• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI SPTN WILAYAH VI BESITANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI SPTN WILAYAH VI BESITANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI SPTN WILAYAH VI BESITANG TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

SUHENRA APRIANTO NABABAN 151201092

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2022

(2)

2

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI SPTN WILAYAH VI BESITANG TAMAN NASIONAL GUNUNG

LEUSER

SKRIPSI

Oleh:

SUHENRA APRIANTO NABABAN 151201092

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2022

(3)
(4)
(5)

iii ABSTRACT

SUHENRA APRIANTO NABABAN: Analysis of Land Cover at SPTN Region VI Besitang Gunung Leuser National Park, supervised by Dr. Nurdin Sulistiyono S.Hut., M.Si

Gunung Leuser National Park is one of world heritage forest located in Sumatera Utara and Nanggroe Aceh Darussalam. The aim of this study is to get information about the change of land cover from 2000 to 2019 at SPTN VI Besitang Gunung Leuser National Park by using satellite image Landsat 5 and Landsat 8. The result of the research shows that the change of land cover that occurred from 2000 to 2019 at SPTN region VI Besitang TNGL which are, forest area has decreased from 112.508,47 ha to 107.509,21 ha, mixed dry land agriculture area has increased from 2.106,65 ha to 4.531,9 ha, palm oil area has increased from 22,29 ha to 900,17 ha, and open land area has increased from 528,42 ha to 2.224,55 ha.

Classification accuracy test shows that overall accuracy is 96,32% and kappa accuracy is 94,21%.

Keywords: Landsat 8, Land Cover, Visual on Screen

(6)

iv ABSTRAK

SUHENRA APRIANTO NABABAN: Analisis Perubahan Tutupan Lahan Di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser, dibimbing oleh Dr.

Nurdin Sulistiyono S.Hut., M.Si

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu hutan warisan dunia yang berada di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 sampai 2019 di SPTN VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser menggunakan citra satelit Landsat 5 dan Landsat 8. Hasil penelitian ini menunjukkan perubahan tutupan lahan yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2019 pada SPTN Wilayah VI Besitang TNGL yaitu hutan mengalami penurunan luas dari 112.508,47 ha menjadi 107.509,21 ha, pertanian lahan kering campuran mengalami peningkatan luas dari 2.106,65 ha menjadi 4.531,9 ha, sawit mengalami peningkatan luas dari 22,29 ha menjadi 900,17 ha, dan tanah terbuka mengalami peningkatan luas dari 528.42 ha menjadi 2.224,55 ha. Uji akurasi klasifikasi menunjukkan bahwa overall accuracy adalah 96.32% dan kappa accuracy adalah 94.21%.

Kata kunci: Landsat 8, Tutupan Lahan, Visual on Screen

(7)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandiangan pada tanggal 9 April 1996.

Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Barita Nababan dan Ibu Roslinda Barimbing.

Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri 033930 Parongil pada tahun 2002-2008, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Silimapungga-pungga tahun 2008-2011, dan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Silimapungga-pungga tahun 2011-2014.

Pada tahun 2015 penulis lulus di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan memilih minat Konservasi Sumberdaya Hutan.

Semasa kuliah penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) Universitas Sumatera Utara. Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Buluh Kabupaten Simalungun pada tahun 2017. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat pada tahun 2018. Pada tahun 2019 penulis melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Perubahan Tutupan Lahan Di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser” di bawah bimbingan bapak Dr. Nurdin Sulistiyono S.Hut., M.Si.

(8)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Perubahan Tutupan Lahan Di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser”.

Dalam Penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Nurdin Sulistiyono S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing yang senantiasa selalu memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Delvian SP., MP selaku dosen penguji I, Dr. Ir. Luthfi Hakim S.Hut., M.Si., IPM selaku dosen penguji II, Novita Anggraini S.Hut., M.Sc selaku dosen penguji III.

3. Kedua orangtua yaitu bapak Barita Nababan dan ibu Roslinda Barimbing dan juga adik adik saya Sri, Cintia dan Cesilia yang selalu memberikan dukungan dan doa dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Teman teman satu tim penelitian William, Bahrul, Rain dan Jogi yang telah membantu memberikan tenaga dan doa kepada penulis

5. Teman teman stambuk 2015 khususnya kepada teman teman satu angkatan di KSH 2015 yang saya cintai.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Februari 2022

Penulis

(9)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Lokasi Penelitian... 4

Tutupan Lahan ... 5

Penginderaan Jarak Jauh ... 6

Sistem Informasi Geografis... 7

Pansharpening ... 8

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 9

Alat dan Bahan ... 9

Prosedur Penelitian ... 9

Pengumpulan Data... 9

Pengolahan Citra ... 10

Klasifikasi Kelas Penutupan Lahan ... 9

Digitasi On Screen ... 10

Interpretasi Visual Citra Satelit ... 10

Analisis Akurasi Tutupan Lahan ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN Taman Nasional Gunung Leuser SPTN VI ... 12

Tutupan Lahan Taman Nasional Gunung Leuser SPTN VI Besitang ... 13

Uji Akurasi ... 18

Perbandingan Citra Satelit Pansharpening dan Tanpa Pansharpening... 20

Perubahan Tutupan Lahan di SPTN VI Wilayah Besitang ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN

(10)

viii

Kesimpulan ... 25

Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

LAMPIRAN ... 29

(11)

ix

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Tutupan Lahan SPTN VI Besitang Tahun 2000, 2008, 2016, dan

2019 ... 15 2. Error Matrix Klasifikasi Tutupan Lahan Metode On Screen ... 19 3. Confusion Matrix Klasifikasi Tutupan Lahan Metode On Screen ... 19 4. Perbandingan Citra Satelit Pansharpening dan Tanpa Pansharpening 20

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang Tahun 2000 ... 13

2. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang Tahun 2008 ... 14

3. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang Tahun 2016 ... 14

4. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang Tahun 2019 ... 15

(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Kondisi di Lapangan dan Citra pada Daerah Penelitian ... 29

2. Dokumentasi Lapangan ... 32

3. Dokumentasi Lapangan ... 34

4. Titik Koordinat Groundcheck ... 35

(14)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menurut Badan Litbang Kehutanan (2010) hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon. Penyerapan karbon sendiri terjadi didasarkan atas proses kimiawi dalam aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menyerap CO2 dari atmosfer dan air dari tanah menghasilkan oksigen dan karbohidrat yang selanjutnya akan berakumulasi mejadi selulosa dan lignin sebagai cadangan karbon.

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu warisan dunia yang berada di Indonesia. TNGL adalah sebuah kawasan hutan konservasi sehingga Pemerintah Indonesia dan dunia Internasional memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi kawasan tersebut, yaitu dengan dibentuknya Yayasan Leuser Internasional. Yayasan ini merupakan kerja sama Pemerintah Republik Indonesia dan Uni Eropa untuk mengelola Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), yang di dalamnya juga terdapat kawasan TNGL. TNGL merupakan paru-paru bumi sehingga ekosistem TNGL perlu dilestarikan. Akan tetapi, aktivitas manusia yang berkeinginan untuk merusak kawasan TNGL juga berlangsung. Apabila kawasan TNGL terus dieksploitasi akan berakibat buruk pada kehidupan di muka bumi ini (Siburian, 2006).

