• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak (PP Irigasi No.20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak (PP Irigasi No.20"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

II-1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Irigasi

Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak (PP Irigasi No.20 : 2006). Sedangkan pengertian lain irigasi adalah penambahan kekurangan kadar air tanah secara buatan yakni dengan memberikan air secara sistematis pada tanah yang diolah. Kebutuhan air irigasi untuk pertumbuhan tergantung pada banyaknya atau tingkat pemakaian dan efiensi jaringan irigasi yang ada (Kartasaputra, 1991). Dengan demikian Irigasi merupakan suatu ilmu yang memanfaatkan air untuk tanaan mulai dari tumbuh sampai masa panen. Air tersebut diambil dari sumbernya, dibawa melalui saluran, dibagikan kepada tanaman yang memerlukan secara teratur, dan setelah air tersebut terpakai, kemudian dibuang melalui saluran pembuang menuju sungai kembali. Irigasi dikehendaki dalam situasi: (a) bila jumlah curah hujan lebih kecil dari pada kebutuhan tanaman; (b) bila jumlah curah hujan mencukupi tetapi distribusi dari curah hujan tidak bersamaan dengan waktu yang dikehendaki tanaman.

Irigasi juga menjelaskan aspek engineering dan aspek agrikultural. Aspek engineering yang terdiri atas :

1. Penyimpanan, penyimpangan, dan pengangkutan. 2. Membawa air ke ladang pertanian.

(2)

II-2 4. Pengeringan air yang berlebihan.

5. Pembangkit tenaga air.

Sedangkan aspek agrikultural menyangkut : 1. Kedalaman pemberian air.

2. Pemberian air secara seragam dan berkala. 3. Kapasitas dan aliran yang berbeda.

4. Reklamasi tanah tandus.

2.2 Irigasi Rawa

Rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi, dan biologis (PP Rawa No.27 : 1991). Irigasi rawa yaitu sistem pengairan atau pengelolaan air di daerah rawa dengan membuat jaringan saluran baik primer, sekunder, maupun tersier dan bangunan yang merupakan satu kesatuan, beserta bangunan pelengkapnya, yang diperlukan untuk pengaturan, pembuangan, pemberian, pembagian dan penggunaan air.

2.2.1 Sistem Pengelolaan Irigasi Rawa

Pola pengelolaan air di daerah rawa dipengaruhi oleh kondisi hidraulik disekelilingnya (hydraulic boundary condition), yaitu gerakan air sungai yang meliputi fluktuasi pasang surut, fluktuasi muka air karena pengaruh musim (musim hujan dan musim kemarau), intrusi air laut, serta dipengaruhi oleh aliran yang berasal dari lahan sekitarnya. Dalam hal ini wilayah rawa batu betumpang yang mempunyai curah hujan tinggi maka dapat mengandalkan air hujan sebagai

(3)

II-3 pengairan irigasi serta letaknya dekat dengan daerah pantai maka juga dapat memanfaatkan pasang surut air laut sebagai irigasi. Karena adanya air pasang di muara sungai akan terjadi pembendungan ke arah hulu sungai Ulim dan Binting, semakin besar debit sungai akan semakin tinggi pengaruh pembendungan tersebut. Pada keadaan tersebut akan mungkin terjadi bahwa elevasi muka air pasang dan surut di bagian hulu akan lebih tinggi daripada elevasi muka air pasang dan surut di muara sungai. Sehingga air sungai yang tertahan yang tidak bisa mengalir ke laut dapat dimanfaatkan untuk pengairan dengan membuat jaringan-jaringan irigasi.

Gambar 2.1 Irigasi rawa

2.3 Sistem Irigasi, Jaringan irigasi dan klasifikasi jaringan Irigasi 2.3.1 Sistem Irigasi

Dalam perkembangannya, irigasi dibagi menjadi 3 tipe, yaitu : a. Irigasi Sistem Gravitasi

Irigasi gravitasi merupakan sistem irigasi yang telah lama dikenal dan diterapkan dalam kegiatan usaha tani. Dalam sistem irigasi ini, sumber air diambil dari air yang ada di permukaan bumi yaitu dari sungai, waduk dan

(4)

II-4 danau di dataran tinggi. Pengaturan dan pembagian air irigasi menuju ke petak-petak yang membutuhkan, dilakukan secara gravitatif.

b. Irigasi Sistem pompa

Sistem irigasi dengan pompa bisa dipertimbangkan, apabila pengambilan secara gravitatif ternyata tidak layak dari segi ekonomi maupun teknik. Cara ini membutuhkan modal kecil, namun memerlukan biaya ekspoitasi yang besar. Sumber air yang dapat dipompa untuk keperluan irigasi dapat diambil dari sungai, misalnya Setasiun Pompa Gambarsari dan Pesanggrahan (sebelum ada Bendung gerak Serayu), atau dari air tanah, seperti pompa air suplesi di DI. Simo, kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

c. Irigasi Pasang Surut

Yang dimaksud dengan sistem irigasi pasang-surut adalah suatu tipe irigasi yang memanfaatkan pengempangan air sungai akibat peristiwa pasang-surut air laut. Areal yang direncanakan untuk tipe irigasi ini adalah areal yang mendapat pengaruh langsung dari peristiwa pasang surut air laut. Untuk daerah Kalimantan misalnya, daerah ini bisa mencapai panjang 30-50 km memanjang pantai dan 10-15 km masuk ke darat. Air genangan yang berupa air tawar dari sungai akan menekan dan mencuci kandungan tanah sulfat masam dan akan dibuang pada saat air laut surut. (Guna Darma , Irigasi dan Bangunan Air 1997). Kebutuhan pengamanan banjir dan peluang irigasi pasang surut ditentukan oleh keterkaitan antara elevasi muka lahan, muka air pasang dan efek damping muka air pasang dalam sistem jaringan saluran antara sungai dan lahan yang bersangkutan.

(5)

II-5 Keterkaitan ini dikenal sebagai hidrotopografi lahan dan sangat penting dalam menentukan potensi lahan untuk pengembangan pertanian. Dibedakan ada empat kategori hidrotopografi lahan rawa pasang surut antara lain :

Kategori A. Lahan irigasi pasang surut

Lahan dapat diluapi oleh air pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus pasang purnama, baik musim hujan maupun musim kemarau. Umumnya areal ini terletak di lahan cekungan atau dekat dengan muara sungai.

Kategori B. Lahan irigasi pasang surut secara periodik

Lahan dapat diluapi oleh air pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus pasang purnama hanya pada musim hujan saja.

Kategori C. Lahan di atas muka air pasang

Lahan tidak dapat terluapi air pasang secara reguler, akan tetapi air pasang masih mempengaruhi muka air tanah. Elevasi lahan yang relatif tinggi dapat mengakibatkan banyaknya kehilangan air lewat rembesan yang akan menyebabkan sulitnya atau tidak mungkinnya upaya menahan lapisan air di lahan persawahan. Oleh karena itu, tanaman palawija dan tanaman keras lebih cocok dari pada tanaman padi.

Kategori D. Lahan kering

Lahan ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh air pasang surut. Sangat cocok untuk ditanami palawija dan tanaman keras.

(6)

II-6 2.3.2 Jaringan irigasi

Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi (PP Irigasi No.20 : 2006). Secara hirarki jaringan irigasi dibagi menjadi jaringan utama dan jaringan tersier. Jaringan utama meliputi bangunan, saluran primer dan saluran sekunder. Sedangkan jaringan tersier terdiri dari bangunan dan saluran yang berada dalam petak tersier. Suatu kesatuan wilayah yang mendapatkan air dari suatu jarigan irigasi disebut dengan Daerah Irigasi. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.3.3 Klasifikasi Jaringan Irigasi

Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran, serta kelengkapan fasilitas, jaringan irigasi dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu

(a) jaringan irigasi sederhana (b) jaringan irigasi semi teknis (c) jaringan irigasi teknis

2.3.3.1 Jaringan Irigasi Sederhana

Jaringan irigasi sederhana biasanya diusahakan secara mandiri oleh suatu kelompok petani pemakai air, sehingga kelengkapan maupun kemampuan dalam mengukur dan mengatur masih sangat terbatas. Ketersediaan air biasanya melimpah dan mempunyai kemiringan yang sedang sampai curam, sehingga mudah untuk mengalirkan dan membagi air. Jaringan irigasi sederhana mudah diorganisasikan karena menyangkut pemakai air dari latar belakang sosial yang

(7)

II-7 sama. Namun jaringan ini masih memiliki beberapa kelemahan antara lain, (1) terjadi pemborosan air karena banyak air yang terbuang, (2) air yang terbuang tidak selalu mencapai lahan di sebelah bawah yang lebih subur, dan (3) bangunan penyadap bersifat sementara, sehingga tidak mampu bertahan lama. Gambar 2.2 memberikan ilustrasi jaringan irigasi sederhana. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

Gambar 2.2 Skematis Contoh Jaringan Irigasi Sederhana (Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 01)

(8)

II-8 2.3.3.2 Jaringan Irigasi Semi Teknis

Jaringan irigasi semi teknis memiliki bangunan sadap yang permanen ataupun semi permanen. Bangunan sadap pada umumnya sudah dilengkapi dengan bangunan pengambil dan pengukur. Jaringan saluran sudah terdapat beberapa bangunan permanen, namun sistem pembagiannya belum sepenuhnya mampu mengatur dan mengukur. Karena belum mampu mengatur dan mengukur dengan baik, sistem pengorganisasian biasanya lebih rumit. Gambar 2.3 memberikan ilustrasi jaringan irigasi semi teknis sebagai bentuk pengembangan dari jaringan irigasi sederhana. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

Gambar 2.3 Skematis Contoh Jaringan Irigasi Semi Teknis (Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 01)

(9)

II-9 2.3.3.3 Jaringan Irigasi Teknis

Salah satu prinsip pada jaringan irigasi teknis adalah pemisahan antara saluran irigasi/pembawa dan saluran pembuang/pengatus. Ini berarti bahwa baik saluran pembawa maupun saluran pembuang bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Saluran pembawa mengalirkan air irigasi ke sawah-sawah dan saluran pembuang mengalirkan kelebihan air dari sawah-sawah ke saluran pembuang (Gambar 2.4).

Beberapa sifat daripada sebuah jaringan teknis, diantaranya :

a. Jaringan ini mempunyai infrastruktur teknis yang memungkinkan pengukuran debit dan pembagian air irigasi secara efisien.

b. Jaringan (saluran) pembawa dan saluran pembuang terpisah. Jika digunakan cara gabungan memang mempunyai keuntungan, misalnya penggunaan air bisa lebih hemat dan lebih murah biaya pembuatan salurannya, karena saluran pembawa dapat dibuat lebih pendek dan mempunyai kapasitas yang lebih kecil, tetapi kelemahannya adalah pemeliharaan jaringan kurang dapat dijaga, eksplotasinya sangat sukar dan mungkin jaringannya bisa cepat rusak.

c. Sistem pembagian air harus didasarkan pada petak tersier. Petak tersier adalah kumpulan daripada petak kuarter dan petak kuarter merupakan kumpulan daripada petak sawah yang tergabung menjadi satu unit, dimana para petani mengatur sendiri pembagian airnya.

d. Tiap petak tersier menerima air dari saluran pembawa. Saluran pembawa adalah saluran yang berada dibawah pengawasan Dinas Pengairan dan pemberian air harus diatur dan diukur oleh Dinas Pengairan. Sejumlah

(10)

II-10 petak tersier membentuk petak sekunder yang dialiri oleh saluran sekunder.

e. Saluran utama (induk) menyediakan air bagi sejumlah saluran sekunder dan saluran ini menerima air langsung dari bending di sungai atau dari air tendon (waduk).

f. Sebuah jaringan irigasi teknis dilengkapi dengan alat pengukur sehingga penyediaan air irigasi dapat dibagi ke segenap jaringan sesuai dengan debit yang dibutuhkan. ( Hidrologi, Politeknik Negeri Jakarta 2004)

Gambar 2.4 Skematis Contoh Jaringan Irigasi Irigasi Teknis (Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi KP 01)

(11)

II-11 Secara singkat , klasifikasi jaringan irigasi dapat dilihat pada tabel 2.1

2.4 Kebutuhan Air Irigasi

2.4.1 Pengertian Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi adalah jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan

Klasifikasi jaringan

Teknis Semi Teknis Sederhana

1 Bangunan Utama Bangunan Bangunan Permanen Bangunan

Permanen atau Semi Permanen Sementara

2 Kemampuan bangunan

dalam mengukur dan Baik Sedang Jelek

mengatur debit

3 Jaringan Saluran Saluran irigasi dan Saluran irigasi dan Saluran irigasi dan pembuang terpisah pembuang tidak pembuang jadi satu

sepenuhnya terpisah

4 Petak Tersier Dikembangkan Belum dikembangkan Belum ada jaringan

sepenuhnya

atau densitas

bangunan terpisah yang

tersier jarang dikembangkan

5 Efisiensi secara 50-60% 40-50% <40%

Keseluruhan

(12)

II-12 memperhatikan jumlah air yang diberikan oleh alam melalui hujan dan kontribusi air tanah. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

Kebutuhan air sawah untuk padi ditentukan oleh faktor-faktor berikut : a. Penyiapan lahan

b. Penggunaan konsumtif c. Perkolasi dan rembesan d. Pergantian lapisan air e. Curah hujan efektif. f. Efisiensi irigasi

2.4.2 Penyiapan Lahan

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan air irigasi pada suatu proyek irigasi. Faktor-faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah :

a. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan penyiapan lahan.

b. Jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan.

Faktor-faktor penting yang menentukan lamanya jangka waktu penyiapan lahan adalah :

 Tersedianya tenaga kerja dan ternak penghela atau traktor untuk menggarap tanah.

 Perlu memperpendek jangka waktu tersebut agar tersedia cukup waktu untuk menanam padi sawah atau padi ladang kedua.

(13)

II-13 Faktor-faktor tersebut saling berkaitan, kondisi sosial, budaya yang ada didaerah penanaman padi akan mempengaruhi lamanya waktu yang diperlukan untuk penyiapan lahan. Untuk daerah irigasi baru, jangka waktu penyiapan lahan akan ditetapkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku didaerah-daerah didekatnya. Sebagai pedoman diambil jangka waktu 1,5 bulan untuk menyelesaikan penyiapan lahan diseluruh petak tersier. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

Kebutuhan air selama penyiapan lahan

Untuk perhitungan kebutuhan irigasi selama penyiapan lahan, digunakan metode yang dikembangkan oleh Van de Goor dan Zijlstra (1968). Metode tersebut didasarkan pada laju air konstan dalam It/dt selama periode penyiapan lahan dan menghasilkan rumus sebagai berikut :

IR =Mek/(ek- 1) dengan :

IR = Kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hari).

M = Kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan M = Eo+P (mm/hari).

Eo = Evaporasi air terbuka yang diambil 1,1 Eto selama penyiapan lahan (mm/hari).

P = Perkolasi k = MT/S

T = Jangka waktu penyiapan lahan (hari)

S = Kebutuhan air, untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm, yakni 200+50 = 250 mm. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

(14)

II-14 2.4.3 Penggunaan konsumtif

Penggunaan konsumtif adalah jumlah air yang dipakai oleh tanaman untuk proses fotosintesis dari tanaman tersebut. Penggunaan konsumtif dihitung dengan rumus berikut :

Etc = Kc.Eto dengan :

Etc = evapotranspirasi tanaman (mm/hari) Eto = evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari) Kc = Koefisien tanaman

Evapotranspirasi tanaman acuan (Eto) adalah evapotranspirasi tanaman yang dijadikan acuan, yakni rerumputan pendek. Harga Eto dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus teoritis empiris dengan mempertimbangkan faktor-faktor meteorologi, seperti :

 Temperatur

 Sinar matahari

 Kelembaban

 Kecepatan angin

Dari beberapa rumus yang ada, Metode Pennman yang sudah dimodifikasi sangat dianjurkan untuk digunakan.

dengan :

(15)

II-15 Eto = evapotranspirasi tanaman acuan (mm/hari)

W = Faktor yang berhubungan dengan Temperatur (T) dan elevasi daerah. Untuk daerah Indonesia dengan elevasi antara 0-500 m, hubungan harga T dan W seperti pada (tabel 2.2)

Rs = Radiasi gelombang pendek dalam satuan evaporasi (mm/hari) = (0,25+0,54.n/N).Ra

Ra = radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfer (angka angot) yang dipengaruhi oleh letak lintang daerah. Harga Ra seperti pada (tabel 2.4)

Rn1 = Radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari) = f(t).f(ed).f(n/N)

f(t) = Fungsi suhu (tabel 2.2) f(ed) = Fungsi tekanan uap = 0,34-0,044.√(ed) f(n/N) = Fungsi kecerahan = 0,1+0,9.n/N

f(u) = Fungsi dari kecepatan angin pada ketinggian 2 m dalam satuan (m/dt) = 0,27(1+0,864.u)

U = Kecepatan angin (m/dt)

(ea-ed) = Perbedaan tekanan uap jenuh dengan uap yang sebenarnya ed = ea.Rh

Rh = Kelembaban udara relatif (%)

ea = Tekanan uap jenuh (mbar) (tabel 2.2) ed = Tekanan uap sebenarnya (mbar)

(16)

II-16 c = Angka koreksi Penman yang memasukan harga perbedaan kondisi cuaca

siang dan malam. Harga c tertera pada (tabel 2.3) Tabel 2.2 Hubungan antara T,ea,W,f(t)

Tabel 2.3 Angka koreksi (c) bulanan untuk rumus Penman

Bulan c Bulan c Januari 1,04 Juli 0,90 Februari 1,05 Agustus 1,00 Maret 1,06 September 1,10 April 0,90 Oktober 1,10 Mei 0,90 November 1,10 Juni 0,90 Desember 1,10 T ea W f(t) 0 C Mbar 24,00 29,50 0,735 15,40 25,00 31,69 0,745 15,65 26,00 33,62 0,755 15,90 27,00 35,66 0,765 16,10 28,00 37,81 0,775 16,30 28,60 39,14 0,781 16,42 29,00 40,06 0,785 16,50

(17)

II-17 Tabel 2.4 Angka Angot (Ra) (mm/hari) (wilayah Indonesia, 50LU sampai 100LS)

Bulan

Lintang Utara Lintang Selatan

5 4 2 0 2 4 6 8 10 Januari 13,0 14,3 14,7 15,0 15,3 15,5 15,8 16,1 16,1 Februari 14,0 15,0 15,3 15,5 15,7 15,8 16,0 16,1 16,0 Maret 15,0 15,5 15,6 15,7 15,7 15,6 15,6 15,5 15,3 April 15,1 15,5 15,3 15,3 15,1 14,9 14,7 14,4 14,0 Mei 15,3 14,9 14,6 14,4 14,1 13,8 13,4 13,1 12,6 Juni 15,0 14,4 14,2 13,9 13,5 13,2 12,8 12,4 12,6 Juli 15,1 14,6 14,3 14,1 13,7 13,4 13,1 12,7 11,8 Agustus 15,3 15,1 14,9 14,8 14,5 14,3 14,0 13,7 12,2 September 15,1 15,3 15,3 15,3 15,2 15,1 15,0 14,9 13,3 Oktober 15,7 15,1 15,3 15,4 15,5 15,6 15,7 15,8 14,6 November 14,8 14,5 14,8 15,1 15,3 15,5 15,8 16,0 15,6 Desember 14,6 14,1 14,4 14,8 15,1 15,4 15,7 16,0 16,0 2.4.4 Perkolasi

Laju perkolasi sangat tergantung kepada sifat-sifat tanah. Pada tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1 - 3 mm/hari. Pada tanah-tanah yang lebih ringan, lalu perkolasi bisa lebih tinggi. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

(18)

II-18 Tabel 2.5 Laju perkolasi untuk tanah

2.4.5 Penggantian Lapisan Air (WLR)

Penggantian lapisan air dilakukan setelah pemupukan. Penggantian lapisan air dilakukan menurut kebutuhan. Jika tidak ada penjadwalan semacam itu, lakukan penggantian sebanyak 2 kali, masing-masing 50 mm (atau 3,3 mm/hari selama 1/2 bulan) selama sebulan dan dua bulan setelah transplantasi. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.4.6 Curah Hujan Efektif

Untuk irigasi padi, curah hujan efektif bulanan diambil 80% dari curah hujan minimum tengah bulanan.

2.4.7 Efisiensi Irigasi

Air untuk keperluan irigasi yang diambil dari bangunan sadap (intake) dari sungai, waduk atau sumber air lainnya, dalam pengalirannya menuju areal irigasi akan mengalami beberapa kehilangan air diantaranya akibat penguapan, perlokasi, perembesan bahkan untuk keperluan kebutuhan rumah tangga. Untuk itu maka

Kelas tekstur tanah Perkolasi P (mm/hari)

Sangat ringan 11

Ringan 8

Sedang 5

(19)

II-19 kebutuhan air irigasi disumber perlu ditingkatkan agar kebutuhan air irigasi tetap terpenuhi. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Tanaman 2.5.1 Topografi

Keadaan topografi mempengaruhi kebutuhan air tanaman. Untuk lahan yang miring membutuhkan air yang lebih banyak dari pada lahan yang datar, karena air akan lebih cepat mengalir menjadi aliran permukaan dan hanya sedikit yang mengalami infiltrasi, dengan kata lain kehilangan air di lahan miring akan lebih besar.

2.5.2 Hidrologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perhitungan debit rencana adalah:

2.5.2.1 Data Curah Hujan

Data ini merupakan data curah hujan harian maksimum dalam setahun dinyatakan dalam mm/hari. Data curah hujan diperoleh dari lembaga Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Untuk stasiun curah terdekat dengan lokasi sistem drainase, jumlah data curah hujan untuk perencanaan minimal dibutuhkan jangka waktu 10 tahun. Dalam perhitungan data curah hujan ini menggunakan Analisis Frekuensi. Analisis Frekuensi adalah kejadian yang diharapkan terjadi, rata-rata sekali setiap n tahun.

Data yang diperlukan untuk menunjang teori kemungkinan ini adalah minimum 10 besaran hujan atau debit dengan harga tertinggi dalam setahun

(20)

II-20 diperlukan data minimum 10 tahun. Ada beberapa metode untuk memperkirakan kejadian berulang ini, diantaranya :

1. Metode Gumbel

Metode Gumbel dengan menggunakan cara analitis : Rumus yang digunakan adalah :

…….. (Hidrologi, Teknik Sipil PNJ)

…... (Hidrologi, Teknik Sipil PNJ) dengan :

Xt = Besarnya curah hujan yang diharapkan berulang setiap n tahun Xa = Curah hujan rata-rata dari suatu catchment area (mm)

Yt = Reduce Variate (tabel 2.6) Yn = Reduce Mean (tabel 2.7)

Sn = Reduce Standart Deviation (tabel 2.8) K = Faktor Frekuensi

Sx = Standart Deviasi

n = Jumlah tahun data curah hujan yang didapat Rumus mencari standart deviasi :

Sx = ∑(xi-xa)2 (n-1)

Xt = Xa + K.Sx

K =

Yt - Yn

Sn

(21)

II-21 Tabel 2.6 Harga Reduce Variated (Yt) berdasarkan periode ulang

Periode Ulang

(tahun) 2 5 10 20 25 50 100

Reduce

Variated 0,3665 14,999 22,502 29,606 31,985 39,019 46,001

Sumber : C.D. Soenarto, Hidrologi Teknik, Edisi

Tabel 2.7 Harga Reduced Mean (Yn)

Sumber : C.D. Soenarto, Hidrologi Teknik, Edisi 2

Tabel 2.8 Harga Reduced Standart Deviation (Sn)

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0,9490 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565 20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1086 30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388 40 1,1413 1,1436 1,1458 1,148 1,1449 1,1619 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590 50 1,6070 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1681 1,1708 1,1721 1,1734 60 1,7470 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1803 1,1824 1,1834 1,1844 70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1891 1,1898 1,1898 1,1915 1,1923 1,1930 80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1973 1,1987 1,1994 1,2001 90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2037 1,2038 1,2038 1,2049 1,2055 1,2060 100 1,2065

Sumber : C.D. Soenarto, Hidrologi Teknik, Edisi 2

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220 20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353 30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5402 0,5410 0,5418 0,5424 0,5430 40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481 50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518 60 0,5521 0,5524 0,5587 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545 70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5553 0,5561 0,5463 0,5565 0,5567 80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585 90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599 100 0,5600

(22)

II-22 2. Metode Log Person III

Metode ini juga menggunakan cara statistik seperti halnya metode Gumbel dengan rumus sebagai berikut :

………( Hidrologi, Teknik Sipil PNJ ) dengan ;

Logx = Logaritma data curah hujan

Logxa = Rata-rata logaritma data curah hujan

Logxa = ∑ Logxi

n

Si = deviation standart logaritma dan curah hujan

Si = ∑ (Logxi-logxa)2

n-1

G = Harga yang diperoleh dari tabel, tergantung dari skew coefficient (Cs) dan percentage change

Logx = Logxa+G.Si

Cs = ∑(Logxi – logxa)3 (n-1).(n-2).(n-3)

(23)

II-23 Tabel 2.9 Nilai G berdasarkan Skew Coef dan Precent Change

Skew Coefficient (Cs) Untuk Distribusi Log Person III

Coef (Cs)

Periode Ulang (Tahun)

2 5 10 25 50 100

Probabilitas Kemungkinan Terjadinya

50 20 10 4 2 1 3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891 0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 0,0 -0,000 0,842 1,282 1,750 2,054 2,326 -0,1 0,017 0,836 1,270 1,716 2,000 2,252 -0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 -0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 -0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 -0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 -0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 -0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 -0,8 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733 -0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 -1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 -1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 -1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 -1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197 -1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087 -2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 -2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 -2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,796 0,799 -3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667

(24)

II-24 3. Metode Haspers

Rumus :

………( Hidrologi,Teknik Sipil PNJ ) dengan :

Rt : Curah hujan dengan return periode T tahun Ra : Curah hujan maksimum rata-rata

Sx : Standart deviasi untuk pengamatan n tahun

Sx = 1 R1 – Ra + R2 - Ra 2

µ1

µ2

dengan :

R1 = Curah hujan absolut maksimum 1 R2 = Curah hujan absolut maksimum 2

µ1 =

Standart variable untuk periode ulang R1

µ2 =

Standart variable untuk periode ulang R2

dengan :

Rt = Ra + µ.Sx

µ1

=

n + 1

m1

µ2

=

n + 2

m2

(25)

II-25 m1 & m2 masing-masing ranking dari curah hujan R1 dan R2

n = Jumlah tahun pengamatan

µ =

Standar variable untuk return periode T Tabel 2.10 Standard Variable Haspers

Standard Variable Untuk Setiap Harga Return Period T = Return Period dan µ = Standard Variate

T M T µ T µ T M 1,00 -1,86 6,0 0,81 38 2,49 94 3,37 1,01 -1,35 6,5 0,88 39 2,51 96 3,39 1,02 -1,26 7,0 0,95 40 2,54 98 3,41 1,03 -1,23 7,5 1,01 41 2,56 100 3,43 1,04 -1,19 8,0 1,06 42 2,59 110 3,53 1,05 -1,15 9,0 1,17 43 2,61 120 3,62 1,06 -1,12 10 1,26 44 2,63 130 3,70 1,08 -1,07 11 1,35 45 2,65 140 3,77 1,10 -1,02 12 1,43 46 2,67 150 3,84 1,15 -0,93 13 1,50 47 2,69 160 3,91 1,20 -0,85 14 1,57 48 2,71 170 3,97 1,25 -0,79 15 1,63 49 2,73 180 4,03 1,30 -0,73 16 1,69 50 2,75 190 4,09 1,35 -0,68 17 1,74 52 2,79 200 4,14 1,40 -0,63 18 1,80 54 2,83 220 4,24 1,50 -0,54 19 1,85 56 2,86 240 4,33 1,60 -0,46 20 1,89 58 2,90 260 4,42 1,70 -0,40 21 1,94 60 2,93 280 4,50 1,80 -0,33 22 1,98 62 2,96 300 4,57 1,90 -0,28 23 2,02 64 2,99 350 4,77 2,00 -0,22 24 2,06 66 3,02 400 4,88 2,20 -0,13 25 2,10 68 3,05 450 5,01 2,40 -0,04 26 2,13 70 3,08 500 5,13 2,60 0,04 27 2,17 72 3,11 600 5,33 2,80 0,11 28 2,19 74 3,13 700 5,51 3,00 0,17 29 2,24 76 3,16 800 5,56 3,20 0,24 30 2,27 78 3,18 900 5,80 3,40 0,29 31 2,30 80 3,21 1000 5,92 3,60 0,34 32 2,33 82 3,23 5000 7,90 3,80 0,39 33 2,36 84 3,26 10000 8,83 4,00 0,44 34 2,39 86 3,28 50000 11,08 4,50 0,55 35 2,41 88 3,30 80000 12,32 5,00 0,64 36 2,44 90 3,33 500000 13,74 5,50 0,73 37 2,47 92 3,35

(26)

II-26 2.5.2.2 Intensitas Curah Hujan

Jumlah contoh hujan mempengaruhi kebutuhan air makin banyak curah hujannya, maka makin sedikit kebutuhan air tanaman, hal ini di karenakan hujan efektif akan menjadi besar. Data hidrologi ini sangat penting dalam perencanaan irigasi yaitu untuk mencari Intensitas curah hujan.

1. Definisi Intensitas Curah Hujan

Definisi intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air berkonsentrasi. Intensitas curah hujan mempunyai satuan mm/jam yang artinya besarnya tinggi curah hujan terjadi sekian mm dalam kurun waktu per-jam. Intensitas curah hujan umumnya dihubungkan dengan kejadian dan lamanya durasi hujan turun atau disebut intensitas duration frequency (IDF).

2. Analisis Intensitas Curah Hujan

Jika data curah hujan yang tersedia berupa curah hujan harian, maka perhitungan intensitas curah hujan dapat menggunakan rumus dari Dr.Mononobe, yaitu I = R24 X 24 2/3 24 t dengan :

I = Intensitas curah hujan (mm/jam) t = Lamanya curah hujan (jam)

(27)

II-27 R24 =Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

Jika data curah hujan yang tersedia merupakan curah hujan jangka pendek, maka perhitungan intensitas curah hujan rata-rata dalam t jam (It), dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

Rt merupakan besarnya curah hujan selama t jam.

3. Luas Daerah Tangkapan Hujan atau Catchment Area (A)

Luas daerah tangkapan hujan (catchment area) pada perencanaan saluran adalah daerah pengaliran yang menerima curah hujan selama waktu tertentu (Intensitas curah hujan), sehingga menimbulkan debit limpasan yang harus ditampung oleh saluran, untuk perhitungan luas daerah pengaliran dinyatakan dalam satuan Km2.

4. Debit Andalan

Debit andalan merupakan besarnya debit dengan kemungkinan 80 % terpenuhi atau tidak terpenuhi 20 % dari serangkaian waktu. Untuk menentukan kemungkinan terpenuhi atau tidak terpenuhi, serangkaian data debit yang sudah diamati disusun dengan urutan kecil ke besar.

Besarnya probabilitas terpenuhi dari rangkaian data debit yang telah tercatat dapat dihitung dengan rumus :

It =

Rt

(28)

II-28 P =

N m

dengan :

P = Probabilitas / kemungkinan debit terpenuhi 80 %. m = Urutan atau rangking besarnya debit.

N = Banyaknya data pengamatan.

Debit andalan dicari dengan metode Fj.Mock karena kurang lengkapnya data sekunder yaitu dengan mencari debit aliran sungai.

Metode FJ.Mock

Adapun parameter-parameter yang diperlukan dan langkah perhitungannya dengan menggunakan metode Dr. F.J Mock adalah sebagai berikut:

a. Evapotranspirasi (Pennman) b. Limited Evapotranspirasi c. Water Balance

d. Run off dan Water Storage

A. LIMITED EVAPOTRANSPIRASI Rumus : E1 = Et0 – E E = Et0 x m/20 ( 18 – n ) Dimana: E1 : Limited Evapotranspirasi Et0 : Evapotranspirasi

(29)

II-29 n : Jumlah hari hujan bulanan rata-rata

B. WATER BALANCE Rumus:

Ws = P – E1 Dimana:

Ws : Water Surplus

P : Hujan Bulanan rata-rata E1 : Limited Evapotranspirasi

C. RUN OFF DAN WATER STORAGE Rumus : Q = DRO + BF BF = I – dv(n) DRO = WS – I Dv(n) = V(n) – V(n-1) Dimana: Q : Aliran sungai BF : Aliran Dasar I : Infiltrasi

DRO : Aliran Langsung S : Aliran Lebih

(30)

II-30 5. Debit Puncak Banjir/ Banjir Rencana

Metode Rasional dapat menggambarkan hubungan antara debit dengan besarnya curah hujan untuk DPS dengan luas sampai 500 ha, dan merupakan metode yang paling tua untuk menaksir debit puncak banjir berdasarkan data curah hujan. Untuk menentukan hubungan antara curah hujan dan banjir, rumus umumnya dengan menggunakan metode Haspers adalah :

Keterangan :

(m3/det)

q = Hujan maksimum setempat dalam sehari (point rainfall) (m3/km2/det)

f = Luas DPS (km2)

c. Klimatologi

Keadaan cuaca adalah salah satu syarat yang penting untuk pengelolaan pertanian.Tanaman tidak dapat bertahan dalam keadaan cuaca buruk. Dengan memperhatikan keadaan cuaca dan cara pemanfaatannya, maka dapat dilaksanakan penanaman tanaman yang tepat untuk periode yang tepat dan sesuai dengan keadaan tanah. Cuaca dapat digunakan untuk rasionalisasi penentuan laju evaporasi dan evapotranspirasi, hal ini sangat bergantung pada jumlah jam penyinaran matahari dan radiasi matahari.

d. Tekstur Tanah

Selain membutuhkan air, tanaman juga membutuhkan tempat untuk tumbuh, yang dalam teknik irigasi dinamakan tanah. Tanah yang baik untuk usaha

(31)

II-31 pertanian ialah tanah yang mudah dikerjakan dan bersifat produktif serta subur. Tanah yang baik tersebut memberi kesempatan pada akar tanaman untuk tumbuh dengan mudah, menjamin sirkulasi air dan udara serta baik pada zona perakaran dan secara relatif memiliki persediaan hara dan kelembaban tanah yang cukup.

2.6 Kebutuhan Air tanaman

Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor evaporasi, transpirasi, yang kemudian dihitung sebagai evapotranspirasi. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.6.1 Evaporasi

Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara disebut evaporasi (penguapan). Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah suhu air, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari dan lain-lain yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Pada waktu pengukuran evaporasi, maka kondisi ketika itu harus diperhatikan, mengingat faktor itu sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.

2.6.2 Transpirasi

Transpirasi adalah suatu proses pada peristiwa uap air meninggalkan tubuh tanaman dan memasuki atmosfir. Fakta iklim yang mempengaruhi laju transpirasi adalah : intensitas penyinaran matahari, tekanan uap air di udara, suhu, dan kecepatan angin. Transpirasi dari tubuh tanaman pada siang hari dapat melampaui

(32)

II-32 evaporasi dari permukaan air atau permukaan tanah basah, tetapi sebaliknya pada malam hari lebih kecil bahkan tidak ada transpirasi.

2.6.3 Evapotranspirasi

Evapotranspirasi sering disebut sebagai kebutuhan konsumtif tanaman yang merupakan jumlah air untuk evaporasi dari permukaan areal tanaman dengan air untuk transpirasi dari tubuh tanaman.

2.7 Hubungan Kebutuhan Air Irigasi dengan Kebutuhan Air Tanaman

Gambar 2.5 Neraca air yang masuk dan keluar dari suatu lahan

Agar terjadi keseimbangan air di suatu lahan pertanian maka dirumuskan sebagai : IR = (ET+Pd+P&I)-R Air Irigasi (IR) Air Hujan (R) Air Bagi Pengolahan Tanah (Pd) Air Merembes ( Perkolasi dan Infiltrasi P & I) Air Bagi Tanaman (ET) Tanaman

(33)

II-33

Jika tidak ada hujan (R= 0), maka jumlah air irigasi IR = (ET+Pd+P&I).

Jika hujan deras (R lebih besar dari ET+Pd+P&I), pada saat ini air irigasi tidak dibutuhkan, bahkan diperlukan pembuangan air (drainase) agar lahan tidak tergenang air secara berlebihan.

Kelebihan maupun kekurangan air pada lahan pertanian berakibat buruk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.

2.8 Pola Tata Tanam dan Sistem Golongan 2.8.1 Pola tata tanam

Pengaturan pola tata tanam adalah kegiatan mengatur awal masa tanam, jenis tanaman dan varitas tanaman dalam suatu tabel perhitungan. Tujuan utama dari penyusunan pola tanam adalah untuk mendapatkan besaran kebutuhan air irigasi pada musim kemarau sekecil mungkin.

Di dalam penyusunan pola tata tanam dilakukan simulasi penentuan awal tanam. Misalnya alternatif pertama, jika awal tanam padi pada awal bulan Oktober, alternatif kedua, jika awal tanam padi pada awal bulan Nopember begitu seterusnya hingga alternatif ke dua belas yang awal tanam padi dimulai pada awal September. Dari kedua belas alternatif tadi dipilih alternatif yang “kebutuhan air irigasi” nya paling rendah.

Penyusunan pola tata tanam didasarkan pada tengah bulanan atau tiap 15 harian, artinya besaran-besaran yang ikut di dalam perhitungan ( seperti besaran Eto, Pd, P&I) dihitung selama 15 harian (bukan bulanan atau bukan harian) yaitu ditandai dengan adanya angka 1 dan 2.

(34)

II-34 Tabel 2.11 Koefisien Tanaman

Bulan ke FAO PIADP PROSIDA Varietas biasa Varietas Unggul Padi Padi 0,5 1,08 1,20 1,10 1,10 1,0 1,07 1,27 1,10 1,10 1,5 1,02 1,33 1,10 1,05 2,0 0,67 1,30 1,10 0,95 2,5 0,32 1,30 1,10 0,00 3,0 0,00 0,00 1,05 0,00 3,5 0,00 0,00 0,95 0,00 4,0 0,00 0,00 0,00

Jagung Kacang tanah

0,5 0,4 0,40 1,0 0,48 0,48 1,5 0,85 0,70 2,0 1,09 0,91 2,5 1,05 0,95 3,0 0,80 0,91 3,5 0,00 0,69

Sumber : : Standar Perencanaan Irigasi, KP-01, Departemen Pekerjaan Umum

2.8.2 Sistem Golongan

Untuk memperoleh tanaman dengan pertumbuhan yang optimal guna mencapai produktifitas yang tinggi, maka penanaman harus memperhatikan pembagian air secara merata ke semua petak tersier dalam jaringan irigasi.

Sumber air tidak selalu dapat menyediakan air irigasi yang dibutuhkan, sehingga harus dibuat rencana pembagian air yang baik, agar air yang tersedia dapat digunakan secara merata dan seadil-adilnya. Kebutuhan air yang tertinggi untuk suatu petak tersier adalah Qmax, yang didapat sewaktu merencanakan seluruh sistem irigasi. Besarnya debit Q yang tersedia tidak tetap, bergantung pada sumber dan luas tanaman yang harus diairi. Pada saat-saat dimana air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman dengan pengaliran menerus, maka

(35)

II-35 pemberian air tanaman dilakukan secara bergilir. Dalam musim kemarau dimana keadaan air mengalami kritis, maka pemberian air tanaman akan diberikan/diprioritaskan kepada tanaman yang telah direncanakan. Dalam sistem pemberian air secara bergilir ini, permulaan tanam tidak serentak, tetapi bergiliran menurut jadwal yang ditentukan, dengan maksud penggunaan air lebih efisien. Sawah dibagi menjadi golongan-golongan dan saat permulaan perkerjaan sawah bergiliran menurut-golongan masing-masing. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.9 Sistem Jaringan Irigasi 2.9.1 Standar Tata Nama

Nama-nama yang diberikan untuk petak, saluran, bangunan dan daerah irigasi harus jelas, pendek dan tidak mempunyai tafsiran ganda. Nama-nama yang dipilih dibuat sedemikan sehingga jika dibuat bangunan baru kita tidak perlu mengubah semua nama yang sudah ada. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

a. Daerah Irigasi

Nama yang diberikan sesuai dengan nama daerah setempat, atau desa terdekat dengan jaringan bangunan utama atau sungai yang airnya diambil untuk keperluan irigasi. Apabila ada dua pengambilan atau lebih maka daerah irigasi tersebut sebaiknya diberi nama sesuai dengan desa-desa terdekat didaerah layanan setempat.

b. Jaringan Irigasi Utama

Saluran irigasi primer sebaiknya diberi nama sesuai dengan daerah irigasi yang dilayani. Saluran irigasi sekunder diberi nama sesuai dengan nama desa yang

(36)

II-36 terletak di petak sekunder. Petak sekunder sebaiknya diberi nama sesuai dengan nama saluran sekundernya.

c. Jaringan Irigasi Tersier

Petak tersier diberi nama sesuai bangunan sadap tersier dari jaringan utama.

d. Jaringan Pembuang

Pada umumnya pembuang primer berupa sungai-sungai alamiah yang kesemuanya akan diberi nama. Apabila ada saluran-saluran pembuang primer baru yang akan dibuat, maka saluran-saluran itu harus diberi nama tersendiri. Jika saluran pembuang dibagi menjadi ruas-ruas maka masing-masing ruas akan diberi nama mulai dari ujung hilir.

2.10 Petak Irigasi

Untuk menghubungkan bagian-bagian dari suatu jaringan irigasi dibuat suatu peta yang biasanya disebut peta petak.

Peta petak terdiri atas : 1. Petak Primer

Petak primer dilayani oleh satu saluran primer yang mengambil airnya langsung dari sumber air, biasanya sungai. Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder yang mengambil air langsung dari saluran primer. Daerah-daerah irigasi tertentu mempunyai dua saluran primer, ini menghasilkan dua petak primer.

2. Petak Sekunder

Biasanya petak sekunder menerima air dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau sekunder. Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier

(37)

II-37 yang kesemuanya dilayani oleh satu saluran sekunder. Batas-batas petak sekunder pada umumnya berupa tanda-tanda topografi yang jelas, misal saluran pembuang. Luas petak sekunder bisa berbeda-beda tergantung pada situasi daerah.

3. Petak Tersier

Petak ini menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada bangunan sadap (off take) tersier. Petak tersier harus terletak langsung berbatasan langsung dengan saluran sekunder atau saluran primer, kecuali apabila petak-petak tersier tidak secara langsung terletak disepanjang jaringan saluran irigasi utama. Petak tersier mempunyai batas-batas yang jelas misalnya : parit, jalan, batas desa dan sesar medan.

2.11 Saluran Irigasi

Untuk mengalirkan kebutuhan air di areal pertanian maka dibutuhkan jaringan saluran irigasi. Jaringan saluran irigasi terdiri atas :

a. Jaringan Saluran Irigasi Utama

Saluran primer membawa air dari jaringan utama ke saluran sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir. Saluran sekunder membawa air dari saluran primer ke petak-petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas saluran sekunder adalah pada bangunan sadap terakhir. Saluran pembawa air irigasi dari sumber air lain (bukan sumber yang memberi air pada bangunan utama) kejaringan irigasi primer. Saluran muka tersier membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier yang terletak diseberang petak tersier lainnya.

(38)

II-38 b. Jaringan Saluran Irigasi Tersier

Saluran irigasi tersier membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke dalam petak tersier lalu di saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah box bagi kuarter yang terakhir. Saluran kuarter membawa air dari box bagi kuarter melalui bangunan sadap tersier atau parit sawah ke sawah.

c. Jaringan Saluran Pembuang Utama

Saluran pembuang primer mengalirkan air lebih dari saluran pembuang sekunder keluar daerah irigasi. Saluran pembuang primer sering berupa saluran pembuang alam yang mengalirkan kelebihan air ke sungai, anak sungai atau ke laut. Saluran pembuang sekunder menampung air dari jaringan pembuang tersier dan membuang air tersebut ke pembuang primer atau langsung ke pembuang alam dan keluar daerah irigasi.

d. Jaringan Saluran Pembuang Tersier

Saluran pembuang tersier terletak diantara petak-petek tersier yang termasuk dalam unit irigasi sekunder yang sarna dan menampung air, baik dari pembuangan kuarter maupun dari sawah-sawah. Air tersebut dibuang ke dalam jaringan pembuang sekunder. Saluran pembuang sekunder menerima buangan air dari saluran pembuang kuarter yang menampung air langsung dari sawah. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.12 Dimensi Saluran

Untuk pengaliran air irigasi, saluran berpenampang trapezium tanpa pasangan adalah bangunan pembawa yang paling umum dipakai dan ekonomis. Perencanaan saluran harus memberikan penyelesaian biaya pelaksanaan dan

(39)

II-39 pemeliharaan yang paling rendah. Erosi dan sedimentasi di setiap potongan melintang harus minimal dan berimbang sepanjang tahun dan ruas-ruas saluran harus mantap.

2.12.1 Rumus Aliran Hidrolik

Saluran didesain dengan menggunakan persamaan dari Manning-Strickler, sebagai berikut : Q = k.A.R2/3.I1/2 atau, dimana :

Q : debit rencana (m3/det) k : koefisien kekasaran dari Strikler (m1/3/det) A : luas basah penampang melintang (m2) P : keliling basah (m) R : jari-jari hidrolik = A/P (m) I : kemiringan hidrolik

V : kecepatan rencana (m/det) Q = k.A.R2/3.I1/2

(40)

II-40 1. Saluran Bentuk Trapesium

B Y 1/M M.Y M.Y dengan : A = B.Y + M.Y2 P = 2Y√(M2+1) + B R = A/P

T (Lebar atas) = M.Y + B + M.Y D (kedalaman hidrolik) = A/T Z (Faktor bentuk) = A√(A/T)

2. Saluran Bentuk Segiempat

B Y dengan : A = B.Y P = B + 2Y R = A/P T = B D = A/T Z = A√D

(41)

II-41 3. Saluran Bentuk Segitiga

Y dengan : A = M.Y2 P = 2(√M2+1) R = A/P T = 2M.Y D = A/T Z = A√D

Untuk merencanakan dimensi penampang melintang saluran digunakan metode pendekatan yaitu menggunakan kecepatan ijin, berdasarkan debit yang akan mengalir pada saluran tersebut dan berdasarkan karakteristik saluran. Saluran irigasi terdiri atas :

a. Saluran Irigasi Tanpa Pasangan b. Saluran Irigasi Pasangan

2.13 Saluran Irigasi Tanpa Pasangan

Pada saat merencanakan saluran yang perlu diperhatikan adalah biaya konstruksi dan biaya pemeliharaan yang ekonomis. Pada umumnya saluran tanpa pasangan merupakan saluran yang paling umum digunakan, selain itu saluran

(42)

II-42 tanah tanpa pasangan relatif lebih kecil biaya konstruksinya. Erosi dan sedimentasi pada semua ruas harus minimum.

Sedimentasi (pengendapan) pada saluran akan terjadi jika kapasitas angkut sedimennya berkurang. Untuk itu kapasitas debit saluran harus dijaga/dipertahankan. Sedimen yang masuk ke saluran irigasi biasanya berupa sedimen layang (suspended load) berupa partikel lempung dan lanau dengan ukuran diameter d < 0.06 mm hingga 0.07 mm. Partikel yang lebih besar dari ukuran tadi akan tertangkap/diendapkan di kantong lumpur.

Salah satu unsur geometris penampang saluran, koefisien strickler k merupakan hall penting yang perlu diperhatikan. Besarnya Koefisien Strikler k biasanya tergantung pada hal-hal berikut :

- Kekasaran permukaan saluran.

- Ketidakteraturan permukaan saluran.

- Trase saluran

- Vegetasi

- Sedimen

Makin tinggi kekasaran permukaan saluran akan menyebabkan rendahnya harga Koefisien Strickler, sehingga bisa menyebabkan berkurangnya kecepatan. Ketidakteraturan permukaan saluran akan menyebabkan perubahan terhadap luas penampang basah A dan keliling basah P.

Pengaruh adanya vegetasi terhadap saluran akan menyebabkan berkurangnya koefisien Kekasaran Strickler. Kedalaman aliran dan kecepatan aliran akan membatasi pertumbuhan vegetasi di dalam saluran. Pemeliharaan selama masa eksploitasi terhadap permukaan saluran serta menjaga saluran agar

(43)

II-43 bebas dari vegetasi akan sangat berpengaruh terhadap Koefisien Kekasaran Strickler.

Berikut ini adalah harga-harga Koefisien Kekasaran Strikler (k) untuk saluran tanah tanpa pasangan.

Tabel 2.12 Harga Koefisien Kekasaran Strickler Untuk Saluran Tanah No Debit Rencana (m3/dt) Koefisien Strikler (k)

1 Q > 10 45

2 5 < Q < 10 42.5

3 1 < Q < 5 40

4 Q < 1 35

2.13.1 Erosi dan Sedimentasi

Erosi pada saluran disebabkan karena kecepatan aliran rata-rata yang terjadi melebihi dari kecepatan maksimum yang diizinkan. Sedangkan kecepatan maksimum yang diizinkan tergantung oleh kecepatan dasar yang dipengaruhi oleh jenis tanah (tanah gambut, lempung, lanau, atau pasir) dan nilai indeks plastisitasnya (IP). Sedimentasi pada saluran disebabkan karena kecepatan aliran tidak bisa mengangkut partikel sedimen yang ada dalam saluran. Kecepatan minimum yang diizinkan adalah kecepatan terendah yang tidak akan menyebabkan pengendapan partikel dengan diameter maksimum yang diizinkan (0.06 ~ 0.07 mm). Untuk mengupayakan agar tidak terjadi sedimentasi maka ruas-ruas saluran hendaknya mengikuti kriteria I√R konstan atau makin besar ke arah hilirnya. I adalah kemiringan dasar saluran, R adalah jari-jari hidraulik penampang saluran.

(44)

II-44 2.13.2 Geometri Penampang Saluran

Penampang saluran diharapkan bisa mengalirkan debit tertentu dengan luas penampang basah yang sekecil-kecilnya (minimum), penampang demikian biasa disebut penampang efisien atau penampang ekonomis. Dari analisis geometri penampang melintang saluran, maka penampang melintang yang ekonomis akan didapatkan jika

2

h

R atau setengah dari penampang heksagonal

atau penampang trapesium dengan sudut kemiringan talud 30˚ terhadap horisontal. Diantara semua bentuk penampang (segi empat, segi tiga ataupun trapesium), penampang setengah lingkaran merupakan penampang yang paling ekonomis. Untuk debit-debit kecil sampai dengan 0.5 m3/dt masih memungkinkan menggunakan penampang setengah lingkaran, tapi lebih dari 0.5 m3/dt penampang lingkaran susah untuk diterapkan karena kesulitan dalam segi pelaksanaan dan pemeliharaanya.

Untuk saluran dengan kapasitas debit yang besar dibuat dengan memperhatikan n perbandingan lebar dasar B dengan kedalaman h yang tinggi, hal ini untuk menghindari agar kecepatan rencana tidak melebihi batas kecepatan maksimum yang diizinkan. Pada saluran yang lebar, efek erosi pada dinding saluran tidak terlalu berakibat serius terhadap besarnya kapasitas debit. Kekurangan yang utama dari saluran yang lebar dan dangkal adalah keterbatasan pembebasan lahan, sehingga biaya pelaksanaannya menjadi lebih tinggi.

Sebagai acuan untuk menentukan perbandingan antara lebar dasar B dengan kedalaman saluran h, serta kemiringan talut dinding m untuk besaran debit tertentu, maka berikut ini disajikan tabel karakteristik saluran.

(45)

II-45 Tabel 2.13 Karakteristik Saluran

No Debit (m3/dt) Kemiringan dinding 1 : m Perbandingan b/h Koefisien Strickler k 0.15 – 0.30 1 1.0 35 0.30 – 0.50 1 1.0 – 1.2 35 0.50 – 0.75 1 1.2 – 1.3 35 0.75 – 1.00 1 1.3 – 1.5 35 1.00 – 1.50 1 1.5 – 1.8 40 1.50 – 3.00 1.5 1.8 – 2.3 40 3.00 – 4.50 1.5 2.3 – 2.7 40 4.50 – 5.00 1.5 2.7 – 2.9 40 5.00 – 6.00 1.5 2.9 – 3.1 42.5 6.00 – 7.50 1.5 3.1 – 3.5 42.5 7.50 – 9.00 1.5 3.5 – 3.7 42.5 9.00 – 10.00 1.5 3.7 – 3.9 42.5 10.00 – 11.00 2 3.9 – 4.2 45 11.00 – 15.00 2 4.2 – 4.9 45 15.00 – 25.00 2 4.9 – 6.5 45 25.00 – 40.00 2 6.5 – 9.0 45

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Saluran (KP-03)

2.13.3 Kemiringan Dinding Saluran

Untuk memperkecil biaya pembebasan lahan dan biaya galian, maka kemiringan dinding saluran dibuat curam. Dengan membuat kemiringan dinding lebih curam, maka lebar atas atas menjadi lebih kecil sehingga pembebasan tanah juga menjadi lebih kecil.

(46)

II-46 Berikut ini tabel kemiringan dinding saluran (talud) untuk tanah yang digali pada bahan tanah tertentu.

Tabel 2.14 Kemiringan minimum dinding saluran (talud) untuk galian pada bahan berbagai tanah.

No Bahan Tanah Simbol

(Menurut USCS)

Kemiringan talud m

1 Batu < 0.25

2 Gambut kenyal Pt 1 – 2

3 Lempung kenyal, loam, tanah loose CL, CH, MH 1 – 2 4 Lempung pasira, tanah pasiran kohesif SC, CM 1.25 – 2.5

5 Pasir lanauan SM 2 – 3

6 Gambut lunak Pt 3 – 4

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Saluran (KP-03)

Tabel 2.15 Kemiringan dinding saluran (talud) untuk timbunan dipadatkan Kedalaman air + tinggi jagaan

D (meter)

Kemiringan minimum talud M

D ≤ 1 1

1 < D ≤ 2 1.5

D > 2 2

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Saluran (KP-03)

Untuk tanggul yang tingginya lebih dari 3 meter, maka diperlukan adanya bahu tanggul (berm) yang lebarnya 1 m. Bahu tanggul (berm) harus dibuat setinggi muka air rencana di saluran.

(47)

II-47 2.13.4 Tinggi Jagaan

Meningginya muka air di dalam saluran sampai melebihi tinggi rencana bisa disebabkan oleh penutupan pintu air di hilir secara tiba-tiba serta akibat pengaliran buangan yang masuk ke dalam saluran. Dengan adanya keadaan tersebut maka kemungkinan muka air di saluran akan meluap dan berpotensi untuk merusak tanggul. Untuk menghindari kejadian-kejadian tersebut, maka diperlukan adanya tinggi jagaan yaitu jarak vertikal dari muka air rencana hingga puncak tanggul. Jadi fungsi utama tinggi jagaan adalah untuk mencegah kerusakan tanggul akibat luapan dari air di dalam saluran serta sebagai faktor keamanan apabila muka air naik sampai melebihi tinggi rencananya. Tinggi jagaan minimum untuk saluran primer dan sekunder diberikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2.16 Tinggi Jagaan Minimum untuk Saluran Tanah

Debit Saluran (m3/dt) Tinggi jagaan minimum (m)

< 0.5 0.40 0.5 – 1.5 0.50 1.5 – 5.0 0.60 5.0 – 10.0 0.75 10.0 – 15.0 0.85 >15.0 1.00

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Saluran (KP-03)

2.13.5 Kemiringan Memanjang Saluran

Kemiringan memanjang saluran ditentukan terutama oleh kondisi kemiringan medan (kondisi topografi). Kemiringan memanjang memiliki harga yang minimum dan harga maksimum. Untuk menghindari sedimentasi, diperlukan

(48)

II-48 kemiringan memanjang yang maksimum, sedangkan untuk menghindari adanya erosi maka kecepatan harus dibatasi sehingga diperlukan kemiringan dasar yang minimum. Kemiringan minimum diperlukan agar proses sedimentasi tidak terjadi. Untuk itu direncanakan agar besaran I√R menjadi semakin besar ke arah hilirnya.

Bila karakteristik tanah pembentuk badan saluran sudah diketahui, maka besaran kecepatan dasar vb juga bisa diketahui. Untuk menghindari adanya proses erosi maka kecepatan dasar yang diizinkan vb perlu diperhatikan.

Problem-problem yang sering terjadi pada perencanaan saluran antara lain :

- Kemiringan medan yang curam.

Dengan adanya kemiringan medan yang curam, maka kecepatan dasar vb akan melebihi batas kecepatan dasar yang diizinkan. Untuk mengurangi kecepatan rencana, maka kemiringan dasar saluran akan dibuat lebih landai dari pada kemiringan medan yang ada, sehingga pada saluran ini akan dibutuhkan beberapa bangunan terjun sebagai konsekuensinya.

- Kemiringan minimum saluran primer garis tinggi.

Kemiringan dasar minimum pada saluran primer garis tinggi (paralel dengan garis ketinggian) yang benar-benar tepat untuk jaringan irigasi yang mengangkut sedimen sulit ditentukan. Sehingga besaran I√R yang dipakai pada saluran primer harus lebih besar dari pada harga I√R pada kantong lumpur dalam kondisi penuh.

- Saluran sekunder dengan kemiringan medan yang landai.

Untuk saluran sekunder pada medan yang sangat landai maka diusahakan agar besaran I√R sama dengan ruas saluran sebelah hulunya.

(49)

II-49 2.14 Saluran Irigasi Pasangan

Selain saluran irigasi berupa saluran dari galian tanah (saluran tanah) maka saluran irigasi bisa juga dilapisi dengan beberapa material lapisan, biasanya disebut saluran pasangan (canal lining). Kegunaan lapisan pada saluran pasangan (canal lining) antara lain adalah :

- Mencegah kehilangan air akibat rembesan keluar dari saluran.

- Mencegah gerusan dan erosi dari dasar dan dinding saluran.

- Mencegah tumbuhnya tanaman air di dalam saluran.

- Mengurangi biaya pemeliharaan akibat kerusakan dinding saluran.

- Memberi kelonggaran lengkungan untuk lengkung saluran yang besar.

- Menjadikan luas tanah yang perlu dibebaskan untuk saluran menjadi mengecil.

Besaran adanya rembesan pada saluran bisa dihitung dari rumus Moritz (USBR) :

v Q C S0.035. .

dengan :

S = kehilangan akibat rembesan (m3/dt per km panjang saluran) Q = debit di saluran (m3/dt)

V = kecepatan aliran di saluran (m/dt)

C = koefisien tanah rembesan (m/hari), lihat tabel. 0.035 = faktor konstanta (m/km)

(50)

II-50 Tabel 2.17 Harga koefisien tanah rembesan C

Jenis tanah Harga C (m/hari)

Kerikil sementasi dan lapisan penahan (hardpan) dgn geluh pasiran

0.10

Lempung dan geluh lempungan 0.12

Geluh pasiran 0.20

Abu vulkanik 0.21

Pasir dan abu vulkanik atau lempung 0.37

Lempung pasiran dengan batu 0.51

Batu pasiran dan kerikil 0.67

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Saluran (KP-03)

2.14.1 Kecepatan Maksimum

Meskipun dinding maupun dasar saluran sudah dilapisi dengan material yang tahan gerusan, namun kecepatan maksimum yang diizinkan tidak boleh dilampaui, hal ini untuk pertimbangan keawetan dinding saluran dan alasan keamanan terhadap bahaya hanyut.

Kecepatan maksimum untuk pasangan batu = 2 m/dt. Kecepatan maksimum untuk pasangan beton = 3 m/dt.

Kecepatan maksimum untuk pasangan tanah = mengikuti prosedur seperti saluran Tanah. Perhitungan dimensi saluran harus mempertimbangkan bilangan Froude yaitu bilangan yang menandakan suatu aliran dalam kondisi sub kritis, kritis ataupun super kritis. Untuk saluran yang alirannya stabil bilangan Froude harus kurang dari 0.55 (aliran sub kritis). Untuk aliran suprkritis, bilangan Froude harus di atas 1.44. Bilangan Froude antara 0.55 sampai dengan 1.44 mempunyai efek yang kurang menguntungkan bagi dinding saluran yaitu, alirannya memiliki

(51)

II-51 pola gelombang tegak (muka air bergelombang) sehingga bisa merusak dinding saluran.

Bilangan Froude dihitung dengan persamaan :

D g v F .  V = kecepatan aliran (m/dt)

D = kedalaman hidraulik (D = A/T) T = lebar puncak (m) 2 . .y my B ATOTAL   my B T  2 my B y m y B D 2 . . 2    2.14.2 Koefisien kekasaran

Koefisien kekasaran strickler k untuk pasangan batu = 60 Koefisien kekasaran strickler k untuk pasangan beton = 70 Koefisien kekasaran strickler k untuk pasangan tanah =35 – 45

2.15 Bangunan Irigasi

Bangunan irigasi terdiri atas : a. Bangunan bagi

b. Bangunan sadap c. Alat pengukur debit d. Bangunan pelengkap

(52)

II-52 2.15.1 Bangunan bagi

Bangunan bagi dilengkapi dengan pintu dan alat ukur. Waktu debit kecil muka air akan turun. Pintu diperlukan untuk menaikkan kembali muka air sarnpai batas yang diperlukan, supaya pemberian air ke cabang saluran sekunder dapat dilakukan. Pada cabang saluran dibuat alat ukur guna mengukur debit yang akan dialirkan melalui saluran yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan air disawah yang akan diairi. Pada bangunan bagi ini terdiri atas pintu dan alat ukur. Alat ukur yang dipakai biasanya pintu ukur Romijn dan pintu sorong Crump-de Gruyter. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

Rumus perhitungan hidrolis pintu ukur :

 Skot balk dan pintu Q = μ.b.h.√2.g.z dengan :

Q : debit saluran (m3/dt) µ : 0,85

b : lebar pintu (m)

h : dalam air pada pintu (m) z : tinggi tekanan (m)

2.15.2 Bangunan Sadap 1. Bangunan Sadap Tersier

Bangunan sadap tersier harus diberi pintu romijn karena kehilangan energinya terbatas. Karena tipe pintu harns sarna maka bangunan sedap sekunder juga harus diberi pintu Romijn. Agar pintu Romijn marnpu memberikan

(53)

II-53 keuntungan-keuntungan ekonomis dimensinya harus distandarisasi. Dimensi standar yang penting adalah lebar alat ukur itu dan kedalaman aliran maksimum pada muka air rencana. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

2.15.3 Alat Ukur Debit

Agar pengelolaan air irigasi menjadi efektif maka debit harus diukur (dan diatur) pada hulu saluran primer, pada cabang saluran dan pada bangunan sadap tersier. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

1. Alat ukur Ambang Lebar

Bangunan ukur ambang lebar dianjurkan karena bangunan itu kokoh dan mudah dibuat. Karena bisa mempunyai berbagai bentuk mercu, bangunan ini mudah disesuaikan dengan tipe saluran apa saja. Alat ukur ambang lebar adalah bangunan aliran atas (over flow), untuk ini tinggi energi hulu lebih kecil dari panjang mercu. Karena pola aliran diatas alat ukur ambang lebar dapat ditangani dengan teori hidrolika yang sudah ada sekarang, maka bangunan ini bisa mempunyai bentuk yang berbeda-beda, sementara debitnya tetap serupa.

2. Alat Ukur Romijn

Pintu romijn adalah alat ukur ambang lebar yang bisa dipergunakan untuk mengatur dan mengukur debit di dalam jaringan saluran irigasi. Agar dapat bergerak, mercunya dibuat dari pelat baja dan dipasang di atas pintu sorong. Pintu sorong ini dihubungkan dengan alat pengangkat. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

(54)

II-54 2.15.4 Bangunan pelengkap

1. Tanggul

Tanggul dipakai untuk melindungi daerah irigasi dari banjir yang disebabkan oleh sungai, pembuang yang besar atau laut. Di sepanjang saluran diperlukan tanggul untuk tujuan sebagai akses masuk ke bangunan-bangunan untuk pengoperasian pintu-pintu air serta pemeliharaan saluran dan inspeksi saluran. Jalan inspeksi dibuat di sisi yang berdampingan dengan sawah, hal ini berguna untuk mengurangi adanya penyadapan liar dari saluran ke sawah. Untuk itu diperlukan lebar minimum puncak tanggul agar dapat digunakan sebagai prasarana jalan masuk. Berikut ini lebar minimum tanggul. (Guna Darma, Irigasi dan Bangunan Air 1997).

Tabel 2.18 Lebar Tanggul Minimum Debit Saluran

(m3/dt)

Lebar puncak tanggul (m)

Tanpa jalan inspeksi Dengan jalan inspeksi

≤ 1 1.0 3.0

1 – 5 1.5 5.0

5 – 10 2.0 5.0

10 – 15 2.5 5.0

> 15 3.5 5.0

Sumber : Kriteria Perencanaan Irigasi Bagian Saluran (KP-03)

2. Pintu

Pintu bangunan disaluran biasanya dibuat dari baja. Dalam standar bangunan irigasi diberikan detail-detail lengkap mengenai ukuran dan tipe standar pintu. Adapun tipe pintu yang digunakan adalah pintu sorong.

(55)

II-55 Persamaan debit untuk pintu sorong adalah

Q = v.a.b dengan : v = m.√2.g.z keterangan :

v = kecepatan aliran (m/dt)

m = koefisien debit (= 0.8 pengambilan tenggelam) g = percepatan gravitasi = 9.81 m/dt2

z = kehilangan tinggi energi pada bukaan, a = tinggi bersih bukaan

b = lebar total bukaan

2.16 Bangunan Persilangan

Jalur saluran irigasi mulai dari intake hingga bangunan sadap terakhir kadang-kadang harus berpotongan atau bersilangan dengan berbagai rintangan antara lain jalan, saluran/alur alamiah, sungai bahkan jurang. Untuk itu diperlukan bangunan persilangan agar dapat menyeberangkan debit yang dialirkan oleh saluran dari sisi hulu ke sisi hilirnya.

2.16.1 Gorong-gorong

Gorong-gorong adalah bangunan silang yang melintang dibawah sungai yang arahnya horizontal atau sedikit miring yang digunakan untuk transportasi air atau juga untuk keperluan pelindung dari transmisi kabel atau barang cair seperti minyak bumi (Oehadijono,1993).

(56)

II-56 Perencanaan Hidrolis :

1) Kontrol Pemasukan (inlet control)

Besarnya debit yang melalui gorong-gorong dari persamaan berikut (Henderson 1966) :

a) Pemasukan tidak tenggelam atau H < 1,2 D

Q = 3 2 .C.B.H .g.h 3 2 dengan : B = lebar gorong-gorong

C = koefisien konstraksi pada sisi-sisi pemasukan. Apabila ujungnya persegi, maka C = 0,9. Sedangkan apabila ujungnya dibulatkan, maka C = 1

b) Pemasukan tenggelam atau H > 1,2 D Q =C.B.H 2.g(HCD)

dengan :

D = diameter gorong-gorong

C = koefisien konstraksi pada sisi pemasukan. C = 0,6 untuk ujung persegi dan C= 0,8 untuk ujung yang dibulatkan.

1) Kontrol Pengeluaran (Outlet control)

Pada kontrol pengeluaran, aliran dalam gorong-gorong dapat berupa aliran penuh atau aliran tidak penuh. Apabila aliran tidak penuh, maka aliran bersifat subkritis. Besarnya aliran tergantung pada luas penampang, bentuk, dan panjang gorong-gorong, kemiringan dasar, kehilangan energi pada gorong-gorong, dan tinggi air di hulu dan hilir gorong-gorong (Suripin,2003).

(57)

II-57 Pada gorong-gorong bertekanan, tinggi tekan air ditentukan dengan menggunakan persamaan energi antara hulu dan hilir sebagai berikut :

g vu Zu 2 2  = Hf + Zd + g vd 2 2 dengan :

Zu = elevasi muka air hulu (upstream) diukur dari datum Zd = elevasi muka air hilir (downstream) diukur dari datum Hf = total kehilangan energi antara hulu dan hilir gorong-gorong Kehilangan energi pada gorong-gorong terdiri dari :

1). Kehilangan energi pada pemasukan (entrance)

he = 0,5 g v 2 2

2). Kehilangan energi sepanjang gorong-gorong.

hf = D L

.

g v 2 2

3). Kehilangan energi pada pengeluaran (exit)

ho = g v 2 2 dengan :

V = kecepatan aliran dalam gorong-gorong

λ = koefisien gesekan pada dinding gorong-gorong L = panjang gorong-gorong

(58)

II-58 2.16.2 Syphon

Bangunan siphon merupakan salah satu bangunan persilangan yang dibangun untuk mengalirkan debit yang dibawa oleh saluran yang jalurnya terpotong oleh lembah dengan bentang panjang atau terpotong oleh sungai. Bangunan siphon berupa saluran tertutup yang dipasang mengikuti bentuk potongan melintang sungai atau lembah untuk menyeberangkan debit dari sisi hulu ke sisi hilir. Bangunan siphon (berupa saluran tertutup berpenampang lingkaran atau segi empat) dipasang dibawah dasar sungai, atau bisa juga dipasang di atas permukaan tanah jika melintasi lembah (cekungan).

Didalam perencanaan siphon ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, antara lain : (untuk kasus siphon melintasi dasar sungai)

1. Siphon harus mampu menahan gaya uplift pada saat kondisi airnya kosong. Kondisi yang paling berbahaya pada konstruksi siphon adalah pada saat siphon dalam keadaan kosong. Pada saat kondisi ini gaya uplift yaitu gaya yang disebabkan oleh tekanan hidrostatis dari bawah konstruksi siphon, menekan konstruksi siphon ke arah atas. Gaya ini cenderung mengangkat konstruksi siphon. Sedangkan untuk mengimbanginya diperlukan gaya penahan yang arahnya vertikal ke bawah yaitu gaya berat akibat berat sendiri konstruksi siphon dan gaya berat akibat berat lapisan penutup siphon.

2. Siphon harus dibuat pada kedalaman yang cukup di bawah dasar sungai. Pada kondisi ini konstruksi siphon harus aman terhadap bahaya gerusan tanah dasar sungai (degradasi) maupun bahaya gerusan lokal akibat dasar sungai yang terganggu. Jika konstruksi siphon berada terlalu dekat dengan permukaan dasar

Gambar

Gambar 2.2 Skematis Contoh Jaringan Irigasi Sederhana
Gambar 2.3 Skematis Contoh Jaringan Irigasi Semi Teknis
Gambar 2.4 Skematis Contoh Jaringan Irigasi Irigasi Teknis
Tabel 2.3 Angka koreksi (c) bulanan untuk rumus Penman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung nilai efisiensi penyaluran air di saluran primer, sekunder dan tersier di daerah irigasi Timbang Deli Kabupaten

sekunder serta skema bangunan irigasi, data debit sungai di bendung Banjaran, data hujan, data debit pengambilan (intake) di bendung, saluran primer/induk dan saluran

1) Jaringan irigasi primer (saluran induk) yaitu saluran yang langsung berhubungan dengan saluran bendungan yang fungsinya untuk menyalurkan air dari waduk

Jaringan tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air di dalam petak tersier yang terdiri dari saluran pembawa yang disebut saluran tersier,

Sistem irigasi teknis yaitu suatu sistem yang dibangun oleh pemerintah dan pengelolaan jaringan utama yang terdiri dari bendung, saluran primer, saluran sekunder dan

Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa efisiensi pada saluran sekunder dapat dikatakan dalam keadaan tidak efisien untuk menyalurkan air dari saluran primer ke saluran

Sistem irigasi teknis yaitu suatu sistem yang dibangun oleh pemerintah dan pengelolaan jaringan utama yang terdiri dari bendung, saluran primer, saluran sekunder dan

sekunder serta skema bangunan irigasi, data debit sungai di bendung Banjaran, data hujan, data debit pengambilan (intake) di bendung, saluran primer/induk dan saluran