• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: PopulationDensity, Incidence Rate DHF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keywords: PopulationDensity, Incidence Rate DHF"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KEPADATAN PENDUDUK DAN INSIDENS RATE DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) KABUPATEN BONDOWOSO, JAWA TIMUR

(Population Density and Incidence Rate of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Bondowoso Distric, East Java)

Irma Prasetyowati, S.KM.,M.Kes*

*Pengajar FakultasKesehatanMasyarakat, Universitas Jember

ABSTRACT

Background: DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) was a syndrome due to the dengue virus that tends to affect children under 10 yaers, causing abdominal pain, hemorrhage (bleeding) and circulatory collapse (shock). High population density could spread of DHF more intensive in urban areas than rural areas because transmitting the virus from one person to other persons in the vicinity.

Objective: The purpose of this research was to describe the density and incidence rate of DHF in Bondowoso district

Method: this research was ecological study. Secondary data (Health Profile Bondowoso) was used to know DHF cases from. Descriptive analysis to know the indication of population density and incidence rate of DHF correlation

Results: DHF that occurred in the Bondowoso showed similar percentages between genders men and women, the highest in the productive age group (15-44 years). There are consistently DHF cases in 12 sub districts. The top most DHF cases in January-March. The highest Population density and the incidence rate of DHF is in Bondowoso sub district. The analysis shown that there are indications of the relationship between population density, with the incidence rate of DHF

Conclucion: There are indications of a relationship between population density, with the incidence rate of DHF. People indensity populated areas and DHF endemic areas expected to eradicate of mosquito breeding and monitor larvae regularly in their own homes to avoid DHF.

Keywords: PopulationDensity, Incidence Rate DHF

PENDAHULUAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, serta dapat menimbulkan kejadian luar biasa/wabah. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara-negara tropik dan

subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik (Natalia, 2012). Sesuai dengan UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Permenkes No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tatacara Penyampaian Laporannya dan Tatacara Penanggulangan Seperlunya, maka semua penyakit yang dapat

(2)

menimbulkan wabah termasuk DBD harus segera dilaporkan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam setelah diagnosis ditegakkan (Ditjen PP dan PL, 2005)

Penyakit Demam Berdarah Dengue menjadi salah satu prioritas nasional pengendalian penyakit menular di Indonesia sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2010 tentang RPJM 2010-2014, dan tercantum pula dalam Rencana Strategis (Renstra) yang ditetapkan berdasarkan Kepmenkes No. HK.03.01/160/1/2010. DBD juga tercantum dalam Standart Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2008 bidang kesehatan sebagai salah satu penyakit menular yang menjadi kewajiban kabupaten/kota untuk menanganinya (Ditjen PP dan PL, 2012).

World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk aedes aegypti di berbagai wilayah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara endemik Demam Dengue yang setiap

tahun selalu terjadi KLB di berbagai kota dan setiap 5 tahun sekali terjadi KLB besar (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya terkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Jika pada awal masuknya DBD ke Indonesia angka kematian yang ditimbulkan sangat tinggi, namun dengan berbagai kegiatan pengendalian yang telah dilakukan angka kematian tersebut dapat ditekan hingga dibawah 1% sejak tahun 2009. Namun demikian angka kesakitan DBD tetap tinggi, jika pada tahun 2004 tercatat Insiden Rate (IR) DBD sebesar 37,01 per 100.000 penduduk maka pada tahun 2009 menjadi 68,22 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010 penyakit DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dan di sekitar 400 kabupaten/kota dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebesar 1.358 orang. Dengan demikian, angka insiden DBD pada tahun 2010 adalah 65,7 per 100.000 penduduk. IR tersebut cenderung meningkat tetapi pada tahun 2011 IR DBD menurun sangat tajam menjadi 27,67 per 100.000 penduduk luas (Ditjen PP dan PL, 2012).

