• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berkualitas dan sejahtera dapat direncanakan oleh setiap keluarga melalui program

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. berkualitas dan sejahtera dapat direncanakan oleh setiap keluarga melalui program"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

9

2.1 Prevalensi pemakaian implant di indonesia

Upaya yang dilakukan dalam mengendalikan jumlah penduduk dan mengarahkan mobilitas penduduk untuk mewujudkan masyarakat supaya tumbuh seimbang dengan program keluarga berencana (KB). Keluarga kecil yang berkualitas dan sejahtera dapat direncanakan oleh setiap keluarga melalui program KB (Bappenas, 2013). Kontrasepsi merupakan sebuah metode atau upaya yang digunakan untuk mencegah kehamilan yang terjadi akibat pertemuan antara sperma dengan sel telur yang matang, upaya tersebut dapat bersifat sementara maupun permanen dan dapat dilakukan dengan menggunakan cara, alat atau obat-obatan (Atikah, 2010).

Keberhasilan program KB di Indonesia telah mendapat pengakuan dari masyarakat luas, termasuk masyarakat global. Keberhasilan tersebut ditandai dengan telah membudayanya suatu norma keluarga kecil dimasyarakat sebagai bagian dari upaya membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) dengan indikator penurunan trends TFR 5,61 per wanita pada tahun 1970 (BKKBN, 2003) dan menjadi 4,05 per wanita pada tahun 1982, kemudian 2,80 per wanita pada tahun 1992 hingga menjadi 2,34 per wanita pada tahun 2002 (BPS, 2014). Perkembangan program kependudukan dan keluarga berencana di Jawa Timur telah memberikan hasil yang cukup memuaskan. Berdasarkan hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2013 diketahui bahwa TFR di Jawa Timur 2,3 melampaui target RPJM 2,36 . Contraceptive Prevalence Rate

(2)

(CPR) Jawa Timur 62,4 dan target RPJM adalah 60,1%. Sementara unmet need Jawa Timur 6,7% yang masih mendekati target RPJM 6,5%, sedangkan kesertaan ber KB MKJP di Jawa Timur masih rendah yaitu 19,1% dari target Nasional sebesar 27,5% (Suparmi, 2013).

Pencapaian MKJP implant nasional mengalami penurunan trend dari tahun 1997 sebesar 10,97% menjadi 7,61% pada tahun 2002 dan kembali berkurang pada tahun 2007 mencapai 4,90% dan pada tahun 2012 mengalami sedikit kenaikan yaitu 5,70%. Provinsi Jawa Timur prevalensi pemakaian implant cenderung lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional dan cenderung terjadi penurunan dalam empat kali periode terakhir, berdasarkan dari data kependudukan BKKBN pada tahun 1997 sebesar 8,28%, 8,40 pada tahun 2002, 6,74% pada tahun 2007 dan menjadi 4,95% pada tahun 2012.

Banyuwangi yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan prestasi pencapaian kontrasepsi yang baik. Hal ini ditunjukkan berdasarkan angka pencapaian kontrasepsi yang menempati urutan kedua tertinggi se- Jawa Timur untuk cakupan KB baru yaitu sebesar 14,17% setelah Kabupaten Bangkalan sebesar 14,35% dengan angka cakupan rata-rata provinsi 9,45% (Dinkes Prov. Jatim, 2012). Pencapaian MKJP implant di Kabupaten Banyuwangi juga menunjukkan perkembangan proporsi pemakaian implant yang cukup banyak yaitu diatas target nasional dan Provinsi dengan persentase 9,3% pada tahun 2011, pada tahun 2012 menjadi 9,82% dan 9,89% pada tahun 2013 (Dinkes Kab. Banyuwangi, 2012) ; (Dinkes Kab. Banyuwangi, 2013). Proporsi pemakaian

(3)

implant di Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat sepuluh besar dari 38 kabupaten atau kota dengan urutan kedelapan (Dinkes Prov. Jatim, 2012).

Tegalsari adalah kecamatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah pemakai implant tertinggi selama periode tiga tahun terakhir dengan persentase sebesar 11,66 pada tahun 2011, pada tahun 2012 meningkat menjadi 14,15% dan pada tahun 2013 menjadi 17%. Perbandingan antara PPM dengan realisasi pada tahun 2011 cakupan KB baru dengan PPM 89 sampai bulan Desember mencapai 149 akseptor (167,4%) dan pada tahun 2012 dengan PPM 122 jumlah realisasi akseptor sebanyak 484 (396,7%) serta untuk cakupan KB aktif akseptor implant sampai bulan Desember tahun 2013 sebanyak 1.904 akseptor atau sebesar 212,5% dari PPM (BPPKB, 2014).

2.2 Metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) implant

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) merupakan suatu metode kontrasepsi efektif karena dapat memberikan perlindungan dari resiko kehamilan untuk jangka waktu hingga sepuluh tahun. Metode kontrasepsi jangka panjang dinilai paling cost effective dengan tingkat keberhasilan mencapai 99% (Purwoko, 2011) .

Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) atau implant (susuk) merupakan metode kontrasepsi hormonal yang efektif, tidak permanen dan dapat mencegah terjadinya kehamilan antara tiga hingga lima tahun. Cara kerja alat kontrasepsi ini adalah dengan menghambat ovulasi, menyebabkan selaput lendir tidak siap untuk menerima pembuahan dengan cara menebalkan mukus serviks sehingga tidak dapat dilewati oleh sperma. Konsentrasi yang rendah pada progestin akan

(4)

menimbulkan pengentalan mukus serviks. Perubahan terjadi segera setelah pemasangan implant. Satu atau dua hari dari menstruasi merupakan masa yang tepat untuk dilakukan pemasangan pada kontrasepsi implant (BKKBN, 2011). implant memiliki efektifitas tertinggi dari setiap metode kontrasepsi, karena keefektifannya maka implant dapat digunakan oleh semua wanita disetiap keadaan (Jacobstein & Polis, 2014). Berdasarkan pengamatan secara kohort yang dilakukan di Nigeria dari tahun 1985 sampai 1996 dan dilakukan analisis pada tahun 2004 ditemukan pada akseptor implant selama periode itu tidak didapatkan kehamilan yang tidak diinginkan yang artinya keefektifan dari metode kontrasepsi implant mencapai 100% (Aisien, 2007).

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian implant

Program keluarga telah banyak mengalami perkembangan pada beberapa dekade terakhir, akan tetapi masalah kependudukan belum sepenuhnya teratasi. Lebih dari 120 juta wanita diseluruh dunia mempunyai keinginan untuk mencegah kehamilan akan tetapi mereka dan pasangannya tidak menggunakan alat kontrasepsi. Beberapa alasan yang membuat mereka menjadi unmet need diantaranya : karena persediaan alat kontrasepsi yang belum tersedia dengan baik ataupun tidak lengkap sehingga pilihan menjadi sangat terbatas, takut penolakan sosial atau tidak didukung oleh pasangannya, kekhawatiran akan muncul efek samping dan lain sebagainya (WHO, 2007). Di Indonesia sendiri penggunaan MKJP yang relatif masih rendah dipengaruhi oleh faktor sosial, demografi, ekonomi dan sarana serta faktor yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dari

(5)

MKJP itu sendiri (Puslitbangkes, 2011). Faktor-faktor yang berhubungan antara lain seperti diuraikan dibawah ini.

2.3.1 Umur

Sebagian besar masa reproduksi secara aktif digunakan untuk kebutuhan seksual, dengan demikian wanita memilki periode yang panjang dimana mereka memerlukan metode yang efektif yang digunakan untuk mengatur kehamilan dan menjarangkannya (Finer & Philbin, 2012). Penelitian yang dilakukan pada ibu muda di USA, untuk menjarangkan kehamilan mereka mengatakan diperlukan suatu metode kontrasepsi yang efektif untuk jangka panjang, karena umur yang muda maka masa reproduktifnya lebih panjang, dari penelitian tersebut didapati pada wanita usia <21 tahun cenderung mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan abortus lebih besar dua kali (Winner dkk, 2012).

Pendapat yang sama pada penelitian yang dilakukan di Iran karena umur yang muda mempunyai masa reproduktif yang panjang sehingga diperlukan metode kontrasepsi efektif dalam waktu yang lama. Penelitian ini didapatkan hasil 64% dari pengguna implant adalah wanita dengan umur <24 tahun (Nakhaee & Mirahmadizadeh, 2002). Namun penelitian di Alabama menemukan hal yang berbeda, bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan pemakaian kontrasepsi implant dan non implant dengan nilai p = 0,37 (Mcelderry, 1996) . Departemen kesehatan Republik Indonesia membagi kelompok umur untuk akseptor KB menjadi dua kategori yaitu umur <20 atau >35 tahun, umur 20-35 tahun (Depkes RI, 2006). Umur <20 tahun atau umur >20-35 tahun adalah usia untuk menunda kehamilan, umur 20-35 tahun untuk menjarangkan kehamilan.

(6)

2.3.2 Pendidikan

Peran pendidikan dalam mempengaruhi pola pemikiran perempuan untuk menentukan kontrasepsi mana yang lebih sesuai untuk dirinya, kecenderungan ini menghubungkan antara tingkat pendidikan akan mempengaruhi pemahaman dan pengetahuan seseorang, penelitian di Cambodia tersebut menegaskan hubungan pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi modern sangat berkaitan (Samandari, 2010). Berdasarkan hasil penelitian di Kenya tingkat pendidikan ibu dengan pemakaian kontrasepsi modern mempunyai hubungan yang signifikan. Ibu dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih memilih menggunakan metode kontrasepsi modern dengan efektifitas yang lebih tinggi (Copollo, 2011).

2.3.3 Pekerjaan

Banyak penelitian menemukan bahwa perempuan yang bekerja dan ikut berpartisipasi dalam menyumbang sumber perekonomian keluarga cenderung lebih mengatur kesuburannya, dengan memiliki satu anak atau bahkan tidak sama sekali, persaingan dalam karir dan pekerjaan bahkan kebijakan dari tempat kerja membuat mereka memilih untuk tidak mempunyai anak, sehingga mereka harus memilih kontrasepsi yang paling efektif dan berlangsung dalam waktu yang lama (Mosha & Ruben, 2013).

2.3.4 Paritas

Pengalaman berulang dari melahirkan dan resiko dari terlalu sering melahirkan sering menimbulkan suatu hal yang mempengaruhi kesehatan bahkan menimbulkan kematian, dari para akseptor metode kontrasepsi jangka Panjang di Cipayung Bandung memutuskan untuk memilih salah satu metode kontrasepsi

(7)

jangka panjang karena telah memiliki cukup anak yaitu lebih dari 5 dan mengalami komplikasi selama hamil dan melahirkan, oleh karena itu mereka menyadari terlalu sering melahirkan adalah membahayakan kesehatannya (Newland, 2001).

Berbeda dengan penelitian Erman yang dilakukan di Palembang, paritas tidak mempengaruhi dalam pemilihan alat kontrasepsi dengan metode jangka panjang, dipaparkan tidak ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan penggunaan MKJP (Erman & Elviani, 2012). Paritas dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu paritas <2 dan >2 (Nakhaee & Mirahmadizadeh, 2002).

2.3.5 Jumlah penghasilan keluarga

Menurut Wang dkk (2006) dalam Mosha & Ruben (2013). perbedaan kesuburan menurut status sosial ekonomi telah menarik banyak perhatian karena mereka percaya bahwa perempuan dari keluarga kaya akan mempunyai kesehatan yang lebih baik yang secara pasti akan berpengaruh pada kesuburannya dan hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan kepadatan pada sub populasi tertentu.

Kesejahteraan ekonomi keluarga mempunyai hubungan positif terhadap penggunaan kontrasepsi, dengan OR 3,96 berarti pada keluarga sejahtera mempunyai 4 kali lebih besar dalam menggunakan kontrasepsi untuk mencegah kehamilan (Mosha & Ruben, 2013). Hasil survei demografi dan kesehatan dari 55 negara berkembang dengan menggunakan indeks kekayaan untuk mengeksplorasi pemakaian kontrasepsi modern didapati kesenjangan dengan pemakaian lebih rendah pada masyarakat miskin (Gakidou & Vayena, 2007). Penghasilan dibagi

(8)

menjadi dua kategori berdasarkan UMR dari wilayah kabupaten Banyuwangi, rendah jika < Rp. 1.426.000 dan tinggi jika ≥ Rp. 1.426.000 (Pergub Jatim, 2014). 2.3.6 Nilai budaya

Lingkungan memiliki peranan yang sangat kuat dalam menentukan tindakan individu. Nilai-nilai budaya merupakan norma yang dipegang erat setiap masyarakat. Setiap daerah mempunyai nilai budaya yang berbeda-beda dan menjadi pegangan hidup setiap warganya. Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa agama mempunyai peranan yang sangat kuat dalam mempengaruhi seseorang untuk memutuskan dalam memilih metode kontrasepsi yang digunakan untuk mengatur jumlah anak mereka.

Penelitian di Tanzania mendapatkan hubungan yang signifikan antara agama dengan pemakaian kontrasepsi dengan nilai OR 2,802 dan p =0,02 (Mosha & Ruben, 2013). Penelitian di Turkey juga menemukan hasil yang serupa, didapatkan 32,5% pada WUS usia 15-45 tahun tidak menggunakan kontrasepsi karena alasan kepercayaan bahwa mendapat dosa jika mereka menggunakan KB (Sahin, 2003).

2.3.7 Pengetahuan

Perilaku seringkali dipengaruhi oleh seberapa besar pemahaman kita atas sesuatu hal, karena hal itu maka pengetahuan seseorang sangat berkaitan erat dengan perilaku mereka dalam memutuskan tentang upaya untuk meningkatkan kesehatan mereka, pengetahuan memiliki pengaruh dalam memberikan putusan untuk menggunakan alat kontrasepsi, dengan nilai p = 0,00 dan OR 2,224 (Mosha & Ruben, 2013).

(9)

Sebagian besar masyarakat pada dasarnya telah mengetahui bahwa kontrasepsi mampu mengatur angka kelahiran, akan tetapi banyak pengguna kontrasepsi yang memutuskan untuk berhenti menggunakan kontrasepsi dan enggan untuk memakainya kembali karena mereka berenggapan akan menjadi resisten sehingga seringkali mengalami kegagalan, disini pentingnya pengetahuan untuk menghilangkan kesalah pahaman tersebut (Save, 2004).

2.3.8 Persepsi manfaat

Persepsi merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh akan terbentuknya perilaku. Perubahan perilaku dalam diri individu dapat diketahui melalui persepsi, secara umum persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman yang dihasilkan dari panca indra manusia. Pengguna implant mempunyai anggapan yang positif bahwa metode ini merupakan cara yang paling aman, nyaman dan efektif (Kuiper dkk, 1997).

Hasil dari pemikiran akan suatu tindakan yang dilakukan apakah akan membawa suatu manfaat dan keuntungan dalam mengurangi resiko akan timbulnya masalah kesehatan. Persepsi merupakan keyakinan yang mendapat pengaruh dari sosial dan budaya dan merupakan pertimbangan keuntungan dari orang lain yang telah melakukan, sejauh mana kepercayaan dengan menggunakan metode kontrasepsi dapat meningkatkan kesejahteraan (Tuner dkk , 2003).

2.3.9 Role model (model peran)

Model peran mempunyai peranan yang sangat penting untuk psikologis manusia dalam membantu perkembangan yang berfungsi sebagai pandangan untuk mengambil keputusan tentang hal yang akan mempengaruhi masa depan

(10)

(Thomas, 2014). Model peran yang positif seperti keberhasilan sesorang akan mempunyai pengaruh yang besar kepada orang lain yang menjadikannya sumber inspirasi untuk melakukan hal yang sama (Lockwood dkk, 2002).

2.3.10 Ketersediaan alat kontrasepsi

Hasil tinjauan lapangan diketahui bahwa tinggi rendahnya partisipasi masyarakat terhadap jenis pemakaian alat kontrasepsi karena dipengaruhi ketersediaan dari alat kontrasepsi itu sendiri, keterbatasan dari alat kontrasepsi seringkali menjadi kendala bagi akseptor sehingga akhirnya mereka memutuskan memilih salah satu kontrasepsi karena sebagai substitusi (BKKBN, 2008a).

Pilihan metode kontrasepsi jangka panjang seperti implant, IUD dan sterilisasi harus lebih mudah untuk diakses bagi perempuan pasca aborsi dan melahirkan untuk mencegah kembali terjadinya aborsi yang tidak aman memerlukan metode kontrasepsi dalam jangka waktu yang lebih panjang akan lebih baik untuk kesehatan mereka (Trevvit, 2010).

2.3.11 Akses ke tempat fasilitas pelayanan

Faktor yang paling umum mempengaruhi penggunaan kontrasepsi modern pada masyarakat adalah akses jarak ke pelayanan kesehatan, ketersediaan alat serta keterjangkauan harga dari metode tersebut (Samandari, 2010). Goodman menyebutkan jarak kepelayanan kesehatan dengan waktu tempuh kurang dari tiga puluh menit akan menarik para perempuan untuk mengunjungi pusat pelayanan KB tersebut, jarak tempat pelayanan sangat efektif dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi dan menurunkan kesuburan (Goodman dkk., 2007).

(11)

2.3.12 Informasi dari petugas tenaga kesehatan

Komunikasi inter personal atau konseling merupakan kegiatan percakapan tatap muka dua arah antara klien dengan petugas dengan tujuan untuk memberikan bantuan mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif sehingga calon akseptor mampu mengambil keputusan sendiri mengenai alat atau metode kontrasepsi yang terbaik untuk dirinya (BKKBN, 2009). Komunikasi dan informasi mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai p = 0,001 (Mosha & Ruben, 2013).

2.3.13 Dukungan suami

Tingkat kepedulian yang tinggi tentang keluarga berencana diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan di Nigeria baik pada daerah perkotaan maupun pedesaan, 98,3% responden laki–laki berpendapat bahwa keputusan untuk memakai KB harus diputuskan secara bersama dengan pasangan mereka, sehingga bisa saling memberi dukungan untuk menggunakannya (Ernest dkk, 2007).

Pendapat tersebut ditegaskan oleh Kohan pada penelitian kualitatifnya , bahwa perempuan akseptor KB merasa lebih nyaman ketika keputusan KB diputuskan secara mufakat antara pasangan (Kohan dkk, 2012). Alasan pada wanita usia 15 – 49 tahun yang tidak menggunakan KB di Turkey adalah karena tidak mendapat persetujuan sehingga tidak didukung oleh suami (Sahin, 2003). Berdasarkan beberapa penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Aryanti di Kabupaten Lombok Timur dari beberapa faktor yang mempengaruhi wanita usia dini menggunakan KB hanya faktor dukungan suami yang mempunyai pengaruh 100% (Aryanti, 2014).

(12)

2.3.14 Dukungan tokoh masyarakat / tokoh agama

Tokoh agama merupakan tokoh panutan yang memiliki wawasan keagamaan yang luas, mempunyai peran yang sangat strategis dalam mendukung program KB dan kesehatan reproduksi. BKKBN pusat telah membuat kesepakatan kesepakatan bersama (MOU) dengan departemen agama republik Indonesia, kesepakatan bersama tersebut dilksanakan mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten / kota sampai ditingkat lapangan (BKKBN, 2008b).

2.4 Teori perilaku

Faktor yang mempengaruhi perilaku individu merupakan resultansi dari rangsangan dari luar dengan reaksi dari dalam individu. Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) yang merupakan seorang ahli psikologi telah memaparkan teori S-O-R atau Stimulus Organisme Respon yaitu perilaku merupakan wujud dari respon seseorang terhadap rangsangan dari luar yang mana sesorang akan melakukan suatu tindakan setelah mendapatkan rangsangan dari luar. Beberapa teori yang berhubungan dengan perubahan perilaku manusia yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut.

2.4.1 Teori lawrence green

Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010), analisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor diluar perilaku. Faktor perilaku terbentuk dari:

1. Predisposing factor (faktor predisposisi) adalah penyebab terlaksanakannya sebuah perilaku, hal ini merupakan faktor dalam diri individu sendiri, seperti; pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai - nilai

(13)

2. Enabling factor (faktor pemungkin) yaitu faktor yang memungkinkan atau menjembatani perilaku atau tindakan manusia sehingga hal tersebut akan mendukung manusia untuk bertindak, seperti; lingkungan fisik, tersedianya fasilitas atau alat kesehatan, tersedia sarana kesehatan dan sebagainya.

3. Reinforcing factor (faktor pendorong) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku, seperti; sikap dan perilaku petugas kesehatan, perilaku tokoh masyarakat atau tokoh agama yang kemudian dijadikan role model.

Model Green dapat digambarkan secara sistematis sebagai berikut:

Keterangan; B = Behaviour F = Fungsi Pf = Predispossing Factors Ef = Enabling Factors Rf = Reinforcing Factors 2.4.2 Teori social learning

Teori Social Learning atau teori belajar sosial dari Albert Bandura (1977) dalam (Boeree, 2006) mengemukakan bahwa teori belajar sosial menggunakan sudut pandang kognitif dalam menguraikan belajar dan perilaku. Melalui kognitif individu akan berasusmsi tentang pikiran manusia dan menafsirkan semua pengalaman yang terjadi. Menurut Bandura individu tidak berdiri sendiri dalam memproduksi perilaku akan tetapi berkaitan antara individu dengan lingkungan.

(14)

Kepribadian dan perilaku individu bersama dengan faktor lingkungan saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam merespon situasi yang dihadapi. Dasar kognisi dalam proses belajar diringkas dalam empat tahap yaitu.

1. Atensi / perhatian

Reaksi baru yang dipelajari dari melihat atau mendengar, maka hal tersebut akan menimbulkan perhatian yang akan menjadi sesuatu yang penting. Faktor-faktor untuk mendapatkan perhatian dipengaruhi oleh; penekanan penting dari perilaku menonjol, memperoleh perhatian dari ucapan atau teguran, membagi aktivitas umum dalam bagian-bagian yang wajar menjadi komponen keterampilan yang menonjol.

2. Retensi

Setiap gambaran perilaku disimpan dalam memori atau tidak. Dasar untuk penyimpanan merupakan metode yang digunakan untuk penyandian atau memasukkan respon. Penyandian dalam simbol verbal lebih mudah untuk diamati. Kesan visual atau simbol verbal dapat menggerakkan pola pikir secara aktif mengenai tindakan.

3. Reproduksi gerak

Waktu fakta-fakta dari tindakan baru disandikan dalam memori, maka memori tersebut akan dirubah kembali dalam tindakan yang tepat. Rangkaian tindakan baru merupakan simbol pertama pengaturan dan berlatih, semua waktu dibandingkan dengan ingatan atau memori dari perilaku model. Penyesuaian dibuat dalam rangkaian tindakan baru dan rangkaian perilaku awal. Perilaku akan dicatat oleh pengamat yang memberikan timbal balik yang benar dari perilaku

(15)

suka meniru. Dasar penyesuaian dari timbal balik membuat pengaturan simbolik rangkaian tindakan baru dan perilaku untuk memulai kembali.

4. Penguatan dan motivasi

Tujuan utama dari atensi, retensi dan reproduksi gerak sebagian besar berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk meniru perilaku penguatan menjadi relevan. Teori sosial belajar mempunyai dua implikasi penting yaitu belajar dari pengamatan, yang kedua adalah hadiah dan hukuman yang mempengaruhi pertunjukan dari perilaku yang dipelajari.

Referensi

Dokumen terkait

Sekretariat KEPK-FK Unpad bertanggung jawab untuk memastikan kelengkapan dokumen yang diajukan kembali dan memberitahukan Ketua KEPK-FK Unpad bahwa protokol yang

Senyawa yang diisolasi dari tumbuhan terpilih Michelia champaca L., yaitu liriodenin memiliki aktivitas inhibitor topoisomerase I dan II yang merupakan salah satu

Perawatan intensif yang diberikan oleh nakes pada bayi secara normal adalah hanya sampai dengan 3 hari di fasilitas kesehatan.. Setelah itu bayi dirawat di rumah

1 21 Normalisasi Dan Pembuatan Talud Anak Sungai Kedukan Bungaran Panca Usaha Menuju RSUD Bari Kecamatan SU I..

Dari permasalahan tersebut maka dibutuhkan penelitian lanjutan untuk membuat suatu sistem kendali beberapa AC (Air Conditioner) dan pada ruangan yang berbeda secara jarak

masyarakat Kota Bekasi terkait arsitektur budaya lokal pada bangunan gedung milik Pemerintah Kota Bekasi melalui Peraturan Walikota Nomor 53 tahun 2020 tentang

WHO dalam Wiyono (2008) menyatakan bahwa kanker serviks terjadi paling banyak pada usia setelah 40 tahun dan lesi derajat tinggi pada umumnya dapat dideteksi