• Tidak ada hasil yang ditemukan

LUAS HUTAN KOTA OPTIMAL BERDASARKAN KEBUTUHAN AIR DI KOTAMADYA BOGOR AZIZAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LUAS HUTAN KOTA OPTIMAL BERDASARKAN KEBUTUHAN AIR DI KOTAMADYA BOGOR AZIZAH"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

LUAS HUTAN KOTA OPTIMAL

BERDASARKAN KEBUTUHAN AIR

DI KOTAMADYA BOGOR

AZIZAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

LUAS HUTAN KOTA OPTIMAL

BERDASARKAN KEBUTUHAN AIR

DI KOTAMADYA BOGOR

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

AZIZAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Luas Hutan Kota Optimal Berdasarkan Kebutuhan Air di Kotamadya Bogor adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka si bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2009

Azizah E14204005

(4)

Judul Skripsi : Luas Hutan Kota Optimal Berdasarkan Kebutuhan Air di Kotamadya Bogor

Nama : Azizah

NIM : E14204005

Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Hendrayanto, M Agr. NIP : 131 578 788

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M Agr. NIP : 131 578 788

(5)

The Optimum Size of Urban Forest Based on The Need for Water in Bogor City

by:

Azizah and Hendrayanto

Introduction. Water constitutes the basic need for all living creatures, including plants. Plants need water and also serve as important agent for water regulation process. On the other hand, a city, which was identical with densely populated area, had great need for water. The usefulness of urban forest are among other things as water catchment area and as air quality control. Development of urban forest constituted an ideal plan to fulfill the need for open green space in the city. Hopefully, urban forest could serve as water catchment area to increase the supply of ground water. For achieving harmonization between real condition of a city and the actual need for urban forest, there is a need for calculating the optimum size of urban forest, which was performed in this research by using the need for water as its basis.

Research Method. The research was conducted from May through August 2008, in Bogor City. Data collection was conducted through observation, data / archive collection from relevant agencies and literature study. The collected data were among other things, size and growth rate of human population, number of industry units, number of livestock, ground water potency, water supply capacity of Local Drinking Water Company, rainfall data, and spatial data (which comprised land cover, city administration map, and soil type map). All of these data were processed and analyzed, so that the following information were obtained: total need for water, total water supply, capacity of urban forest in absorbing water, optimum size of urban forest, capacity rate of infiltration well, and number of infiltration wells which were needed.

Results and Conclusion. Based on calculation results, the total amount of water needed in Bogor city was 81.150.693,72 m3 / year, and the total supply of water was 79.442.512,81 m3 / year. Therefore, the water deficit of Bogor city was 1.708.180,91 m3 / year. With the ability of forest to absorb water per year, as much as 1.127,70 m3 / ha / year, then the optimum size of needed urban forest was 1.514,78 ha or 12,78% of the city area size. The existing urban forest at present was only 141,50 ha. The available land for developing urban forest was in the form of scrubland and vacant land, which if being forested, the area size of urban forest would become 933,09 ha. Such available area size of urban forest could not be able to eliminate the deficit of water. For overcoming such problem, designing of infiltration well constituted the appropriate solution. Bogor city had two types of soil, namely Latosol and Regosol. Based on calculation, number of infiltration wells needed in Regosol was as many as 53, whereas that in Latosol was 2.166, therefore, the total number of infiltration well needed in Bogor city was 2.219 infiltration wells.

(6)

Luas Hutan Kota Optimal Berdasarkan Kebutuhan Air di Kotamadya Bogor

Oleh :

Azizah dan Hendrayanto

Pendahuluan. Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup. Salah satunya adalah tumbuhan, tidak hanya membutuhkan air, tumbuhan juga merupakan agen penting dalam proses pengaturan air, sedangkan kota yang identik dengan kawasan padat penduduk, menyebabkan tingginya kebutuhan air. Manfaat dari hutan kota, antara lain sebagai wilayah resapan air dan kontrol kualitas udara. Pengembangan hutan kota merupakan rancangan ideal untuk pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau di kawasan kota. Dengan adanya hutan kota diharapkan menjadi areal resapan sehingga dapat meningkatkan pasokan air tanah. Untuk penyelarasan antara kondisi riil suatu kota dengan kebutuhan hutan kota, maka diperlukan perhitungan luas hutan kota optimal, dalam penelitian ini menggunakan dasar kebutuhan air.

Metode Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei – Agustus 2008 di Kotamadya Bogor. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, pengumpulan data/arsip dari instansi terkait dan studi pustaka. Data yang dikumpulkan antara lain: jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, jumlah unit industri, jumlah ternak, potensi air tanah, kapasitas suplai PDAM dan data curah hujan. Serta beberapa data spasial berupa peta tutupan lahan, peta administrasi kota dan peta jenis tanah. Keseluruhan data tersebut diolah dan dianalisis, sehingga diperoleh informasi: kebutuhan air total, suplai air total, kapasitas hutan kota dalam menyerap air, luas hutan kota optimal, debit sumur resapan, dan jumlah sumur resapan yang diperlukan.

Hasil dan Kesimpulan. Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya kebutuhan air total di Kotamadya Bogor adalah 81.150.693,72 m3/th dan suplai total air adalah 79.442.512,81 m3/th, sehingga defisit air Kotamadya Bogor sebesar 1.708.180,91

m3/th. Kemampuan hutan menyerap air per tahunnya adalah 1.127,70 m3/ha/th maka luas hutan kota optimal yang dibutuhkan adalah 1.514,78 ha atau 12,78% dari luasan kota. Hutan kota yang ada saat ini hanya seluas 141,50 ha. Lahan yang tersedia untuk pembangunan hutan kota yaitu areal semak belukar dan tanah kosong, yang jika dihutankan, maka luas hutan kota menjadi 933,09 ha. Luas hutan kota yang tersedia tersebut tidak cukup untuk menihilkan defisit air. Untuk mengatasi hal tersebut, desain sumur resapan merupakan solusi tepat. Kotamadya Bogor memiliki dua tipe tanah, yaitu tanah Latosol dan Regosol. Berdasarkan perhitungan, jumlah sumur resapan pada tanah Regosol sebanyak 53, sedangkan pada tanah Latosol sebanyak 2.166 sumur resapan, sehingga total sumur resapan yang dibutuhkan Kotamadya Bogor adalah 2.219 sumur resapan.

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis mamanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus adalah hutan kota dengan judul "Luas Hutan Kota Optimal Berdasarkan Kebutuhan Air di Kotamadya Bogor".

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak maupun instansi : 1. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto M. Agr. selaku pembimbing.

2. Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan M. S. selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumbedaya Hutan dan Ekowisata dan Ibu Arinana S. Hut, M. Si selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan.

3. Beberapa lembaga pemerintahan dan lembaga lainnya yang telah membantu dalam pengumpulan data, yaitu :

a. Dinas Pertamanan dan Tata Kota Kotamadya Bogor. b. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Bogor. c. Badan Pusat Statistik (BPS) Kotamadya Bogor.

d. Balai Pengelolaan Daerah Aliran (BPDAS) Citarum – Ciliwung. e. Pusat Pengkajian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB.

f. Stasiun Klimatologi Darmaga – Bogor.

4. Kedua orang tua, kakak dan adik tercinta atas segala do'a dan kasih sayangnya.

5. Albi, Ipo, Popon, Wita, Anna, Uci, Wahyu, Dany, Jeje, Diana, Fitroh, Tohirin, Mustian, Boy dan Ady atas motivasi, pertemanan yang baik, diskusi dan bantuannya selama ini.

6. Teman-teman Budidaya Hutan 41. 7. Teman-teman kosan Fairuz. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009 Penulis

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makkah pada tanggal 12 Juli 1986 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Ahmad Thontowi Djauhari dan Anis Afifah.

Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU I Darul Ulum Jombang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Timur dan KPH Cilacap – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Juli-Agustus tahun 2007, dan juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Kendal – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Februari-Maret 2008. Selama masa studi, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Inventarisasi Hutan, Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah serta Hidrologi Hutan. Selain itu, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Silvikultur Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2005-2006 dan staf Departemen Ekologi Tree Grower Community (TGC) tahun 2006-2007

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Luas Hutan Kota Optimal Berdasarkan Kebutuhan Air di Kotamadya Bogor yang dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto M. Agr.

