BAB I BAB I
PENDAHULUAN PENDAHULUAN
Saat ini, pemberian obat-obat antipsikotik masih menjadi pilihan terapi Saat ini, pemberian obat-obat antipsikotik masih menjadi pilihan terapi farmakologis utama untuk skizofrenia. Terdapat dua jenis golongan obat farmakologis utama untuk skizofrenia. Terdapat dua jenis golongan obat antipsikotik untuk skizofrenia, yaitu obat antipsikotik generasi pertama (tipikal) antipsikotik untuk skizofrenia, yaitu obat antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan obat psikotik generasi kedua (atipikal). Keduanya termasuk dalam obat dan obat psikotik generasi kedua (atipikal). Keduanya termasuk dalam obat golongan neuroleptik. Salah satu efek samping pengobatan dengan antipsikotik golongan neuroleptik. Salah satu efek samping pengobatan dengan antipsikotik adalah timbulnya gangguan pada system persarafan ekstra pyramidal yang dikenal adalah timbulnya gangguan pada system persarafan ekstra pyramidal yang dikenal sebagai sindroma ekstra pyramidal. Sindroma ekstra pyramidal merupakan faktor sebagai sindroma ekstra pyramidal. Sindroma ekstra pyramidal merupakan faktor penyulit
penyulit dalam dalam proses proses terapi terapi karena karena sering sering menyebabkan menyebabkan gangguan gangguan padapada kepatuhan pasien dalam minum obat secara teratur. Sindroma ini meliputi tiga kepatuhan pasien dalam minum obat secara teratur. Sindroma ini meliputi tiga kelompok gangguan besar, yaitu akatisia, distonia, dan
kelompok gangguan besar, yaitu akatisia, distonia, dan parkinsonismeparkinsonisme..11
Akatisia merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan Akatisia merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan suatu gejala psikiatri berupa kegelisahan yang ekstrim
suatu gejala psikiatri berupa kegelisahan yang ekstrim..22 Istilah “akathisia”Istilah “akathisia” pertama kali diperkenalkan oleh Lad Haskovec, seorang neuropsikiater pada tahun pertama kali diperkenalkan oleh Lad Haskovec, seorang neuropsikiater pada tahun
1901
1901..33 Lad Haskovec mempunyai dua orang pasien yang tidak bisa untuk dudukLad Haskovec mempunyai dua orang pasien yang tidak bisa untuk duduk dengan tenang. Mereka butuh berjalan secara terus menerus. Haskovec kemudian dengan tenang. Mereka butuh berjalan secara terus menerus. Haskovec kemudian membuat istilah
membuat istilah akathitic,akathitic, yang dalam bahasa Yunani artinya “tidak bisa duduk”.yang dalam bahasa Yunani artinya “tidak bisa duduk”. Ketidakmampuan untuk tetap duduk dalam jangka waktu tertentu telah Ketidakmampuan untuk tetap duduk dalam jangka waktu tertentu telah dipublikasikan sebelumnya. Referensi yang pertama kali ditemukan ialah sebuah dipublikasikan sebelumnya. Referensi yang pertama kali ditemukan ialah sebuah textbook pada abad ke 19 yang mendeskripsikan seorang anggota di pengadilan textbook pada abad ke 19 yang mendeskripsikan seorang anggota di pengadilan Napoleon
Napoleon ke-3 ke-3 yang yang menderita menderita penyakit penyakit Parkinson Parkinson dan dan melanggar melanggar aturanaturan persidangan
persidangan dengan dengan terus terus menerus menerus duduk duduk dan dan berdiri berdiri secara secara bergantian bergantian untukuntuk membuat dirinya merasa nyaman
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Akatisia didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk tetap tenang akibat adanya rasa gelisah.3 Secara harfiah, akatisia berarti “tak duduk” atau hilangnya kemampuan untuk duduk atau mempertahankan diri dalam posisi duduk. Saat ini terminology akatisia dikarakteristikan dengan kegelisahan yang dirasakan baik secara subjektif maupun objektif. Secara subjektif ditemukan perasaan tak nyaman dan perasaan gelisah dari dalam yang menimbulkan penderitaan. Secara objektif, kegelisahan nampak sebagai dorongan untuk terus menerus bergerak .1
B. EPIDEMIOLOGI
Akatisia tidak mempunyai predileksi pada umur ataupun jenis kelamin tertentu, tidak seperti gangguan gerak akibat obat lainnya. Akatisia umumnya terjadi pada pasien psikotik yang mendapatkan terapi antipsikotik sehingga sulit untuk memperoleh informasi yang akurat tentang prevalensi akatisia.3 Namun, diperkirakan angka kejadian akatisia adalah sekitar 20-45% dari penggunaan obat neuroleptik .4
C. ETIOLOGI
Walaupun, akatisia pertama kali diperkenalkan berkaitan dengan postencepalitis parkinsonism dan idiopatik Parkinson Disease jauh sebelum neuroleptik ditemukan, namun saat ini akatisia paling sering disebabkan oleh penggunaan obat antipsikotik .3 Semua obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine dapat mengakibatkan akatisia. Karena semua obat antipsikotik bekerja terhadap reseptor dopamine, maka untuk saat ini akatisia paling banyak disebabkan oleh obat antipsikosis.5
Antipsikosis tipikal yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor Dopamin D2 lebih sering mengakibatkan terjadinya akatisia jika dibandingkan dengan obat antipsikosis atipikal.3
Penelitian menyebutkan bahwa setiap empat pasien yang mendapat terapi antipsikotik tipikal maka satu di antaranya menderita akatisia. Pada penggunaan antipsikotik atipikal, akatisia ditemukan pada 10-28% pasien.1
Selain itu penggunaan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), calcium channel antagonist, anti konvulsan, obat-obat yang mengikat reseptor 5-HT, dan litium karbonat diduga dapat menyebabkan akatisia. Seperti gangguan gerak lainnya, timbulnya akatisia berkaitan dengan neuroleptik potensi tinggi ataupun dosis yang besar .1, 3
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi akatisia masih belum terlalu jelas. Ada beberapa teori yang mengatakan bahwa akatisia muncul akibat interaksi neuron dopaminergik dengan noradrenergic, serotonergic, cholinergic, GABAnergic, glutamanergic, dan system opioid pada jalur mesolimbik dan mesokortikal.4
Ilmuwan telah mengajukan beberapa teori mengenai patofisiologi akatisia akut. Karena akatisia umumnya disebabkan oleh penggunaan obat neuroleptik dan pertama kali disebutkan sehubungan dengan Parkinsonism’s syndrome dengan berbagai etiologi, maka diduga kuat patofisiologi akatisia berhubungan dengan fungsi dopaminergik .3 Beberapa ilmuwan mengemukakan bahwa akathisia terjadi akibat ketidakseimbangan antara dopaminergik/kolinergik dan sistem dopaminergik/serotonergik .6
Kebanyakan (hampir semua) obat-obat yang menyebabkan akatisia, secara langsung ataupun tidak langsung mengurangi fungsi dopamine di otak .4, 7 Neuroleptik potensi tinggi seperti haloperidol, yang merupakan penyebab terbanyak akatisia, merupakan antagonis reseptor dopamine D2 yang poten. Pada penelitian dengan menggunakan emisi positron pada pasien skizofrenia, dilaporkan bahwa akatisia berkaitan dengan reseptor D2, dan tidak berkaitan dengan reseptor D1.3 8
E. KLASIFIKASI
Akatisia biasanya merupakan gejala akut yang muncul beberapa jam atau hari setelah terapi antipsikotik .3 Dosis awal yang tinggi dan peningkatan dosis obat yang cepat merupakan faktor predisposisi akatisia akut. Akatisia dibagi atas beberapa subtype berdasarkan onset terjadinya.2, 3
a. Akatisia akut
Akatisia akut merupakan jenis akatisia yang paling sering ditemukan. Akatisia jenis ini dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah inisiasi atau peningkatan atau perubahan dosis terapi. Adanya paparan tunggal terhadap obat sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Biasanya akatisia jenis ini mulai terjadi dalam waktu 2 minggu pertama pengobatan dan hampir selalu terjadi dalam 6 minggu pengobatan.
b. Akatisia tardive
Akatisia subtype ini merupakan akatisia yang terjadi pada penggunaan obat neuroleptik jangka panjang meskipun tidak ditemukan adanya perubahan dosis atau jenis obat, ataupun pemutusan obat golongan anti akatisia. Awitan akatisia tardive adalah 3 bulan setelah pemberian obat yang stabil.
