain: (1) menunjukkan gejala antara lain batuk dan pembengkakan bagian abdomen; (2) Gambaran radiograph tidak normal; (3) sirkulasi mikrofilaria pada level tinggi; (4) Cacing terlihat pada echocardiograph (5) tidak diperkenankan untuk melakukan exercise. Evaluasi ini berdasarkan pertimbangan terhadap efek yang kurang menguntungkan akibat terapi adulticida yaitu reaksi toksik dan emboli serta tromboemboli akibat kematian cacing pascaterapi.

Terapi suportif

Terapi suportif ditujukan untuk memperkecil kemungkinan efek samping yang sering terjadi pada pascaterapi adulticida yaitu obstruksi sistem sirkulasi oleh cacing mati dan diikuti dengan reaksi radang. Terapi supportif yang sering

(17)

diberikan adalah: (1) Aspirin 7 mg/kg BB/hari selama 6 – 12 bulan, dapat menekan thromboembolisme secara eksperimen; (2) anti radang (prednisolon 10 mg/kg BB/hari selama 4 minggu) dapat mengurangi efek radang periarterial dan (3) terapi antiserotonin untuk mengatasi thromboembolisme, vasokonstriksi sekunder dan bronkhokonstriksi.

Terapi adulticida

Adulticida pertama untuk anjing yang dikembangkan adalah thiacetarsamide sodium dengan kandungan arsenic (Nash 2008). Obat ini harus diberikan melalui intra vena karena dapat menimbulkan kerusakan pada beberapa jaringan jika diberikan selain intra vena. Beberapa hewan dapat menjadi lebih parah dan pengobatan harus dihentikan. Hampir semua hewan harus dirawat selama beberapa hari untuk pengobatan ini.

Melarsomin dihidroklorida adalah obat yang mengandung arsenik organik. Obat ini dapat diberikan melalui injeksi intra muscular dan lebih efektif serta mempunyai efek samping yang lebih ringan dibanding thiacetarsamide. Venco (2007) menyatakan bahwa pemberian melarsomin dihidroklorida dengan dosis 2,5 mg/kg BB dapat membunuh sekitar 90% cacing jantan dan 10% cacing betina. Oleh karena itu dapat mengurangi sekitar 50% cacing (jumlah ini dinyatakan lebih aman terhadap kemungkinan terjadinya emboli dan shock). Berdasarkan alasan ini maka American Heartworm Society menyatakan bahwa melarsomin dihidroklorida merupakan drug of choice terhadap CHD. Pemberian melarsomin dihidroklorida juga dilakukan pada pengendalian CHD di Thailand. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terapi adulticida sebaiknya dilanjutkan dengan terapi mikrofilarisida minimal 4 minggu kemudian (Nithiuthai 2003). Eslami et al. (2005) menyatakan bahwa pemeriksaan darah dan klinis terhadap anjing yang diterapi dengan melarsomin dihidroklorida pada satu dan dua bulan pascaterapi menunjukkan tidak adanya mikrofilaria dalam darah maupun gejala klinis.

(18)

Terapi Mikrofilarisida

Pemberian mikrofilarisida adalah untuk mengeliminasi mikrofilaria. Obat yang paling efektif untuk tujuan ini adalah antelmintik macrocyclic lactone (ML) seperti milbemycin oxime, selamectine, moxidectine dan ivermectine. Sirkulasi mikrofilaria biasanya dapat dieliminasi dalam beberapa minggu dengan obat golongan ML. Nithiuthai (2003) dan Elsami et al. (2005) menyatakan bahwa ivermectine 0,05 mg/kg BB adalah mikrofilarisida yang paling efektif. Selain ivermectin, pemberian levamisole 11 mg/kg per oral selama 7 - 12 hari juga dapat mengeliminasi mikrofilaria (O'Grady dan O'Sullivan 2004).

Terapi Profilaksis

Terapi profilaksis dilakukan untuk melindungi anjing dari infeksi cacing jantung. Beberapa terapi profilaksis yang direkomendasikan saat ini dapat dilihat pada tabel berikut (Courtney 1988; O'Grady dan O'Sullivan 2004). Obat-obatan ini umumnya digunakan sebagai pencegahan terhadap infeksi cacing jantung. Jika diberikan secara konsisten, maka sangat mungkin untuk menghentikan perkembangan larva menjadi dewasa (Nash 2008).

(19)

Tabel 4 Pengobatan profilaksis yang umum digunakan untuk pencegahan infeksi cacing jantung

Kandungan aktif Dosis Keterangan Diethylcarbamazine

(DEC)

5.5 sampai 6.5 mg/kg setiap hari

• Mencegah perkembangan cacing

menjadi dewasa

• Terapi seharusnya dimulai dua minggu sebelum musim populasi nyamuk meningkat dan dilanjutkan sampai dua bulan setelah akhir musim tersebut

• Anjing harus dalam kondisi

amikrofilaremik sebelum pemberian DEC

• Reaksi akibat pemberian DEC pada

kondisi anjing mikrofilaremia biasanya timbul 30 - 60 menit setelah treatmen

meliputi diare, muntah, depresi,

lethargi, inkoordinasi, tachycardia,

bradycardia, dyspnea dan shock

sirkulasi perifer. Penyebab reaksi ini belum jelas

• DEC harus dimulai sesegera mungkin

setelah uji terhadap mikrofilaria

dinyatakan negatif.

Ivermectin 6 µg/kg BB sekali sebulan • Dimulai dalam satu bulan setelah anjing terpapar nyamuk dan dilanjutkan setiap bulan selama periode nyamuk

yang berpotensi membawa larva

infektif aktif

• Aman terhadap anjing ras Collie

kecuali dengan berat badan kurang dari 4,5 kg

Milbemycin oxime • 2,3 mg untuk anjing dengan berat badan di atas 4,5 kg; dosis 5,75 mg untuk anjing dengan berat 5 – 11 kg; dosis 11,5 mg untuk anjing dengan berat badan 12 – 22 kg dan dosis 23 mg untuk anjing dengan berat badan 23 – 45 kg.

• Diberikan sekali

sebulan

• Pemberian dianjurkan mengikuti pola

pemberian ivermectin

• Dapat membunuh mikrofilaria, reaksi

shock (jarang terjadi) saat diberikan pada anjing dengan mikrofilaremia hebat

• Menyebabkan cacing betina dewasa

(20)

Persyaratan Kesehatan Hewan Impor dan Ekspor Anjing

Upaya pencegahan penyebaran Canine Heartworm Disease telah dilakukan oleh beberapa negara diantaranya dengan cara menetapkannya dalam persyaratan kesehatan hewan. Pemerintah Australia mempersyaratkan pengobatan profilaksis cacing jantung untuk anjing minimal 4 bulan sebelum diimpor ke negaranya mengingat Australia merupakan wilayah endemis cacing jantung. New Zealand menetapkan rekomendasi karantina untuk mencegah D. immitis bagi anjing yang diimpor dari Australia. Anjing harus menunjukkan hasil uji negatif terhadap sirkulasi antigen D. immitis dan mikrofilarianya. Saat kedatangan di New Zealand, anjing harus di beri pengobatan profilaksis menggunakan ivermectine atau milbemycin oxime (NZMAF 2008). Institusi Karantina Hewan Singapura menetapkan tindakan pencegahan terhadap heartworm disease selama masa karantina bagi anjing yang diimpor ke Singapura. Dalam persyaratan kesehatan tersebut, pengobatan profilaksis terhadap cacing jantung harus dimulai 4 – 6 minggu sebelum masuk ke Singapura (AVA 2008).

Instalasi Karantina Hewan Soekarno-Hatta

Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000 tentang Karantina Hewan, Instalasi karantina hewan (IKH) yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi Karantina yang dimiliki oleh Balai Besar Karantina Pertanian Hatta terletak di dalam kawasan Bandar Udara Soekarno-Hatta, meliputi instalasi karantina untuk anjing, instalasi untuk kucing, instalasi karantina untuk unggas, instalasi karantina untuk reptil, instalasi karantina untuk DOC, instalasi karantina untuk kuda dan instalasi karantina untuk Primata. Instalasi tersebut dilengkapi dengan sebuah laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk melakukan uji diagnosis cepat guna mendukung kelancaran pelayanan karantina hewan kepada pengguna jasa karantina.

(21)

Khusus untuk IKH anjing, mempunyai kapasitas 50 ekor, dilengkapi dengan Air Conditioner (AC) dan kandang ditutupi dengan kasa nyamuk.

A B C

Gambar 5 Instalasi Karantina Hewan BBKP SH

A. Kandang anjing di bagian dalam ruangan IKH anjing B. Kandang anjing di bagian luar ruangan IKH anjing C. Bangunan laboratorium

Gambar

Tabel  1    Perbedaan  morfologi  dan  ciri-ciri  dari  D.  immitis  dan  Dipetalonema  reconditum (Di
Tabel 2 Prevalensi CHD di berbagai negara
Gambar  4.  Peta  Distribusi  CHD  di  dunia  tahun  2001  (Sumber:
Tabel  3  Perbandingan  Kelebihan  dan  Kekurangan   Metode  Pemeriksaan                    cacing jantung
+3

Referensi

Dokumen terkait

Max Weber adalah orang yang turut berjasa besar dalam perkembangan teori interaksi simbolik, beliau mendefinisikan tindakan sosial sebagai sebuah perilaku manusia pada saat

Setiap awal kata dalam judul tabel menggunakan huruf besar kecuali untuk kata-kata pendek seperti yang tercantum pada Bagian III-D, dan ditulis menggunakan Small Caps..

Selain itu, dengan teknik pengembangannya (baik teknik pemurnian dan kriopreservasi) sudah berhasil diperoleh koleksi PGC ayam lokal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk

Reader Text: Organization Analysis: Critical Contemporary Contributions edited by David Knights/ Hugh Willmott..

Al-hamdu lillaahi rabbil- ’aalamiin, segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kekuatan tarik lubang dicetak dan dibor pada sambungan mekanik komposit polyester tipe double lap pada serat

Hasil lain dari penelitian ini, diperoleh bahwa semakin besar viskositas pada fluida Sisko, nilai kecepatan maksimum fluida Sisko menjadi lebih besar dibandingkan

Angka kumulatif survivor (hidup) diperoleh dari menjumlahkan hewan uji yang tetap hidup pada dosis terkecil yang tidak menyebabkan kematian (100% hewan uji tetap hidup) dengan jumlah