BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah mensejahterakan
rakyatnya1. Dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dapat digunakan
berbagai tolok ukur, diantaranya adalah kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan, serta perkembangan perekenomian2.
Kemajuan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pengaturannya di bidang hukum atau perundang-undangan. Salah satu peraturan bidang ekonomi adalah mengenai perseroan terbatas. Pengaturan mengenai perseroan terbatas pada awalnya dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang kemudian diubah dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan yang terakhir diperbaharui lagi dengan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
UUPT secara garis besar mengatur mengenai pendirian, modal dan saham, organ, hingga pembubaran dari suatu perseoran terbatas (selanjutnya istilah perseroan terbatas akan disebut perseroan). Penelitian ini akan difokuskan pada aspek modal dan saham perseroan.
Modal merupakan unsur yang sangat krusial bagi jalannya suatu perseroan. Terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan modal. Salah satu pengertiannya adalah bahwa modal merupakan uang tunai, kredit, ataupun
1 Tujuan negara tersebut dimuat dalam Alinea 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2 Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) khususnya bagian Menimbang huruf b.
hak milik total yang terdiri atas jumlah yang ditanam3. Pengertian lain mengemukakan bahwa modal merupakan hak atau bagian yang dimiliki oleh
pemilik perseroan yang ditunjukkan dalam pos modal, atau modal saham4. Modal
juga diartikan sebagai uang yang dipakai sebagai pokok (induk) untuk berdagang,
melepas uang, dan sebagainya5. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di
atas, dapat dilihat bahwa peranan modal sangat penting, baik dalam memulai, menjalankan, dan membagi laba dari sebuah kegiatan usaha perseroan.
UUPT tidak memberikan pengertian secara spesifik mengenai modal; namun ketentuan Pasal 31 ayat (1) UUPT menentukan bahwa modal dasar sebuah
perseroan terbagi atas seluruh nilai nominal saham6. Berdasarkan ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa modal yang dibicarakan dalam UUPT adalah saham. Pada umumnya, permodalan suatu perseroan terdiri dari modal dasar,
modal ditempatkan, dan modal disetor7. Modal dasar (Authorized Capital atau
Equity) adalah jumlah saham maksimum yang dapat dkeluarkan oleh perseroan.
Modal ditempatkan (Issued Capital) merupakan jumlah saham yang sudah diambil dan sebenarnya sudah terjual, baik kepada para pendiri maupun pemegang saham perseroan; sedangkan modal disetor (Paid up capital) adalah saham yang telah dibayar penuh kepada perseroan dan menjadi penyetoran saham
riil yang dilakukan oleh pendiri maupun para pemegang saham perseroan8. Dari
ketentuan yang ada, dimungkinkan bagi pendiri perseroan untuk memasukkan
3 Moekijat. 2000. Kamus Manajemen. Penerbit CV. Mandar Maju. Bandung. Hlm. 63 4
S. Munawir. 2004. Analisis Laporan Keuangan. Liberty. Yogyakarta. Hlm. 19 5
Nurul Oktima. 2012. Kamus Ekonomi. PT. Aksarra Sinergi Media. Surakarta. Hlm. 196
6 Binoto Nadapdap. 2016. Hukum Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang –
Undang No. 40 Tahun 2007. Penerbit Jala Permata Aksara. Jakarta. Hlm. 61
7
Gunawan Widjaja. 2008. Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham. Forum Sahabat. Jakarta. Hlm. 6
8 Jamin Ginting. 2007. Hukum Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007). Penerbit Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 55
modal disetor dengan besaran dibawah modal ditempatkan, dengan syarat sisanya dilunasi saat pendirian perseroan.
Pada awalnya saham yang dikeluarkan perseroan adalah sejumlah modal disetor, yaitu pada saat pendiriannya. Selanjutnya, apabila perseroan memerlukan tambahan modal, maka perseroan akan mengeluarkan saham dalam portepel sesuai dengan kebutuhannya. Menurut M. Yahya Harahap, saham portepel adalah
saham yang belum dikeluarkan atau belum ditempatkan9. Selain itu, salah satu
cara memenuhi kebutuhan permodalan, suatu perseroan juga dapat menjual sahamnya di bursa saham melalui proses Initial Public Offering (IPO).
Dalam perkembangan selanjutnya, terkait permodalan, perseroan tidak hanya mengeluarkan saham dalam portepel, tetapi juga dapat melakukan pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan. Pembelian kembali saham diartikan sebagai penguasaan kembali terhadap saham-saham yang telah beredar
(outstanding share) oleh perseroan yang menerbitkannya10. Sebuah Perseroan
dapat melakukan pembelian kembali saham dengan cara memberikan penawaran langsung kepada pemegang saham, dikenal juga sebagai tender offer. Alternatif berikutnya adalah dengan membeli saham di pasar regular sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.
Tujuan perseroan dalam melakukan pembelian kembali saham cukup beragam. Selain untuk memenuhi kebutuhan permodalan, perseroan juga dapat melakukan pembelian kembali saham demi meningkatkan harga saham beredar dengan cara mengurangi jumlah saham yang beredar. Selain itu, perseroan juga
9 M. Yahya Harahap. 2009. Hukum Perseroan Terbatas. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm. 238
10 Tri Budiyono. 2011. Problematika Pembelian Kembali Saham Dalam UU PT Dan UU Pasar Modal. Masalah-Masalah Hukum. (Selanjutnya disingkat Tri Budiyono I). Hlm. 39-45, diakes dari www.ejournal.undip.ac.id
dapat melakukan pembelian kembali saham guna meningkatkan rasio keuntungan per lembar saham. Hal ini juga dapat dilakukan oleh perseroan untuk membatasi
para pemegang saham dalam memegang kendali perseroan tersebut.11 Sebuah
perseroan dapat juga melakukan pembelian kembali saham karena permintaan oleh pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas, untuk membeli saham yang dimilikinya karena tindakan perseroan yang dianggap merugikan
pemegang saham12. Perseroan juga dapat melakukan pembelian kembali saham
dengan tujuan untuk mengamankan modal atau kekayaannya13.
Pada prinsipnya, tujuan perseroan dalam mengeluarkan saham adalah untuk mengumpulkan modal. Maka, sebuah perseroan tidak dibenarkan menguasai sahamnya sendiri. Hal tersebut juga dinyatakan secara jelas dalam UUPT, tepatnya dalam Pasal 36. Karena itu, pembelian kembali saham memiliki batasan-batasan yang diatur secara ketat dalam peraturan perundang-undangan. Karena batasan-batasan tersebut, maka sebuah perseroan tidak dapat secara penuh menguasai saham yang dikeluarkannya sendiri melalui pembelian kembali saham.
Pengaturan mengenai pembelian kembali saham dibedakan untuk perseroan non-publik dan perseroan publik. Perseroan non-publik adalah perseroan yang
didirikan dengan tidak menjual sahamnya kepada masyarakat luas14; sedangkan
yang dimaksud perseroan publik adalah perseroan yang menawarkan sahamnya
kepada masyarakat luas melalui bursa saham15. Klasifikasi terhadap perseroan
11
Ben Pettet. 2001. Company Law. Longman Pearson Education. England. Hlm. 305-306.
12 Tri Budiyono. 2011. Hukum Perusahaan. Griya Media. Salatiga. (Selanjutnya disingkat Tri Budiyono II). Hlm. 102
13 Agus Riyato. 2018. Arti ‘Buy Back Saham’ di PT Tertutup dan Terbuka. Diakses melalui www.business-law.binus.ac.id pada 12 November 2018
14 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2009. Seluk Beluk Perseroan Terbatas
Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 4
non-publik dan publik akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian berikutnya dalam penelitian ini.
Bagi perseroan non-publik, pembelian kembali saham berlaku ketentuan umum sebagaimana diatur dalam UUPT, khususnya ketentuan Pasal 37 sampai dengan 40, dan Pasal 62. Bagi perseroan publik, selain ketentuan UUPT, juga berlaku ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) serta tunduk pada peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengaturan mengenai pembelian kembali saham oleh
perseroan terbuka secara umum dituangkan dalam Peraturan No.
30/POJK.04/2017 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka (POJK No. 30/2017) sebagai pengganti Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. Kep-105/PM/2010 beserta Peraturan No. IX.B.2 sebagai lampirannya. Pengaturan pembelian kembali saham oleh perseroan publik yang lebih khusus adalah Peraturan No. 2/POJK.04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi Secara Signifikan (POJK No. 2/2013).
Secara pokok, UUPT mengatur mengenai pembelian kembali saham dalam Bab Kedua (Perlindungan Modal dan Kekayaan Perseroan). Terdapat dua pengelompokan ketentuan pembelian kembali saham dalam UUPT, yaitu yang bersifat sukarela/voluntary (Pasal 37–40), dan yang bersifat wajib/compulsory
(Pasal 62)16. Pasal 37-40 pada intinya mengatur mengenai syarat melakukan
buyback saham, ketentuan pengalihan, dan batas waktu penguasaan saham yang
dibeli kembali, sedangkan Pasal 62 mengatur mengenai hak pemegang saham
untuk meminta perseroan agar membeli kembali saham miliknya sebagai akibat ketidaksetujuannya atas satu atau lebih tindakan perseroan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pembelian kembali saham bagi perseroan terbuka berlaku ketentuan Pasal 28 ayat (3) UUPM. Pasal tersebut mengatur tentang pembelian kembali saham bagi perseroan reksa dana, baik
terbuka maupun tertutup17. POJK No. 30/2017 dan POJK No. 2/2013 merupakan
peraturan pelaksana undang-undang, yang dibuat dengan tujuan untuk menjaga kestabilan bursa efek dan melindungi kepentingan pasar atau pemegang saham. Secara garis besar, POJK No. 30/2017 mengatur mengenai ketentuan perseroan publik atau emiten untuk melakukan pembelian kembali saham, sedangkan POJK No. 2/2013 mengatur mengenai ketentuan perseroan publik atau emiten dalam melakukan pembelian kembali saham saat kondisi pasar mengalami fluktasi harga.
Penelitian ini akan difokuskan untuk mengkaji pengaturan mengenai pembelian kembali saham oleh perseroan non-publik berdasarkan UUPT dan oleh perseroan publik berdasarkan UUPM dan pengaturan mengenai prosedur pelaksanaannya, yaitu: POJK No. 2/2013 dan POJK No. 30/2017.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah adalah suatu pernyataan terperinci yang menjadi
pembatasan ruang lingkup permasalahan dalam suatu penelitian18. Adapun
17 Untuk menghindari kerancuan, reksa dana terbuka dan tertutup merujuk pada karakteristik reksadana sebagai produk, dan bukan merujuk pada status perseroannya, yakni perseroan terbuka.
18 Sri Mamudji, et al. 2005. Metode Penelitiian dan Penulisan Hukum. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hlm. 15
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan mengenai pembelian kembali saham bagi perseroan non-publik dan publik?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan penulis dalam melakukan penelitian adalah:
1. Mengkaji mengenai pengaturan dalam melakukan pembelian kembali saham bagi perseroan non-publik dan publik.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa kajian mengenai perkembangan hukum perusahaan, khususnya mengenai pelaksanaan pembelian kembali saham. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan menjadi rujukan dalam pelaksanaan pembelian kembali saham bagi perseroan non-publik dan publik.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian hukum ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan menjadikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembelian kembali saham sebagai obyek penelitian19.
19 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 4
2. Pendekatan Penelitian
Penulis akan melakukan pengkajian terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pembelian kembali saham pada perseroan melalui pendekatan perundang-undangan
atau statue approach20.
3. Bahan Hukum
Untuk kepentingan penelitian hukum normatif ini akan digunakan tiga jenis bahan hukum, yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang memiliki
kekuatan hukum yang mengikat21. Adapun bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1) Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 2) Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal;
3) POJK No. 30/OJK.04/2017 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka, dan
4) POJK No. 2/POJK.04/2013 tentang tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi Secara Signifikan. b. Bahan hukum sekunder
20 Peter Mahmud Marzuki. 2016. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Hlm. 133 21 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hlm. 11
Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang berhubungan
erat dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer22. Bahan
hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini mencakup:
1) Buku-buku yang menjelaskan tentang Hukum Perusahaan, khususnya mengenai pembelian kembali saham oleh perseroan non-publik dan perseroan publik;
2) Berbagai jurnal Ilmu Hukum mengenai pembelian kembali saham;
3) Berbagai refrensi lainnya terkait pembelian kembali saham oleh perseroan, antara lain berupa: artikel, berita media cetak, serta tulisan-tulisan yang dimuat baik dalam media cetak maupun
online.
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier, merupakan bahan-bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder23,
yang ikut disertakan dalam melakukan penelitian hukum ini adalah kamus-kamus yang berkaitan dengan pembelian kembali saham oleh perseroan, baik kamus ekonomi maupun kamus hukum.
F. Tekhnik Analisis
Penulis akan mengkaji pengaturan mengenai pelaksanaan pembelian kembali saham bagi perseroan non-publik dan publik, yang diatur dalam UUPT, UUPM, POJK No. 2/2013 dan POJK No. 30/2017.
22 Ronny Hanitijo Soemitro, Ibid, hlm. 12 23 Ronny Hanitijo Soemitro, Ibid.
G. Unit Amatan & Unit Analisis
Unit amatan dari penelitian ini adalah ketentuan bagi perseroan non-publik dan publik untuk melakukan pembelian kembali saham. Sedangkan unit analisisnya adalah UUPT, UUPM, POJK No. 2/2013 dan POJK No. 30/2017.