• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa berfungsi sebagai alat komunikasi dan bahasa pengantar kebudayaan Jawa seperti ketoprak, upacaraadat, ludruk, dan lain-lain. Bahasa Jawa dan kebudayaan Jawa yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, tidak akan lepas dari lingkungan alam sekitar. Hubungan manusia dengan alam sudah terjalin sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini, dari hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan Tuhan, maka secara alamiah bahasa yang dikeluar pada saat itu akan terpengaruh dengan lingkungan dan alam sekitar.

Perkembangannya bahasa Jawa akan dapat memberikan variasi makna dan catatan-catatan yang berbeda. Variasi yang dimaksud untuk menyebutkan makna kultural yang mempunyai ciri-ciri kekhasan, sedangkan catatan adalah dalam memberi nama istilah, dapat dibedakan menurut bentuk, misalnya

apem. Apem yaitu srabi legi dianggo slametan ‘serabi manis untuk selamatan’ (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Baoesastra Djawa, 1939: 17). Apem sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Apem berasal dari kata afwam atau afuan

yang berarti permintaan maaf. Manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Penyebutan makna akan berbeda berdasarkan pengalaman dan kepercayaan seseorang. Dalam sadranan

Apem merupakan salah satu istilah sesaji. Oleh karena itu, bahasa dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan bisa lepas dari

(2)

kebudayaan dan bahasa itu sendiri. Dengan memahami bahasa yang digunakan akan mengetahui budaya masyarakat itu, karena budaya memiliki hubungan yang sangat erat.

Kebudayaan masyarakat Jawa berkaitan erat dengan kajian Etnolinguistik. Etnolinguistik berasal dari kata (etnologi) yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu, dan linguistik yang berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa. Etnolinguistik merupakan bidang linguistik yang menganalisis tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan (Harimurti Kridalaksana, 2008: 59). Budaya dan tradisi khususnya pada masyarakat Jawa sangat kaya dan telah hidup selama bertahun-tahun. Salah satu wujud budaya adalah adat istiadat atau tradisi atau upacara, seperti upacara Sadranan. Upacara Sadranan

di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali dilaksanakan oleh masyarakat setempat pada bulan Syakban (Ruwah) setiap tahunnya. Upacara Sadranan selalu dilengkapi dengan sesaji yang lengkap agar terhindar dari malapetaka. Hal tersebut masih dipercayai dan masih dilakukan oleh masyarakat sekitar.

Upacara Sadranan atau nyadran di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen. Kecamatan Sawit, Kabupate Boyolali adalah rangkaian kegiatan tradisi keagamaan yang sudah menjadi tradisi umum yang dilakukan pada bulan Syakban (Ruwah) menjelang bulan Ramadhan (Puasa). Tradisi/upacara

Sadranan ini sebagian besar dilakukan masyarakat muslim. Masyarakat Jawa menjalankan tradisi penghormatan kepada arwah leluhur, kerabat, atau

(3)

sedulur. Tradisi/upacara Sadranan ini sebagian besar dilakukan masyarakat muslim.

Rangkaian upacara Sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan pembuka dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah bersih-bersih makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai desa atau tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara kegiatan berikutnya adalah kenduri, selamatan atau bancakan. Kenduri ini biasanya dilakukan secara bersamaan atau dilaksanakan di area makam yang dipimpin oleh seorang Kiyai atau orang yang disepuhkan di desa tersebut.

Dalam pelaksanaan upacara Sadranan ini memiliki sesaji yang telah disepakati untuk makna masing-masing sesaji. Sehingga sesaji dalam upacara

Sadranan di dukuh Klinggen adalah segala sesuatu yang disajikan berupa makanan, bunga, kemenyan, dan beberapa jenis yang diambil dari hasil alam desa setempat, yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberi kelancaran dalam pelaksanaan upacara Sadranan dan persembahan kepada

dhayang dukuhMbah Mondoroko” agar dukuh Klinggen dijaga supaya tetap

aman dan tentram (Mbah Marso, 1 April 2016).

Berdasarkan penelitian dengan kajian etnolinguistik yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Adi Wisnu Wibowo, 2013 tentang Istilah-istilah dalam Upacara Tradisi Ruwatan di Waduk Gajah

(4)

Mungkur Kabupaten Wonogiri (Kajian Etnolinguistik). Mengkaji tentang bentuk, makna leksikal, makna kultural, dan perkembangan istilah-istilah dalam Upacara Tradisi Ruwatan di Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Andina Dyah Sitaresmi, 2009 dalam skripsinya meneliti tentang Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hardiningrat (Suatu Tinjauan Etnolinguistik). Mengkaji tentang bentuk, makna leksikal, dan makna kultural istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

Penelitian yang dilakukan oleh Eko Juhartiningrum, 2010 dalam skripsinya meneliti tentang Istilah-istilah Jamu Tradisional Jawa di Kabupaten Sukoharjo (Suatu Kajian Etnolinguistik). Mengkaji tentang bentuk istilah Jamu Tradisional Jawa di Kabupaten Sukoharjo, mendeskripsikan tentang makna leksikal dan makna kultural.

Penelitian yang dilakukan oleh Nanda Fauza, 2010 dalam skripsinya meneliti tentang Istilah-istilah Sesaji Upacara Tradisional Jamasan Pusaka di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri (Suatu Kajian Etnolinguistik). Mengkaji tentang bentuk, makna leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural istilah yang terdapat dalam upacara tradisional jamasan pusaka di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Ina Dinawati, 2010 dalam skripsinya meneliti tentang Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Merti Desa di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (Kajian

(5)

Etnolinguistik). Mengkaji tentang rangkaian upacara tradisi MD, bentuk, dan makna istilah sesaji yang terdapat pada tradisi MD di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.

Berdasarkan penelitian yang sudah ada, penelitian mengenai Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan banyak ditemukan. Maka peneliti ini akan mengkaji tentang bentuk, makna dan perkembangan terkait Istilah-istilah

Sesaji dalam Upacara Sadranan di Dukuh Klinggen Desa Guwokajen Kecamatan Sawit Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik).

Alasan peneliti mengambil objek penelitian tentang Upacara Sadranan

yaitu (a) tradisi yang masih hidup di dalam kehidupan masyarakat pedesaan, (b) masyarakatnya masih menggunakan bahasa dan budaya Jawa, (c) sebagai satu bentuk upaya pelestarian budaya, (d) terdapat makna simbolis, hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, dan tentu saja dengan Tuhan, (e) terdapat makna kultural yang erat kaitannya dengan masyarakat Jawa, (f) istilah-istilah yang digunakan dalam sesaji penelitian ini memiliki kekhasan berdasar bentuk dan makna.

B.

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan untuk mempermudah penulis dalam menentukan data yang penulis perlukan, sehingga penelitian akan lebih terarah. Lingkup penelitian ini adalah bentuk, makna, dan perkembangan tradisi terkait istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan.

(6)

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan? 2. Apa sajakah makna istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan?

3. Bagaimanakah perkembangan tradisi terkait istilah-istilah sesaji pada zaman dahulu hingga zaman sekarang?

D. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga hasil penelitiannya dapat diketahui. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan. 2. Mendeskripsikan makna istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan. 3. Mendeskripsikan perkembangan tradisi terkait istilah-istilah sesaji pada

zaman dahulu hingga zaman sekarang.

E.

Manfaat Penelitian

Hasil kajian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis maupun praktis.

(7)

Manfaat teoretis merupakan manfaat yang berkenaan dengan pengembangan ilmu yaitu ilmu kebahasaan atau linguistik. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi teori linguistik, khususnya teori etnolinguistik Jawa.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Generasi muda, sebagai pengetahuan akan pentingnya upacara Sadranan . 2. Pendidik/Guru, sebagai tambahan materi pelajaran di sekolah tentang

kebudayaan dalam masyarakat Jawa.

3. Peneliti, sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

4. Pembaca, semoga dapat memberi cukup informasi mengenai bentuk dan makna Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan.

F.

Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara keseluruhan dari penelitian ini, maka perlu dipaparkan sistematika penulisannya. Sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Landasan Teori, meliputi istilah, sesaji, upacara sadranan, etnolinguistik, bahasa, bentuk kebahasaan, makna, dan perkembangan. Metode penelitian.

(8)

Bab II Analisis Data dan Pembahasan, meliputi bentuk, makna, dan perkembangan istilah sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.

Bab III Penutup, berisi simpulan dan saran.

G.

Landasan Teori

1. Istilah

Menurut Harimurti (2008: 97), istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Poerwadarminta (1939: 174) menjelaskan bahwa

istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti tertentu di lingkungan ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian. Jadi istilah adalah sebuah kata yang mempunyai arti dan maksud tertentu dalam suatu bidang tertentu. Istilah dalam penelitian ini terkait dengan upacara tradisi Sadranan yang ada dalam kehidupan masyarakat, yaitu istilah-istilah sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali. Contoh istilah dalam penelitian ini yaitu apem, sega tumpeng, ingkung, gedhang raja setangkep, kembang, wajib, dan lain-lain.

2. Sesaji

Menurut KBBI (2005: 979), sesaji yaitu makanan atau bunga-bungaan yang disajikan kepada makhluk halus dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, sesaji dapat berupa pemberian atau persembahan. Selain itu, sesaji

(9)

dapat berupa menyiapkan sajian pada waktu dan tempat yang sudah dalam perhitungan hari baik. Sesaji mempunyai maksud untuk menguatkan hubungan antara diri pelaku dengan kekuatan gaib dirinya saat sudah atau mau mengadakan hajatan. Sesajen atau biasa disebut “sesaji” adalah sajian kepada

makhluk halus (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 403)). Sesaji (sajen) adalah makanan, bunga-bungaan dan sebagainya, yang disajikan kepada makhluk halus atau makanan untuk roh halus (yang dipuja atau dihormati) (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 368 dan 370)).

Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu manusia. Wujud sesaji bermacam-macam tergantung kebutuhan yang diperlukan. Pada jaman modern ini sesaji masih digunakan oleh masyarakat modern karena kepercayaannya pada arwah nenek moyang. Sesaji merupakan sebuah keharusan yang pasti ada dalam setiap acara bagi orang yang masih teguh memegang adat Jawa. Penyebutan sesaji biasanya bermacam-macam, ada yang disebut dengan Dang Ayu dan ada yang disebut dengan Cok Bakal. Namun pada dasarnya inti dan tujuannya sama.

Sesaji yang digunakan oleh masyarakat Jawa selalu memiliki makna di dalamnya. Makna sesaji oleh masyarakat satu tempat dan tempat lain berbeda-beda, tergantung kesepakatan yang sudah ada secara turun temurun atau yang disebut dengan makna kultural. Jadi sesaji adalah persembahan atau sesembahan makanan, minuman, dan bunga-bungan yang ditujukan untuk

(10)

arwah nenek moyang dan sesembahan yang digunakan oleh masyarakat muslim pada umumnya.

3. Upacara Sadranan

Upacara adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Upacara dapat dilakukan untuk memperingati sebuah kejadian atau penyambutan. Sadranan berasal dari bahasa arab “Shod’ron” yang artinya mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini nampak jelas adanya pengaruh Islam sangatlah kuat, dilhat dari istilah maupun maksudnya. Di dalam ajaran Islam salah satu cara pendekatan diri kepada Allah adalah berbakti kepada kedua orang tua yang disebut “Birul Walidain”. Allah akan memberikan

sayang sebanding rasa sayangnya kepada orang tua, demikianlah salah satu ajaran Islam yang berkembang didalam kehidupan sosial mayarakat Jawa.

Berangkat dari ajaran tersebut kemudian berkembang secara luas menjadi tradisi Jawa dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa termasuk yang beragama Islam, sampai sekarang dengan istilah Sadranan. Upacara

Sadranan merupakan salah satu bagian kebudayaan Indonesia yang eksistensinya telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Secara struktural, upacara Sadranan dibangun oleh konfigurasi budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai solidaritas, filsafat, estetika, dan religius. Upacara Sadranan diyakini sebagai tradisi yang mempunyai makna religi bagi masyarakat setempat, dan tradisi tersebut diadakan setiap satu tahun sekali yang bersifat turun temurun sebagai wujud ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

(11)

melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat selama setahun dan berharap pula berkah dan pertolongan untuk tahun depan.

Upacara/tradisi Sadranan dilihat dari fungsi norma sosial dan pengendalian sosial seperti halnya dengan upacara-upacara tradisional lainnya, biasanya di dalam terdapat sesaji dan perlengkapan lainnya yang merupakan simbol atau lambang-lambang yang bermakna positif. Simbol atau lambang ini mengandung norma atau aturan-aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi apa yang baik dan tidak baik, sehingga dapat dipakai sebagai pengendali sosial dan pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukungnya.

Selain dapat berfungsi sebagai pengatur perilaku antar individu dan masyarakat, berfungsi pula sebagai penata hubungan manusia dengan alam lingkungan, terutama pada Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud dengan media sosial yaitu bahwa tradisi pada umumnya dipakai sebagai objek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang. Kemudian tradisi berfungsi sebagai media sosial juga dapat dipakai sebagai alat atau sarana mengutarakan pikiran, emosional, kepentingan, dan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak (masyarakat). Disamping itu dapat pula dipakai sebagai alat bagi pendukung tradisi melakukan hubungan sosial atau kontak sosial diantara masyarakat, ternyata hal ini sesuai pula pada upacara

Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.

Dalam upacara Sadranan disamping sebagai objek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang, hal ini nampak pada saat mereka membakar kemenyan dalam pelaksanaan upacara/tradisi tersebut.

(12)

Kemudian dapat pula dipakai untuk mengutarakan pikiran, pesan, kebutuhan, dan kepentingan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Selain itu dalam upacara ini juga dapat dipakai untuk hubungan sosial /kontak sosial diantara sesama warga ataupun masyarakat lain yang mendukung upacara tersebut, misalnya dalam persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan upacara

Sadranan dan lain sebagainya.

Sedang yang dimaksudkan dengan pengelompokan sosial yaitu bahwa kegiatan upacara/tradisi ini dapat dipakai sebagai sarana yang efektif bagi pendukungnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial. Di dalam upacara Sadranan

ini berfungsi pula sebagai pengelompokan sosial artinya bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam upacara/tradisi Sadranan tersebut dapat mengikat seseorang ke dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Keterikatan masyarakat terhadap upacara Sadranan ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang menghadiri pelaksanaan upacara dari awal hingga akhir yaitu saat persiapan, pelaksanaan, setelah pelaksanaan dan lain sebagainya.

Selain hal tersebut, upacara Sadranan ini juga berfungsi untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan warga masyarakat yang bersifat sosial. Berfungsi untuk kepentingan pribadi artinya bahwa ada sebagian masyarakat dukuh Klinggen yang sudah mengawali pelaksanaan upacara. Hal ini dilakukan karena permohonan berkat dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa pada tahun yang akan datang, berhasil dalam pekerjaan dan lain sebagainya telah mereka raih. Sedangkan fungsi untuk kepentingan masyarakat, memang pada dasarnya upacara ini diperlukan oleh warga

(13)

masyarakat yaitu untuk kepentingan seluruh warga masyarakat. Mereka bersama-sama secara gotong-royong melaksanakan tradisi tersebut untuk kepentingan bersama, untuk keberhasilan, dan kemakmuran seluruh warga masyarakat.

Ritual tradisi/upacara yang masih sangat tradisional biasanya terdapat bentuk-bentuk tradisi yang di dalamnya mengandung petunjuk-petunjuk yang penyampaiannya melalui lambang-lambang atau simbol-simbol dengan makna tersendiri. Simbol atau lambang yang dinyatakan dalam tradisi mengandung makna yang terselubung seperti perilaku seseorang, yang diungkapkan melalui isyarat-isyarat tertentu dan belum banyak diketahui selain masyarakat pendukungnya. Untuk itu dalam kajian ini akan dilakukan penjelasan dari makna simbolik yang ada dalam upacara Sadranan. Artinya dengan lambang-lambang yang diberi arti secara sistematis, manusia saling menyampaikan perasaan dan bisa mengerti maksud yang sebenarnya serta menjadi pengalaman.

Lambang-lambang dan makna simbolik dalam tradisi yang masih sangat tradisional, biasanya terdapat dalam sesaji-sesaji yang ada dalam penyelenggaraan tradisi yang masih sangat tradisional. Demikian pula dalam pelaksanaan upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali.

Nyadran (berasal dari kata Sraddha) di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali biasanya dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 20 Syakban (Ruwah) setiap tahunnya. Sebagaimana adat kebiasaan yang telah berlangsung, acara diadakan di dalam

(14)

area makam. Upacara Sadranan ini dilakukan setiap satu tahun sekali secara turun temurun, karena masyarakat dukuh Klinggen menganggap bahwa upacara Sadranan merupakan naluri dari nenek moyang mereka yang harus tetap dilestarikan. Naluri sendiri bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah memiliki keyakinan bahwa jika tidak dilaksanakan atau dilaksanakan namun tidak sesuai pelaksanaannya, maka akan dapat ada musibah dalam dukuh, baik masyarakatnya ataupun keadaan alamnya.

Sadranan atau nyadran adalah rangkaian kegiatan tradisi keagamaan yang sudah menjadi tradisi umum yang dilakukan pada bulan Syakban (Ruwah) menjelang bulan Ramadhan (Puasa). Tradisi/upacara Sadranan ini sebagian besar dilakukan masyarakat muslim. Masyarakat Jawa menjalankan tradisi itu sebagai penghormatan kepada arwah leluhur, kerabat, atau sedulur. Dengan berbagai sesaji yang dipersembahkan kepada arwah tersebut, mereka berharap mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan hidup. Semua makanan tersebut diletakkan di kuburan-kuburan, punden, batu besar, sungai, pohon besar atau ditempat yang dianggap keramat lainnya.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa upacara Sadranan

merupakan suatu tradisi yang selalu dilaksanakan oleh masyarakat dukuh Klinggen setiap satu tahun sekali. Hal ini menandakan bahwa upacara/tradisi ini masih berfungsi bagi masyarakat pendukungnya. Disamping itu juga terdapat makna-makna simbolik yang sangat berarti bagi mereka, terutama di dalam sesaji-sesaji tradisi. Di dalam macam-macam sesaji itu terdapat pesan-pesan yang terselubung dan perlu pemahaman tersendiri sehingga orang bisa mengetahui makna apa saja yang terkandung dalam sesaji tersebut.

(15)

Rangkaian upacara Sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan pembuka dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah bersih-bersih makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai desa atau tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara kegiatan berikutnya adalah kenduri, selamatan atau bancakan. Kenduri ini biasanya dilakukan secara bersamaan atau dilaksanakan di area makam yang dipimpin oleh seorang Kiyai atau orang yang disepuhkan di desa tersebut.

Dalam pelaksanaan upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali, memiliki sesaji dan doa yang telah disepakati. Sehingga sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh Klinggen adalah segala sesuatu yang disajikan berupa makanan, bunga, kemenyan, dan beberapa jenis yang diambil dari hasil alam desa setempat, serta doa yang berupa surat al fatikhah, surat al ikhlas, surat an nas, surat al falag, ayat kursi, istighfar, dan dzikiran yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberi kelancaran dalam pelaksanaan upacara Sadranan dan persembahan kepada dhayang dukuhMbah Mondoroko” agar dukuh Klinggen

dijaga supaya tetap aman dan tentram.

4. Etnolinguistik

Etnolinguistik berasal dari kata ‘etnologi’ dan ‘linguistik’, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh

(16)

para ahli etnologi (kini antopologi budaya) dengan pendekatan linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 3-4). Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Selain itu, merupakan cabang linguistik antropologi bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relativitas bahasa (Harimurti, 2008: 59).

Etnolinguistik berkaitan dengan konsep teoritis tentang anthopological linguistics yang bervariasi dengan linguistics anthropological. Kemudian istilah linguistik antropologi sebagai terjemahan dari anthropological linguistics. Etnolinguistik sebagai jenis linguistik yang kajiannya memfokuskan pada temuan-temuan yang akan disumbangkan dalam sistem kebudayaan seperi tata bahasa, kosakata dan pemahaman makna kontekstualnya.

Etnolinguistik (anthropologicallinguistics) yaitu cabang linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial. Etnolinguistik yang disebut dengan studi linguistik antropologis menurut Kridalaksana (2008: 59) yaitu cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks budaya, merupakan disiplin interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta kebahasaan.

Data yang dipakai dalam linguistik antropologis berupa kosa-kata, frasa, struktur, kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya. Melalui

(17)

data yang berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor, dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat. Adapun perbedaan redaksional tentang deskripsi pengertian istilah etnolinguistik itu, khususnya pemakaian kata ‘jenis” dan kata “cabang”, sehingga mengakibatkan penafsiran yang berbeda terhadap pengertiannya, maka dalam definisi ini menggunakan kata jenis untuk menjelaskan etnolinguistik tersebut.

Bagian linguistik itu referensinya pada fonologi, morfologi, sintaksis, morfofonologi, morfosintaksis dengan segala lingkup permasalahannya. Secara metodologis etnosains dipandang cukup memadai untuk mengungkapkan aspek pengetahuan manusia yang membimbing perilakunya sehari-hari. Oleh karena penekanan etnosains pada sistem atau perangkat pengetahuan yang merupakan pengetahuan khas dari suatu masyarakat yang menunjukkan kelompok tersebut bertahan hidup dalam suatu relung ekologis tertentu. Secara definitif etnosains memiliki pengertian pengetahuan yang dimiliki suatu bangsa lebih tepat lagi suku bangsa atau kelompok sosial tertentu.

Berkaitan dengan etnosains tersebut pengetahuan tentang bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan

(18)

suatu masyarakat. Melalui bahasa berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap oleh peneliti. Data primer yang diperoleh dari masyarakat yang berkaitan dengan berbagai ekspresi linguistik dan kategorisasi aspek budaya dalam masyarakat pendukungnya secara teknis dikumpulkan dengan metode etnosains yang dimanfaatkan dalam rangka kajian etnolinguistik.

Kajian etnolingusitik secara makrolinguistik berusaha mempelajari bahasa dalam konteks budaya, dan secara interpretatif mencoba mencari makna yang tersembunyi di balik pemakaian bahasa, dan mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya secara empiris bermula dari fakta kebahasaan yang ada. Oleh karena itu secara mikrolinguistik data yang dipakai berupa kosa-kata, frasa, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, dan sejenisnya (Kridalaksana, 2008: 59)

Melalui data yang berupa fakta kebahasaan tersebut akan diperoleh dan dapat ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Selaras dengan etnolinguistik sebagai jenis linguistik objek kajiannya lebih bersifat interpretatif yang mempertimbangkan aspek makrolinguistik dan mikrolinguistik tersebut.

Pemahaman tentang konsep budaya tersebut dapat diketahui dari hubungan kovariatif antarastruktur bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat yang dikaji di dalam model kajian dan pemahaman dari perspektif etnolinguistik. Pemahaman dari konsep kajian tersebut berangkat dari pernyataan bahwa pada awalnya kajian linguistik budaya merupakan alternatif bagi kajian etnolinguistik atau linguistik antropologi.

(19)

5. Bahasa

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan bahasa dalam segala aktifitasnya. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbriter, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Harimurti, 2008:24). Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat, pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktifitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan sesuai dengan kemajuan jaman (Nababan, 1984:34). Dengan mempelajari bahasa akan diketahui budaya pemakainya. Kajian tersebut masuk bidang etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan perpaduan antara etnologi dan linguistik, sehingga dengan etnolinguistik dapat mengkaji bahasa untuk mengetahui budaya masyarakat atau mempelajari budaya masyarakat melalui bahasa yang digunakannya.

6. Bentuk Kebahasaan

Bentuk (form) yaitu penampakan atau rupa satuan bahasa dan satuan gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis (Harimurti, 2008: 32). Bentuk adalah bangun, rupa, dan wujud (Agus Sulistyo dan Adhi Mulyono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (edisi terbaru): 73)).

Bentuk merupakan sebuah istilah inklusif yang memiliki beberapa pengertian. Dalam seni dan perancangan, istilah bentuk seringkali

(20)

dipergunakan untuk menggambarkan struktur formal sebuah pekerjaan yaitu cara dalam menyusun dan mengkoordinasi unsur-unsur dan bagian-bagian dari suatu komposisi untuk menghasilkan suatu gambaran nyata. Bentuk dapat dihubungkan baik dengan struktur internal maupun garis eksternal serta prinsip yang memberikan kesatuan secara menyeluruh.

Struktur dari bentuk kebahasaan yaitu: a. Monomorfemis

Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari suatu morfem. Morfem merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna ang lebih kecil misalnya (ter-), (di-), (pensil) (Harimurti Kridalaksana, 2008: 157). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna, dan berkategori jelas. Kata bemorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

Pada dasarnya semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam bentuk dan makna kultural dalam perangkat sesaji dalam upacara sadranan dapat dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan, dengan kata lain subjeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dimajemukan.

(21)

Contoh monomorfemis yaitu:

1. Apem [apêm] ‘kue yang dibuat dari tepung beras biasanya untuk kenduren atau acara adat Jawa’ apem merupakan bentuk monomorfemis, berkategori Nomina (N).

2. Kinang [kinaŋ] ‘sekapur sirih’, kinang merupakan bentuk monomorfemis, berkategori Nomina (N).

b. Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi: 1) Pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks) penambahan afiks dapat dilkukan di depan, di tengah, di belakang, atau di depan dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan di belakang disebut sirkumfiks atau konfiks; 2) Pengulangan atau reduplikasi, redupilkasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 2008: 208). Pemajemukan yaitu proses morfologi yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem dasar atau proses pembentukan kata baru dengan jalan menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti

(22)

keseluruhan bukan menurut arti yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.

Contoh polimorfemis yaitu:

1. Pengimbuhan atau penambahan afiksasi a. Gorengan [gOrǝŋan]

Goreng -an

Goreng ‘memasak diwajan dengan minyak’

Gorengan ‘macam-macam makanan yang pengolahannya dimasak diwajan dengan minyak yang terdiri dari tempe, tahu, rempeyek, kerupuk’

Gorengan V+sufiks –an = Nomina 2. Pengulangan atau reduplikasi

3. Pemajemukan

a. Sambel Goreng [sambêl gOrǝŋ]

Sambel goreng

‘sambal’ ‘memasak menggunakan minyak’ sambel goreng ‘jenis sayur pedas dan bersantan yang di dalamnya terdapat telur puyuh, kerecek’.

(23)

c. Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57). Frasa seperti dengan kata, frasa dapat berdiri sendiri. Frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frasa endosentrik, dan frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya disebut frasa eksosentrik (Ramlan, 2001: 141).

Contoh frasa yaitu:

1. Endhog Jawa [EndOg jOwO] ‘telur ayam kampung’

Endhog Jawa

‘telur’ (N) jawa ‘nama pulau’ (N) endhog jawa ‘telur ayam kampung’

Endhog jawa N + N = Frasa Nomina

2. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ] ‘nasi untuk sesaji yang berbentuk kerucut’

Sega tumpeng

‘nasi’ (N) ‘berbentuk kerucut’ (N) sega tumpeng ‘nasi untuk sesaji berbentuk kerucut’

(24)

7. Makna

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi: 1. Maksud pembicara

2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia

3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya

4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2008: 148)

Dalam semantik pengertian sense ‘makna’ dibedakan dalam meaning ‘arti’. Sense ‘makna’ dalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Unsur-unsur bahasa itu sendiri terdiri dari makna leksikal dan makna kultural.

Makna leksikal adalah makna sebuah kata yang sebenarnya atau makna yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannnya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999: 3). Menurut Fatimah Djajasudarma (1999: 13) Makna Gramatikal (Kultural) adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa atau makna yang muncul sebagai akibat fungsinya, sebuah kata didalam kalimat. Secara umum makna gramatikal berkenaan dengan makna yang terjadi pada proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi atau proses penggabungan dasar dengan dasar. Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki

(25)

oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999: 13).

Makna memiliki tiga tingkat keberadaan yakni: a. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan. b. Makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.

c. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.

Makna dibedakan menjadi 2 macam yaitu : a. Makna Leksikal

Makna Leksikal adalah makna sebuah kata yang sebenarnya atau makna yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut.

Contoh makna leksikal yaitu:

1. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan] ‘nasi lengkap lauk pauk untuk kenduri yang di dalamnya terdapat apem, gorengan, sambel goreng, semuran, dan lain-lain.’.

2. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ] ‘nasi yang dibentuk kerucut untuk selamatan’.

b. Makna Kultural

Makna Kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya masyarakat itu sendiri (Wakit Abdullah, 1999: 3). Makna Kultural juga merupakan suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek kultural turut menentukan

(26)

perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Contoh makna kultural yaitu: 1. Sega Ambengan [sêgO ambǝŋan]

Makna kultural sega ambengan bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah sebagai lambang kebersamaan dan kerukunan antar warga. Dapat dilihat dari nasi yang ditata menjadi satu rapat dan padat.

2. Sega Tumpeng [sêgO tUmpeŋ]

Makna kultural sega tumpeng bagi masyarakat dukuh Klinggen merupakan olahan yang berasal dari beras yang sudah tanak, dimasak sehingga matang, untuk keperluan sesaji biasanya dikerucutkan. Memiliki makna sebagai simbol keberuntungan dan penyajian nasi tumpeng mengandung permohonan agar mendapat selamat dan mendapat rejeki. Makna nasi putih juga melambangkan kesucian karena nasi yang berwarna putih. Dengan kesucian hati dalam memohon pada Tuhan akan semakin cepat terkabul permohonannya.

Selain itu, sega tumpeng merupakan sajian nasi kerucut khas Indonesia dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi sajian yang mungkin sering kita lihat baik dalam upacara selamatan atau pesta rakyat 17 agustusan. Dalam setiap sajian yang ada dalam nasi tumpeng memiliki makna mulai dari kerucut tumpeng yang berada paling

(27)

atas, badan tumpeng, lauk pauk, sayur-sayuran hingga wadah tumpeng yang selalu terbuat dari wadah tradisional beralaskan daun pisang.

Kerucut tumpeng berbentuk gunungan yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”. Arti Lauk pauk yang terdapat di nasi tumpeng adalah ayam jago (jantan) yang dimasak utuh (ingkung) dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa).

Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh warna merah) ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.

8. Perkembangan

Perkembangan yaitu sebuah proses mutlak yang akan dialami oleh makhluk hidup. Namun tidak hanya makhluk hidup, banyak juga hal lain yang dapat berkembang atau berubah seiring perubahan waktu. Dalam

sadranan pasti juga ada sebuah perkembangan, dari macam-macam sesajinya atau alat yang digunakan untuk sesaji. Misalnya Takir yang terbuat dari daun pisang bisa diganti dengan kertas minyak.

(28)

H.

Metode Penelitian

Metode adalah keseluruhan jalan yang ditempuh sejak ia merumuskan kerangka pikirannya menenai bahasa atau mengenai segi tertentu dai bahasa (Edi Subroto, 2007: 5).

Metode penelitian adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, dan analisis data (Edi Subroto, 2007: 31).

Metode penelitian ini akan membicarakan mengenai 1) Sifat penelitian, 2) Lokasi penelitian, 3) Data dan sumber data, 4) Alat penelitian, 5) Metode pengumpulan data, 6) Metode analisis data, 7) Metode penyajian hasil analisis data.

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan catatan berupa pemerian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993: 62)

Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti

(29)

(Fatimah Djajasudarma, 1993: 8). Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahan (Fatimah Djajasudarama, 1993: 10). Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang data-datanya berupa kata-kata bukan angka. Jenis penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian lapangan, datanya konkrit berupa kata-kata.

Dalam penelitian ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata, analisis, dan hasil laporan analisis menggunakan kata-kata pula. Pemakaian jenis penelitian ini, peneliti dapat menyajikan data yang mudah dipahami oleh pembaca dalam situasi aslinya, yaitu situasi ketika upacara Sadranan

berlangsung di dukuh Klinggen.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Lokasi penelitian ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil lokasi ini sebagai objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa yang masih melestarikan kebudayaan Jawa. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses penelitian. Desa ini memiliki latar belakang yang masih menjunjung tinggi rasa syukur kepada Tuhan, dan masih menghormati nenek moyang mereka, sehingga masih sering mengadakan upacara/tradisi yang rutin mereka laksanankan. Upacara

(30)

Sadranan adalah salah satu upacara/tradisi yang rutin dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Itulah salah satu alasan mengapa dukuh Klinggen dijadikan lokasi penelitian. Adanya keunikan yang menjadi ciri khas upacara/tradisi

Sadranan juga menjadi alasan lain mengapa objek penelitian yang dipilih adalah dukuh Klinggen.

3. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993: 3). Data utama dalam penelitian ini berupa data lisan yang berupa kata, frasa dalam istilah-istilah

sesaji dalam upacara Sadranan di dukuh Klinggen, desa Guwokajen, kecamatan Sawit, kabupaten Boyolali. Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan yang terpilih dengan kriteria yang ditentukan yaitu 1) Mengetahui tentang seluk beluk Upacara Sadranan, 2) Mengetahui tentang bahasa Jawa dan budaya Sadranan, 3) Sehat jasmani dan rohani, 4) Memiliki alat ucap dan ujaran yang baik, 5) Bersedia memberikan informasi tentang Upacara Sadranan dengan jujur, 6) Alat pendengar masih normal.

Infoman yang dimaksud adalah: 1) Bapak Rajiman, sebagai Sesepuh desa di Dukuh Klinggen; 2) Ibu Suprapti, Ibu Mujinem, Mbah Marso, Mbah Reso Dinomo, dan Mbah Waginah sebagai warga Dukuh Klinggen yang ikut serta dalam Upacara Sadranan.

4. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama karena merupakan alat paling dominan dalam penelitian yaitu peneliti sendiri.

(31)

Peneliti dibantu dengan alat rekam dan HP untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data yang akan dirangkum dalam sebuah tulisan, disertai pula alat tulis yang berupa buku dan bolpoin. Sedangkan alat bantu yaitu alat yang berguna untuk memperlancar penelitian seperti alat tulis, buku catatan, kamera, komputer, dan alat-alat yang lain yang menunjang dalam menyelesaikan penelitian ini.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis gejala yang ada (Harimurti, 2008: 106). Sehubungan dengan jenis instrumen dan jenis data yang dikumpulkan, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode simak adalah metode pengumpulan data dengan jalan menyimak penggunaan bahasa yang berlangsung dalam masyarakat (Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai teknik dasarnya adalah teknik sadap. Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran penyadap pemakaian bahasa di masyarakat sekitar. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar.

Teknik lanjutan yang digunakan yaitu teknik simak libat cakap, teknik pustaka, dan teknik catat.

a. Teknik simak libat cakap, dapat dilakukan pertama-tama dengan berpartsipasi sambil menyimak dalam pembicaraan atau dialog. Di samping itu, peneliti memperhatikan penggunaan bahasa lawan bicaranya dengan aktif.

(32)

Teknik simak libat cakap ini menggunakan diri peneliti sendiri sebagai alatnya (Sudaryanto, 1988: 3). Sebagai seorang peneliti memiliki peran utama dalam sebuah penelitian, karena harus mengarahkan pembicaraan dengan informan supaya pembicaraan tidak meluas kemana-mana dan juga supaya dalam berinteraksi terjalin keakraban guna mendapatkan yang diperlukan.

b. Teknik pustaka, Teknik pustaka yaitu menggunakan data dari sumber tertulis seperti : majalah, buku, artikel, dan buku paket berbahasa Jawa dan sebagainya untuk mendapatkan data.

c. Teknik catat, teknik catat dilaksanakan dengan mencatat hal-hal yang penting dalam penggunaan bahasa, pencatatan dapat dilakukan pada waktu pengamatan atau segera setelah pengamatan berlangsung. Hal ini perlu dilakukan agar hal-hal yang penting sehubungan dengan peristiwa tutur yang sedang diamati itu tidak terlupakan atau terlewatkan. Hasil catatan dicatat dalam bentuk kartu data.

6. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan peneliti untuk menganalisis data yaitu dengan metode distribusional dan metode padan. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk. Metode padan digunakan untuk menganalisis makna dalam Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan di Dukuh Klinggen Desa Guwokajen Kecamatan Sawit Kabupaten Boyolali.

(33)

Metode Distribusional adalah metode yang alat penentunya dari unsur bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk sattuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik ini digunakan untuk menganalisis bentuk Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara

Sadranan apakah berbentuk monomorfemis, polimorfemis atau frasa. Adapun penerapan metode distribusional adalah sebagai berikut:

1. Apem [apêm] merupakan bentuk monomorfemis, berkategori Nomina (N).

2. Kinang [kinaŋ] merupakan bentuk monomorfemis, berkategori Nomina (N).

b. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar bahasa yang merupakan konteks sosial bagi terjadinya penggunaan bahasa di dalam masyarakat (Sudaryanto, 1985: 2). Alat penentu bahasa yang dimaksud adalah a) Kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referen bahasa, b) Alat penentunya organ pembentuk bahasa atau organ wicara, c) Bahasa lain atau language lain, d) Perekam dan pengawet bahasa (tulisan), e) Orang menjadi mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 13). Metode ini digunakan untuk

(34)

menganalisis makna leksikal dan makna kultural Istilah-istilah Sesaji dalam Upacara Sadranan.

Adapun penerapan metode padan adalah sebagai berikut: 1. Makna Leksikal

a. Apem [apêm] ‘kue/makanan yang terbuat dari tepung beras biasanya untuk kenduren atau acara adat Jawa, bertekstur lembut, rasanya manis, berbentuk bulat, dan diatasnya ada irisan kelapa’.

b. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp] ‘pisang jenis raja

sebanyak dua sisir’.

2. Makna Kultural a. Apem [apêm]

Makna kultural apem sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf. Kita sebagai manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Penyebutan makna akan berbeda berdasarkan pengalaman dan kepercayaan seseorang. Dalam sadranan apem merupakan salah satu istilah sesaji. Oleh karena itu, kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan bisa lepas dari kebudayaan dan bahasa itu sendiri.

Apem dibuat untuk melambangkan adanya harapan suatu ampunan akan kesalahan di masa lalu. Apem berbentuk bundar atau bulat melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad dalam melaksanakan ritual, yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa

(35)

berbakti kepada leluhur bukan hanya sebatas ucapan dan kata-kata dalam doa. Lebih dari itu diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan perbuatan nyata dalam kehidupaan sehari-hari, dalam hal ini kegiatan bersih-bersih meliputi jagad kecil dan jagad besar.

b. Gedhang Raja Setangkep [gêDaŋ rOjO sêtaŋkêp]

Makna kultural gedhang raja setangkep bagi masyarakat dukuh Klinggen adalah pisang raja yang rasanya paling manis diantara pisang-pisang yang lainnya, sehingga bisa dianggap rajanya pisang.

Gedhang raja yang digunakan sebanyak rong lirang ‘dua sisir’. Biasanya gedhang raja diletakkan bersama jajanan pasar.

Gedhang raja sebagai simbol pemimpin (raja) yang didukung seluruh rakyatnya. Suatu masyarakat akan hidup tentram dan bahagia jika antara pemimpin dan rakyatnya akan saling mendukung dan saling melengkapi. Pemimpin (raja) tidak semena-mena pada rakyatnya tetapi

ngayomi pada rakyatnya. Sehingga kehidupan akan tentram, makmur, dan bahagia.

7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal, dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 63)

(36)

Metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hail penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, tabel, grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar dokumentasi foto.

Referensi

Dokumen terkait

TENAGA PENGAJAR TETAP FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TAHUN 2012... NO UNIT KERJA

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau

(2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan program penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah

Dalam penelitian ini akan dikembangkan, pertama model dan metode penyelesaian dari sistem rantai pasok dua tahap untuk produk yang menurun berdasarkan waktu dengan

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan