• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT SEBAGAI BAHAN PAKAN"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN

HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT

(2)
(3)

PEN

HA

BADAN P

NGOLAHA

ASIL SAMP

SEBAGA

Arnold I Tres PENELITIAN D KEMEN

AN DAN PE

PING INDU

AI BAHAN

Penyusun: Parlindungan Wayan Mathiu snawati Purwa DAN PENGEM NTERIAN PER 2012

EMANFAA

USTRI SAW

N PAKAN

Sinurat us adaria MBANGAN PE RTANIAN

ATAN

WIT

ERTANIAN

(4)

Hak cipta dilindungi undang-undang ¤IAARD Press, 2012

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari IAARD Press.

Hak cipta pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian , 2012

Katalog dalam terbitan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit sebagai Bahan Pakan/Penyusun, Arnold Parlindungan Sinurat, I Wayan Mathius, dan Tresnawati Purwadaria; Penyunting, Budi Haryanto dan Bess Tiesnamurti.-- Jakarta: IAARD Press, 2012

xi, 81 hlm.: ill.; 21 cm 636.39.

1. Pemanfaatan 2. Pengolahan 3. Industri Sawit I. Judul II. Sinurat, Arnold P.

ISBN 978-602-8475-67-9

Penanggungjawab:

Dr. Bess Tiesnamurti (Kepala Puslitbang Peternakan) Tata letak: Eko Kelonowati Linda Yunia Rancangan sampul: Ahmadi Riyanto IAARD Press

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta 12540 Telp: +62 21 7806202, Faks.: +62 21 7800644 Alamat Redaksi:

Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122

(5)

KATA PENGANTAR

Buku ini disusun sebagai salah satu upaya untuk memperkecil jarak antara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian dengan praktek penerapannya di tingkat peternak atau industri peternakan. Banyak penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti di dalam maupun di luar negeri tentang penggunaan hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan, namun penerapan hasil penelitian tersebut di tingkat peternak atau industri peternakan di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, selayaknyalah kita memberi perhatian terhadap produk utama dan hasil sampingnya agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan cara yang benar dan baik.

Semua informasi yang diuraikan di dalam buku ini bersumber dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara, terutama Indonesia, Malaysia dan Nigeria yang kita kenal sebagai negara utama penghasil sawit di dunia. Dari uraian yang disampaikan terlihat bahwa hampir semua hasil samping dari industri sawit, mulai dari pelepah, daun, serat perasan buah, lumpur sawit atau solid decanter dan bungkil inti sawit sudah diteliti dan dapat digunakan sebagai bahan pakan. Memang terdapat beberapa hal yang merupakan pembatas dalam penggunaan hasil samping tersebut. Namun, beberapa teknologi sudah dihasilkan untuk mengurangi kendala tersebut, sehingga hasil samping tersebut mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan pakan.

Buku ini diharapkan bisa menjadi penuntun bagi pembaca dalam memanfaatkan hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non-ruminansia. Dengan pemanfaatan hasil samping industri sawit yang merupakan produksi dalam negeri, diharapkan peternak dapat menekan biaya pakan yang terus meningkat dan meningkatkan keuntungan berusaha. Bagi peneliti atau perekayasa, buku ini diharapkan

(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Kebutuhan pakan Indonesia ... 1

2. POTENSI PRODUK HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT ... 4

2.1. Perkembangan industri sawit ... 4

2.2 Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak non-ruminansia ...………... 5

2.2.1. Bungkil inti sawit ... 7

2.2.2. Lumpur sawit ... 10

2.3. Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia ………... 11

2.3.1. Produk samping tanaman kelapa sawit ... 12

2.3.2 Produk samping pengolahan buah kelapa sawit 14 2.3.3. Nilai gizi produk samping industri sawit ... 15

3. KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK SAMPING INDUSTRI SAWIT ... 17

3.1. Teknologi pengolahan batang kelapa sawit (oil palm trunk) ... 18

3.2. Teknologi pengolahan daun (oil palm leaf) dan pelepah sawit (oil palm frond) ... 18

3.3. Teknologi pengolahan tandan kosong (empty fruit bunches) dan serat perasan buah sawit (palm press fiber) ... 23

3.4. Teknologi pengolahan lumpur sawit (Palm oil Sludge) 26 3.5. Teknologi pengolahan bungkil inti sawit ... 31

(8)

4. PEMANFAATAN PRODUK SAMPING SAWIT UNTUK

PAKAN TERNAK NON-RUMINANSIA ... 40

4.1. Bungkil inti sawit ... 40

4.1.1. Bungkil inti sawit sebagai bahan pakan babi …... 46

4.1.2. Penggunaan produk fermentasi bungkil inti sawit dalam ransum unggas ... 53

4.2. Lumpur sawit ... 54

4.2.1. Lumpur sawit sebagai bahan pakan babi ……... 59

4.2.2. Lumpur sawit sebagai bahan pakan kelinci ... 61

5. PEMANFAATAN PRODUK SAMPING INDUSTRI SAWIT UNTUK TERNAK RUMINANSIA ... 62

6. PENUTUP ... 69

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perkembangan jumlah impor bahan pakan Indonesia tahun

2007 – 2011 ... 2 2. Produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit Indonesia

tahun 2007 – 2011 ... 6 3. Komposisi zat gizi lumpur sawit dan bungkil inti sawit …….. 9 4. Produk samping tanaman, olahan kelapa dan inti sawit

untuk setiap ha/tahun ... 13 5. Komposisi nutrien produk samping tanaman, pengolahan

buah kelapa dan inti sawit ... 16 6. Evaluasi nilai gizi pelepah daun sawit dengan perlakuan

NaOH, amoniasi dan silase ... 21 7. Hasil penyaringan BIS pada berbagai ukuran penyaringan

terhadap kadar kontaminasi cangkang ... 31 8. Perubahan nilai gizi bungkil intisawit setelah di fermentasi

dengan berbagai jenis mikroorganisme ... 34 9. Kandungan protein dan asam amino konsentrat BIS -

protein konsentrat, BIS dan bungkil kedelai ... 37 10. Beberapa susunan ransum broiler dengan kandungan

bungkil inti sawit (BIS) yang tinggi dan hasilnya

dibandingkan dengan ransum tanpa BIS (kontrol) ... 41 11. Beberapa susunan ransum ayam petelur yang

mengandung bungkil inti sawit dan performannya

dibandingkan dengan kontrol ... 45 12. Performan babi periode grower dan finisher yang diberi

ransum dengan kandungan BIS yang berbeda ... 47 13. Beberapa formula pakan babi dengan kandungan bungkil

inti sawit yang tinggi dan performannya dibandingkan

dengan kontrol ... 48 14. Kecernaan asam amino (Standardized ileal digestibility)

dan energi bungkil inti sawit asal Indonesia dan Afrika dibandingkan dengan bungkil kelapa dan bungkil kedelai -

(10)

15. Beberapa formula pakan ayam broiler dengan kandungan lumpur sawit dan performannya dibandingkan dengan

kontrol ... 56 16. Performan ayam petelur yang diberi ransum dengan

lumpur sawit sebagai pengganti jagung ... 58 17. Beberapa formula pakan babi dengan kandungan lumpur

sawit yang tinggi dan performannya dibandingkan dengan

kontrol ... 60 18. Performan sapi perah dengan pemberian bungkil inti sawit

sebagai penganti konsentrat ... 67 19. Persentasi penggunaan produk samping industri sawit

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Tandan buah sawit segar (A) dan tandan kosong (B) ... 7 2. Bungkil inti sawit yang baru dihasilkan di pabrik

pengolahan inti sawit ... 8 3. Lumpur sawit atau solid decanter segar ... 11 4. Pelepah dan daun sawit dikirimkan ke tempat perajangan 12 5. Serat perasan buah sawit ... 14 6. Pencacahan pelepah daun sawit menggunakan parang... 19 7. Perbandingan hasil cacahan daun sawit lengkap, A

Pemotongan dengan mesin chopper, B. Pemotongan

dengan mesin modifikasi shredder ... 20 8. Campuran lumpur sawit dan bungkil inti sawit setelah

difermentasi 42 jam dengan A. niger ... 29 9. Cangkang sawit yang disisihkan dan tertinggal di dalam

tempat pakan ayam ... 43 10. Cangkang yang tinggal di dalam tembolok ayam petelur

yang diberi ransum mengandung bungkil inti sawit (BIS)

(12)
(13)

1. PENDAHULUAN 1.1. Kebutuhan pakan Indonesia

Dewasa ini dunia sedang dihantui oleh krisis pangan, pakan dan energi atau yang disebut dengan krisis 3F (Food, Feed dan Fuel crisis). Hal ini terjadi karena permintaan terhadap ketiga komoditi tersebut terus meningkat, sementara produksi bahan baku stagnan, bahkan cenderung semakin berkurang. Meningkatnya pendapatan masyarakat di negara-negara yang selama ini ekonominya tertinggal, menyebabkan permintaan akan jumlah dan kualitas pangan yang semakin meningkat serta memerlukan energi yang lebih banyak untuk industri yang dapat memenuhi permintaan tersebut. Akibat yang bisa dilihat adalah naiknya harga bahan pangan dan energi yang terjadi diseluruh negara di dunia. Krisis energi (minyak bumi) juga sudah mendorong negara maju untuk menggunakan bahan yang semula dijadikan sebagai bahan pangan dan pakan, seperti jagung dan gandum menjadi bahan sumber energi asal nabati atau ‘bio fuel’. Disamping itu, banyaknya aktivitas manusia (terutama industri) yang menyebabkan kerusakan lingkungan sudah dapat kita rasakan dengan adanya perubahan iklim global atau global climate change. Perubahan iklim ini sangat mempengaruhi atau menurunkan produksi pangan di dunia. Krisis ini sudah diramalkan seperti tertuang dalam press release World Bank yang menyatakan bahwa pada tahun 2008 terjadi peningkatan 44 juta orang yang kekurangan pangan, sehingga jumlah yang kekurangan pangan menjadi 987 juta jiwa. Krisis ini juga terjadi di Indonesia.

Meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat Indonesia mendorong pertumbuhan industri peternakan di Indonesia seperti terlihat dari peningkatan konsumsi produk peternakan (daging, susu dan telur). Dengan demikian, jumlah pakan yang di produksi juga terus bertambah. Perkembangan produksi pakan nasional dari tahun 2007 dapat dilihat pada

(14)

Tabel 1. Selama kurun waktu 5 tahun tersebut terjadi peningkatan produksi pakan nasional dari 7.700.000 ton menjadi 11.200.000 ton atau meningkat 45,6%. Peningkatan produksi pakan tersebut ternyata lebih banyak berasal dari bahan impor. Dalam kurun waktu yang sama, total impor bahan pakan meningkat dari 3.714.000 ton menjadi 8.499.000 ton atau meningkat 128,8%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pakan di Indonesia sangat tidak mencukupi. Dari berbagai jenis bahan pakan yang diimpor, jumlah yang paling banyak diimpor adalah jagung dan bungkil kedelai. Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi daging, susu dan telur melalui program-program yang dicanangkan seperti PSDSK (Program swasembada daging sapi dan kerbau) dan intensifikasi ayam buras, perlu diikuti dengan program penyediaan pakan yang cukup.

Tabel 1. Perkembangan jumlah impor bahan pakan Indonesia tahun 2007 – 2011 (u 1000 ton)

Jenis bahan pakan Tahun

2007 2008 2009 2010 2011

Jagung 480 170 290 1.552 3.075

Bungkil kedelai 1.880 1.810 2.170 2.820 2.928

Corn gluten meal 160 140 130 140 178

Rapeseed meal 780 1.050 1.050 600 142

Meat and bone meal 280 330 370 380 424

Poultry by-product meal 100 96 115 70 1.445

Tepung bulu - 60 40 40 51 DDGS (hasil samping bioethanol) 34 78 141 212 256 Total 3.614 3.578 4.151 5.704 7.199 Produksi pakan Nasional 7.700 8.220 8.400 9.900 11.200 Sumber: Ditjen PKH (2012)

(15)

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencukupi bahan pakan di dalam negeri adalah dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang jumlahnya banyak tersedia, namun belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan. Di Indonesia, industri sawit (mulai dari perkebunan hingga pengolahan hasilnya) cukup berkembang beberapa tahun terakhir. Industri sawit merupakan sumber pakan yang potensil yang belum banyak dimanfaatkan dalam industri peternakan. Selain itu, minyak sawit atau CPO yang bisa digunakan sebagai sumber energi dalam pakan, produk ikutan seperti pelepah dan daun, lumpur sawit atau solid decanter, bungkil inti sawit, janjang kosong dan serabut sisa perasan buah sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak ruminan dan atau non-ruminan. Semua bahan-bahan tersebut mempunyai faktor pembatas bila digunakan secara langsung di dalam ransum ternak. Akan tetapi, beberapa teknologi yang merupakan hasil penelitian di Indonesia maupun di luar negeri dapat mengurangi kendala tersebut sehingga bahan-bahan tersebut dapat digunakan, seperti diuraikan dalam buku ini.

(16)

2. POTENSI PRODUK HASIL SAMPING INDUSTRI SAWIT 2.1. Perkembangan industri sawit

Keseimbangan asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam minyak kelapa sawit memperkuat posisi minyak sawit sebagai bahan pangan umat manusia. Minyak sawit menyumbangkan lebih dari 27% pengadaan minyak nabati dunia setelah minyak nabati yang berasal dari biji kedelai (Fold, 2003). Kalau dulu Indonesia menempati urutan ke dua terbesar penghasil minyak kelapa sawit setelah Malaysia, maka saat ini Indonesia sudah menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Demikian penting arti minyak nabati asal kelapa sawit, menyebabkan luas wilayah pengembangannya, khususnya di Indonesia hingga saat ini sangat pesat.

Di Indonesia, tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) telah dikenal sejak tahun 1848 yang pertama kali ditanam di kebun Raya Bogor (Corley, 2003), sementara pengembangannya sebagai penghasil minyak kelapa sawit yang sangat dibutuhkan umat manusia dimulai pada tahun 1911. Laju pertumbuhan luas tanam kelapa sawit setiap tahunnya di Indonesia mencapai 12,6% (Liwang, 2003). Diperkirakan luas tanam kelapa sawit, khususnya perkebunan swasta dan perorangan akan terus bertambah dan hingga saat ini (2011) luas tanam telah mencapai 8,1 juta Ha serta menduduki urutan pertama dunia dalam luas tanam. Sebagai konsekuensi makin meningkatnya luas tanam kelapa sawit, adalah makin meningkatnya pula produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang sedikit banyak akan menimbulkan problem baru dan perlu diantisipasi. Salah satu cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkan ternak (Corley, 2003), khususnya ternak ruminansia sebagai pabrik biologis yang dapat memanfaatkan biomasa produk samping industri tersebut sebagai bahan baku pakan, sekaligus dapat dijadikan media penyedia bahan baku

(17)

pupuk organik. Sebagai ternak ruminansia, kebutuhan dasar sapi potong yang paling hakiki adalah pakan hijauan. Sistem pencernaan ternak sapi mulai berfungsi sejak ternak tersebut lahir, meskipun belum sempurna sebagaimana yang terjadi pada ternak dewasa. Setelah melewati fase menyusui, sapi memiliki kemampuan untuk merubah bahan pakan yang tidak dapat dimanfaatkan manusia menjadi produk sumber pangan dan sandang, seperti daging dan kulit.

Secara garis besar produk samping yang dihasilkan dari industri sawit dapat dipisahkan atas dasar sumber/asal produk samping ke dalam dua kelompok, yakni yang berasal dari kebun/kawasan tanaman dan pabrik pengolahan buah kelapa sawit(PKS) dan inti sawit (PKO).

2.2. Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai bahan pakan ternak non-ruminansia

Bahan pakan biasanya dibedakan untuk ternak ruminansia dan non-ruminansia karena adanya perbedaan dalam sistem pencernaan kedua jenis ternak tersebut. Berbeda halnya dengan ternak ruminansia, ternak non-ruminansia mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam mencerna bahan pakan berserat kasar tinggi. Oleh karena itu, tidak semua produk samping industri sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak non-ruminansia. Hasil samping industri sawit, yang dapat digunakan sebagai pakan untuk ternak non-ruminansia adalah bungkil inti sawit dan lumpur sawit atau solid decanter. Bungkil inti sawit (BIS) merupakan sisa padatan setelah pemerasan inti sawit untuk menghasilkan minyak inti sawit. BIS sudah umum diperdagangkan dan digunakan sebagai pakan, terutama untuk ternak ruminansia di negara maju. Sampai saat ini, kebanyakan (sekitar 90%) dari BIS yang diproduksi di dalam negeri di ekspor ke luar negeri, sehingga hanya sekitar 10% yang digunakan di dalam negeri.

(18)

Lumpur sawit merupakan limbah dari proses pemerasan buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) yang diperoleh dengan cara mensentrifusi limbah cairan dengan menggunakan alat yang disebut decanter. Pada saat ini tidak semua pabrik penghasil CPO di Indonesia menghasilkan lumpur sawit, tergantung dari peralatan yang digunakan. Saat ini, sebagian besar lumpur sawit yang dihasilkan masih belum digunakan sebagai pakan, tetapi disebarkan di kebun sebagai pupuk. BIS dan lumpur sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan unggas maupun babi karena mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh ternak meskipun sampai saat ini belum lazim dipakai.

Perkebunan sawit dan produksi minyak sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 19.324.294 ton, 20.783.017 ton dan 21.147.816 ton (Anonymous, 2012). Oleh karena itu, potensi produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit juga cukup besar. Menurut Devendra (1978), produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit (setara kering) adalah sekitar 2,5% dari tandan buah segar (TBS) yang diproses (Gambar 1). Dengan demikian, potensi produksi lumpur sawit juga sama besarnya dengan jumlah bungkil inti sawit yang diproduksi. Statistik produksi bungkil inti sawit selama 5 tahun terakhir terus meningkat seperti disajikan dalam Tabel 2 (Purba dan Panjaitan, 2011).

Tabel 2. Produksi bungkil inti sawit dan lumpur sawit Indonesia tahun 2007 – 2011 (u 1000 ton)

Produk samping Tahun

2007 2008 2009 2010 2011 Bungkil inti sawit 2189 2517 2738 2881 3108** Lumpur sawit* 2189 2517 2738 2881 3108** * Potensi produksi berdasarkan perkiraan

** Untuk tahun 2011 adalah angka perkiraan Sumber: Purba dan Panjaitan (2011)

(19)

Gambar 1. Tandan buah sawit segar (A) dan tandan kosong (B) 2.2.1. Bungkil inti sawit

Bungkil inti sawit di Indonesia umumnya merupakan hasil proses pemerasan dengan menggunakan expeller, sehingga berbentuk granul atau lempengan seperti bungkil kedelai, berwarna kecoklatan (Gambar 2). BIS mempunyai berat jenis (specific gravity) 1,4 – 1,5 dan kerapatan atau bulk density 0,58 – 0,63 (Jaelani dan Firahmi, 2007). BIS dihasilkan dalam bentuk

A

(20)

kering dengan kadar air sekitar 10%, oleh karena itu, kandungan aflatoksin BIS umumnya cukup rendah, karena jamur penghasil aflatoksin (Aspergillus flavus) tidak dapat tumbuh bila kadar air bahan pakan <14%. Hasil analisis yang dilakukan pada 20 sampel bungkil inti sawit yang diambil dari Jambi, Lampung, Pontianak dan Surabaya menunjukkan rata-rata cemaran aflatoksin B1 adalah 49

Pg/kg dengan kisaran 5,79 – 93,10 Pg/kg (Pranowo et al., 2009).

Gambar 2. Bungkil inti sawit yang baru dihasilkan di pabrik pengolahan inti sawit

Salah satu kendala yang sering dikeluhkan dalam penggunaan BIS sebagai bahan pakan adalah terdapatnya pecahan cangkang yang cukup banyak sekitar 15 – 20% (Chin, 2002; Sinurat et al., 2008). Pecahan cangkang ini secara otomatis mengurangi nilai gizi BIS dan kurang disukai ternak (‘kurang palatabel’) serta mungkin dapat menyebabkan luka pada usus ternak muda.

Kandungan gizi BIS sangat bervariasi. BIS yang merupakan hasil pemerasan mekanis, mempuyai kandungan minyak sekitar 7 – 9%, protein kasar 12 – 16%, energi metabolis (ME): 2087 –

(21)

2654 kcal/kg. BIS juga mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi (12 – 16%), yang merupakan salah satu faktor pembatas lain dalam penggunaannya sebagai bahan pakan ternak non-ruminansia. Ketersediaan asam amino essensil (essential amino acid digestibility) BIS tidak terlalu rendah, yaitu berkisar antara 66,7 – 92,7% (Onwudike, 1986). Kandungan gizi BIS secara detail disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi zat gizi lumpur sawit dan bungkil inti sawit

Kandungan nutrisi Lumpur sawit kering Bungkil inti sawit

Bahan kering, % 90 90

Serat kasar, % 29,76 11,9 – 15,3

NDF, % 62,77 73,3 – 76,1

ADF, % 44,29 42,5 – 46,8

Gross energi (kkal/kg) 3260 4408

Energi metabolis (ME),

kkal/kg* 1593 2087

Energi metabolis (ME),

kkal/kg** 2390 – 2500 3170 TDN (%)*** 70,9 65 – 67 Lemak (%) 10,4 9,60 Protein kasar, % 11,94 14,2 Asam Amino, % - - Threonin 0,33 (22,8)@ 0,31 (85,3)# Arginin 0,21 (21,1) 1,12 (92,7) Alanin 0,56 (29,3) 0,47(83) Methionin 0,14 (22,1) 0,41 (92,1) Sistin 0,13 0,30 (68,4) Valin 0,48 (28,1) 0,55 (66,7) Fenilalanin 0,21 (26,6) 0,39 (91,6) Leusin 0,52 (26,4) 0,71 (90,6) Lisina 0,31 (8,3) 0,49 (88,9) Triptofan - 0,10 Kadar abu, % 10,40 4,24

(22)

Tabel 3. (Lanjutan)

Kandungan nutrisi Lumpur sawit kering Bungkil inti sawit

Kalsium (Ca), % 0,74 0,35 Fosfor (P), % 0,46 0,59 Natrium (Na), % 0,12 0,009 Magnesium (Mg), % 0,50 0,27 Besi (Fe), mg/kg 13 4,05 Tembaga (Cu), mg/kg 2,7 28,5 Seng (Zn), mg/k 0,34 77,0 Mangan (Mn), mg/kg 52 225 Tembaga (Pb), mg/kg 51,13 24,10 Aluminium (Al), mg/kg 176 368

Cadmium (Cd), mg/kg Tdk terdeteksi Tdk terdeteksi

Cobalt (Co), ppm 3,24 0,37

* Untuk ternak unggas; **Untuk ternak babi; ***Untuk ternak ruminansia

#

Persentase asam amino tercerna pada unggas (Onwudike, 1986) @ Persentase asam amino tercerna pada unggas (Yeong, 1983)

2.2.2. Lumpur sawit

Dalam proses pengolahan minyak sawit (CPO) dihasilkan limbah cairan yang sangat banyak, yaitu sekitar 2,5 m3/ton CPO yang dihasilkan. Limbah ini mengandung bahan pencemar yang sangat tinggi, yaitu BOD sekitar 20.000 – 60.000 mg/l (Wenten, 2004). Pengurangan bahan padatan dari cairan ini dilakukan dengan menggunakan suatu alat decanter yang menghasilkan solid decanter atau lumpur sawit (Gambar 3). Lumpur sawit atau solid decanter yang dihasilkan industri pengolahan sawit masih belum dimanfaatkan secara ekonomi. Di areal perkebunan, lumpur sawit digunakan sebagai penimbun jurang atau disebar begitu saja di lahan perkebunan. Bahkan lumpur sawit sering dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi bagi masyarakat di sekitar perkebunan (Yeong, 1982). Bahan padatan ini berbentuk seperti lumpur, dengan kandungan air sekitar 75%,

(23)

dan bahan kering mengandung protein kasar 11 – 14% dan lemak kasar 10 – 14%. Kandungan air yang cukup tinggi, menyebabkan bahan ini mudah busuk. Bila dibiarkan di lapangan bebas dalam waktu sekitar 2 hari, bahan ini terlihat ditumbuhi oleh jamur.yang berwarna kekuningan. Bila dikeringkan, lumpur sawit berwarna kecoklatan dan terasa sangat kasar dan keras. Banyak penelitian telah dilaporkan tentang penggunaan lumpur sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia maupun non-ruminansia. Komposisi kimia dan kandungan gizi lumpur sawit yang dikutip dari berbagai sumber pustaka disajikan pada Tabel 3. Besarnya variasi komposisi kimia lumpur sawit sangat tergantung pada banyak hal, termasuk pada perbedaan proses pemisahannya dari minyak sawit. 2.3. Potensi produksi hasil samping industri sawit sebagai

bahan pakan ternak ruminansia

Adanya rumen pada ternak ruminansia yang merupakan tempat hidupnya banyak mikroba yang dapat memecah serat, membuat ternak ini mampu menggunakan bahan pakan berserat tinggi. Oleh karena itu, hampir semua produk samping industri sawit seperti pelepah dan daun, serat perasan buah, lumpur sawit dan bungkil inti sawit dan hijauan yang ada disekitar kawasan kebun kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan untuk ternak ruminansia.

(24)

2.3.1. Produk samping tanaman kelapa sawit

Pelepah, daun dan batang. Pola tanam kelapa sawit dengan jarak tanam antar pohon 9 u 9 m dapat menampung 143 pokok tanam untuk setiap ha. Namun pada kenyataan di lapang menunjukkan bahwa jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap ha areal perkebunan hanya dapat mencapai 130 pohon. Variasi

Gambar 4. Pelepah dan daun sawit dikirimkan ke tempat perajangan jumlah tanaman pokok yang dapat tumbuh tersebut dimungkinkan karena kondisi wilayah yang berbeda-beda. Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa untuk setiap pohon sawit yang sudah berproduksi dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun (Diwyanto et al., 2004) dengan rataan bobot pelepah per batang mencapai 7 kg (Sitompul, 2004). Jumlah ini setara dengan 20.000 kg (22 pelepah u 130 pohon u 7 kg) pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap ha dalam setahun. Jumlah ini diperoleh dengan asumsi bahwa semua bagian pelepah dapat dimanfaatkan. Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa total bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap Ha adalah 5.214 kg. Perolehan data di lapang menunjukkan pula bahwa untuk setiap pelepah dapat menyediakan daun kelapa sawit sejumlah 0,5 kg. Nilai tersebut

(25)

setara dengan bahan kering sejumlah 658 kg/ha/tahun (Tabel 4). Dari uraian di atas, tercatat bahwa untuk setiap ha tanaman kelapa sawit dapat menyediakan bahan baku pakan yang dapat dipergunakan sebagai pakan pengganti hijauan sebanyak 5.872 kg setiap tahunnya. Jika diasumsikan bahwa biomassa tersebut diberikan pada ternak sapi sejumlah 50% (terbuang dalam bentuk sisa, 10%) dari kebutuhan satu satuan ternak (ST) ruminansia dengan bobot hidup 250 kg (konsumsi bahan kering 3,5% dari bobot hidup), maka jumlah pelepah-daun dapat menyediakan bahan pakan pengganti hijauan sejumlah 3,7ST/ha/tahun.

Tabel 4. Produk samping tanaman, olahan kelapa dan inti sawit untuk setiap ha/tahun

Biomasa Segar (kg) Bahan

kering (%) Bahan Kering (kg) Daun tanpa lidi 1.430 46,18 658

Pelepah 20.000 26,07 5.214

Tandan kosong 3.680 92,10 3.386

Serat perasan 2.880 93,11 2.681

Solid decanter 4.704 24,07 1.132 Bungkil inti sawit 560 91,83 514

Cangkang 960 100 960

Total biomassa 14.545

Asumsi yang digunakan:

Daya tampung pohon kelapa sawit: 130 pokok/ha Produksi pelepah: 22 pelepah/pohon/tahun Bobot pelepah: 7 kg/pelepah

Bobot daun per pelepah: 0,5 kg Tandan kosong 23% dari TBS

Produksi minyak sawit 4 ton per Ha per tahun

1000 kg TBS menghasilkan: 250 kg minyak sawit, 294 kg lumpur sawit, 180 kg serat perasan dan 35 kg bungkil inti sawit

(26)

Dengan asumsi bahwa luasan perkebunan kelapa sawit yang telah berproduksi (60% kondisi TM) adalah 4,86 juta ha (tahun 2011), maka pelepah-daun yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan hijauan sumber serat adalah sejumlah 28 juta ton bahan kering. Dengan perkataan lain, jumlah tersebut dapat memenuhi kebutuhan pakan pengganti hijauan untuk sejumlah 17,8 juta ST ruminansia. Selain itu, pelepah dan daun, perkebunan tanaman kelapa sawit juga menyediakan bahan pakan yang dapat dipergunakan sebagai pengganti hijauan dalam bentuk pucuk batang kelapa sawit. Biomassa tersebut dapat diperoleh pada saat tertentu, yakni pada saat peremajaan tanaman dilakukan. Oleh karena itu, penyediaan bahan pakan asal batang kelapa sawit bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.

2.3.2. Produk samping pengolahan buah kelapa sawit

Lumpur sawit, bungkil inti sawit, serat perasan dan tandan buah kosong. Proses ekstrasi buah sawit akan menghasilkan produk utama dalam bentuk minyak sawit (palm oil), sementara hasil ikutan yang diperoleh berbentuk tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil inti sawit. Liwang (2003)

(27)

melaporkan bahwa produksi minyak sawit (palm oil) yang dapat dihasilkan untuk setiap ha adalah empat ton per tahun. Jumlah tersebut dapat dihasilkan dari r 16 ton tandan buah segar (Jalaludin et al., 1991a). Selanjutnya dikatakan bahwa dari setiap 1.000 kg tandan buah segar (TBS) dapat diperoleh produk utama berupa minyak sawit sejumlah 250 kg dan produk samping sejumlah 294 kg lumpur sawit, 35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Jumlah tersebut dapat disetarakan (jumlah bahan kering) dengan 1.132 kg lumpur sawit, 514 kg bungkil kelapa sawit dan 2.681 kg serat perasan dan 3.386 kg tandan kosong untuk setiap ha/tahun (Tabel 4).

Atas dasar nilai tersebut maka dapat diketahui bahwa produk samping pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang dapat dihasilkan dari pabrik pengolahan kelapa dan inti sawit yang ada di Indonesia (asumsi luas tanam yang telah berproduksi/kondisi TM; 4,86 juta Ha) adalah 5,5 juta ton lumpur sawit, 2,5 juta ton bungkil inti sawit, 13 juta ton serat perasan dan 16,5 juta ton tandan kosong. Dengan perkataan lain, jumlah produk samping dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa dan inti sawit yang tersedia dan berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dalam setahun adalah 37,5 juta ton bahan kering. Selain itu, bungkil inti sawit (BIS), cangkang inti sawit merupakan produk samping pengolahan inti sawit dengan jumlah yang mencapai 960 kg/ha/tahun, namun demikian biomassa cangkang sawit tidak dapat dimanfaatkan sebagai komponen bahan pakan ternak. 2.3.3. Nilai gizi produk samping industri sawit

Kandungan nutrien yang terdapat dalam produk-produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa serta inti sawit telah dilaporkan para peneliti di Malaysia (Jalaludin et al., 1991a), Indonesia (Aritonang, 1984; Mathius et al., 2004b) dan Nigeria. Dari Tabel 5, terlihat bahwa kandungan nutrien produk samping tanaman (pelepah dan daun) kelapa sawit cukup rendah.

(28)

Keadaan tersebut dapat digambarkan dengan tingginya kandungan serat kasar, namun mengandung karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut (soluble sugars) yang cukup banyak, yaitu sekitar 22% (Ishida dan Abu Hassan, 1997). Secara umum, kandungan nutrien yang terdapat dalam produk samping tanaman kelapa sawit setara dengan produk samping tanaman pangan dan pakan hijauan yang terdapat di daerah tropika. Hasil ikutan pengolahan buah dan inti kelapa sawit seperti lumpur/solid dan bungkil inti sawit mengandung protein kasar yang berpotensi untuk dapat dijadikan bahan ransum berkualitas (Tabel 5).

Tabel 5. Komposisi nutrien produk samping tanaman, pengolahan buah kelapa dan inti sawit

Bahan/ produk samping BK% Abu PK SK L Ca P GE (kal/g) --- % Bahan kering --- Daun tanpa lidi 46,18 13,40 14,12 21,52 4,37 0,84 0,17 4.461 Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,94 1,07 0,96 0,08 4.841 Solid decanter 24,08 14,40 14,58 35,88 14,78 1,08 0,25 4.082 Bungkil inti sawit 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 0,56 0,84 5.178 Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 3,22 0,30 0,13 4.684 Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 4,70 0,24 0,04 3.367 BK: Bahan kering; PK: Protein kasar; SK: Serat kasar; L: Lemak; Ca: Kalsium; P: Fosfor; GE:Gross energi (energi bruto)

Sebagaimana pada produk samping industri pertanian lainnya, tingginya kandungan serat kasar produk samping tanaman dan hasil ikutan pengolahan buah kelapa sawit perlu diperlakukan secara khusus agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Perlakuan dimaksud dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi, baik secara fisik, kimia, biologis maupun kombinasi diantaranya.

(29)

3. KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK SAMPING INDUSTRI SAWIT

Upaya meningkatkan pemanfaatan produk samping pertanian dan hasil ikutan pengolahan hasil pertanian, merupakan pilihan yang harus ditempuh dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak, baik ruminansia maupun non-ruminansia. Berbagai pendekatan telah dan terus dikembangkan dalam upaya penyempurnaan teknologi agar kualitas produk samping pertanian dan hasil ikutan pengolahan produk utama dapat ditingkatkan dan dapat dipergunakan secara optimal sebagai bahan penyusun ransum lengkap.

Peningkatkan nilai nutrisi dan biologis produk samping pertanian tersebut dapat dicapai dengan pendekatan inovasi teknologi tertentu. Beberapa metode yang telah dikembangkan untuk meningkatkan nilai nutrisi produk samping pertanian dan hasil ikutan pengolahan hasil pertanian agar dapat berdayaguna tinggi pada ternak adalah: (i) Perlakuan fisik (cacah, giling, temperatur dan tekanan); (ii) Perlakuan kimia dengan asam dan basa (NaOH, urea); (iii) Secara enzimatis dan biologis dengan mempergunakan mikroorganisme; dan (iv) Kombinasi ketiga metode diatas. Penerapan proses teknologi tergantung pada jenis dan komposisi senyawa organik yang terdapat pada produk hasil samping.

Secara umum pendekatan fisik dilaporkan kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kandungan nilai biologis produk olahan. Sementara itu, pendekatan dengan kimia mulai ditinggalkan karena pada umumnya berdampak negatif baik terhadap ternak yang mengkonsumsinya maupun terhadap lingkungan, meskipun dalam skala terbatas (skala laboratorium) masih dimungkinkan. Pendekatan yang cukup dapat diterima pengguna dan memberikan hasil yang berdayaguna serta cukup memuaskan adalah pendekatan secara biologis (bio proses), dan dalam penerapannya di lapang mudah diterima pihak pengguna.

(30)

Pendekatan biologis dimaksud antara lain melalui proses fermentasi dan enzimatis (tergantung substrat dan target yang diinginkan).

3.1. Teknologi pengolahan batang kelapa sawit (oil palm trunk)

Batang kelapa sawit merupakan hasil ikutan yang dapat diperoleh pada waktu peremajaan tanaman dilakukan. Biomassa batang kelapa sawit dapat mencapai 84 ton/ha. Jaringan batang kelapa sawit terdiri atas bagian kulit luar dan bagian tengah yang dibangun oleh jaringan parenkim. Bagian kulit luar dan jaringan parenkim berturut turut mengandung kadar abu 2,2 dan 2,9%; kadar pati 2,4 dan 55,5%; dan kadar lignin 15,7 dan 20,0%. Kadar pati yang cukup tinggi pada bagian tengah batang sawit ini menyebabkan jaringan ini dapat digunakan sebagai sumber energi pakan ruminansia. Pengolahan dapat dilakukan dengan memisahkan bagian luar batang dan mencacah bagian lunak pada bagian dalam (Tomimura 1992). Peningkatan kecernaan batang sawit dapat dilakukan dengan larutan NaOH 10%, yang meningkatkan kecernaan bahan organik dari 20 – 23% menjadi 63% (Oshio et al., 1988). Penggunaan batang sawit menjadi terbatas, karena pengumpulan batang sawit hanya terjadi bila tanaman sudah tidak produktif.

3.2. Teknologi pengolahan daun (oil palm leaf) dan pelepah sawit (oil palm prond)

Daun sawit yang merupakan daun majemuk terdiri atas pelepah, lidi dan helai daun berpotensi sebagai bahan pakan hijauan ruminansia. Produksi daun segar tanpa lidi dan pelepah mencapai masing-masing 1.430 dan 20.000 kg/ha (Tabel 4). Daun dan pelepah tersebut diambil bersamaan dengan pemanenan buah, sehingga bila tidak digunakan untuk ternak, akan dibiarkan membusuk pada area perkebunan sawit (Wan Zahari et al., 1999).

(31)

Pada awalnya penggunaan pelepah lebih disukai daripada daun keseluruhan, karena produk pelepah tersedia lebih banyak (Tabel 5). Selain itu, pada bagian tengah daun sawit terdapat lidi, yang sebaiknya dipisahkan sebelum pemberian ke ternak. Pelepah dipisahkan dari daun, dikuliti dan dicacah berukuran kubus 1 – 2 cm secara manual (Gambar 6). Pelepah diberikan pada ternak sebagai pengganti hijauan dalam bentuk segar atau kering oven. Pelepah giling hasil rajangan mesin shreder sebanyak 50% dapat pula diolah bersama komponen lainnya membentuk pelet sebagai pakan lengkap (Dahlan et al., 2000). Campuran lain yang digunakan adalah 15% bungkil inti sawit, 6% dedak padi, 6% kulit kedelai, 15% molases, 2% tepung ikan, 4% urea, 0,5% NaCl dan 1,5% campuran mineral. Pembentukan pakan lengkap juga dilakukan di Loka Kambing Potong, namun jumlah pelepah yang diberikan pada pakan lengkap tersebut lebih rendah yaitu 40%.

Gambar 6. Pencacahan pelepah daun sawit menggunakan parang Pemotongan daun lengkap dapat dilakukan dengan mesin chopper/pemotong rumput (Gambar 7A). Hasil dari pemotongan mesin ini menunjukkan potongan lidi cukup besar, yang dapat mengganggu sistem pencernaan ternak. Saat ini PPKS Medan, Kebun Percobaan Bukit Sentang memotong daun sawit

(32)

keseluruhan tanpa pemisahan lidi dan kulit pelepah (Gambar 4B). Mesin ini dapat menghancurkan pelepah sawit termasuk komponen lidi menjadi seperti tepung, sehingga akan baik digunakan untuk pembuatan pelet. Penghancuran dengan menggunakan mesin shreder atau dengan modifikasinya yang membentuk tepung lebih disarankan karena tingkat palatabalitasnya lebih baik jika dibandingkan dengan yang di cacah.

(A) (B)

Gambar 7. Perbandingan hasil cacahan daun sawit lengkap, A

Pemotongan dengan mesin chopper, B. Pemotongan dengan mesin modifikasi shreder

Selain dengan cara fisik yaitu pengeringan, perajangan, penggilingan dan pembentukan pelet, pengelolaan awal pelepah daun sawit sebagai pengganti hijauan ternak ruminansia diterapkan dengan proses kimia dan biologi yaitu perendaman dengan NaOH, amoniasi dan silase, atau dicampurkan dengan tepung daun singkong atau dengan hasil limbah pertanian seperti BIS, lumpur sawit, dedak padi, atau molases (Tabel 6). Pengolahan dengan peletisasi (membuat dalam bentuk pelet) tidak meningkatkan nilai kecernaan pelepah, meskipun tingkat palatabilitasnya meningkat (Kawamoto et al., 2001). Oleh karena itu, proses pembuatan pelet berbahan pelepah hanya disarankan untuk meningkatkan konsumsi bahan kering. Perlakuan tunggal

(33)
(34)

silase umumnya tidak meningkatkan kecernaan, tetapi meningkatkan palatabilitas. Perlakuan ini dapat dengan mudah dilakukan di pedesaan, hanya dianjurkan dilakukan untuk pengawetan bukan untuk meningkatkan gizi bahan pakan. Waktu inkubasi dapat mengikuti lamanya penyimpanan (30 – 60 hari), karena selama penyimpanan silase terjaga dalam keadaan anaerob, kualitas silase akan terjaga. Waktu fermentasi yang pendek yaitu 6 hari dilaporkan oleh Hamidah et al. (2011). Pemberian molases dan amonia pada perlakuan silase akan meningkatkan pertumbuhan mikrob selama fermentasi dan akhirnya juga meningkatkan nilai gizi produk silase. Penambahan tepung daun singkong, senyawa belerang (S) dan fosfor (P) dapat meningkatkan kadar protein dan sumber mineral yang berguna untuk mikrob pada fermentasi rumen (Nurhaita et al., 2010).

Perlakuan alkali dengan menggunakan NaOH dan amonia, meningkatkan kecernaan serat karena menggembungkan molekul serat sehingga mempermudah enzim selulase dan hemiselulase mencerna serat. Selain meningkatkan kecernaan serat, juga meningkatkan degradasi protein yang berikatan dengan dinding sel. Efektivitas perlakuan alkali terhadap produk samping pertanian berserat tinggi, dipengaruhi oleh tingkat pemberian senyawa alkali, suhu, lama perlakuan dan kadar air, serta tipe dan kualitas substrat/bahan yang diproses. Perlakuan NaOH harus dipertimbangkan terhadap palatabilitas dan penanganan limbah hasil pencucian penggunaan alkali. Perlakuan amonia (1 – 4%) lebih disukai, karena akan meningkatkan kandungan amino non protein dalam fermentasi rumen, serta meningkatkan kadar protein sel, hasil pertumbuhan mikrob indiginous pada pelepah terutama yang diinkubasi. Bau amoniak yang timbul pada pelepah amoniasi dapat dihindari dengan dibiarkan terbuka sebelum diberikan pada ternak. Perlakuan amoniasi pada pelepah kelapa sawit belum memberikan hasil yang signifikan (Ishida dan AbuHassan, 1997; Wan Zahari et al., 2003), tetapi Ishida dan Abu Hassan (1997) melaporkan penambahan 1 – 2% urea dapat

(35)

mencegah kerusakan yang dapat terjadi pada silase pelepah yang telah dikeluarkan dari silo. Selanjutnya dilaporkan pemberian urea pada pelepah yang telah diberi perlakuan uap panas menurunkan tingkat kecernaan bahan kering pelepah.

Dari uraian di atas terlihat bahwa upaya meningkatkan nilai nutrisi dan biologis pelepah belum memberikan hasil yang memuaskan. Pelepah yang berlimpah dan tersedia setiap saat untuk dapat dijadikan bahan baku pengganti pakan hijauan, memungkinkan kita untuk sementara waktu menggunakan produk tersebut dalam keadaan segar. Keterbatasan nilai gizi pada pelepah sawit menyebabkan perlakuan yang efektif didapatkan bila dicampurkan dengan bahan lain baik dalam bentuk segar/kering (Dahlan et al., 2000) atau dicampurkan bersamaan dan setelah silase (Nurhaita et al., 2010; Hamidah et al., 2011). Pemberian pelepah optimum dicapai pada proporsi pelepah daun sawit 50%.

3.3. Teknologi pengolahan tandan kosong (empty fruit bunches)dan serat perasan buah sawit (palm press fiber)

Tandan kosong merupakan tandan yang sudah diperotoli buahnya dan biasanya digunakan di kebun sawit sebagai mulsa, sedangkan serat perasan buah sawit merupakan hasil samping pemerasan buah untuk menghasilkan CPO (crude palm oil). Serat perasan buah umumnya digunakan sebagai bahan bakar di pabrik sawit. Kedua bahan ini merupakan bahan yang potensial untuk digunakan sebagai sumber serat untuk ternak ruminansia. Jumlah serat perasan buah sawit yang dihasilkan tandan kosong dan serat perasan buah berturut-turut dalam 1 hektar kebun per tahun mencapai 3.386 dan 2.681kg (Tabel 4). Total Digestible Nutrient (TDN) tandan kosong belum dilaporkan, karena sangat keras dan berbentuk gumpalan, sedangkan serat perasan buah yang seperti serabut dilaporkan mempunyai TDN 56%. TDN serat perasan menyerupai rumput gajah, namun mempunyai kadar protein

(36)

(6,2%) yang lebih rendah daripada rumput gajah (10,2%). Kandungan serat kasar tandan kosong mencapai sekitar 48%, oleh karena itu untuk meningkatkan nilai gizinya perlu dilakukan proses yang dapat meningkatkan kadar protein dan daya cerna serat (Suharto, 2003).

Perlakuan secara kimia dengan menggunakan 8% natrium hidroksida (NaOH), dilaporkan dapat meningkatkan kecernaan bahan kering serat perasan dari 43,2 menjadi 58,0% (Jalaludin et al., 1991b). Selanjutnya juga dilaporkan bahwa penggunaan natrium hidroksida hingga 12% (12 g NaOH/100g bahan) dan dengan perlakuan fisik (tekanan uap), ataupun kombinasi perlakuan NaOH dengan tekanan uap menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan dan batang kelapa sawit. Tidak diperoleh alasan yang cukup, mengapa perlakuan tersebut dapat menurunkan tingkat kecernaan bahan kering serat perasan.

Proses fermentasi tandan kosong dengan inokulum Trichoderma harzianum (2%) telah dilaporkan Akbar (2007) dan dicobakan sebagai pakan untuk domba jantan lokal Sumatera Barat. Tandan kosong digiling, dikukus, dicampurkan dengan dedak padi, urea dan larutan mineral, diinokulasi, dan diinkubasi selama 6 hari. Kadar protein tandan kosong hasil fermentasi meningkat menjadi 23,2%, sedangkan kadar serat kasar turun menjadi 23,2% dan nilai TDN menjadi 66,8%. Walaupun nilai gizi tandan kosong fermentasi ini terlihat baik, tetapi penggantian 100% hijauan rumput dilaporkan tidak disukai domba. Penggunaan produk fermentasi ini dapat menghasilkan nilai efisiensi yang lebih baik daripada kontrol rumput lapang bila ditambahkan 4% tepung lerak dan 10% tepung daun kaliandra (Akbar, 2007). Teknologi amofer (amonia fermentasi) pada tandan kosong, pelepah dan serat sudah dilakukan oleh Mayulu et al. (2012). Teknologi ini merupakan teknologi fermentasi anaerob atau yang dikenal sebagai silase, namun ditambahkan urea 3% dan inokulum komersial. Inokulum komersial yang ditambahkan mungkin berupa inokulum pemecah serat sebagai sumber untuk

(37)

pembentukan monomer gula (seperti glukosa, xilosa) yang bersama urea sebagai sumber amonia membentuk protein sel mikrob. Mayulu et al. (2012) melakukan fermentasi selama 18 hari, dan hasil fermentasi digabungkan dengan bahan konsentrat yang lain menjadi pelet pakan lengkap untuk domba. Evaluasi pada profil darah dan fungsi hati domba menunjukkan bahwa produk fermentasi limbah sawit tersebut dapat digunakan sebagai bahan pakan pengganti hijauan. Zain (2007) melakukan fermentasi serat perasan sawit yang diamoniasi dengan cairan urea (perbandingan serat : urea : air adalah 100 kg: 6 kg : 100 L) secara anaerob selama 21 hari. Perlakuan serat amoniasi ini tetap kurang disukai dibandingkan dengan kontrol (rumput). Namun, konsumsi pakan meningkat bila ditambahkan daun singkong sebanyak 15%, meskipun belum menyamai kontrol.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian tandan kosong dan serat perasan buah sebagai pengganti hijauan dapat dilakukan bila fermentasi ditambahkan amonia, atau senyawa mineral yang menyokong pertumbuhan mikroba indigenous (mikroba yang terdapat secara alami pada bahan) dan diinokulasi dengan mikroba pemecah serat. Mikroba indigenous pada serat tidak cukup untuk menguraikan serat selama fermentasi, sehingga perlu ditambahkan. Pemilihan jenis inokulum lebih baik disesuaikan dengan kondisi fermentasi pada inokulum yang bersifat aerob seperti Trichoderma harzianum dan T. reseei lebih baik dilakukan secara aerob seperti proses komposting, sedangkan pada inokulum anaerob seperti mikroba isi rumen dilakukan secara anaerob seperti proses silase. Penambahan amonia juga perlu memperhatikan pelepasan senyawa tersebut. Apabila proses amoniasi dilakukan secara tertutup, maka zat kimia tersebut dapat tetap dalam lingkungan, sedangkan bila dilakukan secara terbuka maka pH sebaiknya dipertahankan di sekitar atau lebih kecil dari 7, sehingga tidak terjadi pelepasan amonia ke udara.

(38)

3.4. Teknologi pengolahan lumpur sawit (palm oil sludge)

Lumpur sawit merupakan hasil ikutan proses ekstraksi minyak sawit yang mengandung bahan organik yang cukup tinggi. Tingginya kadar bahan organik pada produk samping menimbulkan masalah lingkungan, baik pada emisi metana dan CO2, maupun polusi pada daerah perairan pada lokasi limbah cair

dialirkan. Tingginya kadar bahan organik juga menyebabkan proses pengolahan limbah cair tidak dapat hanya menggunakan pengolahan secara anaerob maupun aerob. Upaya untuk mengatasinya telah dilakukan dengan memisahkan padatan lumpur sawit untuk selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan pakan, khususnya untuk ternak ruminansia (Webb et al., 1976). Pemisahan padatan dari cairan sisa pengolahan buah sawit dilakukan dengan alat dekanter dan menghasilkan lumpur sawit. Lumpur sawit dekanter (LSD) ini mengandung 75% kadar air, sehingga bila tidak digunakan dalam keadaan segar harus dikeringkan terlebih dahulu. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari atau dengan oven pada suhu 50°C. Penggunaan oven dengan blower akan mempercepat proses pengeringan, menurunkan suhu pengeringan (40qC) dan mempertahankan nilai gizi LSD.

LSD diketahui mengandung protein kasar 11,9 – 14,6%, serat kasar 29,8 – 35,9% dan lemak 10,4 – 14,7% (Tabel 3 dan 5). Kandungan protein lumpur sawit lebih tinggi dari jagung dan dapat dimanfaatkan untuk pakan. Namun, kadar serat kasar, NDF dan ADF yang relatif tinggi menurunkan nilai gizi lumpur sawit untuk pakan ternak non-ruminansia. Usaha untuk meningkatkan kandungan nilai gizi LSD telah pula dilakukan dengan pendekatan fermentasi secara aerob. Proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4% dan energi metabolis menjadi 2.340 kkal/kg (Yeong et al., 1983).

Teknologi fermentasi lumpur sawit dengan menggunakan Aspergillus niger, telah dikembangkan di Balai Penelitian Ternak

(39)

(Sinurat et al., 1998; Pasaribu et al., 1998; Purwadaria et al., 1999). Pada proses fermentasi ini dilakukan penambahan campuran mineral dalam lingkungan fermentasi aerob yang diikuti dengan proses anaerob untuk memanfaatkan kinerja enzim (proses enzimatis). Fermentasi aerob dilakukan untuk pembentukan sel kapang dan enzim hidrolisis yang berguna untuk meningkatkan kecernaan LSD, sedangkan proses anaerob dilakukan untuk menekan pertumbuhan kapang, tetapi mempertahankan aktivitas enzim hidrolisis (Sinurat et al., 2007). Proses ini menghasilkan produk fermentasi dengan nilai gizi: protein kasar meningkat dari 12,2 menjadi 24,5%, sementara kandungan energi termetabolis meningkat dari 1.593 kkal/kg menjadi 1.717 kkal/kg (Sinurat et al., 2005) dan daya cerna protein meningkat dari 11,0 menjadi 30,3% (Bintang et al., 2000).

Walaupun pertumbuhan kapang dalam proses fermentasi dapat meningkatkan kadar protein, karena mengubah molekul karbohidrat dan N-anorganik menjadi protein sel mikroba, fermentasi melebihi masa inkubasi optimum dapat menurunkan bobot kering dan meningkatkan kadar serat produk fermentasi. Hasil produk fermentasi juga menunjukkan aroma yang lebih baik daripada produk fermentasi kering, hal ini mungkin terkait dengan berkurangnya kadar minyak pada proses fermentasi yang berkorelasi dengan berkurangnya potensi pembentukan ketengikan. Hubungan proses fermentasi dengan kadar lemak dan nilai bilangan peroksida (potensi ketengikan) telah dipelajari selama proses fermentasi dan pada penyimpanan hasil fermentasi bungkil kelapa (Hamid et al., 1999).

Aktivitas enzim hidrolisis seperti mananase (pemecah hemiselulosa-manan) dan selulase (pemecah serat kasar-selulosa) yang terbentuk pada waktu fermentasi aerob, juga terdeteksi pada hasil produk fermentasi meskipun telah dikeringkan. Aktivitas ini sangat bermanfaat bila produk fermentasi digunakan sebagai pakan monogastrik, yang dapat berfungsi pada saluran pencernaan monogastrik (Purwadaria et al., 1998).

(40)

Aktivitas kedua enzim tidak terlalu bermanfaat pada ternak ruminansia, karena kedua aktivitas enzim ini terjadi secara alami didalam rumen, akibat aktivitas mikroorganisme rumen. Perlakuan fermentasi pada LSD juga telah dilaporkan menggunakan fungi pemecah lignin Phanerochaeta chrysosporium (Noferdiman, 2009). Meskipun proses fermentasi yang dilakukan tidak dijelaskan dengan rinci, dilaporkan proses fermentasi dapat menurunkan kadar serat.

Percobaan di dalam laboratorium yang dipublikasi umumnya dilakukan pada LSD yang dikeringkan, sehingga pada waktu proses fermentasi ditambahkan air dan umumnya persiapan substrat melalui proses pengukusan untuk proses gelatinasi dan pengurangan mikroorganisme kontaminan. Aplikasi fermentasi di lapangan tidak memerlukan proses pengukusan, karena LSD dapat langsung ditampung dari dekanter pada lingkungan suhu yang cukup tinggi (70 – 80°C) sehingga proses gelatinasi sudah terjadi dan pertumbuhan mikroorganisme kontaminan masih sangat minim. Pengaruh proses gelatinasi pada molekul karbohidrat solid akan berubah bila dikeringkan, pada serat selulosa dapat terbentuk proses rekristalisasi. Proses rekristalisasi selulosa yang molekulnya sulit diuraikan akan menurunkan daya cerna. Telah banyak dilaporkan bahwa proses pengeringan bahan alami akan menyebabkan rekristalisasi molekul.

Proses fermentasi di lokasi pabrik sawit (menggunakan LSD segar) perlu di modifikasi. Hal ini disebabkan kandungan air LSD cukup tinggi dan melebihi kadar air optimum (60%) yang dibutuhkan untuk proses fermentasi. Untuk menurunkan kadar air substrat fermentasi LSD dapat dilakukan dengan penambahan bungkil inti sawit (Gambar 8). Proses fermentasi dimulai pada skala laboratorium, kemudian peningkatan skala untuk aplikasi di lapangan dapat dilakukan pada ruang fermentor (Sinurat et al., 1998). Teknologi fermentasi tersebut masih membutuhkan penyempurnaan untuk dapat terus meningkatkan nilai gizi produk fermentasi.

(41)

Gambar 8. Campuran lumpur sawit dan bungkil inti sawit setelah difermentasi 42 jam dengan A. niger

Hasil pemisahan dekanter merupakan solid dan cairan yang masih mengandung bahan padatan, sehingga akan menimbulkan masalah bila langsung dibuang ke lingkungan sungai (nilai BOD dan COD berturut-turut 20.000 – 60.000 mg/L dan 40.000 – 120.000 mg/L). Limbah cair sawit ini dapat disaring melalui filter keramik dan akan menghasilkan fraksi solid heavy phase (lumpur sawit membran) (Wenten, 2004). Perlakuan membran filter untuk memisahkan fraksi lumpur sawit juga telah dilakukan di Malaysia. Padatan yang dikumpulkan dapat digunakan sebagai pakan ikan (Ahmed et al., 2008).

Evaluasi nilai gizi fraksi LS membran keramik setelah dikeringkan telah dilaporkan Sinurat et al. (2007). Fraksi kering yang dapat disebutkan sebagai solid heavy phase (SHP) mengandung kadar protein 9,05% setara dengan kadar protein jagung (8,9%). Perbandingan kadar asam amino SHP dan jagung menunjukkan variasi. Asam amino histidin dan treonin lebih tinggi pada SHP dibandingkan dengan di dalam jagung. Sedangkan asam amino arginin, leusin dan lisin lebih rendah pada SHP dan asam amino metionin jumlahnya seimbang pada kedua bahan tersebut. SHP dapat menggantikan 25% jagung didalam ransum

(42)

ayam petelur. Perlakuan fermentasi SHP dengan inokulum A. niger meningkatkan kadar protein dan kadar asam amino esensial, namun evaluasi pada ayam petelur tidak menunjukkan hasil yang positif. Namun, penambahan enzim mananase komersial, enzim kompleks komersial atau enzim kompleks Balitnak BS-4 dapat meningkatkan substitusi jagung dengan SHP sampai 50% (Sinurat et al., 2008; Pasaribu et al., 2009). Enzim kompleks Balitnak BS4 mengandung aktivitas selulase, mananase dan glikosidase (α-1 – 6 galaktosidase, β-1 – 4 manosidase, dan

β-1 – 4 glukosidase), dengan mananase sebagai aktivitas tertinggi. Oleh karena itu, enzim ini cocok untuk enzim pengurai bahan kaya manan seperti bungkil kelapa, bungkil inti sawit, SHP, dan solid decanter. Fraksi serat selulosa dapat diuraikan oleh enzim selulase yang terdapat didalamnya. Aktivitas hidrolisis enzim BS-4 menjadi gula reduksi (gula terlarut yang dapat diserap saluran pencernaan monogastrik) pada LSD maupun bungkil inti sawit telah dilaporkan oleh Purwadaria et al. (2003a).

Aplikasi SHP sebagai bahan subtitusi jagung merupakan hal yang menjanjikan, karena dapat mengurangi impor jagung yang harganya berpengaruh pada harga pakan. Proses membran keramik yang dikembangkan untuk menghasilkan SHP memanfaatkan tenaga reverse osmosis aliran limbah cair. Walaupun demikian, proses penyaringan dengan membran keramik harus disempurnakan untuk menghindari penyumbatan.

Dalam pembuatan pakan ruminansia, LSD umum dicampurkan dengan BIS (Batubara et al., 2005). Pemberian pakan pada kambing menunjukkan komposisi yang baik antara BIS dan solid adalah 70 : 30%. Selain untuk memanfaatkan kedua bahan hasil samping pabrik kelapa sawit dan minyak sawit, LSD juga dapat digunakan sebagai perekat pembentukan pelet. Kualitas perekat pelet terbaik yang ditunjukkan dengan tidak mudah pecahnya pelet didapatkan pada campuran BIS dan LSD: 2 : 1 lebih baik daripada BIS : LSD : Pati: 2 : 1 : 1 (Krisnan dan Ginting, 2009).

(43)

3.5. Teknologi pengolahan bungkil inti sawit (palm kernel cake)

Bungkil inti sawit (BIS) merupakan produk samping yang mengandung nilai gizi dan biologis yang tinggi (Tabel 3). Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak menimbulkan masalah, terutama bila digunakan sebagai komponen konsentrat ruminansia. Namun, BIS terkontaminasi pecahan cangkang (15 – 22%), yang teksturnya tajam dan keras, dapat mengganggu peralatan/mesin pembuat pelet di pabrik Pakan (feed mill) dan dikhawatirkan dapat melukai dinding saluran pencernaan ternak muda. Selain itu, cangkang tidak mengandung zat gizi (atau hampir seluruhnya serat kasar), sehingga bila tidak dipisahkan akan meningkatkan kadar serat kasar BIS. Ukuran pecahan cangkang bervariasi dan umumnya lebih besar daripada butiran BIS, oleh karena itu proses pemisahan dapat dilakukan dengan penyaringan. Kadar kontaminasi cangkang didalam BIS bervariasi dan pada penyaringan 1 – 2 mm menurunkan kadar cangkang lebih dari 50%. Penyaringan dengan saringan berdiameter 2mm lebih dianjurkan karena rendemennya cukup tinggi (Tabel 7).

Tabel 7. Hasil penyaringan BIS pada berbagai ukuran lubang

penyaringan terhadap kadar kontaminasi cangkang

Uraian Ukuran saringan

Tanpa disaring 4 mm 2 mm 1 mm Jumlah rendemen BIS (%) 100,0 88,0 76,6 70,0 Cemaran cangkang (%) 22,8 r 6,8 21,5 r 3,6 9,9 r 2,6 8,6 r 1,6 Sumber: Sinurat et al. (2009)

Walaupun nilai gizi BIS tidak terlalu rendah, beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi BIS. Proses fermentasi dengan penambahan N-anorganik dapat meningkatkan

(44)

kadar protein, sehingga produk fermentasi BIS dapat digunakan sebagai subtitusi sebagian sumber protein dalam ransum unggas, seperti bungkil kedelai dan tepung ikan. Supriyati et al. (1998) dan Bintang et al. (1999) melaporkan peningkatan nilai gizi BIS yang difermentasi dengan menggunakan A. niger yaitu, kandungan protein kasar dari 14,2% menjadi 35,6%, protein sejati dari 13,6% menjadi 24,4%, serat kasar dari 21,7% menjadi 19,8%, kecernaan bahan kering dari 40,7% menjadi 51,5% dan kecernaan protein dari 63,9% menjadi 68,8% serta energi metabolis dari 2087 kkal/kg menjadi 2413 kkal/kg (Tabel 8). Kandungan protein sejati merupakan kadar protein kasar produk fermentasi dikurangi protein terlarut (N-terlarut x 6,25) yang merupakan N-anorganik yang tidak ditransformasi menjadi protein. Kenaikan protein saat fermentasi berkaitan dengan kadar N-anorganik yang ditambahkan yang dapat digunakan oleh mikroba. Penambahan nitrogen (N) yang lebih tinggi akan menghasilkan kadar protein kasar yang lebih tinggi. Namun, bila kadar N terlarut di dalam produk fermentasi tinggi dan kadar protein sejati rendah, hal ini menunjukkan penambahan N di dalam substrat sebelum fermentasi terlalu tinggi sehingga menyebabkan transformasi N menjadi protein tidak optimal atau terdapat sisa mineral yang tinggi.

Perubahan nilai gizi hasil fermentasi bungkil inti sawit juga berkaitan dengan jenis mikroorganisme yang digunakan (Tabel 8). Fermentasi dengan menggunakan Trichoderma viride selama 14 hari dapat meningkatkan kandungan protein BIS 32%, menurunkan serat kasar 36,5% dan meningkatkan energi metabolis 9% dibandingkan dengan kadar sebelum difermentasi (Iyayi dan Aderolu, 2004). Demikian juga fermentasi BIS dengan kapang pelapuk putih atau Phanerochaete chrysosporium selama 4 hari dapat meningkatkan energi metabolis, daya cerna protein dan menurunkan kadar serat kasar (Sembiring, 2006). Penurunan kadar serat, kenaikan energi metabolis dan kenaikan daya cerna protein terjadi karena enzim hidrolisis yang dihasilkan mikroba

(45)

selama proses fermentasi menguraikan serat, protein dan melepaskan molekul protein di antara molekul serat. Pada produk fermentasi dengan P. chrysosporium juga terjadi penguraian lignin.

Umumnya evaluasi nilai gizi BIS fermentasi dilakukan terhadap unggas, namun Ramin et al. (2010) mempersiapkan produk fermentasi BIS untuk ternak ruminansia (kambing) dimana proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan A. niger, T. harzianum, dan R. oryzae (Tabel 8). Peningkatan protein terbaik dicapai pada masa inkubasi 10 hari dan diperoleh pada biakan A. niger dan R. oryzae. Namun, hasil evaluasi ME dan daya cerna bahan organik menunjukkan penurunan pada produk fermentasi (Tabel 8). Uji daya cerna in vitro dengan menggunakan cairan rumen yang banyak mengandung enzim selulolitik dan hemiselulolitik, menunjukkan bahwa BIS yang tidak difermentasi dapat dicerna dengan baik, sedangkan proses fermentasi mengakibatkan kapang menggunakan molekul terlarut. Walaupun demikian kenaikan kadar protein dan penurunan kadar serat tetap dapat memberikan nilai positif.

Beberapa peneliti lain telah melakukan modifikasi proses fermentasi untuk meningkatkan nilai gizi produk fermentasi BIS (Nurhayati, 2007; Sukaryana et al. 2010; Mirnawati et al., 2010). Nurhayati (2007) melaporkan bahwa penambahan onggok dengan perbandingan BIS: onggok 75 : 25 menghasilkan produk fermentasi A. niger yang paling baik. Kadar protein kasar meningkat dari 12,9% menjadi 28,4%, kadar serat kasar menurun dari 17,5% menjadi 15,1% dan kadar lemak kasar menurun dari 11,5% menjadi 2,3%. Pemberian onggok dalam proses fermentasi bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan karbohidrat yang diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan kapang pada proses fermentasi. Produk fermentasi ini dapat digunakan dalam ransum ayam pedaging sampai 30% untuk menggantikan 50% jagung.

Sukaryana et al. (2010) memfermentasi BIS dengan

menggunakan T. viride. Produk fermentasi terbaik dicapai pada penambahan dedak padi dengan perbandingan BIS dan dedak

(46)
(47)

80 : 20%, kadar inokulum 0,3% dan suspensi spora 6 x 1014. Fermentasi ini meningkatkan kadar protein kasar, menurunkan kadar serat kasar dan kadar lemak kasar. Produk fermentasi mempunyai kadar protein kasar 17,3%, lemak kasar 5,4%, serat kasar 23,7% dan kadar abu 6,4%. Fermentasi bungkil inti sawit dengan kapang A. niger juga dilakukan dengan penambahan kotoran ayam sebanyak 20% dan asam humat tanpa penambahan Nitrogen- anorganik (Mirnawati et al., 2010). Penambahan asam humat yang paling baik dicapai pada kadar 100 ppm selama 7 hari masa inkubasi dan produk fermentasi yang dihasilkan mengandung kadar protein kasar 23,2% dan serat kasar 10,6%.

Aplikasi enzim untuk peningkatan kecernaan BIS dan penurunan kekentalan atau viskositas isi saluran pencernaan telah dilakukan seperti pada lumpur sawit. Teknologi aplikasi enzim dilakukan hanya dengan pengadukan sebelum pembentukan pelet atau mencampurkannya didalam pakan yang berbentuk mash/tepung. Aplikasi enzim produk Balai Penelitian Ternak (enzim BS4) untuk ayam petelur telah dilaporkan oleh Sinurat et al. (2011). Enzim BS4 merupakan enzim komplek dengan aktivitas selulase, mananase dan glikosidase dihasilkan oleh kapang Eupenicillium javanicum yang dibiakkan pada substrat bungkil kelapa (Purwadaria et al., 2003b). Dari uji biologis yang dilakukan, enzim ini mempunyai efektivitas yang setara dengan enzim komersial impor yang banyak digunakan peternak atau pabrik pakan.

Beberapa penelitian tentang aplikasi enzim pada pakan yang mengandung BIS umumnya terdiri dari enzim pemecah serat seperti Avizyme@ (Iyayi dan Davies, 2005), Hemicell@ dan Allzyme SSF@ (Sundu et al., 2005), mananase komersial dan cairan rumen (Farda, 2012). Kecuali yang dilaporkan oleh Chong et al. (2008), yaitu menambahkan enzim galaktosidase dan protease. Enzim galaktosidase adalah enzim pelepas galaktosa yang ada pada molekul galaktomanan dan merupakan salah satu

(48)

molekul hemiselulosa yang terdapat didalam BIS. Enzim protease menguraikan protein pakan menjadi peptida sederhana atau asam amino, sehingga mudah diserap dinding saluran pencernaan terutama pada usus halus (intestin).

Efektivitas suatu enzim dalam meningkatkan kecernaan gizi BIS dapat diukur secara sederhana dengan menentukan aktivitas sakarifikasi yaitu pembentukan gula reduksi akibat penguraian karbohidrat oleh enzim yang dicampur dengan bungkil inti sawit (Purwadaria et al., 2003a; Farda, 2012). Hasil sakarifikasi pada enzim BS4 dapat lebih ditingkatkan bila enzim dicampurkan dengan enzim yang diproduksi dengan A. niger NRRL 337 (Purwadaria et al., 2003a).

Adanya serat lignoselulosa di dalam BIS merupakan salah satu kendala untuk penggunaannya dalam pakan unggas. Oleh karena itu, beberapa upaya telah dilakukan untuk mengekstrak protein BIS. Ekstrak dilakukan dengan asam atau basa. Setelah endapan BIS dipisahkan, protein pada filtrat diendapkan dengan basa, asam atau solven seperti etanol (Ramli et al., 2008). Variasi ekstraksi dapat dilakukan dengan tambahan metode fisik yaitu dengan penggerusan BIS pada saat ekstraksi dengan menggunakan pecahan kaca dan perlakuan autoklaf (Yatno et al., 2008). Metode yang menghasilkan protein terbanyak (50,4%) adalah metode dengan perendaman asam asetat 0,05N, dihancurkan dengan gelas, diautoclave, disaring dan diendapkan dengan NaOH 1N. Hasil analisis menunjukkan kadar protein kasar konsentrat protein-BIS menyamai protein bungkil kedelai, namun kadar asam amino esensial atau non-esensialnya lebih rendah daripada bungkil kedelai. Hal ini terjadi, karena kadar nitrogen non protein (NPN) lebih tinggi pada konsentrat protein-BIS daripada bungkil kedelai (Tabel 9). Metoda ini menunjukkan persentasi asam amino esensial konsentrat protein-BIS dan BIS terhadap kadar protein kasar hampir sama, atau terdapat kemungkinan perolehan kembali asam amino esensial terhadap kadar protein yang terekstraksi mendekati 100%.

(49)

Tabel 9. Kandungan protein dan asam amino konsentrat protein-BIS, bungkil inti sawit (BIS) dan bungkil kedelai*

Peubah

Konsentrat

protein - BIS BIS

Bungkil kedelai --- % ---

Protein kasar 45,6 16,8 46,6

Total asam amino 33,4 (73,3)** 12,6 (75,1) 40,4 (86,8) Asam amino esensial 16,8 (36,8) 6,0 (35,8) 21,2 (45,5) Asam amino

non-esensial 16,6 (36,5) 6,6 (39,3) 19,2 (41,2) Non protein nitrogen

(NPN)*** 12,2 (26,7) 4,2 (24,9) 6,2 (13,2)

* Disitir dari Yatno et al. (2008); ** Angka dalam kurung menyatakan % terhadap kadar protein; *** NPN merupakan selisih kadar protein dan kadar total asam amino

Penggunaan larutan asam atau alkali untuk ekstraksi protein dapat mengakibatkan masalah lingkungan sehingga timbul upaya melakukan ekstraksi protein-BIS dengan menggunakan garam NaCl dan alkalin. Perolehan protein tertinggi terjadi pada perlakuan ekstraksi dengan menggunakan NaCl 0,2M pada pH 9, dan perbandingan volume cairan terhadap padatan 60 : 40. Dengan perlakuan ini diperoleh konsentrat protein sebanyak 85,0%, sedangkan perlakuan ekstraksi dengan alkalin (NaOH 0,03N, pH 11,6; suhu 35°C, perbandingan cairan dengan padatan 30:70) hanya menghasilkan konsentrat protein sebanyak 74,8% (Arifin et al., 2009). Agar asam amino dari konsentrat dapat dicerna dan diabsorbsi dengan mudah, maka proses pembuatan konsentrat protein dapat digabungkan dengan penambahan protease (Ng dan Khan, 2012). Konsentrat protein-BIS diekstraksi dengan NaOH 0,1N; pH 11 dan diendapkan dengan HCl 3,0N; pH 4,3 – 4,5. Endapan dilarutkan kembali dan dihidrolisis dengan enzim protease. Dari beberapa protease yang diuji, terlihat bahwa

(50)

protease terbaik adalah Alkalase dengan tingkat protein yang terhidrolisis 81,35%.

Pembuatan konsentrat protein-BIS secara tidak langsung juga diikuti dengan isolasi molekul monosakarida (manosa) dan mano-oligosakarida (MOS) yang tergabung didalam konsentrat tersebut. Kedua molekul tersebut dikenal sebagai prebiotik yang dapat meningkatkan sistem kekebalan unggas, mengurangi populasi bakteri patogen, dan meningkatkan populasi bakteri yang tidak bersifat patogen didalam saluran pencernaan unggas (Sundu et al., 2006). Manosa dan MOS terdapat didalam BIS yang merupakan hasil hidrolisis molekul NSP (non starch polysaccharides) yang berupa manan, glukomanan, galaktomanan, atau glukogalaktomanan. Beberapa negara maju telah membatasi penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan, oleh karena itu, BIS dapat dipergunakan untuk menggantikan antibiotika. Senyawa ini telah banyak diperjualbelikan dan terbukti dapat meningkatkan imunitas ternak. Metabolisme peningkatan imunitas mungkin disebabkan MOS dapat meningkatkan populasi bakteri asam laktat yang memproduksi asam laktat dan menurunkan pH lingkungan pencernaan, sehingga menghambat pertumbuhan populasi bakteri patogen seperti Salmonella. Pembentukan MOS lebih ditingkatkan bila ransum dicampurkan dengan enzim pemecah polimer manan komplek. Dibalik peningkatan imunitas, enzim akan meningkatkan kecernaan, dan kadar air feces atau mempercepat laju pergerakan isi usus atau passing rate.

Isolasi senyawa kompleks manan dari BIS dan Penicillium sp telah dilakukan oleh Ramli et al. (2005). Perlakuan fisik, mekanik dan kimia dapat menghasilkan masing-masing 669,7 mg oligosakarida dari 100g BIS dan dan 300,7 mg oligosakarida dari miselia Penicillium sp. Analisis kadar gula menunjukkan isolat dari BIS dan Penicilllium sp. mengandung masing-masing glukosa, manosa dan galaktosa dengan perbandingan 8 : 20 : 1, dan 11 : 15 : 1. Kedua bahan tersebut banyak dibangun molekul

(51)

manan, glukomanan dan sedikit galaktomanan. Pemberian fraksi MOS hasil isolasi dari BIS dengan kadar 4000 ppm didalam ransum dapat menurunkan populasi Salmonella typhimurium di dalam saluran pencernaan ayam (Tafsin et al., 2007).

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa terdapat beberapa teknologi pengolahan BIS yang bertujuan untuk meningkatkan nilai gizinya agar dapat digunakan sebagai pakan (terutama untuk unggas). Teknologi pengolahan ini dapat dilakukan dengan sederhana yaitu aplikasi enzim dan proses fermentasi, atau dengan yang lebih rumit melalui ekstrak protein dan karbohidrat (manan oligosakarida/MOS).

(52)

4. PEMANFAATAN PRODUK SAMPING SAWIT UNTUK PAKAN TERNAK NON-RUMINANSIA

4.1. Bungkil inti sawit

Penggunaan BIS dalam ransum ternak non-ruminansia dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu pertama dengan metode penggunaan sebagai bahan pakan dalam formulasi, dengan mempertimbangkan nilai gizi dan batasan penggunaan bahan tersebut. Kedua, dengan metode substitusi suatu bahan pakan dengan BIS dalam proporsi yang sama tanpa mempertimbangkan nilai gizi dan batasan penggunaan bahan tersebut secara detail. Dari kedua metode tersebut, metode kedua (metode substitusi) tidak disarankan karena penggantian suatu bahan dengan bahan lain akan mengubah nilai dan keseimbangan gizi ransum secara keseluruhan, sedangkantidak ada dua bahan pakan yang persis sama nilai gizinya. Misalnya, substitusi jagung dengan bungkil inti sawit akan menyebabkan nilai energi ransum yang lebih rendah dan protein yang lebih tinggi, sedangkan substitusi bungkil kedelai dengan bungkil inti sawit akan menyebabkan ransum yang nilai protein dan asam aminonya lebih rendah. Laporan Ezieshi dan Olomu (2004) yang melakukan penggantian 50% jagung dalam ransum ayam broiler dengan BIS tanpa memperhatikan keseimbangan zat gizinya menyebabkan penurunan performan (peningkatan konsumsi pakan, pertumbuhan yang kurang optimal dan FCR yang lebih jelek) pada ayam broiler (lihat kolom nomor 2 pada Tabel 10).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan unggas maupun babi. Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber energi dan atau protein. Penggunaan BIS untuk pakan unggas terbatas karena tingginya kadar serat kasar yang sebagian besar terdiri dari hemiselulosa (manan dan galaktomanan) dan adanya sisa pecahan cangkang yang keras. Beberapa peneliti telah

(53)

Gambar

Tabel 1. Selama kurun waktu 5 tahun tersebut terjadi peningkatan  produksi pakan nasional dari 7.700.000 ton menjadi 11.200.000  ton atau meningkat 45,6%
Gambar 1. Tandan buah sawit segar (A) dan tandan kosong (B)
Gambar 2.  Bungkil inti sawit yang baru dihasilkan di  pabrik pengolahan inti sawit
Tabel 3. Komposisi zat gizi lumpur sawit dan bungkil inti sawit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran dilakukan dengan dua cara: (1). Penguburan dalam tanah sampah, dengan interval waktu pengamatan setiap 4 hari untuk melihat perubahan yang terjadi pada sampel film

Karena ketidakpastian yang berasal dari NST menghasilkan tingkat kepercayaan 100 % sedangkan deviasi standar hanya 68 % maka untuk mengubah ketidakpastian yang berasal dari

Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang-penambang Kobalt di Schneeberg ( lebih dari 50% meninggal akibat kanker paru ) berkaitan dengan adanya bahan

Penghitungan trombosit secara tidak langsung yang menggunakan sediaan apus dilakukan dalam 10 lpmi x 2000 atau 20 lpmi x 1000 memiliki sensitifitas dan spesifisitas

Pengaruh langsung good corporate governance komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit , karakteristik perusahaan ukuran perusahaan dan

Madrasah diniyah yang selama ini menjadi lembaga formal pesantren sangat membantu dalam memberikan pemahaman keagamaan dan pembentukan ahklak yang karimah dengan kurikulum yang

Sebagian besar lainnya (68,78 persen) belum pernah mengikuti pelatihan/kursus/magang. Secara keseluruhan, sifat kewirausahaan pengusaha industri kreatif UMKM di Kota