TAMAN NASIONAL
Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser,
Nanggroe Aceh Darussalam
M. S. KABAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul :
ANALISIS EKONOMI WILAYAH TAMAN NASIONAL
(Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh
Darussalam)
adalah hasil karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali
dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor, April 2011
M. S. Kaban
Nasional Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh
Darussalam (LUTFI IBRAHIM NASOETION sebagai Ketua dan AGUS
PAKPAHAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Kegiatan masyarakat yang memanfaatkan zona penyangga (buffer zone) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memberikan pengaruh terhadap semakin berkurangnya persediaan alam maupun hasil hutan kayu dan bukan kayu yang mendorong masyarakat memasuki kawasan inti (wilderness zone), keadaan ini merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem yang seharusnya dapat
dihindarkan. Tujuan penelitian untuk : (1) memberikan penilaian terhadap
pemanfaatan produk kayu maupun bukan kayu dan (2) mengetahui sejauh mana besarnya kerugian yang akan diterima oleh masyarakat dengan pengorbanan zona penyangga.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) analisis manfaat-biaya yang dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha TNGL melalui pemanfaatan zona penyangga dengan alat ukur kriteria investasi yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit/Cost Ratio (B/C Rasio) dan Internal Rate of Return
(IRR) dan (2) analisis kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM) yang
digunakan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : (1) hasil analisis ekonomi manfaat dan biaya yang dilakukan dengan suku bunga (tingkat diskonto) pasar (18 persen) menunjukkan bahwa pengusahaan zona penyangga TNGL tidak layak untuk diusahakan. Namun dengan memberikan subsidi suku bunga sehingga tingkat diskonto turun menjadi 10 persen, hal tersebut menjadi layak untuk diusahakan. Akan tetapi pengusahaan tersebut cukup riskan karena hasil analisis sensitifitas menunjukkan bahwa penurunan nilai manfaat bukan kayu sebesar 20 persen dapat menyebabkan kegiatan tersebut menjadi tidak layak. Kelayakan usaha akan terjaga dengan baik, walaupun terjadi penurunan nilai manfaat bukan kayu 20 persen dan/atau kenaikan biaya operasional 20 persen, apabila subsidi suku bunga diberikan 11 persen (tingkat diskonto 7 persen) dan (2) hasil analisis kebijakan menunjukkan bahwa pengelolaan TNGL kurang kompetitif karena keuntungan finansialnya yang negatif. Namun pengelolaan tersebut efisien secara ekonomi, dimana untuk memperoleh tambahan satu rupiah output diperlukan tambahan biaya faktor domestik atau non-tradable lebih kecil dari satu rupiah. Temuan lain menunjukkan adanya kebijakan yang menyebabkan berkurangnya surplus produsen di mana kebijakan pemerintah menyebabkan pengelola mengeluarkan biaya lebih besar dari pada biaya imbangan pengelolaannya (opportunity cost). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah hendaklah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga pelaksanaannya jangan sampai menimbulkan inefisiensi. Untuk itu, partisipasi masyarakat sangat diperlukan sejak penentuan kegiatan hingga pengelolaan serta pemantauan pelaksanaan kegiatan, sehingga kawasan penyangga TNGL di satu sisi mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan di sisi lain menopang kelestarian TNGL.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik
NASIONAL
Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Leuser,
Nanggroe Aceh Darussalam
M. S. KABAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Darussalam.
Nama : M. S. Kaban
Nomor Pokok : 88213
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasoetion
Ketua Anggota
Dr. Ir. Agus Pakpahan
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Malem Sambat Kaban (M.S. Kaban) dilahirkan di Kotamadya Binjai,
Sumatera Utara pada tanggal 5 Agustus 1958. penulis adalah putra kelima dari
sebelas bersaudara dari keluarga Almarhum Abdul Manan Kaban (ayah) dan
Sama Tarigan (ibu). Pada tahun 1984 penulis menikah dengan Nurmala Dewi
dengan dikaruniai tujuh orang anak yang terdiri dari enam orang putra dan satu
orang putri yaitu Nur Sabil Mahsyar Kaban, Abdul Mannan Akbar Kaban,
Muhammad Amrin Salam Kaban, Ahmad Rizki Robbani Kaban, Muhammad
Cholis Kamil Kaban, Rizal Maulana Muttaqin Kaban, dan Nur Rehulina Karima
Kaban,
Pada Tahun 1977 penulis lulus dari Sekolah Menengah Tingkat Atas
Negeri (SMAN) VII Medan dan pada bulan Maret 1978 diterima sebagai
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya di Jakarta kemudian lulus
sebagai Sarjana Ekonomi pada bulan Oktober 1985.
Pada tahun 1988 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan pada
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Progam Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Dalam rangka untuk
menyelesaikan studi, penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Ekonomi Wilayah Taman Nasional (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung
Leuser, Nanggroe Aceh Darusalam) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lutfi
Ibrahim Nasoetion sebagai Ketua Komisi dan Dr. Ir. Agus Pakpahan sebagai
anggota.
Sejak lulus sebagai Sarjana Ekonomi hingga kini penulis bekerja sebagai
staf pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Pada
Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2004 penulis dipilih menjadi anggota DPR RI
yang kemudian pada Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2009 penulis diberi
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling tepat Penulis ucapkan kecuali ucapan puja dan puji
syukur kehadirat Allah SWT atas Rahman dan Rahim-Nya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan program pendidikan strata dua (S2) ini.
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu pelaksanaan
studi ini mulai dari awal hingga penulisan akhir. Meski Penulis tidak dapat
menyebutkan satu persatu bukan berarti peranan mereka diabaikan. Prof. Dr. Ir.
Lutfi Ibrahim Nasoetion selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus
Pakpahan sebagai anggota Komisi Pembimbing telah memberikan pengarahan
dalam perumusan masalah hingga penarikan kesimpulan serta memberikan
bimbingan yang cukup intensif mengenai metode analisa dan kerangka pemikiran
serta komentar dan pertanyaan yang diajukan semasa proses penulisan. Kepada
Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc, yang sebelumnya telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada Penulis. Untuk semua ini Penulis haturkan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang tertinggi.
Kepada Prof Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. selaku Rektor Institut
Pertanian Bogor, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.Si. selaku Ketua Program
Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan beserta jajarannya
yang telah banyak memberikan perhatian dan bantuannya dalam proses
penyelesaian studi ini maka dengan segala hormat Penulis sampaikan terima kasih
yang tak terhingga.
Kepada Pimpinan Yayasan Pendidikan Islam Ibn Khaldun dan Rektor
Universitas Ibn Khaldun Bogor yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa
untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB maka Penulis sampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Kepada rekan-rekan staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Ibn
Khaldun Bogor yang berkenan memberikan dorongan moril serta sumbangan
pemikiran dan komentar yang sangat bermanfaat bagi upaya penyelesaian studi
ini. Atas perhatian dan dukungan moril tersebut Penulis haturkan ucapan terima
Begitu pula halnya dengan almarhum Ayahanda Abdul Manan Kaban dan
Ibunda Sama Tarigan yang telah berjuang keras mendidik dan membesarkan
hingga saat ini, Penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga.
Tidak akan terlupakan pengorbanan dari istri tercinta Nurmala Dewi yang
turut memberikan bantuan moril serta sumbangan tenaga khususnya pada saat
pengetikan naskah hasil penelitian. Demikian juga anak-anak tercinta Nur Sabil
Mahsyar Kaban, Abdul Mannan Akbar Kaban, Muhammad Amrin Salam Kaban,
Ahmad Rizki Robbani Kaban, Muhammad Cholis Kamil Kaban, Rizal Maulana
Muttaqin Kaban, dan Nur Rehulina Karima Kaban, yang selalu menjadi pelipur
lara dikala dalam menghadapi kesulitan penulisan.
Atas semua dukungan dan bantuan baik moril maupun materiil yang telah
Penulis rasakan tersebut kiranya hanya Allah SWT yang senantiasa memberikan
ganjaran kebaikan bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Akhirnya Penulis berharap agar tesis ini yang berjudul Analisis Ekonomi
Wilayah Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Leuser,
Nanggroe Aceh Darussalam) dapat memberikan manfaat bagi kemajuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penilaian kualitas lingkungan
hidup yang lebih alami. Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna maka kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penulis
harapkan.
Bogor, April 211
DAFTAR ISI
2.5. Manfaat Konsumsi, Penawaran dan Sosial Bersih ...
2.6. Identifikasi Nilai Ekonomi ...
2.6.1. Nilai Penggunaan Langsung ...
2.6.2. Nilai Penggunaan Tidak Langsung ...
2.8. Matrik Analisis Kebijakan ...
2.9.3. Pengembangan Partisipasi Masyarakat ...
2.10. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 37
40
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ...
3.1.1. Metode Penilaian Ekonomi (Total economic value) ... 3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ...
3.3. Hipotesis ...
4.1. Metode Pungumpulan Data ...
4.1.1. Data Primer ...
4.1.2. Data Sekunder ...
4.2. Teknik Pengolahan Data ...
4.3. Metode Penentuan Nilai Ekonomi ...
4.4. Analisis Kelayakan Ekonomi ...
4.4.1. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value) ... 4.4.2. Rasio Manfaat/Biaya (Net Benefit Cost Ratio) ... 4.4.3. Pengembalian Internal (Internal Rate of Return) ... 4.4.4. Penentuan Tingkat Diskonto ...
4.4.5. Analisis Sensitifitas ...
4.5. Metode Matriks Analisis Kebijakan ...
4.5.1. Analisis Keunggulan Kompetitif ...
V. KEADAAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG
LEUSER(TNGL) ...
5.1. Riwayat Kawasan ...
5.2. Lokasi ...
5.3. Letak dan Batas ...
5.4. Keadaan Iklim ...
5.5. Kekayaan Flora dan Fauna ...
5.7. Keadaan Sosial ...
VI. KEKAYAAN HUTAN KAWASAN PENYANGGA ...
6.1. Produk Bukan Kayu ...
6.2. Pariwisata ...
VII. ANALISIS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
GUNUNG LEUSER(TNGL) ...
7.1. Identifikasi Pembiayaan ...
7.2. Identifikasi Manfaat ...
7.2.1.Sumber Produk Bukan Kayu. ...
7.2.2.Pariwisata ...
7.2.3. Air ...
7.3. Analisis Kelayakan Ekonomi ...
7.3.1. Analisis Manfaat Biaya ...
8.1. Konstruksi Matriks Analisis Kebijakan untuk Kawasan
TNGL ...
8.2. Dampak Kebijakan Pengelolaan Kawasan TNGL ...
8.3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat ...
DAFTAR TABEL
Fungsi, Kegunaan dan Sifat TNGL ...
Matrik Analisis Kebijakan ...
Jumlah Penduduk di Kawasan TNGL ahun 1990 ...
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kawasan TNGL Tahun 1990 ....
Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan TNGL Tahun 2000 ...
Komposisi Sarana Ibadah dan Agama dalam Persen Tahun 1990 ...
Fasilitas Pendidikan di Sekitar Kawasan Leuser Tahun 1990 ...
Sarana Kesehatan dan Tenaga Medis di Kawasan TNGL Tahun 1990 ....
Penggunaan Lahan Penduduk Gunung Leuser Tahun 1990 ...
Produksi Tata Guna Lahan Penduduk Gunung Leuser Tahun 1990 ...
Luas dan Produksi Tanaman Perkebunan Kabupaten Langkat
Tahun 1990 ...
Potensi Zona Pemanfaatan. ...
Tabel Aneka Jenis Tanaman Hias Kawasan Penyangga TNGL ...
Jenis Produk Bukan Kayu yang Dimanfaatkan Masyarakat di TNGL
Tahun 1999 ...
Matriks Hubungan Produk-produk Lahan Penyangga terhadap
Lingkungan ...
Daftar Nama-nama Kayu Jenis Komersil ...
Taksiran Volume Kayu (m3
48 /ha) untuk Masing-masing Kelas, Diameter
dan Kelompok Jenis ...
Produksi Beberapa Komoditi Tanaman Perkebunan per hektar/tahun ...
Biaya Pembangunan TNGL ...
Rencana Tahapan Pengembangan...
Rencana Pengembangan Tahunan ...
Daftar Anggaran TNGL dari APBN, World Bank dan Provisi
Sumberdaya Hutan (PSDH) ...
Rekapitulasi Biaya Pengusahaan TNGL Tahun 1980/1981 hingga
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Kerugian Akibat Bencana Alam ...
Ramalan pengunjung TNGL ...
Hasil Analisis Manfaat-Biaya TNGL ...
Hasil Analisis Sensitifitas ...
Matrik Analisis Kebijakan Pengelolaan TNGL (Rp/Tahun) ...
Indikator Matrik Analisis Kebijakan ... 117
120
123
124
126
DAFTAR GAMBAR
Nomer Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kurva Permintaan Individu Terhadap Manfaat Produk ...
Kurva Penawaran Manfaat Individu ...
Teknik Penilaian Produk Non Timber ...
Kerangka Pemikiran Konseptual ...
Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ...
Pegunungan di Kawasan TNGL ...
Sungai Alas di Aceh Tenggara ... 20
21
45
49
63
64
DAFTAR LAMPIRAN
Perhitungan Manfaat Produk Bukan Kayu di TNGL ...
Perhitungan Manfaat Pariwisata terhadap TNGL ...
Perhitungan Manfaat Air di TNGL ...
Analisis Manfaat-Biaya Kondisi Awal (Suku Bunga Pasar) dengan
Discount Rate 18% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga Discount Rate
10% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga Discount Rate
7% ...
Analisis Manfaat-Biaya Tanpa Subsidi Suku Bunga (Discount Rate
18%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya Tanpa Subsidi Bungai (Discount Rate 18%)
dan Biaya Operasional Naik 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsisi Bunga (Discount Rate 10%)
dan Manfaat Bukan Kayu Turun 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate
10%) dan Biaya Operasional Naik 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsisi Suku Bunga (Discounte Rate
10%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% dan Biaya
Operasional Naik 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate
7%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya denan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate
7%) dan Biaya Operasional Naik 20% ...
Analisis Manfaat-Biaya dengan Subsidi Suku Bunga (Discount Rate
7%) dan Manfaat Produk Bukan Kayu Turun 20% dan Biaya
Operasional Naik 20% ...
Analisis Finansial dan Ekonomi Pengelolaan TNGL ...
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kemakmuran ini dinilai dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi, sedangkan kesejahteraan masyarakat diketahui dari tingkat
harapan hidup (life expectation). Namun pada beberapa tahun belakangan ini pendekatan pembangunan ekonomi mulai mengikutsertakan persoalan kelestarian
lingkungan dan kualitas hidup manusia.
Penyertaan kelestarian lingkungan dan kualitas hidup manusia dalam
pembangunan ekonomi didasarkan pada pemikiran bahwa sumber-sumber alam
yang tersedia saat ini tidak hanya untuk generasi sekarang, akan tetapi harus dapat
dinikmati oleh generasi yang akan datang. Terpeliharanya sumber daya alam juga
merupakan modal utama bagi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development).
Pengalaman dari beberapa negara berkembang dalam pembangunan
perekonomiannya cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan sumber daya
alam dan kualitas manusia. Situasi ini menimbulkan bahaya erosi, banjir, dan
sedimentasi. Akibat lebih lanjut ialah semakin mahalnya biaya pembangunan
serta hilangnya kenyamanan.
Adapun kelompok masyarakat yang paling merasakan beban penderitaan
yang berat adalah kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dan
daya alam berupa produk-produk bukan kayu seperti rotan, durian, kayu manis
dan sebagainya.
Demi terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan di segala bidang,
diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah yang bertujuan melestarikan
lingkungan. Hal ini berguna agar segala kekayaan alam yang tersedia seperti
tanam-tanaman dan hasil hutan lainnya dapat memberikan manfaat sosial maupun
ekonomi kepada masyarakat di sekitar kawasan konservasi (protected area) yang ditetapkan pemerintah seirama dengan konsep pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Pada konsep ini perlu diperhatikan adanya dua tujuan ganda yang
harus dicapai yaitu:
a. Perlindungan dan pengawetan secara mutlak terhadap ekosistem.
b. Pemanfaatan secara terkendali dari ekosistem dan aneka ragam jenisnya
tersebut sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat secara
luas.
Bentuk kawasan konservasi yang dapat mewujudkan tujuan ganda tersebut
salah satu di antaranya adalah dengan penetapan Taman Nasional (National
Park). Dengan demikian berarti bahwa Taman Nasional adalah kawasan
konservasi yang harus dikelola secara terpadu yaitu perlindungan, pengawetan
dan pemanfaatan dalam satu kesatuan pengelolaan (management unit).
Berdasarkan Serikat Pelestarian Alam Internasional (IUCN) pada tahun 1969
tentang Taman Nasional sedunia yang kemudian ditetapkan pada tahun 1972,
maka Taman Nasional dirumuskan sebagai berikut:
1. Taman Nasional harus memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik
2. Tidak ada perubahan karena kegiatan eksploitasi dan pemukiman penduduk.
3. Kebijaksanaan dan pengelolaan Taman Nasional berada pada departemen
yang berkompeten dan bertanggung jawab.
4. Memberikan kesempatan pada pengembangan Taman Nasional (proyek)
wisata alam, sehingga terbuka untuk umum dengan persyaratan khusus
untuk tujuan pendidikan ilmu pengetahuan, budaya bina cinta alam dan
rekreasi.
Sampai dengan tahun 2001 Indonesia telah memiliki 34 unit Taman
Nasional. Taman Nasional yang pertama adalah Taman Nasional Gunung Leuser,
terletak di antara propinsi Sumatera Utara dan propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Taman ini ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Perlidungan Hutan dan Pelestarian
Alam No. 56/kpts/VI-Sek 84.
Sesuai dengan asas pokok keunikan dan keaslian, Taman Nasional
Gunung Leuser memiliki luas 1.094.692 ha yang terdiri dari 95 jenis flora dan 89
jenis fauna langka yang hampir mengalami kepunahan. Kawasan Taman
Nasional juga memancarkan panorama serta pemandangan yang indah.
Keindahan tersebut mengundang daya tarik wisatawan domestik maupun
mancanegara.
Dari keanekaragaman produk-produk alam yang terdapat di kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser diperoleh manfaat langsung dan manfaat tidak
langsung. Manfaat langsung (direct benefit) didapatkan dari pengolahan,
pemakaian produk kayu dan bukan kayu. Secara khusus pengolahan dan
pemanfaatan produk-produk kayu diberikan kepada pemegang Hak Penguasaan
masyarakat di sekitar kawasan ataupun kaum pendatang dari wilayah lain.
Anggota masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan bukan yau sangat tergantung
pada persediaan alamiah dan musim-musim tertentu. Hasil-hasil bukan kayu
dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari maupun keperluan usaha
perdagangan. Komoditas yang termasuk produk bukan kayu yaitu tanam-tanaman
untuk obat-obatan, rotan, kemiri, durian, rambutan, manggis, rambe dan lain-lain.
Sedangkan manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang diterima masyarakat berupa pemeliharaan stabilitas sumber mata air, keteraturan musim, penyediaan
tempat rekreasi dan sebagai arena penelitian ilmu pengetahuan.
Nilai manfaat yang dihasilkan oleh Taman Nasional Gunung Leuser cukup
besar mencakup daerah yang luas. Untuk mempermudah pengelolaan, pemerintah
melakukan zonasi (pewilayahan) yang terdiri atas:
1. Mintakat Inti (Sanctuary Zone), merupakan daerah tertutup bagi
pengunjung. Daerah ini hanya boleh dimasuki dengan izin khusus bagi
kepentingan penelitian.
2. Mintakat Perlindungan (Wilderness Zone), merupakan daerah yang menjadi sasaran utama untuk dilestarikan mencakup areal yang paling luas ¾ dari
seluruh kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Zone ini juga merupakan
tempat tinggal, tempat mencari makan, tempat perlindungan dan tempat
berkembang biak berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang berfungsi bagi
kelestarian ekosistem.
3. Mintakat Pengembangan atau Mintakat Pemanfaatan (Intensive Zone),
rehabilitasi satwa liar, pendidikan dan pusat pengunjung. Daerah ini
meliputi bukit Lawang Baharok, Sekundur bagian utara dan Ketambe.
4. Mintakat Penyangga (Buffer Zone), merupakan daerah antara Taman
Nasional dan tempat pemukiman yang lebarnya 5 sampai 10 km, dan
berfungsi sebagai areal penghalang yang mencegah perluasan pemilikan
tanah dan pengambilan hasil hutan oleh penduduk untuk memenuhi
kebutuhan maupun kepentingan perdagangan. Selain di dalam daerah
penyangga ini, pembukan tanah untuk pertanian dan pemukiman tidak
diperkenankan.
Dari seluruh zone yang telah ditentukan maka wilayah penyangga (buffer
zone) merupakan zone (kawasan) yang secara langsung berhubungan dengan
kehidupan masyarakat. Masyarakat diberi kesempatan mengolah lahan dan
memanfaatkan segala hasil-hasil hutan yang terdapat di dalamnya. Selaras
dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, sudah tentu menuntut
tersedianya lahan olahan yang semakin luas dan permintaan akan hasil-hasil hutan
semakin besar jumlahnya. Keadaan seperti itu mempercepat proses kelangkaan
hasil-hasil bukan kayu dan menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan. Resiko
kerusakan dan ancaman lingkungan akan mengurangi pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat serta berakibat pada biaya hidup yang semakin tinggi.
Sedangkan upaya memperbaiki kerusakan yang terjadi di kawasan penyangga
1.2. Perumusan Masalah
Pihak pengelola Taman Nasional Gunung Leuser menetapkan areal seluas
299.448 ha sebagai kawasan penyangga (buffer zone). Kawasan ini berfungsi sebagai areal penghalang, pencegah perluasan pemilikan lahan dan pengambilan
hasil-hasil hutan bukan kayu. Pada kawasan penyangga ini penduduk dibenarkan
membangun perladangan dan kegiatan lainnya. Bagi penduduk di kawasan
penyangga dan penduduk pendatang, segala kekayaan yang terdapat di dalamnya
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun kepentingan
usaha perdagangan.
Perkembangan kegiatan dan pertumbuhan masyarakat yang memanfaatkan
zona penyangga memberikan pengaruh terhadap semakin berkurangnya
persediaan alam maupun hasil-hasil bukan kayu yang mendorong masyarakat
memasuki kawasan inti (wilderness zone), keadaan ini merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem yang seharusnya dihindarkan. Beberapa indikasi yang
mendorong masyarakat kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memperluas
lahan sampai kawasan inti adalah:
1. Kepadatan penduduk yang mendiami kawasan penyangga (buffer zone)
Gunung Leuser seperti di daerah lembah Alas yang dihuni oleh 21.713
kepala keluarga dengan kerapatan 118 sampai 331 orang/km2 dan dataran rendah Langkat dihuni oleh 287.162 orang atau 40.926 kepala keluarga
dengan kerapatan penduduk 240 sampai dengan 275 orang/km2
2. Sebagian penduduk menggantungkan kehidupan mereka dalam bidang
pertanian dengan cara-cara pertanian yang masih tradisional yaitu dengan
pertanian baru dengan jalan membuka tanah-tanah hutan dalam kompleks
Taman Nasional Gunung Leuser.
3. Tumpang tindihnya peruntukan hutan antara kepentingan kawasan
perlindungan dengan para pemegang HPH. Penduduk yang berada di daerah
HPH keluar dan mencari tempat menetap di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser. Sementara lokasi HPH tersebut berada atau termasuk di
dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser.
