TINJAUAN PUSTAKA
Taman Nasional Gunung Leuser
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan sebagai kawasan strategis karena kawasan penyangga ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan memberikan penyangga bagi Wilayah disekitarnya yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga merupakan habitat penting bagi flora dan fauna karena kawasan ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan memberikan jasa lingkungan kepada Wilayah sekitarnya aspek perlindungan yang selama ini diberikan oleh kawasan penyangga tersebut antara lain meliputi perlindungan hidrologis, perlindungan ekosistem dan flora, fauna langka serta pengawetan hutan, tanah dan air (Ahmad, 1999).
Cagar Biosfer Gunung Leuser mempunyai keanekaragaman jenis yang sangat tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan pegunungan tinggi. Tidak kurang dari 3.200 jenis tumbuhan telah teridentifikasi di antaranya adalah suku Dipterocarpaceae. Banyak jenis dari Dipterocarpaceae yang berpotensi untuk bahan industri, kerajinan, obat dan kosmetik. Jenis tumbuhan langka yang terdapat di area inti ini adalah Johannesteijsmannia altifrons dan 3 jenis bunga rafflesia yaitu Rafflesia arnoldi, R. micropylora, R. rocbussenii dari 15 jenis yang ada di dunia (Mogea, 2004).
Aras Napal
Aras Napal merupakan sebuah dusun yang berbatasan langsung dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Menurut masyarakat sekitar, Aras Napal memiliki arti yaitu, arus yang mengalir diatas sebuah tanah yang oleh masyarakat sekitar. Secara administratif, Aras Napal terletak di Desa Bukit mas, kecamatan
Besitang kabupaten Langkat Sumatera Utara. Dusun Aras Napal terbagi dua yaitu Dusun Aras Napal Kiri yang berada disebelah kiri Sungai Besitang bila berangkat dari Hilir dan Dusun Aras Napal Kanan di sebelah kanan Sungai Besitang (Panjaitan, dkk. 2009).
Kawasan hutan di Aras Napal termasuk pada tipe hutan dataran rendah dengan ketinggian antara 75-100 m. Topografi kawasan umumnya dataran landai hingga perbukitan yang landai hingga curam. Iklim di kawasan ini sangat basah tanpa bulan kering. Terdapat spesies flora endemik yang hanya ditemukan di hutan Sekundur dekat Dusun Aras Napal yakni Daun Sang (Johannesteijsmania altifrons). Lokasi hutan Aras Napal dapat ditempuh dengan mobil atau bus hingga di Tekong Pantai Buaya Desa Bukit Mas. Untuk menuju ke Dusun Aras Napal perjalanan dilanjutkan dengan memakai boat/perahu mesin menyusuri Sungai Besitang sejauh 8 km atau sekitar 45 menit. Jalur lain menuju Dusun Aras Napal yakni dengan menyebrangi Sungai Besitang dengan getek (perahu penyebrangan) kemudian dilanjutkan dengan naik ojek atau berjalan kaki sejauh 4 km melintasi perkebunan sawit, ladang masyarakat dan batas hutan TNGL (Thoha, 2009).
Ciri-ciri Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons)
Tumbuhan unik Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) merupakan anggota palmae atau palem (Arecaceae). Ciri khas tanaman unik ini mempunyai daun berbentuk berlian dengan ukuran mencapai panjang 6 meter dan lebar 1 meter, meskipun rata-rata yang ditemui hanya sepanjang 3 meter. Daun dari tumbuhan unik Daun Sang ini langsung menyembul dari tanah karena batang tanaman unik ini hanya pendek dan biasanya tersembunyi di tanah. Daun Sangtermasuk tumbuhan yang tidak tahan terhadap sinar matahari secara langsung sehingga tanaman unik ini lebih sering
ditemukan hidup di bawah naungan pepohonan. Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons) hidup secara berkelompok membentuk rumpun namun penyebarannya sangat terbatas (Alamendah, 2010).
Penyebaran Daun Sang
Seorang ahli ekologi hutan tropis (Whitmore, 1972) mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul “Palm of Malaya” bahwa hanya ada satu jenis saja dari marga
Johannesteijsmannia di dunia yaitu, Johannesteijsmannia altifrons saja. Kemudian pada tahun yang sama John Dransfield, seorang ahli botani dari Inggris melakukan revisi kembali terhadap marga ini, ditemui tiga jenis baru yang dibedakan berdasarkan karakter morfologinya yaitu Johannesteijsmannia parekensis yang hanya tumbuh di hutan tropis perak, Malaysia, dan Johannesteijsmannia magnifica, serta
Johannesteijsmannia lanceolata yang tersebar di Selanggor dan Negeri Sembilan, Malaysia sedangkan Daun Sang Johannesteijsmannia altifrons penyebarannya lebih luas lagi di Semananjung Malaya, Serawak Barat dan Sumatera (Taman Nasional Gunung Leuser) (Priatna, 2001).
Pemanfaatan Daun Sang
Ternyata sudah sejak lama masyarakat lokal memanfaatkan Daun Sang sebagai salah satu hasil hutan non-kayu. Mereka menggunakan Daun Sang tersebut untuk dinding dan mengatapi rumah-rumah tradisionalnya, misalnya di Kampung Jawa, Aras Napal, Kabupaten Langkat sampai saat ini masih ada beberapa rumah penduduk yang beratapkan Daun Sang. Jadi Daun Sang ini kalau disusun dengan baik, dinding dan atap dari Daun Sang ini dapat bertahan 3-6 tahun (Priatna, 2001).
Faktor Penyebab Kelangkaan Daun Sangdan Hutan Tidak Lestari
Adanya perubahan habitat yang terjadi yaitu berupa penebangan hutan serta pemanfaatan oleh masyarakat, konversi hutan menjadi perkebunan seperti perkebunan sawit merupakan penyebab berkurangnya populasi Daun Sang (Johannesteijsmannia altifrons). Dengan adanya konversi hutan menjadi lahan perkebunan sehingga terjadi pembukaan tajuk, menyebabkan sinar matahari langsung menerpa Daun Sang lama-kelamaan mengering dan mati. Mengupayakan pencegahan pembukaan hutan berarti mencegah punahnya jenis tanaman endemik ini (Witono, dkk. 2009).
Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan secara berlebihan atau kurang bijaksana akan menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup. Seharusnya pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan memperhatikan dan menerapkan asas-asas pelestarian lingkungan hidup. Kemajuan teknologi produksi dalam eksploitasi telah mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup (Manik, 2009).
Persepsi dan Prilaku Masyarakat
Persepsi manusia terhadap lingkungan (environmental perception) merupakan persepsi spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu setting (ruang) oleh individu yang didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda terhadap objek yang sama karena tergantung dari latar belakang yang dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi dan transportasi (Umar, 2009).
Secara umum diketahui bahwa akibat kegiatan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sering terjadi degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan adalah menurunnya peruntukan lahan akibat kegiatan manusia dalam mempengaruhi lingkungannya yang nantinya juga akan berdampak negatif terhadap manusia itu sendiri. Akibat dampak-dampak negatif yang timbul itu, maka perhatian terhadap keadaan lingkungan hidup mulai bermunculan satu per satu dari tiap kalangan, yang pada intinya mereka menuntut adanya perlakuan khusus terhadap lingkungan hidup agar kelestariannya tetap terjaga (Suryohadikusumo, 2008).
Interaksi Masyarakat Terhadap Lingkungan
Ada satu tahapan (evolusi) yaitu adanya interaksi antara manusia dan lingkungan. Tahapan tersebut dimulai dari tahap yang sangat sederhana, dimana manusia tunduk pada alam (pan cosmism) sampai pada tahapan yang multi kompleks dimana manusia menguasai dan mengeksploitasi alam (anthropocentris), dan sekarang tahapan evolusi tersebut telah menginjak kepada paradigma yang dicita-citakan, yakni kehidupan manusia yang selarasdengan alam (holism) (Hadi, 2000 dalam Umar, 2009).
Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya, yaitu yang disebut fenotipe adalah perwujudan yang dihasilkan oleh interaksi sifat keturunannya dengan faktor lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya tidaklah sederhana, melainkan kompleks, karena pada umumnya dalam lingkungan hidup itu terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat segera terlihat dan dirasakan (Soemarwoto, 2004).
Kearifan Lingkungan
Hubungan antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan disekitarnya, bahwa ‘kearifan lokal’ identik dengan pengetahuan tradisional. Kearifan lokal (termasuk di dalamnya kearifan lingkungan) merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari (Sardjono, 2004).
Secara umum keterlibatan masyarakat yang semakin dekat terkait dengan kegiatan usaha pokok akan memberi dampak yang lebih besar dan lebih terjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu program/usaha berbagai pihak, termasuk para pengusaha dalam rangka membangun masyarakat desa sekitar hutan seharusnya memiliki bentuk-bentuk kegiatan yang lebih dekat terkait dengan usaha kehutanan yang pokok, atau bahkan merupakan bagian yang terpadu dengan kegiatan usaha pokok tersebut (Darusman, 2002 dalam Sukardi, 2009).
Peraturan Perundangan Ekosistem Lingkungan Hidup dan Tanaman Endemik yang Dilindungi
Kebijakan pemerintah yang sesuai dengan upaya pelestarian hutan dan ekosistem lingkungan hidup pada Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-VI/1997 tentang penunjukkan Taman Nasional Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara. Sikap terhadap upaya untuk kawasan konservasi yaitu dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam Hayati dan Ekosistem Lingkungan Hidup disebutkan bahwa konservasi sumberdaya
alam hayati mengandung tiga aspek, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan yang lestari.
Dalam pasal 24 ayat (1), (2), dan (3), Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam Hayati dan Ekosistem Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan diterapkan dalam kawasan konservasi akan dipidana penjara antara 1 sampai 10 tahun dan dikenakan denda sebesar Rp 5 juta rupiah sampai Rp 200 juta
Kebijakan pemerintah yang terkait dengan upaya perlindungan tanaman endemik dan langka yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa pada pasal 5 ayat 1 (a, b dan c) bahwa Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:
a. mempunyai populasi yang kecil
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam
c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Dan juga pada pasal 6 bahwa Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).