c. Akatisia pada withdrawal
Akatisia ini muncul setelah penghentian atau penurunan signifikan dari dosis obat neuroleptik. Akatisia jenis ini terjadi dalam beberapa hari atau minggu sesudahnya namun secara rata-rata biasanya dalam jangka waktu enam minggu setelahnya. Bila akatisia menetap setelah jangka waktu tiga bulan setelah pemberian obat, maka akatisia tardive dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosis. d. Akatisia kronik
Akatisia kronik dapat digolongkan berdasarkan lama berlangsungnya dan bukan berdasarkan awitan terjadinya. Akatisia yang tetap berlangsung setelah tiga bulan lamanya dari awitan akatisia dapat digolongkan dalam
akatisia kronik. Akatisia ini dapat berawitan akut, tardive ataupun disebabkan withdrawal.1
Saat seseorang sudah sampai pada tahap akatisia kronik, gejala subjektif akan berkurang dan pola pergerakan akan lebih menyerupai stereotipik, atau tardive dyskinesia.3
F. GEJALA KLINIS
Seorang pasien akatisia tidak bisa duduk dengan tenang dalam jangka waktu yang lama. Pada situasi yang ekstrim, pasien akan langsung berdiri segera setelah dia duduk dan akan terus menerus berdiri kemudian duduk kembali. Ketika pasien dipaksa untuk berada dalam suatu tempat, mereka akan gelisah. Ketika duduk, mereka akan mengganti posisinya terus menerus, menggosok lengannya, menyilangkan dan meluruskan kembali kakinya atau bergerak maju mundur. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengurangi desakan yang kuat untuk bergerak. Ketika berdiri, pasien akan terus menerus bergerak di tempatnya.3
Akatisia merupakan kumpulan gejala psikomotor yang kompleks yang terdiri atas komponen subjektif (emosional) dan objektif (motorik). 3 Gejala subjektif dari akatisia dapat berupa:
- Perasaan gelisah (inner restlessness)
- Desakan untuk terus bergerak (tasikinesia) - Ketidakmampuan untuk tenang
- Rasa tidak nyaman
- Ketidakmampuan untuk relax - Konsentrasi yang rendah - Dysphoria
- Anxietas - Rasa takut - Rasa marah
- Pikiran-pikiran agresif
Sedangkan gejala objektif dari akatisia dapat kita amati pada pasien, berupa: a. Pada posisi duduk
Tangan dan kaki yang gemetar Menggosok wajah
Menggosok, mengusap, ataupun menggerak-gerakkan tangan Menggosok ataupun memijat kaki
Menepuk-nepuk atau menarik-narik pakaian yang sedang dipakainya
Menyilangkan tangan dan kaki kemudian meluruskannya kembali secara berulang-ulang
Duduk membungkuk kemudian meluruskan badannya secara berulang-ulang
b. Pada posisi berdiri
Berjalan di tempat
Merubah posisi berdirinya terus menerus Memflexi dan extensikan kaki
Berjalan mengitari suatu area terus menerus3
Secara subjektif, perasaan gelisah dan gerakan-gerakan berulang pada kaki merupakan gejala yang paling sering, utamanya muncul pada pasien yang sedang duduk atau berdiri, dan berkurang saat pasien berbaring. Namun, tidak ada satupun dari gejala di atas yang patognomonik sehingga sulit untuk membedakan akatisia dari bentuk kegelisahan ataupun gangguan gerak lainnya.3
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Akatisia mempunyai kepentingan klinis yang besar karena timbulnya akatisia dapat menyulitkan terapi pada pasien psikosis dengan cara menginduksi perilaku impulsive, termasuk menyerang orang lain atau bahkan aksi bunuh diri.2, 3 Namun, akatisia kadang-kadang disalah-diagnosiskan dengan psychotic agitation atau bahkan diabaikan.3 Salah satu penelitian
menyebutkan bahwa akatisia hanya terdeteksi pada 26% pasien yang mengalaminya. Faktor yang menyebabkan akatisia kurang terdeteksi dengan baik yaitu gambaran sakit pasien itu sendiri dan pendekatan klinisi terhadap akatisia. Misalnya pada kasus agitasi pada penderita skizofrenia, agitasi dapat merupakan akibat dari kegelisahan yang dirasakan pasien dari dalam yang merupakan gambaran akatisia namun tampilan klinisnya sulit dibedakan dengan agitasi yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri. Hal ini terutama terjadi bila pasien sulit mengungkapkan apa yang dirasakannya. Pendekatan yang dilakukan klinisi kemudian akan menentukan apakah akatisia dapat terdeteksi dengan baik atau tidak .1
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung diagnosis akatisia. Oleh karena itu, diagnosis akatisia umumnya dibuat berdasarkan gejala klinis.2 Namun, sejak tahun 1980, beberapa skala klinis telah dibuat untuk mendiagnosis akatisia. Saat ini Barnes Akathisia Rating Scale (BARS) merupakan instrument yang paling sering digunakan untuk menilai akatisia. 3
Gambar 1
Barnes Akathisia Rating Scale (BARS)
H. DIAGNOSIS BANDING
Komponen subjektif yang dominan Komponen motorik yang dominan
Anxietas Restless-legs syndrome
Psychotic agitation Tardive dyskinesia Agitasi akibat gangguan afek Stereotipik
Drug withdrawal syndrome Tremor
Agitasi akibat gangguan organic, misalnya dementia, hipoglikemia
Gerakan-gerakan berulang akibat gangguan organik, misalnya pada dementia, hiperaktivitas pada Tourette’s syndrome
I. TERAPI
Sebagai langkah pencegahan, memilih dosis efektif terendah dan meningkatkan dosis obat secara perlahan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Selain itu, pemeriksaan rutin untuk mengecek efek samping ekstrapiramidal dan observasi perilaku dapat juga dilakukan.
Jika akatisia timbul, menghentikan obat penyebabnya atau mengurangi dosis obat merupakan pilihan yang terbaik .3 Selain itu juga dapat dilakukan intervensi psikososial, seperti memberikan edukasi kepada pasien tentang efek samping dari terapi antipsikosis yang diterimanya.4
Walaupun demikian, pada pasien yang sangat gelisah, menunggu sampai efek obat berkurang, tidaklah terlalu efektif. Obat-obat antikolinergik, antagonist reseptor, dan benzodiazepine efektif untuk terapi pada fase akut, namun respon terapinya berbeda-beda. Jika onsetnya tidak terlalu akut, dianjurkan untuk mengganti kelas obat antipsikosis. Terapi pada akatisia kronik ataupun tardive akathisia tidaklah terlalu efektif .3
Saat ini, terapi akatisia yang bisa digunakan adalah beta-adrenergic blockers, agen antikolinergik, benzodiazepine, dan sebagainya.
a. Beta-adrenergic blocker
Kegelisahan motorik pada akatisia diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara central dopaminergic dan β2-adrenergic system. Perbaikan gejala akatisia yang diterapi dengan propanolol diduga
akibat kerja propanolol yang memblok β2 .9 Propanolol, antagonis beta adrenergic non selective, sudah digunakan sebagai agen anti akatisia lini pertama selama beberapa decade, dengan dosis penggunaan 20-40mg, diberikan dua kali sehari untuk mengurangi gejala6. Namun, penggunaan obat ini tidak didukung oleh penelitian terkontrol dalam jumlah yang
besar. Toleransi terhadap propanolol sangat rendah, dimana 20% pasien mengalami hipotensi ortostatik dan bradikardi akibat penghentian obat dengan cepat. Propanolol dikontraindikasikan dengan diabetes mellitus, gangguan konduksi jantung dan asma bronchial.10
b. Anti-kolinergik
Walaupun anti kolinergik (benztropine, biperiden, diphenhydramine, trihexyphenidyl) sudah terbukti efikasinya untuk mencegah dan mengobati efek samping ekstrapiramidal, penggunaan klinisnya pada terapi akatisia masih belum terlalu jelas. Namun, ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa akatisia dapat diobati dengan antikolinergik. Anti-kolinergik mempunyai efek samping pada fungsi kognitif sehingga perlu hati-hati pada penggunaannya.6
c. Benzodiazepine
Benzodiazepine mempunyai beberapa nilai terapi untuk akatisia akibat penggunaan anti psikotik. Hal ini diakibatkan oleh efek anti-anxietas dan efek sedasinya.10 Pengurangan gejala akatisia akibat terapi benzodiazepine diduga berhubungan dengan mekanisme GABA.4 Walaupun demikian, beberapa pengalaman di klinik menunjukkan bahwa efek tersebut tidak
cukup untuk menghentikan akatisia.10 d. Mirtazapine dosis rendah
Dalam sebuah placebo controlled study, ditemukan bahwa Mirtazapine dosis rendah (15 mg/d) mempunyai efektifitas yang sama dengan propanolol 80 mg/dl dan lebih efektif daripada beta bloker dalam terapi akatisia yang disebabkan oleh antipsikosis generasi pertama. Mirtazapine
memblok α-adrenergik reseptor, sehingga menghambat reseptor 5-HT2 dan 5HT3.6
e. Terapi lainnya
5HT2A antagonis reseptor (mianserin, cyproheptadine) juga bisa digunakan sebagai terapi akatisia karena memiliki kemampuan untuk menetralkan efek anti psychotic-induced dopamine D2 receptor blockade
penelitian telah menunjukkan efek anti akatisia, keamanan penggunaan dan toleransi mianserin dan cyproheptadine pada pasien akatisia. Efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu sedasi ringan dan hipotensi ortostatik. 10
Gambar 2
BAB III KESIMPULAN
Akatisia merupakan salah satu efek samping dari penggunaan obat anti psikotik yang paling sering terjadi. Sampai saat ini, patofisiologi akatisia masih belum terlalu jelas. Namun diduga, akatisia timbul akibat penurunan kadar
dopamine yang disebabkan oleh efek obat-obatan pada reseptor dopamine.
Akatisia ditandai oleh perasaan gelisah terus menerus yang menyebabkan pasien tidak bisa duduk dengan tenang ataupun mempertahankan dirinya dalam posisi duduk. Mendiagonis akatisia sangatlah penting karena akatisia dapat menghambat terapi pada pasien psikotik. Akatisia dapat menginduksi perilaku – perilaku impulsive, termasuk menyerang orang lain atau bahkan aksi bunuh diri
Walaupun akatisia mempunyai arti klinis yang sangat penting, namun hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa mendukung diagnosis akatisia. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan klinisi sangatlah penting dalam mendiagnosis akatisia. Salah satu pemeriksaan yang bisa membantu dalam mendiagnosis akatisia adalah Barnes Akathisia Rating Scale (BARS). Skala ini dapat menilai gejala subjektif, objektif maupun menilai akatisia secara global.
Terapi akatisia yang paling baik adalah mengganti jenis obat anti psikotik yang digunakan ke jenis antipsikotik yang mempunyai efek akatisia lebih kecil, atau mengurangi dosis obat, Namun, dapat juga diberikan obat yang memiliki efek anti akatisia seperti beta blocker, anti kolinergik, ataupun benzodiazepine. Untuk saat ini terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah beta bloker. Namun, perlu hati-hati pada penggunaannya karena dapat menyebabkan hipotensi
Daftar Pustaka
1. Irma F. Penentuan Validitas dan Reabilitas Instrumen Prince Henry Hospital Akathisia Rating Scale Versi Bahasa Indonesia. Jakarta Universitas Indonesia; 2012.
2. LeDoux M. Animal Models of Movement Disorders. USA: Elsevier Academic Press; 2005.
3. Craighead WE, Nemeroff CB. The Concise Corsini Encyclopedia of Psychology and Behavioral Science. 3 ed. Canada: John Wiley & Sons, Inc; 2004.
4. Sethuram K, Gedzior J. Akathisia : Case Presentation and Review of Newer Treatment Agents. Psychiatric Annals 2014;44(8):391-396.
5. Gool ARV, Doorduijn JK, Seynaeve C. Severe akathisia as a side effect of metoclopramide. Pharm World Sci 2010;32:704-706.
6. Forcen FE. Akathisia : Is restlesness a primary condition or an adverse drug effect? Current Psychiatry 2015;14(1):14-18.
7. Divac N, Prostran M, Jakovcevski I. Second-Generation Antipyschotics and Extrapyramidal Adverse Effects. BioMed Research International 2014(1-6).
8. Ebadi M, Pfeiffer RF. Parkinson's Disease. USA: CRC Press; 2005.
9. Sharma A, Madaan V, Petty F. Propanolol Treatment for Neuroleptic-Induced Akathisia. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2005;7(4):202-203.
10. Poyurovsky M. Acute antipsychotic-induced akathisia revisited. The British Journal of Psychiatry 2010;196:89-91.