• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berbatasan dengan China, Thailand, India, Bangladesh dan Laos, memiliki sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. berbatasan dengan China, Thailand, India, Bangladesh dan Laos, memiliki sejarah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. LATAR BELAKANG

Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan China, Thailand, India, Bangladesh dan Laos,  memiliki sejarah yang kaya dan budaya yang sudah ada ribuan tahun lamanya. Penduduknya yang berjumlah 54-60 juta orang (sensus terakhir pada tahun 1983) sangat beragam-ragam, termasuk ratusan kelompok etnis yang berbeda yang mempraktikkan berbagai macam agama, termasuk agama Buddha, Kristen, Islam, Hindu dan animisme (meskipun Buddhisme dipraktekkan oleh sebagian besar orang-orang - hampir 90%) .1

Bentuk pemerintahan Myanmar adalah junta militer yang dikenal dengan nama The State Peace and Development Council (SPDC). Dahulu Myanmar dikenal dengan nama Burma, namun pada tanggal 18 Juni 1989 nama Burma diubah oleh Junta Militer menjadi Myanmar.2

Salah satu etnis lainnya yang berada di Myanmar adalah Rohingya. Rohingya merupakan kelompok minoritas Muslim yang berada di Negara Bagian Arakan, yang terletak di pantai barat Myanmar. Diperkirakan terdapat 800.000 orang muslim Rohingya di Arakan yang merupakan 25% dari populasi penduduk Myanmar. Masyarakat Rohingya bertempat tinggal terutama di negara bagian Arakan Utara, tepatnya di kota-kota Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung.

                                                                                                               

1 OBA (Oxford Burma Alliance), “The Golden Land”,

2 Utiyafina Mardhati Hazhin, Aspek Kedudukan Hukum Etnis Rohingya Menurut Hukum

(2)

Namun sejumlah besar etnis Rohingya ini tinggal di luar Myanmar, termasuk lebih dari 200.000 orang berada di Bangladesh.3

Myanmar merupakan negara multi agama dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 60 juta orang.4 Lebih dari 135 grup etnis bertempat tinggal di Burma, masing-masing dengan sejarah, kebudayaan, dan bahasanya sendiri. Mayoritas grup etnis Burman (Bamar) mendominasi kira-kira dua per tiga dari populasi dan memegang kendali atas militer dan pemerintahan. Satu per tiga sisanya adalah etnis minoritas nasional, sebagian besar hidup di daerah perbatasan yang kaya akan sumber daya dan bukit-bukit Burma, walaupun banyak yang telah dipindahkan secara paksa dari tempat tinggalnya oleh pemerintah yang menyita tanah untuk proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya.5

Tujuh etnis minoritas terbesar yang diakui oleh undang-undang kewarganegaraan Myanmar adalah Chin, Kachin, Karenni (Kayah), Karen (Kayin), Mon, Rakhine, dan Shan. Etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah sebagai etnis kebangsaan Burma, dan dengan demikian mereka mengalami diskriminasi terburuk dan pelanggaran HAM dari seluruh rakyat Burma.6

Hak kewajiban Negara terhadap orang pada hakikatnya ditentukan oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan. Kewarganegaraan adalah kedudukan hukum orang dalam hubungannya dengan negaranya. Kewarganegaraan itu ditetapkan oleh negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan itu menimbulkan hak dan kewajiban pada dua belah pihak.

                                                                                                                3Ibid.

4Ibid.

5 OBA (Oxford Burma Alliance), “Ethnic Nationalities of Burma”,

http://www.oxfordburmaalliance.org/ethnic-groups.html, diakses 8 Juni 2015.

(3)

Warga negara suatu negara, di mana pun ia berada harus tunduk juga pada kekuasaan dan hukum negaranya. Bagi warga negara yang ada di luar negeri, berlakunya kekuasaan dan hukum negara itu dibatasi oleh kekuasaan dan hukum negara tempat mereka berada di lain pihak, negara wajib melindungi warga negaranya.7

Menurut Amnesty International, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan bergerak orang Rohingya sangat terbatas. Mereka juga mengalami berbagai bentuk pemerasan dan dikenakan pajak secara sewenang-wenang, perampasan tanah, pengusiran paksa dan penghancuran rumah, dan pengenaan biaya adminstrasi yang tinggi pada pernikahan. Mereka terus dipekerjakan sebagai buruh paksa di jalan dan di kamp-kamp militer, meskipun jumlah tenaga kerja paksa di Rakhaing utara telah menurun selama satu dekade terakhir.8

Penindasan terhadap Rohingya diberitakan memang memuncak pada tahun 2012, melalui isu propanda pemerkosaan gadis Rakhine (Buddist) oleh 3 orang Rohingya. Namun demikian, penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya sejatinya sudah terjadi jauh sebelum tahun 2012 dan bahkan jauh sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1948. Sebagaimana penuturan Heri Aryanto, Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center, bahwa sejak

                                                                                                               

7 Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum Internasional (Yogyakarta: Cahaya Atma

Pustaka, 2014), hal 59.

8 Amnesty International, “Myanmar: the Rohingya Minority, Fundamental Rights

denied”, http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/005/2004/en/9e8bb8db-d5d5-11dd- bb24-1fb85fe8fa05/asa160052004en.pdf, diakses 3 Juni 2015.

(4)

penaklukan Kerajaan Islam Arakan oleh Kerajaan Burma, penguasa saat itu (Kerajaan Burma-red) mulai melakukan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas, termasuk di antaranya Rohingya.9

Wilayah Arakan dahulunya merupakan bagian jajahan British India, dan ketika Myanmar merdeka, wilayah ini kemudian diakui sebagai negara bagian Myanmar (Rakhine State). Namun sayangnya, meskipun tanahnya diakui, tetapi Rohingya tidak diakui sebagai bagian etnis bangsa Myanmar. Penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya berlanjut di era pemerintahan Juncta Militer (1962-2010). Tidak hanya operasi-operasi militer yang dilakukan untuk mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan, tetapi juga melalui perangkat hukum UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang dibentuk untuk tujuan menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya di Myanmar. UU Kewarganegaraan Myanmar menetapkan 3 kategori warga negara, dan dari 3 kategori tersebut, tidak satupun kategori yang bisa diterapkan terhadap Rohingya.10

Manusia adalah subjek hukum sempurna sehingga lingkungan hidup merupakan subjek hukum semu/kuasi subjek hukum, karena kehidupan dan masa depan manusia tidak dapat lepas dengan kualitas lingkungannya. Dengan demikian, lingkungan dari perspektif hak asasi pada hakikatnya mempunyai hak hukum, yaitu hak hidup, tetapi tidak mempunyai kewajiban hukum/tanggung

                                                                                                               

9 Piyungan Online, “Akar Masalah Rohingya Ada di Myanmar”,

http://www.pkspiyungan.org/2015/05/akar-masalah-rohingya-ada-di-myanmar.html, diakses 3 Juni 2015.

(5)

jawab hukum. Kewajiban dan tanggung jawab ada di pundak manusia sebagai subjek hukum sempurna. Dengan demikian, lingkungan hidup mempunyai Hak Asasi Lingkungan Hidup (HAL) atau Eco Rights, seperti Animal Rights.11

HAM merupakan masalah dunia internasional, bukan hanya masalah internal dari suatu negara, karenanya pengetahuan hukum internasional, politik internasional, dan hubungan internasional menjadi penting untuk diketahui. Hukum internasional sebagai satu bagian dari hukum pada umumnya, di dalam “dirinya” mengalir ide, pemikiran, cita-cita yang sama dengan hukum pada umumnya.12 Konvensi 1954 terkait dengan orang-orang tanpa kewarganegaraan, merumuskan istilah “orang-orang tanpa kewarganegaraan sebagai orang yang tidak dianggap sebagai warga negara dari suatu negara menurut hukum yang berlaku di wilayah tersebut”. Lebih jauh, hal ini menentukan standar-standar bagi perlakuan yang akan diberikan pada orang-orang tanpa kewarganegaraan.13

Setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya. Negara harus memberikan perlindungan untuk mencegah status tanpa kewarganegaraan dengan memberikan kewarganegaraannya kepada orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan yang lahir di wilayah negara tersebut atau kepada yang dilahirkan oleh warga negara tersebut di luar negeri. Negara juga harus mencegah

                                                                                                               

11 Prof. A. Masyhur Effendi, S.H.,M.S dan Taufani S. Evandri, S.H., M.H., HAM Dalam

Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2014), hal 58.

12Ibid, hal 134. 13Ibid, hal 115.

(6)

status tanpa kewarganegaraan atas hilang atau dirampasnya kewarganegaraan.14

“Stateless person” adalah seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara manapun. Oleh karena itu mereka tidak mempunyai kewarganegaraan atau kebangsaan dan tidak terlindungi dengan hukum nasional, membuat mereka menjadi rentan dengan cara yang kebanyakan dari kita tidak pernah harus pertimbangkan.15

Ketidakmampuan untuk membuktikan kewarganegaraan sendiri dapat menjadi penghalang utama dalam mendapatkan hak asasi manusia, bahkan yang paling mendasar. Sebagai contoh, di banyak negara bekas Yugoslavia, setiap penduduk pada usia tertentu diwajibkan untuk mempunyai kartu identitas sah yang dikeluarkan oleh negara yang diperlukan untuk mengakses sejumlah layanan sosial. Permohonan kartu tersebut memerlukan dokumen-dokumen yang mustahil dimiliki oleh orang tanpa kewarganegaraan atau legally invisible person, seperti akta kelahiran dan bukti kependudukan. Tanpa kartu ini atau bentuk identifikasi yang lain, hidup normal akan susah didapatkan.

Di Macedonia misalnya, etnis Roma yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau akta kelahiran yang dapat dibuktikan akan ditolak aksesnya terhadap edukasi, layanan kesehatan, perumahan, lapangan kerja formal, jaminan sosial jasa keuangan, keadilan, hak milik, pernikahan yang sah, dan partisipasi dalam proses demokrasi. Dan tentu saja, tanpa paspor, kebebasan bergerak

                                                                                                               

14 UNHCR, “Right to a Nationality”,

http://www.ohchr.org/EN/Issues/RuleOfLaw/Pages/RightNationality.aspx, diakses 4 Juni 2015.

15 Refugee Studies Centre, Oxford Department of International Development, University

(7)

seseorang akan menjadi terbatas.16

Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) didirikan pada 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan internasional dalam melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak–hak dan keamanan pengungsi.

UNHCR bekerja untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari suaka dan mendapatkan suaka yang aman di negara lain, dengan pilihan selanjutnya untuk kembali ke negara asalnya secara sukarela, diintegrasi secara lokal atau ditempatkan di negara ketiga. UNHCR juga dimandatkan oleh Majelis Umum PBB untuk membantu dan mencari solusi bagi orang – orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan.

Sejak tahun 1950, UNHCR telah memberikan pertolongan kepada puluhan juta orang untuk memulai kembali hidup mereka. Sampai saat ini, lebih dari 9,300 staff dari 123 negara terus memberikan bantuannya dan melindungi jutaan pengungsi dan orang-orang tanpa kewarganegaraan.17

Di Asia, pergerakan migrasi tercampur (mixed migratory movements)

                                                                                                               

16 Christina Lee, “Consequences of Statelessness/Legal Invisibility”,

http://noncitizensoftheworld.blogspot.com/2011/06/consequences-of-statelessness-legal.html, diakses 4 Juni 2015.

17 UNHCR, “Office of the United Nations High Commissioner for Refugees”,

(8)

terus menerus menandai kawasan tersebut, dengan adanya perpindahan sekelompok orang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sementara perpindahan lain dilakukan untuk melarikan diri dari penganiayaan dan konflik. Dalam konteks kompleks migrasi tercampur di Asia Tenggara, terdapat peningkatan jumlah pencari suaka sebagai akibat dari perkembangan di kawasan tersebut, yang menyebabkan pengungsian eksternal, misalnya karena konflik di Sri Lanka dan situasi hak asasi manusia di Myanmar.18

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas penulis mengangkut beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah eksistensi etnis Rohingya di Myanmar?

2. Bagaimanakah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada Etnis Rohingya di Myanmar?

3. Bagaimanakah status kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar (berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954)?

                                                                                                               

18 UNHCR, “UNHCR di Asia dan Pasifik”, http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr,

(9)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui bagaimanakah eksistensi Etnis Rohingya di Myanmar,

b) Untuk mengetahui bagaimanakah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada Etnis Rohingya di Myanmar,

c) Untuk mengetahui status kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar (berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954).

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan Hukum Internasional khususnya terkait mengenai tinjauan Hukum Internasional terhadap status kewarganegaraan etnis minoritas di suatu negara.

b. Secara Praktis

(10)

diskriminatif mengenai status kewarganegaraan etnis minoritas di suatu negara kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi sesama rekan-rekan mahasiswa.

D. KEASLIAN PENULISAN

Adapun judul tulisan ini adalah Tinjauan Yuridis Mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan (Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954), dimana judul skripsi ini belum pernah ada yang menulisnya, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan perlakuan diskriminatif terhadap status kewarganegaraan etnis minoritas disuatu negara. Oleh karena itu penulisan ini adalah asli karya penulis.19

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Hak asasi manusia dalam Hukum Internasional

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, factor-faktor seperti ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegaskan eksistensi

                                                                                                               

(11)

HAM pada diri manusia.20

Beberapa prinsip telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar prinsip kesetaraan. Prinsip ini menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan martabatnya. Manusia memiliki kesetaraan di dalam HAM. Berbagai perbedaan yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia menjadi tidak setara, karena walaupun begitu tetaplah ia sebagai manusia.21

Perkembangan HAM dalam Hukum Internasional hingga seperti sekarang ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan individu dalam Hukum Internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu diakuinya individu sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tertentu menurut hukum internasional.22

Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secaara universal dan otoratif. Banyak yang mendifinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis

                                                                                                               

20 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta: Rajawali Pers,

2015), hal 2.

21Ibid, hal 11. 22Ibid, hal 14.

(12)

pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang bersifat melekat dari manusia.

Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa esensi HAM merupakan suatu hal yang bersifat universal, mengingat sifatnya yang melekat (inherent). Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, karena HAM merupakan karunia dari Tuhan dan bukan merupakan pemberiand ari orang atau penguasa, maka orang atau penguasa tersebut tidak berhak untuk merampas atau mencabut HAM seseorang. Sedangkan mengenai aktualisasi HAM-nya adalah bersifat partikular, artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang bersifat lokal.23

Pemahaman tentang HAM juga harus dilakukan dalam konteks manusia sebagai mahluk sosial, dimana dalam kehidupannya, manusia yang satu selalu berhubungan dengan manusia yang lain. Manusia, baru memahami fungsi dan potensinya sebagai mausia apabila telah berhubungan dengan manusia yang lain, sehingga manusia selalu hidup berkelompok. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights, bahwa manusia hendaknya bergaul dalam suasana persaudaraan, memberi makna bahwa manusia yang satu harus menghormati dan menghargai manusia yang lain. HAM tidaklah bersifat absolut, artinya kebebasan dan HAM yang satu akan dibatasi oleh kebebasan dan HAM yang lain.24

                                                                                                                23Ibid, hal 21.

24 Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM,

(13)

Di dalam memberikan HAM, negara juga harus memperhatikan karakter dasar HAM dan status manusia sebagai dua prasyarat untuk mendapatkan HAM. Dua prasyarat utama tersebut saling terkait dan tidak bisa dipisahkan di dalam kerangka penegakan HAM. Artinya, ketika status manusia sebagai mahluk yang bermartabat dihargai dan dihormati, maka seseorang telah memiliki HAM. Begitu juga sebaliknya jika manusia telah memiliki HAM, maka martabatnya telah dihormati dan dihargai. Dalam arti lain, tidak menghargai martabat manusia sama halnya telah melanggar HAM orang tersebut.25

2. Etnis dan Ras Minoritas di Suatu Negara

Asal mula istilah ras diketahui sekitar tahun 1600 saat itu, pertama kali dikemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan ciri fisiknya, manusia di dunia dapat di bagi ke dalam empat ras besar. Ras-ras tersebut adalah hitam, putih, kuning dan merah. Seorang tokoh yang memperkenalkan konsep tentang ras adalah Charles Darwin. Ras sebagai sesuatu hal yang mengacu pada ciri-ciri biologis dan fisik. Salah satunya yang paling jelas adalah warna kulit, yang pada akhirnya, perbedaan berdasarkan warna kulit tersebut memicu lahirnya gerakan-gerakan yang mengunggulkan rasanya sendiri-sendiri, sehingga timbullah superioritas ras.

Ras dan etnis adalah dua hal yang berbeda. Kelompok etnis biasanya mengacu kepada kelompok-kelompok yang membangun ras, suatu ras masih bisa terdiri dari berbagai macam kelompok etnis. Akan tetapi, sebaliknya, ras

                                                                                                                25Ibid, hal 59.

(14)

sama agama (kepercayaan), asal usul, dan kebangsaan juga membangun konsep etnis. Ras juga menunjuk kepada konsentrasi perbedaan atas unsur genetis, yang tercermin dalam bentuk penampakan fisik orang, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, dan tidak ada hubungannya dengan institusi dan pola budaya.26

Etnis adalah sebuah kata yang bersumber dari pakar sosiologi dan antropologi. Di beberapa negara, etnis digunakan untuk menyebut “suku”. Namun dalam situasi yang lain, etnis digunakan untuk menunjuk kepada agama, bahasa, warna kulit, asal-usul daerah, ataupun tempat tinggal. Kata etnis (ethnic) berasal dari bahasa yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Menurut Martin Bulmer, “etnis atau kelompok etnis adalah kolektivitas dalam populasi yang besar, memiliki jalur keturunan yang secara umum sama, terlepas dari apakah itu nyata atau sekedar kepercayaan, mempunyai memori terhadap masa lalu yang sama, dan fokus kultural terhadap satu atau lebih elemen-elemen simbolik yang menjelaskan identitas kelompoknya, misalnya agama, kekeluargaan, bahasa, teritori bersama, nasionalitas dan tampilan fisik yang relatif sama.

Kini diperkirakan ada 300 juta orang di muka bumi yang merasa sebagai penduduk asli dengan identitas etnis tertentu. Lalu dari 300 juta orang yang merasa sebagai penduduk asli itu, sebagian besar merasakan tidak hanya terjadi pergeseran makna, tetapi terjadi pula pergeseran status dan peran mereka dalam masyarakat. Bahkan di sebagian besar negara, penduduk asli yang tadinya mayoritas kini berubah menjadi kelompok minoritas etnis. Sekurang-kurangnya

                                                                                                                26Ibid, hal 61.

(15)

ada tiga gelombang modernisasi yang mempengaruhi komunitas dan identitas etnis, yaitu27:

(a) Modernisasi yang dialami oleh etnis-etnis penduduk asli antara abad ke-19 dan ke-20.

(b) Transformasi itu makin terasa saat negara-negara modern menerapkan batas-batas wilayah pemerintahan sehingga mengganggu identitas kolektif.

(c) Migrasi dari bangsa-bangsa Barat ke Timur maupun gelombang migrasi bangsa Timur ke Barat di paruh abad ke-20 hingga ke-21.

3. Diskriminasi dan Rasisme Terhadap Etnis Minoritas

Istilah rasisme menjadi suatu gambaran buruk dalam konteks relaksi dan interaksi sosial, karena mengandung makna paham adanya ras-ras superior atas ras yang lain, misalnya paham yang dikembangkan Adolf Hitler dalam ideologi fasisme Jerman. Rasis dimaknai sebagai penolakan terhadap suatu golongan masyarakat yang berasal dari ras yang lain. Rasis dapat timbul ketika masyarakat golongan mayoritas menemukan adanya golongan minoritas dalam masyarakat yang berbeda secara biologis dan kondisi masyarakat golongan minoritas tersebut tidak memiliki kekuatan, maka golongan mayoritas akan kehilangan nafsu-nafsu rasialnya.

Rasisme secara umum dapat diartikan sebagai serangan sikap, kecenderungan, pernyataan, dan tindakan yang mengunggulkan atau memusuhi

                                                                                                                27Ibid, hal 64-65.

(16)

kelompok masyarakat terutama karena identitas ras. Rasisme juga dipandang sebagi sebuah kebodohan karena tidak mendasarkan (diri) pada satu ilmu apapun, serta berlawanan dengan norma-norma etis, perikemanusiaan, dan hak-hak asasi manusia. Akibatnya, orang dari suku bangsa lain sering didiskriminasikan, dihina, dihisap, ditindas dan dibunuh. Aspek kedua dari rasisme adalah prasangka ras. Prasangka atau prejudice merupakan akar dari segala bentuk rasisme. Prasangka adalah pandangan yang buruk terhadap individu atau kelompok manusia lain dengan hanya merujuk kepada ciri-ciri tertentu seperti ras, agama, pekerjaan, dan kelas.28

Dalam bukunya yang berjudul Prasangka dan Konflik, Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S mendefinisikan rasisme sebagai berikut:

(1) Suatu ideologi yang mendasarkan diri pada gagasan bahwa manusia dapat dipisahkan atas kelompok ras; bahwa kelompok itu dapat disusun berdasarkan derajat atau hierarki berdasarkan kepandaian atau kecakapan, kemampuan, dan bahkan moralitas.

(2) Suatu keyakinan yang terorganisasi mengenai sifat inferioritas (perasaan rendah diri) dari suatu kelompok sosial, dan kemudian karena dikombinasikan dengan kekuasaan, keyakinan ini diterjemahkan dalam praktik hidup untuk menunjukkan kualitas atas perlakuan yang berbeda.

(3) Diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang karena ras mereka. Kadang-kadang konsep ini menjadi doktrin politis untuk

                                                                                                                28Ibid, hal 70.

(17)

mengklaim suatu ras lebih hebat dari pada ras lain.

(4) Suatu kompleks keyakinan bahwa beberapa subspecies dari manusia (stocks) inferior (lebih rendah) dari pada subspecies manusia lain.

(5) Rasisme juga menjadi ideologi yang bersifat etnosentris pada sekelompok ras tertentu. Apalagi ideologi ini didukung oleh manipulasi teori sampai mitos, stereotip, dan jarak sosial, serta diskriminasi yang sengaja diciptakan.

(6) Rasisme merupakan salah satu bentuk khusus dari prasangka yang memfokuskan diri pada variasi fisik di antara manusia. Kadang-kadang paham ini juga menyumbang pada karateristik superioritasa dan inferioritas dari sekelompok penduduk berdasarkan alasan fisik maupun faktor bawaan lain dari kelahiran mereka.

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa hal-hal yang termasuk dalam rasisme adalah sikap yang mendasarkan diri pada karateristik superioritas dan inferioritas, ideologi yang didasarkan pada derajat manusia, sikap diskriminasi, dan sikap yang mengklaim suatu ras lebih unggul daripada ras lain. Hal ini seringkali terjadi dalam masyarakat multikultur.29

Rasisme juga tidak terlepas dari dua aspek yaitu diskriminasi ras dan prasangka ras (prejudice). Istilah diskriminasi ras mencakup segala bentuk perilaku pembedaan berdasarkan ras. Bentuk diskriminasi ras tampak jelas dalam

                                                                                                                29Ibid, hal 71.

(18)

pemisahan (segregasi) tempat tinggal warga ras tertentu di kote-kota besar di dunia Barat maupun Timur. Juga tata pergaulan antar ras yang memperlakukan etiket (tata sopan santun) berdasarkan superioritas/inferioritas golongan. Termasuk di dalamnya pemilihan teman maupun perjodohan.30

F. METODE PENELITIAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penulisan kepustakaan) sebagai bahan utama yaitu melakukan berbagai penelitian dari berbagai sumber berita seperti surat kabar, internet, dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.31

1. Metode Penelitian

Dengan metode penelitian normatif tersebut, penelitian ini akan menganalisis hukum baik yang tertulis dalam literatur - literatur, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yaitu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, serta sumber data sekunder lainnya.

                                                                                                                30Ibid, hal 73.

31 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

(19)

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:32

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu:

Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti 1966 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States International Centre For Settlement of Investment Disputesserta berbagai putusan arbitrase internasional dan perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative records) yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan yang digunakan antara lain, semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang Most-Favored Nation, buku, jurnal ilmiah dan laporan-laporan organisasi internasional.

                                                                                                               

32Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(20)

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang

berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : EKSISTENSI ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR, dalam bab

ini berisi tentang sejarah kedatangan Etnis Rohingya di Myanmar dan bagaimana pengaturan mengenai status kewarganegaraan dalam instrument Hukum internasional serta bagaimana keberadaan Etnis Rohingya di Myanmar.

BAB III : PELANGGARAN HAM (HAK ASASI MANUSIA) YANG

(21)

bab ini membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap Etnis Rohingya yang dilakukan oleh rakyat Myanmar serta bagaimana bentuk perlindungan Hukum Internasional terhadap Etnis Rohingya di Myanmar dan bagaimana upaya penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pada Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Hukum Internasional.

BAB IV : STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS ROHINGYA DI

MYANMAR (BERDASARKAN CONVENTION RELATING TO THE STATUS OF STATELESS PERSONS 1954), dalam bab ini membahas tentang perlindungant terhadap status kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Hukum Internasional dan Prosedur penentuan status pengungsi Etnis Rohingya di Myanmar oleh UNHCR, dan bagaimana status kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bab penutup dari

seluruh rangkaian-rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang juga dilengkapi dengan saran-saran.

     

Referensi

Dokumen terkait

Objek sasaran dari Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) ini adalah masyarakat desa Cindaga khususnya siswa SD N 3 Cindaga. SD N 3 Cindaga merupakan

Untuk kajian yang dilakukan di Indonesia, rata-rata tingkat efisiensi teknis petani kentang dalam penelitian ini lebih kecil daripada yang ditemukan oleh Tanjung (2003) untuk

Tahap empat merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, sehingga ketika bangun dari tidur yang

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas berkaitan dengan peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan

dalam memberikan penyuluhan kepada ibu hamil dan keluarganya mengenai perawatan masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, aktivitas fisik selama kehamilan,

KJKS BINAMA (Koperasi Jasa Keuangan Syariah BINA NIAGA UTAMA) adalah lembaga keuangan berbadan hukum koperasi yang bergerak dibidang jasa keuangan syariah, yaitu

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

Anu't anuman, kononsidera ni Onofre na ipasok sa ospital si Angela, lalu na nang kakitaan niya ito ng malalang pakikipagtalo sa sarili sa kanyang pag-iisa, ng pagpupumilit sa buwan