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 2 1.4 Batasan Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kebutuhan Sumberdaya Air ... 3

2.2 Siklus Air / Siklus Hidrologi ... 5

2.3 Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau ... 10

2.4 Sumur Resapan ... 16

BAB III. METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2 Bahan dan Alat ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 17

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 26

4.1 Wilayah Administratif dan Batas Wilayah Kotamadya Bogor ... 26

4.2 Topografi ... 26

4.3 Iklim ... 27

4.4 Geologi ... 27

4.5 Demografi ... 27

4.6 Perkembangan Kota ... 27

4.7 Tata Guna Lahan ... 28

4.8 Kondisi Hutan Kota ... 29

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1 Kebutuhan Air Kotamadya Bogor ... 32

5.2 Suplai Air Kotamadya Bogor ... 35

5.3 Luas Hutan Kota yang Dibutuhkan Kotamadya Bogor ... 39

5.4 Sumur Resapan ... 41

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

6.1 Kesimpulan ... 44

6.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Konsumsi air bersih per kapita per hari masyarakat Indonesia... 3

2. Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari ... 4

3. Komponen persamaan air ... 7

4. Karakteristik hutan kota dirinci menurut bentuknya ... 15

5. Bentuk dan kriteria hutan kota ... 15

6. Bilangan Kurva (CN) untuk berbagai penutup tanah dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya : Kondisi II, dan Ia = 0,2 S ... 24

7. Nilai permeabilitas tanah pada berbagai kelas ... 25

8. Tata guna lahan di Kotamadya Bogor ... 28

9. Jumlah penduduk Kotamadya Bogor tahun 2006 dan 2007, laju pertumbuhan penduduk dan total kebutuhan air domestik setiap kelurahan .... 32

10. Jumlah total kebutuhan air untuk setiap jenis tenak... 33

11. Jenis dan jumlah ternak di setiap kecamatan tahun 2007 ... 33

12. Jumlah unit industri dan kebutuhan airnya pada berbagai skala ... 34

13. Suplai air tanah Kotamadya Bogor ... 36

14. Suplai air PDAM Tirta Pakuan – Kotamadya Bogor ... 36

15. Luas, nilai CN dan nilai S pada setiap tutupan lahan dalam setiap jenis tanah 37 16. Luas, nilai CN dan S setiap penggunaan lahan dalam setiap jenis tanah setelah konversi tanah kosong dan semak menjadi hutan ... 40

17. Sifat sumur resapan pada kedua jenis tanah ... 41

18. Volume aliran permukaan setelah konversi tanah kosong dan semak menjadi hutan ... 42

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Sketsa siklus air ... 6

2. Jalur hijau di Jl. Dr. Semeru ... 30

3. Jalur hijau di Jl. Pemuda ... 30

4. Taman Topi (Jl. Kapten Muslihat) ... 30

5. Taman Kencana ... 30

6. Taman Peranginan (Jl. Sudirman) ... 30

7. Jalur hijau di Jl. Dadali ... 30

8. Kebun Raya Bogor ... 31

9. Jalur hijau Jl. Pajajaran ... 31

10. Halaman Istana Bogor ... 31

11. Jalur hijau Jl. Batu Tulis ... 31

12. Pemakaman Dreded ... 31

13. Arboretum Puslitbang Dephut Gunung Batu ... 31

14. Persentase kebutuhan air di Kotamadya Bogor (%) ... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data jumlah penduduk, rata-rata pertumbuhan penduduk per kelurahan/ desa

di Kotamadya Bogor ... 48

2. Data jumlah kebutuhan air harian dan tahunan setiap kelurahan/desa di Kotamadya Bogor ... 51

3. Data jumlah kebutuhan air harian dan tahunan sektor industri Kotamadya Bogor ... 52

4. Data lokasi dan luas taman di Kotamadya Bogor ... 53

5. Data curah hujan bulanan stasiun Katulampa tahun 1981-2003 ... 59

6. Data curah hujan bulanan stasiun Empang tahun 1991-2003 ... 60

7. Data curah hujan bulanan stasiun Kebun Raya tahun 2002-2006... 60

8. Rata-rata aritmatika curah hujan tahunan Kotamadya Bogor ... 60

9. Peta batas kecamatan Kotamadya Bogor ... 61

10. Peta batas kelurahan/desa Kotamadya Bogor ... 62

11. Peta penutupan lahan Kotamdya Bogor tahun 2007 ... 63

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan makhluk hidup. Makhluk hidup memerlukan air untuk bertahan dan melangsungkan metabolisme, sehingga dapat tumbuh dan tetap sehat. Menurut Leopold dan Davis (1972) dalam Chang (2002), manusia memerlukan minimal sekitar 1 kg/hari per m2 luas permukaan badan, atau sekitar 1-2 liter/hari untuk orang dewasa. Konsumsi tahunan untuk manusia adalah sekitar 5-10 kali berat badan. Air dalam tubuh manusia sekitar 60-90% berat badan. Tubuh manusia mendapat pasokan 47% air dari air minum dan 39% dari makanan padat.

Tumbuhan juga sangat tergantung pada air, karena air merupakan bahan dalam proses fotosistesis. Selain membutuhkan air, tumbuhan juga merupakan agen penting dalam proses pengaturan air. Mulyana et.al. (2007) menyatakan bahwa, hutan sudah sejak lama diyakini sebagai regulator air yang baik, yang mampu menyimpan air pada musim hujan dan mengeluarkannya di musim kering. Peranan tersebut tercermin dari proses meresapnya air hujan di lahan berhutan; sebagian air hujan yang sampai di lapisan permukaan tanah akan diabsorbsi oleh humus, sebagian besar lainnya akan berinfiltrasi dan terus meresap lebih dalam lagi melalui proses perkolasi. Aliran perkolasi tersebut akhirnya akan mencapai lapisan batuan (aquifer) membentuk persediaan atau kandungan air tanah (ground water) (Kartasepoetra et. al. ,1991). Aliran air perkolasi juga dapat mengisi sumber mata air. Mata air keluar jika terdapat pertemuan antara lapisan air impermeable dengan permukaan tanah.

Di sisi yang lain, wilayah kota umumnya memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi dan didominasi oleh lahan terbangun, sehingga lahan yang berfungsi meresapkan air dan menciptakan lingkungan yang nyaman sangat terbatas. Minimnya areal resapan di wilayah perkotaan menyebabkan berkurangnya jumlah air yang dapat terserap, sehingga aliran masuk untuk mengisi air tanah pun berkurang dan menyebabkan suplai air menurun. Padahal kondisi perkotaan yang padat penduduk menyebabkan tingginya kebutuhan air.

(14)

Untuk meningkatkan suplai air, maka hutan kota dapat menjadi areal resapan air hujan yang efektif. Air yang terserap kemudian tersimpan dan menjadi cadangan air tanah. Selain itu, hutan kota dapat menjadi harapan masyarakat kota untuk terciptanya lingkungan yang asri, nyaman dan sejuk. Manfaat utama lain dari hutan kota, antara lain dapat menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen.

Untuk adanya keselarasan antara pola kebutuhan air dan luas hutan kota, maka dilakukan perhitungan luasan hutan kota optimal. Penentuan luasan optimal hutan kota merupakan bentuk evaluasi terhadap kecukupan hutan kota. Hasil penelitian ini akan menentukan apakah luasan hutan kota di Kotamadya Bogor saat ini telah mencukupi atau belum, dengan menggunakan pendekatan kebutuhan air.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan luas optimal hutan kota yang dibutuhkan Kotamadya Bogor berdasarkan kebutuhan air.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil penelitian dapat dijadikan data pendukung untuk membuktikan peranan hutan kota dalam optimalisasi tata air.

1.4 Batasan Penelitian

Hutan kota yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lahan yang memenuhi kriteria hutan kota, yaitu lahan yang didominasi oleh pohon-pohon dalam kesatuan yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan. Meskipun menurut Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002, yang disebut dengan hutan kota harus ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang, namun dalam penelitian ini, bentuk hutan kota, seperti taman kota dan jalur hijau yang memenuhi kriteria hutan kota akan tetapi belum ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, tetap dianggap sebagai hutan kota. Berdasarkan kaidah hidrologi dan ekologi, areal-areal yang secara formal telah ditetapkan dengan yang belum ditetapkan sebagai hutan kota memiliki fungsi yang sama. Perbedaan keduanya hanya pada aspek legalitas saja, yakni pengukuhan oleh pejabat yang berwenang.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebutuhan Air

Kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia paling tidak dikelompokkan menjadi kebutuhan air domestik, industri dan ternak, pertanian dan perikanan.

2.1.1 Kebutuhan air domestik

Kebutuhan air setiap individu dapat bervariasi, hal ini tergantung pada beberapa faktor. Diantaranya adalah tingkat sosial, tigkat pendidikan, kebiasaan penduduk, letak geografis dan lain-lain. Menurut Puslitbang LIPI, kebutuhan dasar air tiap individu, digunakan untuk memenuhi keperluan minum, masak, mencuci dan lain-lain. Ketiga kegiatan ini merupakan kegiatan utama atau kegiatan minimal yang dilakukan seorang individu dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.

Kebutuhan untuk mengelola dan mengembangkan sumberdaya air timbul karena adanya kebutuhan air untuk suatu tujuan tertentu. Kebutuhan air pada suatu daerah tergantung pada jumlah penduduk dan pola konsumsi perkapita, sehingga perkembangan penduduk di wilayah tersebut sangat menentukan tingkat kebutuhan air di masa mendatang (Pawitan 1994 diacu dalam Adriyanto 2007). Tabel 1 memuat hasil survey konsumsi rata-rata air bersih di Indonesia.

Tabel 1. Konsumsi rata-rata air bersih (clean water) harian masyarakat Indonesia. Keperluan Konsumsi

(liter/orang/hari) Persentase (%)

Mandi, cuci dan kakus 12 8,7

Minum 2 1,4 Masak 10,7 7,7 Cuci pakaian 31,4 22,7 Kebersihan rumah 11,8 8,5 Taman 21,1 15,2 Cuci kendaraan 16,2 11,7 Wudlu 21,7 15,7 Lain-lain 11,6 8,4 Total 138,5 100

(16)

2.1.2 Kebutuhan air industri

Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan (Anonim, 2008). Berdasarkan banyaknya tenaga kerja yang bekerja pada industri, industri dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: industri besar, industri sedang, industri kecil dan industri rumah tangga. Perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja 100 orang atau lebih diklasifikasikan sebagai industri besar, 20 sampai dengan 99 orang diklasifikasikan sebagai industri sedang, 5 sampai dengan 19 orang diklasifikasikan sebagai industri kecil, dan kurang dari 5 orang adalah industri rumah tangga (BPS, 1996).

Kegiatan industri dalam prosesnya membutuhkan air untuk membantu kelangsungan proses produksi maupun kebutuhan domestik karyawan. Penggunaan air untuk industri diantaranya sebagai bahan mentah, pendingin, penggelontor kotoran, serta penggunaan lainnya dalam proses industri (Sugiarto, 1995). Berdasarkan banyaknya pemakaian air, jenis industri dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu industri besar, industri sedang dan industri kecil. Untuk industri besar, pemakaian air berkisar antara 151-350 m3/hari, industri sedang berkisar antara 51-150 m3/hari dan industri kecil berkisar antara 5-50 m3/hari (Purwanto, 1995).

2.1.3 Kebutuhan air ternak

Kebutuhan air ternak merupakan tingkat kebutuhan air yang diperlukan untuk pengoperasian peternakan. Meliputi pemberian air minum untuk ternak, tempat makan ternak, pengoperasian peternakan yang memproduksi susu dan kebutuhan lainnya di lahan peternakan (Purwanto, 2006). Pada Tabel 2 disajikan jumlah kebutuhan air untuk beberapa jenis ternak.

Tabel 2. Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari. Jenis Hewan Intake air (liter/hari)

Sapi potong 60

Sapi perah 60

Domba dan kambing 6

Kuda 45 Ayam 0,4 Sumber : Shirley (1978) dalam Dilaga (1992)

(17)

2.1.4 Kebutuhan air pertanian

Kebutuhan air pertanian merupakan suatu gambaran besarnya kebutuhan air untuk keperluan tumbuhnya tanaman sampai tanaman itu siap panen. Kebutuhan air ini harus dipertimbangkan terhadap jenis tanaman, kondisi tanah di lapangan, sifat-sifat tanah, cara pemberian air, pengolahan tanah, iklim, waktu tanam (pola tanaman), kandungan air tanah, efisiensi irigasi, curah hujan efektif, koefisien tanaman bulanan, pemakaian air konsumtif, perkolasi, kebutuhan air untuk tanaman dan kebutuhan air di lingkungan tanaman (Adriyanto, 2007).

2.1.5 Kebutuhan air perikanan

Kebutuhan air perikanan merupakan tingkat kebutuhan air yang diperlukan untuk perikanan. Penggunaan air yang dimaksud adalah penggunaan air untuk kolam. Kolam untuk perikanan sendiri terdiri dari berbagai tipe, misalnya kolam pemijahan, kolam pembibitan dan kolam pembesaran. Selain jenis kolam, jenis ikan juga akan berpengaruh pada kebutuhan air perikanan (Adriyanto, 2007).

2.2 Siklus Air / Siklus Hidrologi

Siklus air atau siklus hidrologi (hydrological cycle) merupakan rangkaian proses perubahan fase dan pergerakan air dalam suatu sistem hidrologi (bumi, pulau, DAS). Secara singkat proses siklus hidrologi dijelaskan Glossary of Hydrolgy, 1974 dalam Seyhan (1990) siklus hidrologi merupakan suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer ; evaporasi dari tanah atau laut maupun air pedalaman, kondensasi untuk membentuk awan, presipitasi, akumulasi di dalam tanah maupun dalam tubuh air, dan evaporasi kembali. Secara sistematis, siklus air disajikan dalam Gambar 1.

Siklus hidrologi meliputi proses evaporasi air dari lautan dan badan-badan air di daratan dan proses transpirasi dari vegetasi, proses kondensasi ke dalam bentuk awan atau bentuk pengembunan lain kemudian kembali lagi ke daratan dan lautan dalam bentuk presipitasi. Presipitasi adalah istilah umum untuk hasil kondensasi di atmosfer yang mencapai permukaan tanah, seperti hujan, salju, dan lapisan es mencair. Di wilayah tropis, umumnya hanya hujan yang diperhitungkan dalam analisis hidrologi. Selain proses-proses tersebut, siklus ini juga mencakup

(18)

proses transfer uap air, aliran limpasan dan peresapan air ke dalam tanah (Handoko, 1995).

Gambar 1. Sketsa siklus air.

Menurut Arsyad (2006), Di lahan bervegetasi, air hujan yang jatuh akan ditahan dan melekat di permukaan tumbuhan atau benda tersebut. Bagian air yang ditahan dan melekat di permukaan tumbuhan dan kemudian diuapkan disebut air intersepsi (interception), dan peristiwa penahanan air di permukaan tumbuhan disebut intersepsi

Bagian air hujan yang tidak diintersepsikan oleh permukaan tumbuhan, ada yang jatuh langsung melalui celah tajuk ke permukaan tanah atau tetesan daun disebut lolosan tajuk (through fall), dan ada yang mengalir di permukaan tumbuhan (ranting, batang) kemudian sampai ke permukaan tanah yang disebut aliran batang (stem flow).

Bagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah yang disebut suplai air permukaan tanah, akan mengalir di permukaan tanah atau masuk ke dalam tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah disebut aliran permukaan (run off), dan air yang masuk ke dalam tanah disebut air infiltrasi. Peristiwa masuknya air ke dalam tanah disebut infiltrasi (infiltration).

Air aliran permukaan akan terkumpul di dalam danau atau waduk dan sungai kemudian mengalir ke laut. Air infiltrasi sebagian akan menguap dari permukaan tanah dan kembali ke udara, sebagian lagi diserap tumbuhan kemudian kembali ke dalam tanah menjadi air bawah tanah (ground water) yang kemudian akan masuk

(19)

ke dalam sungai atau danau melalui aliran bawah tanah (ground water flow). Air di dalam danau, waduk, sungai dan laut akan menguap dan kembali ke udara. 2.2.1 Persamaan keseimbangan air

Menurut Arsyad (2006), persamaan keseimbangan air menyatakan hubungan antara komponen-komponen siklus air pada suatu waktu dan suatu massa tanah. Persamaan umum keseimbangan air dapat ditulis sebagai berikut :

(Air yang diterima) – (Air hilang) = (Air tersimpan) ……… (2-1) Adapun komponen persamaan kesemibangan air disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen persamaan keseimbangan air

Air yang diterima Air yang hilang Air tersimpan - Presipitasi : hujan, salju,

hujan es

- Kondensasi : embun (pada tumbuhan), kondensasi (pada tanah) - Aliran permukaan - Perkolasi - Evaporasi - Transpirasi - Perubahan

kandungan air tanah - Simpanan

permukaan

Embun dan kabut di wilayah tropis keduanya seringkali diabaikan dalam analisis hidrologi karena jumlahnya relative sangat kecil, sehingga hanya hujan yang diperhitungkan sebagai presipitasi. Menurut Arsyad (2006), pada waktu hujan lebat yang terjadi pada waktu singkat, maka kondensasi, adsorpsi, perkolasi, evaporasi dan transpirasi terjadi dalam jumlah yang kecil. Oleh karena itu, hanya aliran permukaan yang diperhitungkan.

Air Tersimpan = Curah Hujan – Aliran Permukaan...(2-2) Untuk perhitungan jangka panjang, evaporasi dan transpirasi (evapotranspirasi) mempunyai kontribusi besar terhadap pengurangan jumlah air yang dapat tersimpan, sehingga persamaan (2-2) menjadi :

Air tersimpan = Curah Hujan – ( Aliran permukaan + Evapotranspirasi) ...(2-3) 2.2.2 Presipitasi

Presipitasi meliputi semua air yang jatuh dari atmosfer ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam berbagai bentuk yang menjadi perhatian ahli meteorologi, tetapi bagi ahli hidrologi yang penting hanyalah membedakannya dalam

(20)

presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku (salju, batu es) (Linsley et.al, 1989).

Seyhan (1990), membedakan presipitasi berdasarkan arah datangnya, yakni presipitasi vertikal dan horizontal. Presipitasi vertikal jatuh di atas permukaan bumi dan diukur oleh penakar hujan. Sedangkan presipitasi horizontal dibentuk di atas permukaan bumi dan tidak diukur oleh penakar hujan.

Presipitasi vertikal meliputi :

a. Hujan : air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan dari uap di atmosfer.

b. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil.

c. Salju : Kristal-kristal kecil yang membeku yang secara langsung dibentuk dari uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang dari 10o C. d. Hujan batu es : Gumpalan es yang kecil, kebulat-bulatan yang

dipresipitasikan selama badai.

e. Sleer : Campuran hujan dan salju. Hujan ini disebut juga glaze (salju basah). Presipitasi horizontal meliputi :

a. Es : Salju yang sangat dipadatkan

b. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air halus di dekat permukaan tanah.

c. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku di atas permukaan tanah dan vegetasi. Disebut juga embun putih.

d. Embun : Air yang dikondensasikan sebagai air di atas permukaan tubuh yang dingin (permukaan tanah dan vegetasi) terutama pada malam hari. Embun ini menguap di pagi hari.

Indonesia merupakan wilayah tropis, sehingga salju, hujan es dan es mencair bukan hal yang biasa terjadi, maka presipitasi yang diperhitungkan dalam analisis hidrologi adalah hujan. Presipitasi merupakan komponen hidrologi yang penting, karena dapat menggambarkan tipe iklim suatu wilayah dan data presipitasi dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan data lain yang berkaitan dalam persamaan neraca air.

(21)

2.2.3 Aliran/limpasan permukaan

Menurut Arsyad (2006), aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah run off.

Beberapa terminologi terkait limpasan permukaan yang dikutip dari Seyhan (1990) adalah :

1. Limpasan : Bagian presipitasi yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus.

2. Aliran murni : Limpasan yang tidak dipengaruhi oleh pengaliran buatan, simpanan, maupun tindakan manusia lainnya pada atau di atas saluran maupun pada daerah aliran sungai.

3. Limpasan permukaan : Bagian limpasan yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai.

4. Limpasan bawah permukaan : Limpasan ini merupakan sebagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh bagian presipitasi yang berinfiltrasi ke tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju sungai.

Menurut Arsyad (2006), jumlah aliran permukaan menyatakan jumlah air yang mengalir di permukaan tanah untuk suatu masa hujan atau masa tertentu dinyatakan dalam tinggi kolom air (mm atau m) atau dalam volume (m3).

2.2.4 Evapotranspirasi

Tidak semua presipitasi yang mencapai permukaan secara langsung berinfiltrasi ke dalam tanah atau melimpas di permukaan tanah. Sebagian darinya, secara langsung atau setelah penyimpanan di permukaan (atau di bawah permukaan), hilang dalam bentuk evaporasi, yaitu proses dimana air menjadi uap, dan transpirasi yaitu proses dimana air menjadi uap melalui metabolisme tanaman (Eagleson, 1970 dalam Seyhan 1990). Jadi proses evapotranspirasi mengurangi air yang ada di permukaan bumi dan perubahan bentuk air menjadi uap dikarenakan adanya energi panas (matahari).

Evaporasi, transpirasi merupakan proses-proses penguapan, kedua proses ini sulit untuk diidentifikasi secara terpisah, sehingga sering disatukan menjadi

(22)

evapotranspirasi. Evapotransipirasi dalam neraca air bertindak sebagai outflow atau keluaran dalam neraca air (Handoko, 1995).

2.3 Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau

Hutan kota (Urban forest) ialah ruang terbuka yang ditumbuhi vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk perkotaan adalah kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya. Untuk wilayah perkotaan persyaratan luasan minimal dapat diganti dengan luas optimal hutan kota yang diperlukan untuk fungsi tertentu pada satu wilayah perkotaan serta dapat tersusun dari luasan yang lebih kecil dari 0,25 ha. Hutan kota menempati lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). RTH dapat tersusun dari taman, kebun dan pekarangan, jalur hijau dan hutan (Fakuara, 1987). Menurut Direktorat Jenderal Tata Ruang – Departemen Pekerjaan Umum (2009), Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota menjelaskan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

2.3.1 Tujuan dan sasaran hutan kota

Fakuara (1987) menyebutkan bahwa tujuan dan sasaran hutan kota ialah : 1. Memelihara keseimbangan antara lingkungan dalam dan lingkungan binaan. 2. Memperkecil berbagai polusi lingkungan seperti pencemaran udara, air,

suara dan visual.

3. Menciptakan lingkungan perkotaan yang baik dan nyaman. 2.3.2 Alasan pengembangan hutan kota

Dalam Fakuara (1987), menurut konsep ekosistem, vegetasi merupakan simpul dari pengaliran energi dan materi, karena vegetasi memegang peranan

(23)

sebagai sumber materi dan energi. Menurut siklus hidrologi, vegetasi dapat berperan dalam pengendalian air melalui intersepsi, transpirasi dan pengendalian air tanah, sehingga merupakan reservoir air tanah yang sangat esensial bagi keperluan makhluk hidup. Keberadaan komponen yang dapat memenuhi kebutuhan yang esensial itu harus diwujudkan dalam bentuk nyata baik wujud maupun pengelolaannya, sehingga keberhasilannya dapat diandalkan. Salah satu perwujudan yang mengarah pada kebutuhan di atas adalah pengembangan hutan kota, baik pengembangan segi ekstensifikasi maupun segi intensifikasi (peningkatan pengelolaan, pengelolaan teknik dan metoda, peningkatan monitoring dan evaluasi, dan sebagainya).

2.3.3 Fungsi dan manfaat hutan kota

Fungsi hutan kota sangat tergantung kepada komposisi dan keanekaragaman jenis dari komunitas vegetasi dan tujuan perancangannya. Secara garis besar fungsi hutan kota dapat dikelompokkan menjadi tiga fungsi yaitu fungsi lansekap (fungsi fisik dan sosial), fungsi pelestarian lingkungan dan fungsi estetika (Suriamiharja, 2005).

Beberapa manfaat hutan kota menurut Fakuara (1987) adalah : 1. Konservasi tanah dan air

Di kota-kota besar semakin banyak tanah-tanah yang tertutup oleh bangunan dan aspal, sehingga tidak mampu merembeskan air ke dalam tanah. Untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul maka dibangun hutan kota di daerah tertentu karena pohon-pohon dapat meningkatkan peresapan air dan menyimpannya di dalam tanah kemudian dipergunakan lagi, sehingga terjadi siklus hidrologi.

2. Ameliorasi iklim

Berkat kemajuan teknologi, manusia dapat mengatur suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara dalam ruangan tertutup tetapi belum mampu mengatur iklim di ruang terbuka. Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi manusia melalui pengaturan suhu, cahaya, kelembaban dan aliran udara.

(24)

3. Tempat rekreasi dan wisata

Di kota-kota besar kebutuhan rekreasi sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat modern. Adanya hutan kota memungkinkan kebutuhan penduduk kota terhadap rekreasi akan lebih cepat terpenuhi.

4. Kesegaran dan keindahan

Keadaan di bawah tegakan pohon pada siang hari suhunya lebih rendah dari pada di luar tegakan. Di samping akan menambah kesegaran, pohon-pohon yang mempunyai sifat-sifat tertentu juga mempunyai nilai kecocokan dengan bentuk dan warna benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya yang akan menambah keindahan pemandangan di perkotaan.

5. Habitat satwa

Satwa terutama burung sangat membutuhkan pohon sebagi tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pembangunaan hutan kota perlu memperhatikan pemilihan jenis yang disenangi burung-burung yang membutuhkan bunga, buah maupun biji sebagai makanannya.

6. Mengurangi pencemaran udara

Polutan dapat berupa gas ataupun partikel-partikel debu yang berasal dari cerobong asap industri, kendaraan bermotor maupun dari rumah tangga akan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Partikel-partikel debu yang melayang dapat dijebak oleh daun-daun, cabang dan ranting yang kemudian tercuci oleh air hujan.

7. Pelindung terhadap angin

Pohon dan semak mengatur angin dengan menghalangi, menyalurkan, membelokkan dan menyaring. Pengaruh dan tingkat pengaturannya tergantung pada ukuran jenis, kepadatan daun, bentuk tajuk, ketahanan serta penempatan jenis tanamannya. Pohon-pohon dapat mengubah aliran udara di atas lansekap dan di sekeliling bangunan, tetapi menempatkan pohon harus hati-hati karena dapat menghalangi aliran udara ke dalam ruangan.

(25)

8. Optimalisasi tata air

Pohon-pohon dapat menguapkan air dan mengurangi penguapan air tanah. Dengan demikian di bawah tajuk hutan kelembaban tinggi dan evaporasi lebih rendah. Di samping itu pohon dapat menahan butir-butir hujan dengan intersepsi. Vegetasi strata bawah dan serasah hutan dapat meningkatkan bahan organik, sehingga daya infiltrasi tanah meningkat, aliran permukaan berkurang dan erosi menjadi kecil.

Keefektifan aliran permukaan dan meningkatnya infiltrasi tergantung pada tipe tanah, kandungan bahan organik tanah, topografi, tipe, dan intensitas curah hujan dan susunan vegetasi penutup. Jenis pohon mempengaruhi intersepsi curah hujan. Intersepsi oleh jenis pohon konifer lebih besar dari pada oleh daun lebar. Kira-kira 60% curah hujan akan mencapai bumi setelah melalui tajuk konifer dan 80% setelah melalui tajuk daun lebar. Pola percabangan juga mempengaruhi laju intersepsi, pola percabangan horizontal adalah yang paling efektif.

2.3.4 Bentuk hutan kota

Kriteria hutan kota menurut Fakuara (1987) meliputi sasaran, fungsi yang penting, vegetasi, intensitas manajemen, status pemilikan dan pengelola. Kriteria tersebut merupakan persyaratan bagi beberapa bentuk hutan kota, yaitu taman, kebun dan pekarangan, jalur hijau dan hutan kota. Bentuk dan kriteria serta karakteristik hutan kota dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Hutan kota dapat diaplikasikan dengan berbagai desain yang memenuhi kriteria hutan kota antara lain (Dahlan, 1992) :

1. Jalur hijau

Pohon peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat listrik tegangan tinggi, jalur hijau di tepi jalan kereta api, jalur hijau di tepi sungai di dalam kota atau di luar kota dapat dibangun dan dikembangkan sebagai hutan kota guna diperoleh manfaat kualitas lingkungan perkotaan yang baik. Tanaman yang ditanam pada daerah di bewah jalur kawat listrik dan telepon diusahakan yang rendah saja, atau boleh saja dengan tanaman yang dapat menjulang tinggi, namun batas ketinggian tertentu harus diberikan pemangkasan.

(26)

2. Taman kota

Taman dapat diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah. Setiap jenis tanaman mempunyai karakteristik tersendiri baik menurut bentuk dan warnanya. 3. Kebun dan halaman

Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah seperti mangga, durian, jambu dan lain-lain atau jenis yang tidak diharapkan hasil buahnya seperti cemara, palem, pakis dan sebagainya. Selain itu, kebun atau halaman dapat dilengkapi dengan bebungaan yang indah, sayur-sayuran, empon-empon dan apotek hidup. 4. Kebun raya, hutan raya dan kebun binatang

Kebun raya, hutan raya, dan kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk hutan kota. Tanaman yang berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain, baik dalam maupun luar negeri.

5. Hutan lindung

Daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut, hendaknya dijadikan hutan lindung.

6. Pemakaman dan taman makam pahlawan

Pada tempat pemakaman banyak ditanami pepohonan. Nampaknya sebagai manifestasi kecintaan terhadap orang yang sudah meninggal tak akan pernah berhenti, selama pohon tersebut masih tegak berdiri.

(27)

Tabel 4. Karakteristik hutan kota dirinci menurut bentuknya

Bentuk Karakteristik

Hutan Kota Bukan Hutan Kota Taman Vegetasi utama didominasi oleh

tumbuhan berkayu yang memiliki kemampuan menghasilkan oksigen tinggi dan meredam polusi

Jenis tanaman didominasi oleh tanaman hias yang memiliki nilai keindahan yang tinggi

Kebun dan pekarangan

Vegetasi utama pohon-pohon yang memiliki kemampuan penghasil oksigen dan meredam polusi

Jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi

Jalur hijau Vegetasi terdiri dari semua strata : perdu, semak, pohon

Khusus jenis peneduh yang tahan terhadap gangguan Hutan Terletak di areal konservasi

perkotaan, jenis tanaman memiliki perakaran yang intensif, daur fisiologis tinggi, kemampuan menghasilkan oksigen

Letaknya jauh dari kota, fungsi utama meliputi lindung, produksi, wisata dan suaka. Daur sesuai dengan fungsi utamanya

Tabel 5. Bentuk dan kriteria hutan kota

Kriteria

Bentuk

Taman Kebun dan Halaman Jalur Hijau Hutan Sasaran Kawasan industri, pemukiman dan pusat kegiatan Pemukiman, daerah subur Jalan dan kawasan konservasi Areal konservasi Fungsi yang penting Ameliorasi iklim, estetika, produksi O2, rekreasi dan peredam polutan Produksi O2 dan tujuan ekonomi, ameliorasi iklim, estetika Ameliorasi iklim, produksi oksigen, peredam kebisingan dan peredam bau Hidro-orologis, ameliorasi iklim, produksi oksigen, fungsi konservasi lainnya

Vegetasi Tanaman hias Buah-buahan, tanaman hias, pohon lainnya Tumbuhan dari semua strata (perdu, semak, pohon) Pohon dengan tajuk lebar dan perakaran intensif

Intensitas manajemen

Tinggi Sedang Sedang Rendah

Status pemilikan

Umum dan perorangan

Perorangan Umum Umum Pengelola Dinas Pertamanan dan perorangan Perorangan Dinas Pertamanan Dinas Kehutanan /Dinas Pertamanan /Perorangan

(28)

2.4 Sumur Resapan

2.4.1 Pengertian sumur resapan

Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah (Kusnaedi, 2002).

2.4.2 Fungsi sumur resapan

Menurut Kusnaedi (2002), beberapa fungsi sumur resapan adalah sebagai pengendali banjir, melindungi dan memperbaiki konservasi air tanah dan menekan laju erosi. Sumur resapan dapat memperkecil aliran permukaan, sehingga permukaan tanah terhindar dari penggenangan aliran permukaan secara berlebihan yang dapat menyebabkan banjir.

Karakteristik kota yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, semakin berpotensi adanya penyedotan dan eksploitasi air tanah secara berlebihan yang dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah. Tanda-tanda penurunan muka air tanah terlihat pada keringnya sumur dan mata air pada musim kemarau. Dengan adanya sumur resapan, air hujan yang meresap ke dalam tanah tersimpan dalam tanah, sehingga dapat menjadi cadangan air dalam tanah. Semakin banyak air yang meresap ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi.

Sumur resapan dapat mengurangi aliran permukaan, sehingga laju erosi pun akan menurun. Bila aliran permukaan menurun, partikel tanah yang terkikis dan terbawa aliran permukaan akan berkurang, dengan demikian, erosi semakin kecil. 2.4.3 Prinsip kerja sumur resapan

Prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur, sehingga air dapat meresap ke dalam tanah. Tujuan utama dari sumur resapan adalah memperbesar masuknya air resapan. Dengan demikian, air akan lebih banyak masuk ke dalam tanah (Kusnaedi, 2002).

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kotamadya Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: a. Peta wilayah Kotamadya Bogor skala 1 : 180.000 tahun 2007.

b. Peta penutupan lahan Kotamadya Bogor skala 1 : 180.000 tahun 2007. c. Peta jenis tanah Kotamadya Bogor skala 1 : 180.000 tahun 2007. d. Software Microsoft Excel 2003.

e. Software ArcView GIS Versi 3.2. f. Komputer.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mempelajari materi yang berkaitan dengan hutan kota. Termasuk pustaka yang terkait faktor-faktor dalam penentuan luas hutan kota, seperti faktor hidrologi.

3.3.2 Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan pengumpulan data dari instansi terkait.

3.3.2.1 Observasi

Observasi dilakukan untuk mengetahui secara langsung lokasi dan kondisi ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah Kotamadya Bogor. Ruang terbuka hijau yang dimaksudkan adalah hutan kota, taman kota, kebun raya, pekarangan dan jalur hijau. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran aktual kondisi RTH Kotamadya Bogor. Selain itu, observasi dilakukan untuk peninjauan lapangan terhadap tata guna lahan di Kota Bogor.

(30)

3.3.2.2 Pengumpulan data dari instansi terkait

Data yang dikumpulkan merupakan data kuantitatif dari beberapa instansi terkait. Data yang dikumpulkan antara lain:

1. Jumlah penduduk dan laju pertambahan penduduk.

2. Konsumsi air per kapita untuk penduduk, industri dan ternak. 3. Kapasitas suplai air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). 4. Potensi air tanah.

5. Data curah hujan beberapa stasiun pengamatan.

6. Kondisi geografis Kotamadya Bogor, meliputi rincian luas dan jumlah penduduk setiap kelurahan/desa.

7. Data lokasi, luas dan tipe ruang terbuka hijau. 3.3.3 Analisis Data

3.3.3.1 Penentuan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan air

Luas hutan kota berdasarkan kebutuhan air merupakan hasil bagi antara defisit air yang terjadi di Kotamadya Bogor dibagi dengan kemampuan hutan dalam menyimpan air (S hutan). Defisit air merupaka selisih antara kebutuhan air total (KA total) dengan suplai air total (SA total). Rumus luas hutan kota berdasarkan kebutuhan air adalah:

LA = KA total – SA total ... (3-1) S hutan

3.3.3.1.1 Penentuan kebutuhan air total (KA total)

Dalam penelitian ini, kebutuhan air yang diperhitungkan adalah kebutuhan air domestik (KA d), kebutuhan air industri (KA ind) dan kebutuhan air ternak (KA tr). Kebutuhan air pertanian dan perikanan tidak dihitung, karena keduanya bukan merupakan kebutuhan air bersih (air jernih), dengan demikian, kebutuhan air (KA) total adalah:

KA total = KA d + KA ind + KA tr ... (3-2) 3.3.3.1.1.1 Kebutuhan air domestik (KA d)

Jumlah penduduk diperlukan untuk menghitung kebutuhan air total untuk penduduk. Jumlah penduduk pada tahun-tahun mendatang dapat diduga jika laju pertumbuhan penduduk diketahui. Dengan asumsi bahwa laju pertumbuhan linier per tahunnya, maka pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya pun linear

(31)

mengikuti laju pertumbuhannya. Dalam penelitian ini, data jumlah penduduk yang diperoleh adalah data tahun 2006, untuk untuk menduga jumlah penduduk pada tahun analisis (tahun 2007), maka diperlukan data laju pertambahan penduduk. Untuk meningkatkan ketelitian, maka perhitungannya dilakukan untuk setiap kelurahan/desa.

Jumlah penggunaan air setiap individu bervariasi, yang dapat dipengaruhi oleh faktor usia, agama dan tingkat kesejahteraan, akan tetapi dalam penelitian ini, faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kebutuhan air harian per orang, jumlah kebutuhan air harian yang digunakan adalah konsumsi rata-rata orang Indonesia, yakni sebanyak 138,5 liter/orang/hari yang telah disimpulkan oleh Gupta (1989) pada Tabel 1. Angka kebutuhan tersebut terhitung sebagai jumlah konsumsi rata-rata air setiap penduduk dan merupakan suatu kesatuan yang berasal dari berbagai tujuan penggunaan. Ketika terdapat salah satu atau lebih dari tujuan penggunaan tidak digunakan, seperti keperluan cuci kendaraan atau wudlu, hal tersebut tidak mempengaruhi jumlah konsumsi air setiap penduduk. Hal tersebut berdasarkan satuan pengguna air yang digunakan, yakni per satuan penduduk, bukan berdasar pada pemilik kendaraan atau pemeluk agama islam. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi air tidak diperhitungkan secara rinci. Adapun persamaan kebutuhan air domestik (KA d) adalah:

KA d = 365 hari*(Nt*(138,5/1000)) …………...…… (3-4) Dimana:

KA d : Kebutuhan air domestik (m3/th) N t : Jumlah penduduk (jiwa)

138,5/1000 : Angka kebutuhan air harian per orang (m3/hari) Rumus pendugaan jumlah penduduk adalah:

Nt = Np*(1+r)t ………...………… (3-3) Dimana:

Nt : Jumlah penduduk pada tahun analisis (jiwa)

Np : Jumlah penduduk pada tahun dasar hitungan (jiwa) r : Laju pertumbuhan penduduk

(32)

3.3.3.1.1.2 Kebutuhan air industri

Kebutuhan air industri dihitung berdasarkan jumlah penggunaan air bagi industri besar, menengah dan kecil. Penggunaan air industri besar rata-rata 250 m3/hari, industri sedang memakai 100 m3/hari sedangkan industri kecil pemakaiannya sebesar 25 m3/hari (Purwanto, 1995). Rumus kebutuhan air industri adalah:

KA ind = ∑ [365 hari*(N ind i *U ind i)] ...(3-5) Dimana :

KA ind : Kebutuhan air industri (m3/th)

N ind : Jumlah industri (unit)

U ind : Kebutuhan air harian per unit (m3/hari) i : Kategori skala industri

3.3.3.1.1.3 Kebutuhan air ternak

Kebutuhan air untuk ternak dibedakan menurut jenisnya sebagaimana dikemukakan oleh Shirley (1978) yang disajikan pada Tabel 2. Kebutuhan air ternak dapat ditentukan dari persamaan:

KA tr = ∑ [365 hari*(N tr i *U tr i)] ...(3-6) Dimana :

KA tr : Kebutuhan air ternak (m3/th) N tr : Jumlah ternak (ekor)

U tr : Kebutuhan air harian per ekor (m3/hari) i : Jenis ternak

3.3.3.1.2 Penentuan suplai air total (SA total)

Suplai air dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu suplai internal dan suplai eksternal. Suplai air internal berasal dari dalam kawasan Kotamadya Bogor, sedangkan suplai eksternal berasal dari luar kawasan Kotamadya Bogor. Suplai air total adalah jumlah dari suplai air PDAM (PAM), suplai air tanah (Pa) dan suplai air simpanan permukaan (SP).

SA total = PAM + Pa + SP.... ... (3-7) 3.3.3.1.2.1 Suplai air PDAM (PAM)

Suplai air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) serta air kemasan dikategorikan ke dalam suplai eksternal. Suplai air kemasan tidak diperhitungkan

(33)

dalam penelitian ini, karena luasnya pemasaran dan banyaknya merek yang diperdagangkan.

3.3.3.1.2.2 Suplai air tanah (Pa)

Suplai internal dapat dalam penelitian ini dibatasi dari dua sumber, yakni air permukaan dan air tanah. Air permukaan berupa air yang mengisi badan-badan air, seperti sungai, mata air kolam dan danau di wilayah Kotamadya Bogor. Dalam penelitin ini, air sungai dan danau tidak diperhitungkan. Sedangkan air tanah (Pa) merupakan air yang mengisi lapisan kedap air dalam tanah, atau yang sering disebut dengan air sumur. Air tanah dapat pula bersumber dari mata air. 3.3.3.1.2.3 Suplai air simpanan permukaan (SP)

Suplai lain yang diperhitungkan adalah air simpanan permukaan (SP) yang merupakan bagian air hujan yang tersimpan.

Dengan mensubtitusi persamaan (3-2) dan (3-7) ke dalam persamaan (3-1) maka persamaan tersebut dapat ditinjau ulang menjadi :

LA = (KA d + KA ind + KA tr) – (PAM + Pa + SP)...(3-8) S hutan

3.3.3.1.3 Penentuan nilai kapasitas hutan dalam menyimpan air (S hutan) Hujan (P) merupakan aliran masuk dari atmosfer ke permukaan bumi yang dapat mengisi badan air permukaan seperti waduk, sungai dan danau atau meresap menjadi air tanah (Ground water). Setiap tipe tutupan lahan memiliki kapasitas penyerapan yang berbeda, nilai tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi tanahnya.

Menurut Arsyad (2006), prediksi jumlah volume aliran permukaan (Q) akan berguna dalam menentukan volume simpanan air. Salah satu metode perhitungannya adalah metode Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat atau yang dikenal dengan sebutan metode US-SCS (United States-Soil Coservation Service). Berikut kerangka pemikiran metode tersebut:

Volume aliran permukaan (Q) tergantung besarnya pada curah hujan (P) dan volume simpanan yang tersedia untuk menahan air (S). Penahanan (retensi) aktual (F) adalah perbedaan antara curah hujan dan aliran permukaan. Selanjutnya, suatu volume air hujan pada permulaan hujan, yang disebut abstraksi awal (Ia) tidak akan menjadi aliran permukaan. US-SCS mengasumsikan hubungan curah hujan-aliran permukaan di dalam persamaan :

(34)

F = Q ...(3-9) S P-Ia

Retensi aktual (F), dengan memperhitungkan abstraksi aktual awal (Ia), adalah : F = (P-Ia)-Q ...(3-10) Dengan mensubtitusi persamaan (3-10) ke dalam persamaan (3-9) didapatkan persamaan berikut :

(P-Ia)-Q = Q ...(3-11) S P-Ia

Yang dapat dirubah menjadi :

Q = (P-Ia)2 ...(3-12) (P-Ia) + S

Abstraksi awal (Ia) yakni merupakan air hujan yang tidak akan menjadi aliran permukaan, tergantung kepada penggunaan tanah, perlakuan dan kondisi hidrologi, dan kandungan air tanah sebelumnya. Nilai Ia ternyata dapat diduga dengan baik menggunakan persamaan :

Ia = 0,2 S ...(3-13) Penelitian yang dilakukan sejak persamaan (3-13) dikembangkan menunjukkan bahwa persamaan (3-13) mungkin tidak benar untuk semua keadaan, akan tetapi masih dapat digunakan sampai penelitian lebih komprehensif dikembangkan. Dengan mensubtitusi persamaan 13) ke dalam persamaan (3-12) didapatkan persamaan sebagai berikut :

Q = (P-0,2 S)2 ...(3-14) (P + 0,8 S)

Dari penelitian empirik didapatkan bahwa S dapat diduga dari persamaan: S = 25400 - 254...(3-15) CN

Yang menyatakan Curve Number (CN) adalah bilangan kurva yang nilainya berkisar antara 1-100.

Nilai CN ditentukan untuk setiap jenis tutupan lahan pada suatu kelompok hidrologi tanah. Untuk suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kelompok hidrologi tanah, maka nilai CN ditentukan dengan metode rata-rata berbobot. Prinsip dasar metode tersebut adalah menghitung nilai rata-rata secara proporsional, dimana setiap variasi berkontribusi sebanding dengan bobotnya.

(35)

Dalam perhitungan nilai CN, digunakan bobot luas setiap variasi tanah, sehingga didapat persamaan:

CN i = ∑ (Wm,i * CNm,i) ...(3-16)

Wmi = Ami / Ai ...(3-17)

Dimana: CN i : Nilai CN rata-rata berbobot untuk tipe tutupan lahan i

Wm,i : Perbandingan luas tipe tanah m dengan luas total areal tutupan

lahan i

CNn,i : Nilai CN pada tipe tanah m untuk tipe tutupan lahan i

A mi : Luas tipe tanah m pada areal tutupan lahan i (ha)

Ai : Luas total areal tutupan lahan i (ha)

Menurut Arsyad (2006), tipe tanah, penggunaan tanah dan kondisi hidrologi penutup tanah adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh paling penting dalam menduga volume aliran permukaan.

a. Klasifikasi kelompok tanah

Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah berdasarkan sifat tanah yang mengelompokkan tanah ke dalam empat kelompok hidrologi:

Kelompok A : Pasir dalam, loess dalam, debu yang beragregat. Kelompok B : loess dangkal, lempung berpasir.

Kelompok C : lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah dan tanah-tanah berkadar liat tinggi.

Kelompok D : tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis dan tanah-tanah saline tertentu.

b. Kandungan air tanah sebelumnya

Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini, maka disusun tiga kondisi kandungan air tanah sebelumnya yakni:

Kondisi I : Tanah dalam keadaan kering, tetapi tidak sampai pada titik layu, telah pernah ditanami dengan hasil memuaskan. Kondisi II : Keadaan rata-rata.

(36)

c. Matriks penentuan nilai CN

Tabel 6. Bilangan Kurva (CN) untuk berbagai penutup tanah dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya : Kondisi II, dan Ia = 0,2 S.

No Penggunaan tanah / perlakuan / kondisi hidrologi

Kelompok Hidrologi Tanah

A B C D

1

Pemukiman Luas kapling Persentase kedap air - ≤500 m2 65 - 1000 m2 38 - 1300 m2 30 - 2000 m2 25 - 4000 m2 20 77 61 57 54 51 85 75 72 70 68 90 83 81 80 79 92 87 86 85 84 2 Tempat parkir diaspal, atap, dan jalan aspal dll 98 98 98 98

3

Jalan umum

- beraspal dan saluran pembuangan air - kerikil - tanah 98 76 72 98 98 85 98 89 87 98 91 89 4 Daerah perdagangan dan pertokoan 89 92 94 95 5 Daerah industri 81 88 91 93

6

Tempat terbuka, padang rumput yang dipelihara, taman, lapangan golf, kuburan dan lain-lain: - kondisi baik : 75% atau lebih tertutup rumput - kondisi sedang 50 – 75% tertutup rumput

39 49 61 69 74 79 80 84 7 Bera-larikan menurut lereng 77 86 91 94

8

Tanaman semusim : Baris : Menurut lereng – buruk Menurut lereng – baik

Menurut kontur – buruk Menurut kontur – baik Kontur & teras – buruk Kontur & teras – baik

72 67 70 65 66 62 81 78 79 75 74 71 88 85 84 82 80 78 91 89 88 86 82 81 9

Padi-padian : Menurut lereng – buruk Menurut lereng – baik

Menurut kontur – buruk Menurut kontur – baik Kontur & teras – buruk Kontur & teras – baik

65 63 63 61 61 59 76 75 74 73 72 70 84 83 82 81 79 78 88 87 85 84 82 81 10

Leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman : Menurut lereng – buruk

Menurut lereng – baik Menurut kontur – buruk Menurut kontur – baik Kontur & teras – buruk Kontur & teras – baik

66 58 64 55 63 51 77 72 75 69 73 67 85 81 83 78 80 76 89 85 85 83 83 80 11

Padang rumput penggembalaan : Menurut lereng – buruk

Menurut lereng – sedang Menurut lereng – baik Menurut kontur – buruk Menurut kontur – sedang Menurut kontur – baik

68 49 39 47 25 6 79 69 61 67 59 35 86 79 74 81 75 70 89 84 80 88 83 79 12 Padang rumput dipotong 30 58 71 78 13 Hutan : - buruk - sedang

- baik 45 36 25 66 60 55 77 73 70 83 79 77 14 Perumahan petani 59 74 82 86

(37)

3.3.3.2 Penentuan jumlah sumur resapan

Sumur resapan sebagai solusi akhir untuk menambah areal resapan dalam kota. Jumlah sumur resapan yang dibutuhkan (N sumur resapan) pada suatu jenis tanah i merupakan hasil bagi antara debit air masuk dengan debit sumur resapan (Q sumur resapan), sehingga didapat persamaan (3-18):

N sumur resapan i = Q debit masuk i ...(3-18)

Q sumur resapan i

Aplikasi sumur resapan khusus untuk wilayah pemukiman, dengan memanfaatkan aliran permukaan pada wilayah pemukiman sebagai debit air masuk.

Q debit masuk = Q pemukiman ... (3-19)

Dimana Q debit masuk yang bersumber dari aliran permukaan, minimal sejumlah defisit air yang terjadi, dengan syarat Q pemukiman > defisit air, sehingga menjamin ketersediaan air yang akan diserap. Untuk mengetahui jumlah sumur resapan yang dibutuhkan, maka diperlukan data debit suatu sumur resapan dengan menggunakan rumus pendekatan pada persamaan (3-20) (Bouilliot 1976 dalam Suripin 2002).

Q sumur = 2л LKH ...(3-20)

Ln [ L/R + √1+(L/R)2 ] Dimana :

Q : Debit sumur resapan (m3/dt) L : Kedalaman sumur (m)

K : Koefisien permeabilitas (m/dt) H : Tinggi muka air dalam sumur (m) R : Jari-jari sumur (m)

Kelas permeabilitas tersebut tergantung kapada tipe tekstur tanah. Nilai permeabilitas tanah untuk setiap kelasnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai permeabilitas tanah pada berbagai kelas.

Kelas/Sub kelas Permeabilitas (inchi/jam)

Lambat Sangat lambat Lambat 0,05-0,20 0,05

Sedang Agak sedang 0,20-0,80 Sedang 0,80-2,50 Agak cepat 2,50-5,00 Cepat Cepat 5,00-10,00 Sangat cepat 10,00 Sumber : Hakim (1986)

(38)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Wilayah Administratif dan Batas Wilayah Kotamadya Bogor

Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27% dari luas provinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah dan Tanah Sareal, yang meliputi 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT. Luasan kecamatan di Kota Bogor adalah:

1. Kecamatan Bogor Timur seluas 1.015 ha 2. Kecamatan Bogor Utara seluas 1.772 ha 3. Kecamatan Bogor Barat seluas 3.285 ha 4. Kecamatan Bogor Selatan seluas 3.081 ha 5. Kecamatan Bogor Tengah seluas 813 ha 6. Kecamatan Tanah Sareal seluas 1.884 ha

Kota Bogor dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut : 1. Batas sebelah Utara Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Sukaraja

Kabupaten Bogor.

2. Batas sebelah Timur Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor. 3. Batas sebelah Barat Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor. 4. Batas sebelah Selatan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten

Bogor.

4.2 Topografi

Kota Bogor mempunyai ketinggian rata rata minimal 190 meter di atas permukaan laut (mdpl), maksimal 350 mdpl, kemiringan lereng antara 0-3%, 4-15%, 16-30% dan diatas 40% dengan jarak dari Ibu Kota Jakarta kurang lebih 60 km, dikelilingi Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Gede.

(39)

4.3 Iklim

Kota Bogor dikenal dengan sebutan Kota Hujan karena memiliki curah hujan yang tinggi yaitu berkisar 3.500 - 4.000 milimeter per tahunnya. Kota Bogor memiliki udara rata - rata setiap bulannya adalah 26oC dan suhu udara terendah 21,8o C, dengan kelembaban udara kurang lebih 70%. Sedangkan curah hujan cukup besar setiap tahunnya yaitu berkisar antara 3500-4000 mm dengan luas 4.992,30 Ha, antara 4000-4500 mm dengan luas 6.424,65 ha, dan antara 4500-5000 mm dengan luas 433,05 ha, terutama pada bulan Desember sampai dengan bulan Januari.

4.4 Geologi

Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu gunung Pangrango dan Gunung Salak. Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari daerah aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil hasil dari pelapukan endapan yang baik untuk vegetasi.

4.5 Demografi

Ciri-ciri daerah perkotaan adalah kepadatan penduduk per kilometer persegi sangat tinggi diatas 5.000 jiwa/km2, untuk Kota Bogor rata-rata per kilometer ditempati sebanyak 7.419 jiwa penduduk. Kepadatan tertinggi ada di kecamatan Bogor Tengah yaitu sebesar 13.047 jiwa/km2 dan terendah ada di kecamatan Bogor Selatan 5.547 jiwa/km2. Pada tahun 2006, Kota Bogor berpenduduk 879.138 jiwa dengan komposisi 444.508 laki- laki dan perempuan 434.630 jiwa. 4.6 Perkembangan Kota

Perkembangan kegiatan kota cenderung berkembang menuju ke segala arah, terutama pada Wilayah perluasan dengan mengalihfungsikan lahan pertanian yang kurang produktif dan kebun campuran. Gambaran arah perkembangan fisik Kota Bogor sebagai berikut :

1. Bagian Selatan :

Yaitu Kecamatan Kota Bogor Selatan berpotensi sebagai daerah permukiman dengan kepadatan penduduk rendah dan Ruang Terbuka Hijau.

(40)

2. Bagian Utara :

Yaitu Kecamatan Bogor Utara berpotensi sebagai daerah industri Non-Polutan dan sebagai penunjangnya adalah permukiman serta perdagangan dan jasa dan kecamatan Tanah Sareal cenderung berpotensi sebagai permukiman, perdagangan dan jasa, serta fasilitas pelayanan kota.

3. Bagian Barat :

Yaitu kecamatan Bogor Barat berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh objek wisata.

4. Bagian Timur :

Yaitu Kecamatan Bogor Timur berpotensi sebagai daerah permukiman. 5. Bagian Tengah :

Yaitu Kecamatan Bogor Tengah berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah.

4.7 Tata Guna Lahan

Tata guna lahan di Kotamadya Bogor dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Tata guna lahan di Kotamadya Bogor tahun 2007.

Tipe land cover Luas (ha) Persentase (%)

Hutan 141,5 1,2 Kebun campuran 891,1 7,5 Perkebunan 401,2 3,4 Semak 234,6 2,0 Sawah 725,2 6,1 Pemukiman 8.578,8 72,4 Tanah Kosong 557,0 4,7 Situ/danau 109,3 0,9 Badan sungai 211,2 1,8 Total 11.850,0 100

Sumber : Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kotamadya Bogor.

Karaketer dari setiap tipe penutupan lahan pada Tabel 8 adalah sebagai berikut:

1. Hutan merupakan hamparan lahan yang didominasi oleh pepohonan yang kompak dan rapat.

2. Kebun campuran adalah lahan bervegetasi yang terdapat variasi strata dengan kerapatan sedang, .

(41)

3. Perkebunan merupakan penggunaan lahan untuk membudidayakan suatu komoditas pertanian/perkebunan.

4. Semak adalah lahan bervegetasi yang didominasi oleh tumbuhan perdu dan tumbuhan bawah.

5. Sawah merupakan lahan pertanian yang digenangi air, digunakan untuk menanam padi atau lainnya.

6. Pemukiman adalah lahan-lahan terbangun seperti bangunan perumahan, pertokoan, industri dan juga lintasan transportasi seperti jalan beraspal. 7. Tanah kosong adalah lahan dengan permukaan tanah terbuka tanpa ditutupi

bangunan, tetapi terdapat penutupan oleh rumput.

8. Situ/danau adalah sejumlah air (tawar ataupun asin) yang terakumulasi di suatu tempat cekung yang cukup luas dan cekungan tersebut dikelilingi oleh daratan.

9. Badan sungai adalah jalur mengalirnya air sungai di permukaan bumi dari tempat yang lebih tinggi mengarah ke tempat yang lebih rendah.

4.8 Kondisi Hutan Kota

Observasi terhadap hutan kota dilakukan di seluruh penjuru Kotamadya Bogor menyusuri jalan-jalan utama. Seperti jalur hijau di tepi Jl. Dr. Semeru, Jl. Pemuda, Jl. Pajajaran, Jl. Dadali, Jl. Batu Tulis, Jl. Siliwangi, Jl. Juanda. Taman kota yang didokumentasikan antara lain Taman Peranginan, Taman Kencana, halaman Istana Presiden dan Kebun Raya Bogor, sedangkan yang berupa hutan adalah Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Bogor tidak seluruhnya dikategorikan sebagai hutan, namun sebagian lagi merupakan taman yang dimasukkan ke dalam kelompok kebun campuran dalam peta citra landsat. Sebagian dokumentasi dapat dilihat pada Gambar 2 sampai dengan Gambar 13.

(42)

Gambar 2 Jalur hijau di Jl. Dr. Semeru Gambar 3 Jalur hijau di Jl. Pemuda

Gambar 4 Taman Topi (Jl. Kapten

Muslihat) Gambar 5 Taman Kencana

Gambar 6 Taman Peranginan (Jl.

(43)

Gambar 8 Kebun Raya Bogor Gambar 9 Jalur hijau Jl. Pajajaran

Gambar 10 Halaman Istana Bogor Gambar 11 Jalur hijau Jl. Batu Tulis

Gambar 12 Pemakaman Dreded Gambar 13 Arboretum Puslitbang Dephut Gunung Batu

(44)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kebutuhan Air Kotamadya Bogor

Kebutuhan air suatu kawasan tertentu yang dalam hal ini adalah Kotamadya Bogor, merupakan jumlah total dari segmen-segmen kebutuhan air yang diperhitungkan.

5.1.1 Kebutuhan air domestik

Kebutuhan air domestik di Kotamadya Bogor pada tahun 2007 adalah 46.038.160,63 m3/th. Rangkuman data kebutuhan air tahun 2007 setiap kecamatan tersaji dalam Tabel 9, berikut dengan data jumlah penduduknya. Kebutuhan air tertinggi terdapat di Kecamatan Bogor Barat karena berjumlah penduduk paling banyak yakni 202.294 jiwa, sedangkan kebutuhan air terminim dimiliki oleh Kecamatan Bogor Timur yang berjumlah penduduk 92.395 jiwa.

Pada tahun 2006, jumlah penduduk Kotamadya Bogor sebanyak 879.138 jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata di Kotamadya Bogor sebesar 0,0299, maka pada tahun 2007 jumlah penduduk mencapai 910.700 jiwa. Wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Bogor Utara sebesar 0,0494, sedangkan terendah adalah Bogor Tengah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk 0,0031.

Tabel 9 Jumlah penduduk Kotamadya Bogor tahun 2006 dan 2007, laju pertumbuhan penduduk dan total kebutuhan air domestik setiap kecamatan di Kotamadya Bogor.

Kecamatan Jumlah Penduduk th. 2006 (jiwa) Laju pertumbuhan penduduk Jumlah Penduduk th. 2007 (jiwa) Kebutuhan air Tahun 2007 (m3/th) Bogor Selatan 170.908 0,0289 177.257 8.960.805,18 Bogor Timur 89.237 0,0325 92.395 4.670.791,07 Bogor Utara 153.843 0,0494 162.481 8.213.820,06 Bogor Tengah 106.075 0,0031 106.564 5.387.053,34 Bogor Barat 195.808 0,0301 202.294 10.226.487,92 Tanah Sareal 163.267 0,0356 169.709 8.579.203,06 Kotamadya Bogor 879.138 0,0299 910.700 46.038.160,63

(45)

5.1.2 Kebutuhan air ternak

Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah kebutuhan air ternak di Kotamadya Bogor adalah 218.533,09 m3/tahun. Tabel 10 memuat kebutuhan air ternak di Kotamadya Bogor berdasarkan data jumlah dan jenis ternak yang diperoleh dari BPS.

Tabel 10 Jumlah total kebutuhan air untuk setiap jenis ternak. Jenis ternak Jumlah Ternak di

Kotamadya Bogor

Kebutuhan air total (m3/tahun) Sapi perah 1.612 35.302,80 Sapi potong 54 1.182,60 Kerbau 258 5.650,20 Kuda 64 1.051,20 Kambing 6.393 14.000,67 Domba 12.554 27.493,26 Ayam Kampung 720.727 105.226,14 Ayam Ras 188.152 27.470,19 Itik 7.918 1.156,03 Total 218.533,09

Sapi merupakan jenis ternak dengan kebutuhan air harian tertinggi yakni sebanyak 60 liter/hari, akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak ayam kampung, sehingga kebutuhan air ternak tertinggi adalah jenis ayam kampung. Jumlah ayam kampung tercatat sebanyak 720.727 ekor, dengan demikian jumlah kebutuhan air total per tahunnya adalah 105.226,14 m3/tahun. Kebutuhan air harian tiap jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah sapi potong merupakan jenis ternak paling sedikit, yakni sebanyak 54 ekor, akan tetapi kebutuhan air paling sedikit pada jenis ternak kuda yakni sebanyak 1.051,20 m3/tahun.

Tabel 11 Jenis dan jumlah ternak di setiap kecamatan tahun 2007.

Jenis ternak

Jumlah ternak di setiap kecamatan

Total Bogor

Selatan Bogor Timur Bogor Utara Tengah Bogor Bogor Barat Tanah Sareal

Sapi perah 686 19 0 0 71 836 1612 Sapi potong 10 7 7 0 5 25 54 Kerbau 152 23 0 0 58 25 258 Kuda 6 7 8 0 18 25 64 Kambing 128 116 3.008 581 212 2.348 6.393 Domba 3.420 690 2.953 496 1.083 3.912 12.554 Ayam kampung 25.846 31.711 166.146 22.383 197.304 277.337 720.727 Ayam ras 64.700 14.400 12.817 9.899 50.640 35.696 188.152 Itik 355 145 930 0 4.285 2.203 7.918

Gambar

Tabel 2. Konsumsi air pada beberapa jenis ternak per ekor per hari.
Gambar 1. Sketsa siklus air.
Tabel 3. Komponen persamaan keseimbangan air
Tabel 5. Bentuk dan kriteria hutan kota  Kriteria
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2002) tentang dampak usaha tambak udang terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara,

Base WO <F6> otvara prozor u kojem je moguće podešavanje osnovne nul točke.. Radno područje

Sedangkan berdasarkan Visi Indonesia Sehat 2010 adalah gambaran masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilku

Tabulasi Silang Antara Peranan Dalam Organisasi dengan stres kerja pada pekerja area manufacturing PT. Hasil ini dapat dikarenakan responden yang diteliti

Hasil Pengujian dari perbandingan alat peraga yang dibuat dengan modul praktikum sebelumnya, alat peraga praktikum yang dibuat ini mengahasilkan tegangan yang

Menurut Saudara, aktivitas penting yang perlu dilakukan pada fase identifikasi dalam workshop value engineering pada tahap pelaksanaan proyek bangunan gedung di PT X adalah :

Serta dengan meli- hat perbandingan, bahwa total effect sistem kerja berkinerja tinggi terhadap komitmen afektif me- lalui keadilan prosedural lebih besar dari pada di- rect effect