Alih fungsi hutan menjadi lahan mengakibatkan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) mengalami degradasi yang cukup parah. Berdasarkan kajian sampai dengan tahun 2000, di seluruh TNGL telah terjadi deforestasi (kawasan yang sudah tidak berhutan) seluas 18.089 Ha, sedangkan kawasan TNGL yang mengalami degradasi (kawasan yang mengalami penurunan kualitas akibat berbagai gangguan) seluas 142.087 Ha. Terdapat 65 titik rawan, yaitu lokasi-lokasi yang mengalami berbagai tingkatan gangguan dan kerusakan. Titik-titik rawan tersebut masih akan berkembang terus apabila upaya-upaya preventif dan represif tidak dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Sedangkan di Aceh

(15)

2

Tamiang merupakan penyumbang terbesar kerusakan hutan TNGL. Daerah ini sejak tahun 1998-2008 terus dijarah tegakannya termasuk dialihkan menjadi perkebunan sawit daerah yang berbatasan dengan Kecamatan Tenggulun Aceh Tamiang. Wilayah TNGL ini mengalami kerusakan hutan sebesar 2.200 Ha/tahun.

Bahkan di wilayah TNGL ini sebagian telah terbit Sertifikat Hak Milik yang dikeluarkan oleh BPN Aceh Timur (Arico dan Jayanthi, 2016).

Kerusakan hutan telah mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang menjadi pemicu terjadinya pemanasan global (global warming). Berbagai aktivitas manusia yang merusak hutan seperti perambahan hutan, pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman menyebabkan terjadinya deforestasi.

Deforestasi berkontribusi pada peningkatan gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan suhu udara global. Pemanasan global tersebut berpotensi untuk mendatangkan bencana yang sangat membahayakan kehidupan manusia di bumi seperti mencairnya es di kutub utara dan selatan, peningkatan suhu air laut dan peningkatan permukaan air laut. Berbagai upaya penyelamatan lingkungan telah dilakukan untuk menanggulangi dampak negatif dari perubahan iklim tersebut (Siswoko, 2008).

Perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat telah mengakibatkan perubahan yang besar bagi pengurangan luasan hutan karena dilakukan secara bertahap, menyebar secara luas pada beberapa titik dalam kawasan hutan, tanpa izin dan terkadang tanpa disertai dengan pengawasan yang ketat dari pemegang kuasa atas hutan tersebut. Tingginya kebutuhan akan lahan membuat masyarakat dengan sesuka hati untuk merambah hutan. Masyarakat cenderung tidak mengindahkan kebijakan dan aturan yang berlaku serta tidak ada tanggung jawab setelah perambahan dilakukan (Putiksari et al., 2014).

Akibat dari kerusakan hutan dan lahan menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat antara lain dengan terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) maupun menurunnya pendapatan negara dari hasil kayu. Beberapa faktor dapat mempengaruhi terjadinya perubahan penutupan hutan di Indonesia. Kegiatan yang menyebabkan pengurangan luas hutan antara lain berupa konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor lain yaitu untuk perkebunan, pertanian,

(16)

3

pemukiman/transmigrasi, perdagangan kayu ilegal (illegal trading), ataupun penebangan liar (illegal logging), perambahan, dan okupasi lahan serta kebakaran hutan (KLHK, 2015).

Sarjani et al., (2017) menyatakan penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tertentu tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh sebagai sumber data spasial memberikan kemudahan baik dari segi waktu, tenaga, dan biaya bagi penggunanya. Apalagi jika data yang dibutuhkan mencakup wilayah yang luas, penginderaan jauh menjadi alternatif pilihan terbaik untuk penyediaan data. Saat ini teknologi penginderaan jauh sudah berkembang pesat dan banyak digunakan oleh pemerintah, peneliti, kalangan akademik, sampai komersil. Dengan menggunakan satelit, maka memungkinkan untuk memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang lain.

Satelit penginderaan jauh dalam bidang kehutanan telah dikembangkan lebih dari 25 tahun, sedangkan perkembangan fotografi udara lebih dari 100 tahun.

Penerapan satelit pengindraan jauh dalam bidang kehutanan secara efektif dimulai dengan peluncuran satelit sumber daya bumi Amerika Serikat (earth resources technological satellite/ERTS-1) pada tahun 1972, kemudian satelit tersebut diberi nama Landsat (Putra et al., 2016).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur perubahan tutupan lahan dari tahun 2000 sampai 2019 pada SPTN VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tutupan lahan yang ada di wilayah SPTN VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser.

(17)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Lokasi Penelitian

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu Taman Nasional tertua di Indonesia dan ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 dan Nomor:

SK.289/Menhut-II/2011 tanggal 8 Juni 2011 dengan luas kawasan yaitu 1.095.592 hektar. Potensi kawasan Taman Nasional Gunung Leuser diantaranya adalah habitat tumbuhan langka dan habitat satwa dilindungi, yaitu Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatera), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii), serta keindahan alam yang berpotensi menjadi objek wisata alam.

Selain itu, sebagai satu kesatuan ekosistem, Taman Nasional Gunung Leuser berfungsi sebagai pengatur tata air, penjaga iklim, cadangan karbon dan sumber plasma nutfah (Saraan et al., 2014).

Kawasan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang yang luasnya ± 126.000 ha berada di wilayah Kabupaten Langkat terletak di Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan dan sebagian di kabupaten Aceh Tamiang. Untuk pemangkuan wilayah kerja dibagi dalam 6 (enam) Resort, yaitu Resort Trenggulun, Sei Betung, Sekoci, Sei Lepan, Cinta Raja, dan Tangkahan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi permasalahan yang sangat kompleks bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan TNGL. Untuk data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat sendiri menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 menunjukkan kerusakan seluas 43.623 Ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688 Ha.

Sedangkan menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI) menunjukkan kerusakan seluas 22.000 Ha, tanpa menyebutkan luas kawasan tak berhutan.

Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan kawasan TNGL menjadi agenda utama dari pengelolaan kawasan oleh Balai TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat (Ismail, 2009).

(18)

5

Tutupan Lahan

Menurut Nugraha (2008) lahan merupakan bagian bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Sifat-sifat lahan merupakan keadaan unsur-unsur lahan yang dapat diukur atau diperkirakan seperti sifat tanah, struktur tanah, distribusi hujan, jenis vegetasi, dan sebagainya.

Penggunaan lahan merupakan suatu bentuk pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada suatu lahan. Penggunaan lahan adalah aktivitas manusia pada dan kaitannya dengan lahan, yang biasanya tidak secara langsung tampak dari citra. Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibat- akibat merugikan seperti erosi dan akumulasi garam (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001 dalam Lestari dan Arsyad, 2018).

Klasifikasi tutupan lahan adalah tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati merupakan suatu hasil pengaturan, aktivitas dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada penutup lahan tersebut (SNI, 2010 dalam Putri et al., 2018).

Perubahan tutupan lahan diakibatkan oleh beberapa faktor, yakni; jarak dari jalan, jarak dari permukiman, kepadatan penduduk, dan kemiringan lereng, yang juga merupakan salah satu faktor terjadinya lahan kritis. Jalan merupakan faktor pendorong perubahan dari segi ekonomi, daerah yang memiliki banyak akses jalan cenderung akan mendorong perubahan lahan ke arah yang tidak dapat balik. Hal ini tentu disebabkan karena daerah yang dekat dengan jalan memiliki land rent yang tinggi. Jalan juga merupakan salah satu faktor pendorong adanya permukiman atau lahan terbangun. Permukiman, merupakan faktor pendorong perubahan lahan dari sisi sosial, yang jumlahnya berbanding lurus dengan kepadatan penduduk.

Kepadatan penduduk yang tinggi tentu saja menyebabkan tingginya kebutuhan

(19)

6

akan lahan. Kemiringan lereng menjadi faktor pendorong perubahan lahan dari segi kondisi fisik lahan. Wilayah yang memiliki daerah yang cenderung datar pada umumnya lebih banyak mengalami perubahan lahan, dibandingkan daerah yang tidak datar/berlereng (Kubangun et al., 2016).

Penginderaan Jarak Jauh

Informasi terkait kondisi karakteristik suatu lahan sangat diperlukan, baik dalam bentuk data numerik maupun spasial. Penggunaan data penginderaan jauh dan SIG dalam ekstraksi informasi mengenai keruangan dan kewilayahan dapat digunakan untuk pengkajian wilayah secara menyeluruh. Keterbatasan- keterbatasan data permukaan yang memerlukan suatu pengaitan obyek dengan mudah, cepat, dan akurat dapat dianalisis dengan menggunakan data penginderaan jauh. SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atribut-atributnya. Unsur-unsur yang terdapat dipermukaan bumi dapat diuraikan ke dalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial. Dengan layer ini permukaan bumi dapat direkonstruksi kembali atau dimodelkan dalam bentuk nyata dengan menggunakan data ketinggian berikut layer tematik yang diperlukan (Raharjo, 2010).

Dalam penginderaan jarak jauh indeks vegetasi adalah besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal digital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit. Untuk pemantauan vegetasi, dilakukan proses pembandingan antara tingkat kecerahan kanal cahaya merah (red) dan kanal cahaya inframerah dekat (near infrared). Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada kanal-kanal tersebut akan jauh berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya wilayah perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah dengan kondisi vegetasi yang rusak, tidak akan menunjukkan nilai rasio yang tinggi (minimum). Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat, dengan kondisi sehat, perbandingan kedua kanal tersebut akan sangat tinggi (maksimum) (Sudiana dan Diasmara, 2008).

(20)

7

Pada penginderaan jarak jauh, resolusi sangat menentukan tingkat kerincian obyek, sifat signatur spektral, periode ulang untuk monitoring dan tampilan datanya. Empat resolusi, yaitu : (a) Resolusi spektral, (b) Resolusi spasial, (c) Resolusi temporal, dan (d) Resolusi radiometrik. Resolusi spasial mencerminkan rincian data tentang obyek yang dapat disadap dari suatu sistem penginderaan jauh, dalam bentuk ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra, disebut pixel (picture element). Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama oleh suatu sistem penginderaan jauh, dan resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan suatu sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal yang sampai pada sensor tersebut (Hartono, 2010).

Sistem Informasi Geografis

Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang ada sekarang ini, membuat pemanfaatan teknologi informasi semakain berkembang pula. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, banyak sekali riset-riset yang dilakukan untuk mendorong timbulnya penemuan baru dalam dunia teknologi. Adapun salah satu penemuan tersebut adalah sistem informasi geografis atau Geographic Information System. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem informasi berbasiskan komputer untuk menyimpan, mengelola dan menganalisis, serta memanggil data bereferensi geografis. Manfaat dari SIG adalah memberikan kemudahan kepada para pengguna atau para pengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil, khususnya yang berkaitan dengan aspek keruangan (spasial). Dalam pengaplikasian Geographic Information System (GIS) menggunakan perangkat lunak Arcview yang merupakan salah satu perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) yang terkemuka hingga saat ini dengan kehandalan ESRI (Wibowo et al., 2015).

Sistem Informasi Geografis adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan mengelola segala data yang berkaitan dengan kondisi geografis suatu wilayah. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisa obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi

(21)

8

merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan kata lain Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan secara digital untuk menggambarkan dan menganalisa ciri-ciri geografi yang digambarkan pada permukaan bumi (Saefurrohman, 2005).

Pansharpening

Salah satu bagian dari image fusion adalah pansharpening atau penajaman citra multispektral dengan menggunakan detail spasial dari citra pankromatik.

Proses penggabungan citra pankromatik dan citra multispektral ini umum dikenal dengan istilah pansharpening. Fusi citra secara umum diartikan sebagai teknik untuk mengintegrasikan detail geometri atau spasial dari suatu citra pankromatik (hitam putih) beresolusi tinggi dengan citra multispektral beresolusi rendah, dimana dua atau lebih gambar digabungkan menjadi satu gambar dengan mempertahankan fitur penting dari masing-masing gambar asli. Tujuan utama fusi citra adalah mengintegrasikan data-data yang didapat dari berbagai sumber untuk mendapatkan informasi yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan informasi yang didapat dari satu sumber saja (Pradipta, 2015).

Cara-cara penajaman citra (image sharpening) digunakan secara otomatis untuk menggabungkan (fusi) suatu citra warna, multispektral, atau hyper spectral yang mempunyai resolusi spasial rendah dengan suatu citra tingkat keabuan yang mempunyai resolusi spasial tinggi dengan melakukan resampling terhadap ukuran elemen citra (pixel) resolusi spasial tinggi tersebut. Penajaman citra dengan menggunakan data citra pankromatik adalah dengan menggabungkan data citra multispektral (warna) yang mempunyai resolusi rendah (30m) dengan citra pankromatik yang mempunyai resolusi tinggi (15m) (Sitanggang, 2008).

(22)

9

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli - Agustus 2019. Penelitian ini dilakukan di Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengambilan data dan alat analisis data. Alat pengambilan data lapangan yaitu Global Positioning System (GPS), kompas, dan kamera digital. Alat analisis data yang digunakan yaitu Microsoft Excel, Microsoft Word, ERDAS Imagine 9.2, dan ArcGIS 10.3.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta administrasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), peta batas kawasan TNGL, dan Citra Landsat tahun 2000, 2008, 2016, dan 2019.

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung ke lokasi penelitian dan juga pengunduhan citra satelit landsat tahun 2000, 2008, 2016, dan 2019. Dalam penelitian ini terdapat dua data yang digunakan yakni data spasial dan data atribut. Data Spasial diambil melalui data penginderaan jauh menggunakan metode ground check di setiap tutupan lahan vegetasi. Dari data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dengan menggunakan metode sistem informasi geografis. Data Atribut meliputi data studi literatur terhadap penelitian.

Pengolahan Citra a) Komposit Citra

Dilakukan penggabungan beberapa band pada citra satelit landsat. Untuk citra satelit landsat 5 tahun 2000 dan 2008, digunakan band 5,4,3.

Sedangkan untuk citra satelit landsat 8 tahun 2016 dan 2019, digunakan band 6,5,4. Proses komposit citra dilakukan dengan software Arcgis.

(23)

10

b) Mosaic Citra

Pada penelitian ini digunakan citra landsat 5 dan 8 dengan path/row 129/57 dan 129/58. Untuk mendapatkan lokasi penelitian, path/row tersebut digabungkan menjadi satu scene dengan menggunakan mosaic.

c) Pemotongan Citra

Pemotongan citra dilakukan untuk mengetahui lokasi yang akan diamati dalam penelitian.

d) Pansharpening

Pansharpening merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mempertajam kenampakan objek pada citra dalam melakukan analisis visual. Penajaman objek pada citra Landsat 8 dilakukan dengan menggabungkan band multispektral yang memiliki resolusi 30 meter x 30 meter dan band pankromatik (band 8) yang memiliki resolusi spasial 15 meter x 15 meter. Proses ini menghasilkan citra yang memiliki banyak spektral dengan resolusi spasial yang lebih tinggi yaitu 15 meter x 15 meter (Daenedoro, 2012 dalam Putro, 2016).

Klasifikasi Kelas Penutupan Lahan

Klasifikasi kelas penutupan lahan dilakukan berdasarkan titik yang diperoleh dari GPS, kemudian titik tersebut diberi nama sesuai kelas penutupan lahan dilapangan.

Digitasi On Screen

Proses digitasi on screen adalah digitasi yang dilakukan pada layar monitor komputer dengan memanfaatkan berbagai perangkat lunak sistem informasi geografis seperti Arc View, Map Info, AutoCad Map, dan lain-lain. Digitasi on screen paling sering dilakukan karena lebih mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan tambahan lainnya, dan lebih mudah untuk dikoreksi apabila terjadi kesalahan.

Interpretasi Visual Citra Satelit

Interpretasi visual citra satelit dilakukan berdasarkan unsur unsur karakteristik citra yaitu rona/warna, tekstur, bayangan, bentuk, pola, ukuran, dan asosiasi yang dilihat pada monitor komputer dengan komposit warna terbaik. Interpretasi visual

(24)

11

citra juga digunakan sebagai pedoman dalam pengamatan data di lapangan (ground check).

Analisis Akurasi Tutupan Lahan

Analisis akurasi tutupan lahan menggunakan akurasi kappa (Kappa Accuracy). Secara matematis akurasi kappa dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kappa Akurasi

Keterangan

Xkk = Nilai diagonal baris ke – k dan kolom ke k Xkt = Jumlah piksel kolom ke – k

Xtk = Jumlah piksel baris ke – k N = Banyaknya piksel

Kappa Akurasi x 100 %

(25)

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Taman Nasional Gunung Leuser SPTN VI

Kawasan hutan SPTN Wilayah VI luasnya mencapai ± 115.000 Ha, secara administrasi terletak di Kecamatan Trenggulun dan Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Propinsi Aceh serta Kecamatan Besitang, Kecamatan Sei Lepan dan Kecamatan Batang serangan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Untuk efektifitas pengelolaan, kawasan ini dibagi ke dalam 6 (enam) resort, yaitu dari Resort Trenggulun, Resort Sei Betung, Resort Sekoci, Resort Sei Lepan, Resort Cinta Raja dan Resort Tangkahan.

Resort Trenggulun secara administrasi terletak di Desa Tenggulun Kecamatan Tenggulun dan Desa Semadam Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang. Resort ini luasnya mencapai 7.695 ha, dengan panjang batas mencapai 26 km. Resort Sei Betung secara administrasi terletak di Desa Bukit Selamat, Desa Haleban dan Desa Bukit Mas Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 9.734 ha, dengan panjang batas mencapai 26 km. Resort Sekoci secara administrasi terletak di Desa PIR ADB, dan Desa Harapan Maju Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 21.995 ha, dengan panjang batas mencapai 12 km.

Resort Sei Lepan secara administrasi terletak di Desa Harapan Maju Kecamatan Besitang dan Desa Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 23.513 ha, dengan panjang batas mencapai 15 km. Resort Cinta Raja secara administrasi terletak di Desa Mekar Makmur Kecamatan Sei Lepan dan Desa Sei Serdang Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 25.706 ha, dengan panjang batasmencapai 14 km. Resort Tangkahan secara administrasi terletak di Desa Namo Sialang, Desa Sei Serdang dan Desa Sei Musam Kecamatan Batang Serangan Kabupaten Langkat. Resort ini luasnya mencapai 37.222 ha, dengan panjang batas mencapai 20 km.

(26)

13

Tutupan Lahan Taman Nasional Gunung Leuser SPTN VI Besitang

Klasifikasi kelas tutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 untuk tahun 2016 dan tahun 2019 dan citra satelit Landsat 5 untuk tahun 2000 dan 2008. Pada proses klasifikasi piksel-piksel citra satelit dikelompokkan kedalam beberapa kelas. Jumlah kelas dalam klasifikasi didapatkan 4 kelas tutupan lahan yaitu hutan, pertanian lahan kering campuran, sawit, dan tanah terbuka. Berikut ini adalah peta masing masing tutupan lahan untuk masing masing tahun 2000, 2008, 2016, dan 2019 pada kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser daerah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) VI Besitang.

Gambar 1. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang tahun 2000

(27)

14

Gambar 2. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang tahun 2008

Gambar 3. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang tahun 2016

(28)

15

Gambar 4. Peta Tutupan Lahan SPTN VI Besitang tahun 2019

Hasil analisis tutupan lahan yang diperoleh pada kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Tutupan Lahan SPTN VI Besitang Tahun 2000, 2008, 2016, dan 2019

No Tutupan Lahan Tahun 2000

(Ha)

Tahun 2008 (Ha)

Tahun 2016 (Ha)

Tahun 2019 (Ha)

1 Hutan 112.508,47 107.111,17 106.837,63 107.509,21

2 Pertanian Lahan Kering

Campuran 2.106,65 7.103,41 6.572,03 4.531,9

3 Sawit 22,29 382,50 510,86 900,17

4 Tanah Terbuka 528,42 568,74 1.245,31 2.224,55

Total 115.165,83 115.165,83 115.165,83 115.165,83

Berdasarkan Tabel 1 di atas terdapat 4 tutupan lahan hasil dari klasifikasi dengan masing masing luas tutupan lahan dimana jumlah luas total daerah penelitian SPTN VI Wilayah Besitang adalah 115.165,83 ha, menggunakan 4 tahun penelitian yaitu tahun 2000, 2008, 2016, dan 2019. Tutupan lahan yang digunakan yaitu hutan, pertanian lahan kering campuran, sawit, dan tanah terbuka.

Penurunan luas tutupan hutan terjadi pada tahun 2008 sampai tahun 2016, sedangkan pada tahun 2019 mengalami kenaikan luas seperti yang terdapat pada

(29)

16

Tabel 1. Luas tutupan hutan menurun sejalan dengan meningkatnya pembakaran hutan, perambahan hutan, pembukaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat.

Kebutuhan akan lahan menyebabkan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan SPTN VI melakukan perambahan sehingga mengakibatkan alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian. Akibat yang ditimbulkan dari perambahan hutan yang ada di SPTN VI yaitu kerusakan ekosistem hutan, kerusakan vegetasi, dan juga berpotensi menyebabkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Dampak lain yaitu akan adanya konflik antara satwa dan manusia karena terganggunya habitat satwa akibat dari perambahan hutan.

Beberapa faktor penyebab perambahan hutan di kawasan SPTN VI ini adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, keterbatasan petugas pengawas hutan, dan lemahnya sanksi hukum. Namun pada rentang tahun 2016 ke 2019 terjadi peningkatan luasan hutan sebesar 671,58 ha. Adanya kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pihak pengelola SPTN VI sebagai upaya untuk pemulihan ekosistem di kawasan tersebut.

Sementara itu, tutupan pertanian lahan kering campuran pada tahun 2008 mengalami kenaikan luas yang sangat tinggi namun pada tahun 2016 dan juga tahun 2019 mengalami penurunan luas. Berdasarkan kondisi di lapangan masyarakat perambah hutan menanami tanaman karet dan juga jeruk pada kawasan yang dulunya hutan. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan yang sebagian besar bermata pencaharian petani merambah hutan untuk di jadikan lahan pertanian.

Kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dan juga keterbatasan lahan yang dimiliki menyebabkan masyarakat melakukan penggunaan kawasan hutan untuk dijadikan areal pertanian.

Berbanding terbalik dengan tutupan sawit yang mengalami kenaikan luas yang sangat tinggi. Berdasarkan tabel 1. luasan sawit pada tahun 2000 sebesar 22,29 ha mengalami peningkatan luas sampai pada tahun 2019 luasan sawit menjadi 900,17 ha. Selain digunakan sebagai lahan pertanian kering campuran, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga menjadikan kawasan yang dirambah untuk perkebunan sawit. Sawit yang dianggap oleh masyarakat dapat membawa perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik menjadikan masyarakat mengkonversi hutan menjadi perkebunan. Hal ini sesuai dengan tabel 1 dimana luasan sawit mengalami peningkatan yang sangat tinggi dari tahun 2000 sampai 2019.

(30)

17

Luasan tanah terbuka pada tabel 1 juga mengalami peningkatan dari tahun 2000 sampai 2019. Luas tanah terbuka pada tahun 2000 sebesar 528,42 ha dan pada tahun 2019 sebesar 2.224,55 ha. Peningkatan luas ini merupakan sebagai akibat dari pembalakan liar (illegal logging), perambahan hutan, pembakaran hutan untuk nantinya dijadikan sebagai lahan pertanian dan juga perkebunan. Berdasarkan kondisi di lapangan kasus perambahan hutan dan illegal logging yang paling parah berada di Resort Trenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang. Masyarakat yang melakukan pembalakan liar kemudian menjual kayu yang diambil dari kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tanah terbuka bekas perambahan hutan nantinya akan dijadikan masyarakat sebagai lahan pertanian dan juga perkebunan sawit.

Penurunan luas kawasan hutan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang mulai meningkat tajam sejak awal tahun 2000-an ketika pengungsi korban konflik Aceh mulai mendiami kawasan hutan ini dan membuat beberapa perkampungan di dalamnya yang terdiri dari perkampungan Sei Minyak, Barak Induk, dan Damar Hitam. Keberadaan pengungsi ini diperkirakan sebagai faktor awal meningkatnya kerusakan hutan di kawasan ini, keberadaan pengungsi dijadikan tameng bagi oknum perambah untuk melakukan aktivitas ilegal di dalam kawasan TNGL sehingga laju kerusakan hutan semakin tidak dapat diatasi.

Pada tahun 2004 sampai 2006 juga ada upaya dari manajemen TNGL dalam menyelesaikan persoalan perambahan hutan dan penebangan liar. Kemudian karena tidak ada keberlanjutan upaya penanganan persoalan pada tahun-tahun berikutnya terutama keberlanjutan program dan konsisitensi serta komitmen manajemen maka perambahan semakin meningkat. Triono (2008) mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pengelola lingkungan hidup dan pengelola hutan, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat adalah tidak konsisten dalam menjalankan pengelolaan lingkungan hidup yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sebelumnya.

Perambahan hutan yang dilakukan masyarakat telah menyebabkan kerusakan yang sangat parah serta menimbulkan perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Putiksari et al. (2014) menyatakan seiring berjalannya waktu, kondisi kawasan hutan, termasuk kawasan hutan konservasi, dilihat dari

(31)

18

penutupan vegetasi telah mengalami perubahan yang cepat dan dinamis sesuai dengan perkembangan pembangunan. Pembangunan yang terus meningkat diiringi dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan hidup menyebabkan semakin bertambahnya tekanan fisik terhadap kawasan konservasi. Masyarakat sekitar hutan banyak yang memenuhi kebutuhan hidupnya seperti bahan makanan, pakaian dan bahan bangunan dari dalam kawasan hutan. Selain itu, dengan semakin terhimpitnya keadaan ekonomi telah memicu terjadinya konversi lahan hutan untuk lahan pertanian atau penggunaan lahan lainnya bahkan sumber pendapatan alternatif yang paling umum diperoleh masyarakat sekitar hutan adalah melalui pengambilan sumberdaya dari dalam kawasan hutan.

Uji Akurasi

Uji akurasi merupakan suatu analisis untuk mengetahui tingkat ketepatan hasil klasifikasi yang telah dibuat berdasarkan matriks kontingensi atau error matrix. Matrik kontingensi merupakan suatu matriks bujur sangkar yang memuat sejumlah piksel yang telah diklasifikasi. Analisis akurasi ini dinilai dari nilai producer accuracy, user accuracy, overall accuracy, dan kappa accuracy.

Producer accuracy adalah akurasi yang didapatkan dari hasil bagi antara piksel yang benar dengan jumlah total piksel training area per kelas. User accuracy adalah akurasi yang didapatkan dari hasil bagi antara jumlah piksel yang benar dengan total piksel pada kolom. Hasil uji akurasi dari pengklasifikasian citra dengan menggunakan metode on screen dalam penelitian ini dapat dikatakan baik karena tingginya nilai dari overall accuracy dan juga kappa accuracy.

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa kelas tutupan lahan hutan terdapat 72 piksel terklasifikasikan dengan benar dan 1 piksel yang diklasifikasikan salah.

Kelas pertanian lahan kering campuran 12 piksel yang diklasifikasikan benar dan 1 piksel yang diklasifikasikan salah. Kelas sawit 23 piksel diklasifikasikan benar dan 2 piksel diklasifikasikan salah. Kelas tanah terbuka 24 piksel diklasifikasikan benar dan 1 piksel diklasifikasikan salah. Hasil uji akurasi untuk nilai pembuat atau user accuracy yang paling kecil terdapat pada kelas sawit yaitu sebesar 92% sedangkan nilai terbesar terdapat pada kelas hutan yaitu sebesar 98,63. Producer accuracy yang paling kecil terdapat pada kelad pertanian lahan kering campuran yaitu

(32)

19

sebesar 85,71 sedangkan nilai terbesar terdapat pada kelas lahan hutan yaitu sebesar 98.63%.

Tabel 2. Error Matrix Klasifikasi Tutupan Lahan Metode On Screen

Kelas 1 2 3 4 Total

User Accuracy

(%)

Producer Accuraccy

(%)

1 72 1 0 0 73 98,63 98,63

2 1 12 0 0 13 92,30 85,71

3 0 1 23 1 25 92 95,83

4 0 0 1 24 25 96 96

Total 73 14 24 25 136

Keterangan kelas : Kelas 1 : Hutan

Kelas 2 : Pertanian Lahan Kering Campuran Kelas 3 : Sawit

Kelas 4 : Tanah Terbuka

Kesalahan dalam uji akurasi memiliki beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan salah satunya kurang akuratnya alat yang digunakan dalam pengambilan titik groundcheck. Sebagai contoh pada kelas tutupan lahan hutan terdapat 72 piksel yang benar dan 1 piksel yang salah diklasifikasikan menjadi pertanian lahan kering campuran. Tabel confusion matrix dapat memberikan informasi penting untuk mengetahui nilai-nilai dalam pengujian akurasi, seperti nilai user accuracy, producer accuracy, overall accuracy dan kappa accuracy.

Berikut ini merupakan tabel confusion matrix klasifikasi tutupan lahan dengan menggunakan metode on screen.

Tabel 3. Confusion Matrix Klasifikasi Tutupan Lahan Metode On Screen

No Tutupan

Lahan

User Accuracy (%)

Producer Accuracy (%)

Overall Accuracy (%)

Kappa Accuracy (%)

1 Hutan 98,63 98,63

96,32 94,21

2

Pertanian Lahan Kering Campuran

92,30 85,71

3 Sawit 92 95,83

4 Tanah

Terbuka 96 96

Hasil uji akurasi dari pengklasifikasian citra digital dengan metode on screen dalam penelitian ini sudah dapat dikatakan baik karena nilai dari kappa accuracy sebesar 94,21%. Nilai tersebut telah melebihi batas minimal yang telah ditentukan untuk uji akurasi kappa. Tingkat penelitian klasifikasi tutupan lahan yang digunakan harus ≥ 75,00%.

(33)

20

Perbandingan Citra Satelit Pansharpening dan Tanpa Pansharpening

Penggabungan citra memberikan beberapa keuntungan seperti pemeliharaan ruang penyimpanan komputer, peningkatan kualitas estetika dan kosmetik; peningkatan resolusi spasial, dan perbaikan analisis. Penajaman citra dilakukan dengan menggabungkan data citra multispektral yang mempunyai resolusi 30 m dengan citra pankromatik yang mempunyai resolusi 15 m. Hasil perbandingan citra satelit menggunakan pansharpening dan tanpa pansharpening dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perbandinngan Citra Satelit Pansharpening dan Tanpa Pansharpening

No Keterangan Tanpa Pansharpening Pansharpening

1 Hutan

2 Hutan

(34)

21

3

Pertanian Lahan Kering Campuran

4

Pertanian Lahan Kering Campuan

5 Sawit

(35)

22

6 Tanah Terbuka

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat citra dari masing masing kelas tutupan lahan hutan, pertanian lahan kering campuran, sawit, dan tanah terbuka sebelum dilakukan pansharpening dan setelah dilakukan pansharpening. Kelas tutupan lahan hutan, pertanian lahan kering camputran, sawit dan tanah terbuka pada saat sebelum dilakukannya pansharpening memiliki tekstur warna yang lebih terang dibandingkan dengan setelah dilakukan pansharpening. Namun untuk visualisasi citra menggunakan pansharpening mampu menampilkan gambar objek yang lebih jelas terhadap ukuran, bentuk, tekstur dan asosiasi objek. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayati et al. (2017) yang menyatakan pada umumnya metode pan- sharpening bertujuan untuk meningkatkan informasi spasial dari citra multispektral yang asli dengan menggabungkan citra yang mempunyai resolusi spasial lebih tinggi dengan citra resolusi spektral yang lebih tinggi pula sehingga kualitas data yang dihasilkan lebih maksimal.

Perubahan Tutupan Lahan di SPTN VI Wilayah Besitang

Perambahan hutan seperti illegal logging yang terjadi di daerah SPTN VI Wilayah Besitang yang dilakukan oleh masyarakat menjadi permasalahan utama pada kawasan ini. Tingginya kasus illegal logging telah menyebabkan perubahan ekosistem kawasan penunjang kehidupan baik yang langsung pada kawasan berupa habitat flora dan fauna maupun dampak langsung ataupun tidak langsung terhadap masyarakat sekitar dan masyarakat pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Farizal et al. (2020) yang mengatakan akibat yang ditimbulkan bila hutan konservasi terambah antara lain: hilangnya habitat fauna hal ini dapat

(36)

23

mengakibatkan kerusakan ekosistem dan terjadinya konflik antara manusia dan satwa, sebagai tempat penyimpanan air dalam volume yang besar/ hutan sebagai pengendali banjir, untuk mencegah terjadinya banjir bandang, longsor dan kekeringan.

Pertambahan jumlah penduduk juga menjadi faktor utama yang menyebabkan tingginya kerusakan hutan yang mengakibatkan perubahan tutupan lahan pada kawasan ini. Penduduk sekitar yang bermata pencaharian sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan untuk tempat tinggal dan juga untuk kegiatan bertani/berladang. Entwisle et al. (2008) yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk suatu wilayah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan. Semakin tinggi kepadatan penduduk maka semakin tinggi kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan lahan.

Selain pertambahan jumlah penduduk, jaringan jalan juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya perubahan lahan. Jaringan jalan merupakan akses bagi masyarakat sekitar hutan untuk merambah hutan. Jalan merupakan faktor pendorong perubahan dari segi ekonomi, daerah yang memiliki banyak akses jalan cenderung akan mendorong perubahan lahan. Berdasarkan kondisi di lapangan, masyarakat sekitar hutan membuka jalan sebagai akses menuju hutan untuk melakukan perambahan, pembakaran dan pembalakan liar (illegal logging). Hal ini sesuai dengan pernyataan Kubangun et al. (2016) yang menyatakan bahwa areal hutan yang dekat dengan jalan memiliki land rent yang tinggi dan juga sebagai faktor pendorong adanya permukiman di sekitar hutan.

Kumar et al. (2014) menyatakan bahwa faktor ketinggian tempat juga berpengaruh terhadap tingginya laju perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi non hutan. Semakin rendah ketinggian areal hutan maka akan meningkatkan peluang terjadinya deforestasi.

Tingkat kelerengan juga menjadi faktor pendorong yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan. Tingkat lereng yang rendah dimanfaatkan masyarakat untuk pertanian dan juga holtikultura. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pertanian lahan kering campuran dan juga perkebunan sawit berada pada daerah yang mempunyai kelerengan yang cukup datar. Hal ini seseuai dengan penelitian Kubangun et al. (2016) menyatakan areal yang memiliki tingkat kelerengan yang

(37)

24

cenderung datar pada umumnya akan meningkatkan laju kerusakan hutan dibandingkan dengan daerah yang tidak datar (berlereng).

(38)

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perubahan tutupan lahan yang terjadi dari tahun 2000 sampai 2019 pada SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser yaitu hutan mengalami penurunan luas dari 112.508,47 ha menjadi 107.509,21 ha, pertanian lahan kering campuran mengalami peningkatan luas dari 2.106,65 ha menjadi 4.531,9 ha, sawit mengalami peningkatan luas dari 22,29 ha menjadi 900,17 ha, dan tanah terbuka mengalami peningkatan luas dari 528.42 ha menjadi 2.224,55 ha.

Saran

Untuk menghindari perambahan kawasan hutan yang lebih luas, perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat yang intensif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan kawasan harus melibatkan masyarakat sekitar sehingga mereka ikut menjaga kelestarian hutan.

(39)

26

DAFTAR PUSTAKA

Arico Z, Jayanthi S. 2016. Potensi Karbon Tersimpan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Resort Tenggulun sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim.

Journal of Islamic Science and Technology. 2(2): 143-152.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Entwisle B, Rindfuss RR, Walsh SJ, Page PH. 2008. Population Growth and Its Spatial Distribution as Factors in the Deforestation of Nangrong, Thailand.

Journal of Physical, Human, and Regional Geoscience 39(2): 879-897.

Farizal O, Harahaf H, Zahra M. 2020. Perencanaan Lanskap dan Strategi Pengembangan Potensi Daya Tarik Ekowisata Batu Rongring Taman Nasional Gunung Leuser. Serambi Engineering. 5(2): 1003-1016

Kumar R, Nandy S, Agarwal R, Kushwaha SPS. 2014. Forest Cover Dynamics Analysis and Prediction Modeling Using Logistic Regresseion Model.

Ecological Indikators. 45:444-455.

Hartono. 2010. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi serta Aplikasinya di Bidang Pendidikan dan Pembangunan. Seminar Nasional-PJ dan SIG I Tahun 2010. Yogyakarta.

Hidayati I. N, Susanti E, Utami W. 2017. Analisis Pansharpening Untuk Meningkatkan Kualitas Spasial Citra Penginderaan Jauh dalam Klasifikasi Tata Guna Tanah. Bhumi Vol. 3 No. 1: 123-136

Ismail. 2009. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC). Taman Nasional Gunung Leuser wilayah Besitang.

Sumatera Utara

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia 2014. Direktorat Inventarisasi dan Pemantaun Sumber Daya Hutan. Jakarta.

Kubangun S. H, Haridjaja O, Gandasasmita K. 2016. Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Identifikasi Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi. Majalah Ilmiah Globe. 18(1): 21-32.

Lestari S. C, Arsyad M. 2018. Studi Penggunaan Lahan Berbasis Data Citra Satelit dengan Metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika (JSPF) 14(1): 81-88.

(40)

27

Nugraha, S. 2008. Kesesuaian Fungsi Kawasan dengan Pemanfaatan Lahan di Daerah Aliran Sungai Samin Tahun 2007. MIIPS. 8(2): 67-76.

Pradipta I. M. D. 2015. Rancang Bangun Aplikasi Fusi Citra (Image Fusion) Dari Data Penginderaan Jauh Menggunakan Metode Pansharpening. Universitas Udayana. Bali.

Putiksari V, Dahlan E. N, Prasetyo L. B. 2014. Analisis Perubahan Penutupan Lahan dan Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Deforestasi di Cagar Alam Kamojang. Media Konservasi. 19(2): 126-140.

Putra R. R, Fauzi M. Sandhyafitri A. 2016. Analisis Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Koefisien Limpasan Kota Pekanbaru Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Jom FTEKNIK Vol 3. No. 2: 1-12

Putri D. R, Sukmono A, Sudarsono B. 2018. Analisis Kombinasi Citra Sentinel-1A dan Citra Sentinel-2A untuk Klasifikasi Tutupan Lahan (Studi Kasus:

Kabupaten Demak, Jawa Tengah). Jurnal Geodesi Undip. 8(2): 85-96.

Putro A.W. 2016. Identifikasi Karakteristik dan Pemetaan Tutupan Lahan Menggunakan Citra Landsat 8 (OLI) di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Raharjo P. D. 2010. Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Potensi Kekeringan. Makara, Teknologi. 14(2): 97-105.

Saefurrohman. 2005. Pengembangan Database Spasial untuk Pembuatan Aplikasi Berbasis GIS. Teknik Informasi Dinamik. 10(3): 133-142.

Sarjani F, Sumantyo J. T. S, Yohandri. 2017. Pengolahan Satelit Alos Palsar Menggunakan Metode Polarimetri Untuk Klasifikasi Lahan Wilayah Kota Padang. Eksakta Vol 18. No. 1 : 69-77.

Siburian R. 2006. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser Bagian Bukit Lawang Berbasis Ekowisata. Jurnal Masyarakat dan Budaya. 8(1): 67-90.

Siswoko B.D. 2008. Pembangunan, Deforestasi dan Perubahan Iklim. JMHT Vol.

XIV, (2) : 88-95.

Sitanggang G. 2008. Teknik dan Metode Fusi (Phansharpening) Data Alos (AVNIR-2 dan PRISM) Untuk Identifikasi Penutup Lahan/Tanaman Pertanian Sawah. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol 3 No. 1 : 33-49.

Sudiana D, Diasmara E. 2008. Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS. Seminar on Intelligent Technology and Its Application 2008. Depok.

(41)

28

Triono, H.E. 2008. Kajian Hukum Pengelolaan Ekosistem Kawasan Leuser. Tesis.

Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Wibowo K. M, Kanedi I, Jumadi J. 2015. Sistem Informasi Geografis (SIG) Menentukan Lokasi Pertambangan Batubara di Provinsi Bengkulu Berbasis Website. Jurnal Media Infotama. 11(1): 51-60.

(42)

29

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kondisi di lapangan dan citra pada daerah penelitian

No Keterangan Koordinat Kondisi pada citra Kondisi di lapangan

1 Hutan

98°5’23.65”

BT 3°4621’.22”

LS

2 Hutan

98°4’12.52”

BT 3°41’0.23”LS

3 Hutan

98°2’12.24”

BT 3°55’.29.06”

LS

(43)

30

4

Pertanian Lahan Kering Campuran

98°8’9.28”

BT 3°56’37.54”

LS

5

Pertanian Lahan Kering Campuran

98°9’10.47”

BT 3°51’8.72”

LS

6 Sawit

98°8’29.17”

BT 3°58’24.46”

LS

(44)

31

7 Sawit

98°1’34.57”

BT 4°0’53.05”

LS

8 Tanah Terbuka

98°1’54.66”

BT 3°58’27.22”

LS

9 Tanah Terbuka

98°8’1.15”

BT 3°55’53.14”

LS

(45)

32

10 Tanah Terbuka

98°8’49.26”

BT 3°56’1.25”

Lampiran 2. Dokumentasi Lapangan

Gambar 1. Tutupan Lahan Hutan Gambar 2. Pertanian Lahan Kering Campuran

(46)

33

Gambar 3. Tutupan Lahan Sawit Gambar 4. Tutupan Lahan Tanah Terbuka

Gambar 5. Pengambilan titik GPS Gambar 6. Pengambilan titik GPS

(47)

34

Lampiran 3. Dokumentasi Lapangan

Gambar 7. Perambahan hutan (illegal logging) Gambar 8. Perambahan hutan (illegal logging)

Gambar 9. Jalan

(48)

35

Lampiran 4. Titik Koordinat Groundcheck

No X Y Keterangan

1 98° 7' 44.297" E 3° 57' 7.154" N Tanah terbuka

2 98° 3' 0.482" E 4° 2' 4.011" N Hutan

3 98° 1' 33.989" E 3° 58' 16.038" N Tanah terbuka 4 98° 1' 3.881" E 3° 46' 13.459" N Hutan 5 97° 59' 9.205" E 3° 48' 53.748" N Hutan 6 98° 3' 3.892" E 4° 1' 12.315" N Hutan 7 98° 0' 42.948" E 3° 57' 34.320" N Hutan 8 98° 0' 45.108" E 3° 57' 30.737" N Hutan 9 98° 0' 44.244" E 3° 57' 29.592" N Hutan 10 98° 0' 43.740" E 3° 57' 22.531" N Hutan 11 98° 0' 44.028" E 3° 57' 19.930" N Hutan 12 98° 5' 51.288" E 3° 46' 3.267" N Sawit 13 98° 5' 45.384" E 3° 46' 6.041" N Sawit 14 98° 5' 43.476" E 3° 46' 6.419" N Sawit 15 98° 5' 37.536" E 3° 46' 14.759" N Hutan 16 98° 5' 34.800" E 3° 46' 10.989" N Hutan 17 98° 5' 32.712" E 3° 46' 6.143" N Hutan 18 98° 5' 26.542" E 3° 46' 4.100" N Hutan 19 98° 5' 24.612" E 3° 46' 3.210" N Hutan 20 98° 5' 33.216" E 3° 46' 15.813" N Hutan 21 98° 5' 30.984" E 3° 46' 16.966" N Hutan 22 98° 5' 29.040" E 3° 46' 16.765" N Hutan 23 98° 5' 22.704" E 3° 46' 17.787" N Hutan 24 98° 5' 19.572" E 3° 46' 19.147" N Hutan 25 98° 5' 23.658" E 3° 46' 21.221" N Hutan 26 98° 5' 29.292" E 3° 46' 18.795" N Hutan 27 98° 4' 20.046" E 3° 41' 6.894" N Hutan 28 98° 4' 16.644" E 3° 41' 6.539" N Hutan 29 98° 4' 12.900" E 3° 41' 4.392" N Hutan 30 98° 4' 8.566" E 3° 41' 3.749" N Hutan 31 98° 4' 8.508" E 3° 41' 1.342" N Hutan 32 98° 4' 12.522" E 3° 41' 0.235" N Hutan 33 98° 4' 17.040" E 3° 40' 58.282" N Hutan 34 98° 4' 23.700" E 3° 40' 41.659" N Hutan 35 98° 4' 26.256" E 3° 40' 37.060" N Hutan 36 98° 4' 27.120" E 3° 40' 36.326" N Hutan 37 98° 4' 27.624" E 3° 40' 35.548" N Hutan 38 98° 4' 32.376" E 3° 40' 32.648" N Hutan 39 98° 4' 32.556" E 3° 40' 31.328" N Hutan

40 98° 8' 9.289" E 3° 56' 37.454" N Pertanian lahan kering campuran 41 98° 8' 19.490" E 3° 56' 25.687" N Pertanian lahan kering campuran 42 98° 8' 9.974" E 3° 56' 33.574" N Pertanian lahan kering campuran 43 98° 8' 3.471" E 3° 56' 17.702" N Pertanian lahan kering campuran 44 98° 7' 42.403" E 3° 56' 6.183" N Tanah terbuka

45 98° 9' 7.114" E 3° 56' 29.572" N Tanah terbuka

46 98° 9' 4.365" E 3° 56' 19.862" N Pertanian lahan kering campuran

(49)

36

47 98° 3' 21.962" E 3° 53' 40.666" N Hutan

48 98° 7' 32.103" E 3° 56' 6.551" N Pertanian lahan kering campuran 49 98° 7' 29.146" E 3° 56' 3.833" N Pertanian lahan kering campuran 50 98° 7' 22.187" E 3° 55' 50.744" N Hutan