(3)

Propinsi Jawa Timur dinyatakan sebagai daerah endemis untuk penyakit DBD. Penyebaran kasus DBD di Jawa Timur terdapat di 38 kabupaten/kota, dan juga menyebar di beberapa kecamatan atau desa yang ada di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Kejadian penyakit DBD di Jawa Timur cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir (2008-2010) secara berturut-turut yaitu sebanyak 16.291 kasus, 18.631 kasus dan 26.059 kasus. Sedangkan pada tahun 2011 mengalami penurunan sebanyak 5372 kasus (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2012). Berdasarkan data perkembangan kasus DBD di Kabupaten Bondowoso tahun 2011-2013, jumlah kasus yang dilaporkan terus mengalami peningkatan. Tahun 2011 ditemukan sebanyak 67 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2012 menjadi 162 kasus dan pada tahun 2013 meningkat tajam menjadi 460 kasus jika tidak mendapat perhatian yang serius maka setiap tahun tetap akan terjadi peningkatan jumlah penderita bahkan jumlah kematian akibat DBD (Dinkes, Kabupaten Bondowoso).

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, antara lain pertumbuhan

penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan peningkatan sarana transportasi. Manusia adalah pembawa utama virus dengue. Negara-negara yang terserang dengue umumnya mempunyai kenaikan jumlah penduduk yang pesat. Dengan demikian manusia pembawa virus akan semakin banyak. Perbaikan transportasi akan disertai perpindahan orang dan barang yang cepat dari daerah dengue ke daerah nondengue atau sebaliknya. Kepadatan penduduk ini akan memudahkan transmisi virus dengue karena sifat multiple bitting dari virus (Farid, 2009)

Kepadatan penduduk yang tinggi dan jarak rumah yang sangat berdekatan membuat penyebaran penyakit DBD lebih intensif di wilayah perkotaan daripada wilayah pedesaan karena jarak rumah yang berdekatan memudahkan nyamuk menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada disekitarnya (Lestari, 2007 dalam Maria, 2013). Kepadatan hunian juga berkontribusi terhadap penyebaran penyakit DBD. Rumah yang jumlah penghuninya lebih banyak berpeluang lebih besar untuk

(4)

tertular virus dengue dibandingkan yang penghuninya sedikit (Hakim 2010). Berdasarkan penelitian Hakim 2010, dari analisa multivariat diketahui bahwa keberadaan jentik/pupa nyamuk Ae. Aegypti, dominasinya lebih tinggi hubungannya dengan frekuensi menggigit disamping jumlah manusia per rumah.

Berdasarkan pada situasi dan kondisi tersebut, maka diperlukan adanya penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana kepadatan penduduk dan insidens rate DBD di Kabupaten Bondowoso

METODE PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah desain studi ekologi. Studi ekologi menggunakan komponen lingkungan untuk menyelidiki secara empiris faktor risiko atau karakteristik lingkungan yang selalu ada di masyarakat (Chandra, 2008). Dalam studi ekologi satuan unit yang dianalisis dan dievaluasi adalah kelompok populasi dalam suatu daerah administrasi tertentu atau dalam suatu wilayah geografis tertentu dan bukan individu dalam masyarakat (Noor, 2008). Tempat penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bondowoso pada tahun 2013.

Pengambilan data dilakukan dengan metode dokumentasi berdasarkan data sekunder yaitu Profil Kesehatan Kabupaten Bondowoso pada tahun 2011 dan 2012, dan dokumen pendukung lainnya. Data yang diperoleh kemudian di olah dan dianalisis secara deskriptif, dilakukan pula analisis scatter plot untuk melihat sebaran data kepadatan penduduk dan insidens rate DBD

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Gambaran Kasus DBD di Kabupaten Bondowoso Tahun 2011-2013 berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu

Karakteristik manusia merupakan variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan. Karakteristik penderita pada kasus DBD didapatkan dari data program pengendalian penyakit DBD Dinas Kabupaten Bondowoso. Karakteristik yang akan dibahas meliputi umur dan jenis kelamin.

Berdasarkan data program pengendalian penyakit DBD Dinas Kabupaten Bondowoso, distribusi kasus DBD menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat ditunjukkan pada gambar 1 sebagai berikut:

(5)

Gambar .1 Distribusi Kasus DBD menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bondowoso Tahun 2011-2013

Sumber: Data Terolah Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2013

Dari Gambar .1 distribusi kasus DBD pada tahun 2011-2013 menunjukan grafik yang hampir sama antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pada tahun 2011 dan 2013, distribusi kasus DBD lebih merata baik pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada tahun 2012, penderita kasus DBD lebih banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dengan 101 kasus (62%) daripada jenis kelamin perempuan dengan 61 kasus (38%).

Umur merupakan variabel yang penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan yang terjadi. Penggolongan umur pada tahun 2011-2012 dibedakan atas: <1 tahun, 1-4 tahun, 5-9 tahun, 10-14 tahun, dan ≥15 tahun. Sedangkan pada

tahun 2013 terdapat perubahan format pelaporan dalam penggolongan umur yang dibedakan atas: <1 tahun, 1-4 tahun, 5-14 tahun, 15-44 tahun dan ≥45 tahun.

Berdasarkan data kasus DBD berdasarkan jenis golongan umur Kabupaten Bondowoso pada tahun 2012 dan 2013, didapatkan hasil sebagai berikut :

Gambar .2 Distribusi Kasus DBD menurut Golongan Umur di Kabupaten Bondowoso pada Tahun 2011-2012

Sumber: Data Terolah Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2013 2011 2012 2013 laki-laki 36 101 233 perempuan 11 61 227 0 50 100 150 200 250 ju m lah k as us Distribusi Kasus DBD Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bondowoso Tahun

2011-2013 <1 th 1-4th 5-9th 14 th10- >15th 2012 1 9 10 12 130 2011 2 3 13 9 40 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 ju m lah k as us

Distribusi Kasus DBD Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bondowoso Tahun 2011-2012

(6)

Berdasarkan Gambar .2 dapat diketahui bahwa kasus DBD yang terjadi pada tahun 2011-2012 di Kabupaten Bondowoso tertinggi pada kelompok umur produktif (>15 tahun) yaitu secara berturut-turut sebanyak 40 kasus (60%) dan 130 kasus (80%) dari seluruh golongan umur.

Gambar .3 Distribusi Kasus DBD menurut Golongan Umur di Kabupaten Bondowoso pada Tahun 2013

Sumber: Data Terolah Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2013

Berdasarkan Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa kasus DBD yang terjadi pada tahun 2013 meningkat secara signifikan di Kabupaten Bondowoso. Kasus DBD tertinggi pada kelompok umur produktif (15-44 tahun) yaitu 253 kasus atau 55% dari seluruh golongan umur.

Distribusi berdasarkan tempat dapat menggambarkan kejadian kasus suatu masalah atau penyakit. Pola ini dapat

digunakan untuk mengetahui daerah risiko tinggi sekaligus perkembangan kasus DBD di setiap daerah sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian nyamuk penular DBD sesuai dengan tingkat kerawanan daerah tersebut. Berikut ini distribusi kasus DBD menurut kecamatan berdasarkan data program pengendalian penyakit DBD Kabupaten Bondowoso tahun 2011-2013:

Gambar .4 Distribusi Kasus DBD menurut Kecamatan di Kabupaten Bondowoso pada Tahun 2011-2013

Sumber: Data Terolah Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2013

Kabupaten Bondowoso terdiri dari 23 kecamatan. Berdasarkan Gambar 4. menunjukan bahwa pada tahun 2011-2013

1%4% 21%

55% 19%

Distibusi Kasus DBD Menurut Golongan Umur Kabupaten

Bondowoso Tahun 2013 <1 th 1-4 th 5-14 th 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 ju m lah k as us kecamatan

Distribusi Kasus DBD Menurut Kecamatan Kabupaten Bondowoso

Tahun 2011-2013

2011 2012 2013

(7)

kasus DBD tersebar di seluruh kecamatan Kabupaten Bondowoso. Dari semua kecamatan yang ada, 12 kecamatan di antaranya selalu terdapat kasus/kejadian dan mengalami peningkatan terus menerus selama tiga kurun waktu (2011-2013) berturut-turut, yaitu Kecamatan Bondowoso, Kecamatan Tenggarang, Kecamatan Curahdami, Kecamatan Tegalampel, Kecamatan Taman Krocok, Kecamatan Pakem, Kecamatan Pujer, Kecamatan Maesan, Kecamatan Sukosari, Kecamatan Grujugan, dan Kecamatan Wringin dan Kecamatan Tapen.

Peningkatan kasus DBD pada tahun 2013 telah tersebar di berbagai desa/kelurahan Kabupaten Bondowoso sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Terdapat 220 desa yang tersebar di wilayah Kecamatan, Kabupaten Bondowoso. Berikut stratifikasi desa/kelurahan Kabupaten Bondowoso tahun 2013:

Gambar .5 Stratifikasi Desa/Kelurahan di Kabupaten Bondowoso Tahun 2013 Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa proporsi daerah endemis DBD sebesar 10% dari 220 desa/kelurahan atau terdapat sekitar 22 desa/kelurahan yang endemis DBD. Persebaran kasus DBD berdasarkan stratifikasi desa/kelurahan Kabupaten Bondowoso dapat digambarkan sebagai berikut: 10.00% 64.09% 5.45% 20.45% Stratifikasi Desa/Kelurahan DBD di Kabupaten Bondowoso Tahun 2013 Endemis Sporadis Potensial

(8)

Gambar .6 Sebaran Kasus DBD berdasarkan Stratifikasi Desa/Kelurahan Kabupaten Bondowoso Tahun 2013

Sumber: Data Sekunder Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2013

Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa 22 desa/kelurahan endemis DBD tersebar di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Bondowoso, Kecamatan Tenggarang, Kecamatan Curahdami, Kecamatan Pakem, Kecamatan Wringin, Kecamatan Grujugan, Kecamatan Pujer, Kecamatan Tapen, Kecamatan Sukosari, Kecamatan Prajekan, dan Kecamatan Cermee.Salah satu kegiatan dalam surveilans epidemiologis adalah menentukan musim penularan DBD melalui kegiatan pengumpulan dan

pencatatan data.

Berdasarkangrafikpolamaksimumkasus

DBD tahun 2009-2012

dibandingkandengantahun 2013 adalahmusim penularan kasus DBD tertinggi terjadi pada tribulan 1 (Januari-Maret), menurun pada bulan April-Mei dan mulai merangkak naik kembali pada bulan Juni terus menurun sampai bulan September. Kasus terendah terdapat pada bulan September, kemudian meningkat kembali sampai bulan November. Bulan

Desember juga perlu diwaspadai karena ada kecenderungan untuk naik.

b. Kepadatan Penduduk

Menurut Badan Pusat Statistik (2013), kepadatan penduduk yaitu banyaknya jumlah penduduk untuk setiap kilo meter persegi luas wilayah. Kepadatan penduduk kasar merupakan ukuran persebaran penduduk yang umum digunakan karena selain data dan cara penghitungannya sederhana, ukuran ini sudah distandarisasi dengan luas wilayah. Kepadatan penduduk adalah perbandingan antara banyaknya penduduk dan luas wilayahnya. Satuan luas wilayah yang umumnya digunakan adalah km2. Kepadatan penduduk dibedakan menjadi dua, yaitu kepadatan penduduk aritmatik

dan kepadatan penduduk

agraris.Bedasarkan data yang diperolehdaridinaskesehatankabupatenbon dowoso, 2013 diketahuikepadatanpenduduktertinggiada di kecamatanBondowosodanterendah di kecamatansempol. c. Insidens Rate DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama

(9)

2-7 hari. Manifestasi perdarahan (petechiae, purpura, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Tourniquet (Rumple Leede) positif. Mengalami trombositopeni yaitu jumlah trombosit ≤ 100.000/μl dan hemokonsentrasi yaitu

peningkatan hematokrit ≥20%, disertai

dengan atau tanpa pembesaran hati (hematomegali) (Ditjen PP dan PL, 2005).

Insidens Rate adalah jumlah kasus DBD pada wilayah tertentu dibagi jumlah penduduk dalam waktu yang sama dikalikan 100.000 penduduk. Angka kejadian DBD di beberapa kecamatanBondowosomemiliki IR tertinggidankecamatansempoldantamanant erendah.

d. Kepadatan Penduduk dan Insiden Rate DBD

Untuk mengetahui indikasi hubungan antara angka kejadian DBD dan kepadatan penduduk di Kabupaten Bondowoso tahun 2012, maka dapat digambarkan melalui scatter plot seperti dibawah ini:

Gambar 7.Scatter Plot indikasikorelasi antara IR dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Bondowoso Tahun 2013

Sumber: Data Terolah Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, 2013

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa scatter plot membentuk pola yang menyerupai garis lurus yang disebut hubungan linier sehingga menggambarkan hubungan yang erat dan postif antara angka kejadian DBD dan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk yang tinggi dan jarak rumah yang sangat berdekatan membuat penyebaran penyakit DBD lebih intensif di wilayah perkotaan daripada wilayah pedesaan karena jarak rumah yang berdekatan memudahkan nyamuk menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada disekitarnya (Lestari, 2007 dalam Maria, 2013).

(10)

Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah satu faktor risiko penularan penyakit DBD. Semakin padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya (Fathi, et al,2005).

Peningkatan kasus DBD pada tahun 2011-2013 merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang perlu mendapat perhatian penuh karena terdapat kecenderungan untuk terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Serangkaian kegiatan dilakukan dalam menanggulangi kasus DBD untuk mencegah semakin meningkatnya jumlah penderita dan kematian DBD di Kabupaten Bondowoso.

Kesimpulan dan Saran

Simpulan dari penelitian ini adalah:

1. Gambaran kasus DBD yang terjadi di Kabupaten Bondowoso menunjukan presentase yang hampir sama antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Penderita DBD tertinggi pada kelompok umur produktif yaitu 15-44 tahun. Terdapat 12 kecamatan yang selalu ada kasus/kejadian dan mengalami peningkatan terus menerus selama 3 kurun waktu (2011-2013) berturut-turut, yaitu Kecamatan

Bondowoso, Kecamatan Tenggarang, Kecamatan Curahdami, Kecamatan Tegalampel, Kecamatan Taman Krocok, Kecamatan Pakem, Kecamatan Pujer, Kecamatan Maesan, Kecamatan Sukosari, Kecamatan Grujugan, dan Kecamatan Wringin dan Kecamatan Tapen. Musim penularan kasus DBD tertinggi terjadi pada tribulan 1 (Januari-Maret), menurun pada bulan April-Mei dan mulai merangkak naik kembali pada bulan Juni terus menurun sampai bulan September. Kasus terendah terdapat pada bulan September, kemudian meningkat kembali sampai bulan November. Pada bulan Desember juga perlu diwaspadai karena ada kecenderungan untuk naik 2. Kepadatan penduduk di Kabupaten

Bondowoso tertinggi di Kecamatan Bondowoso dan terendah kecamatan Sempol

3. Insidens rate Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bondowoso tertinggi di Kecamatan Bondowoso 4. Terdapat indikasi hubungan antara

kepadatan penduduk dengan insidens rate DBD di Kabupaten Bondowoso

(11)

Saran yang diberikan adalah:

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD dan pentingnya kegiatan PSN baik secara individu maupun kelompok dengan menggunakan media yang lebih efektif

2. Masyarakat di daerah padat penduduk dan endemis DBD di harapkan melakukan PSN DBD secara rutin dan menjadi pemantau jentik di rumahnya sendiri agar terhindar dari penyakit DBD.

Daftar Pustaka

Chandra, B.2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC

Badan Pusat Statistik. Kabupaten Bondowoso dalam Angka Tahun 2013. [serial online]. www.bps.co.id (13 Maret 2014)

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2012. Jumlah Kasus DBD menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota.

[serial online]. http://dinkes.jatimprov.go.id/userfile /dokumen/1380615433_LAMPIRA N_PROFIL_KESEHATAN_PROVI NSI_JAWA_TIMUR_2012.pdf (2 Maret 2014)

Ditjen PP dan PL. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

Ditjen PP dan PL. 2012. Petunjuk Teknis Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Farid, M. 2009. Analisis spasial kasus demam berdarah dengue (DBD) di kota Bima provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2005-2007. Thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Fathi, et al. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. [serial online].

http://download.portalgaruda.org/arti cle.php?article=18193&val=1132 (26 maret 2013)

Hakim, L. 2010. Hubungan Jumlah dan Kepadatan Penghuni Rumah Serta Keberadaan Nyamuk Dengan Frekuensi Menggigity Nyamuk Aedes Aegypti Saat Mencari Darah di Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. (serial online) di unduh pada 17 april 2014

Kementerian Kesehatan. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Topik Utama Demam Berdarah. [serial online]. http://www.depkes.go.id/downloads/ publikasi/buletin/BULETIN%20DB D.pdf (26 Februari 2014)

Maria, 2013. Faktor Risiko Kejadian DBD di kota Makasar tahun 2013 [serial online].

http://repository.unhas.ac.id/bitstrea m/handle/123456789/5820/ita%20m aria_faktor%20risiko

(12)

Natalia, Aryanti.2012. Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue Ditinjau dari Aspek Petugas si Tingkat Puskesmas Kota Semarang Tahun 2011. [serial online] http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/ download/1099/1122 (3 Maret 2014) Noor, N. 2008, Epidemiologi.Jakarta:

Gambar

Gambar .1 Distribusi  Kasus  DBD menurut  Jenis  Kelamin  di  Kabupaten Bondowoso Tahun 2011-2013
Gambar .4 Distribusi  Kasus  DBD menurut  Kecamatan  di  Kabupaten Bondowoso pada Tahun 2011-2013
Gambar .5 Stratifikasi  Desa/Kelurahan di Kabupaten Bondowoso Tahun 2013
Gambar 7.Scatter  Plot indikasikorelasi antara  IR  dan  Kepadatan  Penduduk Kabupaten Bondowoso Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

kebutuhan biaya investasi yang tidak terlalu tinggi, usaha pengolahan limbah kulit kakao menjadi pektin menjadi reasonable untuk dilakukan oleh petani. Tingkat

Aklimatisasi dilakukan agar bibit rumput laut yang dihasilkan secara in vitro dapat ber- adaptasi dengan lingkungan budidaya, se- dangkan propagasi di tambak dilakukan untuk

Selain menunjukkan bahwa semakin tinggi tekanan yang diberikan oleh bahan bakar maka semakin tinggi juga putaran mesin yang dihasilkan, gambar 4 juga menunjukkan bahwa

Berdasarkan permasalahan diatas penulis mencoba menerapkan model tersebut dalam proses pembelajaran dengan judul skripsi “Penerapan Model Problem Based Learning

Pada hal ini pengumpulan data observasi lapangan ini dilakukan di wilayah Bandung Barat untuk menemukan data faktual terkait dengan kondisi kebutuhan akan tanaman

Ukuran Manufacturing Cycle Effectiveness (MCE) tersebut dapat digunakan oleh pihak perusahaan untuk merencanakan program pengurangan atau penghilangan aktivitas bukan

Penulisan ini bertujuan untuk mengulas keunggulan-keunggulan menggunakan media e- commerce sebagai sarana promosi yang cepat dan tepat lewat dunia maya