PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS MEDIK
“KOLESISTITIS”
Oleh:dr. Rizal Kurniawan
Pembimbing:dr. P K Dewi
RS PKU MUHAMMADIYAH TEMANGGUNG
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
PORTOFOLIO INTERNSHIP KASUS MEDIK
Nama Peserta dr. Rizal KurniawanNama Wahana RS PKU Muhammadiyah Temanggung Topik Kolesistitis
Tanggal (kasus) 15 Februari 2015
Nama Pasien Ny. SM No. RM 0195321
Tanggal Presentasi Pendamping dr. P.K. Dewi Tempat Presentasi Aula RS PKU Muhammadiyah Temanggung
Objektif Presentasi
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka □ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil □ Deskripsi Seorang perempuan usia 56 tahun datang dengan ikterus
□ Tujuan Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan kolesistitis
Bahan Bahasan □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara Membahas □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Data Pasien Ny. SM No. Registrasi: 0195321
Nama Klinik Telp. Terdaftar sejak: 2015
Data Utama untuk Bahan Diskusi:
1.Diagnosis/Gambaran Klinis: Pasien dengan keluhan nyeri ulu hati, disertai hiperbilirubinemia, dan peningkatan Liver Function Test
2.Riwayat Pengobatan: Berobat jalan di RSUD 2 kali. 3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
- Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. - Riwayat hipertensi tak terkontrol.
4.Riwayat Keluarga: Riwayat anggota keluarga sakit serupa disangkal.
5.Riwayat Pekerjaan: Ibu rumah tangga.
6.Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik: Tinggal bersama keluarga anak ketiga, suami bekerja pedagang.
7. Lainlain :
-Daftar Pustaka: Hasil Pembelajaran:
1.Diagnosis kolesistitis
2.Tata laksana pasien kolesistitis, hiperbilirubinemia, dan hepatitis akut
3.Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penatalaksanaan yang akan dilakukan, komplikasi dan prognosis.
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio Subjektif :
Keluhan Utama: Nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang: Kurang lebih 1 bulan SMRS pasien sering mengeluh nyeri ulu hati, nyeri tembus ke punggung, hilang timbul, tidak dipengaruhi oleh pola makan, tidak menjalar, kambuh-kambuhan tidak menentu, perut begah, sebah, mual dan perih kadang-kadang, muntah disangkal, nyeri dada disangkal, sesak napas disangkal, keringat dingin disangkal, BAK seperti teh, BAB tidak ada kelainan. Pasien selalu minum obat warung seperti promag namun tidak membaik.
Seminggu kemudian pasien periksa ke poliklinik dokter spesialis di RSUD Temanggung, pasien dilakukan pemeriksaan USG dan divonis terkena radang kandung empedu dan berobat jalan, oleh dokter diberi 2 macam obat salah satunya adalah Hepatin 2x sehari.
Satu minggu kemudian keluhan tak kunjung membaik, pasien masih merasa nyeri ulu hati. Kemudian pasien berobat lagi ke poliklinik spesialis RSUD Temanggung, oleh dokter tetap disarankan rawat jalan dan diberi tiga macam obat (pasien lupa namanya).
Kira-kira selama 10 hari kemudian keluhan pasien semakin bertambah berat, pasien demam selama 5 hari, dan tubuh mulai menguning. Kemudian pasien dibawa ke IGD RS PKU Muhammadiyah Temanggung. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti
ini sebelumnya. Riwayat hipertensi sudah sejak 1 tahun, tidak rutin kontrol dan berobat. Riwayat penyakit gula, sakit jantung, dan merokok disangkal. Riwayat asam urat, asma, kolesterol tinggi, alergi obat dan makanan tidak tau.
Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat sakit serupa dikeluarga disangkal. Riwayat hipertensi dan penyakit gula tidak tau.
Riwayat Sosial Ekonomi: Pasien tidak bekerja, suami bekerja sebagai pedagang. Memiliki 3 orang anak yang semuanya sudah menikah dan
hidup mandiri. Pasien dirumah tinggal bersama suami dan keluarga anak ketiga. Biaya rumah sakit ditanggung oleh BPJS mandiri kelas 1.
Objektif: (15 Februari pukul 15.28 WIB di IGD RS PKU Muhammadiyah
Temanggung)
Vital sign
KU: Tampak Kesakitan (VAS 4-6) Kesadaran: GCS E5M6V5
TD: 134/79 mmHg
Frekuensi nadi: 88 x/menit Frekuensi nafas: 22 x/menit Suhu: 36,7oC
SaO2: 99%
Berat badan: ± 60 Kg Tinggi badan: ± 145 cm
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Turgor kulit kembali cepat, jejas (-)
Mata : Conjunctiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (+/+) Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung (-) Mulut : Bibir sianosis (-)
Tenggorokan : Tidak diperiksa
Leher : Trakea di tengah, pembesaran nnll (-/-).
Jantung : Bising (- ), gallop (-), suara jantung I dan II reguler. Paru : SD vesikuler, suara tambahan (-).
Abdomen : Datar, supel, BU (+)N, H/L ttb, venektasi (-), Nyeri tekan (+) epigastrik dan kuadran kanan atas.
Ekstremitas : superior inferior Oedema +/+ +/+
Sianosis -/- Capilary refill <2” / <2” <2” / <2”
Pemeriksaan Penunjang (15 Februari 2015, 15:41)
Pemeriksaan darah: RBC 3,74 x 106/mm3 (3,50-5,50x106 mm3) MCV 73,5 fl (75,0-100,0 fl) L RDW% 20,8% (11,0-16,0%) H RDWa 85,2 fl (30,0-150,0 fl) HCT 27,5% (35-55,0%) L PLT 243DE x 103/mm3 (150-400x103/mm3) MPV 5,9 fl (8,0-11,0 fl) L PDW 9,9 fl (0,1-99,9 fl) PCT 0,14% (0,01-9,99%) LPCR 6,6% (0,1-99,9%) WBC 17,6 x 103/mm3 (3,5-10,0x103/mm3) H HGB 11,7 gr/dl (11,5-16,5 gr/dl) MCH 31,2 pq (25,0-35,0 pq) MCHC 42,5 gr/dl (31,0-38,0 gr/dl) H LYM 1,6 x 103/mm3 (0,5-5,0x103/mm3) GRAN 15,2 x 103/mm3 (1,2-8,0x103/mm3) H MID 0,8 x 103/mm3 (0,1-1,5x103/mm3) LYM% 9,5% (15,0-50,0%) L GRA% 86,4% (35,0-80,0%) H MID% 4,1% (2,0-15,0%) HbsAg NON REAKTIF Gol. Darah O
Kimia Klinik
Urea 17 mg/dl (15-43 mg/dl)
Creatinin 1,25 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)
SGOT/AST 184 U/L (6-31 U/L) H SGPT/ALT 324 U/L (4-31 U/L) H
Total Bilirubin 12,55 mg/dl (0,3-1,2 mg/dl) H Direct Bilirubin 11,21 mg/dl (0,3-1,2 mg/dl) H Cholesterol 78 mg/dl (140-220 mg/dl) Triglyserides 103 mg/dl (40-200 mg/dl) Uric Acid 3,7 mg/dl (2,6-6 mg/dl) Urinalisis Makroskopis
Warna kuning keruh
Leukosit 3+ Nitrit 1+ Protein 1+ Blood 1+ Bilirubin 3+ Sedimen Leukosit 20-25/LPB Eritrosit 0-3/LPB USG Abdomen 12 Januari 2015, Kesan
Penebalan dinding VF dan pericholecystic oedem mengarah gambaran cholecystitis. Tak tampak cholelithiasis
Sonography organ lainnya dalam batas normal 16 Februari 2015, Kesan
Struktur echo parenchyma hepar kasar cenderung hepatitis Suspect pancreatitis chronis & gastritis
Tampak cairan bebas intraabdomen, DDx Ascites EKG
Irama : sinus rhytm Frekuensi : 86 bpm Axis QRS : normoaxis Gel P : 0,08 s PR interval : 0,16 s Gel QRS : Q patologis (-) QRS interval : 0,08 s ST segmen : isoelektrik
Gel T : inverted (-), tall (-) Gel U : (-)
QT interval : 0,36 s Lain-lain : (-)
Kesan : normo sinus rhytm
1. Assesment (penalaran klinis):
Penegakan diagnosis Kolesistitis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan informasi bahwa kurang lebih 1 bulan SMRS pasien sering mengeluh nyeri ulu hati, nyeri tembus ke punggung, hilang timbul, tidak dipengaruhi oleh pola makan, tidak menjalar, kambuh-kambuhan tidak menentu, perut begah, sebah, mual dan perih kadang-kadang serta BAK
seperti teh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik dan nyeri tekan abdomen epigastrik dan kuadran kanan atas. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan LFT dan hiperbilirubinemia. Pemeriksaan USG ditemukan adanya curiga kolesistitis dan hepatitis.
Terapi yang diberikan di UGD antara lain: untuk jalur akses intravena dipasang infus NaCl 20tpm, untuk mengurangi resiko stres ulcer diberikan ranitidin injeksi 2x50mg, untuk menurunkan demam diberikan tablet antipiretik kombinasi parasetamol 500mg + n-Asetilsistein 200mg 3x1tab bila demam, untuk memelihara fungsi hati diberikan curcuma tablet 3x1tab, untuk mengurangi nyeri perut diberikan analgetik injeksi ketorolac 3x1amp bila nyeri. untuk mencegah infeksi diberikan antibiotik ceftriaxone injeksi 2x1g.
Kepada orangtua juga diedukasi tentang penyakit yang dialami dan prognosis.
2. Plan: Diagnosis
Observasi febris 5 hari & ikterik e.c. suspek Kolesistitis DD/ Hepatitis akut
Pengobatan:
a. Promotif:
Diberikan penyuluhan mengenai sakit kuning (hiperbilirubinemia) mulai dari pengertian, penyebab, gejala penyakit, pengobatan, komplikasi, faktor risiko dan prognosis.
b. Preventif:
Anggota keluarga disarankan untuk melakukan cek kesehatan terutama untuk penyakit usia lanjut.
c. Kuratif:
Infus NaCl 20 tpm.
H2 blocker ranitidin injeksi 2x50mg.
Antipiretik kombinasi parasetamol 500mg + n-Asetilsistein 200mg 3x1tab bila demam.
Analgetik ketorolac injeksi 3x1amp bila nyeri. Hepatoprotektor curcuma tablet 3x1tab.
Antibiotik ceftriaxone injeksi 1x1g (ST).
Pendidikan:
Kepada keluarga dijelaskan mengenai penyakit kuning, tujuan pengobatan dan prognosis.
Konsultasi:
Telah dilakukan konsultasi kepada bagian spesialis terkait: dokter spesialis penyakit dalam.
TINJAUAN PUSTAKA
KOLESISTITIS
BAB I
PENDAHULUAN
Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitandengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasienkolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien dinegara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Sepertikolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapatmengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini sertaterapi yang sesuai.
BAB II
2.1. Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekandan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai inimasih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009)
2.2 . Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu
Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjutsebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandungempedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yangkemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasukiduodenum melalui ampulla Vater (Price SA, et al , 2006).
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiridari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas ± 50ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasidan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dandiekskresi ke dalam empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit(sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulusempedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 – 600 mL (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal.Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis olehhormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun efek kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairanempedu ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akandireabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portaldan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalamempedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar ± 20% empedu intestinal tidak direabsorpsi di
ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon menjadiasam empedu sekunder yakni deoksikolat dan litokolat dan ± 50% akandireabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.3 . Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalahstasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkansebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akutakalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).
Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairanempedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedumenyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemiadan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosadinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi.(Donovan JM, 2009).
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (CullenJJ, et al, 2009)
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resikoterhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pasca persalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu(misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV, et al, 2008).
2.4 . Tanda dan Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikansuhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantungdari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasikandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat seranganyang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstra seluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tandaMurphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik.Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (SudoyoW. Aru, et al, 2009).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakandengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.5 . Diagnosis Banding
Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR, et al, 2009).
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khasdan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengankolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis.Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapatmemberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktuskandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitisakut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bilaada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain)menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et al, 2010)
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J, 2009).
Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRIdilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosayang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG (Kim YK, et al, 2009).
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96nTc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batuempedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV, et al, 2009).
Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambarankolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – selinflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yangdisebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapatditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al, 2009).
2 .7. Tatalaksana
2.7.1. Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberianan tibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. Faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lainyang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher,K.J, et al, 2009).
2.7.2. Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 %
kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi (Wilson E, et al, 2010).
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Padakasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E, et al, 2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu (Mutignani M, et al, 2009)
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalammengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan dirumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et al, 2008).
Padawanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semuatrimester (Cox MR, et al, 2008) Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomidiantaranya adalah:
•Resiko tinggi terhadap anastesi umum
•Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
•Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan darah (Wilson E, et al, 2010).
2.8 . Komplikasi kolesistitis 2.8.1.Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangankolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsisgram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al, 2009).
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering terabamassa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kananatas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasiatau gangren (Gruber PJ, et al, 2009).
2.8.2. Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsiyang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses.Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (ChiuHH, et al, 2009). Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyerikuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalamidekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).
2.8.3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yangdiakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal.Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.8.4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedudalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium danopasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limausering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.9.1. Komplikasi dini
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna daninterna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yangtidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batuempedu yang tertahan (3) sindroma tunggal (stump) duktus sistikus (4) stenosisatau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.9.2. Sindroma tunggal duktus sistikus
Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik biliaris atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan disebabkan oleh gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm) (sindroma tunggal duktus sistikus). Namun, penelitian yang cermat memperlihatkan bahwa keluhan pasca kolesistektomi pada hampir semua pasien yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal duktus sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebab kangejala pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal duktus sistikus (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.9.3. Katarsis dan gastritis akibat garam empedu
Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tandagastritis, yang dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data kuat yang menghubungkan peningkatan insidensi gastritis empedu dengan pembedahan penyingkiran kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian diare responsif – kolestiramin pada sejumlah kecil pasien yang menyertai kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan sirkulasi kandung empedu enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
2.10 . Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ, et al, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
1. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep2009;188(3): 325-6.2. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute inflammation of the gallbladder. Ann Surg.
2. Nov 2008; 218(5):630-4.3.Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossumgallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg.
3. Aug 2009; 232(2): 202-7.4. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009; 28(1): 75-97.5. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever andleukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009; 28(3): 273-7.6. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol Hepatol. 4. Sep 9 2009.7. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor BahasaIndonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.8.Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7.
5. Jakarta : EGC. 2009.9. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-Aug 2009; 33(4): 274-80.10. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis & Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.11. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. 6. Jun2009; 41(6): 539-46.12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit. EGC. Jakarta. 2006.13. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acutecholecystitis in adults. Ann Emerg Med.
7. Jul 2009; 48(1):101-3.14. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopiccholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc.
8. Mar 2009; 49(3 Pt1): 334-43.15. Siddiqui T, MacDonald A, Chong PS, et al. Early versus delayed laparoscopiccholecystectomy for acute cholecystitis: a meta-analysis of randomizedclinical trials. Am J Surg.
9. Jan 2008; 195(1): 40-7.16. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral nutrition induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet.
10. Jan 2008; 170(1): 25-31.17. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. PerhimpunanDokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.18.Towfigh S, McFadden DW, Cortina GR, et al. Porcelain gallbladder is notassociated with gallbladder carcinoma. Am Surg.
11. Jan 2010; 67(1): 7-10.19. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J Surg.
12. Feb 2010; 97(2): 210-9.20. Yates MR, Baron TH. Biliary tract disease in pregnancy. Clin Liver Dis. 2009; 3: 131-147.