51 98° 7' 17.213" E 3° 55' 54.969" N Hutan 52 98° 7' 12.884" E 3° 55' 57.113" N Hutan 53 98° 7' 10.782" E 3° 55' 54.283" N Hutan 54 98° 7' 5.744" E 3° 55' 57.597" N Hutan 55 98° 7' 0.000" E 3° 55' 53.885" N Hutan 56 98° 5' 59.262" E 3° 55' 43.965" N Hutan 57 98° 7' 14.869" E 3° 55' 43.368" N Hutan 58 98° 7' 12.981" E 3° 55' 35.573" N Hutan 59 98° 7' 13.329" E 3° 55' 21.110" N Hutan 60 98° 7' 27.649" E 3° 55' 6.638" N Hutan 61 98° 7' 21.555" E 3° 55' 4.909" N Hutan 62 98° 7' 13.138" E 3° 55' 3.482" N Hutan 63 98° 7' 8.450" E 3° 54' 55.243" N Hutan 64 98° 8' 1.159" E 3° 55' 53.140" N Tanah terbuka 65 98° 8' 42.525" E 3° 57' 6.089" N Tanah terbuka 66 98° 8' 51.723" E 3° 56' 58.928" N Sawit 67 98° 8' 47.128" E 3° 57' 0.624" N Tanah terbuka 68 98° 9' 49.265" E 3° 56' 1.255" N Tanah terbuka 69 98° 10' 10.519" E 3° 56' 18.352" N Sawit 70 98° 10' 9.986" E 3° 55' 59.551" N Sawit 71 98° 10' 8.751" E 3° 55' 11.868" N Sawit

72 98° 10' 10.637" E 3° 54' 54.560" N Pertanian lahan kering campuran 73 98° 9' 56.952" E 3° 54' 45.593" N Sawit

74 98° 9' 15.140" E 3° 55' 32.808" N Tanah terbuka

75 98° 9' 51.764" E 3° 54' 34.247" N Pertanian lahan kering campuran 76 98° 10' 9.702" E 3° 54' 27.263" N Sawit

77 98° 4' 1.889" E 4° 2' 14.095" N Sawit 78 98° 3' 51.225" E 4° 1' 47.680" N Hutan 79 98° 3' 27.269" E 4° 1' 41.742" N Hutan 80 98° 3' 53.003" E 4° 1' 31.119" N Hutan 81 98° 1' 44.918" E 4° 1' 11.928" N Hutan 82 98° 1' 55.627" E 4° 1' 12.670" N Hutan 83 98° 1' 34.578" E 4° 0' 53.054" N Sawit 84 98° 1' 40.040" E 4° 0' 39.914" N Sawit 85 98° 1' 56.367" E 4° 0' 45.450" N Hutan 86 98° 1' 43.553" E 4° 0' 32.353" N Tanah terbuka 87 98° 1' 54.665" E 3° 58' 27.226" N Tanah terbuka 88 98° 1' 29.179" E 3° 58' 24.464" N Sawit 89 98° 0' 41.104" E 3° 57' 15.146" N Hutan 90 97° 59' 41.810" E 3° 53' 30.931" N Hutan 91 98° 3' 36.654" E 4° 0' 19.641" N Hutan 92 98° 4' 17.688" E 3° 40' 20.070" N Hutan 93 98° 5' 57.923" E 3° 46' 7.704" N Sawit 94 98° 5' 53.709" E 3° 46' 11.356" N Sawit

(50)

37

95 98° 5' 45.393" E 3° 46' 11.098" N Sawit 96 98° 1' 3.722" E 3° 56' 45.606" N Hutan 97 98° 3' 6.430" E 3° 40' 19.557" N Hutan 98 98° 10' 12.052" E 3° 54' 15.581" N Sawit 99 98° 10' 0.786" E 3° 55' 17.612" N Tanah terbuka 100 98° 9' 30.711" E 3° 55' 48.769" N Tanah terbuka 101 98° 8' 52.962" E 3° 56' 27.837" N Tanah terbuka 102 98° 8' 16.460" E 3° 56' 59.165" N Tanah terbuka 103 98° 8' 21.829" E 3° 56' 6.543" N Tanah terbuka 104 98° 10' 12.911" E 3° 52' 35.449" N Sawit 105 98° 8' 46.543" E 3° 51' 52.776" N Tanah terbuka 106 98° 8' 18.591" E 3° 51' 37.416" N Tanah terbuka

107 98° 10' 9.214" E 3° 51' 16.265" N Pertanian lahan kering campuran 108 98° 9' 57.119" E 3° 51' 33.486" N Pertanian lahan kering campuran 109 98° 8' 58.150" E 3° 50' 50.906" N Tanah terbuka

110 98° 6' 34.681" E 3° 50' 50.202" N Hutan 111 98° 3' 59.734" E 3° 49' 10.071" N Hutan 112 97° 54' 23.690" E 3° 40' 4.241" N Hutan 113 98° 9' 43.822" E 3° 52' 52.366" N Sawit 114 98° 9' 32.398" E 3° 52' 57.127" N Sawit 115 98° 9' 20.125" E 3° 53' 13.578" N Tanah terbuka 116 98° 8' 44.668" E 3° 53' 13.014" N Tanah terbuka 117 98° 6' 56.438" E 3° 51' 55.595" N Hutan 118 98° 9' 26.379" E 3° 50' 7.365" N Sawit 119 98° 9' 15.433" E 3° 50' 3.090" N Sawit 120 98° 8' 39.483" E 3° 50' 38.638" N Tanah terbuka 121 98° 8' 2.569" E 3° 52' 42.183" N Tanah terbuka 122 98° 10' 11.333" E 3° 53' 11.856" N Sawit

123 98° 9' 10.477" E 3° 51' 8.722" N Pertanian lahan kering campuran 124 98° 10' 8.316" E 3° 51' 25.116" N Tanah terbuka

125 98° 10' 2.775" E 3° 52' 52.536" N Pertanian lahan kering campuran 126 98° 4' 11.165" E 4° 2' 10.334" N Sawit

127 98° 2' 12.334" E 3° 55' 29.066" N Hutan 128 97° 59' 5.186" E 3° 38' 1.680" N Hutan 129 97° 54' 36.242" E 3° 43' 24.491" N Hutan 130 97° 54' 42.865" E 3° 34' 22.470" N Hutan 131 98° 4' 5.379" E 3° 51' 51.255" N Hutan 132 97° 52' 23.636" E 3° 44' 32.007" N Hutan 133 97° 55' 40.628" E 3° 47' 11.052" N Hutan 134 97° 57' 56.243" E 3° 43' 52.684" N Hutan

Referensi

Dokumen terkait

ungan Kemamp Desain Inte andingan Rek roses pencaria uan mahasisw g cepat terlih el 4 dapat dil tau 54 % ting skala 7 (tuju ada kreativita 12 (dua bela novelty & ko n (18 %)

[r]

1) Prosedur Kerja, adalah rangkaian tata pelaksanaan kerja yang diatur secara berurutan, sehingga terbentuk urutan kerja secara bertahap dalam menyelesaikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proyek CCDP – IFAD adalah faktor pendidikan, pekerjaan sampingan,

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kesadaran gizi keluarga di Desa Sidoarjo Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo adalah hampir setengahnya baik, sedangkan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peran Ganda Perempuan Pedagang di Pasar Jalan Trem Pangkalpinang menunjukkan sudah terjadi begitu saja dan tanpa ada

[r]

penggunaan pewarna serta dampak terhadap kesehatan. Suasana kelas aktif dalam diskusi sehingga lancar dalam pembelajaran. Saat penyajian hasil diskusi, guru menjadi