• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KADAR CD4 + DENGAN INFEKSI JAMUR SUPERFISIALIS PADA PASIEN HIV DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KADAR CD4 + DENGAN INFEKSI JAMUR SUPERFISIALIS PADA PASIEN HIV DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR CD4

+

DENGAN INFEKSI

JAMUR SUPERFISIALIS PADA PASIEN HIV

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Lukmanul Hakim Nasution, Sri Yusfinah Masfah Hanum, Sudarsono,

Meidina Kusuma Wardani

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik - Medan

ABSTRAK

Limfosit T CD4+ merupakan target utama HIV karena afinitas virus tersebut terhadap petanda

molekul CD4+. Limfosit T CD4+ berperan pada beberapa fungsi imunologik penting dan hilangnya fungsi

limfosit tersebut menyebabkan penurunan respons imun secara progresif. Sistem imun pejamu merupakan faktor penting bagi terjadinya infeksi jamur, termasuk infeksi jamur superfisialis.

Mengetahui hubungan kadar CD4+ dengan infeksi jamur superfisialis pada pasien HIV/AIDS di RSUP

H. Adam Malik Medan.

Terhadap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis, selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar CD4+ dan pemeriksaan KOH atau pewarnaan gram

serta kultur jamur dari lesi kulit. Untuk melihat proporsi dan karakteristik pasien disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis.Untuk melihat hubungan kadar limfosit T CD4+ dengan infeksi jamur superfisialis

digunakan uji Chi-Square dengan kemaknaan p < 0,05.

Proporsi infeksi jamur superfisialis sebesar 50,7%. Secara klinis, kandidiasis oral 41,1%, dan dermatofitosis 16,4% dengan rincian tinea korporis 4,1%, dan tinea kruris, tinea fasialis, onikomikosis masing-masing 2,7%; sedangkan tinea pedis, tinea manus, tinea kapitis masing-masing 1,4%.Penyebab terbanyak adalah spesies Candida terutama Candida albicans. Analisis statistik hubungan antara kadar limfosit T CD4+ dengan infeksi jamur superfisialis menunjukkan hasil p < 0,05.

Ada hubungan antara kadar CD4+ dengan kejadian infeksi jamur superfisialis pada pasien HIV/AIDS.

(MDVI 2011: 38/1; 6-10)

Kata kunci : Infeksi jamur superfisialis, pasien HIV, kadar limfosit T CD4 +.

ABSTRACT

CD4+ T-lymphocytes are the prime target for HIV infection because the virus affinity against the marker

molecule of CD4+. CD4+ T-lymphocytes play a role in several important immunologic functions and loss of

function causes a progressive decline in immune responsse. Host immune system is an important factor for the occurrence of fungal infections including superficial fungal infections.

To determine the correlation between CD4+ level and superficial fungal infections in people with

HIV/AIDS in H. Adam Malik General Hospital Medan.

To the patients who meet the criteria of the study, anamnesis and dermatological examination, further examination of CD4+ levels and KOH examination and culture or Gram staining of preparations from patients

with skin lesions were conducted. To see the proportions and characteristics of the patients, data is presented in tabular form and then analized. To see the correlation between CD4+ levels and superficial fungal

infections, Chi-Square test was used with significance at p < 0.05.

The proportion of superficial fungal infection are 50.7%. Clinically, oral candidiasis 41.1%, and dermatophytosis 16,4% with the details tinea corporis 4.1%, and tinea cruris, tinea faciei, onychomycosis 2.7% respectively, whereas tinea pedis, tinea manuum, and tinea capitis 1.4% respectively. The most common cause is a species of Candida, especially Candida albicans. Statistical analysis of the correlation between CD4+ levels with superficial fungal infection showed p < 0.05.

There is a correlation between CD4+ levels with the incidence of superficial fungal infections in people

with HIV / AIDS. (MDVI 2011: 38/1; 6-10)

Keyword : superficial fungal infection, HIV patient, CD4+ level

Korespondensi :

Jl. Bunga Lau No.17 Medan Telp/Fax.: 061-8365915

(2)

PENDAHULUAN

Infeksi HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia dewasa ini dan terdapat di hampir semua negara di dunia tanpa kecuali Indonesia.1 Pasien AIDS

dapat mengalami infeksi oportunistik.2 Infeksi oportunistik

adalah infeksi akibat terdapatnya peluang pada kondisi tertentu yang memungkinkan, yang dapt disebabkan oleh organisme non patogen.3

Akhir-akhir ini frekuensi penyakit jamur atau mikosis pada pasien imunokompromais meningkat tajam. Mikosis superfisialis yang ditemukannya pada pasien HIV/AIDS di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UI-RSCM umumnya adalah kandidiasis oral (52,9%) dan kuku (0,6%). Penyakit lainnya adalah tinea kruris atau korporis (3,8%) dan kuku (1,3%) serta malasseziosis yang disebabkan pitiriasis versikolor (4,5%).4

Menurut Bramono studi terbaru terhadap 169 pasien yang terinfeksi HIV, menunjukkan 157 kejadian penyakit karena jamur. Kandidiasis adalah infeksi yang paling sering ditemui, mengenai 83 pasien (54,7%) diikuti dengan malasseziosis 40,1% dan dermatofitosis 5%.5

Hampir semua jamur yang menginfeksi manusia dapat menginduksi produksi interleukin (IL)-12 melalui sel fagosit dan sel dendritik. IL-12 dan IL-18 dapat meng-induksi sel T dan sel natural killer (NK) untuk mem-produksi interferon (IFN)-. IFN- dapat merangsang migrasi, proses fagositosis dan oxidative killing sel netrofil

dan makrofag, serta dapat mempertahankan reaktivitas sel Th1 melalui kemampuan IFN- untuk mempertahankan

respons IL-12 pada sel limfosit CD4+. Kegagalan

pengiriman sinyal IFN- untuk aktivasi sel fagosit efektor merupakan predisposisi terjadinya infeksi jamur.6

HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama limfosit T CD4+ yang berperan penting dalam mengatur

dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T CD4+, virus juga dapat menginfeksi sel monosit

dan makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendritik folikular pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T CD4+ selanjutnya

meng-adakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.7

Pasien HIV mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri maupun nosokomial dibanding dengan individu yang tidak imunokompromais. Pada pasien HIV, terjadi penurunan jumlah sel T CD4+ disebabkan oleh kematian sel tersebut

akibat HIV.8 Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit

CD4+ sebagai petanda munculnya infeksi oportunistik

pada pasien HIV/AIDS. Infeksi oportunistik umumnya terjadi bila jumlah limfosit CD4+ < 200/ml.3

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar limfosit T CD4+ dengan infeksi jamur superfisialis

pada pasien HIV/AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan.

Gambar 1. Peranan system imun terhadap jamur6

(3)

METODE

Disain penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian dilakukan di Poliklinik Pusyansus AIDS RSUP H. Adam Malik.

Sampel penelitian adalah semua pasien HIV yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang berkunjung ke Pusyansus AIDS RSUP HAM yang diamati selama periode Desember 2008 sampai Maret 2009. Kriteria inklusi adalah semua pasien HIV dan bersedia ikut dalam penelitian dengan mengisi formulir informed consent. Kriteria eksklusi adalah pasien yang menggunakan obat antiretroviral (ARV).

Variabel bebas penelitian adalah pasien HIV, variabel terikat adalah dermatomikosis superfisialis, dan variabel kendali adalah pemeriksaan KOH, kultur jamur dan pemeriksaan jumlah limfosit CD4+.

Alur penelitian dimulai dengan pemilihan sampel, pencatatan data dasar, anamnesis, pemeriksaan derma-tologis, pengambilan dan pemeriksaan spesimen dengan KOH 10-30% atau pewarnaan gram apabila sediaan diperoleh dari swab mukosa oral dan kemudian dilakukan kultur pada media agar Sabouraud jika bahan pemerik-saan dari swab, sedangkan apabila bahan diperoleh dari kerokan kulit digunakan media agar Sabouraud dan media

Potato Dekstrose agar. Pemeriksaan ELISA hanya sebagai screening untuk menegakkan diagnosis HIV. Pemeriksaan kadar limfosit CD4+ dilakukan dengan teknik flow

cytometric cell sorting

HASIL PENELITIAN

Dari 766 pasien HIV yang berkunjung ke Poliklinik Pusyansus AIDS RSUP H. Adam Malik Medan selama periode Desember 2008 sampai Maret 2009, sebanyak 73 pasien memenuhi kriteria penelitian.

Tabel 1. Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin (n = 73) Jenis kelamin Jumlah

pasien

Persentase 1 Laki-laki 49 67,1 % 2 Perempuan 24 32,9 %

Jumlah 73 100,0 %

Keterangan: n = jumlah subyek

Sebagian besar subyek penelitian berjenis kelamin laki-laki (67,1%) dengan rasio 2,04:1.

Tabel 2. Sebaran kadar limfosit CD4+ subyek penelitian (n=73)

Kadar limfosit

CD4+ Jumlah pasien Persentase

< 51 33 45,2%

51-200 16 21,9% >200 24 32,9%

Jumlah 73 100,0%

Keterangan : CD4+ = cluster of differentiation 4; n = jumlah subyek

Sebagian besar pasien (45,2%) memiliki kadar limfosit CD4+ kurang dari 51 sel/µL dan kadar limfosit

CD4+ di bawah 200 sel/µL didapatkan pada 67,1% pasien.

Tabel 3. Proporsi kasus infeksi jamur superfisialis berdasarkan bentuk klinis (n=37)

Infeksi jamur superfisialis Jumlah Persentase Kandidiasis oral Tinea korporis Tinea kruris Tinea fasialis Onikomikosis Tinea pedis Tinea manus Tinea kapitis 30 3 2 2 2 1 1 1 41,1% 4,1% 2,7% 2,7% 2,7% 1,4% 1,4% 1,4% Keterangan: n=jumlah subyek

Secara klinis infeksi jamur superfisialis yang tersering adalah kandidiasis oral.

Tabel 4. Proporsi infeksi jamur superfisialis

Proporsi Jumlah Persentase Infeksi jamur superfisialis

- Positif 3 jenis (TK+TKr+TF, TP+TM+O)

- Positif 2 jenis (TK + TF) - Positif 1 jenis (KO,TK,O,TKr) - Negatif 2 1 34 36 2,7% 1,4% 46,6% 49,3% Jumlah 73 100,0% Keterangan : n=jumlah subyek; TK=tinea korporis; TKr=tinea kruris; KO = kandidiasis oral; TF = tinea fasialis; O = onikomikosis; TP = tinea pedis; TM = tinea manus

Proporsi infeksi jamur superfisialis sebesar 50,7%, dengan rincian 2,7% subyek di antaranya mengalami 3 jenis penyakit, 1,4% mengalami 2 jenis penyakit dan 46,6% menderita 1 jenis infeksi jamur superfisialis.

Tabel 5. Distribusi jenis infeksi jamur superfisialis berdasarkan kadar limfosit CD4 + (n=37) CD4+ (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Total < 51 24 2 1 1 1 0 1 30 51-200 6 0 0 0 0 1 0 7 >200 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 30 2 1 1 1 1 1 37 Keterangan: n = jumlah subyek; (1) = kandidiasis oral; (2) = tinea korporis; (3) = tinea pedis + tinea manus + onikomikosis; (4) = tinea kapitis + tinea fasialis; (5) = onikomikosis; (6) = tinea kruris; (7) = tinea korporis + tinea kruris + tinea fasialis

Semua subyek pasien yang mengalami infeksi jamur superfisialis (satu jenis, dua jenis, dan tiga jenis) memiliki kadar limfosit CD4+ < 200 sel/µL

(4)

Tabel 6. Penyebab infeksi jamur superfisialis

No Spesies Jumlah pasien Persentase 1 Candida albicans 22 59,5% 2 Candida tropicalis 7 18,9% 3 Trichophyton rubrum 5 13,5% 4 Candida parapsilosis 1 2,7% 5 Trichophyton mentagrophytes 1 2,7% 6 Trichophyton schoenleinii 1 2,7% Jumlah 37 100,0% Keterangan: n = jumlah subyek

Spesies penyebab infeksi jamur superfisialis terbanyak adalah Candida (59,5%).

Tabel 7. Hubungan kadar limfosit CD4 + dengan infeksi jamur

superfisialis (n=73)

Kadar CD4 Infeksi jamur superfisialis Total Positif Negatif <51 30 (41,1%) 3 (4,1%) 33 (45,2%) 51 – 200 7 (9,6%) 9 (12,3%) 16 (21,9%) >200 0 (0%) 24 (32,9%) 24 (32,9%) Total 37 (50,7%) 36 (49,3%) 73 (100,0%) X2 = 46,336 df = 2 p = 0,0001

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square, didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar limfosit CD4+ dengan kejadian infeksi jamur superfisialis

(p < 0,05).

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, pasien baru yang terdiagnosis sebagai kasus infeksi HIV dan belum mendapat ARV ada-lah sebanyak 73 pasien dengan rasio laki-laki dibanding-kan perempuan sebesar 2,04:1. Menurut laporan Ditjen PP&PL Depkes RI tahun 2005, dari 9565 kasus HIV/ AIDS di seluruh Indonesia, rasio pasien HIV/AIDS laki-laki dan perempuan adalah 4,5:1.9 Menurut data Pusyansus

AIDS RSUP HAM dari jumlah seluruh kunjungan selama periode tahun 2007 dan 2008 ditemukan rasio pasien HIV/AIDS laki-laki dibandingkan perempuan adalah se-besar 2,7:1.10 Data penelitian ini lebih rendah dibandingkan

dengan hasil penelitian oleh Esti yang dilakukan di RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 2005 dengan subyek penelitian pasien HIV baik yang belum maupun yang telah mendapat terapi ARV dengan rasio laki-laki dan perempuan yaitu 5,6:1.11 Hasil ini juga lebih

rendah dibandingkan hasil penelitian Rajesh R, dkk. di India (2006) yang menemukan rasio laki-laki dan perempuan adalah 10,2:1.12 Bila dibandingkan dengan

penelitian oleh Glassman dan Burgin di India (1998) pada pasien yang baru terdiagnosis HIV, laki-laki dan perempuan adalah 1,17:1,13 hasil penelitian ini sedikit

lebih tinggi.

Retang kadar limfosit CD4+ subyek penelitian ini

adalah antara 2-832 sel/µL. Nilai rerata kadar limfosit CD4+ adalah 191,21 ± 243,42 sel/µL. Sebagian besar

pasien memiliki kadar limfosit CD4+ kurang dari 51 sel/µL

(45,2%), dan secara keseluruhan kadar limfosit CD4+ di

bawah 200 sel/µL sebanyak 67,1%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Esti (2005) yang mendapatkan sebagian besar pasien memiliki kadar limfosit CD4+ kurang dari

200 sel/µL (83%); pasien yang memiliki kadar limfosit CD4+ kurang dari 51 sel/µL sebanyak 49%, dan rentang

kadar limfosit CD4+ antara 1-720 sel/µL.11

Secara klinis, pada penelitian ini ditemukan 42 kasus infeksi jamur superfisialis pada 37 pasien dari 73 subyek penelitian. Penelitian ini mendapatkan kandidiasis se-banyak 41,1% berupa kandidiasis oral, dan dermatofitosis sebanyak 16,4% dengan rincian 4,1% tinea korporis, sedangkan tinea kruris, tinea fasialis dan onikomikosis masing-masing 2,7%, serta tinea pedis, tinea manus, tinea kapitis masing-masing sebanyak 1,4%. Menurut Diova, Mosam (2004), kandidiasis adalah manifestasi muko-kutaneus yang paling sering, mengenai 20%–70% individu dengan infeksi HIV.14 Hasil ini hampir sama dengan hasil

penelitian oleh Petmy dkk. di Yaonde (2004) yang men-dapatkan proporsi infeksi jamur superfisialis pada pasien HIV/AIDS sebesar 53%, dan secara klinis kandidiasis oral adalah yang tersering (77%). Temuan dermatofitosis pada penelitian ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian Petmy dkk. yang mendapatkan tinea korporis (21%), tinea versikolor (15%), tinea pedis (13%) dan tinea unguium (12%).15Bila dibandingkan dengan mikosis

super-fisialis yang terdapat pada pasien HIV/AIDS Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM yaitu 53,5% kandidiasis dan 5,1% dermatofitosis,2,4 hasil

pene-litian ini mendapatkan proporsi kandidiasis yang lebih kecil dan proporsi dermatofitosis yang lebih besar.Penelitian Kaviarasan dkk. di India (2002) mendapatkan prevalensi dermatofitosis lebih tinggi yaitu 22,2%. Tinea korporis adalah infeksi dermatofita yang paling lazim (53,7%) diikuti oleh tinea kruris (49,9%), tinea pedis (17,1%) dan tinea fasialis (14,6%). Berbeda pula dengan yang ditemu-kan oleh Rajesh, dkk yang meneliti prevalensi dermatofitosis pada pasien HIV di India (2006), mereka mendapatkan frekuensi dermatofitosis lebih rendah, yaitu 6,06% dengan jenis dermatofitosis terbanyak yaitu tinea korporis (82,14%), diikuti tinea kruris (69,64%), tinea manus (7,14%), tinea fasialis (5,35%), tinea aksilaris (3,53%) dan tinea genitalis (3,53%).12 Hasil penelitian ini berbeda

dengan hasil penelitian Kheira dkk. di Aljazair (2007) yang mendapatkan frekuensi dermatofitosis yang lebih tinggi, yaitu tinea pedis sebanyak 45,25%, tinea kapitis 41,46%, tinea korporis 33,33% dan tinea unguium 20%.16

Semua subyek pasien yang mengalami infeksi jamur superfisialis pada penelitian ini (satu jenis, dua jenis, dan tiga jenis penyakit) memiliki kadar limfosit CD4+ <200

sel/µL, yang menunjukkan rendahnya mekanisme

(5)

tahanan diri subyek sehingga mempermudah timbulnya infeksi jamur superfisialis. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Esti (2005) di RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo yang menemukan bahwa pada kadar limfosit CD4+ <200

sel/µL lebih banyak ditemukan subyek yang mengalami infeksi jamur.11

Rentang kadar limfosit CD4+ pasien yang terinfeksi

jamur superfisialis adalah 28,76 ± 22,648 sel/µL, dan rerata kadar limfosit CD4+ subyek yang tidak terinfeksi

adalah 358,17 ± 254,546 sel/µL. Dari hasil analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square, didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar limfosit CD4+

dengan kejadian infeksi jamur superfisialis (p < 0,05). Hasil penelitian Cribier dkk. (1998) di Perancis juga menunjukkan adanya hubungan derajat imunosupresi dengan infeksi jamur pada pasien HIV.17

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa sistem imun pejamu merupakan faktor penting untuk terjadinya infeksi jamur pada manusia. Terjadinya kontak dengan antigen jamur patogen akan merangsang diferensiasi dan proli-ferasi sel membentuk populasi sel T yang spesifik yang terdiri atas sel efektor dan sel memori. Sel memori berada dalam sirkulasi untuk beberapa tahun dan akan men-cetuskan respons yang cepat apabila terjadi pajanan dengan antigen yang sama.18 Rusaknya sistem imun akan

mempermudah infeksi jamur.16 Pada pasien HIV/AIDS,

terjadi penurunan sel T CD4+ yang disebabkan oleh

kematian sel T CD4+ yang dipengaruhi oleh HIV. Setelah

infeksi akut, terjadi masa asimtomatik dengan penurunan kadar limfosit CD4+ secara lambat, dan penurunan kadar

limfosit CD4+ semakin tajam pada stadium lanjut.

Menurut sebagian peneliti, infeksi jamur dapat timbul sejalan dengan menurunnya jumlah limfosit CD4+. Pada

keadaan limfosit CD4+ <200 sel/µL risiko infeksi

oportunistik akan meningkat.8

Menurut Diova dan Mosam (2004), insidens kandidiasis oral meningkat karena kadar limfosit CD4+ menurun, dan

hal tersebut merupakan petanda dari perkembangan penyakit HIV yang cepat, namun frekuensi dermatofitosis tidak meningkat pada individu ini.14 Menurut

ke-pustakaan, faktor lain yang mempengaruhi infeksi jamur adalah pajanan jamur dan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tipe infeksi dan keparahan penyakit infeksi jamur.3 Hal tersebut yang mungkin menyebabkan

kejadian dermatofitosis khususnya pada penelitian ini jauh lebih kecil dibandingkan kandidiasis oral; meskipun imunitas terganggu namun dermatofitosis tidak terjadi karena tidak adanya pajanan jamur, atau kelembaban yang masih terjaga dengan baik.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya kadar limfosit CD4+ dengan tingginya kejadian infeksi jamur

superfisialis. Retak kadar limfosit CD4+ pasien yang

terinfeksi jamur superfisialis adalah 28,76 sel/µL (dengan standar deviasi 22,648 sel/µL).

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiana. Mengenal infeksi oportunistik pada HIV/AIDS. Dalam : Opini, 26 Nov 2007. Diunduh dari: http://www.indomedia.com/ poskup/2007/11/26/edisi26/ opini.htm.

2. Yayasan Spiritia. Infeksi oportunistik November 1, 2004. Diunduh dari: http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=500

3. Pohan HT. Infeksi di balik ancaman HIV. Farmacia, Maret 2006:5(8): 22

4. Tianshi Community. Gorila, Jamur dan HIV. Desember 1, 2006. Diunduh dari: http://tienscyber.blogsome.com/2006/12/01/gorila-jamur-dan-hiv/trackback/

5. RCD II. Farmacia, Oktober 2006:6(3). Diunduh dari: http://www.majalah-farmacia.com.

6. Romani L. Immunity to fungal infections. Nat Rev Immunol. 2004;4:1-13.

7. Duarsa NW. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J, penyunting. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. h.132-44 8. Djauzi S. Infeksi oportunistik pada AIDS: Mekanisme, pola

infeksi dan pencegahan. buku program dan abstrak simposium sehari: update on fungal infection in immunocompromised patient. Jakarta: PMKI,2008: h.16.

9. Data subdit AIDS & PMS Ditjen PP&PL Depkes RI tahun 2005. 10. Data Pusyansus AIDS RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2007

dan 2008.

11. Esti PK. Proporsi beberapa Malasseziosis pada ODHA dewasa di Pokdisus AIDS RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo. Tesis, 2005. 12. Rajesh R, Subramaniam K, Padmavathy BK, Vasanthi S. Prevalence

and species profile of dermatophytosis among HIV positive patients in rural referral centre. Indian J Sex Transm Dis. 2006:27(2):70-4. 13. Glassman S, Burgin S. Dermatological disease in HIV-1

seropositive patients at Baragwanath Hospital. S A M Journal. 1998; 88(8):1033-6.

14. Diova N, Mosam A.Cutaneous manifestations of HIV/AIDS: Part I. The Southern African Journal of HIV Medicine. 2004:13-4. 15. Petmy JL, Lando AJ, Kaptue L, Tchinda V, Folefack M.

Superficial mycoses and HIV infections infeksi Yaonde J. Eur Acad Dermatol Venereol. 2004;18:301-4.

16. Harjono T. Infeksi jamur pada pasien HIV. Dalam: Buku program dan abstrak simposium sehari: update on fungal infection in immunocompromised patient. Jakarta: PMKI 2008:22.

17. Cribier B, Mena ML, Rey D, Partisani M, Fabien V, Lang JM, dkk. Nail changes in patients infected with Human Immunodeficiency Virus. A prospective study. Arch Dermatol. 1998;134:1216-20.

18. Cholis M. Imunologi dermatomikosis superfisialis. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, penyunting. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. h.7-16.

Gambar

Gambar 1.  Peranan system imun terhadap jamur 6
Tabel 5.   Distribusi jenis infeksi jamur superfisialis berdasarkan  kadar limfosit CD4  +  (n=37)  CD4 +  (1) (2)  (3)  (4)  (5)  (6) (7) Total  &lt;  51  24 2 1 1 1 0  1  30  51-200 6 0 0 0 0 1 0  7  &gt;200 0  0  0  0  0  0  0 0  Total  30 2 1 1 1 1  1
Tabel 6. Penyebab infeksi jamur superfisialis

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Negeri

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Nomor : BA.12/ Pokja/ ULP-KUA- SU/ KEMENAG-MENTAWAI / IX/ 2016 tanggal 16 September 2016, dengan ini Pokja menetapkan Pemenang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap kinerja lingkungan perusahaan, sedangkan ukuran dewan

Yang menentukan harga gabah dan beras adalah pemerintah // Karena tergantung pada pemerintah / kenaikan harga gabah dan beras dari petani memang ditentukan oleh ingatan pemerintah //

James R Bettman; Mary Frances Luce; John W Payne.. Journal of Consumer Research; Dec 1998; 25, 3; ABI/INFORM

Meski pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) telah menjadi prioritas kebijakan dalam pe- mantapan kawasan hutan, di tingkat tapak pem- bentukan wilayah KPH masih

Pada penulisan ilmiah ini penulis mencoba membuat suatu aplikasi secara komputerisasi pada Toko Grosir Sony yang digunakan dalam pencatatan penjualan. Yang Terdiri dari data

Pengamanan data dewasa ini dirasakan sangat begitu penting, apalagi terhadap data-data yang bersifat pribadi dan rahasia, banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengamankan