• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skenario 1 pbl blok IPT YARSI "Demam Sore Hari"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Skenario 1 pbl blok IPT YARSI "Demam Sore Hari""

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BLOK INFEKSI PENYAKIT TROPIK WRAP UP

SKENARIO 1 “Demam Sore Hari”

KELOMPOK B-8

Ketua : Syalma Kurnia Nur Andini (1102015233)

Sekertaris : Raudina Fisabila Martadipura (1102015191)

Anggota : Monika Wulandari (1102015141)

Muhammad Lutfi Kurnia (1102015150)

Nurul Amalia Utami (1102014202)

Qatrunnada Nadhifah (1102015184)

Raudha Kasmir (1102015190)

Rizkia Putra Farhandika (1102015204)

Siti Khodijah Mulya Sari Rifki (1102015226) Vrischika Alessandra Benedi (1102014276)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI Jl. Letjen. Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21.4244574 2015

(2)

COVER……….1 DAFTAR ISI……….2 SKENARIO ………..3 KATA SULIT……….………...4 BRAINSTORMING………..5 HIPOTESIS……….………..8 SASARAN BELAJAR………..9

LO. 1. Mampu memahami dan menjelaskan demam………10

LO. 2. Mampu memahami dan menjelaskan Salmonella typhi……….14

LO. 3. Mampu memahami dan menjelaskan demam tifoid………..17

LO. 4. Mampu memahami dan menjelaskan farmakoterapi demam typhoid..29

KESIMPULAN………..………...34

(3)

SKENARIO

Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia, suhu tbuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00 WIB), lidah terlihat kotor (coated tongue). Dokter menyarankan pemeriksaan darah untuk membantu menegakkan diagnosis dan cara penanganannya.

(4)

1. Demam : Peningkatan suhu tubuh melebihi variasi suhu tubuh normal yaitu 37.5C akibat adanya perubahan pada pengaturan set point pada hipotalamus akibat respon tubuh terhadap infeksi atau peradangan.

2. Kesadaran Somnolen : Penurunan kesadaran yang ditandai dengan lambatnya respon pskimotor, mudah tertidur, mampu memberi jawaban verbal dan kesadaran akan pulih apabila dirangsang.

3. Bradikardia : Tanda perubahan perfusi jaringan otak sehingga detak jantung menjadi abnormal dan melambat hingga kurang dari 60 detak/menit.

4. Hiperpireksia : Keadaan saat suhu tubuh melebihi 41.5 C, yang diakibatkan oleh Infeksi dan kerusakan pada pusat pengaturan suhu tubuh, arterisi, serta infeksi virus dan pengunaan obat.

5. Coated Tongue : Kondisi saat lidah tertutup oleh lapisan putih atau kekuningan yang terletak pada permukaan dorsal lidah di nodul kecil, disebabkan oleh akumulasi debris makanan, bakteri, jamur atau bahan-bahan lain yang dapat dihilangkan dengan pengerokan.

(5)

1. Mengapa demam dirasakan pada sore dan malam hari? 2. Apa penyebab hiperpireksia?

3. Apa penyebab demam jika ditinjau dari scenario?

4. Bagaimana mekanisme demam jika ditinjau dari scenario? 5. Bagaimana proses terjadinya bradikardi pada demam? 6. Apa kemungkinan diagnosa pasien?

7. Pada suhu berapakah terjadi demam?

8. Apa manfaat pemeriksaan darah pada pasien? 9. Pusat apakah yang merangsang terjadinya demam? 10. Mengapa pasien bisa mengalami kesadaran somnolen?

11. Pertolongan pertama apakah yang dapat dilakukan pada orang demam?

12. Bakteri apa yang dapat menyebabkan infeksi dengan gejala demam jika ditinjau dari skenario?

13. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnose pada skenario?

14. Bagaimana penanganan dan tatalaksana untuk pasien?

15. Apakah tindakan preventif untuk mencegah demam pagi sore?

Jawaban

1. Demam dirasakan pada sore dan malam hari karena metabolism tubuh menurun pada saat sore hingga malam hari. Jenis demam seperti kasus ini adalah demam septik, dimana suhu tubuh di malam hari akan meningkat dan pada siang hari akan menurun tapi belum sampai batas normal dan demam kontinyu, dimana perubahan suhu tubuh tidak terlalu tinggi, namun pada saat malam hari perubahan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan metabolisme tubuh.

2. Hiperpireksia disebabkan oleh infeksi berat, infeksi dan kerusakan pada pusat pengaturan suhu tubuh, pendarahan pada sistem saraf pusat.

3. Demam pada scenario disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi

4. Bakteri yang menginfeksi tubuh berperan sebagai pirogen eksogen. Pirogen dapat menimbulkan respon langsung pada pusat pengaturan suhu tubuh. Bakteri

mengeluarkan zat toksin, maka saat pirogen mendekati pembuluh darah, akan terjadi mekanisme dalam tubuh yaitu pelepasan asam arakidonat dari endotel sel jaringan pembuluh darah dan prostaglandin, yang akan memberikan respon peningkatan suhu tubuh pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Dengan titik

(6)

suhu yang telah ditentukan, hipotalamus akan mengirimkan sinyal simpatis ke pembuluh darah perifer. Pembuluh darah perifer akan berespon dengan melakukan vasokonstriksi yang menyebabkan penurunan heat loss melalui kulit.

5. Saat terjadi demam, aliran darah akan meningkat sehingga jantung akan memompa darah lebih cepat. Kerja jantung yang belebihan ini akan mengakibatkan kelelahan jantung sehingga fungsi jantung menurun dan menyebabkan bradikardia yaitu penurunan frekuensi denyut jantung kurang dari 60 denyut/menit.

6. Demam tifoid.

7. Demam akan ditandai dengan perubahan suhu yang dapat diukur di beberapa tempat, yaitu di rectal dengan suhu lebih dari 38C, melalui oral dengan suhu melebihi 37.8C dan di axilla dengan suhu melebihi 37.2C.

8. Pemeriksaan darah bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit, terutama yang disebabkan oleh infeksi yang pada umumnya dapat dilihat dari peningkatkan hasil pemeriksaan.

9. Hipotalamus

10. Saat demam, suhu tubuh akan meningkat. Hal ini berpengaruh pada metabolisme dan kerja enzim yang akan menurun sehingga kesadaran akan menurun

(sonmolen). 11.

a. Mengompres dengan air hangat, agar pembuluh darah vasodilatasi sehingga panas akan keluar dari tubuh.

b. Minum air putih yang banyak. c. Menjaga suhu ruangan.

12. Salmonella typhi , Salmonella paratyphi

13. Pemeriksaan laboraturium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan rutin, uji widal, uji typhidot, GM dipstick dan kultur darah.

14. Tatalaksana

a. Non-farmakologi

1. Istirahat, untuk mencegah komplikasi. 2. Diet dan terapi penunjang

b. Farmakologi

Pemberian anti mikroba yang spesifik untuk mikroorganisme yang dituju. Contoh antibiotik yang dapat diberikan adalah Kloramfenikol, tiamfenica, kotrimoksazol, sepalosporin generasi 3.

(7)

a. Cuci tangan sebelum makan b. Menjaga kebersihan lingkungan

(8)

Infeksi menyebabkan peningkatan suhu tubuh, menurunnya kerja enzim, mengganggu proses metabolisme yang dapat memicu terjadinya demam, salah satunya adalah demam typhoid yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhii. Manifestasi klinis yang ditimbulkan adalah demam sore hari, mengigil, nyeri sendi dan lain-lain, sehingga untuk mendiagnosis penyakit dan menentukan tatalaksana baik secara farmako dan non farmako dibutuhkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

(9)

LO. 1. Mampu memahami dan menjelaskan demam

1.1 Mampu memahami dan menjelaskan definisi demam 1.2 Mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi demam 1.3 Mampu memahami dan menjelaskan patofisiolofi demam LO. 2. Mampu memahami dan menjelaskan Salmonella typhi

2.1 Mampu memahami dan menjelaskan struktur Salmonella typhi 2.2 Mampu memahami dan menjelaskan sifat Salmonella typhi

2.3 Mampu memahami dan menjelaskan cara transmisi Salmonella typhi LO. 3. Mampu memahami dan menjelaskan demam tifoid

3.1 Mampu memahami dan menjelaskan definisi demam tifoid 3.2 Mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi demam tifoid 3.3 Mampu memahami dan menjelaskan etiologi demam tifoid 3.4 Mampu memahami dan menjelaskan patogenesis demam tifoid 3.5 Mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis demam tifoid 3.6 Mampu memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding 3.7 Mampu memahami dan menjelaskan pencegahan demam tifoid 3.8 Mampu memahami dan menjelaskan komplikasi demam tifoid 3.9 Mampu memahami dan menjelaskan prognosis demam tifoid LO. 4. Mampu memahami dan menjelaskan farmakoterapi demam tifoid

4.1 Mampu memahami dan menjelaskan terapi non farmakoterapi demam tifoid 4.2 Mampu memahami dan menjelaskan terapi farmaterapi demam tifoid

(10)

1.1 Mampu memahami dan menjelaskan definisi demam

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010).

Demam adalah kondisi ketika suhu tubuh berada di atas 37.5 derajat celsius. Infeksi ringan hingga parah bisa menyebabkan demam. Demam merupakan bagian dari proses kekebalan tubuh yang sedang melawan infeksi akibat virus, bakteri atau parasit. Selain itu, demam juga bisa terjadi ketika seseorang terlalu lama berada di bawah sinar matahari atau karena penyakit

seperti hipertiroidisme dan artritis. (Alodokter, 2016)

Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005). 1.2 Mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi demam

a. Klasifikasi demam berdasarkan perubahan kenaikan suhu 1. Demam Septik

Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

Gambar 1. Demam Septik 2. Demam Remiten

Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

(11)

3. Demam Intermiten

Pada tipe damam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.

4. Demam Kontinyu

Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

Gambar 4. Demam Kontinyu 5. Demam Siklik

Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

(12)

6. Demam Periodik (Relapsing fever)

Demam periodic ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal.

b. Klasifikasi demam berdasarkan localizing signs 1. Demam dengan localizing signs

Demam dengan localizing signs biasanya berlangsung singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada

2. Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia.

Demam tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan. Penyebab umum demam tanpa localizing signs Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO) didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah sakit.

Tabel 1. Pola demam dan penyaktinya. Sumber dari Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009.

(13)

1.3 Mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi demam

Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat

mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).

Bagan 1. Patofisiologi demam

Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium

hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil,

(14)

vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.

Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).

Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan

peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).

LO. 2. Mampu memahami dan menjelaskan Salmonella typhi

2.1 Mampu memahami dan menjelaskan struktur Salmonella typhi

Struktur sel bakteri Salmonella terdiri atas bagian inti (nucleus), sitoplasma dan dinding sel. Dinding sel bakteri ini bersifat gram negatif, sehingga mempunyai struktur kimia yang berbeda dengan bakteri gram positif.

Gambar 6. Struktur bakteri Salmonella

Jawetz et al. (dalam Bonang, 1982) mengemukakan bahwa struktur dinding sel bakteri gram negatif mengandung 3 polimer senyawa mukokompleks yang terletak di luar lapisan peptidoglikan (murein). Ketiga polimer ini terdiri dari:

1. Lipoprotein adalah senyawa protein yang mempunyai fungsi menghubungkan antara selaput luar dengan lapisan peptidoglikan (murein).

(15)

2. Selaput luar adalah merupakan selaput ganda yang mengandung senyawa fosfolipid dan sebagian besar dari senyawa fosfolipid ini terikat oleh molekul-molekul lipopolisakharida pada lapisan atasnya.

3. Lipopolisakharida adalah senyawa yang mengandung lipid yang mana kompleks molekul-molekul lipopolisakharida ini berfungsi sebagai penyusun dinding sel bakteri gram negatif yang dapat mengeluarkan sejenis racun (toxin) yang disebut endotoksin. Endotoksin ini dike-luarkan apabila terjadi luka pada permukaan sel bakteri gram negatif tersebut

Outer Membran Protein (OMP) ialah dinding sel terluar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang berfungsi sebagai sawar untuk mengendalikan aktivitas masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma serta berfungsi sebagai reseptor bakteriofag dan bakteriolisin (Marleni, 2012).

Penamaan yang umum digunakan, seperti Salmonella typhi sebenarnya tidak benar. Taksonomi Salmonella typhi adalah sebagai berikut.

Phylum : Eubacteria Class : Prateobacteria Ordo : Eubacteriales Family : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella

Species : Salmonella enterica Subspesies : enteric (I)

Serotipe : typhi

Penamaan yang benar adalah S. enterica subgrup enteric serotip typhi, ataupun sering dipersingkat dengan S. enteric I ser. typhi. Namun penamaan Salmonella typhi telah umum digunakan karena lebih sederhana sehingga penamaan ini lebih sering digunakan dalam tulisan ini.

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yang jika berada di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik)

Terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C selama 2-5 jam dan alcohol serta asam yang encer dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri. Antibodi pada antigen O adalah IgM. Lipopolisakarida pada antigen O mempunyai tiga region. Region I merupakan antigen O-spesifik atau antigen dinding sel. Antigen ini terdiri dari unit-unit oligosakarida yang terdiri dari tiga sampai empat monosakarida. Polimer ini biasanya berbeda antara satu isolat dengan isolat lainnya, itulah sebabnya antigen ini dapat digunakan untuk menentukan subgrup secara serologis. Region II merupakan bagian yang melekat pada antigen O, merupakan core polysaccharide yang konstan pada genus tertentu. Region III adalah lipid A yang melekat pada region II dengan ikatan dari 2-keto-3-deoksioktonat (KDO). Lipid A ini memiliki unit dasar yang merupakan disakarida yang

(16)

menempel pada lima atau enam asam lemak. Bisa dikatakan lipid A melekatkan LPS ke lapisan murein-lipoprotein dinding sel (Dzen, 2003). 2. Antigen H

Terletak di flagela dan didenaturasi atau dirusak oleh panas atau alkohol. Antigen ini dipertahankan dengan memberikan formalin pada varian bakteri yang motil. Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi anti-H terutama IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi sekuens asam amino pada protein flagella (flagelin). Didalam satu seriotip, antigen flagel terdapat dalam satu/dua bentuk disebut fase 1 dan fase 2. Organisme ini cenderung berganti dari satu fase ke fase lain yang disebut variasi fase. Antigen H pada permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi O. (Jawetz, 1996)

3. Antigen Vi

Antigen Vi terletak dilapisan terluar Salmonella typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositas dengan struktur kimia glikolitid. Akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier. Antigen ini mempunyai berbagai bentuk sesuai genus dari bakterinya. 2.2 Mampu memahami dan menjelaskan sifat Salmonella typhi

S. typhi merupakan bakteri batang gram negatif dan tidak membentuk spora, serta memiliki kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai Facultative intra-cellular parasites. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan (Dzen, 2003).

Ukuran panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella sehingga bersifat motil. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan mannosa. Organisme ini juga menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit (Winn, 2006). Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama (Brooks, 2005).

Salmonella typhi bersifat aerob dan tumbuh pada pH 6-8 dan suhu 37 o C, dalam air bisa bertahan selama 4 minggu, dalam feses di luar tubuh manusia tahan hidup selama 1-2 bulan dan mati pada suhu 56°C, juga pada keadaan kering Sebagian besar Salmonella typhi bersifat patogen pada binatang dan merupakan sumber infeksi pada manusia, binatang-binatang itu antara lain tikus, unggas, anjing, dan kucing.

Salmonella typhi memiliki kombinasi karakteristik yang menjadikannya patogen efektif. Mikroorganisme ini memproduksi dan mengekskresikan protein yang yang disebut “invasin” yang memberi jalan pada sel non-fagosit yang memiliki kemampuan hidup secara intraseluler. Selain itu, Salmonella typhi juga memiliki kemampuan menghambat tekanan oksidatif leukosit, yang menjadikan sistem respons imun manusia menjadi tidak efektif. Infeksi

Salmonella typhi kemudian akan berkembang menjadi demam atau typhoid (Pollack, 2006)

(17)

2.3 Mampu memahami dan menjelaskan cara transmisi Salmonella typhi

Penularan penyakit tipes yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dapat terjadi melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomutus (muntah), Fly (lalat), dan Feses. Feses dan muntah dari penderita typoid dapat menularkan kuman Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui minuman terkontaminasi dan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan

makanan yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut, selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit.

Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam lambung, namun yang lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border. Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted cytoplasmic membrane mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah melewati epitel, bakteri akan memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga melakukan penetrasi melalui intercellular junction. Dapat dimungkinkan munculnya ulserasi pada folikel limfoid (Singh, 2001). S.typhi dapat menginvasi sel M dan sel enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu (Santos, 2003).

Evolusi dari S. typhi sangat mengagumkan. Pada awalnya S. typhi berpfoliferasi di Payer’s patch dari usus halus, kemudian sel mengalami destruksi sehingga bakteri akan dapat menyebar ke hati, limpa, dan sistem retikuloendotelial. Dalam satu sampai tiga minggu bakteri akan menyebar ke organ tersebut. Bakteri ini akan menginfeksi empedu, kemudian jaringan limfoid dari usus halus, terutamanya ileum. Invasi bakteri ke mukosa akan memicu sel epitel untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti 1, 6, IL-8, TNF-β, INF, GM-CSF (Singh, 2001).

LO. 3. Mampu memahami dan menjelaskan demam tifoid

3.1 Mampu memahami dan menjelaskan definisi demam tifoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. (Darmowandowo, 2006)

Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau Typoid Fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

(18)

Penyakit demam sitemik akut generalisata yang disebabkan oleh Salmonella enteric subps.enterica serovar Typhi; penyakit ini biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang tercemar. (Dorland, W.A Newman, 2010)

3.2 Mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi demam tifoid

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Serikat dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Serikat. (Soedarmo, S. , 2012)

Saat ini demam tifoid masih berstatus endemik di banyak wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, di mana sanitasi air dan pengolahan limbah kotoran tidak memadai. Sementara, kasus tifoid yang ditemukan di negara maju saat ini biasanya akibat terinfeksi saat melakukan perjalanan ke negara-negara dengan endemik tifoid. Pada area-area endemik, kejadian demam tifoid paling tinggi terjadi pada anak-anak usia 5 sampai 19 tahun, pada beberapa kondisi tifoid secara signifikan menyebabkan kesakitan pada usia antara 1 hingga 5 tahun. Pada anak usia lebih muda dari setahun, penyakit ini biasanya lebih parah dan berhubungan dengan komplikasi yang umumnya terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan antara 16–16,6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Suatu laporan di Indonesia diperoleh sekitar 310 – 800 per 100.000 sehingga setiap tahun didapatkan antara 620.000 – 1.600.000 kasus. Demam tifoid di Indonesia masih merupakan penyakit endemik, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang. Peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun. (Widoyono, 2011)

Faktor distribusi demam tifoid dipengaruhi oleh : I. Penyebaran Geografis dan Musim

Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia. Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit itu sering merebak di daerah yang kebersihanlingkungan dan pribadi kurang diperhatikan

II. Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin

Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin lelaki atau perempuan. Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak. Orang dewasa sering mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.Persentase penderita dengan usia di atas 12 tahun seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

(19)

12 – 29 tahun 70 – 80

30 – 39 tahun 10 - 20

> 40 tahun 5 - 10

Tabel 2. Persentase usia penderita demam tifoid diatas 12 tahun

Insiden demam tifoid tertinggi terjadi diwilayah Asia Tengah,Asia Selatan,Asia Tenggara, dan Afrika Selatan (> 100 kasus per 100.000 populasi per tahun. Ditjen bina upaya kesehatan masyarakat departemen kesehatan RI tahun 2010 melaporkan demam tifoid menempati urutan ke 3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat inap dirumah sakit di Indonesia (Widodo, 2014) 3.3 Mampu memahami dan menjelaskan etiologi demam tifoid

Ashkenazi et al. (2002) menyebutkan bahwa demam tifoid disebabkan oleh jenis Salmonella tertentu yaitu Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, dan Salmonella paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi Salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.

Sebagian besar strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme Salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Sebagian besar spesies resisten terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C selama 1 jam atau 60 º C selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering dan bahan tinja (Ashkenazi et al, 2002). Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein yang bersifat termolabil (Ashkenazi et al, 2002).

3.4 Mampu memahami dan menjelaskan patogenesis demam tifoid.

Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi.

Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati, oleh karena itu terjadi pengurangan inokulum yang banyak setelah bersentuhan dengan isi lambung. Pengurangan selanjutnya terjadi di usus halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan organisme dengan flora usus normal. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di

(20)

ileum dan yeyunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi

Ketika masuk ke dalam usus halus, bakteri melekat pada permukaan epitel, yang menimbulkan kerusakan sel pada brush border. Invasi mukosa sesungguhnya oleh salah satu dari dua mekanisme yang berbeda menimbulkan infeksi klinis. Proses pertama ialah masuknya segera bakteri secara langsung ke epitel, kedua terjadi proliferasi intraluminal organisme menjadi inokulum yang cukup menaklukkan pertahanan pejamu setempat. Kemudian salmonella memasuki sitoplasma epitel melalui invaginasi membran sel dan tinggal di dalam vakuola ini sampai dihantarkan ke lamina propria, tempat terjadinya reaksi peradangan yang hebat. Bercak Peyer di ileum distal adalah tempat primer penetrasi bakteri. Sistem retikuloendotelial slanjutnya akan dikolonisasi melalui aliran limfe. Limfe yang mengalir melalui duktus torasikus menghantarkan bakteri masuk ke aliran darah, dari sini terjadi diseminasi ke organ yang jauh. Sel

retikuloendotelial di sumsum tulang, hati dan limpa memakan bakteri yang menyebar secara hematogen ini, yang kadang – kadang menimbulkan fokus infeksi. Organisme yang menyebar melalui darah mencapai kandung empedu, memperbanyak diri, dan masuk empede serta usus halus secara sekunder. (Rudolph,A. ,2006)

Salmonella dapat hidup di dalam sel untuk waktu lama. S. typhi dietemukan di dalam fagosit mononuklear di jaringan limfe pejamu, ketidakmampuan monosit menghancurkan S. typhi secara efektif setelah melakukan fagositosis mungkin berperan pada penyebaran luas organisme penyebab selama demam tifoid. S. typhi virulen juga dapat menghalangi metabolisme oksidatif leukosit

polimorfonuklear, yang mencegah penghancuran bakteri yang difagosit pada stadium dini infeksi. Selanjutnya, kemampuan menolak imunitas selular pejamu bisa berperan pada patofisiologi yang menyebabkan demam tifoid. (Rudolph, A. ,2006)

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu :

1. Penempelan dan invasi sel – sel M Peyer’s patch

2. Bakteri bertahan hidup dan bermultifikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ – organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial

3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah

4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. (Soedarmo, S. , 2012)

3.5 Mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis demam typhoid

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah:

1. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih

(21)

tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intenditas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada minggu ke-3. Namun perlu diperhatikan bahwa demam khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam dapat menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.

2. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epidastrik (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering ditemukan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

4. Hepatosplenomegali

Hati dan limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.

5. Bradikardi relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.

Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demem tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.

Berdasarkan Periode mingguan, manisfestasi klinis demam tifoid yang dapat terjadi adalah

(22)

a. Demam tinggi 39-40C, sakit kepala, pusing, anoreksia, mual,

muntah, batuk, dengan nadi cepat lemah, napas cepat, perut kembung, diare dan sembelit silih berganti.

b. Suhu berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari meningkat pada sore atau malam hari

c. Khas lidah penderita: kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor

d. Episteksis dapat dialami

e. Tenggorokan terasa kering dan meradang

f. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ke-7 & terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang.

Minggu Ke-2 :

a. Suhu terus-menerus tinggi.

b. Nadi relatif lambat dibanding peningkatan suhu. c. Gejala toksemia semakin berat; delirium.

d. Tensi menurun.

e. Diare sering; kadang berwarna gelap akibat perdarahan. f. Pembesaran hati dan limpa

g. Gangguan kesadaran. Minggu Ke-3 :

a. Suhu tubuh mulai turun sampai normal b. Berhasil diobati Tanpa komplikasi c. Komplikasi perdarahan dan perforasi. Minggu Ke-4 :

a. Stadium penyembuhan. b. Dapat dijumpai pneumoniae

3.6 Mampu memahami dan menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosis demam typhoid melalui anamnamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Pada anamnesa pasien akan memberitahu keluhan yang dirasakan seperti demam lebih dari 7 hari, pusing, mual, nafsu makan menurun, lidah terasa pahit dan kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor, gangguan pencernaan (diare dan sembelit) dan ruam kulit (rash) di abdomen, disebut bercak-bercak ros (roseola)

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumonia), dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa, pendarahan

(23)

usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis), serta gagal ginjal.

c. Pemeriksaan Laboratorium 1. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi.Pemeriksaan darah dilakukan pada biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit), diagnosis pasti Demam Tifoid. (Minggu I : 80-90%, minggu II : 20-25%, minggu III : 10-15%) Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED meningkat.

2. Mikrobiologi

Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam tiroid/paratifoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid/ paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid/ paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2 mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

3. Urinalis

Tes Diazo Positif : Urine + Reagens Diazo + beberapa tetes ammonia 30% (dalam tabung reaksi)→dikocok→buih berwarna merah atau merah muda

Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit “carrier”.

4. Tinja (feses)

Ditemukian banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool), kadang-kadang darah (bloody stool).Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier posttyphi) pada minggu II atau III sakit.

5. Kimia Klinik

Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis akut.

(24)

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang

diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA),dan pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih

didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau

monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

a. Pemeriksaan Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.thypi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara kuman S.thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin . Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman) 2. Aglutinin H (flagela kuman) 3. Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Widal dinyatakan positif bila : a) Titer O Widal I 1/320 atau

b) Titer O Widal II naik 4 kali lipat atau lebih dibanding titer O Widal I atau Titer O Widal I (-) tetapi titer O II (+) berapapun angkanya. Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan

mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu.Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat.Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak sebelumnya.

b. Pemeriksaan Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM

Merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/

(25)

ketahui.Diagnosis Demam Tifoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.( John, 2008) c. IDL Tubex® test

Tubex® test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita.Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit.Tabung ditempelkan pada magnet khusus.Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus (WHO, 2003).

d. Typhidot® test

Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S. typhi.Uji ini lebih baik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M® lebih baik dari pada metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan kepekaan Typhidot-M® dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M® sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat di daerah endemis demam tifoid.

e. IgM dipstick test

Pengujian IgM dipstick test demam tifoid dengan mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S. typhi dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering..Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah (WHO, 2003). Diagnosis Banding

Influenza, gastroenteritris, bronchitis dan bronkopneumonia. Pada demam tifoid yang berat maka sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgin dapat

dipikirkan. (Tanto, c. et al, 2014)

3.7 Mampu memahami dan menjelaskan pencegahan demam tifoid

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan terkontaminasi S. typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 ºC untuk beberapa menit atau dengan proses ionidasi/klorinasi. (Soedarmo, S, 2012)

Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal–hal berikut a. Penyediaan sumber air minum yang baik

(26)

b. Penyediaan jamban yang sehat c. Sosialisasi budaya cuci tangan

d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum e. Pemberantasan lalat

f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman g. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui

h. Imunisasi

Jenis vaksinasi yang tersedia adalah : a. Vaksin parenteral utuh

Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi. (Widoyono, 2011)

b. Vaksin oral Ty21a

Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun. (Widoyono, 2011) c. Vaksin parenteral polisakarida

Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif paling aman. (Widoyono, 2011)

iSecara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:

1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut.

Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yang mendatangi sasaran maupun yang pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai, pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.

2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita penderita terinfeksi S. typhi akut maupun karier.

(27)

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi. 3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu: 1. Daerah non-endemik.

Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic. A. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

B. Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan-minuman

C. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier Bila ada kejadian epidemic tifoid

A. Pencarian dan eliminasi sumber penularan B. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

C. Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

2. Daerah endemik

A. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570°C, iodisasi, dan kloronisasi)

B. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/ buah)

C. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.

3.8 Mampu memahami dan menjelaskan komplikasi demam typhoid Komplikasi intestinal

1. Pendarahan intestinal

Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk luka. Bila menembus usus dan mengenai pembuluh darah, maka akan terjadi pendarahan. Pendarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah.Pendarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.Kategori pendarahan akut, jika darah yang keluar 5ml/kg bb/jam dan faktor hemostatis masih dalam batas normal. Tindakan yang harus di lakukan adalah transfusi darah.Tetapi jika transfusi yang diberikan tidak mengimbangi pendarahan, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.

(28)

Biasanya timbul pada minggu ke-3, tetapi dapat juga terjadi pada minggu pertama.Penderita biasanya mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah dan menyebar ke seluruh perut dengan tanda tanda ileus. Gejala lain biasanya bising usus yang melemah, nadi cepat, tekanan darah turun, bahkan dapat syok. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, lama demam, modalitas pengobatan, berat penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik di berikan secara selektif, umumnya diberikan antibiotik yang spekrumnya luas dengan kombinasi kloramfenikol dan amfisilin intravena.Untuk kontaminasi usus dapat di berikan gentamisin atau metronidazol.Cairan harus di berikan dalam jumlah yang cukup serta penderita di puasakan dan di pasang nasogastric tube.Transfusi darah dapat di berikan bila terdapat kehilangan darah akibat pendarahan intestinal.

Komplikasi ekstraintestinal

1. Komplikasi hematologi

Dapat berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan protrombin time (pt), peningkatan partial tromboplastin time (ptt), dan peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID). Tindakan yang perlu dilakukan bila terjadi KID dekompensata adalah transfusi darah, substitusi trombusit dan atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin.

2. Hepatitis tifosa

Pembengkakan hati dari ringan sampai berat dapat di jumpai pada demam tifoid, biasanya lebih disebabkan oleh S. typhi daripada S. paratyphi.

3. Pankretitis tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang pada demam tifoid, biasanya disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CTscan dapat membantu diagnosis dengan akurat. Obat yang diberikan adalah antibiotik seftriakson atau kuinolon yang didepositkan secara intravena.

4. Miokarditis

Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis dianggap sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg di tambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.

(29)

A. Komplikasi kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.

B. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi intravaskular diseminata (KID), thrombosis.

C. Komplikasi paru: pneumonia, empyema, pleuritis. D. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.

E. Komplikasi ginjal: glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis. F. Komplikasi tulang: osteomyelitis, periostitis, spondylitis, artritis. G. Komplikasi neuropsikiatrik/ tifoid toksik

3.9 Mampu memahami dan menjelaskan prognosis demam typhoid

Prognosis antara orang dengan demam tifoid tergantung terutama pada kecepatan diagnosis dan memulai pengobatan yang benar. Umumnya, demam tifoid yang tidak diobati membawa tingkat kematian sebesar 10% -20%. Dalam penyakit diobati, angka kematian kurang dari 1%. Sejumlah pasien yang tidak ditentukan mengalami komplikasi jangka panjang atau permanen, termasuk gejala neuropsikiatri dan kanker gastrointestinal (Brusch, 2010).

Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. (Soedarmo,s , 2012)

Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti (Hasan, R. , 1985)

a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu

b. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium c. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein) LO. 4. Mampu memahami dan menjelaskan farmakoterapi demam typhoid

4.1 Terapi non-farmakologi

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:

1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang cukup.

2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.

(30)

3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010).

4.2 Terapi Farmakologi 1. Kloramfenikol

Khusus di Indonesia, masih merupakan obat pilihan untuk demam tifoid. Dosis yang diberikan 4 X 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai 7 ahri bebaspanas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat penyuntikan terasa nyeri. Dari pengalaman obat ini dapat menurunkan demam rata –rata 7,2 hari.

a. Farmako Dinamik

Efek Antimikroba Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Efek toksik kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga berhubungan dengan mekanisme kejaobat ini.Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.Spektrum antibakteri kloramfenikol kebanyakan kuman anaerob. Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat oleh asetiltransferase yang diperantarai oleh faktor-R dan adapula dengan merubah permeabilitas membranyang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.

b. Farmako Kinetik

1) Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darahtercapai 2 jam.

2) Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. 3) Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk

jaringan otak,cairan serebrospinal dan mata.

4) Waktu paruh kloramfenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati sehingga dosis perludikurangi.

c. Indikasi

Obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid dan meningitis oleh H.influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikrobayang lebih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan untuk neonatus, pasien dengangangguan faal hati dan yang hipersensitif terhadapnya.

d. Efek Samping

1) Reaksi hematologic, Terdapat dalam 2 bentuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Bentuk yang kedua adalah anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan

(31)

2) Reaksi saluran cerna, Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, danenterokolitis.

3) Sindrom gray. Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200mg/kgBB) dapat timbul sindrom Gray

2. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia apalstik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosisnya 4 X 500 mg per hari, demam rata –rata turun pada hari ke 5 sampai ke 6.

a. Farmako Dinamik

Secara reversibel berikatan dengan 50S subunit ribosom pada organisme yang sensitif untuk menghambat terjadinya mekanisme transfer asam amino yang dibutuhkan untuk pembentukan rantai peptida, sehingga hal ini akan menghambat sintesis protein sel bakteri.

b. Farmako Kinetik

Distribusi: keseluruh jaringan dan cairan tubuh; dapat menembus placenta; masuk dalam ASI; dalam cairan serebrospinal : normal meningitis 66%, meningitis inflamasi >66%.;Ikatan protein: 60%;Metabolisme: utamanya melalui hati (90%) menjadi metabolit tidak aktif dengan melalui mekanisme glukoronidasi, kloramphenikol sodium suksinat dihidrolisa dengan mekanisme esterisasi sehingga menjadi bentuk aktif. End-stage Gangguan ginjal :3-7 jam; Sirosis:10-12 jam.;Eksresi: urin (5-15%).

c. Efek Samping

Sitokrom P450: menghambat CYP2C8/9 (penggunaan mingguan),3A4 (penggunaan mingguan).;Meningkatkan efek toksis: kloramfenikol meningkatkan efek dari klopropramid, fenitoin, dan antikoagulan oral.;Menurunkan efek: fenobarbital dan rifampisin kemungkinan menurunkan efeknya.

Pengaruh pada anak Dapat menyebabkan gray baby syndrome. AAP tidak merokomendasikan. Pada pemeriksaan lab,penggunaan lebih dari 2 minggu Dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium : CBC, liver dan ginjal.

3. Sefalosporin generasi ketiga

Hingga saat ini golongan yang efektif menurunkan demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah anatara 3 -4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberkan selama 3 sampai 5 hari.

a. Farmako Dinamik

Sefalosporin biasanya bakterisida terhadap bakteri dan bertindak dengan sintesis mucopeptide penghambat pada dinding sel sehingga penghalang rusak dan tidak stabil. Mekanisme yang tepat untuk efek ini belum pasti ditentukan, tetapi antibiotik beta-laktam telah ditunjukkan untuk

(32)

mengikat beberapa enzim (carboxypeptidases, transpeptidases, endopeptidases) dalam membran sitoplasma bakteri yang terlibat dengan sintesis dinding sel. Afinitas yang berbeda bahwa berbagai antibiotic beta-laktam memiliki enzim tersebut (juga dikenal sebagai mengikat protein penisilin; PBPs) membantu menjelaskan perbedaan dalam spektrum aktivitas dari obat yang tidak dijelaskan oleh pengaruh beta-laktamase. Seperti antibiotik beta-laktam lainnya, sefalosporin umumnya dianggap lebih efektif terhadap pertumbuhan bakteri aktif.

b. Farmako Kinetik

Sampai saat ini, hanya beberapa sefalosporin generasi pertama lumayan diserap setelah pemberian oral, tetapi ini telah berubah dengan ketersediaan aksetil (generasi kedua) dan cefixime (generasi ketiga). Tergantung pada obat, penyerapan mungkin tertunda, berubah, atau meningkat jika diberikan dengan makanan.Sefalosporin secara luas didistribusikan ke sebagian besar jaringan dan cairan, termasuk tulang, cairan pleura, cairan perikardial dan cairan sinovial. tingkat yang lebih tinggi ditemukan meradang ditulang normal. Sangat tinggi ditemukan dalam urin, tetapi mereka menembus buruk menjadi jaringan prostat dan aqueous humor. Tingkat Empedu dapat mencapai konsentrasi terapi dengan beberapa agen selama obstruksi empedu tidak ada. Dengan pengecualian aksetil, tidak ada sefalosporin generasi kedua atau yang pertama memasuki CSS (bahkan dengan meninges meradang) di tingkat terapi efektif dalam terapi.

Konsentrasi cefotaxime, moxalactam, aksetil, ceftizoxime, seftazidim dan ceftriaxone dapat ditemukan dalam CSF parenteral setelah dosis pasien dengan meninges meradang. Sefalosporin menyeberangi plasenta dan konsentrasi serum janin dapat 10% atau lebih dari yang ditemukan dalam serum ibu. Protein mengikat obat secara luas.Sefalosporin dan metabolitnya (jika ada) diekskresikan oleh ginjal, melalui sekresi tubular dan / atau filtrasi glomerulus. Beberapa sefalosporin (misalnya, cefotaxime, cefazolin, dan cephapirin) sebagian dimetabolisme oleh hati untuk senyawa desacetyl yang mungkin memiliki beberapa aktivitas antibakteri.

c. Efek Samping

Obat oral dapat menimbulkan terutama gangguan lambung-usus (diare, nausea, dan sebagainya), jarang terjadi reaksi alergi (rash, urticaria). Alergi silang dengan derivat penislin dapat terjadi. Nefrotoksisitas terutama terdapat pada beberapa senyawa generasi ke 1, khususnya sefaloridin dan sefalotin (dosis tinggi). Senyawa dari generasi berikutnya jauh kurang toksis bagi ginjal daripada aminoglikosida dan polimiksin. Beberapa obat memperlihatkan reaksi disulfiram bila digunakan bersama alkohol, yakni sefamandol dan sefoperazon.

a. Reaksi hipersensitifitas dan dermatologi : shock, rash, urtikaria, eritema, pruritis, udema,

(33)

c. Saluran cerna, terutama penggunaan oral : colitis (darah dalam tinja), nyeri lambung, diare, rasa tidak enak pada lambung, anoreksia, nausea, konstipasi.

d. Defisiensi vitamin K : karena sefalosporin menimbulkan efek anti vitamin K.

e. Efek pada ginjal : meningkatnya konsentrasi serum kreatinin, disfungsi ginjal dan toksik nefropati

4. Azitromisin

Dosisnya 2 X 500 mg menunjukan bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan dengan golongan fluorokuinolon, secara signifikan mengurangi gejala klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula strain MDR (Multi Drug Resistance) maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S.typhi). penggunaannya juga dapat mengurangi angka relaps, serta mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah. Antibiotika kan terkonsentrasi dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S.typhi. keuntungan lainnya, azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.

(34)

KESIMPULAN

Demam yang didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh di atas normal, disebabkan oleh suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pada kelanjutannya, zat ini

meningkatkan patokan thermostat di pusat termoregulasi hipotalamus sehingga tubuh akan berusaha meningkatkan suhunya untuk mencapai patokan suhu yang baru. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya fase kedinginan, fase demam dan fase kemerahan. Pada demam tifoid, 95% kasus di Indonesia disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi. Cara penularannya biasanya melalui jalur oral yaitu melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Masa inkubasi demam tifoid selama 10-14 hari dan biasanya asimptomatis. Pada minggu pertama gejalanya serupa dengan penyakit infeksi akut lain seperti demam, nyeri kepala dan muntah, kemudian pada minggu kedua gejala menjadi lebih jelas seperti lidah yang berselaput, bradikardia relative dan

hepatomegaly. Diagnosis dapat diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjangyang biasanya terdiri dari uji widal dan sebagainya. Diagnosis banding dari demam tifoid adalah malaria, parasepsim DBD, leptospirosis, TB dan sebagainya. Pencegahan untuk demam tifoid adalah mencegah kontaminasi pada makanan dan minuman seperi penyediaan sumber air minum yang baik, penyediaan jamban yang sehat serta sosialisasi budaya cuci tangan. Komplikasi yang bisa terjadi adlaah pendarahan intestinal serta perforasi usus. Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah dengan istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang serta pemberian anti mikroba untuk menghentikan dan mencegah penyebaran kuman dalam tubuh.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Alodokter, 2016. Demam [online]. Tersedia pada http://www.alodokter.com/demam/ [Diakses pada 23 Maret 2016]

Dalal, S., and Zhukovsky D.S., 2006. Pathophysiology and Management of Fever. J Support Oncol.(4), 9–16. Tersedia pada

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16444847 [Diakses pada 27 Maret 2016]

Darmowandowo W. (2006) Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta:BP FKUI

Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A., 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper, D.L., et. al., ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Singapore: The McGraw-Hill Company

Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed.31. Jakarta : EGC Hassan, Rusepno, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2.Jakarta : BP FKUI Kasper, D.L., et. al., ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Singapore: The McGraw-Hill Company

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta;EGC Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia

Tanto, c. et al. 2014. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:Media Aesculapius.

Widodo, Djoko. 2014. Demam Tifoid dalam Sudoyo, Aru W. et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing

Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta

Gambar

Tabel   1.   Pola   demam   dan   penyaktinya.   Sumber   dari   Nelwan,   Demam:   Tipe   dan Pendekatan, 2009.
Gambar 6. Struktur bakteri Salmonella
Tabel 2. Persentase usia penderita demam tifoid diatas 12 tahun

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari uji resistensi dan sensitivitas bakteri Salmonella thypi pada orang yang pernah menderita demam tifoid terhadap antibiotik,

Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis (faktor

Hal ini yang memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Komparasi Klinis Pasien dengan Demam Tifoid yang disebabkan oleh strain Salmonella typhi

Jadi, Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman...