• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil-hasil perhitungan pada subbab 8.2 mengindikasikan bahwa kebijakan Pemerintah (Pusat), yang antara lain menetapkan ”harga karcis” masuk ke TNGL jauh di bawah yang semestinya sebagai akibat gagalnya pengelola dalam memperhitungkan eksternalitas positif dan berakibat merugikan pengelola serta masyarakat sekitar TNGL. Dari segi ekonomi, keterbatasan anggaran Pemerintah dengan sendirinya membatasi upaya-upaya untuk menjaga kelestarian TNGL. Tentunya hal ini semakin parah apabila harga karcis yang ditetapkan lebih

rendah dari tingkat keekonomian (sosial)nya. Pricing yang benar akan

memperbaiki distorsi tersebut.

Pricing yang benar dengan tujuan meningkatkan pendapatan pengelolaan TNGL tidak selalu otomatis ditempuh dengan menaikkan harga karcis masuk, kecuali bila tujuannya terfokus pada penyaringan pengunjung untuk mengurangi

probability pengrusakan baik oleh pengunjung maupun oleh masyarakat sekitar. Harga karcis yang tinggi tidak selamanya dapat meningkatkan pendapatan pengelola, karena (1) pada dasarnya konsumen memiliki toleransi kesediaan

membayar (willingness to pay – WTP) untuk menikmati wisata TNGL, (2) maka kenaikan harga karcis yang melebihi WTP konsumen akan berisiko mengurangi animo konsumen untuk mengunjungi TNGL, (3) apabila animo konsumen terhadap nilai manfaat wisata TNGL besar sementara harga karcis melebihi WTP- nya maka akan berisiko memunculkan negosiasi-negosiasi illegal untuk memasuki TNGL, dan (4) kenaikan harga karcis umumnya disertai dengan peningkatan investasi sebagai imbangannya yang mungkin memerlukan biaya yang lebih besar dari manfaat yang diperoleh.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dicari alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan pengelolaan TNGL guna menjamin bahwa kualitas pengelolaan kelestarian ekosistem sebagai fungsi utama kawasan konservasi dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan. Salah satu alternatif yang dalam dekade terakhir banyak dikembangkan oleh negara-negara di Amerika Latin dan menunjukkan keberhasilan adalah pelibatan partisipasi masyarakat penerima manfaat upaya-upaya konservasi dalam membiayai upaya-upaya tersebut melalui skema pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services - PES)

Menurut Wunder (2005), PES didefinisikan sebagai sebuah transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (one seller), satu pembeli (one buyer) dan jasa lingkungan yang terdifinisi dengan baik (well- defined environmental service), di mana di sini berlaku pula prinsip-prinsip bisnis “hanya membayar bila jasa telah diterima”. Konsep PES tersebut dapat diterapkan pada pengelolaan DAS, konservasi keaneka-ragaman hayati (kehati) dan pelestarian keindahan bentang alam (Rosa et. al., 2003 dan Wunder, 2005).

Secara umum PES memiliki beberapa manfaat bila dikembangkan dalam kerangka pengelolaan SDA dan lingkungan. Manfaat-manfaat tersebut meliputi (Nugroho et. al., 2007):

1. Dapat dimanfaatkan untuk membangun kepedulian masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih baik.

2. Dapat memfasilitasi penyelesaian konflik dan membangun kesepakatan di

antara para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan SDA dan lingkungan. 3. Dapat meningkatkan rasionalisasi (efisiensi) dalam pemanfaatan barang dan

jasa lingkungan (ekosistem) melalui penciptaan nilai atas barang dan jasa tersebut yang menurut karakteristiknya sebagian besar di antaranya merupakan non marketable goods and services (NMGS).

4. Dapat dijadikan sumber pendanaan alternatif bagi upaya-upaya konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan SDA.

5. Sebagai peluang untuk mentransfer sumberdaya dari penerima manfaat kepada penyedia jasa yang secara social-ekonomi umumnya termarjinalkan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Anwar (1991; 2001), keberlanjutan sumberdaya alam dapat terjaga apabila pengorganisasian para pihak dilakukan

sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat menjalankan peran (role)nya

secara baik. Kebijakan yang cenderung top-down selama ini tidak dapat

menangkap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, sehingga mereka tidak dapat menjalankan perannya secara baik. Akibatnya, mereka melakukan aktivitas- aktivitas ekonomi yang dapat mengancam kelestarian TNGL. Pemerintah

biasanya menyatakan bahwa anggota masyarakat tersebut melakukan perambahan hutan. Namun bagi mereka, aktivitas itu adalah bargain terbaik yang dapat diupayakan untuk menyambung hidup. Dengan kata lain terjadi konflik kepentingan.

Menurut Anwar (2005), konflik seperti itu hanya dapat diatasi apabila dilakukan interaksi (gaming) antara kedua belah pihak secara repetitif. Interaksi

repetitif itu perlu dilakukan hingga dicapai suatu keseimbangan (Nash

equilibrium), di mana kerusakan kawasan TNGL diharapkan akan dapat dihindari, dan di lain pihak kesejahteraan masyarakat sekitar TNGL meningkat secara signifikan. Tentu saja interaksi tersebut baru bisa terjadi apabila beberapa prakondisi berikut terpenuhi.

Pertama, kebutuhan dan aspirasi masyarakat sekitar TNGL harus didengar dan mereka dibantu oleh Pemerintah dengan program-program yang secara riil bisa mewujudkan upaya pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam kaitannya dengan hal ini, adalah relevan untuk mengemukakan kritik Anwar (2005) terhadap Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 mengenai kepemilikan sumberdaya alam oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang dipandang oleh beliau tidak terdefinisikan secara jelas. Negara dalam hal ini tidak tepat diartikan sebagai Pemerintah semata, namun seluruh komponen yang ada di dalam NKRI. Dan karena komponen terbesar adalah rakyat, ditambah dengan frase ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”, jelaslah bahwa kekayaan sumberdaya alam tersebut secara dominan harus dialokasikan kepada rakyat banyak dengan mekanisme pasar yang berkeadilan. Untuk mencapai hal ini sudah pasti diperlukan upaya maksimal

untuk menjaring aspirasi dan partisipasi rakyat, termasuk dalam pengembangan dan pelestarian TNGL.

Kedua, biaya transaksi yang mungkin timbul dalam kaitannya dengan interaksi tersebut (seperti waktu dan waktu yang dibutuhkan untuk bernegosiasi) haruslah ditekan sekecil mungkin sehingga tidak menghambat anggota masyarakat untuk mengemukakan aspirasinya.

Ketiga, interaksi atau negosiasi yang dilakukan hendaklah berlangsung secara adil (fair) di mana wakil Pemerintah dan masyarakat memiliki bargaining position yang kurang-lebih setara, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak bersifat dipaksakan.

Keempat, keseimbangan antar-waktu (intertemporal equilibria) juga dicapai melalui mekanisme interaksi secara repetitif dan berkesinambungan oleh generasi mendatang dari masyarakat sekitar TNGL maupun pemerintahan mendatang. Interaksi repetitif secara intertemporal ini pada gilirannya mensyaratkan diperlukannya Pemerintah (Pusat maupun Daerah) yang memiliki arah kebijakan jangka panjang yang jelas, yakni yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan secara simultan fokus pada keberlanjutan TNGL itu sendiri. Bentuk orientasi yang pertama merupakan syarat keharusan sebab bila rakyat tidak sejahtera, perambahan dan lading berpindah akan terus dilakukan.

Bentuk orientasi kedua juga merupakan syarat keharusan sebab manfaat- manfaat eksistensi TNGL hanya dapat dinikmati apabila kawasan tersebut dan isinya lestari. Agar lestari maka pendekatan teknis pengelolaannya harus dilakukan secara tepat. Ketepatan teknis pengelolaan tidak mungkin dilakukan

apabila aparat pemerintah bertindak korup. Maka pemerintah yang menjalankan

good governance merupakan syarat kecukupan bagi semua hal di atas. Bila ada swasta yang terlibat, pihak ini pun harus menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance, yang mencakup fairness, transparency, accountability, responsibility, disclosure, dan independency.

Penerapan prinsip-prinsip tersebut akan meminimalkan biaya transaksi yang terjadi dalam penyelenggaraan pengelolaan TNGL. Selain itu, berbagai prinsip tersebut akan membuka lebar pintu partisipasi masyarakat sekitar TNGL dalam pengembangan maupun pembangunan TNGL, sehingga pada gilirannya dapat memaksimalkan manfaat-manfaat yang dapat dinikmati masyarakat sekitar serta keberlanjutan kawasan tersebut.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait