• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMA AGRARIA, KEBIJAKAN SETENGAH HATI. Refleksi Perjalanan Reforma Agraria Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFORMA AGRARIA, KEBIJAKAN SETENGAH HATI. Refleksi Perjalanan Reforma Agraria Tahun 2010"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

POLICY PAPER BINA DESA #REFORMA AGRARIA

REFORMA AGRARIA, KEBIJAKAN SETENGAH HATI

Refleksi Perjalanan Reforma Agraria Tahun 2010

Pada hari Kamis, 21 Oktober 2010, bertempat di Istana Bogor, di tengah para perwakilan petani, pejabat BPN dan pemerintah, LSM dan media massa, dalam pidatonya tiba-tiba SBY terdiam dan meneteskan air mata, “saya sangat terharu saat tadi menyaksikan tayangan land reform”, kata Presiden sambil menyeka air mata. Peristiwa tersebut terjadi setelah Presiden menyerahkan sertifikat tanah kepada 10 orang perwakilan petani dalam acara yang diselenggarakan BPN Pusat dalam rangka memperingati setengah abad (50 tahun) lahirnya UUPA 1960.

Tidak biasanya peringatan hari kelahiran UUPA 1960 tahun ini (2010) direspon banyak kalangan, tidak hanya dari organisasi tani dan aktivis reforma agraria, tapi juga para politisi dan partai-partai politik yang sebelumnya enggan berbicara tentang reforma agraria atau land reform. Meskipun dalam acara terpisah, Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum pada saat membuka seminar dengan tema “Mewujudkan Indonesia Berdaulat Pangan”, yang digelar Partai Demokrat di gedung Parlemen pada tanggal 13 Oktober 2010, menyatakan bahwa kenyataannya sampai saat ini kesejahteraan petani tetap lamban bila dibandingkan dengan sektor modern atau yang jadi TKI dan pegawai pemerintah. Harus ada terobosan baru untuk meningkatkan kesejahteraan petani, perubahan tidak hanya bersifat kultural tapi juga struktural. Karena itu program reforma agraria harus didorong akseleratif.

Menurutnya persoalan keadilan penguasaan lahan merupakan pekerjaan struktural. Tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Kementrian Pertanian, tapi juga oleh Badan Pertanahan (BPN), Kehutanan dan Permodalan. “Bicara land reform bukan isu komunisme, tapi isu kesejahteraan petani”.

Cukup menarik untuk diamati bahwa kedua tokoh di atas adalah orang-orang yang sekarang ini memiliki kekuasaan cukup besar dalam membuat kebijakan negara dan mengubah keadaan. SBY adalah Presiden dan sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Anas Urbaningrum adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang memiliki kursi terbesar di parlemen. Kedua tokoh tersebut telah menyuarakan isu yang sama yakni keharusan melaksanakan Reforma Agraria. Artinya bila

(2)

dilihat dari kaca mata politik di atas kertas hampir tidak ada lagi rintangan yang berarti dalam merealisasikan reforma agraria yang telah lama tertunda di Indonesia. Hambatan phisikologis politik yang berupa stigma reforma agraria atau land reform adalah produk komunisme telah dibantah sendiri oleh Partai Demokrat sebagai partai berkuasa di Indonesia.

Namun kenyataannya mengapa pelaksanaan reforma agraria yang diamanatkan oleh UUPA 1960 terasa lambat dan tidak pernah ada wujud kongkritnya?. Selama 50 tahun sejak UUPA 1960 diundangkan hampir tidak ada lagi produk hukum yang berarti untuk mempertegas realisasi cita-cita dan tujuan UUPA 1960, yang terjadi sebaliknya subtansi UUPA 1960 secara bertahap dipangkas dan dimarginalisasi oleh berbagai undang-undang sektoral, seperti UU PMA, UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perkebunan dan UU lainnya yang bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan agraria.

Di tengah ketidakpastian kebijakan reforma agraria, menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyowinoto, pemerintah melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) saat ini sudah meredistribusi tanah kepada petani seluas 142.159 hektar. Program ini serentak berlangsung di 389 desa di 21 Propinsi. Tanah yang didistribusikan kepada petani adalah tanah negara termasuk HGU yang ditelantarkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. BPN memiliki target meredistribusi tanah untuk petani sebanyak 6 juta hektar sampai tahun 2025.

BPN memiliki skenario, bila target redistribusi tersebut tercapai maka rata-rata kepemilikan lahan pertanian di Indonesia akan naik dari 0,87 hektar menjadi 1,11 hektar. Obyek lahan tersebut akan diambil dari sisa lahan obyek landreform tahun 1961, tanah kehutanan yang dikonversi, dan tanah yang ditelantarkan oleh pemegang HGU. Saat ini diperkirakan ada sekitar 7,3 juta hektar tanah yang ditelantarkan oleh perusahaan besar. Tanah-tanah tersebut yang kini sedang didata kembali untuk dijadikan obyek reforma agraria.

Redistribusi lahan tersebut diharapkan dapat mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan yang sudah lama terjadi di Indonesia sejak masa feodalisme, kolonialisme hingga kemerdekaan. Joyo Winoto juga menjelaskan, “saat ini diperkirakan ada 6,2 persen penduduk Indonesia yang menguasai asset 56 persen dari asset nasional. Dari sejumlah itu sekitar 62-78 persen asset tersebut berupa tanah”. Rekonsentrasi tanah pada sekelompok kecil orang inilah yang mengakibatkan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang berujung pada konflik pertanahan. Menurut catatan BPN sekarang ini ada 7.491 konflik pertanahan yang belum terselesaikan.

Terlepas dari rencana pemerintah akan meredistribusi lahan 6 juta hektar untuk petani tak bertanah dan petani gurem, namun kenyataannya realitas politik yang sedang berlangsung belum

(3)

memiliki tanda-tanda keseriusan pelaksanaan reforma agraria secara konsisten walaupun Presiden dan partai berkuasa di parlemen telah menyatakan pentingnya pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh (baca: struktural). Sejak awal isu dan permasalahan agraria memang cukup kompleks, berbagai kekuatan ekonomi dan politik baik di dalam negeri maupun internasional sangat berkepentingan mengintervensi berbagai kebijakan agraria. Karena itu penting untuk melihat dan menganalisis dinamika politik agraria di Indonesia secara keseluruhan. Tidak hanya sekedar menduga-duga pernyataan Presiden, Menteri atau partai politik yang seolah-olah mendukung reforma agraria, padahal masih perlu dipertanyakan.

Fenomena ini bisa dilihat dari kecenderungan kekuatan ekonomi-politik yang sedang berlangsung. Sebenarnya pemerintah dalam mensikapi keberadaan UUPA 1960 bersifat mendua, di satu sisi ingin menciptakan program-program populis melalui implementasi PPAN, namun di sisi lain tetap ingin mengakomodir kepentingan investor di sektor agribisnis, pertambangan dan properti. Sikap ini tercermin dalam pengajuan RUU Pertanahan yang menekankan pentingnya meningkatkan kesejahteraan petani melalui program redistribusi tanah dan RUU Pengadaan Lahan yang lebih berkiblat ke pengusaha besar.

Dipilihnya dan digantinya istilah “agraria“ menjadi “pertanahan” dalam RUU juga menimbulkan pertanyaan dan memiliki arti serta cakupan yang jauh berbeda. Pengertian agraria meliputi tanah, segala obyek yang ada di dalam tanah, permukaan tanah dan ruang di atas tanah. Agraria sebagaimana yang termaktub dalam UUPA 1960 yang merujuk pada UUD 1945 Pasal 33 adalah mencakup segala obyek yang berkaitan dengan kekayaan sumberdaya alam. Dengan hanya mengeluarkan RUU Pertanahan berarti memperkuat sektoralisme yang selama ini menjadi sumber permasalahan dalam seluruh konflik agraria. Adanya RUU Pertanahan juga berarti mengakui pemisahan dan pembagian wilayah obyek agraria beradasarkan kepentingan lembaga masing-masing.

Menurut Prof. Maria SW Sumarjono, Guru Besar Fakultas Hukum UGM, sejatinya UUPA 1960 dimaksudkan untuk semua obyek sumber daya alam, tidak hanya tanah pertanian. Namun karena selama 12 tahun proses penyusunannya diwarnai ketidakstabilan politik dan ketegangan konflik sosial di masyarakat serta adanya kebutuhan mendesak pemerintah RI yang baru berdiri untuk merombak dan menata ulang struktur sosial-ekonomi sebagai warisan kolonialisme, maka dapat dipahami di luar 10 pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok, hampir 80 persen UUPA 1960 mengatur tentang pertanahan.

Kekuranglengkapan UUPA sebenarnya akan disempurnakan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan adanya perubahan politik pada tahun 1965-67 maka berakhirlah semua program land reform yang baru dimulai pada awal tahun 1960-an. Bergantinya rezim dan ideologi yang

(4)

menyertainya maka berganti juga perspektif dan strategi pembangunan sosial-ekonomi. UUPA merupakan korban pertama dari serangkaian tragedi produk hukum di Indonesia pasca 1967. Sepanjang tahun 1970-an, pemerintahan Orde Baru justru menerbitkan UU sektoral seperti, kehutanan, perkebunan dan pertambangan. UU sektoral tersebut masing-masing mengambil rujukan UUD 1945 Pasal 33 (ayat 3) tanpa merujuk pada UUPA. Akibatnya sejak saat itu banyak UU dan peraturan pemerintah bertabrakan dan berseberangan dengan UUPA.

Walaupun semua UU sektoral merujuk kepada UUPA 1960 sebagai dasar pertimbangan pembentukan undang-undang, namun mereka melupakan filosofi dan latar belakang politik hukum UUPA 1960 yang menjadi dasar pembentukannya. Kelahiran UUPA 1960 jelas menjadi alas payung hukum untuk merombak dan menata ulang paradigma pembangunan sosial-ekonomi rakyat dan bangsa Indonesia yang selama 300 tahun mewarisi sistem ekonomi kolonial. Sistem ekonomi kolonial yang menganut ideologi liberalisme ekonomi dan menciptakan ketimpangan serta kemiskinan di pedesaan menjadi alasan utama mengapa UUPA 1960 dilahirkan. Dengan UUPA 1960 diharapkan menyediakan landasan yang kokoh untuk pembangunan ekonomi nasional yang adil, berdaulat dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Cita-cita politik hukum ini yang banyak dilupakan oleh para pembuat undang-undang. Pembuatan undang-undang selama ini seolah-olah tidak berkaitan dengan sistem dan arah ekonomi yang ingin dibangun.

Di kalangan elit politik sikap dan pandangan tentang UUPA 1960 semakin tidak jelas keberpihakannya. Tidak lama setelah Partai Demokrat melalui Ketua Umumnya Anas Urbaningrum berbicara tentang landreform, Komisi II DPR mulai membahas RUU Pengadaan Lahan. Padahal BPN juga mengajukan RUU Pertanahan yang lebih bermuatan populis, namun tampaknya DPR lebih bersemangat membahas RUU Pengadaan Lahan dibandingkan RUU Pertanahan.

RUU Pengadaan Lahan ini diajukan karena pemerintah merasa kesulitan dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur dan menarik investor untuk terlibat dalam proyek-proyek tersebut. Setidaknya ada 28 proyek jalan tol yang tertunda karena ketidakjelasan status lahan yang akan digunakan. Keberadaan UU Pengadaan Lahan diharapkan dapat mendukung konsep kerjasama antara Pemerintah-Swasta (KPS) atau Public-Privat Partnership (PPP). Bahkan Sekretariat Gabungan Koalisi Pemerintahan (Setgap) yakni koalisi partai-partai politik di parlemen yang mendukung pemerintahan SBY-Boediono dalam rapatnya pada tanggal 21 September 2010 juga mendesakan RUU Pengadaan Lahan untuk percepatan pembangunan infrastruktur.

Dalam bulan Mei 2010, para pengusaha properti bersuara dan mendesak pemerintah melalui acara talk show yang bertema “Potensi Investor Asing di Indonesia, Peluang dan Tantangan”, salah seorang nara sumber Enggarsito yang merupakan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar

(5)

menyatakan, harus ada kejelasan dan ketegasan sikap pemerintah mengenai kesediaannya mengakomodir usulan pemangku kepentingan dari pengusaha properti untuk merevisi UUPA 1960. Menurut anggota Komisi I DPR ini telah terjadi pertentangan antara UUPA dengan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Payung hukum yang dibuat 50 tahun lalu tersebut menurutnya berseberangan dengan keinginan pemerintah untuk menarik investasi asing dalam pengembangan industri nasional. Semangat UUPA menghambat masuknya modal asing karena produk hukum tersebut dibuat pada era nasionalisasi, jelasnya lagi.

Jadi, hampir semua pihak berkepentingan untuk merevisi UUPA 1960 walaupun latar belakang ideologi dan tujuannya berbeda-beda. Kalangan Ornop dan organisasi tani memandang UUPA 1960 masih belum lengkap karena belum mencakup obyek lainnya, seperti kehutanan, perairan dan perlindungan tanah adat. Sementara, para pengusaha dan sebagian politisi di DPR menganggap UUPA 1960 sebagai rintangan bagi kebijakan pasar bebas dan investasi asing.

Kecenderungan pemerintah yang ingin mengakomodir semua pemangku kepentingan dari mulai rakyat tani hingga investor asing sedikit banyaknya akan menimbulkan permasalahan baru karena akan terjadi tumpang tindih bukan saja di bidang regulasi tapi juga menyimpan kerawanan konflik dalam klaim pemilikan tanah. Contohnya, Belum lama ini Pemerintah Indonesia telah menandatangani MoU kerjasama perdagangan bersama pemerintah Australia Bagian Utara untuk pengembangan agrobisnis di Papua. Hasil produk agribisnis tersebut seperti, sayuran, buah-buahan, beras, jagung, dan lain-lain akan dipasok ke Freeport sebagai perusahaan nasional yang memegang peranan penting perputaran roda perekonomian Papua.

Rencana kerjasama investasi lain yang menimbulkan gelisahan dan penolakan dari rakyat Papua sendiri adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini telah dicanangkan secara resmi oleh Bupati Merauke, John Gluba Gebze pada perayaan HUT kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010. MIFEE merupakan pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Pemerintah melibatkan 32 investor yang bergerak di bidang perkebunan, pertanian tanaman pangan, perikanan darat, peternakan, konstruksi, dan industri pengolahan kayu. Di antara investor tersebut adalah Medco, PT Bangun Tjipta Sarana, Artha Graha, Come-Xindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, Wolo Agro Makmur, dan investor asal Arab Saudi dari Binladen Group yang akan taruh modal sebesar 4,37 miliar US dollar. Bahkan dikabarkan Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Azis akan berkunjung untuk melihat proyek MIFEE. Para investor tersebut diajak untuk mengelola lahan seluas 1.282.833 ha yang berdasarkan rekomendasi Badan Penataan Ruang Nasional (BKPRN) layak dikembangkan menjadi kawasan pertanian pangan dan bahan bakar hayati dalam skala luas.

(6)

Skenario kebijakan politik agraria yang dijalankan pemerintahan SBY-Boediono merupakan ciri model politik agraria di negara-negara yang menganut rezim liberal demokratik. Pelaksanaan reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah pertanian terbatas kepada petani adalah bagian dari keseimbangan pasar politik yang perlu dilakukan agar tidak memicu pergolakan agraria yang lebih besar. Pelaksanaan reforma agraria secara progresif dan menyeluruh tidak bisa pernah terjadi dalam kepemimpinan politik rezim liberal demokratik. Sistem dan fondasi ekonomi nasional tetap bertumpu pada pasar bebas dan bergantung pada modal asing, bukan pada basis transformasi agraria sebagai landasan pembangunan industri nasional. Rezim liberal demokratik sesungguhnya tidak berkepentingan dengan perombakan dan transformasi ketimpangan agraria sebagai jalan terbaik menata ulang sistem sosial-ekonomi untuk menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Kesuksesan pelaksanaan reforma agraria di negara-negara berhaluan sosialis, sosialis-demokratik atau populis tidak bisa ditiru ulang di negara-negara yang menganut liberal-demokratik. Filipina dan Indonesia adalah tipe negara yang mencoba menjalani reforma agraria dalam kerangka neo-liberalisme. Di satu sisi rakyat diberi program redistribusi terbatas namun di sisi lain sistem ekonomi secara makro dibuka untuk pasar bebas dan investasi asing tanpa batas baik di sektor agraria maupun industri turunannya. Dari segi waktu pelaksanaan, rezim liberal demokratik cenderung menjalankan program reforma agraria secara bertahap dan jangka waktu yang lama atau cenderung mengulur waktu. Padahal ciri utama pelaksanaan reforma agraria yang benar adalah waktunya yang singkat dan cepat serta berdampak luas. Karena itu faktor kesuksesan reforma agraria adalah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan politik yang kuat dan memiliki komitmen serta keberanian menghadapi rintangan struktural.

Sebagaimana telah dijelaskan di awal, kemajuan pelaksanaan reforma agraria tidak bisa hanya dilihat dari kacamata produk hukum, tapi harus dilihat secara keseluruhan kecenderungan atau pendulum kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang sedang berlangsung. Terlalu sederhana bila dinyatakan RUU Pertanahan merupakan sinyal baik dari pemerintah untuk menjalankan komitmennya dalam menciptakan politik agraria yang lebih adil dan berpihak kepada rakyat. TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria adalah contoh produk legislasi yang sampai sekarang tidak berdampak luas terhadap keadilan agraria bagi petani.

Sementara itu, kekuatan petani dan aktivis reforma agraria sepanjang tahun 2010 hampir belum memperlihatkan kemajuan berarti baik dari segi skala gerakan maupun posisi tawar yang dapat diperhitungkan oleh pemerintah, legislatif maupun partai-partai politik. Gerakan massif yang disuarakan organisasi petani cenderung melemah di tengah memperingati 50 tahun UUPA. Gerakan reforma agraria terpecah ke dalam berbagai faksi dan pendekatan strategi. Tidak terlihat

(7)

lagi aksi besar puluhan ribu petani di jalan-jalan pada setiap 24 September. Sebagian besar gerakan lebih berfokus pada mengupayakan produk legislasi reforma agraria yang menguntungkan petani. Sebagiannya ada juga yang mendukung langkah-langkah BPN dalam menjalankan PPAN. Berbagai konflik masih tetap terjadi antara petani versus perkebunan atau pertambangan di daerah. Kekerasan terhadap petani juga tidak berkurang. Semua ketegangan dan konflik tersebut tidak banyak terekspos secara luas di publik. Berita kekerasan petani tertutup dengan pemberitaan-pemberitaan program redistribusi dan sertifikasi tanah oleh pemerintah, termasuk oleh Presiden SBY sendiri.

Agenda gerakan reforma agraria akhir-akhir ini terutama periode 2010 nampak berjalan tanpa arah, hanya mengulangi seruan-seruan dan aksi-aksi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Isu mengenai lembaga penyelesaian konflik agraria yang telah digagas tujuh tahun lalu masih terus diulangi hingga sekarang. Bahkan belum jelas lembaga ini mau ditempatkan dimana dan instansi mana yang beratanggung jawab. Bila dulu digagas oleh Komnas HAM dan diusulkan ke Presiden Megawati menjadi Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) tapi ditolak dengan alasan sudah terlalu banyak komisi nasional. Sekarang isu tersebut lebih tidak jelas lagi keberadaannya, hanya menjadi konsumsi kalangan aktivis reforma agraria saja.

Basis-basis konflik agraria yang pada periode 1980-1990-an tersebar di berbagai daerah dan menjadi isu nasional, memasuki 2010 basis tersebut semakin mengecil. Bahkan cukup memprihatinkan di beberapa bekas wilayah konflik dimana petani secara defacto telah menguasai tanah, kini sebagian tanah tersebut telah beralih ke pihak luar. Di Jawa Barat saja banyak kasus seperti itu antara lain Cimacan, Tapos, Rancamaya, Cibabi, dan belum lagi di propinsi lainnya. Banyak tanah hasil reclaiming telah dijual dan digadaikan atau diserahkan kembali ke perusahaan dengan menerima ganti rugi yang tidak layak.

Sebagian besar petani telah mengalami kelelahan dalam memperjuangkan hak-haknya. Dari aspek organisasi, banyak organisasi tani tidak berkembang secara luas dan menguat, yang besar menciut jadi kecil, di sisi lain muncul organisasi-organisasi tani lokal dan mulai berjuang seperti sepuluh tahun yang lalu. Belum lagi arogansi sesama organisasi tani yang belum cair sampai saat ini. Meskipun sudah ada upaya untuk saling bertemu dan bekerjasama membangun isu gerakan bersama, namun sekat-sekat pemisah tersebut masih belum terbuka dan menyatu. Dalam situasi seperti itu, pernyataan-pernyataan populis dari pemerintah, parlemen dan politisi untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria meskipun hanya sekedar janji sudah membuat petani puas dan bersedia menunggu kebijakan tersebut datang.

(8)

Diskursus tentang orientasi dan ideologi gerakan reforma agraria sebenarnya sudah lama dimulai untuk mengatasi dan mencari solusi sikap pragmatisme gerakan petani pasca reclaiming, tapi sepanjang 2010 nampaknya belum ada serangkaian diskusi yang serius untuk merumuskan ulang ideologi dan route map gerakan reforma agraria termasuk pilihan jalan politik agraria yang akan ditempuh. Yang terjadi adalah pilihan-pilihan pragmatis yang dilakukan oleh para aktivis reforma agraria seperti masuk partai politik dan parlemen tanpa mempertimbangkan secara kritis tentang ideologi dan platform dari partai politik tersebut.

Memasuki 2011, hambatan dan tantangan gerakan reforma agraria baik secara eksternal dan internal nampak semakin berat walaupun ruang politik kebijakan agraria makin terbuka luas. Persolan utama sebenarnya bukan berasal dari seberapa kuat cengkraman negara untuk membatasi gerakan reforma agraria, bahkan bila dilihat banyak gagasan-gagasan dari kalangan pakar dan aktivis reforma agraria sudah bisa diterima oleh pengambil kebijakan, seperti RUU Pertanahan yang isinya sudah mengakomodir tuntutan para pakar dan organisasi tani, walaupun RUU tersebut belum memasukan persepektif gender secara tegas yang tentu saja ini akan menjadi persoalan di kemudian hari. Namun justru persoalannya terletak di internal elemen-elemen gerakan reforma agraria sendiri yang nampak belum memiliki arah dan orientasi yang jelas.

Sebagai contoh, menurut BPN ada 6 juta hektar tanah yang akan dibagikan kepada petani sebagai subyek landreform, bila setiap rumah tangga petani mendapat 2 hektar tanah berarti ada 3 juta rumah tangga petani yang harus dikonsolidasi dan diorganisir. Jumlah tersebut merupakan kekuatan baru bagi organisasi dan gerakan tani Indonesia di masa mendatang. Namun sayangnya peluang dan gagasan tersebut belum direspon secara baik oleh aktivis reforma agraria. Tetap saja yang akan memanfaatkan mereka adalah organisasi-organisasi tani yang sudah establish seperti HKTI dan juga partai-partai politik yang mengklaim bahwa mereka punya andil besar dalam menjalani program redistribusi tanah.

Organisasi dan gerakan tani saat ini masih berkutat dengan jumlah anggota yang tidak bertambah-tambah bahkan cenderung menurun. Ini juga menjadi pesoalan serius bagi gerakan petani dan reforma agraria di masa mendatang. Hal ini terlihat dengan semakin mengecilnya massa tani ketika aksi sehingga bagaimana mungkin bisa meningkatkan posisi tawar yang kuat di tingkat lokal dan nasional. Mungkin semua fenomena dan kecenderungan sebagaimana yang digambarkan di atas bisa menjadi bahan refleksi kita semua untuk memasuki tahun 2011.[]

(9)

Referensi

Dokumen terkait

• Semua pihak hendaklah bercakap mengikut giliran. • Apabila suatu pihak bercakap, pihak lain hendaklah mendengar dan memberi perhatian. • Apabila bercakap hendaklah dalam

Hakikat dari pembentukan portofolio yang efisien dan optimal adalah untuk mengurangi risiko dengan cara diversifikasi saham, yaitu mengalokasikan sejumlah dana investor pada

Perawatan individu juga menyediakan tingkat perawatan individual yang tidak tersedia di modalities lain dan memiliki keunggulan dalam berurusan dengan masalah jenis tertentu

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa(tawar). Warna dipersyaratankan dalam air bersih untuk masyarakat karena pertimbangan

Hasil wawancara diperoleh data bahwa salah satu yang menyebabkan motivasi kerja perawat menurun adalah tidak puas dengan kompensasi/remunerasi yang diterima

• Garis kemiskinan makanan dihitung dari pengeluaran minimum untuk makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita per hari. • Garis kemiskinan non makanan dihitung dari

Penelitian lanjutan ini identifikasi daging sebar dan busuk didasarkan pada hasil sensor pengukuran warna RGB dan digabungkan dengan sensor pH yang diinformasikan untuk

Finalis Call for Paper YP UGM 2011 terdiri dari 3 (tiga) – 4 (Empat) orang , sebagai perwakilan dengan membawa surat rekomendasi dari himpunan serta surat