4. Program pembangunan jalan antara Blangkejeren sampai Tapak Tuan
Kotacane, Kappi Meluak dan kemudian dikembangkan menjadi alur daerah
wisata pemandangan (scene road) mengundang kaum pendatang dan
penduduk membangun perumahan di sepanjang jalur yang telah lancar
dengan arus perhubungan.
Gambaran tersebut di atas meunjukkan bahwa besarnya beban yang
diterima oleh kawasan penyangga (buffer zone) mengalami peningkatan terus-menerus. Beban tersebut akan mengurangi fungsi kawasan penyanga sebagai
pencegah kerusakan ekosistem, dan menambah cepat punahnya berbagai produk
hasil hutan bukan kayu yang menopang kebutuhan hidup baik untuk sehari-hari
maupun untuk kepentingan ekonomi. Berkurangnya hasil hutan bukan kayu sudah
jelas menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang memerlukannya dan
pengurangan pendapatan bagi yang menggunakannya untuk kepentingan
ekonomi. Sedangkan kerusakan tersebut menunjukkan adanya konflik
kepentingan antara pengadaan kawasan penyangga (buffer zone) dengan
pemberian izin mengambil dan memanfaatkan segala produk yang terdapat di
berdampingan dengan penduduk mempunyai nilai manfaat ekonomi maupun
manfaat sosial, diperlukan penilaian atau analisis ekonomi wilayah kawasan
penyangga TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser). Analisis ini diperlukan
untuk memahami apakah hasil keseluruhan yang ditawarkan oleh TNGL akan
memiliki nilai economic of return yang tinggi?
Untuk mengetahui nilai manfaat kawasan TNGL yang dimaksud di atas,
maka diperlukan informasi dasar tentang pengelolaan kawasan TNGL secara
keseluruhan, diantaranya adalah:
1. Berapakah besarnya dana-dana yang telah dianggarkan atau dikeluarkan
untuk pengembangan dan pengelolaan kawasan lindung TNGL.
2. Sumber-sumber manakah yang paling besar memberikan sumbangan dalam
usaha penyelamatan kawasan TNGL
3. Bentuk-bentuk kerugian apa saja yang diderita masyarakat dengan
terjadinya perubahan kawasan TNGL sehingga mengurangi kesejahteraan
masyarakat.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas maka penelitian
ini bertujuan:
1. Untuk memberikan penilaian terhadap pemanfaatan produk kayu dan
bukan kayu.
2. Mengetahui sejauh manakah besarnya kerugian yang akan diterima oleh
1.4. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi yang berharga
terutama tentang hal-hal yang mempengaruhi keselamatan kawasan konservasi
TNGL sebagi sumber yang dapat mempengaruhi kesejahteraan sosial dan
ekonomi masyarakat. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan bagi usaha pengembangan Taman
Nasional Gunung Leuser baik untuk pelestarian produk bukan kayu maupun kayu.
Sedangkan bagi pengelola Taman Nasional Gunung Leuser, dapat berperan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taman Nasional
Taman nasional berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI No.
687/KPTS-II/1989 didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang dikelola
dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti dan atau zona-zona lain yang
dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional adalah suatu
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Sembiring, 2001).
Tujuan utama taman nasional adalah menjaga keutuhan keterwakilan
ekosistem yang berarti melindungi ekosistem itu dari kerusakan dan
merehabilitasi kembali apa yang sudah terlanjur rusak, selain itu harus ada upaya
menghilangkan sebab kerusakan dan menghentikan kegiatan perusakan.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Taman Nasional dan
Hutan Wisata, sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan taman nasional
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Memperbaiki fungsi kawasan konservasi semaksimal mungkin sesuai
dengan daya dukungnya.
b. Menciptakan hubungan antara konservasi dan kepentingan pembangunan
melalui pengembangan budidaya pertanian dan perikanan dari aneka ragam
c. Meningkatkan pelayanan bagi pengunjung untuk memanfaatkan taman
nasional baik untuk penelitian, wisata, pengambilan gambar dan penulisan
untuk publikasi maupun kegiatan lainnya.
d. Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar taman
nasional antara lain dengan menyediakan lapangan kerja, memacu
terciptanya jasa angkutan dan akomodasi serta mendorong pembangunan di
berbagai sektor lainnya.
2.2. Kawasan Penyangga
Kawasan penyangga adalah suatu zona yang dialokasikan untuk tujuan
sebagai pagar efektif bagi taman nasional dari gangguan masyarakat. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998, daerah penyangga adalah wilayah
yang berada di luar kawasan taman nasional, baik sebagai kawasan hutan lain,
tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu
menjaga keutuhan kawasan taman nasional.
Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebaskan dengan
suatu hak sebagai daerah penyangka ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar
pertimbangan Bupati yang bersangkutan. Penetapan daerah penyangga dilakukan
dengan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak. Sementara
itu pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap berada pada
pemegang hak dan tetap memperhatikan ketentuan yang ada yaitu secara ekologis
masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka
Direktorat Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam menjelaskan bahwa
kawasan penyangga merupakan suatu alat untuk:
a. Menentukan pemenuhan berbagai keperluan dasar masyarakat disekitarnya
baik untuk makan, uang maupaun kesenangan atau rekreasi.
b. Menyelamatkan potensi taman nasional dari berbagai macam ganguan baik
oleh manusia, ternak, maupun pencemaran lingkungan.
c. Mengembangkan dan membina hubungan antara masyarakat dengan
alamnya yaitu mengusahakan adanya integrasi antara manusia dengan alam
pada tingkat yang lebih baik.
d. Melindungi manusia dan daerah pertanian, perkebunan, perikanan,
kehutanan dan sebagainya dari gangguana satwa liar.
e. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi melalui usaha tani yang intensif dan
kesadaran masyarakat terhadap usaha pelestarian alam dan lingkungannya.
f. Menumbuhkan, mengembangkan organisasi swadaya masyarakat dalam
kaitannya dengan usaha-usaha pelestarian sumberdaya alam.
Menurut Soekmadi (2005) daerah penyangga suatu taman nasional dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu daerah penyangga fisik dan daerah penyangga
sosial. Daerah penyangga fisik maksudnya ditujukan untuk membentengi potensi
taman nasional dan melindungi masyarakat dari gangguan yang datang dari taman
nasional dimana juga diharapkan untuk dapat dimanfaatkan sebagai areal
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sekitar. Daerah penyangga sosial yaitu
daerah penyangga yang merupakan wilayah binaan dimana sebagian besar
kehidupan anggota masyarakat masih bergantung pada keberadaan potensi
2.3. Kerusakan Lingkungan
Beberapa dekade yang lalu, ada anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang diiringi dengan penurunan kualitas lingkungan atau kawasan, secara
kuantitatif semakin besar. Beberapa penelitian menunjukan faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan atau kawasan yang disimpulkan
oleh Maynard Hufscmidt tahun 1983 sebagai berikut:
a. Kurangnya pengawasan lingkungan terhadap pelaksanaan undang-undang
perlindungan lingkungan.
b. Kelangkaan sumber keuangan dalam hubungan dengan kebutuhan sekarang
yang merupakan kendala bagi keinginan untuk melindungi sistem alamiah.
c. Luasnya kemiskinan masyarakat menghasilkan kegiatn-kegiatan yang
merusak lingkungan sistem alam jangka panjang.
d. Sering kali buruknya pembagian pendapatan mempengaruhi kualitas
perencanaan program sebagai akibat pendapatan yang tidak mencukupi.
e. Kesulitan dalam pengawasan lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas
pembangunan sektor pribadi dan sektor publik, yang mana pengendalian
kualitas sektor lingkungan oleh publik memiliki keterbatasan program.
f. Tidak cukup tersedianya para teknisi, administrasi dan ekonom dalam
membuat perencanaan lingkungan.
g. Luasnya kegagalan pasar yang ekstensif memerlukan penggunaan harga
bayangan penempatan pasar.
h. Kurangnya peran serta pengendalian kualitas lingkungan baik oleh
masyarakat umum maupun oleh perusahaan pemerintah yang mengurangi
i. Tidak cukup tersedianya data lingkungan baik dari segi ekonomi maupun
sosial, termasuk di dalamnya kesulitan mengumpulkan dan memproses data
masa lalu, sehingga membatasi kualitas analisa.
j. Luasnya perbedaan nilai budaya yang menambah kesulitan dalam memberi
penilaian pada pengaruh kualitas lingkungan.
Sedangkan John A. Dixon (1989) menemukan bahwa perusakan
lingkungan dan sumberdaya alam yang ada merupakan hasil suatu perencanaan
proyek yang diperkenalkan oleh pembangunan ekonomi. Lebih lanjut ia juga
mengatakan bahwa pemanfaatan lingkungan (environment) terganggu karena
pemberian penilaian rent yang tinggi serta adanya pengaruh dari tingkat
pendapatan masyarakat yang rendah.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kebijaksanaan pembangunan
nasional dalam GBHN merumuskan bahwa dalam pembangunan, sumberdaya
harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber-sumber daya alam tersebut
harus didayagunakan agar sesuai dengan tata lingkungan hidup manusia,
dilaksanakan dengan kebijaksanaan menyeluruh dengan memperitungkan generasi
yang akan datang. Resiko kerusakan fungsi sumberdaya lingkungan hidup berupa:
a. Rusaknya berbagai sistem pendukung kehidupan vital bagi kehidupan
manusia, baik sistem biofisik maupun sosial.
b. Munculnya bahaya dalam bentuk ciptaan manusia seperti bahan berbahaya
dan hasil-hasil bioteknologi.
c. Pengalihan beban resiko pada generasi yang akan datang atau kepada faedah
yang lain.
Segala macam bentuk resiko tersebut merupakan hasil interaksi dari faktor-faktor
utama yaitu:
a. Pertumbuhan penduduk.
b. Pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk.
c. Peran lembaga-lembaga masyarakat termasuk teknologi yang dikembangkan
untuk memenuhi produksi.
Dengan beberapa penjelasan diatas, pembangunan jangka panjang menjamin
tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari terpeliharanya suatu sistem lingkungan
alam, serta rendahnya tingkat eksternalitas yang ditimbulkan oleh kemajuan
teknologi.
2.4. Eksternalitas
Dalam suatu perekonomian modern setiap aktivitas mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya dan semakin modern suatu perekonomian
semakin besar dan semakin banyak kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lainnya.
Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya
dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka
keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan
tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melaui mekanisme pasar
sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan
kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan
eksternalitas atau dengan kata lain yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah
segolongan orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul
inefisiensi produksi (Mangkoesoebroto, 2001).
Kegiatan masyarakat baik dalam bentuk memproduksi maupun
mengkonsumsi barang dengan jumlah yang setinggi-tingginya bertujuan untuk
meraih tingkat kepuasan yang tinggi. Usaha meningkatan kepuasan bertujuan
pada pencapaian rasa bahagia ataupun kesejahteraan masyarakat. Pareto
merumuskan bahwa kesejahteraan masyarakat telah mencapai optimum apabila
kesejahteraan seseorang dapat ditingkatkan akan tetapi dengan mengurangi
kesejahteraan orang lain. Selanjutnya pandangan Pareto disempurnakan oleh N.
Kaldor dan JR.Hicks dengan compensation principle dimana intinya adalah
bahwa keadaan masyarakat menjadi lebih baik apabila individu yang ingin
mendapatkan manfaat lebih besar dengan menyebabkan pengorbanan pihak lain,
dimana yang mendapatkan manfaat memberikan kompensasi kepada yang
menderita pengorbanan dan masih ada kelebihan manfaat.
a. Kriteria kaldor menyatakan bahwa alokasi A dari segi seluruh masyarakat
lebih baik dari pada B apabila yang mendapat manfaat A, karena alokasi A
dapat memberikan kompensasi kepada yang dirugikan dan kedudukan A
masih lebih baik dari pada B.
b. Kriteria Hicks dapat dirumuskan bahwa alokasi A dari segi seluruh
masyarakat lebih baik dari B apabila yang menderita kerugian karena
alokasi A tersebut tak dapat diberikan kompensasi oleh yang mendapatkan
sehingga berubah dari B ke A.
c. Menurut Scitovsky dikatakan bahwa alokasi A bagi seluruh masyarakat
kompensasi (bribe) pada yang mendapatkan kerugian dan menerima perubahan tersebut, sedangakan yang dirugikan tidak dapat menyuap
(bribing) yang mendapatkan manfaat untuk mengadakan suatu perubahan. Adanya pengorbanan yang diderita oleh suatu kelompok masyarakat
sebagai konsekuensi dari suatu proyek atau kegiatan dapat bersipat negatif atau
positif, keadaan inilah yang sering disebut sebagai eksternalitas. Dengan demikian
eksternalitas dikatakan ada bilamana kesejahteraan individu selain dipengaruhi
oleh aktivitas yang dikendalikannya, juga dipengaruhi oleh aktivitas pihak lain.
Disamping pengaruh pemenuhan kebutuhan untuk mencapai kepuasan
yang setinggi-tingginya, faktor lain yang mendorong eksternalitas disekonomi
ataupun ekonomi juga akibat adanya suatu ketidak jelasan batasan (boundary) arti hak pemilikan, hal ini dapat dilihat dari pendapat J.H. Dales dalam tulisannya The Property Interpose and land, Waterland Ownership. Menyatakan bahwa dalam pemilikan terdapat hak-hak:
a Serangkaian hak untuk menggunakan barang dengan cara tertentu (dan
serangkaian hak negatif atau larangan untuk mempergunakannya dengan
yang lain).
b Hak untuk melarang orang lain menggunakan barang tersebut.
c Hak untuk menjual milik tersebut.
Selanjutnya Dales juga menjelaskan bahwa pemilikan setiap asset
mempunyai kaitan antara konsepsi hukum, ekonomi, sosiologi dan politik.
Dimana asset dapat dianggap sebagai suatu kumpulan potensi untuk menghasilkan
jasa kepuasan yang dapat dipergunakan dalam beberapa alternatif. Adapun bentuk
a Hak pemilikan yang bersifat umum (common property)
Dimana dapat dipergunakan oleh setiap orang untuk berbagai keperluan
tanpa adanya biaya yang harus dikeluarkan. Hak milik ini dapat cocok
secara ekonomi jika biaya untuk mengawasinya lebih besar dari nilai
penggunaanya. Ketidakmampuan menjaga pemilikan ini bisa dilihat dari
segi ekonomi akan menimbulkan ketidakefisienan sehingga penggunannya
melewati batas.
b Hak milik umum yang terbatas (restricted common property)
Pada umumnya asset milik umum dikelola oleh suatu badan publik atau
pemerintah. Pemerintah dapat membatasi pengunaan hak milik dengan
berbagai cara misalnya suatu danau hanya digunakan untuk bersampan
tetapi tidak boleh untuk motorboat. Dalam hal asset tetap milik umum dalam
arti bahwa setiap orang dapat mengunakannya sesuai dengan tujuan
penggunaan.
c Hak pakai
Pemakai asset hanya dibatasi untuk orang-orang atau badan tertentu saja
yang ditetapkan berdasarkan hukum. Dengan demikian pemilikan menjamin
pemakai sesuatu asset sesuai dengan kewenangan atas pemilikan tersebut
sebagaiman hukum positif. Hak pakai ini tidak dapat dipindahtangankan
walaupun demikian hak yang diberikan terhadap suatu asset tersebut sudah
mempunyai nilai, adanya hak untuk mencegah berkembangnya harga yang
d Hak milik penuh
Dalam hal ini hak milik dipindahtangankan, dan pemindahan hak suatu asset
mengarah kepada terbentuknya harga yang sebenarnya karena pemindahan
hak milik ini akan berganti menjadi harga. Sesuatu yang dimiliki dapat
dihargai, dan sesuatu yang dihargai dapat dimiliki, tetapi hubungan
fungsional antar harga dan milik sulit ditentukan secara tepat, oleh karena
itu hak milik ini perlu diberi batasan karena ada kecenderungan dimana si
kaya akan memakan si miskin.
Sejalan dengan adanya pemberian hak umum dan pemilikan dalam dunia
nyata sering terjadi perbenturan kepentingan. Para pemegang hak milik penuh
dapat mengunakan hak-hak tersebut sehingga mencapai kepuasan yang
setinggi-tingginya. Pengusaha pabrik dapat membuang limbah industrinya kesungai-sungai
milik umum, dan para penebang hutan maupun para peladang berpindah
menikmati keuntungan dari hasil penjualan hutan. Aktivitas tersebut memberi
pengaruh terhadap berbagai kepentingan sosial atau kesejahteraan masyarakat.
Perbenturan kepentingan tersebut dirasakan sebagai beban bagi masyarakat
dengan besarnya beban biaya yang ditimbulkan oleh berbagai pencemaran
maupun perusakan ekosistem, serta menurunnya produktivitas di sektor produksi
pertanian maupun disektor lainnya.
2.5. Manfaat Konsumsi, Penawaran dan Sosial Bersih
Secara lebih mendalam keputusan untuk mengalokasikan sumber daya
alam yang maksimal untuk kesejahteraan sosial dapat diukur dari kesediaan
sejumlah nilai tertentu adalah gambaran manfaat yang diperolehnya. Bila
dijelaskan secara grafik, manfaat dapat diterangkan oleh kurva permintaan pada
Gambar 1.
Melalui gambar tersebut, terlihat bahwa harga pasar dari manfaat yang
diperoleh dari sumberdaya alam adalah P. Jika individu menginginkan untuk
memperoleh sejumlah sumberdaya X maka ia akan membayar sebesar PX. Jika
ingin mendapatkan X1 unit sumberdaya maka individu bersedia membayar P1 dan P2 untuk memiliki X2 unit sumberdaya alam. Dengan demikian jumlah kesediaan membayar untuk sumberdaya tersebut adalah daerah PD dibawah kurva
permintaan. Sedangkan daerah PAP0 menunjukkan besarnya surplus konsumen
untuk konsumsi sebesar X0. Sedangkan daerah 0X0AP menunjukkan daerah
dimana konsumen bersedia membayar (total willingness to pay) untuk sejumlah X0
Gambar 1. Kurva Permintaan Individu Terhadap Manfaat Produk.
Sumber: Bann (1998) dan Tietenberg (2001).
unit sumberdaya alam (Tietenberg, 2001).
X0 X1 0
P0 P1 P2 P
S
D A
Harga
X2
Dengan cara yang sama melalui kurva penawaran individu yang ingin
memanfaatkan produk lingkungan dapat direfleksikan biaya-biaya dari bahan
baku atau sumber tersebut. Melalui Gambar 2 kurva penawaran manfaat A akan
diterima dengan keseimbangan P0 X0. Jika produk lingkungan tersebut akan dipasarkan X1 unit maka harga yang didapat adalah sebesar P1. Selanjutnya jika produk lingkungan akan dijual X2 unit maka harga yang didapat adalah P2. Maka
surplus produsen diperlihatkan oleh daerah PAP0 untuk banyak unit X0.
Sedangkan daerah 0PAX0 menunjukkan total biaya yang dikeluarakan untuk X0
Gambar 2. Kurva Penawaran Manfaat Individu
Sumber: Bann (1998) dan Tietenberg (2001).
unit (Tietenberg, 2001).
Dari uraian sebelumnya maka penjumlahan surplus konsumen dengan surplus
produsen untuk suatu perubahan manfaat pada suatu tingkat tertentu adalah
merupakan manfaat sosial bersih (net social benefit). Manfaat bersih adalah manfaat yang melebihi dari biaya yang dikeluarkan yaitu daerah dibawah kurva
permintaan yang berada diatas kurva penawaran. X0
X1 X2
P P2 P1 P0
S
D A
Harga
2.6. Identifikasi Nilai Ekonomi
Penilaian terhadap fungsi ekologi dari suatu ekosistem dan dampak
potensial terhadap sistem adalah dengan menentukan biaya dan manfaat yang
dapat dihitung dari berbagai akibat yang ditimbulkan oleh berbagai proyek, maka
secara keseluruhan kawasan lindung, dalam hal ini Taman Nasional Gunung
Leuser menawarkan beraneka manfaat bagi kehidupan sosial masyarakat maupun
manfaat ekosistem. Menurut Bann (1998) penilaian ini dilakukan dengan
menghitung total nilai ekonomi atau Total Economic Value (TEV) yang terdiri dari tiga kategori yaitu nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value).
2.6.1. Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)
Nilai penggunaan langsung merupakan suatu penilaian yang didapatkan
dari penurunan penggunaan langsung dari suatu sumberdaya dengan kata lain
adalah interaksi dari sumberdaya taman nasional dan jasa yang didapatkan dari
taman nasional terhadap masyarakat pemanfaat. Penggunaan langsung ini dapat
berupa kegiatan-kegiatan komersial maupun non komersial. Kegiatan non
komersial biasanya sangat berperan bagi upaya masyarakat lokal atau setempat
untuk bertahan hidup.
Penggunaan langsung lebih mudah untuk dilakukan penilaian karena
relatif lebih jelas untuk dispesifikasi. Biasanya penilaian yang dilakukan dikaitkan
dengan nilai pasar dari keuntungan yang didapatkan dari hasil produksi. Namun
manfaat yang lebih rendah dari yang seharusnya karena tidak menghitung surplus
konsumen. Metode lain yang dapat digunakan untuk untuk menilai penggunaan
langsung adalah nilai korbanan tidak langsung (indirect opportunity cost), biaya
pengganti tidak langsung (indirect substitute costs), dan biaya pengganti
(replacement cost).
2.6.2. Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value)
Kategori nilai penggunaan tidak langsung dapat didefinisikan sebagai
dukungan secara tidak langsung dan perlindungan terhadap aktivitas ekonomi
serta kepemilikan yang dihasilkan oleh fungsi alamiah dari taman nasional dimana
taman nasional memberikan jasa sebagai regulator lingkungan. Misalnya adalah
fungsi kontrol taman nasional terhadap banjir yang dapat melindungi produksi
pertanian, infrastruktur, nilai lahan, bahkan jiwa manusia (Tietenberg, 2001).
Penilaian terhadap fungsi lingkungan jarang yang mempunyai nilai pasar.
Oleh karena itu penilaian terhadap penggunaan tidak langsung umumnya
dipergunakan teknik penilaian non pasar (non market valuation techniques). Teknik penilaian ini diantaranya adalah dengan menghitung perubahan dalam
produktivitas, contingent valuation, travel cost method dan hedonic priceing.
2.6.3. Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai pilihan adalah suatu bentuk dari nilai penggunaan dimana penilaian
ini terkait dengan penggunaan sumberdaya di masa yang akan datang. Nilai
pilihan meningkat karena orang per orang atau individu menilai suatu pilihan
yang akan datang. Oleh karena itu ada tambahan nilai tertentu yang diberikan
pada upaya pelestarian sistem alam dan sumberdayanya serta fungsi kegunaan di
masa depan. Penilaian ini penting jika seseorang tidak yakin tentang nilai suatu
sumberdaya di waktu yang akan datang tetapi percaya bahwa nilainya akan
bertambah tinggi dan eksploitasi yang dilakukan saat ini mungkin tidak dapat
dikembalikan ke situasi awal.
Sumberdaya suatu taman nasional mungkin saat ini dinilai lebih rendah
dari yang seharusnya namun mungkin akan mendapatkan penilaian yang lebih
tinggi dari sisi keilmuan, pendidikan, komersial dan penggunaan ekonomi lain.
Begitu pula halnya dengan fungsi sebagai regulator lingkungan dimana
kepentingannya meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan pembangunan
ekonomi dan penyebarannnya di dalam suatu wilayah.
2.7. Analisis Manfaat - Biaya
Prinsip yang ideal dalam kebijaksanaan penggunaan barang sumberdaya
alam adalah membuat pengeluaran-pengeluaran bagi setiap tujuan sedemikian
rupa sehingga manfaat (benefit) dari penggunaan satuan rupiah yang terakhir lebih besar dari pada atau paling tidak sama dengan hilangnya manfaat dari kegiatan
kegiatan lain karena pengeluaran tersebut.
Jika menyamakan tambahan manfaat (marginal benefit) dengan tambahan biaya (marginal cost), maka berarti tercapainya pemecahan dua masalah alokasi faktor-faktor produksi yang maksimal dalam kegiatan pengambilan sumberdaya
alam tersebut. Hal ini berarti bahwa terpenuhinya suatu keadaan dimana setiap
tidak sama dengan nilai barang-barang yang hilang dari kegiatan yang sama pada
saat yang akan datang. Dengan demikian manfat dari tambahan kegiatan
pengambilan sumberdaya alam akan melebihi atau paling tidak sama dengan
biaya alternatif (opportunity cost).
Analisis biaya-manfaat pada prinsipnya memiliki dua pendekatan yaitu
finansial dan ekonomi dimana dibedakan berdasarkan siapa yang berkepentingan
langsung dalam kegiatan investasi. Analisis finansial mengutamakan pada hasil
dari modal yang ditanamkan dalam proyek dan merupakan penerimaan langsung
bagi pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Analisis ini dilakukan jika yang
bersangkutan langsung dalam manfaat dan biaya adalah individu atau kelompok
individu yang bertindak sebagai investor dalam suatu kegiatan investasi.
Analisis ekonomi dilakukan jika yang berkepentingan langsung dalam
manfaat dan biaya kegiatan investasi adalah pemerintah atau masyarakat secara
keseluruhan. Dalam analisis ini yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat
bersih yang didapat dari semua sumber yang dipakai untuk masyarakat atau
perekonomian secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyediakan
sumber-sumber tersebut. Analisis manfaat-biaya untuk penggunaan sumber-sumberdaya alam dan
lingkungan dapat menggunakan metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Ratio Benefit Cost (B/C Rasio).
2.7.1. Metode Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value)
Nilai bersih suatu proyek menurut Mangkoesoebroto (2001) adalah
merupakan nilai dari suatu proyek setelah dikurangkan seluruh biaya pada suatu
bersangkutan dan didiskontokan (discounted) dengan tingkat bunga yang berlaku. Penentuan NPV dari suatu proyek menunjukkan ukuran besarnya manfaat bersih
tambahan yang diterima proyek pada akhir periode umur proyek tersebut. NPV
dapat dirumuskan sebagai berikut (Mangkoesoebroto, 2001):
t
NPV : nilai bersih, yaitu manfaat dikurangi biaya pada tahun ke t
t : tahun
i : tingkat bunga
B : manfaat
C : biaya
Suatu proyek dinyatakan layak jika NPV-nya bernilai positif sedangkan jika
bernilai negatif maka proyek tersebut tidak layak diusahakan.
Penentuan tingkat bunga sangat penting dalam perhitungan nilai bersih
sekarang maka pemilihan tingkat bunga harus mencerminkan biaya korbanan
penggunaan dana. Tingkat bunga yang terlalu tinggi akan menyebabkan nilai
NPV menjadi terlalu rendah untuk proyek yang memberi hasil dalam jangka
waktu lama begitu pula sebaliknya.
2.7.2. Rasio Manfaat – Biaya (Net B/C Ratio)
Metode rasio manfaat-biaya adalah suatu cara untuk mengevaluasi suatu
proyek dengan membandingkan nilai sekarang dari seluruh hasil yang diperoleh
dari proyek tersebut dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek tersebut. Analisis
∑
B/C : rasio manfaat-biaya bersih
t : tahun
i : tingkat bunga
B : manfaat
C : biaya
Suatu proyek dilaksanakan bila rasio manfaat bersih nilainya lebih besar
dari pada satu. Namun menurut Mangkoesoebroto (2001) metode ini mempunyai
kelemahan antara lain tidak adanya pedoman yang jelas mengenai hal-hal yan
masuk sebagai perhitungan biaya atau manfaat dan kemungkinan terjadinya
manipulasi.
2.7.3. Metode Pengembalian Internal (Internal Rate of Return)
Metode pengembalian internal menghitung tingkat diskonto yang
menghasilkan nilai sekarang suatu proyek sama dengan nol. Metode IRR dapat
dirumuskan sebagai berikut (Mangkoesoebroto, 2001):
0
IRR : nilai pengembalian investasi tahun ke t
t : tahun
B : manfaat
C : biaya
NPV1 : NPV positif pada suku bunga i1
NPV2 : NPV positif pada suku bunga i2
i1 : suku bunga lebih rendah
i2 : suku bunga lebih tinggi
Investor akan melaksanakan proyek jika tingkat pengembalain (r) lebih besar dari
pada tingkat bunga (i). Menurut Mangkoesoebroto (2001) investor lebih sering
melihat IRR untuk keputusan investasinya karena lebih mudah untuk
dibandingkan antar proyek.
Selanjutnya dinyatakan bahwa walaupun analisis manfaat-biaya
merupakan suatu alat penilaian akan tetapi analisis ini tidak harus digunakan
sebagai alat penyaring untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proyek
pemanfaatan sumberdaya alam. Namun demikian di dalam prakteknya justru
sering dimanfaatkan sebagai alat analisis. Analisis manfaat-biaya lebih banyak
melihat suatu proyek dari segi efisiensi.
2.8. Matrik Analisis Kebijakan
Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta
dampaknya dalam pengusahaan berbagai aktivitas usaha, pengolahan, dan
pemasaran secara keseluruhan dan sistematis. Model PAM didasarkan pada dua
bentuk identitas yang menunjukkan profitabilitas dan perbedaan antara nilai privat
dan sosial dimana dapat menganalisis tiga hal yaitu keuntungan (privat dan
sosial), daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif), dan dampak
Secara tradisional metode empiris yang banyak digunakan untuk estimasi
PAM adalah estimasi permintaan dan penawaran. Model ini dapat menunjukkan
profit dan dampak penyimpangan yang terjadi karena distorsi kebijakan dan
kegagalan pasar (Ahmad dan Martini, 2000). Asumsi-asumsi yang digunakan
adalah:
1. Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang
terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah.
2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan
(shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah.
3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan berdasarkan
komponen tradable dan non-tradable.
4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan.
Metode PAM umumnya digunakan pada sistem komoditas dengan
berbagai wilayah, tipe usahatani, dan teknologi. PAM adalah suatu matriks yang
disusun dengan memasukkan komponen-komponen utama berupa penerimaan,
biaya dan keuntungan. Berdasarkan matrik PAM dapat dilakukan beberapa
analisis yaitu analisis keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan dampak
2.8.1. Analisis Keunggulan Kompetitif
1. Keuntungan Privat (Privat Profitability = PP)
Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari suatu sistem
komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer
kebijakan yang ada.
2. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio = PCR)
Rasio ini adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga
privat. Nilai rasio ini menggambarkan berapa banyak sistem komoditi
tersebut dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik, dan tetap
dalam kondisi kompetitif saat break event setelah membayar keuntungan normal. PCR menunjukkan kemampuan sistem komoditi membiayai faktor
domestik pada harga privat.
2.8.2. Analisis Keunggulan Komparatif
1. Keuntungan Sosial (Social Profitability = SP)
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau
efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi dimana tidak ada divergensi, dan
penerapan kebijakan efisien.
2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio=DRC)
Rasio ini adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga
sosial. DRC merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai
2.8.3. Dampak Kebijakan Pemerintah
1. Kebijakan Output
a. Output Transfer (OT)
Selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat dengan
penerimaan yang dihitung atas dasar harga sosial (bayangan). Nilainya
menunjukkan keberadaan kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan
pada output sehingga terdapat perbedaan pada harga output privat dan
sosial.
b. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO)
Rasio penerimaan yang berdasarkan harga privat dengan penerimaan
yang berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer
output. Nilainya menunjukkan dampak kebijakan yang menyebabkan
divergensi antara harga privat dan harga sosial terhadap harga output
(kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi).
2. Kebijakan Input
a. Input Transfer (IT)
Selisish antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat
dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial.
Nilainya menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan
pada input tradable.
b. Nominal Protection Coefficient on Tradabel Input (NPCI)
Rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dengan biaya
input berdasarkan harga bayangan yang mengindikasikan adanya
c. Factor Transfer (FT)
Nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosial
yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang
diperdagangkan. nilai ini memperlihatkan adanya kebijakan pemerintah
terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada
input tradable.
2. Kebijakan Input-Output
a. Effective Protection Coefficient (EPC)
Koefisien proteksi efektif adalah analisis gabungan antara koefisien
output nominal dengan koefisien input nominal. Besarannya
menunjukkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi
atau menghambat produksi domestik secara efektif.
b. Net Transfer (NT)
Transfer bersih adalah selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar
diterima produsen dengan keuntungaan bersih sosialnya.
c. Profitability Coefficient (PC)
Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih
yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih
sosialnya. Nilainya menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan
(harga output, harga input, dan faktor domestik).
d. Subsidy Ratio to Producer (SRP)
Rasio subsidi produsen adalah proporsi dari penerimaan totap pada harga
sosial yang diperlukan jika subsidi sebagai satu-satunya kebijakan yang
2.9. Partisipasi Masyarakat
2.9.1. Definisi Partisipasi
Secara umum partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dalam
suatu pelaksanaan kegiatan. Menurut Mubyarto (1984), partisipasi dapat diartikan
sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai
kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan diri sendiri. Partisipasi disini
umumnya dikaitkan dengan upaya mendukung program pemerintah.
Terdapat dua jenis definisi partisipasi yang beredar di masyarakat.
Pertama adalah definisi yang diberikan oleh perencana pembangunan formal di
Indonesia dimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah dukungan
rakyat terhadap proyek pembangunan yang dirancak dan ditentukan tujuannya
oleh perencana. Kedua adalah definisi yang berlaku universal dimana partisipasi
masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana
dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan
mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini
tinggi rendahnya partisipasi masyarakat tidak hanya diukur dengan kemauan
masyarakat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada
tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan
dibanguan di wilayah mereka (Soetrisno, 1995).
Definisi lain menurut Hadi (1995) menyatakan bahwa partisipasi
masyarakat merupakan proses dimana masyarakat ikut serta mengambil bagian
sebagai masukan kebijakan, strategi, komunikasi, media pemecahan publik, dan
terapi sosial.
Menurut Soetrisno (1995) dari sudut pandang sosiologis, partisipasi yang
diartikan hanya sebagai dukungan masyarakat terhadap program pembangunan
yang sudah dirancang dan ditetapkan tujuannya sebelumnya bukan merupakan
partisipasi masyarakat melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan.
Mobilisasi masyarakat dalam pembangunan hanya dapat mengatasi permasalahan
pembangunan dalam jangka pendek. Pengertian partisipasi masyarakat yang
sebenarnya diharapkan dalam pembangunan adalah keterlibatan atau
keikutsertaan masyarakat secara aktif baik secara moril maupun materil dalam
program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang didalamnya
menyangkut kepentingan individu.
2.9.2. Jenis, Tipe, dan Tahapan Partisipasi
Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan
sekaligus juga sebagai keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan
(Harahap, 2001). Partisipasi dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, tipe dan
tahapan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dibagi lima. Pertama,
ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima imbalan atas
masukan tersebut, dan menikmati hasil pembangunan. Kedua, ikut memberikan
masukan dan ikut menikmati hasil pembangunan. Ketiga, ikut memberikan
masukan dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan.
memberikan masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut menikmati hasil
pembangunan.
Tipe partisipasi menurut Pretty dalam
1. Partisipasi Pasif
Harahap (2001) dikelompokkan
menjadi tujuh jenis yaitu:
Partisipasi masyarakat dengan diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi
yang merupakan tindakan sepihak dari administratur atau manajer proyek
tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat. Sumber informasi yang dihargai
hanya pendapat para professional.
2. Partisipasi dalam Pemberian Informasi
Partisipasi msyarakat dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dengan kuesioner atau pendekatan serupa. Masyarakat tidak
memiliki kesempatan untuk mempengaruhi cara kerja karena
temuan-temuan tidak dibagi kepada mereka.
3. Partisipasi Konsultatif
Partisipasi masyarakat dengan dimintai tanggapan atas suatu hal. Pihak luar
yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan
analisis. Bentuk konsultasi tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan, dan pihak luar pada dasarnya tidak
berkompeten untuk mewakili masyarakat.
4. Partisipasi dengan Imbalan Materi
Partisipasi masyarakat dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya
yang dimilikinya, misalnya sebagai tenaga kerja, untuk memperoleh imbalan
jadi menyediakan lahan dan tenaga kerjanya, namun tidak terlibat dalam
proses eksperimentasi dan pembelajaran. Proses inilah yang selama ini lazim
disebut sebagai partisipasi. Dalam konteks ini masyarakat tidak memiliki
pijakan untuk melanjutkan kegiatannya tatkala imbalan dihentikan.
5. Partisipasi Fungsional
Partisipasi masyarakat dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan
proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat biasanya
tidak hanya pada tahap awal proyek atau perencanaan, tetapi juga setelah
keputusan pokok dibuat pihak luar. Kelompok masyarakat cenderung
menjadi tergantung terhadap pemrakarsa dan fasilitator luar, tetapi juga
mungkin untuk menjadi mandiri.
6. Partisipasi Interaktif
Partisipasi masyarakat dalam tahapan analisis, pengembangan rencana
kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi local.
Partisipasi dipandang sebagai hak, dan bukan sekedar sebagai cara untuk
mencapai tujuan proyek. Proses tersebut melibatkan metodologi
multidisiplin yang membutuhkan perspektif yang mejemuk serta
membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Sebagai
kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas
keputusan-keputusan local, sehingga masyarakat memiliki kewenangan yang jelas
untuk memelihara struktur dan kegiatannya.
7. Mobilisasi Swakarsa
Partisipasi masyarakat dengan mengambil inisiatif secara mandiri untuk
dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah
teknikal yang mereka butuhkan, tetapi tetap memegang kendali menyangkut
pendayagunaan sumberdaya. Partisipasi ini mungkin tidak akan
mengganggu distribusi kesejahteraan dan kekuasaan.
Tahapan partisipasi masyarakat menurut Sustiwi (1986) dapat dibedakan
menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap perencanaan biasanya diwakili oleh tokoh
masyarakat atau wakil yang duduk di pemerintahan desa. Kedua, tahap
pelaksanaan dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan program,
baik secara fisik maupun non-fisik. Terakhir, tahap pemanfaatan program dimana
masyarakat ikut berpartisipasi dalam menikmati dan memanfaatkan hasil-hasil
pembangunan yang dicapai.
2.9.3. Pengembangan Partisipasi Masyarakat
Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan haruslah
memberikan manfaat. Menurut Cernea (1991) terdapat lima cara untuk menjamin
keuntungan dalam berpartisipasi dalam suatu proyek. Pertama, tingkat partisipasi
yang diinginkan harus dibuat jelas sejak awal dan dapat diterima semua orang.
Kedua, memiliki sasaran yang realistis untuk berpartisipasi dan harus dibuat
berdasarkan fakta yang ada pada setiap perencanaan. Ketiga, pada umumnya perlu
dilakukan perkenalan dalam mendukung partisipasi dimana harus disesuaikan
dengan pola organisasi social di tingkat lokal. Keempat, harus ada komitmen
pendanaan bagi partisipasi masyarakat. Terakhir, harus ada perencanaan terhadap