• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS SPERMA (Physeter macrocephalus) BERBASIS TRADITIONAL ECOLOGICAL KNOWLEDGE (TEK) DI LAMALERA, NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS SPERMA (Physeter macrocephalus) BERBASIS TRADITIONAL ECOLOGICAL KNOWLEDGE (TEK) DI LAMALERA, NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS SPERMA

(Physeter macrocephalus)

BERBASIS

TRADITIONAL

ECOLOGICAL KNOWLEDGE

(TEK) DI LAMALERA,

NUSA TENGGARA TIMUR

SARI RAMADHAN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengelolaan Sumberdaya Paus Sperma (Physeter macrocephalus) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamalera, Nusa Tenggara Timur “ adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2015 Sari Ramadhan NIM C24100025

(4)

ABSTRAK

SARI RAMADHAN. Pengelolaan Sumberdaya Paus Sperma (Physeter macrocephalus) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh M MUKHLIS KAMAL dan LUKY ADRIANTO.

Kegiatan penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) di Lamalera merupakan kegiatan penangkapan dengan teknik dan teknologi tradisional. Mamalia laut ini ditangkap dengan perahu kayu dengan alat tangkap sederhana berupa tempuling atau harpoon. Paus sperma hasil tangkapan berukuran antara 4,5-20 m untuk jantan dan 5-14 m untuk betina. Jumlah tangkapan paus sperma sejak tahun 1991 hingga 2014 sebanyak 407 individu. Traditional Ecological Knowledge (TEK) yang terdapat di dalam masyarakat Lamalera terkait dengan kegiatan penangkapan paus sperma yaitu pengetahuan mengenai daerah penangkapan, teknologi dan teknik penangkapan, serta pengaturan mengenai musim penangkapan. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM) merupakan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya paus sperma yang dapat diterapkan di Desa Lamalera.

Kata kunci: paus sperma, penangkapan tradisional, traditional ecological knowledge (TEK)

ABSTRACT

SARI RAMADHAN. Traditional Ecological Knowledge-Based Management Whaling for Sperm Whale (Physeter macrocephalus) in Lamalera, East Nusa Tenggara. Supervised by M MUKHLIS KAMAL and LUKY ADRIANTO.

Traditional whaling on sperm whale (Physeter macrocephalus) has been performing using wooden boat equipped with harpoon. The range of body length of harvested sperm whales in Lamalera were approximately 4,5 – 20 m and 5 – 14 m for males and females, respectively. During the period between 1991 and 2014, there were 407 indivudual of spermwhale caught with fluctuating number collected from year to year. Local community of Lamalera apply the traditional ecological knowledge (TEK) of whaling in terms of selecting whaling area, using friendly technique and technology, and comply with regulation on whaling season. Community-based management can be applied to contribute in developing local community.

Keywords: sperm whale, traditional whaling, traditional ecological knowledge (TEK)

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PAUS SPERMA

(Physeter macrocephalus)

BERBASIS

TRADITIONAL

ECOLOGICAL KNOWLEDGE

(TEK) DI DESA LAMALERA,

NUSA TENGGARA TIMUR

SARI RAMADHAN

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan karunia-Nya, skripsi yang berjudul “Pengelolaan Sumberdaya Paus Sperma (Physeter macrocephalus) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Lamalera, Nusa Tenggara Timur” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan Penulis untuk melaksanakan studi.

2. Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc yang telah mendanai penelitian.

3. Bapak Farid beserta seluruh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur.

4. Kepala Desa Lamalera A Bapak Yosef Immanuel Molon Dasion dan Kepala Desa Lamalera B Bapak Thomas Sabon Krova serta seluruh warga Desa Lamalera A dan B yang telah memberikan izin Penulis untuk melaksanakan penelitian.

5. Bapak Alowisius Geneser Tapoona dan Bapak Rison yang telah banyak memberikan pelajaran selama penelitian, serta semua nelayan desa Lamalera.

6. Bapak Paulus Tapoona (alm) dan Bapak Frans Keraf yang telah memberikan izin menggunkan catatannya untuk dijadikan data sekunder oleh Penulis.

7. Ir Zairion, MSc selaku dosen pembimbing akademik atas dukungan dan arahan.

8. Dr Ir M. Mukhlis Kamal, MSc dan Dr Ir Luky Adrianto, MSc selaku pembimbing skripsi, dan Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi yang telah memberikan kritik, arahan, dan saran.

9. Dr Ir Etty Riani, MS selaku penguji tamu Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

10.Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku penguji perwakilan Komisi Pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

11.Keluarga: Ayah (Agus Sutejo), ibu (Sri Eka Wati), kakak (Tantri Pratama), dan adik (Yulta Maulidinia).

12.Bapak Niko Batafor dan Keluarga atas semua dukungan dan bantuan. 13.Frater Pierto Adriano (Pice) yang telah membantu dalam penelitian. 14.Mama Shinta dan Mama Etty .

15.Keluarga Besar MSP 47.

16.Keluarga Besar Uni Konservasi Fauna IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015 Sari Ramadhan

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 3

Lokasi dan Waktu 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Hasil 4

Pembahasan 16

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Keterangan sistem pembagian hasil tangkapan 13

2 Komponen traditional ecological knowledge (TEK) yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan paus sperma (Physeter

macrocephalus) di Desa Lamalera 15

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi paus sperma (Physeter macrocephalus) 5 2 Distribusi paus sperma (Physeter macrocephalus) 7

3 Grafik penggunaan perahu motor (jhonson) 8

4 Sistem pembagian kerja 9

5 Jumlah tangkapan paus sperma(Physeter macrocephalus) 11 6 Peta daerah penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) 11 7 Sebaran frekuensi panjang paus sperma (Physeter macrocephalus)

periode 2007-2014 11

8 Jumlah tangkapan per bulan paus sperma (Physeter macrocephalus)

periode 2007-2014 12

9 Sistem pembagian hasil tangkapan paus sperma (Physeter

macrocephalus) 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 23

2 Peta Pulau Flores dan Pulau Kawula 23

3 Mata pencaharian penduduk Desa Lamalera 24

4 Daftar nama suku dan peledang di Desa Lamalera 24 5 Alat penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) 25

6 Perahu bermesin 25 PK (Jhonson) 26

7 Proses penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) 26

8 Proses penjemuran hasil tangkapan 27

9 Produk hasil olahan 27

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan Indonesia merupakan wilayah penting bagi migrasi 30 jenis Cetacea khususnya paus dan lumba-lumba. Paus dan lumba-lumba melakukan perjalanan atau migrasi dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Perairan Indonesia, terutama melewati Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Laut Sawu merupakan laut dalam yang dibatasi oleh Pulau Timor, Rote, Sumba, Flores, Solor, Alor, dan Lembata. Laut Sawu memiliki keanekaragaman Cetacea yang cukup tinggi, terdapat 19 jenis Cetacea di perairan ini salah satu diantaranya paus sperma (Physeter macrocephalus) (Kahn et al. 2000 in Dharmadi dan Wiadnyana 2011).

International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) mengkategorikan paus sperma ke dalam status vulnerable (VU) yang berarti rentan. Populasi global spesies ini menurun sejak tahun 1700 hingga tahun 2000-an. Penurunan populasi paus sperma terjadi secara drastis pada tahun 1950 hingga 1970-an akibat adanya penangkapan komersial dalam skala besar di beberapa wilayah seperti Pasifik Utara dan Antartika (Taylor et al. 2008).

Paus sperma (P. macrocephalus) dimanfaatkan oleh sekelompok masyarakat di Indonesia, tepatnya masyarakat Lamalera yang terdapat di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Spesies ini dijadikan spesies target dalam tradisi berburu oleh masyarakat Lamalera. Perburuan paus di Lamalera telah dilakukan sejak tahun 1643 (Barnes 1996). International Whaling Commision (IWC) mengkategorikan kegiatan penangkapan ini sebagai subsistence whaling karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, serta tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (Desrianti 2011). Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, masyarakat nelayan Lamalera disebut sebagai nelayan kecil karena menangkap paus hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kegiatan penangkapan paus yang dilakukan masyarakat Lamalera menggunakan teknik dan teknologi, serta aturan yang diwariskan antar generasi melalui tradisi lisan. Pengetahuan mengenai teknik dan teknologi berburu serta karakteristik sumberdaya seperti pengenalan jenis, distribusi dan pola perilaku merupakan bagian dari pengetahuan ekologi tradisional atau traditional ecological knowlege (TEK). Pengetahuan ekologi tradisional dibangun berdasarkan pengalaman, bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan, sehingga TEK dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan sumberdaya secara tradisional (Berkes 2008 in Desrianti 2011).

Pengelolaan sumberdaya perikanan secara umum bertujuan untuk menjamin kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya perikanan secara tradisional dilakukan dengan mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal, serta memperhatikan peran masyarakat lokal. Pengelolaan tradisional juga berlandaskan pada pengetahuan ekologi tradisional yang dimiliki masyarakat lokal dan keahlian mereka dalam memanfaatkan serta menjaga ketersediaan sumberdaya. Hal ini juga yang dilakukan oleh masyarakat nelayan

(12)

2

Lamalera dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya paus sperma untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Informasi mengenai pengetahuan ekologi tradisional dan kondisi terkini sumberdaya paus sperma yang meliputi faktor bio-ekologi dan tingkat pemanfaatan di Desa Lamalera sangat penting untuk dikaji. Hal ini diperlukan untuk menilai keberlanjutan sumberdaya paus sperma dan penangkapan paus sperma di Lamalera, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun strategi pengelolaan sumberdaya paus sperma di Desa Lamalera, Kabupaten Lembata.

Perumusan Masalah

Penangkapan paus sperma di Desa Lamalera merupakan kegiatan penangkapan yang legal menurut International Whaling Commision (IWC). IWC mengkategorikan penangkapan paus sperma yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera termasuk dalam subsistence whaling karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil dan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Masyarakat Lamalera memiliki aturan tersendiri dalam berburu mamalia laut di perairan Laut Sawu. Aturan tersebut meliputi aturan mengenai teknik dan teknologi penangkapan, jenis paus yang ditangkap, daerah penangkapan, dan sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya paus sperma secara arif dan tradisional. Informasi mengenai bio-ekologi, aktivitas penangkapan, dan traditional ecological knowledge (TEK) yang terdapat di masyarakat Lamalera terkait sumberdaya paus sperma sangat sedikit, sehingga sangat penting untuk dikaji. Hal ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun strategi pengelolaan sumberdaya paus sperma di Desa Lamalera, Kabupaten Lembata.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji aspek bio-ekologi paus sperma dan mengidentifikasi pengetahuan ekologi tradisional (TEK) pada kegiatan penangkapan sumberdaya paus sperma (Physeter macrocephalus) sebagai bahan rekomendasi pengelolaan paus sperma di Desa Lamalera.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:

1. Institusi, dalam hal ini Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor berupa sumbangan ilmu pengetahuan baru mengenai pengelolaan sumberdaya Paus Sperma berbasis pengetahuan ekologi tradisional (TEK) di Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur.

2. Masyarakat lokal, berupa informasi terkini kondisi sumberdaya paus sperma yang dapat dijadikan landasan pengelolaan di masa depan.

3. Negara, dalam hal ini Kementerian Perikanan dan Kelautan berupa informasi-informasi yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam perumusan

(13)

3 kebijakan pengelolaan dan perlindungan paus sperma di Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lamalera Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lampiran 1). Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni hingga Juli 2014.

Metode Pengumpulan Data Data primer

Data primer diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam (in-depth interview dan pemetaan partisipatif. Observasi dilakukan dengan mengamati langsung morfologi biota yang diteliti dan mengamati kegiatan penangkapan sumberdaya paus sperma. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan kepada informan yang dipilih secara sengaja (purposive) mengenai pengetahuan ekologi tradisional terkait penangkapan paus sperma di Lamalera. Pemetaan partisipatif menggunakan peta dasar nomor 301 (Dinas Hidrologi dan Oseanografi TNI AL 1989) (Lampiran 2). Pemetaan partisipatif dilakukan dengan melibatkan partisipasi langsung nelayan Lamalera untuk mengetahui daerah penangkapan paus sperma di perairan Laut Sawu.

Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Studi dokumentasi dilakukan dengan mencatat data hasil tangkapan paus sperma dari log book nelayan Lamalera dan data demografi Desa Lamalera dari pemerintah desa. Studi literatur diperoleh melalui hasil penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Analisis Data Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk menyajikan data deskriptif dalam bentuk teks naratif, bagan, dan grafik. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengacu pada konsep Miles dan Huberman (1994), yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Reduksi data adalah kegiatan merangkum data lapangan dengan difokuskan pada data penting yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Hasil reduksi data kemudian disajikan untuk diperoleh kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh bersifat sangat tentatif, sehingga perlu dilakukan verifikasi data untuk menjamin kepercayaan hasil penelitian.

(14)

4

Analisis distribusi frekuensi panjang

Analisis distribusi frekuensi dilakukan untuk melihat sebaran ukuran panjang paus sperma yang ditangkap oleh nelayan Lamalera periode 2007-2014. Data sebaran frekuensi panjang dianalisis berdasarkan Strurges rule (Akaike 1974).

Analisis spasial sederhana

Analisis spasial sederhana digunakan untuk mengetahui daerah penangkapan paus sperma oleh nelayan Lamalera di perairan Laut Sawu. Data yang diperoleh dari pemetaan partisipatif berupa titik dan batas wilayah penangkapan, kemudian dituangkan ke dalam standar peta dengan menggunakan perangkat lunak berbasis GIS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Deskripsi daerah penelitian

Desa Lamalera secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Lembata, dengan koordinat 1240 - 1350 BT dan 80 - 90 LS. Secara administratif, pemerintahan Desa Lamalera dibedakan menjadi dua yaitu, Desa Lamalera A dan Desa Lamalera B . Desa Lamalera memiliki wilayah 16 hektar dengan panjang garis pantai sekitar 150 meter. Jumlah total penduduk Desa Lamalera sebanyak 1835 jiwa dengan 492 kepala keluarga.

Desa Lamalera memiliki karakteristik topografi berbukit dan berbatu dengan kondisi tanah yang tandus. Kondisi ini tidak memungkinkan masyarakat Lamalera untuk melakukan kegiatan pertanian sehingga, kegiatan perekonomian masyarakat Lamalera ditopang oleh sumberdaya laut. Sekitar 67 % masyarakat Lamalera berprofesi sebagai nelayan dan terlibat secara langsung dalam kegiatan penangkapan paus sperma (Lampiran 3).

Suku memiliki peranan dan andil yang sangat besar bagi masyarakat Lamalera, terutama yang berhubungan dengan tradisi penangkapan paus sperma. Saat ini terdapat 19 suku yang hidup dan berkembang di Desa Lamalera. Masing-masing suku memiliki sarana untuk melakukan kegiatan penangkapan paus sperma di perairan Lamalera (Lampiran 4).

Sumberdaya paus sperma (Physeter macrocephalus) Morfologi dan klasifikasi

Paus sperma (Physeter macrocephalus) termasuk dalam kelas Mamalia ordo Cetacea, yaitu kelompok mamalia laut sepenuhnya menyesuaikan dengan kehidupan air, termasuk paus dan lumba-lumba (Yusron 2012). Spesies ini adalah paus dengan ukuran terbesar dalam subordo Odontoceti atau Cetacea bergigi. Karakeristik cetacea bergigi adalah adanya gigi dengan jumlah dan ukuran bervariasi. Klasifikasi paus sperma menurut Linnaeus (1758) in EOL (2014) adalah sebagai berikut.

(15)

5 Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Cetacea Subordo : Odontoceti Family : Physteridae Genus : Physeter

Spesies : Physeter macrocephalus Common name : Sperm Whale

Nama Lokal : Koteklema

Gambar 1 Morfologi paus sperma (Physeter macrocephalus)

Physeter macrocephalus memiliki kepala yang sangat besar dengan ukuran sepertiga dari panjang tubuhnya. Spesies ini memiliki lubang tiup (blowhole) tunggal yang terletak pada bagian kiri kepala (Gambar 1). Kepala bagian depan juga dipenuhi zat lilin berwarna putih disebut spermatocite, yang berfungsi untuk membantu mengapung dan menyelam di dalam air (Clarke 1978), serta mengatur sonar (Noris dan Harvey 1972). Selain itu dengan bantuan organ spermaceti, paus sperma dapat bertahan di bawah air sampai 90 menit dan menyelam sampai kedalaman 3000 (Papastavrou et al. 1989).

Paus bergigi ini memiliki warna tubuh yang didominasi hitam dan abu-abu kecoklatan, terkadang pada bagian bawah berwarna abu-abu putih. Paus sperma menunjukkan dimorfisme seksual yang kuat dalam hal ukuran tubuh. Paus jantan memiliki ukuran tubuh jauh lebih besar dibandingkan paus betina. Paus jantan tumbuh hingga 15-18 meter dan ukuran betina 11-12 meter (Rice 1989 in Whitehead 1993).

Kebiasaan makan

Makanan utama paus sperma adalah cumi-cumi besar dengan ukuran 0,2-1,0 meter (Evans 1997), selain itu gurita dan ikan demersal seperti pari, dan hiu, juga dimakan (Clarke 1980 dan Rice 1989 in Evans 1997). Paus sperma di Perairan

(16)

6

Lamalera (Laut Sawu) memakan cumi-cumi dan gurita. Paus sperma mencari makan secara rutin sepanjang tahun dengan jumlah konsumsi makanan sebesar 3,0-3,5% dari total berat badan Paus sperma mengalokasikan 75% waktu mereka untuk mencari makan (Whitehead 2001 in Sagnol 2014).

Reproduksi

Kematangan fisik pada paus sperma dicapai pada usia ± 30 tahun untuk jantan dan 25 tahun untuk betina. Menurut Rice (1989) in Whitehead (1993), paus sperma betina mencapai kematangan fisik pada ukuran ± 10,7 m biasanya ditemukan di lintang kurang dari 40º dan yang paling umum di perairan tropis. Paus jantan dewasa mencapai kematangan fisik pada ukuran ± 15,7 m umumnya ditemukan di perairan dingin (Rice 1989 in Whitehead 1993) dan akan bermigrasi ke perairan lintang rendah yang lebih hangat untuk kawin (Whitehead 2003 in Gero et al. 2009).

Masa kehamilan paus betina selama 14-16 bulan dengan bayi paus yang baru lahir berukuran panjang 4 m dan berat 1 ton. Bayi paus dirawat dan disusui oleh induk betina selama 2 tahun. Rata-rata betina akan melahirkan 7-10 bayi dengan jarak antara kelahiran 4-6 tahun (Best et al. 1984 in Carroll et al. 2014). Respirasi dan osmoregulasi

Mamalia laut termasuk paus sperma bernapas menghirup udara di permukaan melalui lubang pernapasan (blowhole). Paus sperma bernapas selama delapan menit dan menyemburkan sebanyak 3-5 kali per menit dan meningkat menjadi 6-7 kali per menit setelah menyelam. Paus sperma mampu beradaptasi terhadap perubahan tekanan yang drastis saat menyelam dengan cara mengurangi asupan nitrogen dan menurunkan metabolisme untuk menghemat oksigen (Tyack et al. 2006). Mioglobin pada darah mampu menyimpan oksigen dalam jaringan otot, jauh lebih banyak dari pada hewan darat, sehingga paus sperma mampu menyelam dalam waktu yang lama (Noren dan William 2000).

Paus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang hiperosmotik melalui perkembangan osmoregulasi yang sangat baik. Mekanisme yang dilakukan yaitu dengan mengeluarkan urin yang sangat hipertonik atau pekat (Birukawa et al.

2015). dan dengan memasukkan air kedalam tubuh melalui makanan. Sehingga

sistem osmoregulasi cetacea berbeda tergantung pada jenis mangsa yang dikonsumsi (Costa 2002). Hasil penelitian Birukawa et al. (2015) menunjukkan

bahwa paus bergigi teramasuk paus sperma memiliki konsentrasi urea dalam

plasma dan urin lebih rendah dibandingkan dengan paus balin.

Distribusi

Paus sperma terdistribusi secara luas di seluruh dunia, meliputi laut tropis, subtropis, dan lautan sub kutub dari kedua belahan bumi (Evans 1997). Habitat paus sperma adalah laut terbuka dengan kedalaman lebih dari 1.000 m dan tidak tertutup oleh es, kecuali di Laut Hitam dan Laut Merah (Whitehead 2003 in Taylor et al. 2008). Paus sperma sering dijumpai di perairan dengan produktivitas primer yang relatif tinggi (Jaquet dan Whitehead 1999), seperti halnya perairan Laut Sawu yang dinilai sangat subur karena dilalui oleh arus lintas Indonesia (ARLINDO) yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera

(17)

7 Hindia (Fitriya dan Lukman 2013). Distribusi paus sperma di dunia disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Distribusi paus sperma (Physeter macrocephalus) Sumber : EOL (2014).

Paus sperma dan Cetacea pada umumnya sering dijumpai pada bulan Juni hingga Agustus, atau selama musim angin tenggara (southeast Monsoon) di perairan Lamalera (Fitriya dan Lukman 2013). Penyebaran spesies ini di Indonesia meliputi Laut Sulu, Laut Sulawesi, Laut Halmahera, Laut Flores, sebagian Laut Banda, perairan sekitar Ambon, bagian timur Pulau Alor, lepas pantai Lamalera, dan di perairan sekitar Pulau Komodo (Rudolph et al. 1997).

Penangkapan sumberdaya paus sperma (Physeter macrocephalus) Alat tangkap

Penangkapan paus sperma di Lamalera dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti, peledang (perahu), tempuling (harpoon), tali, layar, dan dayung (Lampiran 5). Peledang atau tena laja adalah perahu yang terbuat dari kayu dengan ukuran panjang 11 m dan tinggi 1,5 m. Tempuling adalah tombak besi berukuran 40 cm yang digunakan untuk menikam atau menombak paus sperma. Dayung dan layar digunakan untuk meningkatkan kecepatan laju perahu. Alat-alat tersebur yang diizinkan untuk digunakan dalam berburu paus sperma.

Saat ini penangkapan paus sperma dipermudah dengan adanya penggunaan perahu dengan mesin yang oleh masyarakat lokal disebut jhonson (Lampiran 6). Perahu bermesin tersebut digunakan untuk menarik peledang ketika menuju ke daerah penangkapan dan kembali ke daratan. Penggunaan perahu motor di Desa Lamalera mengalami peningkatan sejak tahun 1998 hingga 2014 (Gambar 3). Mesin yang digunakan adalah tipe mesin motor tempel berukuran 15 PK dan 25 PK dengan bahan bakar bensin. Satu kali operasi penangkapan paus sperma biasanya membutuhkan 60 liter bensin dan 2 liter oli.

(18)

8

Gambar 3 Grafik penggunaan perahu motor (jhonson) Sumber: Egami dan Kojima (2013) dan Data primer (2014)

Pembuatan peledang diawali dengan musyawarah yang dipimpin oleh kepala suku dan selanjutnya pembuatan peledang dipimpin oleh seorang atamola, yaitu seseorang yang dipercaya oleh masyarakat Lamalera sebagai pembuat perahu. Peledang yang dibuat oleh atamola dirancang secara khusus agar perahu dapat bergerak dengan cepat dan tahan terhadap pukulan paus. Kayu adalah bahan utama dalam pembuatan peledang, sedangkan besi sama sekali tidak boleh digunakan. Keseluruhan pembuatan peralatan yang digunakan untuk berburu paus dibuat dengan aturan dan ketentuan yang sudah ada.

Operasi dan organisasi penangkapan

Kegiatan penangkapan paus sperma atau koteklema di Desa Lamalera dilakukan dengan menggunakan alat sederhana dan dilakukan dengan prinsip kebersamaan. Paus ditangkap dengan menggunakan tempuling bersamaan dengan bambu dan tali yang dioperasikan menggunakan tangan. Operasi penangkapan paus sperma meliputi tahap-tahapan yaitu, persiapan, perjalanan menuju lokasi penangkapan, proses menikam, dan pendaratan hasil tangkapan (Lampiran 7).

Berburu paus adalah bagian dari kehidupan masyarakat Lamalera. Satu kali operasi penangkapan, paledang atau tena laja biasanya berisi 8-13 nelayan yang terdiri dari lamafa, asisten lamafa, matros, dan pengemudi. Pembagian kerja dalam satu peledang sudah sangat jelas berdasarkan fungsi masing-masing anggota. Tena laja dipimpin oleh seorang lamafa atau juru tikam yang bertugas untuk menancapkan tempuling pada paus yang dijadikan target. Asisten juru tikam berada di belakang lamafa, asisten juru tikam bertugas untuk mengatur matros dan pengemudi agar tena laja terus melaju mendekati koteklema yang akan ditikam. Matros memiliki peran untuk mendayung tena laja dan membuang air yang masuk ke peledang. Pembagian kerja dalam penangkapan paus sperma dapat dilihat pada Gambar 4.

0 5 10 15 20 25 30 35 Ju m la h p er ah u m o to r (b u ah ) Tahun

(19)

9

Gambar 4 Sistem pembagian kerja

Musim dan lama penangkapan

Penangkapan paus sperma dilakukan sepanjang tahun oleh nelayan Lamalera. Terdapat dua musim yang khas dalam kegiatan penangkapan koteklema yaitu musim lefa dan musim baleo. Musim lefa adalah musim aktif melaut dengan menggunakan teknik tikam. Musim ini berlangsung pada bulan Mei hingga September. Baleo dilakukan ketika terlihat ada tanda-tanda kemunculan koteklema dari pantai berupa semburan. Musim lefa berlangsung selama bulan Mei sampai bulan September sedangkan baleo dapat terjadi ketika terlihat ada tanda-tanda berupa semburan.

Nelayan Lamalera melakukan operasi penangkapan paus sperma dalam waktu satu hari atau one day fishing. Pada musim lefa nelayan akan mulai melaut pada pagi hari dan kembali ke daratan pada sore. Jika beruntung dan mendapat paus, maka daging paus akan dipotong esok hari ketika air laut surut.

Pemetaan partisipasif daerah penangkapan paus sperma

Pemetaan partisipatif merupakan proses penyadaran masyarakat dalam memahami dan mengkomunikasikan keadaan dan kapasitas spasial wilayah mereka. Pemetaan daerah penangkapan paus sperma melibatkan partisipasi langsung nelayan Lamalera. Daerah penangkapan paus sperma di perairan Laut Sawu dapat dilihat pada Gambar 6.

Nelayan Lamalera berburu paus sperma pada batas wilayah yang sudah ditetapkan selama ratusan tahun. Penangkapan paus sperma dilakukan di wilayah perairan Laut Sawu dengan batas bagian barat Tanjung Suba dan batas sebelah timur Tanjung Atadei. Penangkapan paus sperma dilakukan sejauh lebih kurang 20 mil dari pantai Lamalera ke arah selatan. Paus yang berada di luar wilayah yang telah ditetapkan tidak akan ditangkap oleh nelayan.

(20)
(21)

Hasil tangkapan

Penangkapan paus oleh masyarakat Lamalera telah dilakukan selama ratusan tahun. Hasil tangkapan paus sperma dari tahun 1991 sampai 2014 sebanyak 407 individu dengan tangkapan tertinggi pada tahun 2007 sebanyak 44 individu dan terendah sebanyak 3 individu pada tahun 1999 dan 2012. Rata-rata penangkapan per tahun adalah 16 individu. Hasil tangkapan paus sperma tahun 1991 hingga 2014 sangat berfluktuasi. Hasil tangkapan rendah dalam kurun waktu dua tahun, kemudian diikuti dengan hasil tangkapan tinggi untuk satu tahun selanjutnya dan hasil tangkapan rata-rata selama tiga tahun (Gambar 6).

Gambar 6 Jumlah tangkapan paus sperma(Physeter macrocephalus) Analisis sebaran frekuensi panjang dilakukan untuk mengetahui sebaran ukuran hasil tangkapan sumberdaya paus sperma di Desa Lamalera. Sebaran frekuensi panjang paus sperma yang ditangkap oleh nelayan Lamalera, adalah 4,5 m hingga 21,2 m (Gambar 7). Frekuensi tertinggi berada pada selang kelas 10,8-12,8 m, sedangkan frekuensi terendah berada pada selang kelas 19,2-21,2 m sebanyak 1 individu.

Gambar 7 Sebaran frekuensi panjang paus sperma (Physeter macrocephalus) periode 2007-2014 0 10 20 30 40 50 Ju m la h ( In d ivid u ) Tahun 0 5 10 15 20 25 30 Ju m lah ( In d ) Panjang (m) Jantan Betina

(22)

12

Penangkapan paus sperma dilakukan sepanjang tahun oleh nelayan Lamalera, dengan hasil tangkapan tertinggipada bulan Mei sampai Agustus. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Agustus tahun 2007 sebanyak 15 individu, Mei 2008 sebanyak 14 individu dan Agustus 2009 sebanyak 13 individu. Rata-rata hasil tangkapan setiap bulan periode 2007 hingga 2014 adalah 3 individu (Gambar 8).

Gambar 8 Jumlah tangkapan per bulan paus sperma (Physeter macrocephalus) periode 2007-2014

Pasca penangkapan sumberdaya paus sperma (Physeter macrocephalus)

Sistem produksi komunal yang berbasis suku diterapkan dalam setiap proses yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan paus sperma termasuk, sistem bagi hasil yang diterapkan pada koteklema. Koteklema yang didapat akan dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah ada. Daging paus sperma dibagi kepada semua pihak yang berkontribusi dalam pembuatan tena laja dan kepada setiap orang yang terlibat dalam proses berburu. Sistem pembagian hasil tangkapan disajikan pada Gambar 9 dan Tabel 1.

Gambar 9 Sistem pembagian hasil tangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Ju m lah (in d ) Bulan 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(23)

13 Tabel 1 Keterangan sistem pembagian hasil tangkapan

No Nama bagian Keterangan

1. Kepala paus (kote)

Bagian ini diberikan kepada para meng dan leffo. Meng

adalah semua awak perahu yang ikut melaut. Kemudian lemak pada bagian ini yang mengandung minyak diberikan kepada semua orang kampung atau leffo. Bagian kepala juga diberikan kepada tuan tanah baik suku Langofujo maupun suku Tufaona.

2. Novok Bagian ini diberikan kepada lamafa (juru tikam). Bagian ini diberikan untuk menunjang pembuatan bambu tempat menancapkan tempuling waktu menikam ikan.

3. Lamafa/UmaAlep Bagian ini diberikan kepada orang tua lamafa (juru tikam) dan lango bela (rumah adat) dari Lamafa

4. Kelik Bagian yang diberikan untuk orang yang menikam paus pertama.

5. Nupo Bagian yang diberikan untuk orang yang membuat

Tempuling yang digunakan oleh Lamafa

6. Mime Bagian mime diberikan kepada ume alep(anggota pemilik perahu) atau tena alep (penjaga perahu). Dalam hal ini adalah orang yang bertanggung jawab secara keseluruhan atas perahu itu.

7. Meng Bagian ini diberikan kepada para awak perahu yang melaut atau yang turut dalam kegiatan Ola Nua

8. Kefaka seba Bagian ini diberikan kepada ume alep (anggota pemilik perahu), yaitu mereka yang merupakan anggota dari perahu yang bersangkutan. Kelompok ini berperan penting mulai dari mendatangkan kayu atau papan sampai pada pembuatan perahu.

9. Laba katilo Bagian ini juga diberikan kepada orang yang membuat atau merancang perahu.

10. Kile Kela Bagian ini diberikan kepada orang yang menjaga dan merawat perahu. Selain itu bagian ini juga diberikan secara khusus kepada para janda dan para yatim piatu yang sama sekali tidak memiliki peledang dan yang tidak dapat terlibat di dalam kegiatan Ola Nua karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan

11. Kile Befene Bagian ini diberikan kepada anggota suku dari perahu yang berada di tempat lain atau berada di Lamalera yang turut membantu mengadakan kayu atau bahan makanan dalam proses pembuatan perahu.

12. Fadar Bagaian ini diberikan kepada orang-orang yang ikut mendorong perahu sewaktu akan melaut maupun sekembalinya dari laut. bagian ini dalam bahasa setempat disebut blaku (bonus).

13. Faij (ekor) Bagian ekor diberikan kepada orang dan peledang yang memotong tubuh paus untuk mempercepat kematian (13),

peledang yang membuat paus mati (15) dan Tena alep yang menikam pertama (14). Sementara itu bagian isi perut serta usus dan jantung menjadi milik ume alep atau para penanam saham, sedangkan bagian usus diberikan kepada para matros.

(24)

14

Proses pengolahan dan produk hasil olahan

Proses pengolahan hasil tangkapan paus sperma dilakukan dengan teknologi yang masih sangat tradisional. Daging dan kulit yang sudah dipotong, dijemur dengan memanfaatkan panas matahari secara langsung (Lampiran 8). Kegiatan pengolahan dilakukan dalam skala rumah tangga. Keterbatasan untuk memanfaatkan daging atau kulit paus dalam bentuk segar karena tidak adanya sarana penyimpanan atau pendingin, sehingga satu-satunya cara adalah dilakukan pengawetan dengan cara pengeringan.

Proses pengolahan yang sederhana menghasilkan beberapa produk seperti daging kering atau dendeng, kulit kering, dan minyak. Minyak yang dihasilkan dari proses penjemuran dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak dan penerangan sedangkan minyak yang berasal dari kepala (lala) akan diolah dengan cara dimasak dan dimanfaatkan sebagai minyak goreng. (Lampiran 9). Selain produk-produk olahan tersebut, bagian tubuh paus seperti tulang dan gigi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan dan perhiasan.

Sistem pemasaran hasil tangkapan

Hasil tangkapan tidak semata untuk dikonsumsi oleh rumah tangga sendiri. Sebagian hasil tangkapan digunakan untuk memperoleh bahan makanan seperti jagung, ubi, padi, sayuran, dan kelapa. Proses pemasaran hasil tangkapan dilakukan dengan cara tukar menukar (barter) dan jual beli melalui kegiatan duhope dan fulepenetan. Hasil tangkapan dijual untuk menghasilkan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan selain pangan, seperti biaya sekolah, listrik, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Duhope adalah kegiatan tukar menukar yang dilakukan di pasar Wulandoni pada hari Sabtu dan pasar Labala pada hari Rabu. Pasar merupakan tempat bertemunya masyarakat pesisir Lamalera dengan masyarakat dari desa pedalaman dan pegunungan. Fulepenetan adalah kegiatan menjajakan hasil tangkapan ke daerah-daerah yang memiliki potensi hasil bumi, seperti Mingar, Loang, Loweleba, Buton, Puor, dan lainnya.

Duhope dan fulepenetan dilakukan oleh kaum wanita untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Kegiatan tukar menukar ini sudah berlangsung sejak lama dan aturan mengenai barter sudah dipahami dan disepakati oleh masyarakat Lamalera dan masyarakat pedalaman atau pegunungan. Masyarakat Lamalera juga mewarisi tata cara dan aturan yang memfasilitasi transaksi barter seperti unit hitung monga (Blikololong 2010). Ketentuan barter antara daging atau kulit paus dengan hasil bumi menggunakan ketentuan monga yaitu 1:12 yang artinya satu potong daging atau kulit akan ditukar dengan 12 batang jagung atau ubi dan lainnya.

Pengetahuan ekologi tradisional (Traditional ecological knowledge)

Pengelolaan sumberdaya paus sperma di Desa Lamalera didasarkan pada pengetahuan lokal yang telah berkembang selama berabad-abad di dalam masyarakat. Pengetahuan lokal atau pengetahuan ekologi tradisional (TEK ) masyarakat Lamalera dalam mengelola sumberdaya paus sperma disajikan pada Tabel 2.

(25)

15 Tabel 2 Komponen traditional ecological knowledge (TEK) yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) di Desa Lamalera

Komponen TEK Manajemen lokal

Pengetahuan mengenai bioekologi paus sperma

Identifikasi spesies Identifikasi dengan melihat tipe semburan

Jenis paus yang ditangkap paus sperma sedangkan paus biru tidak ditangkap Identifikasi Jenis

kelamin

Perbedaan jantan dan betina dari bentuk tubuh, jantan ukuran lebih panjang dan besar sedangkan betina lebih pendek dan lebar (gemuk)

Sulit untuk membedakan sehingga nelayan menangkap tanpa pertimbangan Jenis kelamin Pengetahuan mengenai reproduksi dan mengasuh anak

Pengetahuan tentang pola reproduksi

Sulit untuk membedakan paus hamil atau tidak. Tidak pernah menangkap paus yang ukuran kecil dan sedang menyusui atau diasuh induknya

Pengetahuan mengenai penangkapan

Alat Penggunaan alat tradisioanal

seperti perahu kayu (paledang), harpoon

(tempuling), layar dan dayung

Berburu paus sperma hanya boleh dilakukan dengan menggunakan

tena laja (perahu layar) serta tempuling dengan ukuran khusus

Daerah penangkapan Ketentuan mengenai daerah penangkapan : Tanjung Suba-Tanjung Atadei, kearah selatan sejauh 20 mil.

Berburu paus sperma tidak melebihi wilayah yang sudah ditetapkan Musim penangkapan Pembagian musim

penangkapan menjadi 2 berdasarkan keaktifan melaut :

Musim Lefa : Mei- September

Musim Baleo : Oktober-April

Musim Lefa aktif melaut mencari paus dan Cetacea lain serta hiu dan pari Musim baleo hanya menunggu tanda-tanda adanya paus dari pantai, jika ada baru diburu Pengetahuan tentang sistem

ekonomi komunal

Sistem bagi hasil Sistem bagi hasil berdasarkan 3 unsur utama : Tuan tanah, suku pemilik perahu dan

meng

Hasil tangkapan dibagi berdasarkan aturan atau kesepakatan yang telah ada. Pelanggaran akan aturan akan menyebabkan musibah atau celaka. Sistem barter Sistem barter antara hasil laut

dengan hasil bumi

Kegiatan barter atau tukar menukar menggunakan aturan monga (1:12)

(26)

16

Pembahasan

Paus sperma merupakan spesies terbesar dalam sub ordo Odontoceti. Paus jantan dapat mencapai panjang hingga 18 m sedangkan betina tidak melebihi 12 m (Berzin 1971 in Santos et al. 2002 ). Paus betina di perairan Lamalera berukuran panjang hingga 12 m sedangkan jantan berukuran panjang hingga 20 m. Lubang tiup paus sperma berada di sisi kiri kepala sehingga semburannya ke arah kiri dan membentuk sudut 45 derajat. Nelayan Lamalera mengidentifikasi keberadaan paus sperma di Laut Sawu dengan melihat bentuk semburan tersebut.

Penangkapan paus sperma yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera merupakan kegiatan penangkapan yang legal menurut International Whaling Commision (IWC) dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Kegiatan penangkapan ini dilakukan dengan menggunakan perahu kayu (paledang) dan tempuling (harpoon) yang dioperasikan menggunakan tangan. Penangkapan paus sperma oleh masyarakat Lamalera dilakukan dalam skala kecil dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Hal serupa yang dilakukan oleh masyarakat Fanalei di Pulau Salomon. Masyarakat Fanalei menangkap lumba-lumba dengan menggunakan perahu (canoe) tanpa mesin (Takekawa 2000).

Paus sperma yang ditangkap periode 1991-2014 oleh masyarakat Lamalera sebanyak 392 individu. Egami dan Kojima (2013) mengestimasi sebanyak 1000 individu paus sperma yang ditangkap, dapat mendukung kehidupan 2000 masyarakat Lamalera selama 50 tahun (1960-2010). Jumlah tangkapan setiap tahun sangat berfluktuasi, hal ini terjadi berhubungan dengan pola migrasi yang diikuti dengan pola reproduksi (Kato 1995 in Egami dan Kojima 2013). Paus sperma memberikan kelahiran dengan jarak 4-6 tahun (Best et al. 1984 in Carroll et al. 2014).

Paus sperma hasil tikaman nelayan Lamalera berukuran antara 4,5-20 m untuk jantan dan 5-14 m untuk betina, dengan rata-rata tangkapan tertinggi berukuran 10,8-12,8 m. Rice (1989) in Whitehead (1993) menjelaskan bahwa kematangan fisik pada paus sperma dicapai pada usia sekitar 30 tahun untuk jantan dan 25 tahun untuk betina. Paus betina mencapai kematangan seksual pada usia 7-13 tahun dengan panjang 8,3-9,2 meter sedangkan paus jantan matang secara seksual pada usia 18-21 dengan panjang tubuh 11-12 meter. Diduga bahwa paus sperma yang ditemukan di perairan Lamalera merupakan paus sperma betina dan jantan dengan usia muda yang matang secara seksual. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa perairan Laut Sawu khususnya perairan Lamalera adalah area kawin (breeding) bagi spesies paus sperma dan juga tempat mencari makan serta daerah pengasuhan. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa kali paus betina yang dalam keadaan hamil pada bulan Desember 2007, Mei 2008, Juni 2010 dan 2014. Ukuran paus betina yang hamil yaitu 11-12 meter serta sering ditemukannya induk betina yang sedang mengasuh anaknya di perairan Lamalera.

Perairan Lamarela (Laut Sawu) merupakan alur migrasi kelompok Cetacea yang berasal dari Laut Pasifik melalui Selat Alor ke perairan Laut Banda (Yusron 2012). Berdasarkan aspek hidro-oseanografinya perairan

(27)

17 Lamalera mempunyai peranan penting terhadap sistem pola arus di Indonesia. Fenomena pola arus yang terjadi di perairan ini menyebabkan adanya sirkulasi dan pertukaran massa air laut dari Samudera Pasifik memasuki Samudera Hindia dan menyebabkan kondisi perairan menjadi subur (Kunarso dan Agustin 2012). Kondisi perairan ini sangat mendukung sebagai tempat mencari makan bagi Cetacea termasuk paus sperma yang bermigrasi dan tinggal disana (Ender et al. 2014). Bulan Mei hingga Agustus adalah bulan-bulan dengan hasil tangkapan tertinggi di Lamalera. Menurut Fitriya dan Lukman (2013) Cetacea banyak ditemukan di perairan tersebut sekitar bulan Juni hingga Agustus, atau selama musim angin tenggara (southeast Monsoon).

Kegiatan penangkapan paus sperma oleh masyarakat Lamalera didasarkan pada traditional ecological knowledge atau pengetahuan ekologi tradisional (TEK). Pengetahuan ekologi tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh komunitas untuk bertahan hidup dalam sebuah tipe lingkungan tertentu (Pameroy dan Rivera-Guieb 2006 in Adrianto et al. 2010). Pengetahuan ini dibangun oleh kelompok komunitas secara turun temururn terkait hubungannya dengan alam dan sumberdaya alam, meliputi pengetahuan mengenai lingkungan, hingga pengetahuan sosial, poitik, dan geografis (Adrianto et al. 2010)

TEK dianalisa berdasarkan empat level menurut Berkes 2008 (Destriani 2011). Analisis pertama yaitu pada pengetahuan lokal mengenai satwa atau tumbuhan yang mencakupi informasi mengenai identifikasi spesies, taksonomi, sejarah hidup, distribusi dan pola perilaku. Level analisis kedua meliputi sistem manajemen sumberdaya, yang menggunakan pengetahuan lokal tersebut untuk menghasilkan seperangkat praktek, peralatan, dan teknik yang sesuai. Pada level ketiga, sebuah pengelolaan secara tradisional yang disesuaikan dengan institusi-institusi sosial, seperangkat peraturan dalam pemanfaatan, norma-norma dan kode-kode dalam hubungan sosial. Level terakhir yaitu menganalisa pandangan hidup (worldview) yang mempertajam persepsi lingkungan dan memberikan arti terhadap observasi lingkungan. Level analisis ini mencakupi agama, etika-etika dan sistem kepercayaan secara umum (Desrianti 2011).

Penangkapan paus sperma dilakukan berdasarkan aturan dan ketetapan yang sudah ada. Kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi jenis Cetacea mendukung pemahaman mengenai jenis yang boleh dan tidak boleh ditangkap. Jenis paus yang ditangkap sebenarnya tidak hanya paus sperma, paus orca (seguni) juga ditangkap kecuali paus biru (Balaenoptera musculus). Penangkapan paus secara aktif hanya boleh dilakukan pada saat musim lefa, selain itu menangkap paus hanya boleh dilakukan apabila terlihat kemunculan paus dari pantai dengan melihat semburan.

Paus sperma hanya boleh ditangkap di wilayah penangkapan yang sudah ditetapkan dan ditangkap dengan menggunakan tena laja. Paus sperma juga hanya boleh ditikam oleh lamafa. Pada sekelompok masyarakat pemburu, nelayan, petani yang saling berhubungan, untuk mengekfektifkan fungsi-fungsi ini didukung dengan sebuah organisasi sosial untuk koordinasi, kerjasama dan membuat peraturan (Desrianti 2011). Institusi sosial mencakup institusi-institusi pengetahuan yang membingkai

(28)

18

proses-proses sosial. Dalam hal ini, suku memiliki peran yang sangat besar terutama berhubungan dengan aktivitas penangkapan paus sperma dari pembuatan perahu, pelaksanaan penangkapan, hingga proses pembagian hasil tangkapan.

Aturan yang ada sangat dipatuhi oleh masyarakat Lamalera meskipun secara tertulis aturan ini tidak ada. Bagi mereka menghormati laut dan nenek moyang adalah hal utama, karena ketika ada pelanggaran dari yang telah ditetapkan maka suatu musibah akan terjadi. Pemahaman inilah yang sangat kuat terinternalisasi dalam setiap masyarakat Lamalera. Selain itu dalam kegiatan penangkapan paus selalu dimulai dengan ritual adat dan agama. Pada musim lefa suku tiga tungku atau lika telo yang teridiri dari suku Bataona, Blikololong dan Levotukan meminta suku tuan tanah Langofujo dan Tufaona melakukan ritual adat melalui persembahan kepada leluhurnya. Lika telo juga memeiliki peran untuk memimpin musyawarah, yang membahas mengenai hasil tangkapan tahun lalu dan strategi musim lefa kedepan. Selain itu kebaktian secara katolik melalui misa lefa dipimpin oleh pendeta dilakukan di Kapela St. Petrus yang terdapat di pantai Lamalera. Kedua ritual ini dilakukan agar hasil tangkapan pada musim ini memuaskan dan setiap aktivitas dilindungi oleh Tuhan sehingga musibah atau petaka di laut seperti kecelakaan tidak terjadi.

Pengelolaan sumberdaya pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat pesisir tidak hanya terbatas pada kesejahteraan ekonomi, kesejahteraan masyarakat pesisir terkait dengan dua hak yaitu akses pada pemanfaatan sumberdaya dan akses kontrol pada pengelola sumberdaya (Satria 2009). Semakin kecil akses pada kedua hal tersebut, maka dapat diduga bahwa kesejahteraan nelayan semakin terancam.

Berdasarkan hasil penelitian, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM) merupakan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya paus sperma yang dapat diterapkan di Desa Lamalera. Sistem pengelolaan ini menitikberatkan pada pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijulum 2000). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam pada suatu tempat yang melibatkan peran aktif masyarakat lokal.

PSBM dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan dengan terlebih dahulu mendeskripsikan kebutuhan, keinginan, tujuan, serta aspirasi masyarakat (Alains et al. 2009). Melalui pendekatan ini diharapkan pengelolaan sumberdaya paus sperma di Lamalera akan lebih terlegitimasi. Legitimasi masyarakat merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya paus sperma dan Cetacea pada umumnya di Desa Lamalera.

Pengelolaan bukan berarti pelarangan terhadap kegiatan penangkapan di Lamalera. Kegiatan penangkapan tradisional di Lamalera harus dilestarikan, dengan ketentuan bahwa nelayan Lamalera hanya boleh memburu paus sperma dan tidak untuk spesies Cetacea lainnya (Kahn 2003

(29)

19 in Mustika 2006). Selain itu, pengetahuan lokal mengenai alat dan metode berburu, serta daerah penangkapan yang sudah dijadikan ketetapan sejak awal harus dipertahankan. Pengetahuan mengenai jenis kelamin, usia, dan perbedaan antara betina hamil atau tidak sangat penting untuk diturunkan kepada generasi muda, karena dengan pengetahuan yang cukup mengenai hal tersebut kegiatan penangkapan paus sperma akan lebih selektif dan berkelanjutan. Nilai –nilai tersebut yang sebaiknya ditekankan kepada masyarakat Lamalera, dengan menghargai dan menghormati budaya mereka dan memberikan hak untuk mengelola sumberdaya, masyarakat Lamalera akan berperan aktif dalam upaya pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya paus sperma.

Alternatif pengelolaan lain adalah dengan memanfaatkan sumberdaya Cetacea selain paus sperma di perairan Laut Sawu sebagai sumberdaya hidup yang digunakan untuk kegiatan whale and dolphin watching. Kegiatan tersebut berpotensi untuk dilakukan, akan tetapi memiliki tantangan yang sangat besar. Kegiatan whale and dolphin watching ini harus dikaji lebih lanjut untuk memahami perspektif dan harapan masyarakat Lamalera dan wisatawan serta mengetahui kelayakan ekonomi dan kemungkinan konflik dalam pelaksanaan kegiatan tersebut (Mustika 2006). Kegiatan perikanan alternatif berupa perikanan tangkap dapat dijadikan cara untuk mengurangi ketergantungan masyarakat Lamalera terhadap produk ikan-ikan besar seperti pari, hiu, serta mamalia laut yaitu paus dan lumba-lumba. Penduduk Desa Lamalera perlu diperkenalkan metode penangkapan ikan alternatif seperti pukat.

Pengelolaan sumberdaya paus sperma dan Cetacea pada tingkat nasional lebih difokuskan pada peraturan mengenai subsistence whaling terkait definisi dan karakteristik atau ketentuan mengenai penangkapan subsistence whaling. Pembatasan kuota tangkapan paus sperma untuk pengelolaan sumberdaya berkelanjutan penting untuk dikaji.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Paus sperma ditangkap rata-rata berukuran 10,8-12,8 m berada pada ukuran matang secara seksual. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan Laut Sawu khususnya perairan Lamalera adalah area penting untuk kawin (breeding) dan mencari makan serta daerah pengasuhan. Pengetahuan ekologi tradisional (TEK) seperti pengetahuan mengenai daerah penangkapan, teknologi dan teknik yang digunakan, pengaturan mengenai musim penangkapan, sistem pembagian hasil, sistem pemasaran, dan kelembagaan perlu dipertahankan sehingga pengelolaan berkelanjutan dapat tercapai.

(30)

20

Saran

Penelitian mengenai populasi paus sperma dan karakteristik habitat paus sperma di perairan Laut Sawu perlu dilakukan. Hal ini dapat dijadikan informasi tambahan untuk pengelolaan sumberdaya paus sperma kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L, Amin AA, Solihin A, Hartoto DI, Satria A. 2010. Kontruksi lokal pengelolaan perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press Akaike. 1974. A new look at the statistical model identification. IEE

Transactions on Automatic Control. 19(6): 716-723

Alains AM, Putri SE, Haliawan P. 2009. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM) melalui model co-management perikanan. Jurnal Ekonomi Pembangunan.10 (2): 172-198

Barnes RH. 1996. Sea hunters of Indonesia: fishers and weavers of Lamalera. Oxford (GB): Clarendon Press

Birukawa N, Ando H, Goto M, Kanda N, Pastene LA, Nakatsuji H, Hata H, Urano A. 2005. Plasma and urine levels of electrolytes, urea and steroid hormones involved in osmoregulation of cetacean. Zoological Science. 22(11): 1245-125

Blikololong JB. 2010. Du-Hope di tengah penetrasi ekonomi uang (sebuah kajian sosiologis terhadap sistem barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur). [Disertasi]. Depok (ID) : Universitas Indonesia

Carroll G, Hedley S, Bannister J, Ensor P, Harcourt R. 2014. No evidence for recovery in the population of sperm whale bulls off Western

Australia, 30 years post-whaling. Endangered Species Research. Vol.

24 : 33-43

Clarke M. 1978). Structure and proportions of the spermaceti organ in the sperm whale. Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom. 58: 1–17

Desrianti F. 2011. Perubahan sosial masyarakat nelayan Lamalera (sudut pandang sosiologi ekonomi dan ekologi). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Egami T, Kojima K. 2010. An analisis of a 16 year (1994-2009) record of whaling in Lamalera Village, Indonesia. Sosial Cultural Studies. 12 (1): 65-94

Egami T, Kojima K. 2013. Traditional whaling culture and sosial change in Lamalera, Indonesia. An Analisis of the catch record of whaling 1994-2010. Senri Eethnological Studies. 84:155-176

Ender AI, Muhajir, Mangubhai S, Wilson JR, Purwanto, Muljadi A. 2014. Cetacean in global centre of marine biodiversity. Marine Biodiversity Records. Vol. 7 : 1-9

(31)

21 [EOL] Encyclopedia of Life. 2014. Physeter macrocephalus. <http://eol.org/pages/328547/overview>. Downloaded on 16 November 2014

Evans PGH.1997. Ecology of Sperm Whales (Physeter macrocephalus) in Eastern North Atlantic, with special reference to sightings and strandings record From The British Isles. Biologie. 67-SUPPL : 37-46 Fitriya N, Lukman M. 2013. Komunitas zooplankton di perairan Lamalera

dan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 5(1): 219-227

Gero S, Engelhaupt D, Rendell L, Whitehead H. 2009. Who Cares ? Between-group variation in alloparental caregiving in sperm whales. Behavioral Ecology

Jaquet N, Whitehead H. 1999. Movements, distribution and feeding success of sperm whale in the Pasific ocean, over scale of days and tens of kilometers. Aquatic Mamals. 25: 1-13

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta (ID). KKP

Kunarso DH, Agustin TI. 2012. Kajian bakteri heterotropik di perairan Laut Lamalera. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 17(2): 63-73

Kurniasari N, Reswanti E. 2011. Keraifan lokal masyarakat Lamalera. sebuah ekspresi hubungan manusia dengan laut. Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan. 6(2)

Miles MB, Huberman AM. 1994. An expanded sourcebook: Qualitative data analysis (second edition). London (GB) : Sage Publication

Mustika, Putu Liza Kusuma. 2006. Marine mammals in the Savu Sea (Indonesia): Indigenous knowledge, threat analysis and management options. [Thesis]. Australia (AU): James Cook University.

Nikijulum VPH. 2002. Rezim pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta (ID) : P3R

Noren SR, Williams TM. 2000. Body size and skeletal muscle myoglobin of cetaceans: adaptations for maximizing dive duration. Molecular & Integrative Physiology. 126 (2): 181–191

Norris K.S, Harvey GW. 1972. A Theory For The Function of The Spermaceti Organ of The Sperm Whale in Animal Orientation and Navigation. Washington DC (US) : NASA

Papastavrou V, Smith SC, Whitehead H. 1989. Diving behaviour of the sperm whale, Physeter macrocephalus, off the Galapagos Islands. Can. J. Zool. 67: 839 -846

Reeves RR., Stewart BS, Clapham PJ, Powell JA. 2002. National Audubon Society Guide to Marine Mammals of The World. New York (US): Chanticleer Press

Rudolf P, Smeenk C, Leatherwood S. 1997. Preliminary checklist of Cetacea in the Indonesian Archipelago and adjacent waters. Zoologische Verhandilingen. 312: 3–48

Sagnol O. 2014. Spatial and temporal distribution of sperm whales (Physeter macrocephalus) within the Kaikoura submarine canyon in

(32)

22

relation to oceanographic variables. [Thesis]. New Zealand (NZ): University of Canterbury

Satria A. 2009. Pesisit dan laut untuk rakyat. Bogor (ID): IPB Press

Santos MB, Pierce GJ, Hartmann MG, Smeenk G, Addink MJ, Kuiken T, Reid RJ, Patterson IAP, Lordan G, Rogan E. 2002. Additional notes on stomatch contents of sperm whale Physeter macrocephalus stranded in the north-east Atlantic. J Mar Biol Ass UK( 82) : 01-507 Stanis S, Supriharyono, Bambang AN. 2007. Pengelolaan sumberdaya

pesisir dan laut melalui pemberdayaan kerifan lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara timur. Jurnal Pesisir Laut. 2(2) : 67-82

Takekawa D. 2000. Hunting method and the ecological knowledge of dolphins among the Fanalei villagers of Malaita, Solomon Islands. SPC Traditional Marine Resource Management and Knowledge Information Bulletin (12): 3-11

Taylor BL, Baird R , Barlow J, Dawson SM, Ford J , Mead JG, Notarbartolo di Sciara G, Wade P, & Pitman RL. 2008. Physeter macrocephalus. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 16 November 2014

Tyack PL, Johnson M, Soto NA, Sturlese A, Madsen PT. 2006. Extreme diving of beaked whales. Journal of Experimental Biology 209 (21): 4238–4253

Whitehed H. 1993. The behaviour of mature male sperm whales on the Galapagos Islands breeding grounds. Can. J. Zool. 71: 689-699

Whitehead H, Antunes R, Gero S, Wong SNP, Engelhaupt D, Rendell L. 2012. Multilevel societies of female sperm whale in the atlantic and pasific : why arethey so different ?. International Journal of Primatology. 33 :1142-1164

Yusron, Eddy. 2012. Biodiversitas Jenis Cetacean di Perairan Lamalera, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu Kelautan. 17(2) : 59-62

(33)

23

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta lokasi penelitian

(34)

24

Lampiran 3 Mata pencaharian penduduk Desa Lamalera Mata Pencaharian Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan Petani 57 28 PNS 22 8 Nelayan 248 12 Guru Swasta 8 5 Bidan 0 1 Perawat 0 1 Wiraswasta 3 1

Ibu Rumah Tangga 0 456

Pensiun PNS 19 8

Lain-lain 12 3

Sumber: Pemerintah Desa Lamalera A dan B (2014).

Lampiran 4 Daftar nama suku dan peledang di Desa Lamalera

Nama Suku Nama Peledang Nama Suku Nama Peledang

Tufaona Baka Tena' Ata Kei Muko Tena

Oleona Kopo Paker Lama Nifak Sia Apu

Bediona Kelulus Lamakera Menula Belolo

Tena Puka Nara Tena

Tapoona Soge Tena Lama Nudek Dato Tena

Bleko Tena Nutto Tena

Sulaona Dolu Tena Batafor Teti Heri

Sika Tena Fuka Puka

Bataona

Horotena

Lelaona

Praso Sapang

Silitena Ole Mao

Holo Sapang Lela Sapang

Tena Ene Dura Tena

Bliko Lolo

Bui Puke' Lango Fujjo -

Demo Sapang Tana Krova -

Boko Lolo Atafolo -

Lewotukan Kebelek Tena Eboona -

Hariona Boli Sapang

(35)

25 Lampiran 5 Alat penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus)

(a) Peledang (b) Tali

(c) Tempuling (d) Layar

(36)

26

Lampiran 6 Perahu bermesin 25 PK (Jhonson)

Lampiran 7 Proses penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus)

(a) Persiapan (b) Menuju lokasi penangkapan

(c) Proses menikam (d) Pendaratan hasil tangkapan

(37)

27 Lampiran 8 Proses penjemuran hasil tangkapan

Lampiran 9 Produk hasil olahan

(a) Kulit paus kering (b) Daging kering (dendeng)

(38)

28

Lampiran 10 Panduan pertanyaan penelitian

1. Biodata Nelayan Nama : Umur : Pekerjaan utama : Pekerjaan tambahan : Alamat : Status : Pendidikan terakhir : 2. Operasi Penagkapan 1. Alat tangkap

a. Nama alat tangkap : b. Ukuran Alat tangkap : c. Jumlah Alat tangkap : 2. Perahu

a. Jenis kapal :

b. Bobot Kapal :

c. Ukuran Kapal : panjang ( ), lebar ( ), tinggi ( ) 3. Tenaga kerja

a. Kelompok Nelayan :

b. Jumlah ABK :

c. Pembagian Kerja : 4. Musim dan Lama Penangkapan a. Musim penangkapan :

b. Lama melaut 1 trip : c. Total trip/Musim : 5. Lokasi Penagkapan :

3. Hasil Tangkapan

a. Jenis Tangkapan Utama : b. Jenis Tamgkapan Sampingan : c. Jumlah Tangkapan/trip : d. Ukuran Hasil Tangkapan : e. Pembagian Hasil Tangkapan :

4. Keadaan Usaha Penangkapan

a. Biaya tetap (fixed cost) 1. Alat tangkap : 2. Harga Kapal : 3. Biaya Administrasi : b. Biaya Tidak Tetap (variable cost)

1. Perbekalan : 2. BBM (Solar) : 3. Konsumsi : c. Pengelolaan pasca penangkapan

1. Harga Jual : 2. Pengolahan hasil : 2. Pemasaran hasil tangkapan :

(39)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sari Ramadhan, Lahir di Tanjung Enim pada tanggal 25 Maret 1992. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Agus Sutejo dan Sri Eka Wati. Pendidikan formal yang ditempuh penulis antara lain TK Antrasita Tanjung Enim (1997-1998), SDN 23 Tanjung Enim (1998-2004), SMP Xaverius Emmanuel Tanjung Enim (2004-2007) dan SMA Bukit Asam Tanjung Enim (2007-2010).

Penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada taun 2010. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti Organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Uni Konservasi Fauna IPB dan Himpunan Mahasiswa Sumberdaya Perairan (HIMASPER) Institut Pertanian Bogor.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengelolaan Sumberdaya Paus Sperma (Physeter macrocephalus) Berbasis Traditional Ecological Knowledge (TEK) di Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur “.

Gambar

Gambar 1 Morfologi paus sperma (Physeter macrocephalus)
Gambar 2 Distribusi paus sperma (Physeter macrocephalus)
Gambar 3 Grafik penggunaan perahu motor (jhonson)
Gambar 5 Peta daerah penangkapan paus sperma (Physeter macrocephalus) di Perairan Lamalera
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pejabat eselon III yang membidangi kepegawaian pada unit kerja Kabupaten/Kota yang membidangi penyuluhan kehutanan kepada Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat eselon

Berdasarkan penjelasan dan analisis sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan antara lain: Pertama, rumusan bentuk dan kadar ’uqūbat yang

dari pivot joint atau piston joint dapat dihidupkan dengan putaran atau berbenturan dengan pivot joint atau piston joint lainnya yang menempel pada induk gear joint, seperti

Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak pemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas dasar barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber

Barian ialah nama yang diberi oleh masyarakat Murut bagi menun!ukkan mas kahwin ataupun barang-barang hantaran daripada keluarga pihak lelaki kepada keluarga

Namun, sebelum peserta diberikan materi, peserta diberikan kuisioner dengan beberapa pertanyaan mengenai materi tentang Tindak pidana penyebaran berita bohong

Merupakan suatu anugerah yang tak ternilai bagi penulis bisa memperoleh ilmu dan berkesempatan menerapkannya dalam sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi sebagai

[r]