• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia. aspek SDM dari manajemen kerja. Beberapa pengertian MSDM menurut para ahli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia. aspek SDM dari manajemen kerja. Beberapa pengertian MSDM menurut para ahli"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

6

2.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) berkaitan dengan kebijakan dan praktek – praktek yang perlu dilaksanakan oleh manajer mengenai aspek – aspek SDM dari manajemen kerja. Beberapa pengertian MSDM menurut para ahli antara lain Amstrong (1994) (dalam Alwi, 2012) menyatakan MSDM adalah bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang terbaik dalam kepentingan organisasi. Sedangkan menurut Kenooy (1990) (dalam Alwi, 2012), MSDM merupakan suatu metode untuk memaksimumkan hasil dari sumber daya tenaga kerja dengan mengintegrasikan MSDM ke dalam strategi bisnis. Menurut Storey (1995) (dalam Alwi, 2012), MSDM adalah pendekatan yang khas terhadap manajemen tenaga kerja yang berusaha mencapai keunggulan kompetitif melalui pengembangan strategi dari tenaga kerja yang mampu dan memiliki komitmen tinggi dengan menggunakan tatanan kultur yang integrated, structural dan teknik-teknik personel.

Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia yaitu suatu metode pengelolaan sumber daya manusia didalam sebuah organisasi agar mampu mencapai tujuan dari organisasi secara maksimal melalui pengembangan sumber daya manusia itu sendiri.

(2)

2.2. Pengelolaan SDM

Menurut Ed’s (2008) mengelola SDM perusahaan pada dasarnya merupakan kegiatan perusahaan dalam mengelola para pegawainya (SDM). Pengelolaan dimulai dari rekrutmen yang meliputi perencanaan SDM, analisa jabatan yang menentukan pekerjaan serta jabatan yang pantas, seleksi, pelatihan dan pengembangan, penilaian prestasi kerja, pemberian kompensasi, serta pembaharuan yang berhubungan dengan pensiun dan pemberhentian kerja. Untuk itu hal yang paling utama adalah membuat rancangan pengelolaan SDM, yaitu seluruh bagian dari SDM harus dibuat terpadu atau setiap aspek merupakan komponen yang tak terpisahkan. Rancangan setiap perusahaan tentu saja berbeda-beda tergantung dari tujuan atau Visi misi Perusahaan dan Rancangan yang telah dibuat dapat diimplementasikan dan dapat diterima oleh stackeholder.

Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pengelolaan SDM guna meningkatkan kualitas serta kinerja SDM dalam suatu organisasi antara lain (Schuller, 1990 dalam Ellitan 2002):

1. Mengelola SDM untuk menciptakan kemampuan (kompetensi) SDM

2. Mengelola diversitas tenaga kerja untuk meraih keunggulan bersaing

3. Mengelola SDM untuk meningkatkan daya saing atau competitiveness

4. Mengelola SDM untuk menghadapi globalisasi (go international)

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan dalam pengelolaan SDM guna meningkatkan kualitas suatu perusahaan adalah dengan meningkatkan kinerja dari SDM itu sendiri, maka perlu diketahui lebih lanjut mengenai peningkatan SDM.

(3)

2.3. Peningkatan Kualitas SDM

Kualitas SDM dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan pemberian kompensasi yang adil termasuk berbagai fasilitas kesejahteraan karyawan. Beberapa Pengertian kualitas SDM yang dipaparkan oleh para ahli yaitu :

1. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (dalam Lang,2012) dalam buku “Pengembangan Sumber Daya Manusia” menyatakan bahwa Kualitas Sumber Daya Manusia adalah menyangkut dua aspek yaitu aspek fisik (kualitas fisik) dan aspek nonfisik (kualitas non-fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berfikir dan keterampilan.

2. Menurut M. Dawam Raharjo (dalam Lang, 2012) dalam buku “Intelektual, Inteligensia dan prilaku politik bangsa” Kualitas SDM tidak hanya ditentukan oleh aspek keterampilan atau kekuatan tenaga fisiknya saja, akan tetapi juga ditentukan oleh pendidikan dan kadar pengetahuannya, pengalaman atau kematangannya dan sikapnya serta nilai-nilaiyang dimilikinya.

3. Manurut Robbins (dalam Enifah, 2012) kualitas SDM dapat diukur dari keberhasilan peningkatan kemampuan teoritis, peningkatan kemampuan teknis, peningkatan kemampuan konseptual, peningkatan moral dan peningkatan keterampilan teknis.

Dari pengertian diatas disimpulkan bahwa Kualitas Sumber Daya Manusia adalah sumber daya yang memiliki kompetensi baik dari aspek fisik maupun aspek intelektual. Berdasarkan pengertian diatas peningkatan kualitas Sumber Daya manusia dapat dilakukan dengan cara :

(4)

a. Peningkatan kualitas fisik dapat diupayakan melalui program kesehatan dan gizi

b. Peningkatan kualitas kemampuan non fisik dapat dilakukan dengan pelatihan (training), seminar dan workshop.

2.4. Hubungan peningkatan kualitas SDM dengan Kinerja SDM

Pada dasarnya kinerja karyawan merupakan hasil proses yang kompleks, baik berasal dari diri pribadi karyawan (internal factor) maupun upaya strategis dari perusahaan (Kartikandari, 2002 dalam Husnawati, 2006). Faktor-faktor internal seperti motivasi, tujuan, harapan dan lain sebagainya, sementara faktor-faktor eksternal seperti lingkungan fisik dan non fisik perusahaan. Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Husnawati, 2006).

Kualitas SDM merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi, karena kualitas SDM dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta anggota atau karyawan terhadap organisasi. Kualitas SDM mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan. Adanya kualitas SDM juga meumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi (Husnawati, 2006). Penelitian menunjukan adanya hubungan positif antara kualitas SDM dengan kinerja karyawan (Elmuti dan Kathawala, 1997 dalam Husnawati, 2006)

(5)

2.5. Peningkatan Kinerja SDM

Dalam meningkatkan kinerja SDM manajemen harus selalu mencari, mengembangkan dan mempertahankan SDM yang sesuai dengan kebutuhan organisasi, melalui perencanaan SDM kebutuhan tersebut secara sistematis dapat dipenuhi. Perencanaan SDM merupakan proses menentukan kebutuhan SDM tergantung pada karakteristik perusahaan dan orientasi strateginya. Terdapat tiga strategi dalam perencanaan SDM, yaitu (Alwi, 2012) :

1. Perencanaan SDM dan Orientasi strategik

SDM dalam suatu perusahaan diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap strategi corporate yang dijalankan oleh manajemen bagi pencapaian tujuan yang diharapkan. Melalui perencanaan, manajemen diharapkan mampu memperoleh SDM yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan orientasi strategic organisasi.

2. Tahap perencanaan taktikal SDM

Perencanaan taktikal pada dasarnya merupakan proses penyebaran SDM dalam fungsi-fungsi dan jabatan yang ada dalam organisasi, modal dan material pada tingkat organisasi secara keseluruhan pada tingkat fungsional dan tingkat unit. Proses ini ditentukan oleh:

a. Struktur Organisasi

b. Kultur organisasi / Budaya Organisasi c. Sistem Budget

(6)

3. Perencanaan Operasional SDM

Perencanaan operasional SDM berkaitan dengan perencanaan strategik yang telah disusun oleh top manajemen. Perencanaan SDM merupakan proses penentuan program-program yang spesifik terutama kebutuhan karyawan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai derivasi dari perencanaan strategic organisasi.

Dari uraian diatas pada tahap perencanaan taktikal SDM disebutkan peranan kultur dalam peningkatan kinerja SDM. Namun dari literature tentang strategi peningkatan SDM melalui peranan budaya organisasi khususnya pada bidang konstruksi masih belum banyak diteliti. Untuk lebih memahami tentang Budaya Organisasi maka perlu diketahui lebih lanjut bagaimana peranan Budaya Organisasi terhadap SDM dan apa yang dimaksud dengan Budaya Organisasi itu sendiri.

2.6. Budaya Organisasi

2.6.1. Pengertian dari Budaya Organisasi

Budaya Organisasi adalah pengertian dari kata budaya dan organisasi itu sendiri, menurut beberapa ahli pengertian dari budaya organisasi adalah :

1. Menurut Peter F. Druicker dalam Tika (2014) Budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota – anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait diatas

(7)

2. Menurut Amnuai dalam Tika (2014), Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.

3. Budaya organisasi adalah kerangka berfikir yang diyakini secara bersama – sama oleh setiap anggota organisasi tersebut yang terdiri dari asumsi –asumsi dan nilai – nilai dasar. Asumsi dan nilai – nilai dasar ini disosialisasikan kepada setiap anggota baru sebagai cara atau persepsi mereka dalam berfikir, merasakan, bertingkah laku, dan bagaimana mereka menaruh harapan agar orang lain dalam organisasi juga berperilaku sama seperti mereka (Aiman-Smith dalam Tjahyanti (2011))

4. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391) dalam Bagus (2009), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntut perilaku dari anggota itu sendiri.

5. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll yang dikutip oleh Munandar (2001:391) dalam Bagus (2009), Budaya Organisasi adalah cara-cara berfikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola – pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian – bagian organisasi.

6. Menurut Robbins (1996:289) dalam Bagus (2009) budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota – anggota organisasi itu. 7. Menurut Schein (1992:12) dalam Bagus (2009), budaya organisasi adalah pola

(8)

masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berfikir dan merasakan masalah yang dihadapi

8. Menurut Cushway dan Lodge (GE:2000) dalam Bagus (2009), budaya organisasi merupakan system nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dengan cara para karyawan berperilaku.

9. Menurut Glaser et al. (1987) dalam Brahmasari dan Suprayetno (2008), Budaya Organisasional merupakan pola-pola kepercayaan, symbol-simbol, ritual-ritual dan mitos-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu yang berfungsi sebagai perekat suatu organisasi.

10. Menurut Hofstede (1986:21) dalam Brahmasari dan Suprayetno (2008), menyebutkan bahwa budaya diartikan sebagai dari ciri – ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok – kelompok orang dalam lingkungannya.

Dari beberapa pengertian mengenai budaya organisasi diatas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.

2.6.2. Jenis – jenis Budaya Organisasi

Jenis – jenis Budaya Organisasi dibagi menjadi dua yaitu bedasarkan proses informasi dan berdasarkan tujuannya. Berdasarkan Proses Informasinya oleh Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath dalam Tika (2014) membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi sebagai berikut :

(9)

a. Budaya Rasional

Dalam budaya ini proses informasi individual (klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kinerja yang ditunjukan (efisiensi, produktivitas, dan keuntungan atau dampak)

b. Budaya Ideologis

Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitaisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan)

c. Budaya Konsensus

Dalam budaya ini pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipasi dan consensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama kelompok)

d. Budaya Hirarkies

Dalam budaya hirarki, pemrosesan informasi kolektif (dokumentasi, komputasi dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, control dan koordinasi)

Sistem transaksi atau aturan pengelolaan keempat jenis budaya organisasi di atas dapat dilihat pada Table 2.1

(10)

Tabel 2.1

Sistem Transaksi atau aturan pengelolaan empat jenis budaya organisasi menurut Quinn dan Grath (dalam Chandra, 1994)

Penjelasan Budaya Rasional Budaya Ideologis Budaya Konsensus Budaya Hirarkis Keperluan/ tujuan organisasi

Mengejar tujuan Keperluan yang luas

Memelihara kelmpok

Melaksanakan aturan

Kriteria kinerja Produktivitas, efisiensi Dukungan ekternal, pertumbuhan dan perolehan sumber daya

Moral kohesi Control stabilitas

Lokasi otoritas Bos Karisma Keanggotaan Aturan

Dasar

kekuasaan Kompetensi Nilai - nilai

Status informal Pengetahuan teknis Pengambilan keputusan Pernyataan formal atas keputusan Pandangan dari dalam yang intuitif Partisipasi Analisis factual Gaya kepemimpinan Mengarahkan, berorientasi pada sasaran Menguslkan, berorientasi pada risiko Hirau, mendukung Konservatif, waspada/hati – hati Pemberian pendapat Perjanjian kontrak Komitmen pada nilai - nilai Komitmen berasal dari proses Pengawasan dan control Evaluasi anggota Keluaran yang tampak Intensitas untuk berusaha Kulaitas

hubungan Kriteria formal Motif – motif

kepemilikan Pemeliharaan Pertumbuhan aplikasi Keamanan Sumber : Chandra (1994) dalam Tika (2014)

Berdasarkan tujuannya menurut Ndraha (1997) dalam Tika (2014) budaya organisasi berdasarkan tujuannya, yaitu :

a. Budaya Organisasi perusahaan b. Budaya Organisasi publik c. Budaya Organisasi sosial

(11)

2.7. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap peningkatan kinerja

Budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap peningkatan kinerja suatu organisasi atau perusahaan, hal ini dikemukakan oleh Kotter dan Heskett (1992) dalam Tika (2014). Ada empat kesimpulan yang dikemukakan yaitu :

1. Budaya perusahaan dapat mempunyai dampak yang berarti terhadap kinerja ekonomi jangka panjang. Perusahaan – perusahaan dengan budaya yang mementingkan setip komponen utama manajerial (pelanggan, pemegang saham dan karyawan) dan kepemimpinan manajerialpada semua tingkat berkinerja melebihi perusahaan yang tidak memiliki ciri – cirri budaya tersebut dengan perbedaan yang sangat besar.

2. Budaya perusahaan mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam dasawarsa yang akan datang. Budaya yang menomersatukan kinerja mengakibatkan dampak keuangan negatif dengan berbagai alasan.

3. Budaya perusahaan yang menghambat kinerja keuangaan jangka panjang cukup banyak, budaya – budaya tersebut mudah berkembang bahkan dalam perusahaan – perusahaan yang penuh dengan orang – orang yang pandai dan berakal sehat. Budaya – budaya yang mendorong perilaku yang tidak tepat dan menghambat perusahaan kearah strategi yang lebih tepat, cenderung muncul perlahan – lahan dan tanpa disadari dalam waktu bertahun – tahun biasanya sewaktu perusahaan berkinerja baik.

4. Budaya perusahaan dapat diubah agar bersifat lebih meningkatkan kinerja. Dibutuhkan waktu dan menuntuk kepemimpinan yang sedikit berbeda,

(12)

kepemimpinan harus dipandu oleh suatu visi yang realistis terhadap jenis budaya mana yang meningkatkan kinerja.

Dalam mendukung kesimpulan tersebut Kotter dan Hesket (1992) dalam Tika (2014) mengemukakan tiga teori, yaitu :

1. Budaya yang kuat berkaitan dengan kinerja yang unggul

Pada sebuah organisasi atau perusahaan dengan budaya yang kuat karyawan cenderung berbaris mengikuti genderang yang sama, budaya kuat membantu kinerja bisnis karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa dalam diri karyawan, budaya kuat membantu kinerja karena memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. Skema hubungan penciptaan budaya yang kuat dengan peningkatan kinerja perusahaan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Kepemimpinan dari manajemen puncak

Satu atau dua manajer puncak adalah pemimpin yang unggul dengan perspektif luas dari orang luar namun mempunyai kredibilitas orang dalam.

Kinerja perusahaan yang diinginkan Organisasi mengalami keberhasilan dalam

bidang – bidang dimana praktir – praktik cocok dengan semua kebutuhan konstituensi

Budaya perusahaan baru Perilaku/ Praktik

Koalisi yang bertumbuh dari manajemen puncak merangkul praktik yang sesuai dengan organisasi

Nilai

Koalisi yang tumbuh dari para manajer yang bersama – sama menganut beberapa nilai manajer puncak.

Gambar 2.1

Skema budaya Organisasi dan peningkatan kinerja perusahaan Sumber : Kotter dan Heskett (1997) dalam Tika (2014)

(13)

2. Budaya secara strategis cocok

Teori ini secara eksplisit menyatakan arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi karyawan jika ingin meningkatkan kinerja perusahaan. Teori ini juga menekankan bahwa budaya dikatakan baik jika “cocok” dengan konteksnya. Teori ini juga meramalkan bahwa sebuah budaya yang diwarnai oleh pengambilan keputusan yang cepat dan tidak memiliki perilaku birokratis akan meningkatkan kinerja dalam lingkungan yang melakukan transaksi secara sangat kompetitif dari suatu merger dan pembelian atas perusahaan yang dianggap berlawanan, namun merusak kinerja dalam sebuah perusahaan asuransi tradisional.

Budaya pesaing yang berkinerja baik

Nilai anutan bersama

Perilaku/ Praktik Nilai anutan bersama

Strategi Bisnis utama dari mereka yang berkinerja baik

Konteks bisnis dalam industri

Pasar Keuangan Pasar Produksi/jasa Pasar tenaga kerja

Strategi bisnis kunci dari mereka yang berkinerja kurang

Strategi bisnis kunci dari mereka yang berkinerja kurang Kecocokan yang baik sampai unggul

Kecocokan yang baik sampai unggul

Kecocokan yang baik sampai unggul

Kecocokan yang cukup sampai jelek

Kecocokan yang cukup sampai jelek

Kecocokan yang baik sampai unggul

Gambar 2.2

Hubungan kecocokan Budaya/ Konteks dengan kinerja perusahaan Sumber : Kotter dan Heskett (1992) dalam Tika (2014)

Budaya pesaing yang berkinerja kurang

Nilai anutan bersama

Perilaku/ Praktik Nilai anutan bersama

(14)

3. Budaya yang adaptif

Budaya ini dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan lingkungan yang akan diasosiasikan dengan kinerja yang superior sepanjangn periode waktu yang panjang.

Menurut Ralph Killmann dalam Kotter dan Heskett sebuah budaya yang adaptif meminta pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya dan proaktif terhadap kehidupan organisasi juga kehidupan individu.

Menurut Kotter dan Heskett (1992) dalam Tika (2014) juga mengemukakan bahwa budaya yang adaptif, menghargai dan mendorong kewiraswastaan yang dapat membantu perusahaan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Kotter mengemukakan bahwa kepemimpinan diperlukan untuk menghasilakan perubahan dan jika sebuah budaya mendorong aktivasi diseluruh hirarki, dia akan menghasilkan sejumlah besar pengambilan risiko, inisiatif, komunikasi dan motivasi.

2.8. Model dan Karakteristik dalam membangun Budaya Organisasi Ada berbagai model budaya organisasi yang dikembangkan oleh para peneliti baik secara kualitatif maupun kuantitaif untuk dapat memahami budaya organisasi antara lain :

1. Hofstede (2012) mengidentifikasikan 7 dimensi budaya organisasi yaitu : a. Power Distance, yaitu tingkatan dimana adanya ekspektasi untuk

(15)

b. Uncertainty avoidance, yaitu refleksi dari keluasan penerimaan katidakpastian dan resiko dari anggota organisasi

c. Individualism vs collectivism, merupakan gambaran harapan anggota organisasi untuk berdiri pada kepercayaan sendiri atau alternative tindakan – tindakan yang dibutuhkan sebagai anggota dari suatu kelompok atau organisasi.

d. Masculinity vs femininity, merupakan refleksi dari nilai – nilai yang dipercaya secara tradisional oleh pria atau wanita

e. Long vs Short term orientation, menggambarkan nilai – nilai dimasa depan yang dibandingkan dengan nilai saat ini dan nilai masa lampau.

f. Monumentalism versus Flexumility, menggambarkan kebanggaan dan konsistensi diri seperti sebuah monument monolik atau berlawanan seperti fleksibilitas dan kerendahan hati.

g. Indulgence versus Restrain, menggambarkan tentang kebebasan dalam berorganisasi atau teratur dalam sebuah aturan norma sosial yang ketat pada organisasi.

2. O’Reilly Chatman dan Cadwell (1991) dalam Tjahyanti (2011) pada Teori Organizational Culture Profile (OCP) menyatakan budaya organisasi memiliki 7 karakteristik yaitu :

a. Innovation dan risk taking, memiliki semangat inovasi, respon yang cepat untuk memanfaatkan peluang, berani mengambil resiko, berani bertanggung jawab.

(16)

b. Attention to detail, bersikap hati – hati, memperlihatkan perhatian pada hal – hal yang detail, memiliki wewenang terhadap kapasitas masing – masing, berorientasi pada peraturan, memiliki sifat ketepatan dalam bekerja

c. Outcome orientation, berorientasi pada proses dan pencapaian akhir, menekankan pada kualitas, memiliki perbedaan dengan yang lain, mampu bersaing.

d. People orientation, berorientasi pada manusia, bersifat adil, menghormati hak – hak individu, member peluang bagi perkembangan professional, bertoleransi.

e. Team orientation, berorientasi pada keunggulan kelompok, memiliki kebebasan berbagi informasi, ada upaya kolaborasi, berorientasi pada manusia.

f. Aggressiveness, aagresif, berorientasi pada aksi – aksi, memiliki inisiatif, berorientasi pada pencapaian, memiliki harapan tinggi pada kinerja.

g. Stability, stabilitas, tenang, keamanan karyawan, konflik yang minim Dan Nagel (2006) menambahkan karakteristik yang ke-8,

h. Agility, kemampuan beradaptasi, dapat bekerja dengan pihak lain, menekankan pada adaptasi strategi – strategi baru, menekankan pada aspek kualitas, memiliki keunikan berbeda dengan yang lain, memiliki kemampuan kompetensi, memiliki keteraruran

(17)

3. Cameron dan Quinn (2011) dan juga disebutkan dalam Hidayat (2012) melalui pendekatan OCAI (Organization Culture Assessment Instrument) terdapat 4 tipe profil budaya organisasi :

a. Clan Culture (internal, fleksibel), ciri dari Budaya organisasi clan dicirikan dengan tempat kerja yang menyenangkan, seperti sebuah keluarga besar. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menjalankan peran mentor, bahkan sebagai “orang tua” bawahannya dan perekat dari organisasi ini adalah loyalitas dan tradisi

Tipe kepemimpinan : Fasilitator, Mentor dan membuat tim Nilai Pendorong : Komitmen, Komunikasi dan pembangunan

Teori efektivitas : Pengembangan manusia dan partisipasi menghasilkan efektifitas

Strategi kualitas : Pemberdayaan, pembuatan tim, partisipasi pegawai, pengembangan SDM dan komunikasi terbuka.

b. Adhocracy Culture (eksternal, fleksible), ciri dari budaya organiasi adhocracy tempat kerja yang dinamis, kreatif dan entrepreneurial. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang mempunyai visi jauh kedepan, inovatif dan berani mengambil resiko dan perekat dalam organisasi ini adalah komitmen pada peluang untuk eksperimen dan inovasi secara terus menerus.

Tipe kepemimpinan : Inovator, Wiraswastawan, bervisi

Nilai pendorong : Keluaran yang inovatif, transformasi/perubahan dan kecekatan

(18)

Teori efektivitas : Inovasi, Visi dan sumber daya yang baru akan menghasilkan efektivitas.

Strategi kualitas : Membuat strandar baru, mengantisipasi kebutuhan dan perbaikan terus menerus, menemukan solusi kreatif.

c. Market Culture (eksternal, stabilitas), ciri dari budaya organisasi market tempat kerja yang berorientasi pada hasil. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang keras hati, suka bekerja keras dan gesit. Perekat dalam organisasi ini adalah keinginan untuk memenangkan persaingan.

Tipe kepemimpinan : pendorong yang keras, kompetitif dan produktif. Nilai pendorong : pencapaian tujuan, bagian pasar dan keuntungan

Teori efektivitas : kompetisi yang agresif, dan fokus pada pelangganan akan menghasilkan efektivitas organisasi.

Strategi kualitas : mengukur keinginan pelanggan, menunjukan produktivitas, menciptakan kemitraan dengan pihak eksternal, memajukan rasa kompetisi, partisipasi dari pelanggan dan pemasok.

d. Hierarchy Culture (internal, stabilitas dan control), cirri dari budaya organisasi ini adalah tempat kerja yang formal dan terstruktur, prosedur baku menetukan apa yang harus dilakukan oleh anggota organisasi, pemimpin yang efektif adalah koordinasi yang baik, memelihara kelancaran di perusahaan adalah hal yang teramat penting.

Tipe kepemimpinan : Koordinator, pemantau dan organisator

(19)

Teori efektivitas : Kontrol dan efisiensi dengan prosedur standar yang layak akan menghasilkan efektivitas.

Strategi kualitas : menemukan kesalahan, pengukuran dan pengendalian proses, penuntasan masalah yang sistematis dan alat – alat penjaga kualitas.

Jenis kecenderungan budaya organisasi tersebut dapat diilustrasikan dalam Competing Values Framework (CVF) seperti Gambar 2.3 :

Gambar 2.3

Jenis Budaya Organisasi dalam Competing Value Framework Sumber : Cameron and Quinn, 2011

(20)

Cameron dan Quinn lebih lanjut mengembangkan OCAI dengan membedakan menggunakan enam dimensi Budaya organisasi yaitu Karakteristik dominan, Kepemimpinan Organisasi, Pengelolaan Karyawan, Perekat organisasi, Penekanan Strategis, Kriteria Sukses.

a. Karakteristik Dominan, dimensi ini menunjukan karakteristik apa yang mudah dilihat dan paling menonjol didalam sebuah lingkungan organisasi. Melalui perhitungan OCAI dapat diketahui budaya apa yang paling dominan di dalam lingkungan organisasi.

b. Kepemimpinan Organisasi, dimensi ini menunjukan gaya kepemimpinan apa yang ada didalam organisasi, model kepemimpinan, dan persepsi bawahan terhadap model kepemimpinan yang ada. Melalui perhitungan OCAI dapat diketahui budaya apa yang paling dominan dalam lingkup kepemimpinan organisasi tersebut.

c. Pengelolaan karyawan, dimensi ini menunjukan bagaimana cara pengelolaan karyawan pada sebuah organisasi, baik pengelolaan secara individu maupun kelompok. Melalui perhitungan OCAI dapat diketahui pengelolaan karyawan yang paling menonjol pada organisasi tersebut. d. Perekat organisasi, dimensi ini menunjukan bagaimana nilai-nilai yang

digunakan dalam merekatkan segala sumber daya pada sebuah organisasi. Melalui perhitungan OCAI dapat budaya yang paling dominan dalam hal faktor perekat organisasi.

e. Penekanan Strategis, dimensi ini menunjukan cara yang digunakan sebuah organisasi untuk memfokuskan segala elemen di dalam mencapai misi

(21)

strategis yang ada. Melalui perhitungan OCAI dapat diketahui budaya yang paling dominan dalam penekanan strategis sebuah organisasi.

f. Kriteria Sukses, dimensi ini menunjukan bagaimana sebuah organisasi menetapkan sebuah standar di dalam pencapaian tujuan yang ada. Melalui perhitungan OCAI dapat diketahui budaya yang paling dominan dalam criteria sukses.

Dari keenam dimensi Budaya Organisasi tersebut dapat dilihat kecenderungan Budaya Organisasi saat ini (current) dan yang diinginkan di masa yang akan datang (preferred) pada suatu organisasi dengan mengilustrasikannya pada Competing Values Framework (CVF). Pada kecenderungan Budaya Organisasi saat ini (current) dan yang diinginkan di masa yang akan datang (preferred) terdapat perbedaan atau gap. Perbedaan dari kecenderungan Budaya Organisasi ini merupakan informasi yang sangat penting karena dari perbedaan ini dapat menentukan strategi untuk perubahan yang diinginkan. Signifikasi perbedaan Budaya Organisasi saat ini (current) dan yang diinginkan (preferred) sebesar plus atau minus lebih besar dari 5% menunjukan perlunya upaya perubahan besar (Cameron dan Quinn, 2011).

4. Shein (2004) dalam Tjahyanti (2011) menyatakan budaya organisasi terdiri dari 3 tingkatan :

a. Artifacts, aspek budaya organisasi yang dapat diamati seperti layout, seragam, pernyataan visi – misi, struktur organisasi, proses atau standar operasi dan lain – lain.

(22)

b. Espoused Values, aspek budaya yang dapat diamati sebagai norma-norma, ideology, strategi, tujuan atau sasaran organisasi, filosofi yang terdokumentasi.

c. Basic Underlying Assumptsions, inti dari budaya organisasi yaitu sesuatu yang diyakini ada tetapi tidak dirasakan atau persepsi, pemikiran, perasaan yang taken-for-granted.

Dari model – model yang diuraikan diatas, model OCAI yang dikembangkan oleh Cameron and Quinn (2011) banyak dipakai untuk mengidentifikasi tipe Budaya Organisasi di dunia konstruksi dalam kaitannya untuk meningkatkan SDM. Beberapa contoh pengidentifikasian tipe budaya organisasi dengan model OCAI dalam dunia konstruksi adalah oleh Liu, Shuibo dan Meiyung (2006), Igo dan Skitmore (2006), Oney-Yazici, Giritli, Topcu-Oraz, Acar (2007), Brockmann dan Dohren (2006), Hakan Erkutlu (2008) Dan oleh Johanna Nummelin (2007). Pemilihan model OCAI untuk penelitian ini karena

Gambar 2.4

Budaya organisasi menurut Shein Sumber : Tjahyanti (2011)

(23)

selain sudah banyak dipakai, metode dengan OCAI ini dapat mengetahui kecenderungan Budaya Organisasi pada perusahaan saat ini dan dimasa yang akan datang / yang diinginkan sehingga dapat langsung diketahui strategi apa yang harus dilakukan dalam meningkatkan kinerja SDM.

2.9 Uji Reliabilitas dan Validitas

Dalam penggunaan Kuesioner harus dilakukan uji reliabilitas guna menentukan reliabilitas serangkaian item pertanyaan dalam kehandalannya mengukur suatu variable dan uji validitas untuk mengetahui seberapa valid suatu item pertanyaan mengukur variable yang diteliti. Untuk Kuesioner OCAI ini telah digunakan oleh banyak peneliti dalam studi berbagai organisasi. Studi – studi yang dilakukan dalam analisisnya telah diuji semua reliabilitas dan validitasnya. Beberapa studi akan dijelasakan secara singkat untuk memberikan bukti reliabilitas dan validitas dari kuesioner OCAI (Cameron & Quinn, 2011).

2.7.1 Uji Reliabilitas

Reliabel berarti sejauh mana instrument penelitian ini konsisten, yaitu setiap dilakukan pengujian terhadap kuesioner hasilnya tetap konsisten. Salah satu studi yang menguji reliabilitas dari kuesioner OCAI adalah Quinn dan Spreitzer (1991) dalam penelitiannya terhadap 769 eksekutif dari 86 perusahaan umum yang berbeda. 769 eksekutif termasuk manager teratas (13% dari sampel), manajer menengah keatas (45%), manajer menengah (39%) dan setara staf pekerja (2%). Uji reliabilitas yang dilakukan menggunakan nilai koefisien cronbach alpha untuk setiap tipe budaya. Hasilnya tiap koefisien secara statistik

(24)

signifikan saat dibandingkan dengan standar normal reliabilitas. Nilai koefisiennya adalah 0,74 untuk clan culture, 0,79 untuk adhocracy culture, 0,73 untuk hierarchy culture dan 0,71 untuk market culture. Dengan kata lain responden cenderung menilai budaya organisasi mereka secara konsisten untuk berbagai pertanyaan didalam kuesioner OCAI ini. Dalam studi tersebut skala yang digunakan adalah skala likert (bukan skala ipsative yang digunakan dalam OCAI). Yeung, Brockbank dan Ulrich (1991) juga melakukan studi yang sama dengan menggunakan instrument OCAI. Studi mereka juga memberikan bukti reliabilitas, yaitu studi dari 10.300 eksekutif di 1.064 bisnis. Hasil dari studi tersebut menunjukan reliabilitas dari clan culture 0,79, reliabilitas dari adhocrary culture 0,8, hirerachy culture 0,76 dan market culture 0,77. Hal yang sama juga dilakukan oleh Zammuto dan Krakower (1991) yang menggunakan instrument OCAI untuk menyelidiki budaya lembaga pendidikan tinggi dengan responden lebih dari 1.300 responden. Hasil dari studi mereka yaitu 0,82 untuk clan culture, 0,83 untuk adhocracy culture, 0,78 untuk market culture dan 0,67 untuk hierarchy culture.

Selain studi diatas sejumlah penelitian juga melakukan hal yang sama misalnya Peterson, Cameron, Spencer dan White (1991). Dalam setiap studi yang serupa reliabilitas tipe budaya menunjukan pola yang konsisten. Dengan kata lain bukti yang cukup telah dipaparkan mengenai reliabilitas dari kuesioner OCAI untuk meyakinkan bahwa kuesioner ini cocok dengan reliabilitas dari instrument yang paling umum digunakan dalam ilmu social dan organisasi.

(25)

2.7.2 Uji Validitas

Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Artinya apakah instrument ini benar - benar tepat dalam mengukur empat tipe budaya organisasi yang ada dalam suatu organisasi. Seperti halnya uji reliabilitas, hal yang sama juga dilakukan dalam uji validitas. Cameron dan Freeman (1991) melakukan studi tetang budaya organisasi dari 334 lembaga pendidikan tinggi dan menghasilkan bukti validitas dari instrument OCAI. Contoh dari organisasi ini mewakili seluruh populasi dari perguruan tinggi dan universitas di Amerika Serikat. Dalam lembaga pendidikan tinggi ini responden yang berpatisipasi berjumlah 3.406, responden yang dipilih adalah individu yang mampu memberikan keseluruhan gambaran dari setiap lembaga pendidikan tinggi tersebut. Respoden yang termasuk adalah presiden, kepala akademik, bagian keuangan, mahasiswa dan petugas institusi penelitian, kepala departemen yang terpilih dan wali yang terpilih.

Bukti untuk validitas dari instrument budaya ini adalah saat tipe budaya cocok dengan efektivitas utama seperti pengambilan keputusan, struktur dan strategi yang digunakan dari sebuah organisasi yang maju. Organisasi yang memiliki tipe budaya clan culture memiliki efektivitas paling utama yaitu dari kinerja yang berkaitan dengan moral, kepuasan, komunikasi intern dan dukungan, segala atributnya konsisten dengan nilai clan culture. Organisasi dengan tipe budaya adhocrary culture memiliki efektivitas paling utama yaitu dari kinerja yang berkaitan dengan adaptasi, keterbukaan system dan inovasi, segala atribut konsisten dengan nilai adhocracy culture. Organisasi dengan tipe budaya market

(26)

culture memiliki efektifitas paling utama yaitu dari kinerja yang berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkan seperti pendapatan dan sumber daya dengan kemampuan yang baik, segala atribut konsisten dengan nilai market culture. Sedangkan organisasi dengan tipe budaya hierarchy culture tidak unggul dalam kinerja utama.

Analisis statistik tambahan juga mengungkapkan bahwa organisasi dengan tipe budaya yang berbeda juga memiliki strategi organisasi yang berbeda, proses pengambilan keputusan yang berbeda dan struktur yang berbeda. Clan culture memiliki karakter dengan kolegialitas dalam pengambilan keputusan dan perasaan yang khusus dari identitas dan misi organisasi. Adhocracy culture memiliki karakter dengan inovasi, strategi yang agresif dan inisiatif. Market culture memiliki karakter dengan keagresivitasan dan strategi pencarian. Hierarchy culture memiliki karakter dengan kontrol keuangan yang ketat dan efisiensi. Analisis ini menghasilkan hasil yang sangat konsisten dengan nilai yang diterapkan dan atribut organisasi yang diklaim menjadi tipe setiap budaya dalam competing value framework. Dengan kata lain, bukti yang kuat untuk validitas yang terjadi bersama-sama telah dihasilkan.

Quinn dan Spreitzer (1991) juga menemukan bukti untuk dua jenis validitas yang lain, yaitu validitas kovergent dan validitas diskriminan. Pengujian kedua jenis validitas ini digunakan menggunakan analisis multitrait-multimetode dan analisis skala multidimensi. Untuk membuktikan validitas dari instrument OCAI koefisien korelasi yang terdapat pada kuadran budaya yang sama harus secara signifikan tidak sama dengan nol dan memiliki nilai yang cukup (Campbell

(27)

dan Fisk, 1959). Validitas konvergen memiliki nilai korelasi yang sesuai, seperti yang disyaratkan semua koefisien korelasi diagonal secara statistik memiliki nilai tidak sama dengan nol (r < 0,001) dan nilainya berkisar antara 0,212 dan 0,515. Validitas diskriminan yang diuji dalam 3 cara yaitu yang pertama skala dalam kuadran budaya yang sama dites untuk melihat apabila korelasinya lebih tinggi dengan lainnya lalu dilakukan dengan skala dari kuadran budaya yang berbeda dihitung menggunakan instrument yang terpisah (Campbell dan Fisk, 1959). 23 dari 24 perbandingan konsisten sesuai harapan. Cara kedua, skala dalam budaya yang sama diharapkan memiliki korelasi yang lebih tinggi dari lainnya dibandingkan dengan skala dalam kuadran budaya yang berbeda dan dihitung dengan cara yang sama. 16 dari 24 perbandingan konsisteb sesuai harapan. Cara ketiga dilakukan dengan pola yang sama dari hubungan timbal balik yang diperkirakan akan ada didalam dan diantara masing-masing metode independent. Kecocokan dari koefisien Kendall’s dihitung dan memperoleh nilai koefisien 0,764. Dari ketiga cara yang dilakukan dengan menggunakan multitrait-multimetode membuktikan validitas konvergen dan diskriminan dari instrument OCAI ini.

Bukti validitas lainnya ditemukan oleh Zammuto dan Krakower (1991). Dalam studi mereka tentang budaya perguruan tinggi, mereka menemukan bahwa clan culture sangat terkait dengan desentralisasi, kepercayaan, rasa keadilan kepada sesama anggota organisasi, moral yang tinggi, kepuasan kepada pemimpin. Semua faktor ini konsisten dengan nilai-nilai inti yang diwakilkan oleh clan culture. Adhocracy culture sangat terkait dengan formalitas, kecenderungan

(28)

terhadap perubahan dan orientasi yang proaktif terhadap strategi dan perubahan. Semua faktor ini konsisten dengan nilai-nilai inti yang diwakilkan oleh Adhocracy culture. Market culture sangat terkait dengan kepemimpinan direktif, konfrontasi dan konflik, penghargaan untuk prestasi. Semua faktor ini konsisten dengan nilai-nilai inti yang diwakilkan oleh Market culture. Hierarchy culture sangat terkait dengan formalitas, pertahanan terhadap perubahan, stabilitas, orientasi reaktif terhadap perubahan dan moral yang rendah. Semua faktor ini konsisten dengan nilai-nilai inti yang diwakilkan oleh Hierarchy culture.

Selain studi diatas sejumlah penelitian juga melakukan hal yang sama untuk validitas instrument OCAI. Berdasarkan pengalaman penelitian diatas menunjukan bahwa dalam pengukuran menggunakan instrument OCAI yang harus diperhitungkan adalah hal-hal utama dari budaya organisasi yang memiliki dampak kepada organisasi dan individu, serta instrument OCAI ini merupakan instrument yang valid dan reliable.

Referensi

Dokumen terkait

Pemimpin mempengaruhi bawahannya, demikian sebaliknya. Orang‐orang yang  terlibat  dalam  hubungan  tersebut  menginginkan  sebuah  perubahan 

Pada pemodelan log linier dalam penelitian ini, variabel yang digunakan ditentukan dari variabel respon pada model regresi logistik biner dan variabel prediktor yang

dapat dilakukan dengan meng-update data informasi atau data produk pada website dan. memperbaiki tampilan website

Kesenjangan antar daerah merupakan salah satu masalah yang terjadi

Dilihat dari rasio kualitas aktiva produktif yang diwakili oleh rasio NPL, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah, karena

Garis-garis lurus pararel ( sejajar ) ialah garis lurus yang terletak dalam suatu bidang datar dan jika diperpanjang tak terbatas pada ke-2 arahnya tidak akan

Intervensi keperawatan yang dilakukan penulis untuk mengatasi nyeri adalah observasi keadaan umum dan observasi tanda-tanda vital klien dengan rasional pemeriksaan

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes) kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus