• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tanah dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat suatu kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat (ter Haar dalam Hutagalung, 2005). Hal ini merupakan hak yang asli dan utama dalam hukum tanah adat dan meliputi semua tanah di lingkugan masyarakat adat dan dapat dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat tersebut .

Hak ini juga dapat diperlakukan terhadap pihak luar dari anggota masyarakat adat. Pelaksanaan terhadap pihak luar tersebut mempunyai wewenang tersendiri atas tanah di lingkungannya dan masyarakat adat mempunyai tanggung jawab atas kerugian yang dilakukan terhadap tanahnya dan mengawasi penggunaan diantara anggota sendiri serta mengatur hak dan tuntutan dari setiap anggota dalam berbagai cara guna memperoleh bagian mereka yang sesuai dengan manfaat umum (van Vollenhoven dalam Hutagalung, 2005, Riyanto, 2004)

Van Vollenhoven membagi secara rinci ciri – ciri hak ulayat, sebagai berikut : a. Hubungan intra komunal

Dasar pembentukan utama kebersamaan pada hak ulayat terletak pada hubungan timbal balik antara hak bersama dengan hak individu.

b. Hubungan ekstra komunal

Hak ulayat mempunyai kekuatan ke luar sebagai suatu kumpulan pembatasan untuk menguasai tanah komunal oleh pihak luar. Pihak luar dapat mempergunakan tanah ualayat dengan membayar uang adat.

c. Tugas kepala adat

Memiliki tugas ganda, keluar yaitu sebagai pihak penguasa dan ke dalam untuk melindungi tanah-tanah jabatan yang dipakai untuk kepentingan bersama.

d. Fungsi hak ulayat

Hak ulayat masyarakat adat tidak hanya terbatas hanya pada tanah dan air tetapi juga terhadap pada tumbuhan dan binatang rimba.

(2)

e. Dua dimensi daerah ulayat

Dua dimensi ulayat terbagi atas dua bagian , meliputi : - Kampung, perumahan dan daerah penghasil makanan - Daerah sebagai wilayah maritim

f. Pembatasan daerah ulayat

Melalui batas hukum adat , daerah ulayat sangat terlindungi dari tuntutan masyarakat hukum adat lainnya. Batas-batas yang tidak jelas di lain pihak dapat ditemukan di daerah yang tidak berpenduduk.

Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh undang-undang dan para ahli hukum yang merupakan hubungan hukum antara suatu masyarakat hukum adat dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan “lebens raum” bagi para warganya sepanjang masa. Masyarakat hukum adat sendiri tidak memberikan nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya atau sebutan hutannya yang berada dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam bahasa adat setempat (Harsono, 2002).

II.1. Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian

Kasepuhan Ciptagelar yang merupakan Pusat Pemerintahan Kesatuan Adat Banten Kidul adalah komunitas masyarakat adat yang masih memegang teguh adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tinggal dan menetap di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yang mana akhir-akhir ini banyak menimbulkan konflik pertanahan yang disebabkan oleh karena belum batas yang jelas antara masyarakat adat kasepuhan dengan TNGHS dan adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak . Kasepuhan Ciptagelar yang berasal dari wilayah Bogor berpindah tempat untuk mencari tempat kehidupan yang lebih baik di sekitar Gunung Halimun sejak tahun 1902 hingga tahun 1942 mempunyai kehidupan bersifat semi nomaden (berpindah-pindah berdasarkan wangsit) dan membentuk suatu komunitas adat yang bernama Kesatuan Adat Banten Kidul yang sampai saat ini tinggal dan menetap di dalam kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) .

(3)

Balai Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BPTNGHS) sebagai lembaga yang mengelola Taman Nasional sejak tahun 2003 dengan adanya penggabungan antara Taman Nasional Gunung Halimun dangan Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak mempunyai luas areal ± 113.357 Ha. Dengan semakin berkembangnya populasi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dan sifat yang semi nomaden pihak BPTNGHS merasa khawatir , karena luas wilayah hutan semakin berkurang dan ekosistem Taman Nasional Gunung Halimun Salak akan menjadi terganggu.

Sehubungan dengan adanya konflik di kedua belah pihak yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), peneliti merasa perlu mengadakan penelitian tentang keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar .

II.2. Landasan Teori

II.2.1 Tinjauan Umum Hukum Adat dalam Sistem Hukum Pertanahan di Indonesia

Yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat ialah suatu kelompok yang teratur bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, juga kekayaan sendiri baik berupa benda yang kelihatan dan tidak kelihatan (ter Haar dalam Sumardjono, 1982).

Hukum adat diartikan sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tapi tetap dihormati dan ditaati oleh masyarakat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum adat yang berlaku dalam lingkup masyarakat adat tersebut.

Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legeslatif (unstatory law), meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi tetap ditaati dan didukung oleh masyarakat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang berlaku dalam lingkup masyarakat adat tersebut (Wignjodipuro, 1995).

(4)

Masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari itu untuk selama-lamanya (ter Haar dan Soepomo dalam Muhammad, 1984).

Sebagai suatu bentuk hukum yang memiliki kumpulan norma-norma, norma hukum tersebut tersusun dalam suatu tatanan atau sistem . Sistem tersebut melingkupi pula lembaga adat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan nyata masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan memiliki konsepsi hukum adat yang dapat dirumuskan sebagai konsepsi komunalistik religious (van Vollenhoven dalam Harsono, 1997) .

Komunalistik yaitu terdapat sifat kebersamaan dalam kehidupan masyarakat adat, sedangkan yang dimaksud religious yaitu masyarakat adat yang sangat mempercayai hal-hal gaib dan sangat menghormati kepercayaan yang diwariskan nenek moyang. Sehubungan dengan kedua pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa konsepsi komunalistik religius dapat diartikan bahwa masyarakat adat mempunyai kebersamaan yang tinggi dan mempercayai hal-hal gaib dalam kehidupannya.

Menurut tatanan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 golongan (ter Haar, 1939 dalam Abdurahman , Wenzel, 1997; Sutanto-Sunario, 1999; Soepomo, 1981), yaitu :

a. Berdasarkan pertalian suatu keturunan (geneologis)

Pertalian berdasarkan keturunan ini dibagi atas 3 macam, yaitu : 1). Pertalian menurut garis bapak (Patrilineal)

misalnya orang Batak, Nias dan Sumba 2). Pertalian menurut garis ibu (Matrilineal) misalnya famili di Minangkabau

3). Pertalian menurut garis keturunan Bapak dan Ibu (Parental) misalnya Kalimantan dan Jawa pada umumnya

(5)

b. Berdasarkan lingkungan daerah (teritorial)

Pertalian masyarakat adat berdasarkan lingkungan daerah terbagi atas 3 (tiga) jenis :

1). Persekutuan Desa, yaitu segolongan orang yang terikat berdasarkan tempat tinggal

Contoh : Desa di Jawa dan Bali

2). Persekutuan Daerah, yaitu kumpulan di dalam suatu daerah tersebut terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tatanan susunan dan pemerintah sejenis yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari kumpulan daerah tersebut, mempunyai harta dan hutan sendiri di sekelilingnya .

Contoh : Kuria di Angkola , Tapanuli Selatan dan marga di Sumatera Selatan.

3). Perserikatan beberapa Desa, yaitu kumpulan beberapa kampung yang terletak berdekatan satu sama lain mengadakan persetujuan untuk memelihara kepentingan bersama .

Contoh : perserikatan huta-huta di Batak

Menurut kenyataannya di Indonesia hanya ada beberapa daerah yang sususnan masyarakatnya bersifat geneologis, misalnya orang Gayo, dimana klan-klan / golongan hanya mengenal ikatan berdasarkan keturunan saja.

Tatanan masyarakat adat yang berdasarkan teritorial saja misalnya yang terdapat di Jawa, Madura, Bali dan Ambon.

Selain kedua hal tersebut di atas dikenal pula tata susunan masyarakat adat yang bersifat geneologis teritorial, artinya untuk menjadi anggota masyarakat hukum seseorang harus termasuk dalam suatu kesatuan geneologis dan harus bertempat tinggal di dalam daerah masyarakat adat tersebut .

Contoh : Nagari di Minangkabau , Kuria dan Huta di Tapanuli (Batak).

Para warga masyarakat adat sebagai anggota kelompok, masing – masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna

(6)

memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang disebut hak milik .

Hak penguasaan yang bersifat individu merupakan hak yang bersifat pribadi, karena tanah yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya, sedangkan kebutuhan kelompok dipenuhi dengan penggunaan sebagian tanah bersama oleh kelompok di bawah pimpinan Kepala Adat.

Tanah adat bersama tersebut bukan hanya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan suatu generasi, tetapi diperuntukkan sebagai unsur pendukung utama dalam kehidupan dan penghidupan generasi terdahulu, sekarang dan yang akan datang, maka wajib dikelola dengan baik dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan warga masing – masing dan keluarganya .

Hak ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum yang konkret antara masyarakat hukum adat dengan tanah di wilayahnya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah di wilayahnya ini bukanlah hubungan milik melainkan hubungan pertanahan sebagaimana disebut dengan istilah beschikkingsrecht, dimana dengan tegas disebutkan bahwa masyarakat hukum adat tidak dapat memindahtangankan beschikkingsrecht tersebut (van Vollenhoven dalam Sumardjono, 1982).

Obyek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan . Tidak mudah untuk mengetahui secara pasti batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat teritorial, sedangkan untuk masyarakat hukum adat bersifat geneologis diketahui tanahnya yang mana termasuk tanah yang dipunyai bersama.

Dalam hubungan dengan keberadaan hak ulayat, beberapa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dapat dikemukakan seperti di bawah ini (Sumardjono, 1999) ;

a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat ;

(7)

b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat ;

c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, yaitu :

 Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam dan lain-lain), persediaan dan pemeliharaan tanah;

 Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu);

 Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan, dan lain-lain).

Berdasarkan pendapat para ahli hukum adat tersebut , maka dapat dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :

a. Terdapat masyarakat yang teratur ; b. Menempati suatu tempat teratur ;

c. Ada kelembagaan yang mengatur kehidupannya ; d. Memiliki kekayaan bersama ;

e. Susunan masyarakat bedasarkan pertalian suatu keturunan dan atau berdasarkan lingkungan daerah ;

f. Hidup secara komunal dan gotong royong .

Setiap anggota dalam suatu masyarakat adat dapat memiliki hak perseorangan atas tanah yang dibatasi olah hak ulayat, dimana anggota masyarakat adat ini masing– masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah ulayat guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak sementara sampai dengan hak yang tanpa batas waktu , yang biasa disebut dengan hak milik.

Seorang warga persekutuan mempunyai hak untuk membuka tanah dan mengerjakan tanah tersebut secara terus menerus sehingga ia memiliki hak atas tanah tersebut. Apabila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi maka tanah itu akan kembali menjadi tanah ulayat.

(8)

II.2.2 Peraturan Perundang-Undangan mengenai Hukum Pertanahan Adat

Dasar hukum berlakunya hukum adat di Indonesia diatur oleh beberapa Undang-Undang, baik yang mengatur secara umum maupun secara khusus, antara lain :

1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 (LN. 1960 No. 104) , dalam Pasal 2 ayat 4 UUPA, hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional , menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Dengan demikian hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sumber daya hutan adalah hak yang menurut hukum nasional bersumber dari pendelegasian wewenang hak menguasai negara kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan . Walaupun dalam masyarakat hukum adat diposiskan sebagai sub ordinat dari negara, dengan pernyataan Pasal 2 ayat 4 ini membuktikan bahwa keberadaan masyarakat adat tetap tidak dapat dihilangkan.

Sedangkan Pasal 3, menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara dan pasal 5 UUPA menetukan hukum adat menjadi dasar begi pembuatan hukum agraria .

2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 yang telah diganti dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 41 Tahun 1999 (LN. 199 No. 167) , dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan Konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air, dan kekayaan lam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat , maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat asas manfaat dan lestari , kerakyatan, keadilan , kebersamaan , keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung jawab. Dalam Pasal

(9)

5 ditetapkan bahwa hutan di Indonesia digolongkan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang beada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut UUPA, termasuk di dalamnya hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga atau sebutan lannya. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai .

3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 . Dengan telah diundangkannya undang-undang tentang Pemerintah Daerah, maka Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dalam rangka pengelolaan hutan adat. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk mendukung hutan adat antara lain :

- Inventarisasi daerah yang masih terdapat masyarakat hukum adat

- Melakukan pengkajian dan penelitian

- Menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah masyarakat hukum adat dalam bentuk Peraturan Daerah

- Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkan wilayah masyarakat hukum adat sebagai hutan adat.

Pengaturan tersebut perlu ditindaklanjuti dalam bentuk Perda bagi wilayah yang memiliki masyarakat hukum adat dan adanya hak-hak ulayat yang melekat di dalamnya .

4. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan . Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1967 yang tersurat dalam Pasal 1 yang menyatakan :

“ Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “.

(10)

Dengan demikian meskipun di dalam tanah dikelola dan dikuasai masyarakat adat terdapat bahan-bahan galian, berdasarkan pasal tersebut mereka tidak berwenang untuk menguasai atau mempergunakannya karena hak menguasai seluruh bahan galian tambang ada pada negara. Negara mengatur pemberian atau distribusi hak pengusahaan atau pemanfaatannya kepada individu atau badan hukum tertentu secara terpisah melalui Kuasa Pertambangan.

Hal ini dapat diiterpretasikan bahwa jika satu pihak telah memiliki kuasa pertambangan di suatu wilayah tertentu , dimana wilayah tersebut melekat hak milik atas tanah dari orang lain atau dari masyarakat adat maka dapat dipastikan pemegang kuasa pertambangan tidak akan terhenti kegiatannya hanya karena tidak mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah atau masyarakat adat, bahkan jika perlu dapat melakukan perbuatan yang merugikan bagi pemilik tanah asalkan tersedia uang ganti rugi. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat 1 – 4 memuat mekanisme penentuan ganti rugi bagi pemilik tanah akibat kegiatan pertambangan dari pemegang kuasa pertambangan dimana mekanisme tersebut juga tidak memungkinkan ada pilihan lain bagi pemilikm tanah untuk melepaskan haknya kepada pemegang kuasa pertambangan.

5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 (LN. 1990 No. 49) tentang Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekositemnya. Dalam Pasal 37 ayat 1 ditentukan bahwa peran rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna . Sedang dalam Pasal 37 ayat 2 ditentukan bahwa dalam pengenbangan peran serta, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan .

Dari beberapa undang-undang yang tersebut di atas , yang akan dibahas dalam Bab III berikut adalah undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK).

(11)

II.3 Konsep Batas Daerah Secara Umum

Batas merupakan hal yang sangat penting dalam suatu wilayah atau bidang, terutama menyangkut kepada pengakuan wilayah kekuasaan dan pembatasan kewenangan di antara dua wilayah yang berbeda. Batas wilayah merupakan penanda berakhirnya suatu wilayah di setiap daerah yang terkait dengan aspek kewenangan dalam pengelolaan suatu daerah .Dengan adanya otonomi daerah baik di wilayah darat maupun laut secara proporsional, maka daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan wilayahnya untuk melakukan perencanaan pembangunan yang mengacu kepada unsur keruangan serta pengelolaan aset sumber daya alam , untuk itu kejelasan dan ketegasan batas wilayah sangat diperlukan .

Batas merupakan penanda dari suatu wilayah, selain batas dapat juga didefinisikan dalam segi hukum, yaitu suatu garis khayal yang memisahkan dua wilayah yang bersebelahan (Dale dan McLaughlin, 1999).

Batas dapat dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu :

- Fixed boundary, didefinisikan sebagai garis presisi dari suatu batas yang dapat ditentukan .

- General Boundary, memperlihatkan suatu batas melalui pendekatan yang tidak presisi, contohnya batas yang didefinisikan dalam obyek natural seperti hutan (Dale dan McLauhglin, 1999).

Dari segi hukum, batas merupakan sebuah garis khayal (imaginary line) yang memisahkan dua buah wilayah yang saling bersinggungan. Umumnya suatu batas direpresentasikan dalam suatu obyek fisik yang menggambarkan garis khayal tersebut, misalnya dalam suatu persil dibatasi oleh suatu pagar atau pembatas lain yang menandakan bahwa persil tersebut telah dimiliki oleh seseorang. Hal yang perlu adalah suatu batas fisik umumnya berupa pagar dapat mendeskripsikan suatu batas dari wilayah tertentu, padahal dilihat dari segi hukum suatu obyek fisik dapat saja tidak bersinggungan dengan batas hukum dari wilayah tersebut. Jadi secara hukum suatu batas fisik hanya merupakan penanda serta menjadi batas wilayah saja, bukan merupakan indikator dari batas hukumnya .diperhatikan

Monumen yang menjadi penanda suatu wilayah tertentu, mengindikasikan batas wilayah tersebut. Obyek fisik yang dijadikan batas haruslah permanen , stabil, mudah

(12)

diidentifikasi dan mudah terlihat. Obyek fisik dapat berbentuk apa saja asal memenuhi syarat tersebut, contohnya : tembok, pagar, atau deretan titik patok yang menandainya (Dale dan McLaughlin, 1999). Tetapi ada juga batas wilayah yang tidak dapat ditentukan batasnya secara spesifik, batas tersebut hanya dapat ditentukan secara umum, misalnya di kampung-kampung adat yang batas wilayah kampung adatnya berupa hutan atau sungai tanpa pernah ditentukan batas spesifiknya .

II.4 Citra Landsat Thematic Mapper ( TM )

Sejak diluncurkannya satelit sumber daya alam oleh Amerika Serikat pada bulan Juli 1972 dan Maret 1978, penggunaan data informasi penginderaan jauh, selain foto udara yang merupakan penginderaan jarak jauh dianggap paling baik saat itu karena mempunyai tingkat resolusi yang tinggi serta sifat stereoskopisnya sangat baik, permukaan bumi dapat direkam dan dilihat secara lebih luas dari suatu ketinggian tertentu di ruang angkasa . Satelit tersebut merupakan satelit bumi generasi I , yaitu Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3 dan merupakan satelit dengan sensor yang dapat memberikan informasi mengenai permukaan bumi.

Pada bulan Juli 1982 dan Maret 1984 kembali diluncurkan satelit bumi generasi II, yaitu Landsat 4 dan Landsat 5, yang merupakan satelit semi operasional atau satelit untuk penelitian dan pengembangan yang sudah tentu lebih baik dari generasi pertamanya, karena satelit ini telah mengalami perbaikan dalam resolusi spasial, spectral , dan radiometric (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1994).

Dengan mengurangi ketinggian orbit dari 920 km menjadi 705 km, resolusi spasial meningkat dari 80 m menjadi 30 m dan pada generasi berikutnya resolusi spasial dari citra landsat ini telah dapat diperbesar menjadi 15 meter. Resolusi spectral yang lebih baik dan ketelitian radiometric yang lebih tinggi diperoleh dengan menggatikan sensor return beam vidicom (RBV) dengan thematic mapper (TM) sehingga yang tadinya beroperasi dengan tiga saluran (band) berubah menjadi tujuh saluran. Enam saluran diantaranya dirancang untuk memantau vegetasi, dan satu saluran untuk jenis batuan (Sutanto, 1994).

(13)

Pemanfaatan citra landsat telah banyak digunakan untuk beberapa kegiatan survey maupun penelitian , antara lain geologi, pertambangan , geomorfologi, hidrologi, dan kehutanan . Dalam setiap perekaman , citra landsat mempunyai cakupan area 185 km x 185 km , sehingga aspek dari obyek yang diliput cukup luas untuk dapat diidentifikasi tanpa harus menjelajahi seluruh daerah yang disurvey atau yang diteliti. Dengan demikian, metode ini dapat menghemat waktu maupun biaya dalam pelaksanaanya dibandingkan secara konvensional atau survey secara teristris di lapangan.

Setiap warna dalam citra satelit memberikan makna tertentu, misalnya warna hijau mengidentifikasi adanya vegetasi dan makin hijau warnanya berarti vegetasinya semakin lebat atau hutan. Warna biru menunjukkan adanya kenampakan air, dan semakin biru atau biru kehitaman berarti wilayah tersebut tergenang (water body) . Bila warna biru ada kesan petak-petak yang ukurannya lebih besar dan lokasinya dekat dengan garis pantai berarti areal tersebut adalah areal tambak.

Unsur pola dan site/lokasi dapat digunakan untuk membantu mengenali jenis penggunaan lahan dan tanaman/vegetasi yang tumbuh di daerah tersebut. Sebagai contoh apabila ada kenampakan warna hijau pada wilayah berpetak yang lokasinya di daratan , hal ini mengidentifikasikan adanya lahan sawah yang ditanami padi. Warna hijau (vegetasi) pada wilayah berpola aliran radikal sentrifugal menunjukkan adanya tanaman tahunan atau hutan yang tumbuh di daerah berlereng (berbukit atau gunung). Unsur-unsur yang digunakan sebagai dasar analisis dalam interpretasi citra landsat dapat diuraikan sebagai berikut (Lillesand dan Keifer, 1994 ) :

- Ukuran (size) : ukuran meliputi panjang, lebar, luas, sehingg antara obyek yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan dan dibuat batasan.

- Rona (tone) : menunjukkan perbadaan gelap terangnya suatu obyek yang dipengaruhi oleh tingkat kelembapan, misalnya adanya genangan atau atau keadaan vegetasi penutup tanah itu sendiri.

- Warna : warna sangat dipengaruhi oleh reflektansi yang berbeda, dan setiap vegetasi atau tanaman dapat memberikan warna alami (true color) maupun warna semu (false color)

(14)

- Tekstur : merupakan gabungan antara rona dengan ukuran serta jarak yang satu dengan lain dengan membedakan menjadi halus atau kasar, seragam atau tidak seragam.

- Pola : merupakan sususnan suatu obyek yang terjadi secara alami ataupun buatan.

- Resolusi : unsur ini merupakan ukuran kemampuan perekaman suatu obyek, sehingga dapat dibedakan dengan yang lain. Resolusi sasial yang semakin rendah mengakibatkan suatu obyek tidak dapat dibedakan secara pasti.

Area yang diamati di lapang dipilih sesuai dengan perbedaan warna dan kelas penggunaan lahan hasil analisis. Pengamatan lapang dianggap selesai apabila setiap kelas/perbedaan warna dalam interpretasi sudah diamati, dicek, dan diyakini kebenarannya sehingga tidak ada lagi kelas penggunaan lahan yang terlewat dan dianggap sudah mempunyai pewakil/sampel area. Setelah pengecekan di lapang, dilakukan pembuatan peta sesuai dengan yang diinginkan sebagai peta final, yang merupakan gabungan antara peta interpretasi dengan hasil pengecekan dan pengamatan di lapangan. Citra landsat thematic mapper sangat membantu dalam identifikasi suatu obyek yang mempunyai ciri-ciri yang spesifik seperti sawah dan waduk atau danau .

II.5. Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap hukum adat ini telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu di berbagai daerah, khusus bagi masyarakat Ciptagelar penelitian masyarakat adat ini masih belum pernah dilakukan terutama ditinjau dari segi hukum dan keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat.

Asep (2002) , meneliti tentang Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan Di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat . Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat Kasepuhan Ciptagelar berbentuk hierarkis yang dilandasi jalinan sistem kekerabatan yang mendominasi berbagai pola hubungan sosial dalam masyarakat tersebut . Dalam bekerjanya mekanisme struktur sosial tersebut ditopang

(15)

oleh sistem pemerintahan adat yang dilandasi oleh nilai-nilai adat serta didukung oleh sistem ekonomi tradisional.

Komponen yang mendukung terbentuknya struktur sosial tersbut adalah ikatan keluarga inti (kulawarga). Oleh karenanya , hubungan sosial antar warga dihayati seperti halnya dalam keluarga. Peran penting yang dimainkan keluarga dalam menopang keberlangsungan struktur sosial adalah proses sosialisasi anak sebagai pembentukan watak dan kepribadian anak.

Adapun nilai yang secara struktural penting dalam berbagai aspek hubungan sosial adalah nilai hormat dan nilai yang menekankan terciptanya tertib sosial yang harmonis. Dalam sistem sosial politik, peranan pemerintah adat sebagai institusi pengatur masyarakat berfungsi menjaga tertib dan keharmonisan sosial dengan cara memupuk ketaatan warganya pada pola hubungan-hubungan sosial yang mapan. Mekanisme adat dalam memperkokoh ikatan solidaristas sosial adalah dengan cara penyelenggaraan berbagai upacara adat sebagai manifestasi dari nilai tatali paranti karuhun.

Dalam sistem ekonomi yang berpijak pada hubungan usaha tani ladang, sawah dan kebun membentuk pola hubungan agraris antara pemilik lahan dan penggarap. Pola hubungan ini berdasar pada prinsip kerjasama dan tolong menolong yang memberi puluang bagi terjaminnya warga pada subsitensinya. Pola hubungan demikian dilandasi oleh semangat kekeluargaan yang menumbuhkan semangat setia kawan dan bermuara pada nilai solidaritas kelompok.

Struktur sosial masyarakat kasepuhan dibentuk oleh jalinan integrasi dari sistem kekerabatan, sistem pemerintahan adat dan sistem ekonomi tradisional. Elemen tersebut saling mendukung dan memperkuat menjadi daya kohesivitas sosial yang mengikat kesatuan masyarakat tradisional kasepuhan.

Tim Peneliti dan Pengkaji Masyarakat Hukum Adat Lombok Barat, 2006 meneliti tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat Buani dan Barumurmas Desa Bentek Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Barat Propvinsi Nusa Tenggara Barat .

Masyarakat Hukum Barumurmas dan Buani yang berasal dari berbagai tempat berdiri pada tahun 1912 yang mana sebagian daerah tersebut berubah menjadi hutan dan

(16)

sebagian lagi berada dalam kawasan hutan. Hal ini terlihat adanya tanda-tanda pemukiman di kawasan hutan seperti adanya pohon nangka, mangga , dan pohon keras lainnya .

Masyarakat adat dusun Buani dan Barumurmas merupakan satu kesatuan persekutuan masyarakat hukum adat yang berjumlah sekitar 150 KK. Di samping tinggal di kampung induk, mereka juga tinggal di beberapa perkampungan kecil bahkan sampai di luar Desa Bentek seperti Desa Tegal Maja Kec. Tanjung. Hubungan mereka dengan masyarakat dari luar desa kemungkinan tidak terlepas dari agama yang sama yaitu Budha.

Persekutuan masyarakat adat ini dapat dilihat dari kegiatan upacara adat yang dilakukan oleh kedua masyarakat hukum adat ini, seperti upacara muja tahun (nunas kaya) dan muja balit (ulih atau aturang kaya). Muja tahun merupakan upacara yang dilakukan untuk meminta hujan , sedangkan upacara muja balit merupakan upacara untuk mensyukuri segala berkat yang diberikan oleh sang pencipta , yang mana kedua upacara ini dilaksanakan secara berturut-turut selama 5 hari di hutan adat Barumurmas dan 5 hari di hutan adat Buani.

Wilayah masyarakat hukum adat Buani, mempunyai batas-batas sebelah Utara berbatasan dengan Orong Luk, sebelah Selatan berbatasan dengan Satan dan Hutan Tutupan, sebelah Barat berbatasan dengan Lendang Galah dan sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Sangkar Bila dan Hutan Tutupan.

Sedangkan masyarakat hukum adat Barumurmas sebelah Utara berbatasan dengan Gondang, sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan Tutupan, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Puncak Leak dan sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Kerurak .

Pranata adat (awiq-awiq) cukup sederhana, misalnya :

1. Larangan menebang kayu di pawang adat tanpa ada persetujuan dari pemangku, dikenai sanksi membayar 2 ekor kambing hitam dan putih, si pelanggar juga harus menyiapkan seperangkat makanan lainnya untuk keperluan menyowok.

(17)

2. Larangan menambat atau melepas ternak di hutan adat, karena merusak tanaman hutan dan sarana pemujaan.

3. Larangan perbuatan asusila di kawasan hutan adat.

Keputusan adat dan sanksi adat diambil melalui mekanisme gundem atau musyawarah yang melibatkan tokoh adat kedua masyarakat adat tersebut.

Rizqi Abdulharis, Kurdinanto Sarah, S. Hendriatiningsih, Andri Hernandi dan Jaap Zevenbergen (2007), meneliti tentang sistem penguasaan tanah menurut hukum adat, studi kasus Kasepuhan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Wilayah masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) mempunyai luas lebih kurang 70.000 Ha. Masyarakat adat Ciptagelar pada awalnya merupakan masyarakat yang berpindah dari wilayah Bogor, Jawa Barat sekitar tahun 1902 sampai tahun 1942. Kasepuhan Ciptagelar merupakan pusat Kasepuhan Banten Kidul yang terdiri dari beberapa kasepuhan, yaitu : Sirnaresmi, Ciptamulia, Cisungsang, Cisitu, Cikarucung, dan Citorek.

Dalam aturan adat Kasepuhan Ciptagelar, kepemilikan suatu bidang tanah bukan seperti yang pada umumnya, mereka tidak mengakui adanya kepemilikan tanah melainkan hanya garapannya sedangkan tanahnya milik adat. Garapan mengandung arti bahwa suatu pemanfaatan lahan di atas suatu bidang tanah bias berupa bengunan atau olahan lainnya (sawah, ladang, kolam dll).

Jadi warga hanya dapat ijin garap dengan syarat harus mengikuti aturan adat atau hukum adat yang berlaku.

Tanah ulayat di Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari :

- Wilayah Olahan (cultivation area), yaitu wilayah bukaan yang merupakan tempat warga melakukan kehidupan sehari-hari seperti bertani dan tempat tinggal.

- Wilayah Non Olahan (non cultivation area) , yaitu wilayah hutan yang terbagi atas leuweung tutupan , leuweung titipan dan leuweung garapan .

(18)

Leuweung tutupan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh dimanfaatkan, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk keperluan adat.

Leuweung titipan, merupakan bagian hutan yang tidak boleh dimanfaatkan secara pribadi oleh warga masyarakat tetapi dapat dipergunakan untuk keperluan adat.

Leuweung garapan , bagian hutan yang bisa dimanfaatkan oleh warga masyarakat Kasepuhan Ciptagelar .

Penentuan lokasi untuk pemukiman dan garapan sawah semuanya diatur oleh ketua adat dan tetap mengikuti aturan – aturan adat , seperti : dilarang membuat rumah atau sawah di daerah sirah cai (hulu dari mata air) , lemah gunting (pertemuan dua sungai kecil) dan pematangan (gundukan tanah atau jalan kecil yang terletak di tengah sawah/ladang) .

Sehubungan dengan belum diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat Kasepuhan Ciptagelar dan belum adanya batas antara wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sehingga perlu diadakan penelitian tentang keberadaan masyarakat hukum adat ini sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan oleh pemerintah. Sejalan dengan itu , Pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat dan Pemerintah Daerah akan menerbitkan Peraturan Daerah tentang Keberadaan Masyarakat Hukum Adat..

Referensi

Dokumen terkait

Spesimen pertama di uji cobakan pada kecepatan putaran 620 rpm, kedalaman pemakanan 1 mm, sudut clearence angel sebesar 10º, rake angle sebesar 12º, back rake

Berdasarkan uji pengaruh pada tabel uji pengaruh yang menggunakan uji Wilcoxon pada kelompok kombinasi Kontraksi Isometrik dengan NMES didapatkan p 0,009

Hubungan Hipertensi, Obesitas dan Diabetes Melitus dengan Kejadian Stroke Di Poli Saraf Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi Tahun 2017.. HUBUNGAN HIPERTENSI, OBESITAS DAN

Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan tentang (1) Pemerintahan Daerah dan Otonomi Daerah; (2) Peraturan yang mencakup

Karena dalam penelitian ini belum dimungkinkan untuk dilakukan penebangan pohon untuk memperoleh serbuk kayu dari bagian kayu teras sejumlah yang dibutuhkan untuk kegiatan

No

Persaingan bisnis saat ini terjadi semakin ketat antar perusahaan, strategi-strategi baru pun dikembangkan pihak perusahaan agar konsumen tetap yakin dengan produk yang mereka

Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya