• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ekonomi wilayah Taman Nasional (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Leuser Nanggroe Aceh Darussalam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ekonomi wilayah Taman Nasional (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Leuser Nanggroe Aceh Darussalam)"

Copied!
339
0
0

Teks penuh

(1)

TAMAN NASIONAL

Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser,

Nanggroe Aceh Darussalam

M. S. KABAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul :

ANALISIS EKONOMI WILAYAH TAMAN NASIONAL

(Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh

Darussalam)

adalah hasil karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali

dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk

memperoleh gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua

sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2011

M. S. Kaban

(3)

Nasional Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh

Darussalam (LUTFI IBRAHIM NASOETION sebagai Ketua dan AGUS

PAKPAHAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Kegiatan masyarakat yang memanfaatkan zona penyangga (buffer zone) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memberikan pengaruh terhadap semakin berkurangnya persediaan alam maupun hasil hutan kayu dan bukan kayu yang mendorong masyarakat memasuki kawasan inti (wilderness zone), keadaan ini merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem yang seharusnya dapat

dihindarkan. Tujuan penelitian untuk : (1) memberikan penilaian terhadap

pemanfaatan produk kayu maupun bukan kayu dan (2) mengetahui sejauh mana besarnya kerugian yang akan diterima oleh masyarakat dengan pengorbanan zona penyangga.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) analisis manfaat-biaya yang dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha TNGL melalui pemanfaatan zona penyangga dengan alat ukur kriteria investasi yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit/Cost Ratio (B/C Rasio) dan Internal Rate of Return

(IRR) dan (2) analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM) yang

digunakan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : (1) hasil analisis ekonomi manfaat dan biaya yang dilakukan dengan suku bunga (tingkat diskonto) pasar (18 persen) menunjukkan bahwa pengusahaan zona penyangga TNGL tidak layak untuk diusahakan. Namun dengan memberikan subsidi suku bunga sehingga tingkat diskonto turun menjadi 10 persen, hal tersebut menjadi layak untuk diusahakan. Akan tetapi pengusahaan tersebut cukup riskan karena hasil analisis sensitifitas menunjukkan bahwa penurunan nilai manfaat bukan kayu sebesar 20 persen dapat menyebabkan kegiatan tersebut menjadi tidak layak. Kelayakan usaha akan terjaga dengan baik, walaupun terjadi penurunan nilai manfaat bukan kayu 20 persen dan/atau kenaikan biaya operasional 20 persen, apabila subsidi suku bunga diberikan 11 persen (tingkat diskonto 7 persen) dan (2) hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa pengelolaan TNGL kurang kompetitif karena keuntungan finansialnya yang negatif. Namun pengelolaan tersebut efisien secara ekonomi, dimana untuk memperoleh tambahan satu rupiah output diperlukan tambahan biaya faktor domestik atau non-tradable lebih kecil dari satu rupiah. Temuan lain menunjukkan adanya kebijakan yang menyebabkan berkurangnya surplus produsen di mana kebijakan pemerintah menyebabkan pengelola mengeluarkan biaya lebih besar dari pada biaya imbangan pengelolaannya (opportunity cost). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah hendaklah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga pelaksanaannya jangan sampai menimbulkan inefisiensi. Untuk itu, partisipasi masyarakat sangat diperlukan sejak penentuan kegiatan hingga pengelolaan serta pemantauan pelaksanaan kegiatan, sehingga kawasan penyangga TNGL di satu sisi mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan di sisi lain menopang kelestarian TNGL.

(4)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik

(5)

NASIONAL

Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser,

Nanggroe Aceh Darussalam

M. S. KABAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Darussalam.

Nama : M. S. Kaban

Nomor Pokok : 88213

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasoetion

Ketua Anggota

Dr. Ir. Agus Pakpahan

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(7)

Malem Sambat Kaban (M.S. Kaban) dilahirkan di Kotamadya Binjai,

Sumatera Utara pada tanggal 5 Agustus 1958. penulis adalah putra kelima dari

sebelas bersaudara dari keluarga Almarhum Abdul Manan Kaban (ayah) dan

Sama Tarigan (ibu). Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Nurmala Dewi

dengan dikaruniai tujuh orang anak yang terdiri dari enam orang putra dan satu

orang putri yaitu Nur Sabil Mahsyar Kaban, Abdul Mannan Akbar Kaban,

Muhammad Amrin Salam Kaban, Ahmad Rizki Robbani Kaban, Muhammad

Cholis Kamil Kaban, Rizal Maulana Muttaqin Kaban, dan Nur Rehulina Karima

Kaban,

Pada Tahun 1977 penulis lulus dari Sekolah Menengah Tingkat Atas

Negeri (SMAN) VII Medan dan pada bulan Maret 1978 diterima sebagai

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya di Jakarta kemudian lulus

sebagai Sarjana Ekonomi pada bulan Oktober 1985.

Pada tahun 1988 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan pada

Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Progam Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Dalam rangka untuk

menyelesaikan studi, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Ekonomi Wilayah Taman Nasional (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung

Leuser, Nanggroe Aceh Darusalam) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lutfi

Ibrahim Nasoetion sebagai Ketua Komisi dan Dr. Ir. Agus Pakpahan sebagai

anggota.

Sejak lulus sebagai Sarjana Ekonomi hingga kini penulis bekerja sebagai

staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Pada

Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2004 penulis dipilih menjadi anggota DPR RI

yang kemudian pada Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2009 penulis diberi

(8)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling tepat Penulis ucapkan kecuali ucapan puja dan puji

syukur kehadirat Allah SWT atas Rahman dan Rahim-Nya sehingga Penulis dapat

menyelesaikan program pendidikan strata dua (S2) ini.

Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu pelaksanaan

studi ini mulai dari awal hingga penulisan akhir. Meski Penulis tidak dapat

menyebutkan satu persatu bukan berarti peranan mereka diabaikan. Prof. Dr. Ir.

Lutfi Ibrahim Nasoetion selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus

Pakpahan sebagai anggota Komisi Pembimbing telah memberikan pengarahan

dalam perumusan masalah hingga penarikan kesimpulan serta memberikan

bimbingan yang cukup intensif mengenai metode analisa dan kerangka pemikiran

serta komentar dan pertanyaan yang diajukan semasa proses penulisan. Kepada

Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc, yang sebelumnya telah memberikan arahan dan

bimbingan kepada Penulis. Untuk semua ini Penulis haturkan ucapan terima

kasih dan penghargaan yang tertinggi.

Kepada Prof Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. selaku Rektor Institut

Pertanian Bogor, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. selaku Dekan Sekolah

Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. selaku Ketua Program

Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan beserta jajarannya

yang telah banyak memberikan perhatian dan bantuannya dalam proses

penyelesaian studi ini maka dengan segala hormat Penulis sampaikan terima kasih

yang tak terhingga.

Kepada Pimpinan Yayasan Pendidikan Islam Ibn Khaldun dan Rektor

Universitas Ibn Khaldun Bogor yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa

untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB maka Penulis sampaikan terima kasih

yang sebesar-besarnya.

Kepada rekan-rekan staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Ibn

Khaldun Bogor yang berkenan memberikan dorongan moril serta sumbangan

pemikiran dan komentar yang sangat bermanfaat bagi upaya penyelesaian studi

ini. Atas perhatian dan dukungan moril tersebut Penulis haturkan ucapan terima

(9)

Begitu pula halnya dengan almarhum Ayahanda Abdul Manan Kaban dan

Ibunda Sama Tarigan yang telah berjuang keras mendidik dan membesarkan

hingga saat ini, Penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga.

Tidak akan terlupakan pengorbanan dari istri tercinta Nurmala Dewi yang

turut memberikan bantuan moril serta sumbangan tenaga khususnya pada saat

pengetikan naskah hasil penelitian. Demikian juga anak-anak tercinta Nur Sabil

Mahsyar Kaban, Abdul Mannan Akbar Kaban, Muhammad Amrin Salam Kaban,

Ahmad Rizki Robbani Kaban, Muhammad Cholis Kamil Kaban, Rizal Maulana

Muttaqin Kaban, dan Nur Rehulina Karima Kaban, yang selalu menjadi pelipur

lara dikala dalam menghadapi kesulitan penulisan.

Atas semua dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil yang telah

Penulis rasakan tersebut kiranya hanya Allah SWT yang senantiasa memberikan

ganjaran kebaikan bagi kehidupan dunia dan akhirat.

Akhirnya Penulis berharap agar tesis ini yang berjudul Analisis Ekonomi

Wilayah Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Leuser,

Nanggroe Aceh Darussalam) dapat memberikan manfaat bagi kemajuan dan

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penilaian kualitas lingkungan

hidup yang lebih alami. Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari

sempurna maka kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis

harapkan.

Bogor, April 211

(10)

DAFTAR ISI

2.5. Manfaat Konsumsi, Penawaran dan Sosial Bersih ...

2.6. Identifikasi Nilai Ekonomi ...

2.6.1. Nilai Penggunaan Langsung ...

2.6.2. Nilai Penggunaan Tidak Langsung ...

2.8. Matrik Analisis Kebijakan ...

(11)

2.9.3. Pengembangan Partisipasi Masyarakat ...

2.10. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 37

40

III. KERANGKA PEMIKIRAN ...

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ...

3.1.1. Metode Penilaian Ekonomi (Total economic value) ... 3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ...

3.3. Hipotesis ...

4.1. Metode Pungumpulan Data ...

4.1.1. Data Primer ...

4.1.2. Data Sekunder ...

4.2. Teknik Pengolahan Data ...

4.3. Metode Penentuan Nilai Ekonomi ...

4.4. Analisis Kelayakan Ekonomi ...

4.4.1. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value) ... 4.4.2. Rasio Manfaat/Biaya (Net Benefit Cost Ratio) ... 4.4.3. Pengembalian Internal (Internal Rate of Return) ... 4.4.4. Penentuan Tingkat Diskonto ...

4.4.5. Analisis Sensitifitas ...

4.5. Metode Matriks Analisis Kebijakan ...

4.5.1. Analisis Keunggulan Kompetitif ...

V. KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG

LEUSER(TNGL) ...

5.1. Riwayat Kawasan ...

5.2. Lokasi ...

5.3. Letak dan Batas ...

5.4. Keadaan Iklim ...

5.5. Kekayaan Flora dan Fauna ...

(12)

5.7. Keadaan Sosial ...

VI. KEKAYAAN HUTAN KAWASAN PENYANGGA ...

6.1. Produk Bukan Kayu ...

6.2. Pariwisata ...

VII. ANALISIS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER(TNGL) ...

7.1. Identifikasi Pembiayaan ...

7.2. Identifikasi Manfaat ...

7.2.1.Sumber Produk Bukan Kayu. ...

7.2.2.Pariwisata ...

7.2.3. Air ...

7.3. Analisis Kelayakan Ekonomi ...

7.3.1. Analisis Manfaat Biaya ...

8.1. Konstruksi Matriks Analisis Kebijakan untuk Kawasan

TNGL ...

8.2. Dampak Kebijakan Pengelolaan Kawasan TNGL ...

8.3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat ...

(13)

DAFTAR TABEL

Fungsi, Kegunaan dan Sifat TNGL ...

Matrik Analisis Kebijakan ...

Jumlah Penduduk di Kawasan TNGL ahun 1990 ...

Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kawasan TNGL Tahun 1990 ....

Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan TNGL Tahun 2000 ...

Komposisi Sarana Ibadah dan Agama dalam Persen Tahun 1990 ...

Fasilitas Pendidikan di Sekitar Kawasan Leuser Tahun 1990 ...

Sarana Kesehatan dan Tenaga Medis di Kawasan TNGL Tahun 1990 ....

Penggunaan Lahan Penduduk Gunung Leuser Tahun 1990 ...

Produksi Tata Guna Lahan Penduduk Gunung Leuser Tahun 1990 ...

Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Kabupaten Langkat

Tahun 1990 ...

Potensi Zona Pemanfaatan. ...

Tabel Aneka Jenis Tanaman Hias Kawasan Penyangga TNGL ...

Jenis Produk Bukan Kayu yang Dimanfaatkan Masyarakat di TNGL

Tahun 1999 ...

Matriks Hubungan Produk-produk Lahan Penyangga terhadap

Lingkungan ...

Daftar Nama-nama Kayu Jenis Komersil ...

Taksiran Volume Kayu (m3

48 /ha) untuk Masing-masing Kelas, Diameter

dan Kelompok Jenis ...

Produksi Beberapa Komoditi Tanaman Perkebunan per hektar/tahun ...

Biaya Pembangunan TNGL ...

Rencana Tahapan Pengembangan...

Rencana Pengembangan Tahunan ...

Daftar Anggaran TNGL dari APBN, World Bank dan Provisi

Sumberdaya Hutan (PSDH) ...

Rekapitulasi Biaya Pengusahaan TNGL Tahun 1980/1981 hingga

(14)

24.

25.

26.

27.

28.

29.

Kerugian Akibat Bencana Alam ...

Ramalan pengunjung TNGL ...

Hasil Analisis Manfaat-Biaya TNGL ...

Hasil Analisis Sensitifitas ...

Matrik Analisis Kebijakan Pengelolaan TNGL (Rp/Tahun) ...

Indikator Matrik Analisis Kebijakan ... 117

120

123

124

126

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomer Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Kurva Permintaan Individu Terhadap Manfaat Produk ...

Kurva Penawaran Manfaat Individu ...

Teknik Penilaian Produk Non Timber ...

Kerangka Pemikiran Konseptual ...

Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ...

Pegunungan di Kawasan TNGL ...

Sungai Alas di Aceh Tenggara ... 20

21

45

49

63

64

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Perhitungan Manfaat Produk Bukan Kayu di TNGL ...

Perhitungan Manfaat Pariwisata terhadap TNGL ...

Perhitungan Manfaat Air di TNGL ...

Analisis Manfaat-Biaya Kondisi Awal (Suku Bunga Pasar) dengan

Discount Rate 18% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga Discount Rate

10% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga Discount Rate

7% ...

Analisis Manfaat-Biaya Tanpa Subsidi Suku Bunga (Discount Rate

18%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya Tanpa Subsidi Bungai (Discount Rate 18%)

dan Biaya Operasional Naik 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsisi Bunga (Discount Rate 10%)

dan Manfaat Bukan Kayu Turun 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate

10%) dan Biaya Operasional Naik 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsisi Suku Bunga (Discounte Rate

10%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% dan Biaya

Operasional Naik 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate

7%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya denan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate

7%) dan Biaya Operasional Naik 20% ...

Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate

7%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% dan Biaya

Operasional Naik 20% ...

Analisis Finansial dan Ekonomi Pengelolaan TNGL ...

(17)
(18)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kemakmuran ini dinilai dengan tingkat

pertumbuhan ekonomi, sedangkan kesejahteraan masyarakat diketahui dari tingkat

harapan hidup (life expectation). Namun pada beberapa tahun belakangan ini pendekatan pembangunan ekonomi mulai mengikutsertakan persoalan kelestarian

lingkungan dan kualitas hidup manusia.

Penyertaan kelestarian lingkungan dan kualitas hidup manusia dalam

pembangunan ekonomi didasarkan pada pemikiran bahwa sumber-sumber alam

yang tersedia saat ini tidak hanya untuk generasi sekarang, akan tetapi harus dapat

dinikmati oleh generasi yang akan datang. Terpeliharanya sumber daya alam juga

merupakan modal utama bagi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development).

Pengalaman dari beberapa negara berkembang dalam pembangunan

perekonomiannya cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan sumber daya

alam dan kualitas manusia. Situasi ini menimbulkan bahaya erosi, banjir, dan

sedimentasi. Akibat lebih lanjut ialah semakin mahalnya biaya pembangunan

serta hilangnya kenyamanan.

Adapun kelompok masyarakat yang paling merasakan beban penderitaan

yang berat adalah kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dan

(19)

daya alam berupa produk-produk bukan kayu seperti rotan, durian, kayu manis

dan sebagainya.

Demi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan di segala bidang,

diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah yang bertujuan melestarikan

lingkungan. Hal ini berguna agar segala kekayaan alam yang tersedia seperti

tanam-tanaman dan hasil hutan lainnya dapat memberikan manfaat sosial maupun

ekonomi kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi (protected area) yang ditetapkan pemerintah seirama dengan konsep pembangunan yang berwawasan

lingkungan. Pada konsep ini perlu diperhatikan adanya dua tujuan ganda yang

harus dicapai yaitu:

a. Perlindungan dan pengawetan secara mutlak terhadap ekosistem.

b. Pemanfaatan secara terkendali dari ekosistem dan aneka ragam jenisnya

tersebut sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat secara

luas.

Bentuk kawasan konservasi yang dapat mewujudkan tujuan ganda tersebut

salah satu di antaranya adalah dengan penetapan Taman Nasional (National

Park). Dengan demikian berarti bahwa Taman Nasional adalah kawasan

konservasi yang harus dikelola secara terpadu yaitu perlindungan, pengawetan

dan pemanfaatan dalam satu kesatuan pengelolaan (management unit).

Berdasarkan Serikat Pelestarian Alam Internasional (IUCN) pada tahun 1969

tentang Taman Nasional sedunia yang kemudian ditetapkan pada tahun 1972,

maka Taman Nasional dirumuskan sebagai berikut:

1. Taman Nasional harus memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik

(20)

2. Tidak ada perubahan karena kegiatan eksploitasi dan pemukiman penduduk.

3. Kebijaksanaan dan pengelolaan Taman Nasional berada pada departemen

yang berkompeten dan bertanggung jawab.

4. Memberikan kesempatan pada pengembangan Taman Nasional (proyek)

wisata alam, sehingga terbuka untuk umum dengan persyaratan khusus

untuk tujuan pendidikan ilmu pengetahuan, budaya bina cinta alam dan

rekreasi.

Sampai dengan tahun 2001 Indonesia telah memiliki 34 unit Taman

Nasional. Taman Nasional yang pertama adalah Taman Nasional Gunung Leuser,

terletak di antara propinsi Sumatera Utara dan propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Taman ini ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Perlidungan Hutan dan Pelestarian

Alam No. 56/kpts/VI-Sek 84.

Sesuai dengan asas pokok keunikan dan keaslian, Taman Nasional

Gunung Leuser memiliki luas 1.094.692 ha yang terdiri dari 95 jenis flora dan 89

jenis fauna langka yang hampir mengalami kepunahan. Kawasan Taman

Nasional juga memancarkan panorama serta pemandangan yang indah.

Keindahan tersebut mengundang daya tarik wisatawan domestik maupun

mancanegara.

Dari keanekaragaman produk-produk alam yang terdapat di kawasan

Taman Nasional Gunung Leuser diperoleh manfaat langsung dan manfaat tidak

langsung. Manfaat langsung (direct benefit) didapatkan dari pengolahan,

pemakaian produk kayu dan bukan kayu. Secara khusus pengolahan dan

pemanfaatan produk-produk kayu diberikan kepada pemegang Hak Penguasaan

(21)

masyarakat di sekitar kawasan ataupun kaum pendatang dari wilayah lain.

Anggota masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan bukan yau sangat tergantung

pada persediaan alamiah dan musim-musim tertentu. Hasil-hasil bukan kayu

dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari maupun keperluan usaha

perdagangan. Komoditas yang termasuk produk bukan kayu yaitu tanam-tanaman

untuk obat-obatan, rotan, kemiri, durian, rambutan, manggis, rambe dan lain-lain.

Sedangkan manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang diterima masyarakat berupa pemeliharaan stabilitas sumber mata air, keteraturan musim, penyediaan

tempat rekreasi dan sebagai arena penelitian ilmu pengetahuan.

Nilai manfaat yang dihasilkan oleh Taman Nasional Gunung Leuser cukup

besar mencakup daerah yang luas. Untuk mempermudah pengelolaan, pemerintah

melakukan zonasi (pewilayahan) yang terdiri atas:

1. Mintakat Inti (Sanctuary Zone), merupakan daerah tertutup bagi

pengunjung. Daerah ini hanya boleh dimasuki dengan izin khusus bagi

kepentingan penelitian.

2. Mintakat Perlindungan (Wilderness Zone), merupakan daerah yang menjadi sasaran utama untuk dilestarikan mencakup areal yang paling luas ¾ dari

seluruh kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Zone ini juga merupakan

tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat perlindungan dan tempat

berkembang biak berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang berfungsi bagi

kelestarian ekosistem.

3. Mintakat Pengembangan atau Mintakat Pemanfaatan (Intensive Zone),

(22)

rehabilitasi satwa liar, pendidikan dan pusat pengunjung. Daerah ini

meliputi bukit Lawang Baharok, Sekundur bagian utara dan Ketambe.

4. Mintakat Penyangga (Buffer Zone), merupakan daerah antara Taman

Nasional dan tempat pemukiman yang lebarnya 5 sampai 10 km, dan

berfungsi sebagai areal penghalang yang mencegah perluasan pemilikan

tanah dan pengambilan hasil hutan oleh penduduk untuk memenuhi

kebutuhan maupun kepentingan perdagangan. Selain di dalam daerah

penyangga ini, pembukan tanah untuk pertanian dan pemukiman tidak

diperkenankan.

Dari seluruh zone yang telah ditentukan maka wilayah penyangga (buffer

zone) merupakan zone (kawasan) yang secara langsung berhubungan dengan

kehidupan masyarakat. Masyarakat diberi kesempatan mengolah lahan dan

memanfaatkan segala hasil-hasil hutan yang terdapat di dalamnya. Selaras

dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, sudah tentu menuntut

tersedianya lahan olahan yang semakin luas dan permintaan akan hasil-hasil hutan

semakin besar jumlahnya. Keadaan seperti itu mempercepat proses kelangkaan

hasil-hasil bukan kayu dan menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan. Resiko

kerusakan dan ancaman lingkungan akan mengurangi pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat serta berakibat pada biaya hidup yang semakin tinggi.

Sedangkan upaya memperbaiki kerusakan yang terjadi di kawasan penyangga

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Pihak pengelola Taman Nasional Gunung Leuser menetapkan areal seluas

299.448 ha sebagai kawasan penyangga (buffer zone). Kawasan ini berfungsi sebagai areal penghalang, pencegah perluasan pemilikan lahan dan pengambilan

hasil-hasil hutan bukan kayu. Pada kawasan penyangga ini penduduk dibenarkan

membangun perladangan dan kegiatan lainnya. Bagi penduduk di kawasan

penyangga dan penduduk pendatang, segala kekayaan yang terdapat di dalamnya

dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun kepentingan

usaha perdagangan.

Perkembangan kegiatan dan pertumbuhan masyarakat yang memanfaatkan

zona penyangga memberikan pengaruh terhadap semakin berkurangnya

persediaan alam maupun hasil-hasil bukan kayu yang mendorong masyarakat

memasuki kawasan inti (wilderness zone), keadaan ini merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem yang seharusnya dihindarkan. Beberapa indikasi yang

mendorong masyarakat kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memperluas

lahan sampai kawasan inti adalah:

1. Kepadatan penduduk yang mendiami kawasan penyangga (buffer zone)

Gunung Leuser seperti di daerah lembah Alas yang dihuni oleh 21.713

kepala keluarga dengan kerapatan 118 sampai 331 orang/km2 dan dataran rendah Langkat dihuni oleh 287.162 orang atau 40.926 kepala keluarga

dengan kerapatan penduduk 240 sampai dengan 275 orang/km2

2. Sebagian penduduk menggantungkan kehidupan mereka dalam bidang

pertanian dengan cara-cara pertanian yang masih tradisional yaitu dengan

(24)

pertanian baru dengan jalan membuka tanah-tanah hutan dalam kompleks

Taman Nasional Gunung Leuser.

3. Tumpang tindihnya peruntukan hutan antara kepentingan kawasan

perlindungan dengan para pemegang HPH. Penduduk yang berada di daerah

HPH keluar dan mencari tempat menetap di dalam kawasan Taman Nasional

Gunung Leuser. Sementara lokasi HPH tersebut berada atau termasuk di

dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser.

4. Program pembangunan jalan antara Blangkejeren sampai Tapak Tuan

Kotacane, Kappi Meluak dan kemudian dikembangkan menjadi alur daerah

wisata pemandangan (scene road) mengundang kaum pendatang dan

penduduk membangun perumahan di sepanjang jalur yang telah lancar

dengan arus perhubungan.

Gambaran tersebut di atas meunjukkan bahwa besarnya beban yang

diterima oleh kawasan penyangga (buffer zone) mengalami peningkatan terus-menerus. Beban tersebut akan mengurangi fungsi kawasan penyanga sebagai

pencegah kerusakan ekosistem, dan menambah cepat punahnya berbagai produk

hasil hutan bukan kayu yang menopang kebutuhan hidup baik untuk sehari-hari

maupun untuk kepentingan ekonomi. Berkurangnya hasil hutan bukan kayu sudah

jelas menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang memerlukannya dan

pengurangan pendapatan bagi yang menggunakannya untuk kepentingan

ekonomi. Sedangkan kerusakan tersebut menunjukkan adanya konflik

kepentingan antara pengadaan kawasan penyangga (buffer zone) dengan

pemberian izin mengambil dan memanfaatkan segala produk yang terdapat di

(25)

berdampingan dengan penduduk mempunyai nilai manfaat ekonomi maupun

manfaat sosial, diperlukan penilaian atau analisis ekonomi wilayah kawasan

penyangga TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser). Analisis ini diperlukan

untuk memahami apakah hasil keseluruhan yang ditawarkan oleh TNGL akan

memiliki nilai economic of return yang tinggi?

Untuk mengetahui nilai manfaat kawasan TNGL yang dimaksud di atas,

maka diperlukan informasi dasar tentang pengelolaan kawasan TNGL secara

keseluruhan, diantaranya adalah:

1. Berapakah besarnya dana-dana yang telah dianggarkan atau dikeluarkan

untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan lindung TNGL.

2. Sumber-sumber manakah yang paling besar memberikan sumbangan dalam

usaha penyelamatan kawasan TNGL

3. Bentuk-bentuk kerugian apa saja yang diderita masyarakat dengan

terjadinya perubahan kawasan TNGL sehingga mengurangi kesejahteraan

masyarakat.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka penelitian

ini bertujuan:

1. Untuk memberikan penilaian terhadap pemanfaatan produk kayu dan

bukan kayu.

2. Mengetahui sejauh manakah besarnya kerugian yang akan diterima oleh

(26)

1.4. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi yang berharga

terutama tentang hal-hal yang mempengaruhi keselamatan kawasan konservasi

TNGL sebagi sumber yang dapat mempengaruhi kesejahteraan sosial dan

ekonomi masyarakat. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat

dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan bagi usaha pengembangan Taman

Nasional Gunung Leuser baik untuk pelestarian produk bukan kayu maupun kayu.

Sedangkan bagi pengelola Taman Nasional Gunung Leuser, dapat berperan

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taman Nasional

Taman nasional berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI No.

687/KPTS-II/1989 didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola

dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti dan atau zona-zona lain yang

dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan

berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional adalah suatu

kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Sembiring, 2001).

Tujuan utama taman nasional adalah menjaga keutuhan keterwakilan

ekosistem yang berarti melindungi ekosistem itu dari kerusakan dan

merehabilitasi kembali apa yang sudah terlanjur rusak, selain itu harus ada upaya

menghilangkan sebab kerusakan dan menghentikan kegiatan perusakan.

Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Taman Nasional dan

Hutan Wisata, sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan taman nasional

meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Memperbaiki fungsi kawasan konservasi semaksimal mungkin sesuai

dengan daya dukungnya.

b. Menciptakan hubungan antara konservasi dan kepentingan pembangunan

melalui pengembangan budidaya pertanian dan perikanan dari aneka ragam

(28)

c. Meningkatkan pelayanan bagi pengunjung untuk memanfaatkan taman

nasional baik untuk penelitian, wisata, pengambilan gambar dan penulisan

untuk publikasi maupun kegiatan lainnya.

d. Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar taman

nasional antara lain dengan menyediakan lapangan kerja, memacu

terciptanya jasa angkutan dan akomodasi serta mendorong pembangunan di

berbagai sektor lainnya.

2.2. Kawasan Penyangga

Kawasan penyangga adalah suatu zona yang dialokasikan untuk tujuan

sebagai pagar efektif bagi taman nasional dari gangguan masyarakat. Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998, daerah penyangga adalah wilayah

yang berada di luar kawasan taman nasional, baik sebagai kawasan hutan lain,

tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu

menjaga keutuhan kawasan taman nasional.

Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebaskan dengan

suatu hak sebagai daerah penyangka ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar

pertimbangan Bupati yang bersangkutan. Penetapan daerah penyangga dilakukan

dengan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak. Sementara

itu pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada

pemegang hak dan tetap memperhatikan ketentuan yang ada yaitu secara ekologis

masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka

(29)

Direktorat Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam menjelaskan bahwa

kawasan penyangga merupakan suatu alat untuk:

a. Menentukan pemenuhan berbagai keperluan dasar masyarakat disekitarnya

baik untuk makan, uang maupaun kesenangan atau rekreasi.

b. Menyelamatkan potensi taman nasional dari berbagai macam ganguan baik

oleh manusia, ternak, maupun pencemaran lingkungan.

c. Mengembangkan dan membina hubungan antara masyarakat dengan

alamnya yaitu mengusahakan adanya integrasi antara manusia dengan alam

pada tingkat yang lebih baik.

d. Melindungi manusia dan daerah pertanian, perkebunan, perikanan,

kehutanan dan sebagainya dari gangguana satwa liar.

e. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi melalui usaha tani yang intensif dan

kesadaran masyarakat terhadap usaha pelestarian alam dan lingkungannya.

f. Menumbuhkan, mengembangkan organisasi swadaya masyarakat dalam

kaitannya dengan usaha-usaha pelestarian sumberdaya alam.

Menurut Soekmadi (2005) daerah penyangga suatu taman nasional dapat

dibagi menjadi dua macam yaitu daerah penyangga fisik dan daerah penyangga

sosial. Daerah penyangga fisik maksudnya ditujukan untuk membentengi potensi

taman nasional dan melindungi masyarakat dari gangguan yang datang dari taman

nasional dimana juga diharapkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai areal

pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sekitar. Daerah penyangga sosial yaitu

daerah penyangga yang merupakan wilayah binaan dimana sebagian besar

kehidupan anggota masyarakat masih bergantung pada keberadaan potensi

(30)

2.3. Kerusakan Lingkungan

Beberapa dekade yang lalu, ada anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi

yang diiringi dengan penurunan kualitas lingkungan atau kawasan, secara

kuantitatif semakin besar. Beberapa penelitian menunjukan faktor-faktor yang

menyebabkan penurunan kualitas lingkungan atau kawasan yang disimpulkan

oleh Maynard Hufscmidt tahun 1983 sebagai berikut:

a. Kurangnya pengawasan lingkungan terhadap pelaksanaan undang-undang

perlindungan lingkungan.

b. Kelangkaan sumber keuangan dalam hubungan dengan kebutuhan sekarang

yang merupakan kendala bagi keinginan untuk melindungi sistem alamiah.

c. Luasnya kemiskinan masyarakat menghasilkan kegiatn-kegiatan yang

merusak lingkungan sistem alam jangka panjang.

d. Sering kali buruknya pembagian pendapatan mempengaruhi kualitas

perencanaan program sebagai akibat pendapatan yang tidak mencukupi.

e. Kesulitan dalam pengawasan lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas

pembangunan sektor pribadi dan sektor publik, yang mana pengendalian

kualitas sektor lingkungan oleh publik memiliki keterbatasan program.

f. Tidak cukup tersedianya para teknisi, administrasi dan ekonom dalam

membuat perencanaan lingkungan.

g. Luasnya kegagalan pasar yang ekstensif memerlukan penggunaan harga

bayangan penempatan pasar.

h. Kurangnya peran serta pengendalian kualitas lingkungan baik oleh

masyarakat umum maupun oleh perusahaan pemerintah yang mengurangi

(31)

i. Tidak cukup tersedianya data lingkungan baik dari segi ekonomi maupun

sosial, termasuk di dalamnya kesulitan mengumpulkan dan memproses data

masa lalu, sehingga membatasi kualitas analisa.

j. Luasnya perbedaan nilai budaya yang menambah kesulitan dalam memberi

penilaian pada pengaruh kualitas lingkungan.

Sedangkan John A. Dixon (1989) menemukan bahwa perusakan

lingkungan dan sumberdaya alam yang ada merupakan hasil suatu perencanaan

proyek yang diperkenalkan oleh pembangunan ekonomi. Lebih lanjut ia juga

mengatakan bahwa pemanfaatan lingkungan (environment) terganggu karena

pemberian penilaian rent yang tinggi serta adanya pengaruh dari tingkat

pendapatan masyarakat yang rendah.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kebijaksanaan pembangunan

nasional dalam GBHN merumuskan bahwa dalam pembangunan, sumberdaya

harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber-sumber daya alam tersebut

harus didayagunakan agar sesuai dengan tata lingkungan hidup manusia,

dilaksanakan dengan kebijaksanaan menyeluruh dengan memperitungkan generasi

yang akan datang. Resiko kerusakan fungsi sumberdaya lingkungan hidup berupa:

a. Rusaknya berbagai sistem pendukung kehidupan vital bagi kehidupan

manusia, baik sistem biofisik maupun sosial.

b. Munculnya bahaya dalam bentuk ciptaan manusia seperti bahan berbahaya

dan hasil-hasil bioteknologi.

c. Pengalihan beban resiko pada generasi yang akan datang atau kepada faedah

yang lain.

(32)

Segala macam bentuk resiko tersebut merupakan hasil interaksi dari faktor-faktor

utama yaitu:

a. Pertumbuhan penduduk.

b. Pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk.

c. Peran lembaga-lembaga masyarakat termasuk teknologi yang dikembangkan

untuk memenuhi produksi.

Dengan beberapa penjelasan diatas, pembangunan jangka panjang menjamin

tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari terpeliharanya suatu sistem lingkungan

alam, serta rendahnya tingkat eksternalitas yang ditimbulkan oleh kemajuan

teknologi.

2.4. Eksternalitas

Dalam suatu perekonomian modern setiap aktivitas mempunyai

keterkaitan dengan aktivitas lainnya dan semakin modern suatu perekonomian

semakin besar dan semakin banyak kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lainnya.

Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya

dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka

keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan

tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melaui mekanisme pasar

sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan

kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan

eksternalitas atau dengan kata lain yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah

(33)

segolongan orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul

inefisiensi produksi (Mangkoesoebroto, 2001).

Kegiatan masyarakat baik dalam bentuk memproduksi maupun

mengkonsumsi barang dengan jumlah yang setinggi-tingginya bertujuan untuk

meraih tingkat kepuasan yang tinggi. Usaha meningkatan kepuasan bertujuan

pada pencapaian rasa bahagia ataupun kesejahteraan masyarakat. Pareto

merumuskan bahwa kesejahteraan masyarakat telah mencapai optimum apabila

kesejahteraan seseorang dapat ditingkatkan akan tetapi dengan mengurangi

kesejahteraan orang lain. Selanjutnya pandangan Pareto disempurnakan oleh N.

Kaldor dan JR.Hicks dengan compensation principle dimana intinya adalah

bahwa keadaan masyarakat menjadi lebih baik apabila individu yang ingin

mendapatkan manfaat lebih besar dengan menyebabkan pengorbanan pihak lain,

dimana yang mendapatkan manfaat memberikan kompensasi kepada yang

menderita pengorbanan dan masih ada kelebihan manfaat.

a. Kriteria kaldor menyatakan bahwa alokasi A dari segi seluruh masyarakat

lebih baik dari pada B apabila yang mendapat manfaat A, karena alokasi A

dapat memberikan kompensasi kepada yang dirugikan dan kedudukan A

masih lebih baik dari pada B.

b. Kriteria Hicks dapat dirumuskan bahwa alokasi A dari segi seluruh

masyarakat lebih baik dari B apabila yang menderita kerugian karena

alokasi A tersebut tak dapat diberikan kompensasi oleh yang mendapatkan

sehingga berubah dari B ke A.

c. Menurut Scitovsky dikatakan bahwa alokasi A bagi seluruh masyarakat

(34)

kompensasi (bribe) pada yang mendapatkan kerugian dan menerima perubahan tersebut, sedangakan yang dirugikan tidak dapat menyuap

(bribing) yang mendapatkan manfaat untuk mengadakan suatu perubahan. Adanya pengorbanan yang diderita oleh suatu kelompok masyarakat

sebagai konsekuensi dari suatu proyek atau kegiatan dapat bersipat negatif atau

positif, keadaan inilah yang sering disebut sebagai eksternalitas. Dengan demikian

eksternalitas dikatakan ada bilamana kesejahteraan individu selain dipengaruhi

oleh aktivitas yang dikendalikannya, juga dipengaruhi oleh aktivitas pihak lain.

Disamping pengaruh pemenuhan kebutuhan untuk mencapai kepuasan

yang setinggi-tingginya, faktor lain yang mendorong eksternalitas disekonomi

ataupun ekonomi juga akibat adanya suatu ketidak jelasan batasan (boundary) arti hak pemilikan, hal ini dapat dilihat dari pendapat J.H. Dales dalam tulisannya The Property Interpose and land, Waterland Ownership. Menyatakan bahwa dalam pemilikan terdapat hak-hak:

a Serangkaian hak untuk menggunakan barang dengan cara tertentu (dan

serangkaian hak negatif atau larangan untuk mempergunakannya dengan

yang lain).

b Hak untuk melarang orang lain menggunakan barang tersebut.

c Hak untuk menjual milik tersebut.

Selanjutnya Dales juga menjelaskan bahwa pemilikan setiap asset

mempunyai kaitan antara konsepsi hukum, ekonomi, sosiologi dan politik.

Dimana asset dapat dianggap sebagai suatu kumpulan potensi untuk menghasilkan

jasa kepuasan yang dapat dipergunakan dalam beberapa alternatif. Adapun bentuk

(35)

a Hak pemilikan yang bersifat umum (common property)

Dimana dapat dipergunakan oleh setiap orang untuk berbagai keperluan

tanpa adanya biaya yang harus dikeluarkan. Hak milik ini dapat cocok

secara ekonomi jika biaya untuk mengawasinya lebih besar dari nilai

penggunaanya. Ketidakmampuan menjaga pemilikan ini bisa dilihat dari

segi ekonomi akan menimbulkan ketidakefisienan sehingga penggunannya

melewati batas.

b Hak milik umum yang terbatas (restricted common property)

Pada umumnya asset milik umum dikelola oleh suatu badan publik atau

pemerintah. Pemerintah dapat membatasi pengunaan hak milik dengan

berbagai cara misalnya suatu danau hanya digunakan untuk bersampan

tetapi tidak boleh untuk motorboat. Dalam hal asset tetap milik umum dalam

arti bahwa setiap orang dapat mengunakannya sesuai dengan tujuan

penggunaan.

c Hak pakai

Pemakai asset hanya dibatasi untuk orang-orang atau badan tertentu saja

yang ditetapkan berdasarkan hukum. Dengan demikian pemilikan menjamin

pemakai sesuatu asset sesuai dengan kewenangan atas pemilikan tersebut

sebagaiman hukum positif. Hak pakai ini tidak dapat dipindahtangankan

walaupun demikian hak yang diberikan terhadap suatu asset tersebut sudah

mempunyai nilai, adanya hak untuk mencegah berkembangnya harga yang

(36)

d Hak milik penuh

Dalam hal ini hak milik dipindahtangankan, dan pemindahan hak suatu asset

mengarah kepada terbentuknya harga yang sebenarnya karena pemindahan

hak milik ini akan berganti menjadi harga. Sesuatu yang dimiliki dapat

dihargai, dan sesuatu yang dihargai dapat dimiliki, tetapi hubungan

fungsional antar harga dan milik sulit ditentukan secara tepat, oleh karena

itu hak milik ini perlu diberi batasan karena ada kecenderungan dimana si

kaya akan memakan si miskin.

Sejalan dengan adanya pemberian hak umum dan pemilikan dalam dunia

nyata sering terjadi perbenturan kepentingan. Para pemegang hak milik penuh

dapat mengunakan hak-hak tersebut sehingga mencapai kepuasan yang

setinggi-tingginya. Pengusaha pabrik dapat membuang limbah industrinya kesungai-sungai

milik umum, dan para penebang hutan maupun para peladang berpindah

menikmati keuntungan dari hasil penjualan hutan. Aktivitas tersebut memberi

pengaruh terhadap berbagai kepentingan sosial atau kesejahteraan masyarakat.

Perbenturan kepentingan tersebut dirasakan sebagai beban bagi masyarakat

dengan besarnya beban biaya yang ditimbulkan oleh berbagai pencemaran

maupun perusakan ekosistem, serta menurunnya produktivitas di sektor produksi

pertanian maupun disektor lainnya.

2.5. Manfaat Konsumsi, Penawaran dan Sosial Bersih

Secara lebih mendalam keputusan untuk mengalokasikan sumber daya

alam yang maksimal untuk kesejahteraan sosial dapat diukur dari kesediaan

(37)

sejumlah nilai tertentu adalah gambaran manfaat yang diperolehnya. Bila

dijelaskan secara grafik, manfaat dapat diterangkan oleh kurva permintaan pada

Gambar 1.

Melalui gambar tersebut, terlihat bahwa harga pasar dari manfaat yang

diperoleh dari sumberdaya alam adalah P. Jika individu menginginkan untuk

memperoleh sejumlah sumberdaya X maka ia akan membayar sebesar PX. Jika

ingin mendapatkan X1 unit sumberdaya maka individu bersedia membayar P1 dan P2 untuk memiliki X2 unit sumberdaya alam. Dengan demikian jumlah kesediaan membayar untuk sumberdaya tersebut adalah daerah PD dibawah kurva

permintaan. Sedangkan daerah PAP0 menunjukkan besarnya surplus konsumen

untuk konsumsi sebesar X0. Sedangkan daerah 0X0AP menunjukkan daerah

dimana konsumen bersedia membayar (total willingness to pay) untuk sejumlah X0

Gambar 1. Kurva Permintaan Individu Terhadap Manfaat Produk.

Sumber: Bann (1998) dan Tietenberg (2001).

unit sumberdaya alam (Tietenberg, 2001).

X0 X1 0

P0 P1 P2 P

S

D A

Harga

X2

(38)

Dengan cara yang sama melalui kurva penawaran individu yang ingin

memanfaatkan produk lingkungan dapat direfleksikan biaya-biaya dari bahan

baku atau sumber tersebut. Melalui Gambar 2 kurva penawaran manfaat A akan

diterima dengan keseimbangan P0 X0. Jika produk lingkungan tersebut akan dipasarkan X1 unit maka harga yang didapat adalah sebesar P1. Selanjutnya jika produk lingkungan akan dijual X2 unit maka harga yang didapat adalah P2. Maka

surplus produsen diperlihatkan oleh daerah PAP0 untuk banyak unit X0.

Sedangkan daerah 0PAX0 menunjukkan total biaya yang dikeluarakan untuk X0

Gambar 2. Kurva Penawaran Manfaat Individu

Sumber: Bann (1998) dan Tietenberg (2001).

unit (Tietenberg, 2001).

Dari uraian sebelumnya maka penjumlahan surplus konsumen dengan surplus

produsen untuk suatu perubahan manfaat pada suatu tingkat tertentu adalah

merupakan manfaat sosial bersih (net social benefit). Manfaat bersih adalah manfaat yang melebihi dari biaya yang dikeluarkan yaitu daerah dibawah kurva

permintaan yang berada diatas kurva penawaran. X0

X1 X2

P P2 P1 P0

S

D A

Harga

(39)

2.6. Identifikasi Nilai Ekonomi

Penilaian terhadap fungsi ekologi dari suatu ekosistem dan dampak

potensial terhadap sistem adalah dengan menentukan biaya dan manfaat yang

dapat dihitung dari berbagai akibat yang ditimbulkan oleh berbagai proyek, maka

secara keseluruhan kawasan lindung, dalam hal ini Taman Nasional Gunung

Leuser menawarkan beraneka manfaat bagi kehidupan sosial masyarakat maupun

manfaat ekosistem. Menurut Bann (1998) penilaian ini dilakukan dengan

menghitung total nilai ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang terdiri dari tiga kategori yaitu nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value).

2.6.1. Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)

Nilai penggunaan langsung merupakan suatu penilaian yang didapatkan

dari penurunan penggunaan langsung dari suatu sumberdaya dengan kata lain

adalah interaksi dari sumberdaya taman nasional dan jasa yang didapatkan dari

taman nasional terhadap masyarakat pemanfaat. Penggunaan langsung ini dapat

berupa kegiatan-kegiatan komersial maupun non komersial. Kegiatan non

komersial biasanya sangat berperan bagi upaya masyarakat lokal atau setempat

untuk bertahan hidup.

Penggunaan langsung lebih mudah untuk dilakukan penilaian karena

relatif lebih jelas untuk dispesifikasi. Biasanya penilaian yang dilakukan dikaitkan

dengan nilai pasar dari keuntungan yang didapatkan dari hasil produksi. Namun

(40)

manfaat yang lebih rendah dari yang seharusnya karena tidak menghitung surplus

konsumen. Metode lain yang dapat digunakan untuk untuk menilai penggunaan

langsung adalah nilai korbanan tidak langsung (indirect opportunity cost), biaya

pengganti tidak langsung (indirect substitute costs), dan biaya pengganti

(replacement cost).

2.6.2. Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Kategori nilai penggunaan tidak langsung dapat didefinisikan sebagai

dukungan secara tidak langsung dan perlindungan terhadap aktivitas ekonomi

serta kepemilikan yang dihasilkan oleh fungsi alamiah dari taman nasional dimana

taman nasional memberikan jasa sebagai regulator lingkungan. Misalnya adalah

fungsi kontrol taman nasional terhadap banjir yang dapat melindungi produksi

pertanian, infrastruktur, nilai lahan, bahkan jiwa manusia (Tietenberg, 2001).

Penilaian terhadap fungsi lingkungan jarang yang mempunyai nilai pasar.

Oleh karena itu penilaian terhadap penggunaan tidak langsung umumnya

dipergunakan teknik penilaian non pasar (non market valuation techniques). Teknik penilaian ini diantaranya adalah dengan menghitung perubahan dalam

produktivitas, contingent valuation, travel cost method dan hedonic priceing.

2.6.3. Nilai Pilihan (Option Value)

Nilai pilihan adalah suatu bentuk dari nilai penggunaan dimana penilaian

ini terkait dengan penggunaan sumberdaya di masa yang akan datang. Nilai

pilihan meningkat karena orang per orang atau individu menilai suatu pilihan

(41)

yang akan datang. Oleh karena itu ada tambahan nilai tertentu yang diberikan

pada upaya pelestarian sistem alam dan sumberdayanya serta fungsi kegunaan di

masa depan. Penilaian ini penting jika seseorang tidak yakin tentang nilai suatu

sumberdaya di waktu yang akan datang tetapi percaya bahwa nilainya akan

bertambah tinggi dan eksploitasi yang dilakukan saat ini mungkin tidak dapat

dikembalikan ke situasi awal.

Sumberdaya suatu taman nasional mungkin saat ini dinilai lebih rendah

dari yang seharusnya namun mungkin akan mendapatkan penilaian yang lebih

tinggi dari sisi keilmuan, pendidikan, komersial dan penggunaan ekonomi lain.

Begitu pula halnya dengan fungsi sebagai regulator lingkungan dimana

kepentingannya meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pembangunan

ekonomi dan penyebarannnya di dalam suatu wilayah.

2.7. Analisis Manfaat - Biaya

Prinsip yang ideal dalam kebijaksanaan penggunaan barang sumberdaya

alam adalah membuat pengeluaran-pengeluaran bagi setiap tujuan sedemikian

rupa sehingga manfaat (benefit) dari penggunaan satuan rupiah yang terakhir lebih besar dari pada atau paling tidak sama dengan hilangnya manfaat dari kegiatan

kegiatan lain karena pengeluaran tersebut.

Jika menyamakan tambahan manfaat (marginal benefit) dengan tambahan biaya (marginal cost), maka berarti tercapainya pemecahan dua masalah alokasi faktor-faktor produksi yang maksimal dalam kegiatan pengambilan sumberdaya

alam tersebut. Hal ini berarti bahwa terpenuhinya suatu keadaan dimana setiap

(42)

tidak sama dengan nilai barang-barang yang hilang dari kegiatan yang sama pada

saat yang akan datang. Dengan demikian manfat dari tambahan kegiatan

pengambilan sumberdaya alam akan melebihi atau paling tidak sama dengan

biaya alternatif (opportunity cost).

Analisis biaya-manfaat pada prinsipnya memiliki dua pendekatan yaitu

finansial dan ekonomi dimana dibedakan berdasarkan siapa yang berkepentingan

langsung dalam kegiatan investasi. Analisis finansial mengutamakan pada hasil

dari modal yang ditanamkan dalam proyek dan merupakan penerimaan langsung

bagi pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Analisis ini dilakukan jika yang

bersangkutan langsung dalam manfaat dan biaya adalah individu atau kelompok

individu yang bertindak sebagai investor dalam suatu kegiatan investasi.

Analisis ekonomi dilakukan jika yang berkepentingan langsung dalam

manfaat dan biaya kegiatan investasi adalah pemerintah atau masyarakat secara

keseluruhan. Dalam analisis ini yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat

bersih yang didapat dari semua sumber yang dipakai untuk masyarakat atau

perekonomian secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyediakan

sumber-sumber tersebut. Analisis manfaat-biaya untuk penggunaan sumber-sumberdaya alam dan

lingkungan dapat menggunakan metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Ratio Benefit Cost (B/C Rasio).

2.7.1. Metode Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value)

Nilai bersih suatu proyek menurut Mangkoesoebroto (2001) adalah

merupakan nilai dari suatu proyek setelah dikurangkan seluruh biaya pada suatu

(43)

bersangkutan dan didiskontokan (discounted) dengan tingkat bunga yang berlaku. Penentuan NPV dari suatu proyek menunjukkan ukuran besarnya manfaat bersih

tambahan yang diterima proyek pada akhir periode umur proyek tersebut. NPV

dapat dirumuskan sebagai berikut (Mangkoesoebroto, 2001):

t

NPV : nilai bersih, yaitu manfaat dikurangi biaya pada tahun ke t

t : tahun

i : tingkat bunga

B : manfaat

C : biaya

Suatu proyek dinyatakan layak jika NPV-nya bernilai positif sedangkan jika

bernilai negatif maka proyek tersebut tidak layak diusahakan.

Penentuan tingkat bunga sangat penting dalam perhitungan nilai bersih

sekarang maka pemilihan tingkat bunga harus mencerminkan biaya korbanan

penggunaan dana. Tingkat bunga yang terlalu tinggi akan menyebabkan nilai

NPV menjadi terlalu rendah untuk proyek yang memberi hasil dalam jangka

waktu lama begitu pula sebaliknya.

2.7.2. Rasio Manfaat – Biaya (Net B/C Ratio)

Metode rasio manfaat-biaya adalah suatu cara untuk mengevaluasi suatu

proyek dengan membandingkan nilai sekarang dari seluruh hasil yang diperoleh

dari proyek tersebut dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek tersebut. Analisis

(44)

B/C : rasio manfaat-biaya bersih

t : tahun

i : tingkat bunga

B : manfaat

C : biaya

Suatu proyek dilaksanakan bila rasio manfaat bersih nilainya lebih besar

dari pada satu. Namun menurut Mangkoesoebroto (2001) metode ini mempunyai

kelemahan antara lain tidak adanya pedoman yang jelas mengenai hal-hal yan

masuk sebagai perhitungan biaya atau manfaat dan kemungkinan terjadinya

manipulasi.

2.7.3. Metode Pengembalian Internal (Internal Rate of Return)

Metode pengembalian internal menghitung tingkat diskonto yang

menghasilkan nilai sekarang suatu proyek sama dengan nol. Metode IRR dapat

dirumuskan sebagai berikut (Mangkoesoebroto, 2001):

0

IRR : nilai pengembalian investasi tahun ke t

t : tahun

(45)

B : manfaat

C : biaya

NPV1 : NPV positif pada suku bunga i1

NPV2 : NPV positif pada suku bunga i2

i1 : suku bunga lebih rendah

i2 : suku bunga lebih tinggi

Investor akan melaksanakan proyek jika tingkat pengembalain (r) lebih besar dari

pada tingkat bunga (i). Menurut Mangkoesoebroto (2001) investor lebih sering

melihat IRR untuk keputusan investasinya karena lebih mudah untuk

dibandingkan antar proyek.

Selanjutnya dinyatakan bahwa walaupun analisis manfaat-biaya

merupakan suatu alat penilaian akan tetapi analisis ini tidak harus digunakan

sebagai alat penyaring untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proyek

pemanfaatan sumberdaya alam. Namun demikian di dalam prakteknya justru

sering dimanfaatkan sebagai alat analisis. Analisis manfaat-biaya lebih banyak

melihat suatu proyek dari segi efisiensi.

2.8. Matrik Analisis Kebijakan

Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta

dampaknya dalam pengusahaan berbagai aktivitas usaha, pengolahan, dan

pemasaran secara keseluruhan dan sistematis. Model PAM didasarkan pada dua

bentuk identitas yang menunjukkan profitabilitas dan perbedaan antara nilai privat

dan sosial dimana dapat menganalisis tiga hal yaitu keuntungan (privat dan

sosial), daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif), dan dampak

(46)

Secara tradisional metode empiris yang banyak digunakan untuk estimasi

PAM adalah estimasi permintaan dan penawaran. Model ini dapat menunjukkan

profit dan dampak penyimpangan yang terjadi karena distorsi kebijakan dan

kegagalan pasar (Ahmad dan Martini, 2000). Asumsi-asumsi yang digunakan

adalah:

1. Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang

terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah.

2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan

(shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah.

3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan berdasarkan

komponen tradable dan non-tradable.

4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.

Metode PAM umumnya digunakan pada sistem komoditas dengan

berbagai wilayah, tipe usahatani, dan teknologi. PAM adalah suatu matriks yang

disusun dengan memasukkan komponen-komponen utama berupa penerimaan,

biaya dan keuntungan. Berdasarkan matrik PAM dapat dilakukan beberapa

analisis yaitu analisis keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan dampak

(47)

2.8.1. Analisis Keunggulan Kompetitif

1. Keuntungan Privat (Privat Profitability = PP)

Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari suatu sistem

komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer

kebijakan yang ada.

2. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio = PCR)

Rasio ini adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga

privat. Nilai rasio ini menggambarkan berapa banyak sistem komoditi

tersebut dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik, dan tetap

dalam kondisi kompetitif saat break event setelah membayar keuntungan normal. PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditi membiayai faktor

domestik pada harga privat.

2.8.2. Analisis Keunggulan Komparatif

1. Keuntungan Sosial (Social Profitability = SP)

Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau

efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi dimana tidak ada divergensi, dan

penerapan kebijakan efisien.

2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio=DRC)

Rasio ini adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga

sosial. DRC merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai

(48)

2.8.3. Dampak Kebijakan Pemerintah

1. Kebijakan Output

a. Output Transfer (OT)

Selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat dengan

penerimaan yang dihitung atas dasar harga sosial (bayangan). Nilainya

menunjukkan keberadaan kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan

pada output sehingga terdapat perbedaan pada harga output privat dan

sosial.

b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO)

Rasio penerimaan yang berdasarkan harga privat dengan penerimaan

yang berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer

output. Nilainya menunjukkan dampak kebijakan yang menyebabkan

divergensi antara harga privat dan harga sosial terhadap harga output

(kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi).

2. Kebijakan Input

a. Input Transfer (IT)

Selisish antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat

dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial.

Nilainya menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan

pada input tradable.

b. Nominal Protection Coefficient on Tradabel Input (NPCI)

Rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dengan biaya

input berdasarkan harga bayangan yang mengindikasikan adanya

(49)

c. Factor Transfer (FT)

Nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosial

yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang

diperdagangkan. nilai ini memperlihatkan adanya kebijakan pemerintah

terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada

input tradable.

2. Kebijakan Input-Output

a. Effective Protection Coefficient (EPC)

Koefisien proteksi efektif adalah analisis gabungan antara koefisien

output nominal dengan koefisien input nominal. Besarannya

menunjukkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi

atau menghambat produksi domestik secara efektif.

b. Net Transfer (NT)

Transfer bersih adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar

diterima produsen dengan keuntungaan bersih sosialnya.

c. Profitability Coefficient (PC)

Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih

yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih

sosialnya. Nilainya menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan

(harga output, harga input, dan faktor domestik).

d. Subsidy Ratio to Producer (SRP)

Rasio subsidi produsen adalah proporsi dari penerimaan totap pada harga

sosial yang diperlukan jika subsidi sebagai satu-satunya kebijakan yang

(50)

2.9. Partisipasi Masyarakat

2.9.1. Definisi Partisipasi

Secara umum partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dalam

suatu pelaksanaan kegiatan. Menurut Mubyarto (1984), partisipasi dapat diartikan

sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai

kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi disini

umumnya dikaitkan dengan upaya mendukung program pemerintah.

Terdapat dua jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat.

Pertama adalah definisi yang diberikan oleh perencana pembangunan formal di

Indonesia dimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah dukungan

rakyat terhadap proyek pembangunan yang dirancak dan ditentukan tujuannya

oleh perencana. Kedua adalah definisi yang berlaku universal dimana partisipasi

masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana

dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan

mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini

tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan

masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada

tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan

dibanguan di wilayah mereka (Soetrisno, 1995).

Definisi lain menurut Hadi (1995) menyatakan bahwa partisipasi

masyarakat merupakan proses dimana masyarakat ikut serta mengambil bagian

(51)

sebagai masukan kebijakan, strategi, komunikasi, media pemecahan publik, dan

terapi sosial.

Menurut Soetrisno (1995) dari sudut pandang sosiologis, partisipasi yang

diartikan hanya sebagai dukungan masyarakat terhadap program pembangunan

yang sudah dirancang dan ditetapkan tujuannya sebelumnya bukan merupakan

partisipasi masyarakat melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan.

Mobilisasi masyarakat dalam pembangunan hanya dapat mengatasi permasalahan

pembangunan dalam jangka pendek. Pengertian partisipasi masyarakat yang

sebenarnya diharapkan dalam pembangunan adalah keterlibatan atau

keikutsertaan masyarakat secara aktif baik secara moril maupun materil dalam

program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang didalamnya

menyangkut kepentingan individu.

2.9.2. Jenis, Tipe, dan Tahapan Partisipasi

Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan

sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan

(Harahap, 2001). Partisipasi dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, tipe dan

tahapan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dibagi lima. Pertama,

ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima imbalan atas

masukan tersebut, dan menikmati hasil pembangunan. Kedua, ikut memberikan

masukan dan ikut menikmati hasil pembangunan. Ketiga, ikut memberikan

masukan dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan.

(52)

memberikan masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut menikmati hasil

pembangunan.

Tipe partisipasi menurut Pretty dalam

1. Partisipasi Pasif

Harahap (2001) dikelompokkan

menjadi tujuh jenis yaitu:

Partisipasi masyarakat dengan diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi

yang merupakan tindakan sepihak dari administratur atau manajer proyek

tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat. Sumber informasi yang dihargai

hanya pendapat para professional.

2. Partisipasi dalam Pemberian Informasi

Partisipasi msyarakat dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan dengan kuesioner atau pendekatan serupa. Masyarakat tidak

memiliki kesempatan untuk mempengaruhi cara kerja karena

temuan-temuan tidak dibagi kepada mereka.

3. Partisipasi Konsultatif

Partisipasi masyarakat dengan dimintai tanggapan atas suatu hal. Pihak luar

yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan

analisis. Bentuk konsultasi tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam

proses pengambilan keputusan, dan pihak luar pada dasarnya tidak

berkompeten untuk mewakili masyarakat.

4. Partisipasi dengan Imbalan Materi

Partisipasi masyarakat dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya

yang dimilikinya, misalnya sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh imbalan

(53)

jadi menyediakan lahan dan tenaga kerjanya, namun tidak terlibat dalam

proses eksperimentasi dan pembelajaran. Proses inilah yang selama ini lazim

disebut sebagai partisipasi. Dalam konteks ini masyarakat tidak memiliki

pijakan untuk melanjutkan kegiatannya tatkala imbalan dihentikan.

5. Partisipasi Fungsional

Partisipasi masyarakat dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan

proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat biasanya

tidak hanya pada tahap awal proyek atau perencanaan, tetapi juga setelah

keputusan pokok dibuat pihak luar. Kelompok masyarakat cenderung

menjadi tergantung terhadap pemrakarsa dan fasilitator luar, tetapi juga

mungkin untuk menjadi mandiri.

6. Partisipasi Interaktif

Partisipasi masyarakat dalam tahapan analisis, pengembangan rencana

kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi local.

Partisipasi dipandang sebagai hak, dan bukan sekedar sebagai cara untuk

mencapai tujuan proyek. Proses tersebut melibatkan metodologi

multidisiplin yang membutuhkan perspektif yang mejemuk serta

membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Sebagai

kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas

keputusan-keputusan local, sehingga masyarakat memiliki kewenangan yang jelas

untuk memelihara struktur dan kegiatannya.

7. Mobilisasi Swakarsa

Partisipasi masyarakat dengan mengambil inisiatif secara mandiri untuk

(54)

dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah

teknikal yang mereka butuhkan, tetapi tetap memegang kendali menyangkut

pendayagunaan sumberdaya. Partisipasi ini mungkin tidak akan

mengganggu distribusi kesejahteraan dan kekuasaan.

Tahapan partisipasi masyarakat menurut Sustiwi (1986) dapat dibedakan

menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap perencanaan biasanya diwakili oleh tokoh

masyarakat atau wakil yang duduk di pemerintahan desa. Kedua, tahap

pelaksanaan dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan program,

baik secara fisik maupun non-fisik. Terakhir, tahap pemanfaatan program dimana

masyarakat ikut berpartisipasi dalam menikmati dan memanfaatkan hasil-hasil

pembangunan yang dicapai.

2.9.3. Pengembangan Partisipasi Masyarakat

Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan haruslah

memberikan manfaat. Menurut Cernea (1991) terdapat lima cara untuk menjamin

keuntungan dalam berpartisipasi dalam suatu proyek. Pertama, tingkat partisipasi

yang diinginkan harus dibuat jelas sejak awal dan dapat diterima semua orang.

Kedua, memiliki sasaran yang realistis untuk berpartisipasi dan harus dibuat

berdasarkan fakta yang ada pada setiap perencanaan. Ketiga, pada umumnya perlu

dilakukan perkenalan dalam mendukung partisipasi dimana harus disesuaikan

dengan pola organisasi social di tingkat lokal. Keempat, harus ada komitmen

pendanaan bagi partisipasi masyarakat. Terakhir, harus ada perencanaan terhadap

Gambar

Gambar 1. Kurva Permintaan Individu Terhadap Manfaat Produk. Sumber: Bann (1998) dan Tietenberg (2001)
Gambar 2. Kurva Penawaran Manfaat Individu
Gambar 3. Teknik Penilaian Produk Bukan Kayu
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Konseptual
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret s/d Mei 2010 di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dan di desa-desa yang

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Gunung Leuser adalah air, asam glugur, daun rumbia,

Berdasarkan permasalahan ini perlu dilakukan penelitiaan tentang “Analisis Tingkat Kepuasan Wisatawan Mancanegara Pengunjung Objek Wisata Alam Taman Nasional Gunung Leuser di

Kawasan restorasi di Resort Sei Betung, dahulunya merupakan lahan persengketaan antara perkebunan kelapa sawit dan pihak Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).Saat ini

Rio Ardi : Kajian Aktivitas Mikroorganisme Tanah Pada Berbagai Kelerengan Dan Kedalaman Hutan Alam (Studi kasus di Taman Nasional Gunung Leuser, Seksi Besitang), 2010..

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 sampai 2019 di SPTN VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser menggunakan citra

Kinerja Resort yang baik akan ditentukan oleh sejauh mana resort itu sendiri mengejawantahkan tugas dan fungsi pokok Balai Taman Nasional Gunung Leuser. Jadi,

Berdasarkan aktivitas tersebut, aktivitas yang paling dominan dilakukan oleh Pongo abelii di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara