• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPADATAN POPULASI KEONG BAKAU (Telescopium telescopium) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE MALIGI KABUPATEN PASAMAN BARAT. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPADATAN POPULASI KEONG BAKAU (Telescopium telescopium) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE MALIGI KABUPATEN PASAMAN BARAT. Oleh"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KEPADATAN POPULASI KEONG BAKAU (Telescopium telescopium) DI KAWASAN HUTAN MANGROVE MALIGI

KABUPATEN PASAMAN BARAT Oleh

Pika Anggraini, Nurhadi dan Abizar

Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat Email: Vikacaemmm@yahoo.com

ABSTRACT

Maligi area in Sasak Pasaman Barat district which has a mangrove forest that is wide enough so that it can support microbial life in this area. One of them is the bakau snail mangrove (Telescopium telescopium). Bakau snail is gastropod mangroves are animals that live in the mangrove forests and can be consumed and has a high nutritional content. But this time, mangrove forests suffered widespread damage as a result of the activities of people who've been doing the logging resulting in shrinkage of mangrove forest area. Mangrove forests are naturally made conch mangroves as the only place of life so broken and the deforestation of mangrove forests feared will affect the existence of mangrove snail. This study aims to determine the population density of the mangrove snails and aquatic chemistry physics factors contained in Mangrove Forest Areas Maligi Pasamam Barat District. This research was conducted in November-December 2015 by using descriptive survey method. Sampling was done by purposive random sampling method to establish two stations based on the condition of mangrove forests. Each station squares randomly placed plots of 100 plots of squares measuring 30 cm x 30 cm. Factors measured water chemical physics such as temperature, pH, salinity, dissolved oxygen (DO) and the levels of organic C substrates. The results showed total mangrove clam population density was 44 ind/m2 with the highest density found on the first station at 27 ind/m2 and lowest density are at station II is 17 ind/m2. Can conclude that the population density of conch mangroves in the area of mangrove forests Maligi Pasaman Barat is high is 44 ind/m2 by a factor of chemical physics waters are like water temperature, water pH, salinity, dissolved oxygen (DO) and C content of organic substrate is still optimal for mangrove snail life support.

Keywords : Density, Telescopium telescopium dan Mangroves PENDAHULUAN

Hutan mangrove adalah mata rantai utama dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, karena mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground), tempat asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) dari beberapa hewan tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air, seperti kepiting, moluska dan invertebrata lainnya yang hidupnya menetap di kawasan hutan tersebut (Saparinto, 2007). Daerah Maligi merupakan salah satu jorong yang terdapat Kecamatan Sasak

Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat yang memiliki hutan mangrove yang cukup luas sebesar 75 ha dengan substrat berlumpur dan lumpur berpasir yang didominasi oleh vegetasi tumbuhan Rhizophora apiculata dan Sonneratia caseolaris yang rapat. Hal ini tentu memberikan kontribusi yang besar terhadap kelangsungan hidup biota yang ada di hutan tersebut terutama keong bakau.

Keong bakau merupakan salah satu jenis gastropoda yang banyak hidup di air payau atau hutan mangrove yang didominasi oleh pohon bakau (Rhizophora sp.)

(2)

(Hamsiah, 2000). Umumnya jenis ini ditemukan sangat dekat dengan genangan air dan bentuknya seperti kristal yang muncul di permukaan (Alexander dan Rae 1979 dalam Hamsiah 2000).

Menurut Houbrick (1991), keong bakau adalah hewan pemakan deposit dan detritus yang mengggunakan extensible snout (ujung moncong) untuk menelan lumpur dan detritus dari permukaan endapan pada saat surut dan tidak beraktivitas saat pasang, karena keong membenamkan diri dalam lumpur. Menurut Budiman 1988 dalam Houbrick 1991, keong bakau dapat mempertahankan aktivitas makan dengan menggunakan extensible snout bahkan ketika tertutup oleh pasang, kemungkinan hal ini terjadi karena makan lebih dibutuhkan untuk aktivitas seksual dari pada tumbuh.

Menurut Hafiludin (2012), keong bakau memiliki kandungan gizi tinggi dengan nilai protein sebesar 12,16%, lemak 0,38%, mengandung asam amino essensial tertinggi berupa asam glutamat 1,20% dan asam amino non essensial berupa histidin sebesar 1,56%. Kandungan asam lemak jenuh tertinggi pada palmitat sebesar 27,81% dan asam lemak tidak jenuh pada lenoleat sebesar 9,03%. Ekstrak kasar daging keong bakau mengandung senyawa alkaloid, steroid dan flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh dan juga senyawa hasil metabolit dalam tubuh keong ini dapat dijadikan sebagai obat asma.

Tetapi saat ini, kondisi hutan mangrove mengalami kerusakan yang semakin meluas akibat adanya aktivitas masyarakat sekitar yang sudah lama melakukan penebangan pohon mangrove sehingga terjadi penyusutan luasan hutan mangrove. Hutan ini secara alami dijadikan keong bakau sebagai satu-satunya tempat hidupnya sehingga rusak dan menurunnya luasan hutan mangrove dikhwatirkan akan mempengaruhi keberadaan keong bakau.

Penelitian yang dilakukan oleh Aralaha (2015) tentang kepadatan, pola pesebaran dan morfometrik gastropoda (Telescopium telescopium) pada daerah Mangrove Jailolo Halmahera Barat Maluku Utara didapatkan hasil kepadatan populasi pada stasiun I sebesar 4,77 ind/m2 dan kepadatan populasi pada stasiun II sebesar 3,48 ind/m2.

Menyadari akan hal ini dan semua uraian di atas, maka telah dilakukan penelitian tentang Kepadatan Populasi Keong Bakau (Telescopium telescopium) di

Kawasan Hutan Mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepadatan populasi keong bakau dan faktor fisika kimia perairan di kawasan hutan mangrove Maligi kabupaten Pasaman Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumber data bagi mahasiswa, masyarakat Maligi dan bagi peneliti selanjutnya.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan November – Desember 2015 di Kawasan Hutan Mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat. Analisis kadar C organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas sedangkan Salinitas dan Oksigen terlarut (DO) diukur di Laboratorium UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Gunung Pangilun.

Alat dan Bahan

Alat - alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah adalah meteran, karet gelang, kertas label, tissue, spidol permanen, kantong plastik, petakan kuadrat dari kayu (30 cm x 30 cm), botol sampel air, kertas indikator pH, thermometer alkohol, pipet tetes, kamera, dan alat tulis, sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah MnSO4, dan

KI sebagai larutan pengikat sampel air. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode survey deskriptif (pengamatan dan koleksi sampel langsung di lapangan). Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling dengan menetapkan 2 stasiun berdasarkan kondisi hutan mangrove yaitu:

1. Stasiun I, hutan mangrove dekat pemukiman penduduk dengan vegetasi hutan mangrove yang rapat (kondisi hutan masih baik).

2. Stasiun II, hutan mangrove dekat kebun warga sekitar dengan vegetasi hutan mangrove yang jarang (kondisi hutan rusak).

Adapun jarak antara stasiun 1 dengan stasiun 2 adalah ± 1 km.

(3)

Prosedur Kerja

1. Pengukuran faktor fisika kimia perairan Pengukuran faktor fisika kimia dilakukan sebelum pengambilan sampel keong bakau pada saat surut. Untuk Suhu air dan pH air diukur langsung di lokasi penelitian. Suhu air dengan menggunakan Thermometer alkohol dan pH air diukur dengan Kertas indikator pH, sedangkan sampel air Salinitas dan Oksigen terlarut diukur di Laboratorium dengan menggunakan metode SNI: 06.6989.14-2004 dan metode Titrimetri dan sampel substrat diukur di Laboratorium dengan metode gravimetri.

2. Pengambilan sampel keong bakau Pengambilan sampel diawali dengan pembuatan petak kuadrat yang berukuran 30

cm x 30 cm dan kemudian diletakkan petak kuadrat secara acak sebanyak 100 petak kuadrat pada setiap stasiun. Sampel yang terdapat pada petak kuadrat langsung diambil dengan menggunakan tangan dan kemudian sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya menghitung sampel yang ditemukan pada setiap stasiun.

