• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA PERAN EDUKASI MUSEUM STUDI KASUS MUSEUM BATIK DI PEKALONGAN TESIS ZAHIR WIDADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA PERAN EDUKASI MUSEUM STUDI KASUS MUSEUM BATIK DI PEKALONGAN TESIS ZAHIR WIDADI"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

”PERAN EDUKASI MUSEUM”

STUDI KASUS MUSEUM BATIK DI PEKALONGAN

TESIS

ZAHIR WIDADI

0806435923

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI MAGISTER ARKEOLOGI

DEPOK

JULI 2010

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

”PERAN EDUKASI MUSEUM”

STUDI KASUS MUSEUM BATIK DI PEKALONGAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora

ZAHIR WIDADI

0806435923

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI MAGISTER ARKEOLOGI

DEPOK

JULI 2010

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : ZAHIR WIDADI NPM : 0806435923 Tanda Tangan :

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora Jurusan Arkeologi Program kekhususan Museologi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1). Beasiswa unggulan Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menempuh Studi Magister Arkeologi di Universitas Indonesia

(2). Prof. Dr. Noerhadi Magetsari selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;

(3). Dr. Kresno Yulianto Ko-pembimbing, atas kesabaran dan dorongan serta motivasi yang diberikan kepada saya untuk segera menyelesaikan penyusunan tesis ini;

(4). Dr. Irmawati M. Johan selaku Ketua Program Studi Arkeologi, atas kebijakan-kebijakannya mengingatkan agar saya dapat menyelesaikan studi pada waktunya;

(5). Dr. Heriyanti Ongkodharma dan Agi Ginanjar M.Si selaku penguji yang telah memberikan kritik dan sarannya untuk kebaikan tesis ini;

(6). Isman Pratama Nasution, M.Si yang telah membantu kelancaran penyusunan tesis;

(7). Seluruh Staf Pengajar Program Studi Arkeologi yang telah memberikan ilmunya kepada saya;

(8). Ketua Umum Yayasan Kadin Indonesia, Bapak Iman Sucipto Umar yang telah membantu dan mendukung saya dalam menempuh studi;

(6)

(9). Walikota Pekalongan, Selaku Ketua Lembaga Museum Batik di Pekalongan, Bapak dr. Basyir Ahmad, yang memberikan izin bagi saya untuk kuliah.

(10). Karyawan Museum Batik Pekalongan yang telah berjuang bersama dalam pengembangan Museum Batik dan mendukung proses penelitian ini.

(11). Komunitas Batik Pekalongan yang telah memberikan dukungan selama perkuliahan.

(12). Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan dan doa selama saya kuliah.

(13). Istriku yang tercinta Sri Widiastuti, Amd yang selalu memberikan dorongan dan doa buat saya dan anakku yang tersayang M. Widianto Zahir yang selalu memberi semangat pada saat saya sedang berada jauh dari keluarga selama perkuliahan dan penulisan tesis ini;

(14). Teman-teman kuliah Museologi yang selalu bersemangat selama menghadapi perkuliahan;

(15). Kepada orang-orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang secara langsung dan tidak langsung selalu membantu kelancaran perkuliahan hingga selesainya tesis ini

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu Museologi yang masih terus perlu dikembangkan.

Depok, 15 Juli 2010

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zahir Widadi NPM : 0806435923

Program Studi : Arkeologi/kekhususan Museologi Departemen : Arkeologi

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

”Peran Edukasi Museum” Studi Kasus Museum Batik di Pekalongan. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/format- kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir sata selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal: 15 Juli 2010

Yang Menyatakan,

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

SURAT PENYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii

HALAMAN PENYATAAN ORISINALITAS... iii

LEMBAR PENGESAHAN... iv

KATA PENGANTAR... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR FOTO... xv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang………..……. 1

1.2 Rumusan Permasalahan... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat……… 8

1.4 Ruang Lingkup Penelitian……….. 9

1.5 Metode Penelitian……… 10

1.6 Sistematika Penulisan... 11

2. LANDASAN TEORI... 12

2.1 Pengertian Edukasi Museum ... 12

2.2 Konsep Kebijakan Edukasi Museum ... 12

2.3 Metode Pengajaran dan Pembelajaran Edukasi Museum ... 16

2.4 Prinsip-Prinsip Dasar Program Edukasi Museum... 23

2.5 Teori Edukasi Museum... 27

2.5.1 Teori Pendidikan Didaktik Ekspositori... 32

2.5.2 Teori Pendidikan Stimulus Respon... 32

2.5.3 Teori Pendidikan Belajar Diskoveri... 34

2.5.4 Teori Pendidikan Konstruktif ... 35

3. GAMBARAN UMUM MUSEUM BATIK PEKALONGAN... 36

3.1 Sejarah Singkat Museum... 39

3.2 Misi, Visi dan tujuan... 40

3.3 Struktur Organisasi... 41

3.4 Koleksi Museum Batik Pekalongan... 42

3.4.1 Pengertian Batik... 44

3.4.2 Makna Simbolik Batik ... 45

3.4.3 Makna budaya takbenda batik... 52

3.4.4 Proses Teknik Membatik... 54

3.5 Koleksi Museum... 57

3.5.1 Ruang Pamer Tetap Batik Pesisiran... 58

3.5.2 Ruang Pamer Tetap Batik Nusantara... 60

3.5.3 Ruang Pamer Tetap Batik Pedalaman... 61

(9)

3.6 Perputakaan buku batik... 63

3.7 Kedai Batik... 64

3.8 Pengunjung Museum... 65

4 MUSEUM BATIK PEKALONGAN SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN BATIK ... 67

4. 1 Kebijakan Edukasi Museum Batik Pekalongan... 67

4.1.1 Kebijakan Edukasi dan Koleksi... 70

4.1.2 Kebijakan Edukasi dan Warisan Budaya... 71

4.1.3 Kebijakan Mengelola Edukasi... 72

4.1.4 Kebijakan Edukasi dan Komunitas... 74

4.2 Metode Pembelajaran di Museum Batik Pekalongan... 75

4.3 Museum Sebagai Sumber Belajar Batik ... 79

4.3.1 Didaktik Eksibisi ... 80

4.3.2 Didaktik Pemanduan dan Dialog ... 90

4.3.3 Didaktik Keterangan Koleksi... 91

4.4 Program Edukasi Museum... 92

4.4.1 Diskoveri Praktik di Laboraturium Batik... 95

4.4.2 Konstruktif Pelatihan di Laboraturium Batik... 98

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

5.1 Kesimpulan... 100

5.2 Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ………..……… 102

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Statistik Pengunjung Museum Batik Pekalongan... 3 Tabel 1.2 Sentra Batik Kota Pekalongan... 4 Table 3.1 Dafter Koleksi Museum Batik Pekalongan... 42 Tabel 4.1 Kondisi Sumber Daya Manusia Museum Batik Pekalongan………. 73 Table 4.2 Penyajian Koleksi Berdasarkan Klasifikasi Asal Daerah... 89

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Prinsip dan Prioritas Menentukan Program Edukasi Museum... 15

Gambar 2.2 Tipe Bahan Belajar Didaktik Digunakan di Museum... 19

Gambar 2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Program Edukasi ... 24

Gambar 3.1 Motif Sawat... 44

Gambar 3.2 Motif Meru... 44

Gambar 3.3 Motif Slobog... 45

Gambar 3.4 Kawung Semar... 45

Gambar 3.5 Motif Sido Mukti... 46

Gambar 3.6 Sido Mulyo... 46

Gambar 3.7 Motif Truntum... 47

Gambar 3.8 Motif Satrio Manah... 47

Gambar 3. 9 Motif Madu Bronto... 47

Gambar 3.10 Motif Sekar Sagat... 47

Gambar 3.11 Motif Bundet... 48

Gambar 3.12 Motif Semen Gendong... 48

Gambar 3.13 Motif Pring Sedapur... 49

Gambar 3.14 Motif Udan Liris... 49

Gambar 3.15 Parang Wenang... 50

Gambar 3.16 Motif Keong Sar... 50

(12)

DAFTAR FOTO

Foto 3.1.Bangunan Utama Museum Batik Pekalongan... 38

Foto 3.2.Peresmian Museum Batik Pekalongan... 38

Foto 3.3 Proses Batik Tulis... 55

Foto 3.4 Koleksi Batik Motif Buketan... 57

Foto 3.5 Ruang Pamer Batik Pesisiran... 58

Foto 3.6 Salah Satu Bentuk Vitrin... 59

Foto 3.7 Koleksi Kain Batik Bayumas... 59

Foto 3. 8 Koleksi Pinjaman dari Kraton Surakarta... 60

Foto 3.9 Koleksi Batik untuk Interior... 61

Foto 3.10 Suasana Belajar di Perpustakaan... 62

Foto 3.11 Suasana Kedai Batik... 63

Foto 3.12 Pelajar Sekolah Dasar Meengerjakan Tugas... 64

Foto 3.13 Pengunjung umum... 64

Foto 4.1 Cap... 67

Foto 4.2 Komposisi Bahan Pembuatan Lilin Batik... 68

Foto 4.3 Bahan Pewarna Organik dan Non organik... 69

Foto 4.4 Setifikat Batik Indonesia dari UNESCO... 70

Foto 4.5 Keterangan Koleksi... 92

Foto 4.6 Pelajar Praktek Membatik tulis ... 96

Foto 4.7 Proses Pewarnaan... 97

Foto 4.8 Pelajar Praktek Membatik dengan Cap... 97

(13)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Konsep kunci pengaktualisasikan museologi... 7

Bagan 1.2 Museological Research... 8

Bagan 2.1. Rancangan Program Manajemen Museum... 23

Bagan 2.2 Kontinum Teori Pengetahuan... 27

Bagan 2.3 Kontinum Teori Belajar... 28

Bagan 2.4 Teori Pendidikan... 29

Bagan 3.1 Struktur Organisasi Museum Batik Pekalongan ... 41

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Struktur Organisasi Lembaga Museum Batik di Pekalongan ……….. 163 Denah Museum Batik di Pekalongan... 109

(15)

ABSTRAK Nama : Zahir Widadi

Program Studi : Magister Arkeologi

Judul : ”Peran Edukasi Museum”. Studi Kasus Museum Batik di Pekalongan

Tesis ini membahas tentang fungsi edukasi dari museum. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini mengindentifikasikan bahwa edukasi dan eksibisi Museum Batik Pekalongan masih bersifat tradisional. Eksibisi museum belum ada kesesuaian dengan program edukasi. Museum Batik Pekalongan belum memperhatikan kebutuhan dan harapan pengunjung museum.. Kenyataan ini dapat dilihat dari proses penyampaian eksibisi dalam bentuk edukasi masih berorientasi pada koleksi. Penekanan penyajian pada keindahan motif dan warna koleksi kain batik, sehingga keterangan koleksi belum menyampaikan pesan makna simbolik dan pengetahuan yang berhubungan dengan penggunaan kain batik tersebut. Permasalahan ini perlu diatasi dengan menentukan kebijakan museum terhadap koleksi, program edukasi dan pengajar, sehingga kalangan pengunjung dari sekolah dan masyarakat umum akan mendapat pelayanan edukasi sesuai yang dibutuhkan. Pembahasan dalam penelitian ini berupaya merubah konsep pelayanan Museum Batik Pekalongan menjadi berorientasi terhadap kebutuhan pengunjungnya. Bentuk edukasi Museum Batik Pekalongan perlu menggunakan teori pendidikan. Teori balajar didaktik digunakan untuk program edukasi eksibisi museum, pemanduan dengan dialog dan keterangan koleksi. Sementara teori konstruktif digunakan untuk praktik membatik di bengkel batik museum.

Kata kunci :

(16)

ABSTRACT Name : Zahir Widadi

Study Program: Master of Archaeology

Title : The Educational Role of the Museum. The Case Study of Batik Museum in Pekalongan.

This thesis discusses the educational function of museum. This study is a descriptive qualitative approach. Results from this study identified that education and exhibition Museum Batik Pekalongan is still traditional. Museum exhibitions there has been no compliance with educational programs. Museum Batik Pekalongan not yet consider the needs and expectations of museum visitors. This fact can be seen from the process of delivering an exhibition in the form of education still oriented to the collection. The emphasis of the presentation on the beauty and color collection of motif batik cloth, so that information collection has not yet submitted the symbolic meaning of messages and knowledge associated with the use of batik cloth. This problem needs to be addressed by determining the policies of the museum collections, educational programs and faculty, so that the visitors from schools and the general public will receive educational services as needed. The discussion in this research effort to change service concept Museum Batik Pekalongan to be oriented towards the needs of visitors. Museum Batik Pekalongan forms of education need to use the theory of education. Theory of didactic is used for exhibitions museum educational programs, guiding the dialogue and information collection. While the constructive theory are used to batik practice in the workshop batik museum.

Keywords:

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Setiap museum mempunyai tanggung jawab pelayanan edukasi terhadap masyarakatnya. Ambrose dan Paine (2007:48) menyatakan bahwa secara umum museum mempunyai tiga peranan dalam masyarakat. Pertama, memastikan perawatan dan konservasi warisan budaya. Kedua, memberikan dukungan kepada institusi pendidikan, memberikan fasilitas kegiatan belajar, kegiatan budaya dan ketiga, membangun identitas di lokasi tempat mereka berada.

Hal yang sama dinyatakan dalam definisi ICOM Code of Professional Ethics tahun 2006, mengenai fungsi edukasi dari museum. Dewan Museum Internasional tersebut menyatakan definisi museum sebagai berikut.

“Museum is a non profit making permanent institution in the service of society and of its development, open to public, which acquires, conserves, researches, communicates and exhibits, for purposes of study, education and enjoyment, the intangible and tangible evidence of people and their environment,”

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa museum merupakan sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, yang melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkomunikasikan, dan memamerkan untuk tujuan pembelajaran, pendidikan dan hiburan mengenai bukti manusia dan lingkungannya yang bersifat benda dan takbenda.

Berdasarkan penjelasan tersebut museum memiliki peranan dasar yakni sebagai lembaga pendidikan (Edson dan Dean, 1990:6). Dengan demikian museum ini mempunyai peluang secara langsung sebagai sumber daya pendidikan mengenai pengetahuan batik dan teknik membatik bagi masyarakat setempat. Menurut Edson dan Dean (1996:194) museum harus mengambil setiap peluang untuk mengembangkan perannya sebagai suatu sumber daya pendidikan yang dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat atau kelompok khusus yang membutuhkan pelayanan.

Salah satu museum yang memiliki tugas pokok tersebut adalah Museum Batik di Pekalongan. Museum ini merupakan museum swasta yang didirikan oleh

(18)

Yayasan Kadin Indonesia. Museum Batik di Pekalongan memiliki koleksi kain batik yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Museum ini berada di tengah tengah sebagian besar masyarakat yang hingga kini aktifitas sehari harinya terkait dengan usaha membatik sebagai mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar museum, meliputi pedagang bahan-bahan material batik, pembuat alat batik, perajin batik, pedagang batik, pemerhati batik hingga konsumen batik, dan museum juga berada dalam lingkungan sekolah yang memberikan pelajaran muatan lokal membatik kepada pelajar.

Pelajaran muatan lokal membatik merupakan pelajaran tambahan ditingkat Sekolah Dasar dan pelajaran ekstrakurikuler membatik untuk tingkat SLTP dan SLTA di Pekalongan. Pelajaran muatan lokal dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 37 ayat (1) menyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan; dan muatan lokal. Kemudian pada pasal 38 ayat (2) menyatakan kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten atau kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

Museun Batik di Pekalongan merupakan museum yang memiliki koleksi khusus batik, terutama koleksi jenis kain panjang dan kain sarung batik. Museum ini juga memiliki berbagai koleksi motif batik dengan makna simboliknya dari berbagai daerah. Batik juga memiliki proses pembuatan yang berbeda dari setiap daerahnya. Dengan demikian pengunjung akan lebih mudah untuk mengenal batik dari berbagai daerah di Museum Batik di Pekalongan tanpa harus berkunjung ke daerah asalnya. Selama ini pengunjung Museum Batik di Pekalongan berasal dari dua kelompok. Pertama, pengunjung dari kalangan pelajar/mahasiswa yang terdiri dari pelajar tingkat TK/SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Kelompok kedua berasal dari masyarakat umum yang berasal dari masyarakat lokal, nasional dan

(19)

internasional. Perincian. Perincian data pengunjung tersebut dapat digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 1.1 Statistik Pengunjung Museum Batik di Pekalongan (Sumber : Laporan Museum Batik di Pekalongan Tahun, 2009)

Berdasarkan tabel di atas tampak pengunjung Museum Batik di Pekalongan yang berasal dari kalangan masyarakat lokal memiliki persentase tertinggi yaitu 31,91%, diurutan kedua adalah dari kalangan pelajar, TK/SD dengan persentase yaitu 28,53%, diurutan ketiga adalah pelajar tingkat SLTP dengan persentase 14,06% dan urutan keempat adalah siswa tingkat SLTA dengan persentase 9,39%, diurutan kelima dari kelompok pengunjung dari kalangan masyarakat nasional dengan persentase 7,41%. Sementara itu pengunjung dari kalangan Perguruan Tinggi total jumlahnya sangat kecil 1.02% dan pengunjung dari kalangan manca negara memilki jumlah terendah dengan persentase 0,41%.

Dengan demikian dapat dinyatakan kelompok pengunjung kalangan pelajar dan mahasiswa memiliki jumlah lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok kalangan umum. Jumlah ini seharusnya mendapat perhatian khusus dari

JENIS PENGUNJUNG

Pelajar /Mahasiswa

Umum Jumlah

No Thn. TK/SD SLTP SLTA PT Lokal Nas. Int. Total

1 2006 1634 1352 1721 108 477 936 23 8257 2 2007 7956 3197 1570 182 2397 1289 83 18681 3 2008 3374 1655 670 50 1658 841 65 8313 4 2009 2773 1553 1222 221 13070 1022 57 19918 Jumlah 15737 7757 5183 561 17602 4088 228 55169 % TOTAL 28,53% 14,06% 9,39% 1,02% 31,91% 7,41% 0,41%

(20)

Pekalongan telah menjadi tempat tujuan belajar mengenai batik di luar lingkungan sekolah..

Selain peluang sebagai tempat belajar batik terhadap pelajar, Museum Batik di Pekalongan juga memiliki peluang memberi edukasi batik kepada masyarakat umum. Jumlah penduduk Kota Pekalongan sebanyak 261.745 jiwa.

Kota ini memiliki luas daerah lebih kurang 45, 25 KM2 dengan sistim

administrasi terdiri dari 4 Kecamatan dan 47 Kelurahan. Masyarakat yang terkait dengan usaha membatik terdiri dari perajin alat batik canting tulis, cap, pedagang bahan baku batik, pedagang batik berasal dari tiga kecamatan yaitu kecamatan Timur, Utara dan Selatan. Jumlah unit usaha tersebut meliputi 1.719 pengusaha atau pengrajin, sehingga sektor industri dan perdagangan batik ini mampu menyerap 17.438 orang tenaga kerja atau sekitar 75% dari 24.755 jumlah tenaga kerja yang ada di Kota Pekalongan (Deprerindag Pekalongan, 2008). Data jumlah usaha batik dan tenaga kerja yang terlibat tersebut dapat digambarkan pada tabel berikut. Alamat Perusahaan No Kecamatan Kelurahan Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja

1 Pekalongan Timur Landungsari 16 209

2 Pekalongan Timur Kauman 14 281

3 Pekalongan Utara Krapyak Lor 12 95

4 Pekalongan Utara Degayu 17 469

5 Pekalongan Utara Pabean 18 167

6 Pekalongan Selatan Kradenan 75 350

7 Pekalongan Selatan Buaran 20 185

8 Pekalongan Selatan Jenggot 70 346

9 Pekalongan Selatan Banyurip Alit 30 116

10 Pekalongan Selatan Banyurip 30 100

11 Pekalongan Barat Pasirsari 66 789

(21)

13 Pekalongan Barat Pringlangu 28 315

14 Pekalongan Barat Tirto 19 355

15 Pekalongan Barat Bendan 7 128

Jumlah 450 4491

Tabel 1.2 Sentra Batik Kota Pekalongan (Sumber: Deperindagkop Kota Pekalongan, 2008)

Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 1.1 dan 1.2 maka Museum Batik di Pekalongan dapat mengetahui tipe dan latar belakang dari pengunjung museum. Selanjutnya dengan data tersebut museum dapat menentukan program edukasi. Dengan demikian Museum Batik di Pekalongan perlu menentukan kebijakan program edukasi, metode edukasi dan konsep eksibisi untuk lebih meningkatkan pelayan terhadap masyarakat.

Pada saat observasi masalah yang ditemukan adalah tidak terdapat kesesuaian antara penataan eksibisi dalam program edukasi. Program edukasi dan pameran masih bersifat tradisional, dalam hal ini tata pameran hanya berorientasi pada koleksi. Program edukasi batik untuk pelajar tingkat TK/SD sampai Perguruan Tinggi bahkan disamakan dengan pengunjung umum. Petugas menjelaskan eksibisi dengan gaya bahasa yang sama baik terhadap anak anak maupun pengunjung dewasa. Museum ini mengedepankan konsep keindahan dari motif batik dan coraknya tanpa menjelaskan apa makna yang ada pada koleksi tersebut. Permasalah lain yang muncul adalah peran kurator yang sangat mendominasi dalam menentukan tata pamer sesuai pemikirannya sendiri, sehingga eksibisi museum belum memenuhi kebutuhan dan belum berorientasi terhadap kebutuhan masyarakatnya.

Menurut Brüninghaus-Knubel (2004:119-122) museum perlu menyadari

tujuan dari edukasi museum. Oleh karena itu museum harus mempunyai kebijakan dalam program edukasi yang dianggap sebagai salah satu tujuan utama dalam menentukan kebijakan museum.

Hein menyatakan (1998:14) sebagai sumber daya pembelajaran perlu museum mengadopsi teori pendidikan yang terdiri dari teori pengetahuan, teori belajar dan teori pengajaran yang bertujuan untuk mempertimbangkan apa tujuan

(22)

yang dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Dalam teori pengetahuan museum menentukan apa yang akan menjadi koleksi museum dan bagaimana menyajikannya. Sementara pada teori belajar menekankan bagaimana proses orang belajar, melalui proses transmisi secara bertahap, sedikit demi sedikit, langkah demi langkah menambah satu persatu hasil transmisi informasi ke dalam pengetahuannya. Teori ketiga adalah yang menentukan bagaimana teori digunakan dalam dalam praktiknya (Hein, 1998:16).

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan, Museum Batik di Pekalongan perlu melakukan perubahan secara perlahan dari orientasi pada koleksi berubah menjadi orientasi ke pengunjung, dari konsep museum tradisional menuju museum baru. Museum ini juga perlu mengubah perhatian dari objek menuju kepada orang. Perubahan ini membutuhkan landasan teori dan praktik eksibisi yang disebut museologi (Magetsari. 2008:3).

Pendapat yang sama disampaikan oleh Edson dan Dean (1996:171) yang menjelaskan tentang obyek dan pengetahuan ke dalam suatu bahasa yang dipahami oleh pengunjung.

Menurut Magetsari (2008: 8) konsep manajemen memori kultural merupakan konsep kunci dalam pengaktualisasikan museologi. Konsep kunci tersebut adalah preservasi, penelitian dan komunikasi. Konsep preservasi mencakup pengertian pemeliharaan fisik maupun administrasi dari koleksi. Termasuk di dalamnya manajemen koleksi yang terdiri dari pengumpulan, pendokumentasian, konservasi dan restorasi koleksi (Magetsari, 2008:13). Sementara konsep penelitian mengacu pada penelitian terhadap warisan budaya dan berkaitan dengan subject matter discipline. Di dalam konsep ini kurator bertindak sebagai subject matter yang melakukan tugas penelitian. Kurator peneliti ini dapat menerapkan metode interpretasi sebelum obyek dipamerkan, sehingga artifak dan display menjadi relevan dengan pengalaman dan identitas pengunjung. Dengan demikian penerapan metode interpretasi yang baik akan dapat menangkap perhatian dan minat pengunjung untuk mengaitkan objek yang dipamerkan dengan pengalaman pengunjung sendiri (Magetsari, 2008: 13). Selanjutnya komunikasi mencakup kegiatan penyebaran hasil penelitian berupa

(23)

knowledge dan pengalaman dalam bentuk pameran, program-program pendidikan, events, dan publikasi (Magetsari, 2008: 13).

Konsep kunci dalam pengaktulisasikan museologi tersebut digambarkan dalam bagan berikut.

Basic Fuction

Bagan 1.1 Konsep kunci pengaktualisasikan museologi (Sumber : van Mensch dalam Magetsari, 2008: 13)

Konsep kunci pengaktulisasikan museologi tersebut bila diuraikan dengan menggunakan museological research maka akan tampak penyebaran hasil penelitian yang berupa knowledge dan memori dalam bentuk edukasi dan eksibisi sebagai fungsi edukasi dari museum, seperti digambarkan pada bagan 1.2.

Dalam bagan 1.2 digambarkan koleksi sebagai hasil penyampaian dari proses preservasi, penyampaian hasil dari penelitian berupa knowledge dan memori, dan bentuk penyebaran hasil dari komunikasi berupa edukasi dan eksibisi. Ketiga proses interpretasi, komunikasi dan display saling berhubungan, sehingga adanya keterkaitan antara peneliti dengan subject matter discipline. Proses interpretasi koleksi memerlukan bidang ilmu peneliti, sehingga sebelum obyek dipamerkan perlu diinterpretasikan terlebih dahulu. Dengan demikian artefak dan display dapat menjadi relevan dengan pengalaman pengunjung dan dapat membantu pengunjung memahami masa lampau serta pentingnya pelestarian warisan budaya (Magetsari, 2008:9).

(24)

Bagan 1.2 Museological Research (Sumber : Magetsari, 2009:13) 1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan, maka dapat diketahui bahwa edukasi tentang batik memang dibutuhkan oleh masyarakat. Sejauh ini terdapat dua kelompok masyarakat yang memperoleh edukasi tentang batik. Pertama, pelajar yang mempunyai pelajaran membatik di sekolah dan kedua, masyarakat luas yang ingin mengerti tentang pengetahuan dan teknik membatik.

Penelitian ini berupaya untuk mendapatkan pemahaman mengenai peran edukasi di Museum Batik di Pekalongan sebagai sumber pembelajaran mengenai batik. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Pengetahuan tentang batik apakah yang seharusnya disampaikan kepada pengunjung?.

2. Bagaimana menyampaikan pengetahuan tentang batik tersebut kepada

pengunjung?. 1.3 Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

(25)

1. Memberikan masukan bagi peningkatan edukasi mengenai batik di Museum Batik di Pekalongan.

2. Memberikan sumbangan yang berkaitan dengan edukasi batik di museum sebagai salah satu contoh bagi museum sejenis di Indonesia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran untuk meningkatkan kualitas pelayanan edukasi museum di Indonesia, Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu contoh dari penerapan ilmu museologi mengenai fungsi edukasi dari museum.

2. Museum Batik di Pekalongan, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan lebih lanjut untuk menentukan teori edukasi, sehingga dapat meningkatkan fungsi dari edukasi museum sebagai langkah pengembangan kualitas pelayanan museum di kemudian hari.

3. Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat pengunjung Museum Batik di Pekalongan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Pembahasan mengenai fungsi edukasi dari Museum Batik di Pekalongan sebagai sumber pembelajaran batik belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, bahan penelitian dasar yang akan diungkapkan dalam pembahasan tesis ini adalah mengenai kebijakan, metode dan program edukasi di Museum Batik di Pekalongan. Pembahasan yang berkaitan dengan pendidikan museum ini akan dibahas melalui teori pendidikan yaitu teori pengetahuan, teori belajar dan teori pengajaran.

Penelitian ini dibatasi pada edukasi yang berkaitan dengan koleksi kain batik yang dimiliki oleh Museum Batik di Pekalongan. Edukasi batik akan membahas tentang pengetahuan makna simbolik dan teknik membatik.

Eksibisi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pameran tetap Museum Batik di Pekalongan. Pameran tetap dijadikan terdiri dari tiga ruang pamer yaitu koleksi kain batik yang berasal dari Yogyakarta dan Surakarta yang disebut dengan ruang pamer batik pedalaman, ruang pamer koleksi khusus batik

(26)

pesisiran dan ruang pamer batik yang berasal dari luar kedua daerah tersebut yang disebut ruang pamer batik Nusantara.

Lokasi penelitan ini adalah Museum Batik di Pekalongan di Jalan Jetayu Nomor 1 Pekalongan. Museum batik ini merupakan salah satu museum batik yang ada di Indonesia.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Marshal (1995:1). Penelitian kualitatif merupakan suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia

Dalam penelitian ini digunakan salah satu model dari kelompok penelitian kualitatif format deskriptif. Penelitian deskriptif adalah untuk memaparkan situasi atau peristiwa tertentu (Rakhmat, 1984). Penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan berbagai kondisi dan situasi fenomena sosial yang berhubungan ke masyarakat sebagai objek penelitian (Burhan, 2007:68).

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data. Pada tahap pertama, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan. Dalam studi pustaka akan dilakukan penelusuran sumber sumber pustaka yang menjelaskan Museum Batik di Pekalongan sebagai sumber pembelajaran batik. Sumber sumber data yang akan dikumpulkan meliputi beberapa aspek antara lain, tujuan pendirian museum, pengelolaan museum, sumber koleksi bentuk edukasi yang telah disampaikan di museum, cara menampilkan koleksi. Studi lapangan akan dilakukan untuk

mengamati bagaimana karyawan menjelaskan pengetahuan yang terdapat pada

koleksi melalui proses pemanduan, proses berlangsungnya praktik membuat batik dan fasilitas yang mendukung kegiatan pelatihan batik di bengkel batik museum. Observasi adalah kegiatan dengan menggunakan panca indra untuk menghimpun data penelitian (Burhan, 2007:115).

Pada tahap kedua, setelah data dikumpulkan dilakukan teori pengolahan data dengan menggunakan dengan teori mengenai kebijakan museum dan

(27)

metode program edukasi. Teori edukasi digunakan untuk menjelaskan cara penyajian koleksi dan cara menyampaikan informasi tentang koleksi, dan juga kegiatan interaktif belajar membatik di bengkel batik museum.

Pada tahap akhir penelitian akan dilakukan penafsiran data berdasarkan hasil dari analisis data berikut dengan program edukasi di Museum Batik di Pekalongan. Dengan demikian dapat diperoleh kesesuaian antara fungsi edukasi yang telah dilakukan di Museum Batik di Pekalongan saat ini dengan teori edukasi museum sebagai sumber pembelajaran batik di museum.

1.6 Sistematika Penulisan

Bab 1 (Pendahuluan) berisi uraian tentang latar belakang, rumusan

permasalahan, tujuan dan manfaat, ruang lingkup penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab 2 (Landasan Teori) berisi uraian mengenai pengertian museum edukasi, konsep kebijakan edukasi, metode pengajaran dan pembelajaran dan teori pendidikan.

Bab 3 (Gambaran Umum Museum Batik di Pekalongan) berisi uraian mengenai sejarah singkat pendirian museum, misi, visi, tujuan museum, struktur organisasi, koleksi museum, pengertian batik, pengertian makna simbolik pada koleksi batik yang berasal dari daerah Solo dan Yogyakrta, makna budaya takbenda batik, proses teknik membatik, pameran koleksi musem yang terdiri atas pameran tetap ruang koleksi batik pesisiran, pameran tetap ruang koleksi batik nusantara, pameran tetap ruang koleksi batik pedalaman, pameran termporer, keterangan koleksi, kegiatan belajar di laboraturium batik, perpustakaan buku batik, kedai batik, dan data pengunjung museum

Bab 4 (Museum Batik Pekalongan Sebagai Sumber Pembelajaran Batik) bersisi uraian mengenai bentuk kebijakan edukasi Museum Batik di Pekalongan, metode pembelajaran, program edukasi batik.

Bab 5 (Penutup) berisi uraian mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan mengenai jawaban pertanyaan penelitian serta bentuk bentuk edukasi dari museum. Saran menguraikan posisi Museum Batik di Pekalongan sebagai sumber pembelajaran batik.

(28)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Edukasi Museum

Menurut Brüninghaus dan Knubel dalam bukunya Museum Education in the Context of Museum Functions, (2004:127) edukasi museum secara nyata bertujuan untuk memperkenalkan pengetahuan dan budaya melalui program edukasi dan eksibisi. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen yang jelas terhadap edukasi museum yakni pendidikan harus dianggap sebagai tujuan utama dari kebijakan museum. Dengan demikian sebagai konsekwensinya, setiap tindakan museum harus bertujuan untuk melayani masyarakat dan pendidikannya.

Pendapat ini juga sesuai dengan pernyataan Edson dan Dean

(1999:194) bahwa setiap museum mempunyai tanggung jawab pelayanan dalam bidang pendidikan kepada masyarakat.

2.2 Konsep Kebijakan Edukasi di Museum.

Menurut Brüninghaus dan Knubel (2004:119) dalam menentukan kebijakan edukasi museum terdapat empat tujuan utama yang perlu diperhatikan yakni sebagai berikut.

1. Edukasi dan Koleksi

Edukasi museum harus mempertimbangkan hubungan antara edukasi dengan benda benda koleksi. Apakah koleksi museum terdiri dari artefak atau spesimen sejarah alam, benda benda teknik atau bahan bahan arsip. Selanjutnya museum harus bekerja bersama dengan karyawan ahli dalam bidang tersebut untuk mengembangkan tujuan edukasi secara relevan. Dengan demikian setelah tujuan ditetapkan, museum dapat merancang program-program edukasi di museum untuk pemahaman aspek kuratorial dan pengetahuan dari benda benda koleksi museum tersebut.

2. Edukasi dan Warisan Budaya

Dalam membuat kebijakan, museum harus menggabungkan edukasi dan pekerjaan kuratorial, bagaiman cara menampilkan koleksi dan membuat

(29)

keterangan koleksi di museum, terutama bagi museum yang berhubungan dengan komunitas yang memiliki pengetahuan tentang tradisi lokal dan budaya daerah. Sering orang mengabaikan sejarah dan tradisi budaya mereka sendiri, karena itu museum adalah salah satu tempat yang tepat untuk mempromosikan dan mendorong kesadaran akan warisan budaya.

3. Mengelola dan Mengembangkan Edukasi Museum

Edukasi museum memerlukan komitmen dari sebuah institusi pendidikan dan sosial yang harus mampu mempekerjakan karyawan spesialis edukasi. Pengajar sebaiknya memiliki kualifikasi tingkat pascasarjana dengan pengalaman di berbagai bidang. Banyak museum mempekerjakan subject matter dicipline untuk bekerja pada bidang Arkeologi, Biologi, Sejarah, Fisika, atau studi di bidang pendidikan. Selain itu, pelatihan museologi mutlak diperlukan melalui program pendidikan formal maupun non formal melalui training di museum.

Hal yang sama dijelaskan oleh Ambrosse dan Paine (1993:37) penyampaian edukasi museum memerlukan spesialis edukasi yakni karyawan museum dengan memiliki pelatihan psikologi mengajar dan banyak pengalaman untuk menyajikan pelajaran yang mudah dimengerti oleh pengunjung umum. Dalam proses pembelajaran di museum para pengajar harus mengembangkan jaringan untuk bekerja sama dengan masyarakat setempat, seperti yang dikemukakan oleh Brüninghaus dan Knubel (2004:121) yaitu.

“Therefore the museum educator must be a leader or manager as well as a true team player. Networks inside and outside the museum are essential for the educator’s work. They can help with the orientation towards the public, and they may be a source of new alliances and thus broaden the educator’s professional horizon and thus the service provided”

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa dalam mengelola dan mengembangkan edukasi museum harus membangun jaringan di dalam dan di luar museum untuk kepentingan proses pembelajaran. Kerja sama ini dapat membantu orientasi pelayanan museum terhadap masyarakat dan juga kelompok masyarakat ini dapat menjadi sumber sumber pendidikan baru. Dengan demikian hubungan ini dapat memperluas cakrawala dan memfasilitasi pemecahan masalah pengajar di museum.

(30)

4. Edukasi Museum dan Masyarakat

Museum sebagai lembaga untuk kepentingan umum yang berada di tengah-tengah masyarakat lokal, nasional atau internasional Para pengajar berhubungan dengan masyarakat melalui pengetahuan. Pengajar edukasi museum memiliki peranan penting dalam menentukan kebijakan, program pembelajaran dan tujuan museum. Selain itu, masyarakat ini mampu memberikan kontribusi penting mengenai informasi tentang kemampuan intelektual dan kesenangan dari kelompok pengunjung, sehingga masyarakat menjadi bagian dari tim pengajar. Dengan demikian semua pengunjung seharusnya tidak lagi dianggap sebagai hanya "konsumen" budaya atau pengetahuan, tetapi sebagai mitra dalam proses pembelajaran.

Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Davis (1999:198) bahwa museum juga berperan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan sebagai tokoh, kelompok komunitas, dan organisasi kemasyarakatan yang terkumpul sebagai kelompok masyarakat di suatu daerah.

Berdasarkan kebijakan museum yang telah dijelaskan tersebut di atas maka langkah selanjutnya museum dapat menentukan prinsip dan prioritas kebijakan untuk menentukan program edukasi di museum. Perencanaan program edukasi disusun melalui diskusi yang dilakukan oleh tim kuratorial dan pengajar di museum. Pengajar di museum memiliki peranan penting khusus pengembangan program, kebijakan serta misi edukasi museum. Pengajar museum mempunyai kedekatan dengan masyarakat pengunjung, sehingga pengajar memiliki pengertian yang lebih mendalam untuk membuat proses kebijakan edukasi (Brüninghaus dan Knubel, 2004:120-122).

Diskusi tersebut dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang mendasar sebagai prinsip-prinsip dan prioritas kebijakan program edukasi di museum. Permasalahan utama yang dipertanyakan tersebut mengenai situasi geografis, sosial dan struktur budaya masyarakat, museologi dan keuangan. Prinsip dan prioritas tersebut diuraikan pada gambar berikut (Brüninghaus dan Knubel, 2004:120-122).

(31)

Gambar 2.1. Prinsip-Prinsip Kebijakan Edukasi di Museum (Sumber: Brüninghaus dan Knubel, 2004: 122)

Prinsip-Prinsip Kebijakan Edukasi di Museum

Setiap museum adalah sumber pembelajaran, sehingga dalam menentukan rencana pelayanan edukasi pengajar dan kurator di museum perlu mempertimbangkan prinsi-prinsip dasar sebagai berikut.

Mengenai situasi geografis:

1. Apakah museum melayani komunitas besar atau kecil? 2. Apakah museum berada di lingkungan perkotaan atau

industri atau pedesaan?

3. Apakah museum berhubungan secara efektif dengan situasi geografisnya?

Mengenai sosial dan struktur budaya masyarakat 4. Seperti apa pengunjung potensial museum?

5. Seperti apa pengunjung dan pengguna lain yang ingin

datang ke museum dan mengapa?

6. Apa tradisi budaya masyarakat, dapatkah ini dihubungkan dengan kebijakan dan tujuan museum?

7. Apakah permasalahan yang harus diatasi masyarakat saat ini?

Mengenai museologi:

8. Apa sajakah jenis dari koleksi?

9. Bagaimana asal-usulnya?

10. Apa saja kewajiban museum terhadap pihak luar, seperti

negara, kota, atau lembaga dana atau badan donor? Mengenai keuangan:

11. Apa sumber-sumber pendanaan yang tersedia khusus untuk

kegiatan edukasi?

12. Apa penggunaan yang paling efektif dari anggaran edukasi museum yang tersedia?

(32)

2.3 Metode Pengajaran dan Pembelajaran Edukasi Museum

Menurut Brüninghaus dan Knubel (2004:122) pengajaran dan pembelajaran edukasi di museum menggunakan beberapa metode dan media yang ditujukan pada penerima pasif melalui proses pembelajaran berpikir, mengamati, memeriksa, mengakui dan metode untuk mendorong pengunjung menjadi aktif terlibat, memeriksa koleksi, menampilkan atau mempelajari secara estetika, teknis atau kegiatan penelitian. Metode pengajaran dan pembelajaran edukasi tersebut sebagai berikut.

1. Metode Menggunakan Keterangan Koleksi.

Di dalam ruang pamer harus ada informasi tentang masing-masing objek yang ditampilkan seperti, fungsi, asal, bahan, usia, dan makna koleksinya. Museum menawarkan informasi mengenai benda benda koleksi dengan menggunakan panel teks secara terpisah atau berkelompok

Tenaga khusus pengajar edukasi di museum dapat memberikan masukan kepada teman yang sedang merancang pameran dengan menawarkan tenaga ahli yang mengerti dengan linguistik, tipografi, desain grafis, komunikasi dan juga nilai nilai khusus dari benda koleksi atau konsep penyajiannya dan sasaran dari benda benda koleksi tersebut. Program perancangan pelayanan edukasi museum tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.1.

2. Metode Pemanduan dan Dialog Edukasi.

Sebagian besar proses pembelajaran di museum tergantung pada medium pembicaraan. Seharusnya gaya belajar tradisional secara formal yang digunakan terhadap pendidikan orang dewasa, diganti oleh dialog atau percakapan, yang kurang formal terutama ketika berbicara dengan anak-anak, orang muda dan orang yang latar belakang non akademik. Museum membiarkan pengunjung mengeksplorasi dan mencari tahu yang mereka lihat, sehingga edukasi museum membantu mereka untuk menemukan makna untuk pengunjung itu sendiri.

Pendapat yang sama dijelaskan oleh Falk dan Dierking (2002) bahwa

free-choice learning sebagai tipe belajar yang diarahkan sendiri, dilakukan secara sukarela, dan didorong berdasarkan kebutuhan dan ketertarikan individu. Dengan

(33)

demikian, proses belajar yang terjadi karena seseorang memilihnya bukan karena dia harus memperlajarinya. Aspek motivasi menjadi penting untuk mendorong agar orang mau belajar atas dasar pilihannya sendiri.

Sebagai salah satu contoh penerapan metode pemanduan dan dialog edukasi di museum yakni menanyakan pendapat pengunjung yang sedang melihat lihat pameran koleksi kain batik. Petugas edukasi dapat memulai untuk berdialog mengenai corak dan motif yang terdapat pada salah satu koleksi kain batik menurut interpretasi dari pengunjung sendiri. Apakah batik tersebut memiliki nilai budaya dan seni menurut pendapatnya, sehingga pengunjung akan mencoba untuk memberikan komentar dan bertanya setelah mendengarkan informasi yang tidak sesuai menurut pemahaman mereka.

3. Metode Audio dan Media Audiovisual

Proses penyampaian edukasi dapat menggunakan Audio dan Media Audiovisual sebagai pengganti untuk proses pemanduan dari karyawan museum. Museum juga dapat menggunakan pedoman sistem audio seperti tape recorder untuk memberikan pemanduan wisata di sekitar pameran museum. Selanjutnya, museum juga menyediakan informasi pameran melalui pengeras suara atau perangkat audio lain yang dapat menyuarakan suara binatang, siaran radio bersejarah, musik yang memberikan kontribusi pada konteks pada tampilan koleksi museum. Di samping itu, Slideshows dengan suara, film, dan video klip, televisi. juga dapat digunakan untuk mendukung penerimaan secara efektif dari pengunjung. Keuntungan dari media audiovisual adalah kemampuan untuk membawa informasi dari dunia nyata ke museum, misalnya proses pekerjaan manusia atau perilaku hewan, ilustrasi dari lingkungan benda koleksi tersebut dikumpulkan.

4. Metode Belajar di Ruang Koleksi

Dalam upaya mempromosikan edukasi di museum, harus sejalan dengan penyediaan ruang yang memadai untuk kegiatan ini. Ruang ini bisa menggunakan ruang pameran yang khusus dirancang untuk menggambarkan topik khusus, ruang

(34)

kelas, ruang laboraturium yang dapat digunakan dalam periode waktu yang lama oleh sekolah dan pengunjung secara individual.

Sebagai salah satu contoh edukasi yang membutuhkan ruangan khusus adalah edukasi praktik membuat batik. Proses edukasi ini membutuhkan peralatan, tempat, dan bahan bahan material. Peralatan membatik seperti canting tulis, cap, kompor. Kegiatan ini membutuhkan tempat untuk proses pewarnaan, membatik dengan canting tulis dan cap. Kemudian memerlukan bahan-bahan katun, lilin batik dan obat pewarna. Di samping itu, tempat merebus kain, mencuci dan menjemur memerlukan tempat khusus yang terpisah dengan ruang koleksi.

5. Metode Visual dan Media Komputer

Museum dapat menggunakan komputer untuk menggambarkan konsep dengan jelas melalui grafik, diagram, peta dan foto-foto. Selanjutnya museum dapat menggunakan jaringan terminal komputer dengan perangkat lunak yang dirancang khusus agar pengunjung bisa belajar secara interaktif tentang teknis, artistik atau tentang fakta sejarah. Dengan demikian pengguna dapat bebas untuk memilih informasi yang tersedia dan membantu orang yang jauh dari museum melalui jaringan World Wide Web.

Meskipun informasi dan sistim pembelajaran berbasis komputer dapat menyediakan berbagai informasi, tetapi komputer dapat mengalihkan perhatian pengunjung terhadap benda koleksi itu sendiri.

6. Metode Didaktik atau Eksibisi Edukasi

Metode eksibisi didaktik merupakan suatu pameran pedagogis yaitu berorientasi argumentasi berlawanan dengan pameran tradisional yang berorientasi obyek. Metode ini dapat tercapai dengan upaya memastikan tujuan edukasi dengan menggunakan teori dan konsep, memastikan materi, desain, alat bantu edukasi sesuai dengan argumentasi atau informasi yang akan disampaikan dan memastikan target eksibisi prioritas khusus pada kelompok tertentu dengan menggunakan dengan tipe pembelajaran melalui pameran bidang pendidikan yang aktif. Tipe bahan belajar didaktif secara umum yang biasa digunakan di museum seperti pada gambar 2.2.

(35)

7. Metode Praktik di Laboraturium

Kegiatan belajar di laboraturium dapat dilakukan oleh pekerja seni, ilmuwan atau perajin. Museum menawarkan kepada pengunjung untuk mengetahui teknik membuat dan memelihara benda budaya atau melakukan penelitian ilmiah, seperti kerajinan tradisional tembikar, kayu dan logam, memasak, membuat api, atau tradisi lokal lainnya.

Proses belajar akan lebih cepat dimengerti dengan mencobanya sendiri seperti, teknik menggambar, melukis, mengukir dan fotografi. Metode ini untuk mendorong kreativitas dan kepekaan terhadap pembuatan penginggalan benda budaya.

8. Metode DisplayTactile

Beberapa museum mendorong pengunjung untuk menyentuh benda koleksi budaya tertentu, seperti menyediakan bahan bahan material dari koleksi tersebut yang terbuat dari batu, bulu hewan atau tekstil. Hal ini sangat berharga tidak hanya untuk tuna netra, mahasiswa dan pengunjung tetapi juga berharga bagi anak-anak.

9. Metode Belajar Dengan Permainan

Bagi anak-anak dapat bermain menirukan sesuai dengan dunianya, sehingga permainan dan panduan bermain mendapat tempat penting dalam proses pembelajaran. Permainan berkompetisi, permainan keterampilan, teka-teki, kuis dan sebagainya. Semua bisa diterapkan ke dalam konteks edukasi museum.

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ambrose dan Paine (1993:37)

bahwa saat ini museum memiliki peranan yang penting dalam memberikan layanan edukasi bagi semua penggunanya, baik itu anak-anak atau orang dewasa. 10. Metode Edukasi Demonstrasi

Metode belajar edukasi demontrasi berasal dari para pelaku seni, pengrajin, seniman, teknisi atau restorasi dapat menunjukkan kerajinan dan karya seni mereka di dalam museum. Selanjutnya aktor atau instruktur berbakat dapat memainkan peran sebagai tokoh sejarawan dapat berinteraksi dengan pengunjung.

(36)

11. Metode Berlajar Bermain-Peran dan Teater Museum

Metode belajar bermain peran biasanya improvisasi pengalaman secara langsung dan mendapat bimbingan dari staf edukasi museum mengenai karakter atau cerita yang akan dimainkan, tetapi tidak menggunakan naskah resmi. Tema utama dalam bermain-peran menggambarkan peristiwa bersejarah. Pengunjung dapat memberikan pemahaman secara kontemporer ke dalam konteks sejarah. Dengan demikian bentuk belajar dengan bermain-peran dapat dimasukkan ke dalam panduan wisata. Hal yang penting adanya partisipasi anak-anak dan remaja yang bisa membuat pengunjung ikut bermain.

12. Metode Tableau Vivant

Istilah Vivant Tableau (bahasa Perancis) adalah "gambar hidup." Istilah ini menggambarkan sekelompok aktor berkostum mencolok sesuai model artis. Dalam pertunjukan tersebut orang-orang yang ditampilkan tidak berbicara atau bergerak. Pendekatan dengan meniru bentuk seni dari panggung dengan orang-orang dari suatu lukisan atau fotografi (Wikipedia ensiklopedia).

Metode belajar ini menciptakan lukisan, patung orang atau kelompok orang yang mengenakan replika kostum ilustrasi, sehingga pengunjung akan lebih mudah mengerti dan dapat menginterpreatasikan melalui pengalaman fisik, postur, gerakan dan ekspresi wajah.

13. Metode Pengajaran Menggunakan "Kits”

Pengajaran menggunakan kits merupakan alat bantu untuk belajar.

Perlengkapan pengajaran ini dapat dikumpulkan dalam kotak, koper atau wadah yang lainnya. Alat bantu ini, dapat digunakan dalam museum sebagai bahan pengajaran oleh pengajar. Pengajaran kit ini juga dapat dipinjaman kepada sekolah untuk digunakan di luar museum. Selanjutnya bahan yang ditempatkan dalam kit fokus pada mata pelajaran tertentu yang berasal dari koleksi museum. Program belajar secara umum seperti, informasi tertulis, gambar, rekaman suara, musik, replika, bahan baku, untuk kerja kreatif, game, petunjuk penggunaan dan lembar kerja.

(37)

14. Metode Belajar di Lapangan atau Perjalanan

Metode belajar dilapangan dihubungkan dengan tema koleksi di museum untuk memperluas pandangan pengunjung di luar museum, misalnya mengatur kunjungan ke gua dan tambang yang berhubungan dengan koleksi geologi, kunjungan ke monumen, patung publik dan bangunan bersejarah, situs penggalian sebagai bagian dari program edukasi museum arkeologi. Dengan demikian kegiatan tersebut dapat memberikan kesan yang nyata tentang bagaimana keterkaitan benda benda koleksi dengan kehidupan dan kegiatan di masyarakatnya.

15. Metode Publikasi Museum

Metode belajar dengan menyediakan informasi tentang koleksi melalui media cetak, buku, brosur atau katalog. Edukasi museum dapat menyampaikan kembali pengetahuan dan pengalaman melalui teks dan ilustrasi. Selanjutnya museum perlu mendesain sesuai dengan kebutuhan anak anak dan remaja untuk menjaga pikiran pembaca dan pengguna publikasi, sehingga publikasi tersebut dapat dipahami dan menghibur pembaca.

16. Metode Program Edukasi ke luar Museum (outreach program).

Museum saat ini harus memiliki hubungan dan tanggung jawab yang kuat terhadap masyarakat. Museum mempunyai tugas pelayanan sangat luas dan beragam mulai dari pengguna museum, pendukung sampai kepada masyarakat yang tidak pernah berkunjung ke museum. Hal ini bisa disebabkan oleh akses secara geogrfis yang menyulitkan atau karena permasalahan ekonomi dari masyakat tersebut.

Program edukasi museum ke luar dapat mengatasi masalah ini dengan menggunakan bus atau kendaraan untuk mengangkut benda-benda koleksi dan bahan edukasi museum. Karyawan museum dapat menyampaikan edukasi melalui eksibisi, menyediakan laboraturium dan teater museum.

17. Metode Kerja Lapangan (fieldwork)

(38)

semua koleksi museum berasal dari luar museum, sehinga mencoba untuk menelusuri kembali ketempat asalnya koleksi. Sebagai contoh pelajar melakukan kegiatan eskavasi arkeologi di tempat asal koleksi museum ditemukan.

Gambar 2.2 Tipe Bahan Belajar Didaktik di Museum (Sumber: Brüninghaus dan Knubel, 2004: 129) Tipe Bahan Belajar Didaktik di Museum

Bahan pelajaran dirancang sesuai permintaan dari sekolah-sekolah umum untuk mendukung kurikulum formal. Dengan demikian edukasi museum perlu mempersiapkan alat bantu pengajaran khusus yang dapat digunakan belajar secara pasif dan aktif yang membutuhkan instruktur atau tanpa instruktur dari museum, mulai dari anak anak TK, pelajar sampai pendidikan formal dan informal bagi orang dewasa.

Contoh tipe bahan yang digunakan secara mandiri meliputi: Lembar kerja:

Permainan belajar tercetak pada poster yang besar Kartu dan permainan dadu

Model teater

Hands-on buku dan katalog Kuis

Seni dan bahan kerajinan

Perangkat Audiovisual (CD player, audio perekam, perekam video

dan kamera

Benda dan bahan untuk bisa menyentuh, mencium, merasakan Di samping itu pengajar di museum dapat menggunakan bantuan berikut ini untuk mengajar, membantu, menjelaskan dan

mengembangkan pengetahuan di luar koleksi museum: Diagram

Peta Slide set

Presentasi PowerPoint dan komputer yang sama Teks

Rencana pelajaran

Film

Museum mengajar dan belajar website Reproduksi dan replika

(39)

18. Metode Kegiatan yang Menyenangkan

Museum tidak hanya tempat belajar tetapi juga museum tempat

bersenang-senang. Biasanya gedung museum sangat bagus. Koleksi dan suasana ruang pamer museum dapat membangkitkan imajinasi dan rasa ingin tahu bagi pengunjung. Museum juga bisa mendatangkan artis yang terkenal untuk jumpa fans di museum. Museum dapat mengadakan seminar yang melibatkan kurator dan karyawan mengenai topik museum yang menyenangkan.

Pengajar di museum perlu merancang berbagai program formal dan informal yang bermanfaat dan sekaligus menyenangkan, sehingga setelah pulang sekolah dan kerja pengunjung dapat berpartisipasi di bengkel atau kegiatan museum untuk menambah pengalaman dan meningkatkan kualitas hidup mereka. 2.4 Program Edukasi Museum

Menurut Brüninghaus dan Knubel (2004:123) dalam menentukan program edukasi di museum perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar program edukasi. Program tersebut harus disesuaikan dengan bentuk pertanyaan dan pilihan jawaban yang disediakan dalam kerangka program edukasi. Bentuk pertanyaan mulai dari siapa yang akan menerima edukasi sampai kapan edukasi tersebut dapat dilakukan dengan tepat. Kerangka program edukasi tersebut seperti digambarkan pada bagan 2.1.

1. Untuk siapa (Who for)

Untuk menentukan siapa yang akan menerima edukasi tersebut. Pilihan peserta edukasi berdasarkan golongan usia, lembaga pendidikan, silabus, kesenangan, sasaran dan permintaan .

2. Koleksi yang mana (Which Object / which Themes)

Koleksi yang mana atau tema apa yang akan dipilih untuk program edukasi tersebut. Selanjutnya pertimbangan yang akan dilakukan berapa banyak koleksi yang akan digunakan, siapa pengunjungnya, apa topiknya, apa judulnya dan bagaiman hubungannya.

(40)

Bagan 2.1. Rancangan Program Edukasi Museum

(Sumber : Eileen Hooper-Greenhill dalam Brüninghaus dan Knubel, 2004)

3. Bagaimana (How)

Bagaimana cara pelaksanaan program edukasi tersebut. Pilihannya adalah dengan cara diskusi, ceramah, menggunakan slides, dengan cara permainan, menggambar, bermain drama, berdemonstrasi, menggunakan kertas lembaran kerja, menyentuh, membuat dan mendokumentasikan

(41)

4. Dengan apa atau tanpa (What With / What Without)

Program edukasi tersebut apakah menggunakan atau tanpa menggunakan. Pilhan yang tersedia apakah program edukasi tersebut menggunakan atau tanpa menggunakan orang banyak, waktu, uang, sponsor, bahan bahan material, peralatan dan ruangan

5. Kapan (When)

Kapan program edukasi tersebut dilaksanankan. Pilihannya sebagai bahan pertimbangan adalah berapa lama berlangsung, hari sekolah, tahun ajaran, hari museum dan tahun kunjungan museum

6. Alat Bantu Lain (What Else)

Alat bantu apa lagi yang dapat mendukung program edukasi tersebut. Apakah melalui artikel, vidio, catatan guru atau pameran

Hasil jawaban dari pertanyaan di atas merupakan bahan pertimbangan bagi museum untuk menentukan program edukasinya. Museum akan mendapatkan gambaran tujuan dan sasaran edukasi sebelum program tersebut diterapkan. Museum juga akan mengetahui kelemahan dan keterbatasan. Dengan demikian museum dapat melakukan persiapan bahan material, teknik pelaksanaan dan pengajar lebih awal.

Selain kerangka program edukasi museum secara umum, museum juga dapat menyesuaikan perancangan program edukasi museum khusus untuk sekolah yang memiliki sembilan prinsip prinsip dasar (Brüninghaus dan Knubel, 2004: 124). Prinsip awal museum mempertimbangkan sasaran sekolah. Museum berusaha untuk melakukan pembicaraan dengan pihak sekolah untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Selanjutnya, museum menawarkan program edukasi dengan menggunakan pengalaman nyata belajar di museum. Prinsip-prinsip dasar edukasi untuk rombongan sekolah tersebut dapat digambarkan dalam gambar 2.3.

Museum mendukung siswa untuk mengembangkan ekspresi pengembangan pribadinya. Museum dan sekolah bekerja sama untuk mendukung program edukasi tersebut dengan kesepakatan menentukan jadwal pelaksanaan

(42)

Gambar 2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Program Edukasi untuk Sekolah (Sumber: Brüninghaus dan Knubel, 2004: 124)

Museum memposisikan diri sebagai tempat belajar dari siswa sekolah

tersebut. Sebelum program edukasi dilaksanakan guru akan mengikuti pelatihan di museum. Museum dan guru mempersiapkan bahan bahan material untuk program edukasi. Materi dapat mengunakan informasi tertulis atau pelajaran tersebut sudah dikerjakan terlebih dahulu sebelum datang ke museum. Setelah kunjungan siswa dilaksanakan sesuai dengan program edukasi yang direncanakan maka museum

Prinsip-Prinsip Dasar Program Edukasi di Museum untuk Sekolah

1. Mulai dari pengetahuan dan pengalaman hidup dari pengunjung. 2. Memberikan kesempatan untuk percakapan dan diskusi yang

membantu siswa untuk menangani ide-ide baru dan mengembangkan argumen yang beralasan

3. Menawarkan pengalaman nyata bagi panca indra dan pikiran termasuk: a. Mencari b. Menggambarkan c. Menyentuhan d. Memindahkan e. Menggambar f. Bermain

4. Biarkan siswa atau pengunjung menemukan ekspresi pribadinya terhadap sesuatu yang mereka alami

5. Biarkan kesempatan dan waktu untuk eksplorasi secara individu 6. Rencanakan kunjungan program pendidikan dengan hati hati,

dengan mempertimbangkan jadwal tahun ajaran sekolah setempat. 7. Biarkan kelompok untuk mengatur waktu menyesuaikan dengan

ajaran baru dan ruang belajar di museum

8. Melakukan persiapan program sebelum kunjungan,

seperti pra-kunjungan atau program pelatihan untuk guru sekolah yang bersangkutan, atau informasi tertulis atau materi

pembelajaran yang diberikan di muka serta menindaklanjuti kunjungan

9. Mengevaluasi setiap kunjungan atau program secara terorganisir dan mempertimbangkan kemungkinan perubahan untuk waktu berikutnya.

(43)

dan pihak sekolah melakukan evaluasi terhadap kegiatan tersebut. Pihak sekolah dapat memberikan gagasan mengenai program edukasi berikutnya.

2.5 Teori Edukasi Museum

Menurut Hein (1998:14) Dalam upaya museum mengejar peran sebagai institusi pendidikan yang berhasil dan efisien maka museum perlu memiliki kebijakan untuk mengadopsi teori pendidikan untuk menjelaskan eksibisi museum dan tata pamer, sehingga pengunjung akan menerima pesan-pesan pendidikan secara lebih kuat di museum.

Dalam pengembangan teori pendidikan tersebut terdapat tiga permasalahan pokok yaitu teori pengetahuan (theories of knowledge), teori belajar (theories of learning) dan teori pengajaran (theories of teaching) sebagai penerapan konsep-konsep tentang bagaimana orang belajar dan apa yang dipelajarinya. Teori pertama dan kedua sebagai landasan dasar untuk menentukan apakah museum sebagai lembaga pendidikan dan teori ketiga adalah yang menentukan bagaimana teori digunakan dalam dalam prakteknya (Hein, 1998:16).

Permasalahan pertama, teori pendidikan memerlukan teori pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan dan bagaimana pengetahuan diperoleh? Pengetahuan diperoleh melalui pendidikan. Apakah eksibisi museum menjelaskan benda benda koleksi seperti apa adanya atau apakah museum menyediakan fenomena bagi pengunjung untuk menafsirkan seperti yang mereka inginkan? (Hein,1998:16).

Kedua, pembahasan dalam teori belajar perlu mempertimbangankan pengertian yang jelas tentang bagaimana orang belajar tanpa itu, tidak mungkin untuk mengembangkan kebijakan pendidikan. Apakah belajar terdiri dari proses penambahan informasi sedikit demi sedikit ke dalam pikiran seseorang atau belajar adalah sebuah proses aktif yang mengubah pikiran yang belajar?

Ketiga, teori mengajar (pedagogi) tergantung dengan penerapan kedua teori pengetahun dan belajar tersebut di atas. Kekhawatiran teori mengajar bagaimana seharusnya mengajar. Gaya mengajar dan bahan materi yang akan diajarkan memerlukan metode yang berbeda untuk beberapa epistemologi. Metode juga berbeda tergantung pada psikologi belajar. Apa kegiatan pedagogis yang cocok

(44)

untuk teori pendidikan tertentu? Jika orang-orang belajar dengan cara tertentu, sehingga bagaimana saran saran untuk eksibisi dan program museum?

Teori pengetahuan (epistemologi) memiliki pandangan apakah pengetahuan berada di luar individu, pengetahuan tidak tergantung pada individu, atau apakah itu hanya berada dalam pikiran setiap orang? Jika pengetahuan pengetahuan eksternal, bagaimana seseorang datang untuk tahu? Jika berada dalam pikiran, bagaimana orang dapat berbagi?

Teori-teori epistemologis dapat digolongkan pada sebuah kontinum dengan kedua ujung saling bertolak belakang. Pada sisi sebelah kiri teori mengklaim sebagai dunia "nyata" . Pandangan seperti disebut "realisme." Osborne berpendapat bahwa tidak masuk akal untuk mempertimbangkan pengetahuan ilmiah yang hanya dibangun oleh pikiran masing-masing karena pengetahuan ilmiah harus sesuai dengan perilaku dari "nyata" objek yang ada di dunia. (dikutip Hein, 1998:17). Posisi kedua pandangan tersebut dapat digambarkan pada kontinum berikut.

Bagan 2.2 Kontinum Teori Pengetahuan (Sumber: Hein, 1999:18)

Dalam bagan tersebut tampak bahwa pada sisi kiri merupakan posisi dari realis dan di sisi kanan adalah posisi dari idealis.

Posisi epistemologis yang berlawanan sebagai "Idealisme". Menurut pendapat para pemikir filsafat idealisme pengetahuan hanya ada dalam pikiran orang, sehingga tidak akan ada ide-ide, tidak ada generalisasi, tidak ada "hukum alam", kecuali dalam pikiran orang-orang yang terus memiliki pandangan ini (Hein,1998:17).

Teori pendidikan di museum pada terkait dengan posisi epistemologi ini bertujuan untuk menentukan apa yang akan menjadi koleksi museum dan

Teori Pengetahuan

Pengetahuan berada di dalam pikiran, dibentuk oleh yang belajar

(idealisme) Pengetahuan independen dari yang belajar (realisme)

(45)

bagaimana menyajikannya. Selajutnya museum menentukan . Apakah museum menampilkan dengan menentukan misinya menanamkan kebenaran yang terbebas dari pengalaman masa lalu dan kebudayaan pengunjungnya? Apakah museum berada pada posisi bahwa pengetahuan itu adalah relatif, dipengaruhi oleh kebudayaan yang harus diiterpretasikan, tergantung pada tujuan dan situasi? (Hein, 1998: 19).

Museum berada pada posisi sebelah kiri dari kontinum berarti mengambil posisi yang lebih realis, maka pandangan yang menentukan adalah bahwa pengetahuan yang ada secara independen, terbebas dari orang yang belajar, sehingga fokus dari kebijakan pameran berkaitan dengan informasi yang melekat pada koleksi yang dipamerkan. Dengan demikian koleksi pada museum ini disusun berdasarkan pada subjek ilmu pengetahuan, seperti ilmu kimia, fisika, biologi, dan lain sebagainya. Cara penyajian dalam eksibisi ditata mirip dengan penulisan buku-buku teks ilmu pengetahuan dari pandangan positifis (Hein, 1998: 20).

Sementara itu, teori pengetahuan mengarah pada sisi kanan dari kontinum merupakan pandangan idealis. Dalam pandangan ini pengelola museum pada posisi idealis akan mempertimbangkan ketertarikan pengunjung terhadap pameran atau mengatur sebuah pameran sehingga memungkinkan pengunjung untuk menggambarkan berbagai kesimpulan dari interaksi yang yang dipamerkan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh masing-masing pengunjung terhadap koleksi (Hein, 1998: 20).

Teori belajar memiliki pandangan yang menekankan keyakinan bagaimana orang belajar. Pada sisi sebelah kiri kontinum teori belajar memperlihatkan sebuah asumsi bahwa belajar terdiri dari proses transmisi gagasan ketika proses belajar terjadi secara bertahap, sedikit demi sedikit, nyata dan pengalaman sampai mengahasilkan pengetahuan Proses belajar sedikit demi sedikit, langkah demi langkah, menambah satu persatu hasil transmisi informasi ke dalam pengetahuannya (Hein, 1998: 21).

Sementara itu, pada sisi sebelah kanan di ujung kontinum teori belajar memiliki pandangan berdasarkan pada keyakinan bahwa orang-orang membangun pengetahuan. Prespektif ini menekankan pada partisipasi aktif dari pemikiran

(46)

yang belajar. Dengan demikian proses belajar tidak sederhana seperti menambahkan sesuatu ke dalam pikiran seseorang tetapi merupakan proses transformasi pada seseorang yang berperan aktif dalam belajar dan berkaitan dengan memahami sesuatu yang berada di luar fenomena menjadi sesuatu yang dapat diterima pikiran (Hein, 1998: 22). Kontinum teori belajar diilustrasikan pada digambarkan bagan berikut.

Bagan 2.3 Kontinum Teori Belajar (Sumber: Hein, 1998:25)

Pandangan teori belajar ini mengarah pada posisi menekankan pada metode belajar daripada isi yang diajarkan. Pembahasan teori-teori belajar lebih membutuhkan perhatian diberikan kepada peserta didik. Satu konsekuensi dari teori-teori pembelajaran aktif ini adalah sebuah proses aktif akan ditentukan oleh individu, karakteristik peserta didik dan munculnya berbagai tipologi dari pelajar. Menurut Hein (1998:25) kedua kontinum teori pengetahuan dan teori belajar yang telah dijelaskan di atas dapat dikombinasikan untuk membuat diagram yang menggambarkan keempat kombinasi dari teori-teori pendidikan, seperti pada bagan 2.4.

Berdasarkan bagan kombinasi teori pengetahun dan teori belajar tersebut, setiap kuadran mempunyai pendekatan yang berbeda terhadap edukasi. Pada kuadran kiri atas terdapat teori pembelajaran tradisional dan teks, dengan menggunakan pandangan pembelajaran tradisional ini, para pendidik mempunyai dua tanggung jawab. Pertama guru harus mengerti struktur mata pelajaran, pengetahuan yang akan diajarkan. Struktur tersebut disusun menjadi bahan secara logis dan didiktekan untuk diajarkan. Guru menyusun pelajaran, didasarkan pada struktur subjek kemudian mengajarkannya pada murid (Hein, 1998: 25-26). Selanjutnya, tanggung jawab kedua dari pendidik yang tradisional untuk menghadirkan pengetahuan yang sewajarnya untuk diajarkan, sehingga siswa

Teori Belajar

Belajar adalah proses aktif untuk

merestrukturisasi pikiran Belajar adalah proses peningkatan, penambahan sedikit demi sedikit pikiran reaktif

(47)

dapat mempelajarinya. Oleh karena cara mengajarkan subjek dengan mendiktekan maka pelajaran menjadi lebih mudah. (Hein, 1999:74)

Bagan 2.4 Teori Pendidikan (Sumbar Hein, 1998: 25)

Pada posisi edukasi yang kedua, kelihatan pada sisi kanan atas kuadaran belajar diskoveri. Kuadran menggambarkan pandangan berbeda bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Penekanannya difokuskan pada orang yang belajar bukan pada objek yang dipelajari. Pengaturan posisi ini menyatakan pengetahuan dibangun oleh mereka sendiri. Pembelajar datang untuk merealisasikan konsep dan ide yang mereka bangun sendiri. Sehingga mereka juga dapat memperoleh kesalahpahaman. Pengatur belajar diskoveri ini yakin bahwa dengan upaya belajar harus mempunyai pengalaman. Pelajar itu perlu melakukan dan melihat daripada hanya diberi tahu.(Hein, 1999:75). Ditambahkan oleh Hien, gagasan pokok dari teori ini adalah belajar merupakan proses aktif. Belajar aktif sering diterjemahkan sebagai aktivitas fisik yang berasosiasi dengan belajar (1998: 30)

Pada belajar konstruktif pada posisi sudut kanan bawah menunjukan diagram yang lain. Pandangan kontruktif bahwa kedua pengetahuan dan cara

Gambar

Tabel 1.1 Statistik Pengunjung Museum Batik Pekalongan.................................
Tabel 1.1 Statistik Pengunjung Museum Batik di Pekalongan  (Sumber : Laporan Museum Batik di Pekalongan Tahun, 2009)
Tabel 1.2 Sentra Batik Kota Pekalongan   (Sumber: Deperindagkop Kota Pekalongan, 2008)
Gambar  2.1. Prinsip-Prinsip  Kebijakan Edukasi di Museum  (Sumber: Brüninghaus dan  Knubel, 2004: 122)
+7

Referensi

Dokumen terkait

(7) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e meliputi adegan visual, dialog,

Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pegmatit pembawa berilium dan timah putih, sebagian besar bijih logam langka dan logam mulia dan juga wolfram, stibium dan air raksa

We are located in the Tri City Bank Building on Hwy Q (Corner of Appleton and County Line Road - Lower Level). N96 W18221 County

Pada penelitian Gordon (2010) mengenai pemodelan harga rantai pasokan ikan Canada dipengaruhi musiman dan kurs US/Canada, menyatakan bahwa keunggulan metode ARMAX

[r]

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul : “Mekanisme Audit oleh Satuan Pengawasan Intern Marketing & Trading

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultur epikotil memiliki daya regenerasi yang tinggi( >90%), dan media B5 paling cocok untuk regenerasi berasal dari eksplan epikotil

Episode ini (alinea1-4) menggambarkan tentang Bunga Mendoe (BM) yang berparas cantik sehingga banyak pemuda yang ingin mempersuntingnya, termasuk putra raja dari negeri