TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Umum Lokasi
Luas dan Status Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan
berdasarkan pengumuman Menteri pertanian No 811/kpts/UM/1980 tanggal 6
Maret 1980 seluas 792.675 Ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 276/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 tentang Penunjukan Taman Nasional
Gunung Leuser luas kawasan TNGL bertambah menjadi 1.094.692 Ha, yang
terdiri dari Suaka Margasatwa Gunung Leuser seluas 416.500 Ha, Suaka
Margasatwa Kluet seluas 20.000 Ha, Suaka Margasatwa Langkat Barat seluas
51.000 Ha, Suaka Margasatwa Langkat Selatan seluas 82.985 Ha, Suaka
Margasatwa Sekunder seluas 79.500 Ha, Suaka Margasatwa Kappi seluas 142.800
Ha, Taman Wisata Lawe Gurah seluas 9.200 Ha, Hutan Lindung dan Hutan
Produksi Terbatas seluas 292.707 Ha (YOSL-OIC, 2011).
Kawasan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang
yang luasnya ± 126.000 Ha berada di wilayah Kabupaten Langkat terletak di
Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan dan sebagian di kabupaten
Aceh Tamiang. Untuk pemangkuan wilayah kerja dibagi dalam 6 (enam) Resort,
yaitu Resort Trenggulun, Sei Betung, Sekoci, Sei lepan, Cinta Raja, dan
Tangkahan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi
permasalahan yang sangat kompleks bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan
TNGL. Untuk data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat
kerusakan seluas 43.623 Ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688
Ha. Sedangkan menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI)
menunjukkan kerusakan seluas 22.000 Ha, tanpa menyebutkan luas kawasan tak
berhutan. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan
kawasan TNGL menjadi agenda utama dari pengelolaan kawasan oleh Balai
TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat
(YOSL-OIC, 2011).
Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (Sumber : Dok. YOSL-OIC, 2011)
Taman Nasional Gunung Leuser, Resort Sei Betung Desa Halaban,
Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sematera Utara memiliki 2 tipe hutan
yang berbeda yaitu hutan primer dengan luas 3000 Ha dan hutan sekunder dengan
luas 500 Ha.
Gambar 2. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung (Sumber : Dok. YOSL-OIC, 2011)
Topografi
Topografi datar sampai perbukitan dan merupakan hutan hujan tropika
dataran rendah (low land forest). Ketinggian tempat 0 - 3.381 m dpl.
Hutan Primer Resort Sei Betung
Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur
lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta dengan
demikian memiliki sifat-sifat ekologis yang unik. Pada umumnya hutan primer
berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan pohon-pohon mati
yang masih berdiri tegak, tunggul serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu
tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan yang memungkinkan
masuknya cahaya matahari ke dalam hutan dan merangsang pertumbuhan vegetasi
lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan manusia biasa disebut hutan
Kehancuran habitat ini pada gilirannya menurunkan tingkat keanekaragaman
hayati. Hal ini tidak hanya mepengaruhi kelestarian hutan primer itu sendiri, tetapi
juga keberadaan spesies-spesies asli yang kehidupannya bergantung pada
lingkungan yang disediakan hutan primer (Widiani, 2014).
Hutan alami (primer) Resort Sei Betung didominasi oleh Meranti
(Shorea sp), bulung ayam (Hopea blangeran), kruing (Dipterocarpus sp), munel
(Drypetes langifola), medang (Litsea sp), dll. Pohon-pohon besar dan tinggi
sangat mudah ditemui. Begitu juga dengan satwa liar seperti gajah
(Elephas maximus), siamang (Hylobates syndactilus), kera (Macaca fascicularis),
beruk (Macaca nemestriana) dan kedih (Presbytis thomasi), beruang (Helarctos
malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan tentu saja orangutan Sumatera
(Pongo abelii) (Darsimah, 2014).
Penelitian yang Telah Dilakukan di Lokasi
Pada kawasan ini telah dilakukan beberapa penelitian di antaranya adalah:
1. Penelitian mengenai studi biologi (Ficus spp.) yang dilakukan oleh Darsimah
(2014). Hasil yang diperoleh yaitu terdapat 10 jenis Ficus spp. di hutan primer
dengan indeks dominansi rendah (0,1) dan 4 jenis Ficus spp. di hutan sekunder
dengan indeks dominansi tinggi (1,05) dan spesies yang mendominasi
adalah Ficus jistulosa Reinw (0,8). Keanekaragaman Ficus spp. di hutan
primer (H’= 2,3) dengan kategori sedang, sedangkan di hutan sekunder (H’ =
0,4) dengan kategori rendah, kerapatan Ficus spp. di hutan primer (15,6
individuI Ha), di hutan sekunder (67,15 individuIHa) dengan kerapatan jenis
2. Analisis jenis pohon buah pakan di sekitar sarang orangutan sumatera
(Pongo abelii) di hutan primer dan hutan sekunder oleh Indah Widiani (2014).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu terdapat 68 jenis pohon pakan
dengan jumlah pohon pakan sebanyak 775 pohon.
3. Pemodelan spasial kesesuaian habitat orangutan sumatera oleh Muhammad
Gojali Harahap (2014). Penelitian ini memperoleh hasil analisis SIG
menghasilkan 4 peta kesesuaian habitat yaitu peta kesesuaian jarak dari jalan,
peta kesesuaian jarak dari desa, peta kesesuaian jarak dari sumber air, dan peta
nilai NDVI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa areal restorasi Sei Betung
layak dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan, tentu dengan lokasi
yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian habitat orangutan.
4. Identifikasi keanekaragaman jenis burung di kawasan Restorasi Resort Sei
Betung, oleh Duma Fransisca Sihotang (2012). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa indeks keanekaragaman burung di tengah hutan adalah 3586 serta hutan
tepi adalah 3,554. Kedua hasil dikategorikan sebagai tingkat keragaman
yang tinggi, sementara wilayah restorasi dikategorikan sebagai tingkat
keragaman menengah dengan nilai 3095 indeks.
B. Klasifikasi Orangutan
Berdasarkan taksonominya, menurut Groves (1971) orangutan sumatera
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Ordo : Primata
Sub Ordo : Anthropoidea
Famili : Hominoidea
Subfamili : Pongidae
Genus : Pongo
Spesies : Pongo abelii Lesson, 1887
Taman Nasional Gunung Leuser merupakan rumah terbesar bagi satwa
orangutan sumatera yang merupakan satwa endemik Sumatera. Merupakan satwa
eksotis dan kebanggan Leuser. Orangutan Sumatera merupakan spesies payung di
habitatnya, karena ia mewakili stuktur keanekaragaman hayati. Variasi dan jenis
makanan orangutan sangat tinggi (lebih dari seribu spesies). Faktor pembatas
utama bagi pemenuhan kebutuhan orangutan adalah keanekaragaman pohon dan
jenis liana tertentu dan musim ketersediaan jenis makanan pokoknya yang harus
terus ada dalam wilayah jelajahnya. Wilayah jelajah dan persyaratan habitat
orangutan yang cukup luas, sehingga jika dijadikan fokus pengelolaan
perlindungan, maka seluruh keanekaragaman hayati asli di dalam area jelajahnya
akan ikut terlindungi.
Orangutan pada Resort Sei Betung sebagian besar merupakan orangutan
sumaterayang dilepasliarkan. Kuswanda (2011) yang mengacu dari van Schaik et
al., (1995) dan Meijaard et al., (2001), kriteria habitat yang sesuai dengan
reintroduksi orangutan yaitu :
1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara.
2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan.
4. Luas habitat yang cukup ideal.
Satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 Ha atau 1 km2.
Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5–6
individu dalam luasan 1 km2.
5. Kerapata vegetasi tinggi.
Kerapatan vegetasi pada habitat untuk reintroduksi diharapkan mencapai
400-550 pohon/Ha. Indeks keanekaragaman jenis pada setiap tingkat
pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) berada pada selang 2,5 ≤
H maks ≤ sehingga masih tergolong stabil.
6. Persentase pohon pakan orangutan
Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya 60 – 80%
jenis pohonnya teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.
7. Sebaran pohon sarang yang cukup
Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridentifikasi paling sedikit
30-40 % dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan.
8. Menyediakan tumbuhan obat bagi orangutan
Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30-40 % dari jumlah tumbuhan
sumber pakan yang berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan.
Perilaku Orangutan
Orangutan pada umumnya bersifat individu atau soliter dan pada saat
tertentu dapat hidup berdampingan dengan individu yang lain, seperti saat
reproduksi dan induk betina dengan anak yang belum mandiri. Orangutan bersifat
Orangutan selalu membuat sarang untuk tidur menjelang malam. Kehidupan
orangutan dihabiskan di atas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan,
kecuali untuk memakan rayap. Aktivitas orangutan dipengaruhi oleh musim
berbuah dan cuaca (Supriatna dan Edy, 2000).
Sifat arboreal yang ada pada orangutan dikarenakan untuk menghindari
pemangsa khususnya harimau sumatera dan menurut Sugardjito (1983) dalam
Prasetyo (2006) tujuan dari pembuatan sarang pada malam hari adalah sebagai
tempat beristirahat dan perlindungan terhadap predator malam.
Perilaku Bersarang Orangutan
Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasanya
dipergunakannya baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari
(Schaik et.al., 1994). Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat
bermain bagi orangutan muda, tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi
dan aktivitas makan (Rijksen, 1978). Orangutan sering berpindah-pindah, maka
tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang baru (Wardaningsih, 1992). Dalam
membuat sarang, orangutan memilih pohon yang sesuai dengan seleranya.
Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang
dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting dan daunnya masih segar, biasanya
pada ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).
Ketika seekor orangutan menemukan posisi yang sesuai untuk
membangun sebuah sarang dalam sebuah pohon, maka orangutan bergerak
menuju batang-batang pohon kecil disekitarnya, lalu memegang dahan ke bawah
dengan kaki. Kemudian ia memilin, melekukkan atau melipatnya ke bagian
mendorong dahan-dahan tersebut ke bawah supaya rapat untuk membentuk suatu
bidang datar. Pembuatan sebuah sarang biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit,
namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan ringan (MacKinnon, 1974).
Konstuksi sebuah sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil
yang sederhana sampai sebuah sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu
untuk menahan seorang manusia dewasa dengan sangat nyaman (Rijksen, 1978).
C. Fenologi Pohon
Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami
pada tumbuhan. Adapun fase-fase tersebut seperti fase daun muda (pucuk),
berbunga dan berbuah pada pohon. Dengan demikian untuk mengetahui masak
fisiologi benih, masa bunga dan buah pohon dapat diketahui dari kegiatan
penelitian fenologi (Ngitung dan Arsad, 2009). Berlangsungnya fase-fase tersebut
sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran,
suhu dan kelembaban udara (Fewless, 2006). Fenologi perbungaan suatu jenis
tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena
pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak.
Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola perbungaan
dan perbuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan
kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas, 2004).
Menurut Sitompul dan Guritno (1995) pengamatan fenologi tumbuhan yang
seringkali dilakukan adalah perubahan masa vegetatif ke generatif dan panjang
masa generatif tumbuhan tersebut. Ini biasanya dilakukan melalui pendekatan