• Tidak ada hasil yang ditemukan

diitawar sedikit bisa!).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "diitawar sedikit bisa!)."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bab Satu

Pendahuluan

Papalele : Usi, bali duriang ka? (Usi, mau beli duren?) … Ibu : duriang dar mana la? (duren dari mana ya?) … Papalele : duriang dari hatalae atas (duren dari desa Hatalae).. Ibu : brapa sa buah? (berapa harga sebuahnya?)..

Papalele : tujuh stenga yang basar, yang kacil ni lima ribu (yang besar harganya tujuh ribu lima ratus rupiah, dan buah yang kecil, harganya lima ribu rupiah)… Ibu : mahal paskali lawang? (mahal sekali ya?)...

Papalele : mo, usi mau bali brapa banya?,bisa tawar sadiki to…(ya, Ibu berkeinginan membeli berapa banyak? diitawar sedikit bisa!)”

.

Penggalan percakapan ini terjadi sekitar bulan Oktober 2006 antara salah seorang papalele yang sementara berkeliling berjualan dengan istri saya di depan teras rumah kami. Percakapan yang serupa juga pasti terjadi dengan calon pembeli lain, di tempat yang lain, bahkan terus berulang sepanjang hari. Papalele seperti ini telah berlangsung sejak lama bahkan sejak saya masih kanak-kanak. Mereka yang papalele sering terlihat

(2)

berkeliling kota, baik di lingkungan perumahan masyarakat, depan perkantoran hingga pasar-pasar tradisional di kota Ambon.

Seiring berjalannya waktu, hingga kini orang-orang yang menjalani hidup sebagai papalele masih terus beraktivitas. Bahkan umumnya, kehadiran papalele yang menjual buah-buahan dan beberapa jenis bahan lain telah membantu masya-rakat memenuhi keperluan rumah tangga. Wajar jika papalele

kadang-kadang ditunggu untuk pemenuhan kebutuhan yang diperlukan, sehingga papalele semakin mendapat tempat dan bertahan antar generasi.

Peristiwa di atas mengingatkan saya kembali tentang pengalaman saat masih kanak-kanak lebih kurang 40-an tahun lalu, istilah papalele sudah saya ketahui, dapat dikatakan

papalele telah hadir jauh sebelumnya. Pada saat itu, papalele

yang saya ketahui hanya terbatas bahwa papalele adalah orang atau penjual yang biasanya berjualan berkeliling. Mengetahui

papalele karena sering mendatangi rumah kami, kehadirannya untuk menawarkan buah-buahan yang dijual. Hal yang sama juga dilakukan oleh keluarga dan tetangga terdekat untuk membeli kebutuhan dari papalele. Memang selain papalele, masih ada juga penjual lain yang juga berkeliling seperti tukang mie bakso, tukang sate, tukang barang kelontong yang menggunakan gerobak tertentu, atau tukang buah, dan juga penjual kue keliling yang menjunjung dagangannya di atas kepala. Para pedagang ini setiap hari — pagi hingga sore hari, sering melewati jalan depan rumah.

Sepengetahuan saya, para penjual keliling ini—non

papalele, umumnya adalah warga pendatang yang berasal dari berbagai kota di Pulau Jawa dan di Pulau Sulawesi dari luar

(3)

3 daerah Maluku. Ada juga tukang loakan1 yang berkeliling

mencari barang-barang rumah tangga bekas pakai atau barang yang sudah rusak untuk dibeli, seperti baskom, kompor dan sebagainya. Pada masa itu, ada juga tukang loakan yang dilakukan orang lokal yang berasal dari Pulau Haruku, seperti Desa Pelauw, Desa Kailolo dan Desa Kabauw di Kabupaten Maluku Tengah. Tukang loak lokal pada masa itu sering disebut dengan istilah “botol-karong2”.

Bagi saya dan masyarakat di Ambon secara umum, dengan mudah dapat membedakan papalele dengan para pedagang keliling. Secara kasat mata, fungsi berdagang yang dilakukan keduanya tidak berbeda, sama-sama berjualan. Yang dicari dari berdagang berkeliling tentu untuk mendapat sedikit keuntung-an dari barkeuntung-ang ykeuntung-ang dijual. Tetapi perbedakeuntung-an ykeuntung-ang saya mak-sudkan lebih berkaitan dengan atribut yang dikenakan seperti pakaian dan peralatan penunjang untuk berjualan. Saya sebagai seorang yang terlahir di Ambon, pun masyarakat lainnya, tentu lebih mengenal papalele sebagai penjual lokal. Artinya mereka adalah orang-orang yang berasal dari desa-desa sekitar kota Ambon dan bahkan dari desa-desa di Pulau Ambon dan Pulau Saparua. Penggunaan pakaian dan peralatan berjualan secara tegas membedakan papalele dan pedagang lain. Papalele

umumnya para ibu yang selalu mengenakan pakaian kebaya, menjunjung di atas kepala, sejenis keranjang warna coklat

1 Di Pulau Jawa pada umumnya, para pedagang ini dikenal dengan istilah “tukang roso”. Mereka biasanya mencari barang-barang rongsokan yang tidak terpakai oleh rumah tangga.

2 Tukang “botol-karong” adalah orang yang berkeliling mencari dan membeli barang bekas tidak terpakai. Barang yang dibeli khusus hanya ‘botol’ bekas berbagai ukuran dan ‘karung’ goni atau plastik bekas. Sejauh yang saya masih ingat, pada masa itu, harga satu buah botol dibeli dengan harga antara Rp25, atau Rp50 per botol. Sementara harga karung bekas bervariasi antara Rp75, sampai dengan Rp100. Para pedagang ini, sejauh yang saya ketahui, kegiatan ini oleh orang asli di Maluku sudah tidak ditemui lagi.

(4)

kehitaman yang disebut ‘atiting’ atau ‘dulang3’—terbuat dari

bambu dan kayu. Sementara yang laki-laki biasa mendampingi, berkaos dan bercelana pendek. Dengan demikian, pakaian dan peralatan seperti inilah yang membedakan papalele dan pedagang lain.

Rasa ingin tahu mengapa orang-orang yang menjalani

papalele masih ada dan aktif melakukan kegiatan seperti ini. Pertimbangan ini yang menjadi dasar untuk mengetahui lebih lanjut, mengapa mereka masih tetap bertahan berjualan. Yang begitu mengherankan bagi saya adalah, kemampuan papalele

untuk bertahan dan eksis, sepertinya telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Kita bisa merasakan situasi ekonomi masa kini yang penuh persaingan usaha tetapi dibarengi dengan kemudahan-kemudahan yang difasilitasi oleh perusahaan-peru-sahaan besar. Produk barang dan segala-galanya telah meman-jakan konsumen. Tidak sesulit masa lalu, karena konsumen sekarang mudah untuk menjumpai produk yang diinginkan. Apalagi kekuatan ekonomi global dengan segala kemewahan tawaran barang ekonomis mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Orang dengan mudah bisa mengakses pasar-pasar modern, mendapatkan berbagai kebutuhan konsumsi secara instan dan nyaman ketika berada dalam satu pasar modern. Bukan tidak mungkin, ketika tawaran modernitas tersebut, nilai-nilai ekonomi lokal akan terancam dan bahkan tersingkir secara alami.

Pengalaman yang diceritakan di atas sesungguhnya meru-pakan salah satu contoh bahwa papalele masih beraktivitas.

Papalele menjalani kehidupan melalui berjualan berkeliling tentu tidak tanpa alasan. Pasti terdapat pertimbangan yang melandasi semangat mereka untuk berkeliling berjulan hanya

(5)

5 untuk mencari tambahan penghasilan. Rumah tangga dan keluarga adalah salah satu dari sekian alasan lainnya yang mengharuskan mereka bekerja sebagai papalele.

Usaha papalele di Ambon dan Maluku pada umumnya, baru mendapat sedikit perhatian melalui beberapa penelitian. Karena itu sebelum saya lebih jauh membahas tentang konsep penelitian ini, ada baiknya saya menyampaikan beberapa pene-litian yang telah dilakukan sebelumnya. Hemat saya, berbagai kajian atau penelitian telah dilakukan sebelumnya oleh bebera-pa peneliti, baik yang terpublikasi maupun yang tidak terpu-blikasi. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan tentang adanya penelitian lain tentang papalele yang telah dilakukan sebelumnya, tetapi terbatas untuk diakses. Namun, secara umum beberapa penelitian yang diungkapkan di sini dianggap cukup mewakili untuk menguraikan dan mendiskrip-sikan tentang papalele dan dinamikanya. Pengungkapan bebe-rapa penelitian sebelumnya, bermaksud untuk menentukan bahwa posisi penelitian yang saya lakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Salah satu penelitian papalele di Kota Ambon dilakukan oleh Souisa (1999) yang menyoroti aspek teologi perempuan

papalele. Oleh Souisa, penelitian ini difokuskan pada proses berteologi secara kontekstual sebagai bagian dari pemaknaan kehidupan komunitas papalele yang berdomisili di jemaat ping-giran Kota Ambon, dengan mencoba untuk mengerti berbagai hal kehidupan para papalele. Proses aktualisasi pada kaum perempuan pada dasarnya menuntut adanya solidaritas kaum perempuan secara khusus. Pada bagian lain, Souisa (1999: 119-122) melihat bahwa papalele merupakan bentuk wiraswasta perempuan Ambon. Bentuk wiraswasta ini dilakukan melalui, menjual buah yang alami dan seleksi yang ketat terhadap bahan

(6)

yang akan dijual. Lebih lanjut dikatakan bahwa di dalam

papalele terdapat usaha yang dimulai dari kecil, menggunakan modal pribadi, memerlukan prinsip-prinsip tertentu seperti inovasi dilakukan oleh individu yang berani menanggung resiko, ulet, dan sebagainya. Bagi Souisa ini adalah bentuk wiraswasta yang telah berkembang dalam masyarakat yang sebagian besar diperani oleh kaum perempuan. Karena kondisi yang serba terbatas itulah mereka berjuang untuk hidup melalui

papalele.

Penelitian yang dilakukan Sihasale (2003) menekankan pada aspek jaringan dan ketahanan papalele dalam melakukan distribusi dari desa ke kota dan antar pulau. Mengingat papalele

yang menjadi fokus penelitian berada pada wilayah pulau-pulau di Maluku, khususnya pulau Saparua dan Lease. Guna menjaga keberlanjutan usaha papalele, para aktor berani menantang kondisi alam yang sering tidak kompromi terutama pada saat mereka menggunakan transportasi laut pada musim gelombang dan hujan. Kemampuan bertahan mereka karena terbangunnya jaringan distribusi barang yang akan diperdagangkan ke kota.

Pada sisi lain, Sihasale berpendapat bahwa papalele tidak hanya sebatas mendistribusikan barang dari desa ke kota, tetapi juga membawa masuk berbagai barang kebutuhan dari kota pasca penjualan. Barang yang dibeli di kota, biasanya dibawa masuk ke desa. Baik untuk keperluan dan konsumsi keluarga, tetapi juga barang yang kemudian akan dijual lagi di desa dan desa sekitarnya.

Lebih lanjut dalam kajiannya Sihasale (2003: 48), disim-pulkan bahwa jaringan perdagangan antar pulau dari para

papalele bertumpu pada dua aspek utama yakni ekonomi dan aspek kultural. Aspek ekonomi, jaringan yang terbentuk adalah sistem mata rantai proses perdagangan sederhana dan tidak panjang. Gambaran mata rantai tersebut digambarkan bahwa:

(7)

7 petani atau nelayan membawa hasil dan dibeli oleh pembeli lokal desa, selanjutnya dijual ke pasar tradisional desa dan kemudian dibeli oleh para papalele, kemudian papalele

menjualnya di pasar kota kecamatan, kabupaten atau pun pasar di pusat provinsi. Setelah papalele menjual hasil-hasil tersebut, mereka kemudian membeli berbagai barang-barang kebutuhan industri rumah tangga untuk dijual lagi sekembalinya di desa.

Masih menurut Sihasale, jaringan ini pada akhirnya menjadi semacam saling ketergantungan antar mereka. Aspek kedua adalah aspek kultural yakni jaringan dan hubungan yang dijalin bersifat internal antar kelompok papalele karena faktor kekerabatan. Multiplikasi kelompok papalele berada dalam ling-karan hubungan kekerabatan (hubungan darah) karena regene-rasi yang terjadi. Hal ini untuk menjaga integritas klan mereka, baik lingkaran keluarga terdekat maupun keluarga luas. Sementara untuk aspek ketahanan Sihasale (2003: 49) mengu-raikan menurut aspek waktu. Lamanya seseorang menjadi

papalele dan terus bertahan merupakan satu bentuk ketahanan atau daya tahan terutama saat krisis.

Penelitian yang tidak berbeda, dilakukan oleh Soselisa (2008) yang mencoba mengungkap tentang papalele sebagai budaya dan sistem ekonomi masyarakat di Maluku. Dalam pembahasannya, ternyata hanya menggambarkan secara umum

papalele dan aktivitas ekonominya tanpa mengungkapkan secara rinci temuan penelitiannya. Simpulan secara umum dari hasil penelitian, menjelaskan bahwa papalele di Maluku berbeda dengan daerah lain. Sistem ekonomi tradisional ini dibedakan karena tiga hal. Yakni pertama, karena aspek geo-grafis dan antar pulau, kedua, sarana transportasi darat dan laut yang sering digunakan, dan ketiga, aspek budaya masyarakat yang berada di pualu-pulau. Dari hasil penelitian yang

(8)

dilaku-kan Soselisa, sesungguhnya belum ditemudilaku-kan pikiran-pikiran utama yang secara rinci melandasi aktivitas papalele. Sekali lagi apa yang diungkapkan Soselisa merupakan gambaran umum yang terjadi di masyarakat Maluku dengan cara papalele sebagai kegiatan ekonomi untuk kehidupan keluarga. Jika diperhatikan, sesungguhnya kajian Soselisa cenderung tidak berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Sihasale pada bahasan sebelumnya.

Indrawasih Ratna (1993) meneliti tentang peranan eko-nomi wanita nelayan di Maluku. Alasan membantu suami mencari tambahan penghasilan bagi keluarga merupakan alasan umum para wanita dalam penelitian ini. Tiga desa menjadi tujuan penelitian ini, yakni Desa Hitu Kabupaten Maluku Tengah, Desa Sathean Kei Kecil Maluku Tenggara dan Desa Nolloth Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah. Namun kajian Indrawasih terfokus pada dua desa yakni Desa Hitu dan Desa Sathean untuk melihat peran wanita mengupayakan tambahan ekonomi keluarga. Mata pencaharian penduduk di kedua desa ini berbeda. Desa Hitu penduduk umumnya mata pencaharian sebagai petani. Saat lahan pertanian mereka selesai panen, laut menjadi tujuan mencari tambahan penghasilan.

Sementara di Desa Sathean, umumnya mata pencaharian penduduk sebagai nelayan. Walaupun demikian penduduk di kedua desa tersebut melakukan pekerjaan sebagai nelayan telah turun-temurun. Para wanita di kedua desa ini turut serta bersama suami mencari tambahan penghasilan keluarga. Lebih lanjut Indrawasih mengatakan bahwa bagi wanita di Desa Hitu, menjual ikan secara berkeliling atau langsung ke pasar desa atau pusat kota disebut "jibu-jibu”. Sementara wanita di Desa Sathean peran wanita tidak berbeda dengan Desa Hitu. Mereka pun menjual ikan di sekitar desa atau ke pusat kota secara berkeliling. Sebutan untuk wanita penjual ikan di desa Sathean disebut "papalele". Baik "jibu-jibu" maupun "papalele" selalu

(9)

9 menjual ikan hasil tangkapan para suami mereka, dan atau membeli dari nelayan lain.

Masih menurut Indrawasih, khusus untuk Desa Sathean, papalele bukan hanya menjadi pekerjaan wanita, tetapi laki-laki merupakan orang pertama yang melakukannya. Sehingga ke-mudian papalele menjadi ciri pekerjaan yang dilakukan wanita maupun laki-laki. Lebih lanjut dikatakan bahwa kata "papalele" yang digunakan di Desa Sathean sesungguhnya berasal dari kata "babudin". Menurut sejarahnya, kata babudin diambil dari nama seorang laki-laki di desa itu yang pertama kali memulai usaha sebagai seorang penjual. Dia kemudian menjadi inspirasi bagi penduduk lainnya untuk melakukan pekerjaan yang sama. Baik jibu-jibu di Desa Hitu maupun di Desa Sathean, perjumpaan mereka dengan nelayan untuk membeli ikan dan kemudian dijual lagi mempunyai ciri yang sama. Ikan yang akan dibeli, harus menunggu kedatangan para nelayan saat pagi subuh. Hasil tangkapan nelayan kemudian diambil untuk dijual dan pem-bayaran akan dilakukan pada sore hari. Bahkan tidak jarang, jika para papalele tidak berhasil menjual ikan tersebut, maka ikan akan ditukar dengan barang lain, seperti buah kelapa, pisang atau patatas(potatos) kepada pemiliknya.

Kajian Indrawasih terhadap jibu-jibu di Desa Hitu dan

papalele di Desa Sathean sebetulnya merupakan bagian dari proses perdagangan. Ketergantungan pada musim dan hasil tangkapan ikan para nelayan membuat mereka tidak dapat bertahan sepanjang tahun dalam proses ini. Penghasilan dari hasil berjualan sangat ditentukan oleh musim. Hasil tangkapan ikan yang banyak akan mempengaruhi penghasilan para jibu-jibu dan papalele.

Terkait istilah dan penamaan terhadap aktivitas papalele, ada beberapa penelitian lain yang menyinggung tentang peran

(10)

papalele dalam masyarakat, khususnya di luar daerah Maluku. Ketiga penelitian itu yakni Alimudin Ridwan (2005) di Mandar Sulawesi Selatan, Cunningham Clark (Koenjaraningrat, 1984) di Soba Timor Barat Nusa Tenggara Timur dan Lawang Roberth (1995) di Cancar Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Ketiga peneli-tian ini menjelaskan bahwa dalam masyarakat lokal ketiga daerah tersebut, sebutan papalele digunakan bagi pelaku ekonomi lokal.

Penelitian yang dilakukan Alimudin (2005) tentang Orang laut orang Mandar Sulawesi Selatan lebih dititik-berat-kan pada budaya orang mandar sebagai pelaut. Kemampuan orang-orang sebagai pelaut tidak diragukan lagi oleh karena keberanian mereka mengarungi laut dengan kapal-kapal yang dibuat secara tradisional. Kehidupan mereka hanya di laut. Laut menjadi ladang pekerjaan dan sumber penghasilan bagi kehi-dupan keluarga. Pengelolaan potensi hasil laut secara optimal dimanfaatkan. Setelah mendapat hasil laut selama seharian, nelayan Mandar akan menggunakan pa[p]palele untuk menjual-nya. Pappalele4 dalam kajian Alimudin merupakan orang atau

kelompok orang yang turut memberikan kontribusi penghasilan bagi nelayan-nelayan Mandar. Pappalele Mandar tidak menjadi perhatian dan kajian utama. Tetapi dalam pandangan Alimudin,

pappalele Mandar menjadi sentra yang sudah sangat paham waktu-waktu saat-saat kedatangan nelayan dengan hasil ikan selesai melaut. Mereka akan menunggu berkelompok sesuai waktu kedatangan. Sebelum ikan diserahkan ke para pappalele,

4 Makna kata papalele ada sedikit perbedaan antara kata papalele di Maluku dan di Sulawesi Selatan, khususnya Mandar. Di sini kata pa[p]palele menggu-nakan dua huruf yang sama 'p'. Namun sesungguhnya fungsi dan peran tidak berbeda. Alimudin (2005:139) kemudian menjelaskan bahwa kata pa[p]palele bagi orang mandar memiliki arti. Kata pa[p]palele terdiri dari kata 'lele' yang berarti pindah, dan mappalele berarti memindahkan. Jadi arti harafiah

pappalele adalah orang yang memindahkan. Pekerjaan ini umumnya

(11)

11 istri dari para nelayan akan menentukan harga jual untuk kemudian diserahkan kepada para pappalele.

Bagi Alimudin (2005:140), pappalele Mandar sangat menguntungkan nelayan. Nelayan tidak perlu memasarkan hasil tangkapannya ke pasaran. Pappalele memiliki peran penting dalam proses distribusi ikan dari nelayan ke penjual ikan di pasar untuk kemudian ke konsumen. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pappalele Mandar ada dua jenis. Pertama, pappalele yang terikat dengan punggawa posasi (nakhoda perahu). Keduanya bermodalkan kepercayaan dan hubungan kekerabatan. Ikan hasil tangkapan diambil sebagai pinjaman dan akan dibayar setelah ikan tersebut terjual. Kedua, pappalele

yang memiliki modal cukup kuat untuk berusaha sendiri. Semua hasil tangkapan punggawa atau sawi (anak buah perahu) dibeli secara tunai. Sepintas jika mengkaji posisi pappalele

Mandar, sebetulnya peran mereka sebagai perantara. Hubungan mereka dengan pemilik kapal atau nelayan yang lain hanya untuk membeli ikan hasil tangkapan. Pappalele tidak langsung berhubungan dengan konsumen. Pappalele akan menjual lagi kepada penjual (pedagang) ikan di pasar-pasar tujuan.

Kajian lain dilakukan oleh Cunningham Clark tahun 1967 (Koentjaraningrat, 1984: 101-108) tentang Soba sebuah Desa Atoni di Timor Barat. Cunningham lebih terfokus pada kehidupan masyarakat di Desa Soba. Desa Soba merupakan salah satu dari kira-kira 775 desa orang Atoni Pah Meto (Rakyat Tanah Kering). Masyarakat desa Soba memiliki mata pencaharian sebagai petani peladang. Tanaman pertanian yang diusahakan seperti pinang, kacang area, pisang dan kelapa. Selain kebun, halaman rumah dimanfaatkan juga untuk menanam tanaman sayur seperti tomat, bawang merah dan ubi kayu. Lebih lanjut, Cunningham (Koentjaraningrat, 1984: 109)

(12)

menguraikan tentang perjumpaan petani Soba dengan papalele

untuk tujuan menjual hasil pertanian mereka. Pada hari pasar — Senin, hasil kebun dijual diangkut dengan kuda ke pasaran oleh kaum laki- laki, wanita dan anak-anak. Di Pasar mereka memamerkan bahan-bahan hasil bumi kepada tengkulak-tengkulak dari Kupang. Para tengkulak-tengkulak inilah yang disebut

papalele. Semua hasil dijual kepada para papalele. Jika ada hasil kebun yang tidak terjual habis, mereka akan menjualnya langsung kepada konsumen atau pedagang lain seperti orang Baun dan Tionghoa.

Bagi Cunnningham (Koentjaraningrat, 1984: 109), papa-lele pada umumnya terdiri dari orang-orang Rote atau Sabu. Penampilan para papalele nampak dari pakaian yang mereka pakai yang bergaya kota, ialah celana panjang, hem, sepatu dan topi. Mereka umumnya terdiri dari orang-orang muda yang berumur di antara dua-puluh sampai tiga-puluh tahun lebih sedikit. Banyak di antara mereka yang belum kawin dan yang telah kawin dibantu istri mereka. Kedatangan papalele di Baun tak ada tujuan lain kecuali mencari uang sebanyak-banyaknya, sikapnya sering sombong, mereka memandang rendah terhadap penduduk desa, dan pada umumnya mereka tidak mengetahui bahasa Atoni. Cunningham pun menjelaskan bahwa situasi tersebut membuat orang desa, terutama kaum tua tidak simpatik terhadap para papalele. Kaum tua membenci sikap papalele

yang "sok-kekota-kotaan". Kondisi sebaliknya bagi kaum muda desa. Bagi kaum muda, sikap papalele merupakan contoh-contoh bagi orang muda tentang dunia luar desa; dunia yang telah mulai mendapat perhatian mereka, terdorong oleh pendidikan sekolah mereka.

Kajian Cunningham (Koentjaraningrat, 1984) ini meng-isyarakatkan perbedaan stratifikasi sosial antara masyarakat Desa Soba dengan papalele. Pada masyarakat Soba, penampilan

(13)

13

papalele lebih menonjolkan sikap kemewahan sebagai pedagang yang memiliki kemampuan keuangan yang membentuk karakter diri. Sementara masyarakat desa tidak mengalami situasi tersebut karena kehidupan yang sederhana dan apa adanya. Papalele sebagai pedagang perantara memunculkan perbedaan strata sosial yang berbeda.

Sementara penelitian yang dilakukan Robert Lawang 1989 di Cancar Manggarai Barat, tertuju pada stratifikasi sosial masyarakat. Tiga dimensi stratifikasi sosial: privilesse, prestise dan kekuasaan saling memiliki korelasi dan keeratan hubungan, terutama yang berkaitan dengan ekonomi. Dalam kajian itu, Lawang (2004:312-313) menunjukkan contoh bahwa pada masyarakat terdapat jiwa wiraswasta, walaupun harus dimulai dengan pekerjaan yang kecil sifatnya. Dengan berusaha secara kecil-kecilan maka mobilitas sosial akan mengalami pergeseran karena ada kemauan keras dalam mengelola usaha. Papalele

adalah contoh kasus yang ditunjukkan. Papalele merupakan proses perdagangan yang diambil dari toko orang Tionghoa di Ruteng dan dijual kembali kepada konsumen secara kredit. Hasil penjualan diserahkan kepada pemilik barang, dan sisanya merupakan keuntungan bagi papalele yang nilainya cukup besar.

Ketiga penelitian tersebut di atas, sesungguhnya memiliki perspektif berbeda yakni papalele sebagai bentuk pemaknaan teologis (Souisa, 1999), dari ketahanan dan sistem ekonomi masyarakat lokal secara umum (Sihasale, 2003; Soulissa, 2008, dan Indrawasih, 1993). Secara spesifik ketiga penelitian tersebut belum memunculkan kontribusi atas peran ekonomis di ruang publik dan relasi dalam jaringan yang terbangun antar pedagang lintas suku dan agama. Pada sisi lain, ketiga penelitian tersebut tidak secara tegas menunjukkan pencapaian dan orientasi masa

(14)

depan sebagai bentuk implementasi hasil usaha. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Alimudin (2005), Cunningham (Koentjaraningrat, 1984) dan Lawang (1989), sesungguhnya menegaskan bahwa papalele dalam perspektif masing-masing daerah tidak jauh berbeda peran yang dilakukan yakni sebagai wiraswasta.

Tidak mudah untuk memahami eksistensi papalele ketika berhadapan dengan tekanan ekonomi modern dewasa ini. Sebagai pedagang kecil—papalele, peran dan kontribusi mereka seakan terlupakan. Papalele seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, merupakan orang atau sekelompok orang yang berasal dari daerah perdesaan, yang bermata-pencaharian dengan berjualan. Posisi berjualan, biasanya dilakukan di pasar tradisional secara menetap dan berkeliling dari rumah ke rumah dan dari satu lingkungan pemukiman ke lingkungan pemukiman lainnya. Usaha yang selama ini dilakukan tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Baik dari kuantitas maupun kualitasnya. Pada sisi lain, dalam keterbatasan sebagai usaha, mereka membuktikan diri bahwa proses berjualan masih tetap eksis dan terus bertahan. Berbagai tantangan dan kendala serta tekanan perubahan kondisi ekonomi keluarga dan maraknya proses ekonomi modern tidak menggoyahkan usaha mereka.

Situasi yang telah dikemukakan, membuat munculnya satu topik pertanyaan umum. Apa sesungguhnya kekuatan

papalele sebagai pedagang kecil (petty traders) sehingga mampu bertahan dalam aktivitas ekonomi pasar?. Untuk menjelas-kannya lebih lanjut secara kualitatif, maka beberapa pertanyaan empirisnya adalah: (a) Bagaimana kondisi keseharian kehidupan

papalele dan rumah tangga? (b) Bagaimana proses menjadi papa-lele?, (c) Bagaimana pola pengelolaan usaha papalele? (d) Bagai-mana dinamika usaha papalele selama masa konflik di Kota Ambon?

(15)

15 Pertanyaan di atas menjadi acuan untuk menggambarkan dan menjelaskan seluruh proses dan tujuan papalele. Pembahas-annya diawali dengan deskripsi terhadap kondisi keseharian kehidupan papalele dan rumah tangga. Dilanjutkan dengan menjelaskan tentang keputusan individu menjadi papalele

sebagai pilihan terbaik bagi mata pencaharian rumah tangga. Pada bagian akhir, akan dijelaskan tentang tujuan perjumpaan

papalele dan pedagang di tapal batas konflik ketika kondisi keamanan yang belum benar-benar kondusif saat suasana konflik di Ambon. Dalam suasana ketidak-stabilan karena konflik, papalele tetap memberanikan diri untuk berjumpa dan bertransaksi dengan pedagang di simpul perbatasan.

Dalam penelitian ini, akan saya uraikan benang merah antara kemampuan bertahan usaha papalele dengan orientasi masa depan dan status sosial. Bagi suatu usaha, satu hal yang sesungguhnya sering didekatkan dengan berbagai pandangan ilmu ekonomi, adalah setiap usaha sedapat mungkin harus diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha tersebut. Terutama pemupukan modal—investasi usaha di masa depan (Hisrich et.al, 2008:520). Namun, bagi papalele, penca-paian ekonomi bukan tujuan utama. Tujuan utama papalele

adalah orientasi masa depan dalam bentuk jaminan hari tua dan peningkatan status sosial keluarga. Atas dasar itu, temuan terse-but akan saya pumpunkan dalam konsep besarnya yang saya sebut, kolaborasi usaha pedagang kecil.

Konsep kolaborasi atau kerjasama papalele adalah salah satu bentuk daya tahan untuk melanggengkan usaha. Artinya dalam usaha papalele, kolaborasi atau kerjasama merupakan pilihan rasional yang memungkinkan papalele dapat bertahan. Pengertian istilah kolaborasi atau kerjasama, secara umum sering dikenal sebagai salah satu istilah yang digunakan dalam

(16)

dunia usaha. Intinya untuk menjelaskan pola hubungan kerja-sama antara satu pihak dengan pihak lain. Kerjakerja-sama tersebut dilakukan secara informal maupun formal. Dalam kerangka kerjasama informal, biasanya tidak dalam ikatan tertentu, sementara yang sifatnya formal, kerjasama diatur dengan se-perangkat aturan. Kerjasama yang saling menguntungkan antara produsen dan pembeli (Pinar dan Saneril, 2008:516).

Kolaborasi sebagai sebuah konsep, berhubungan dengan kemampuan pelaku untuk membangun dan mengelola hubung-an jaringhubung-an berdasarkhubung-an saling berkomunikasi, saling percaya dan saling berkomitmen (Kirsimarja dan Levy, 2006:31). Pada masa kini banyak contoh kasus yang menjelaskan tentang tuju-an kolaborasi perusahatuju-an-perusahatuju-an besar dalam memasarktuju-an produk. Contohnya termasuk kolaborasi bisnis yang melibatkan industri berbeda, atau kolaborasi antara perusahaan swasta dan pemerintah (Mandeville, 2005:170). Termasuk kolaborasi strate-gis yang dilakukan antar mitra usaha, dengan sungguh-sungguh dapat melaksanakan dan mengimplementasikan perencanaan kegiatan bisnis dengan tujuan bersama meningkatkan kesejah-teraan perusahaan untuk jangka panjang (Kim, 2010).

Sebelum lebih jauh membahas tentang dinamika papalele

itu sendiri, perlu ditegaskan terlebih dahulu penggunaan istilah

papalele. Penggunaan istilah papalele secara rinci akan dibahas pada bab empat, namun demikian sebutan papalele digunakan dalam setiap bahasan kadang mengandung dua pengertian yang berbeda. Pengertian pertama berkaitan dengan atribut ‘orang’ yang melakukan kegiatan, dan kedua, berkaitan dengan fungsi

papalele itu sendiri yakni suatu aktivitas berjualan. Sehingga dalam disertasi ini, penggunaan kata papalele akan dipakai secara bergantian.

Hasil penelitian dalam bentuk disertasi ini akan menyaji-kan secara rinci tahapan dan proses yang diorganisasimenyaji-kan secara

(17)

17 berbeda pada setiap bab. Bab dua, akan saya fokuskan pada tinjauan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini. Tujuan dari tinjauan literatur ini untuk memotret dan menjelas-kan tentang empat konsep yang digunamenjelas-kan dalam penelitian, masing masing mata pencaharian dan ekonomi rumah tangga (livelihood and household economic), kewirausahaan ( enter-prenuership), identitas (identity), dan konsep tentang modal sosial (social capital).

Bab tiga merupakan rangkaian penjelasan tentang metode dan pengalaman saya selama penelitian berlangsung. Tentu, untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid harus merujuk pada seperangkat aturan metodologi. Selain itu, dengan meng-gunakan pendekatan penelitian yang baik, memungkinkan pengumpulan data dan informasi tidak diragukan. Lebih lanjut, dalam bab ini akan saya uraikan pengalaman dan liku-liku pengumpulan data. Mulai dari tahap memasuki lapangan penelitian, melakukan proses wawancara hingga pengumpulan data dan pengorganisasian data. Pengalaman yang tidak kalah menarik adalah, ketika saya harus mendampingi empat orang

papalele untuk berjualan, sejak subuh hingga sore menjelang malam baru kembali ke rumah. Secara rinci akan diulas semua pengalaman lapangan pada bab ini.

Bab empat, secara umum akan membahas tentang konteks

papalele. Pada bagian awal dari bab ini, saya akan menguraikan tentang istilah papalele dan sejarahnya. Kehadiran papalele

dalam masyarakat, pasti melalui suatu masa, sehingga kemudian istilah papalele menjadi tradisi dan simbol bagi pedagang lokal Ambon. Selain itu, seperti dipahami bahwa papalele dalam aktivitasnya selalu berada dalam ruang publik. Sebagai warga kota, papalele merupakan salah satu usaha yang turut berperan serta dalam pengembangan ekonomi lokal di Kota Ambon.

(18)

Tentu papalele tidak hanya memanfaatkan sarana dan prasarana publik yang disiapkan Pemerintah Daerah, tetapi papalele juga turut berkontribusi bagi pembangunan.

Bab lima akan mendeskripsikan situasi kehidupan kese-harian ekonomi rumah tangga para papalele yang serba terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka meng-andalkan keuntungan dari hasil berjualan, meskipun kadang-kadang keuntungan tidak sesuai yang diharapkan atau bahkan keuntungan tidak diperoleh sama sekali. Sementara suami penghasilan terbatas, dari bekerja sebagai petani atau pegawai rendahan, sehingga penghasilan tidak banyak membantu. Belum lagi jumlah anak yang banyak, dan kebutuhan biaya pendidikan yang terus meningkat. Semua itu mempengaruhi keuangan keluarga. Sehingga keluarga harus mengatasi ke-sulitan keuangan keluarga. Agar keluarga dapat bertahan hidup dan memenuhi segala kebutuhan, papalele harusterus berlang-sung, sambil membagi tugas antar anggota keluarga. setidaknya dengan cara tersebut pengeluaran rumah tangga bisa dikurangi.

Bab enam akan mendeskripsikan proses seorang papalele

memulai dan menjalankan usaha. Menjadi papalele dilandasi dan berititik-tolak dari motif ekonomis; tekanan kondisi ekonomi keluarga. Pada umumnya mereka melakoni papalele

setelah menikah dan anak mulai bersekolah, kemudian sejak remaja telah menekuni papalele karena turun-temurun dari orang tua. Selanjutnya ada juga dengan alasan karena suami telah meninggal dunia atau bercerai; dan ada pula yang menjadi

papalele setelah tidak lagi mendapat pekerjaan. Selain motif dan alasan-alasan ekonomis tersebut, ada juga karena alasan norma dan status sosial. Norma dan aturan sosial yang mengekang mereka, sehingga tidak ada peluang mengakses pekerjaan lain. Norma dan aturan sosial yang diwajibkan merupakan akibat dari tingkat pendidikan rendah yang diperoleh; tidak tamat

(19)

19 Sekolah Dasar. Karena itu kepada mereka diwajibkan menggu-nakan ‘kebaya’ sebagai penanda simbol papalele, karena tidak bersekolah lanjut.

Bab tujuh akan mendeskripsikan serangkaian proses dan tindakan yang dilakukan para papalele dalam mengelola usaha dan penggunaan peralatan yang dipakai, serta upaya mereka membangun jejaring. Diawali dengan proses dan mekanisme ketika mereka berusaha mempertahankan dan menjalankan aktivitas papalele. Modal yang kecil dan keuntungan yang ter-batas tidak menjadi penghalang. Sementara peralatan berjualan yang dipakai sangat sederhana dan seadanya seperti bakul dan barang dapur bekas pakai. Dengan kemampuan yang ada mereka juga membangun jejaring dengan pedagang yang lain. Aspek-aspek tersebut dilakukan agar usaha tetap bertahan (survive). Sebagai satu entitas kelompok, mereka selalu mengu-tamakan kebersamaan dan tenggang rasa dalam berjualan agar konflik tidak terjadi. Keunikan pada mereka diawali dengan mencari buah ke pasar secara bersama. Selama mencari dan akan membeli buah, satu dengan yang lain saling memperhati-kan, agar kemungkinan membeli buah yang sama tidak terjadi. Jika buah yang sama akan dibeli, maka salah satu dari mereka memilih untuk membeli buah yang berbeda. Demikian pula penentuan harga jual ditentukan secara bersama, agar tidak ada perbedaan harga jual antar mereka.

Perjumpaan beresiko: transaksi di saat konflik adalah topik bab delapan yang menguraikan proses-proses papalele

mengalami masa-masa sulit berkomunikasi dan bertransaksi di sana. Secara khusus pada bab ini akan dijelaskan tentang upaya dan usaha para papalele untuk tetap berjuang dalam suasana konflik yang masih dan sementara berkecamuk di Kota Ambon. Tekanan suasana konflik tidak menyurutkan usaha mereka

(20)

untuk tetap bisa papalele. Suasana konflik juga diabaikan untuk tetap mempertahankan eksistensi usaha dan menjaga kelanjutan kehidupan keluarga, sehingga mereka tetap survive.

Bab sembilan merupakan bab sintesis berbagai temuan lapangan yang telah dipumpunkan ke dalam satu model. Secara khusus bab ini akan saya tekankan pada interpretasi tentang pertimbangan papalele memilih kolaborasi dari pada persaingan sebagai strategi usaha. Model kolaborasi yang akan dideskripsi-kan merupadideskripsi-kan penjabaran tentang proses kolaborasi yang dila-kukan papalele. Dalam proses berdagang, papalele menghindari kompetisi karena kemampuan usaha serba terbatas. Jika pilihan kompetisi diikuti, sama dengan mengambil resiko—usaha akan mati. Sebaliknya, papalele justru lebih memilih kolaborasi. Pilihan ini bagi papalele lebih rasional karena lebih mengun-tungkan papalele. Dengan kolaborasi, papalele menunjukkan daya lenting (resilience) untuk mewujudkan orientasi masa depan bagi anak-anak dan status sosial.

Bab sepuluh merupakan bab terakhir dari rangkaian disertasi ini. Penyajian isi pada bab ini lebih diarahkan pada kontribusi hasil penelitian secara teoritis bagi pengembangan keilmuan. Pada sisi lain, kontribusi hasil penelitian ini sudah sewajarnya turut mewarnai pembahasan tentang proses pemba-ngunan masa kini. Paling tidak, penelitian yang dihasilkan ini dapat menunjukkan gagasan-gagasan penting yang dihasilkan untuk memperkuat pembahasan tentang pembangunan yang berkelanjutan. Khususnya yang berkaitan dengan pemberda-yaan ekonomi masyarakat pada aras lokal.

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan selanjutnya adalah tidak semua guru di sekolah terutama guru di tingkat Sekolah Dasar mampu membuat atau merancang alat peraga pembelajaran sebagai alat bantu

Diharapkan Purica Silky pudding menjadi suatu bisnis yang aman namun menguntungkan besar yang dapat mengisi permintaan pasar terhadap produk dessert yang sehat dan

Morbus Hansen mempunyai tiga gejala klinis yang utama disebut Cardinal sign, Cardinal sign, yaitu lesi hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi

Seperti yang dijelaskan di Gambar 2.20, pilot frame dipilih sebagai sebuah random sequence, diikuti oleh IFFT, dan ekstensi cyclic prefix untuk menjadi sebuah frame OFDM.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian, antara lain: (1) Bagaimanakah respon mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Unismuh Makassar

Motif ikan Lele (clarias) adalah sumber inspirasi penciptaan karya seni, ketertarikan penulis pada ikan Lele (clarias) diekspresikan untuk membuat inovasi

5 keberhasilan proses belajar siswa; (2) Guru hendaknya lebih mempersiapkan materi serta persiapan dan pengecekan peralatan yang digunakan, sehingga tidak terjadi