Analisis Data

Sampel keong bakau yang didapatkan di lapangan dihitung kepadatannya dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

KP = Jumlah Individu suatu spesies Luas Area (m2)

(Suin, 2002)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Kepadatan Populasi Keong Bakau (Telescopium telescopium) yang terdapat di Kawasan hutan Mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat

No Stasiun Jumlah Individu Kepadatan (Ind/m2)

1 I 243 27

2 II 157 17

Total 400 44 Keterangan: Stasiun I dekat pemukiman penduduk, stasiun II dekat kebun warga.

Tabel 2. Pengukuran Faktor Fisika Kimia Perairan di Kawasan hutan Mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat

No Parameter Stasiun I II 1 Suhu air (0C) 27 29 2 Ph 7 7 3 Salinitas (‰) 1,75 2,54 4 DO (mg/L) 6,26 5,89

5 Kadar C organik Substrat (%) 7,05 5,85 Keterangan: DO (Oksigen Terlarut)

Dari hasil penelitian dapat dilihat total kepadatan populasi keong bakau di kawasan hutan mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat adalah 44 ind/m2 dengan kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 27 ind/m2 dan kepadatan terendah terdapat pada stasiun II yaitu 17 ind/m2. Kepadatan populasi keong bakau yang didapat di kawasan hutan mangrove Maligi lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Aralaha (2015) yang memperoleh kepadatan keong bakau pada daerah mangrove Jailolo

Halmahera Barat Maluku Utara berkisar antara 3,48 – 4,77 ind/m2. Rendahnya kepadatan keong bakau yang didapatkan oleh Aralaha (2015) dikarenakan kondisi hutan mangrove yang sudah rusak berat akibat adanya penebangan liar.

Kepadatan populasi keong bakau tertinggi ditemukan pada stasiun I yaitu 27 individu/m2. Tingginya kepadatan populasi pada stasiun I dikarenakan oleh kondisi hutan mangrove yang rapat sehingga memberikan banyak ketersediaan makanan

(4)

bagi keong bakau yang berasal dari luruhan serasah. Menurut Taqwa (2010), hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis. Salah satu fungsinya adalah sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari serasah (daun, ranting, bunga dan buah yang gugur). Sebagian detritus ini dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh hewan pemakan detritus, sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi unsur hara yang berperan dalam penyuburan perairan. Banyaknya detritus akan berpengaruh terhadap kelimpahan organisme yang memanfaatkannya sebagai makanan. Menurut Houbrick (1991), keong bakau merupakan hewan pemakan detritus dan deposit.

Kepadatan populasi keong bakau terendah terdapat pada stasiun II yaitu 17 individu/m2. Rendahnya kepadatan populasi pada stasiun II dikarenakan kondisi hutan mangrove yang rusak akibat aktivitas warga yang melakukan penebangan pohon sehingga menyebabkan habitat dari keong bakau terganggu dan juga kurangnya ketersediaan makanan pada stasiun ini. Menurut Houbrick (1991), hutan mangrove merupakan habitat alami keong bakau. Kordi (2012) menambahkan bahwa keberadaan hutan mangrove secara biologis berperan penting sebagai tempat bertelur, sebagai tempat asuhan, sebagai tempat mencari makan dan sebagai habitat alami berbagai biota.

Kepadatan populasi keong bakau juga ditentukan oleh faktor fisika kimia perairan di kawasan Hutan Mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat. Dari Tabel 2 dapat dilihat suhu saat penelitian berkisar antara 27 – 290C. Menurut Ihlas (2001) dalam Syamsurisal (2011), suhu yang dianggap layak bagi kehidupan biota akuatik adalah 25 – 530C.

pH (derajat keasaman) merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Hasil pH untuk keuda stasiun sama yaitu 7. Menurut Effendi (2003), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.

Nilai salinitas sangat berpengaruh terhadap kehidupan keong bakau. Bila salinitas terlalu rendah dan tinggi dapat

menyebabkan organisme di perairan akan sulit bertahan hidup bahkan menyebabkan kematian. Hasil salinitas dalam penelitian ini berkisar antara 1,75 – 2,54‰. Menurut Effendi (2003), nilai salinitas untuk hewan perairan payau berkisar antara 0,5 – 30‰.

Oksigen terlarut dalam penelitian ini berkisar antara 5,89 – 6,26 mg/l. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 (2004), standar baku mutu oksigen terlarut untuk kehidupan biota laut adalah > 5 mg/l.

Kandungan C organik substrat sangat menentukan kepadatan keong bakau. Karena partikel – partikel / bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi keong bakau. Dari hasil penelitian kandungan C organik substrat berkisar antara 5,85 – 7,05%. Menurut penelitian Maryanto (2014) menemukan kadar organik substrat untuk keong berkisar 5,95 – 9,88%.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kepadatan populasi keong bakau di Kawasan Hutan Mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat tergolong tinggi yaitu 44 ind/m2 dengan faktor fisika kimia perairan yaitu seperti suhu air, pH air, Salinitas, Oksigen terlarut (DO) dan kadar C organik substrat masih optimal untuk mendukung kehidupan keong bakau.

SARAN

Kepada masyarakat Maligi untuk menjaga kelestarian hutan mangrove agar keberadaan keong bakau tidak tergangggu. Peneliti lebih lanjut dapat memeliti pola distribusi keong bakau di kawasan hutan mangrove Maligi Kabupaten Pasaman Barat. DAFTAR PUSTAKA

Aralah, M. F. 2015. Kepadatan, Pola Sebaran dan Morfometrik Gastropoda

(Telescopium Telescopium) Pada

Daerah Mangrove Jailolo Halmahera Barat Maluku Utara. Jurnal. Universitas Sam Ratulangi.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

(5)

Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisus.

Hafiludin. 2012. Analisis Kandungan Gizi dan Senyawa Bioaktif Keong Bakau (Telescopium telescopium) di Sekitar Perairan Bangkalan. Jurnal. Madura: Ilmu Kelautan Trunojoyo Madura. Hamsiah. 2000. Peranan Keong Bakau

(Telescopium telescopium L.) Sebagai Biofilter Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Houbrick. 1991. Systematic Review And

Functional Morphology Of The Mangrove Snails Terebralia And

Telescopium (Potamididae;

Prosobranchia). Malacologia. Department Of Invertebrate Zoology, National Museum Of Natural History, Smithisonian Institution, Washington, D.C. 20560 U.S.A. 33 (1-2): 289-338. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.

51. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta.

Kordi K,M.G.H. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi: Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta. Maryanto. 2014. Pola Distribusi Kepadatan

Populasi Gastropoda (Terebralia Sulcata) di Perairan Muara Sungai Putri Sembilan Kecamatan Rupat Utara. Jurnal. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Semarang: Dahara Prize.

Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Padang: Universitas Andalas.

Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobentos Di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. Skripsi. Universitas Hasanuddin Makassar.

Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos

Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.

Gambar

Tabel  2.  Pengukuran  Faktor  Fisika  Kimia  Perairan  di  Kawasan  hutan    Mangrove  Maligi  Kabupaten Pasaman Barat

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menghasilkan 8 tema yaitu selalu berpikiran negatif sehingga hati tidak tenang, takut kehilangan orang yang dicintai, memastikan klien mendapatkan

merupakan hasil penelitian mahasiswa pada jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2002, penelitian ini mendeskripsikan peran DKM

Dinas Perikanan dan Kelautan, Propinsi Kalimantan Timur (Aktif kembali dengan no LP-835-IDN).

1775) dapat bekerja dengan baik sehingga metabolisme ikan Bandeng (C.chanos Forskåll, 1775) akan berjalan dengan lancar.Perlakuan C mencapai nilai laju pertumbuhan

Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa waktu tunggu pengurusan perijinan lebih dari 15 (lima belas) hari kerja antara lain disebabkan oleh faktor kepemimpinan dalam

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh data pengukuran fleksibilitas punggung pre test dan post test dari sit and reach test dengan nilai sig/ p-value 0,003 < 0,05,

1) Semakin tinggi kecepatan feedwater (kecepatan tube), maka koefisien konveksi sisi tube akan semakin meningkat, dengan laju alir massa feedwater konstan.

Dari beberapa kasus tersebut merupakan contoh mengenai beberapa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik UU No.11 Tahun 2008 terhadap