• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAHHABI VERSUS ISLAM LIBERAL: Pembacaan Analisis Wacana Kritis Teks Rendah diri Kaum Wahhabi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAHHABI VERSUS ISLAM LIBERAL: Pembacaan Analisis Wacana Kritis Teks Rendah diri Kaum Wahhabi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Miftahulkhairah Anwar

(Dosen FBS Universitas Negeri Jakarta)

Terbit dalam Jurnal bahasa&sastra, Vol.10,No.1, April 2010 Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI

Abstrak

Teks berjudul “Rendah diri Kaum Wahhabi” sangat menarik untuk dianalisis karena bersifat provokatif dan tendensius bagi kelompok tertentu. Tulisan ini hadir untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks tersebut dari sudut pandang Análisis Wacana Kritis. Dari hasil pembacaan tersebut, ditemukan hal-hal berikut. (1) Teks mencoba membentuk sekaligus membatasi pemahaman pembaca bahwa Wahhabi adalah gerakan yang lebih mengarah pada gerakan teroris dari pada gerakan keagamaan. (2) Kelompok liberal diposisikan sebagai subjek penceritaan, sedangkan kelompok Wahhabi diposisikan sebagai objek penceritaan. (3) Struktur kalimat yang dibangun oleh teks pada umumnya berbentuk kalimat deklaratif yang berpola SPOK/Pel. Wahhabi menduduki posisi subjek pelaku kekerasan, sedangkan kelompok lawan Wahhabi menduduki posisi objek yang dikenai sasaran kekerasan. (4) Wacana yang dikembangkan oleh teks adalah wacana pertarungan antara Islam liberal yang berideologi liberalisme dan Islam radikal yang berideologi fundamentalisme. Atau dengan kata lain, teks membangun pertarungan wacana antara ideologi liberal dan ideologi fundamental.

Kata Kunci: Analisis Wacana Kritis, Wahhabi, Islam Liberal 1. Pendahuluan

Agama hadir dalam berbagai wajah berdasarkan manusia memandang dan memperlakukannya. Agama dapat dijadikan senjata ampuh untuk memapankan hegemoni, agama dapat dijadikan sebagai alat kontrol kekuasaan, agama dapat dijadikan sebagai alasan utama melegalkan kekerasan, agama dapat dijadikan sebagai sarana penindasan. Banyak hal yang dapat dilakukan atas nama agama.

Negativa terhadap agama ini terjadi karena agama senantiasa diselubungi oleh berbagai kepentingan penganutnya. Kesadaran beragama tidak lagi didasari oleh keikhlasan, melainkan didasari oleh kepentingan-kepentingan yang mendatangkan keuntungan. Kepentingan-kepentingan tersebut berlomba mencari pembenaran dalam teks agama. Teks kemudian dibongkar dan dipaksa untuk beradaptasi dengan kepentingan itu. Jika kepentingannya adalah kekerasan, maka agama dipaksa beradaptasi dengan kekerasan. Jika kepentingannya adalah modernisme, maka agama dipaksa beradaptasi dengan modernisme. Jika kepentingannya adalah sekularisme, maka agama dipaksa beradaptasi dengan sekularisme. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan, motif, bahkan ideologi tidak dapat dilepaskan dari bagaimana seseorang atau suatu kelompok memahami teks. Tak jarang, pemahaman itu mendistorsi pesan Tuhan yang sebenarnya.

(2)

Tulisan ini mencoba melihat bagaimana suatu ideologi bersembunyi dibalik teks dan bagaimana teks tersebut “memperkosa” ideologi di luar ideologinya melalui sebuah pembacaan analisis wacana kritis. Teks yang dianalisis adalah teks “Rendah Diri Kaum Wahhabi1” yang termuat di website Islamlib.com.

2. Analisis Wacana Kritis: Tinjauan Teoritis

Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah analisis terhadap wacana-wacana yang bersifat kritis, yaitu wacana yang mengandung gagasan dominasi dan kekuasaan, seperti wacana politik, ras, gender dll. AWK mengungkap gagasan yang menonjolkan kekuasaan politik, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas masyarakat, gender, ras, diskriminasi, interes, reproduksi, institusi, struktur sosial, dan peran sosial (Darma, 2006: 15).

AWK bertujuan membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari sebuah wacana. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat pemakaian bahasa sebagai bentuk dari praktik sosial, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat (Eriyanto, 2005: 5-7). AWK melihat bahasa bukan sebagai struktur, melainkan melihat bahasa sebagai karakter linguistik yang berhubungan dengan proses serta struktur sosial budaya. AWK mempelajari relasi kuasa dalam wacana maupun kuasa atas wacana dan melihat hubungan wacana dengan masyarakat dan budaya secara dialektis: masyarakat dan budaya dibentuk oleh wacana, dan pada saat yang bersamaan juga menetapkan wacana. Selain itu, AWK melihat penggunaan bahasa yang bersifat ideologis, sehingga perlu dilakukan analisis teks untuk menyelidiki penafsiran, penerimaan, dan efek-efek sosialnya. Wacana dalam AWK bersifat historis dan hanya dapat dipahami kaitannya dengan konteks mereka. Kaitan antara teks dan masyarakat terwujud melalui sejumlah intermediary seperti socio cognitif yang dicapai seseorang dalam model pemahaman teks sacara sosiopsikologi. AWK bersifat interpretatif dan eksplanatoris yang secara sistematis mewacanakan hubungan antara teks dengan kondisi-kondisi sosial, ideologi, dan relasi kuasa.

Ada beberapa model analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh para ahli, seperti model Fowler yang lebih menitiberatkan pada aspek linguistik, model Sara Mills yang lebih menitikberatkan pada aspek gender, model Van Dijk yang lebih menitikberatkan pada kognisi sosial, model Fairclough yang lebih menitiberatkan pada bahasa sebagai praktik kekuasaan, Giovanna Borradori (2003) yang mengembangkan model dekonstruksi , dll.

Dalam menganalisis teks “Rendah Diri Kaum Wahhabi”, tulisan ini tidak menitikberatkan pada pemikiran satu tokoh saja, melainkan menggabungkan pemikiran tersebut dalam sebuah model yang telah dikembangkan oleh Darma (2006) dalam bentuk disertasi yang berjudul Penerapan Model Analisis Wacana Kritis dalam Kajian Cerpen Berideologi Gender untuk Mengembangkan Kemampuan Analisis Wacana Mahasiswa (Studi Kuasi-Eksperimen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI Angkatan 2003-2004). Adapun prosedur analisis tersebut adalah sebagai berikut: (Darma, 2006: 99)

1 Wahhabi atau Wahabi adalah gerakan yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam yang berdasarkan petunjuk Allah SWT sebagai utusan serta berdasarkan pemahaman orang-orang terdahulu yang shaleh yang mendapatkan petunjuk dalam urusan agama Islam. Nama Wahhabi atau Wahabi disandarkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang melakukan usaha pemurnian agama Islam pada abad ke 18 M di daerah Nejed dan Hijaz yang dikenal sekarang sebagai Saudi Arabia (http//:Wikipedia.org/wiki/wahabi).

(3)

➢ menentukan teks atau wacana yang akan dianalisis;

➢ menentukan subjek penceritaan;

➢ menentukan objek penceritaan;

➢ menentukan deskripsi bahasa;

➢ menentukan interpretasi;

➢ menentukan eksplanasi.

Apabila teks kritis sudah ditemukan, maka dapat diprediksi siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Setelah itu, mendeskripsikan bahasa yang ada dalam teks melalui penelusuran terhadap bentuk kosakata, tata bahasa, dan struktur teksnya. Makna dari deskripsi tersebut kemudian diinterpretasi kemudian dieksplanasi.

3. Pembahasan

Analisis wacana kritis terhadap teks ini menggunakan kerangka teoritis kombinasi antara Sara Mills dan Fairclough sebagaimana yang telah dilakukan oleh Darma (2006). Analisis ini meliputi: subjek penceritaan, objek penceritaan, deskripsi bahasa, interpretasi, dan eksplanasi.

3.1 Subjek Penceritaan Versus Objek Penceritaan

Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak (Eriyanto, 2005: 200). Teks yang berjudul “Rendah Diri Kaum Wahhabi” ini menampilkan beberapa tokoh, kelompok, dan negara yang turut mempengaruhi pemaknaan terhadap teks. Di antaranya adalah: kelompok Wahhabi, Gus Dur, Ibn al-Saud, Muhammad al-Kazzab, Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash, Hamid Alghar, Stephen Sulaiman Schwartz, Taliban, al-Qaidah, Khawarij, Arab Saudi, Amerika, dan Eropa. Kelompok-kelompok ini dapat dipetakkan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang pro Wahhabi dan kelompok yang anti terhadap Wahhabi.

Kelompok yang pro Wahhabi adalah Taliban, al-Qaidah, Khawarij, Ibn al Saud, Arab Saudi; sedangkan yang anti Wahhabi adalah Hamid Alghar, Stephen Sulaiman Schwartz, Muzailamah al Kazzab, Eropa, Amerika, dan Gus Dur. Kelompok Wahhabi mewakili kalangan fundamentalis, sedangkan kelompok yang anti Wahhabi mewakili kalangan liberal.

Teks mengawali topik dengan mengutip pendapat Gus Dur yang menyebutkan bahwa kelompok Islam Wahhabi adalah kelompok Islam yang memiliki rasa rendah diri yang sangat tinggi yang berakibat pada prilaku Wahhabi yang gampang mengafirkan orang dan melakukan berbagai aksi kekerasan. Pendapat Gus Dur ini kemudian dikembangkan oleh penulis melalui penggambaran terhadap karakteristik kelompok Wahhabi. Atau dengan kata lain, penulis mengembangkan sekaligus menyetujui gagasan Gus Dur tentang penilaiannya yang buruk terhadap kelompok Wahhabi. Melalui pendapat Gus Dur inilah wacana kebencian terhadap Wahhabi dikembangkan.

Keberadaan Wahhabi dalam teks tidaklah hadir dengan sendirinya, melainkan dihadirkan oleh gagasan penulis yang dikutip dari pendapat Gus Dur dan kelompok-kelompok liberal yang memarjinalkan Wahhabi. Keseluruhan teks menggambarkan paham, sikap, dan tindakan kelompok Wahhabi yang intoleran dan anarkis terhadap kelompok lain. Intoleransi dan anarkisme ini disebabkan oleh rasa rendah diri yang

(4)

dimiliki oleh Wahhabi karena asal-usulnya yang berasal dari wilayah Najd. Dalam teks ini, kelompok Wahhabi betul-betul dituduh sebagai sumber aksi teorisme2 dan berbagai kekerasan yang terjadi di seluruh dunia. Tuduhan ini tentu menguatkan stigmatisasi bahwa Islam identik dengan kekerasan dan intoleransi.

Teks ini mengembangkan wacana yang menghakimi Wahhabi sebagai satu-satunya paham dan kelompok yang menyebarkan sekaligus melakukan aksi kekerasan. Teks tidak pernah menyebutkan kelompok Islam radikal yang lain; teks juga tidak menyebutkan apa itu paham Wahhabi, siapa pendirinnya, dan bagaimana sejarahnya; teks hanya melihat Wahhabi dari sisi sifat rendah dirinya yang teramat sangat karena asal usulnya dari wilayah Najd; teks tidak menampilkan secara utuh pendapat Gus Dur yang menjadi titik tolak terciptanya teks ini; teks didominasi oleh bahan rujukan yang menyudutkan paham Wahhabi; dan teks tidak menampilkan satu pun bahan rujukan yang netral atau yang pro terhadap paham ini. Teks hanya menggambarkan sisi negatif yang ada pada paham Wahhabisme. Atau dengan kata lain, teks memberi streotip, stigmatisasi, dan inferioritas kepada kelompok Wahhabi. Dengan demikian, Wahhabi diposisikan sebagai objek penceritaan oleh teks.

Keberadaan Wahhabi sebagai objek penceritaan dalam teks tergambar jelas dari pemetaan berikut ini:

No. Aktor Potret dalam Teks Posisi

1 Arab saudi Penganut dan pengekspor paham Wahhabi yang menjadi pemicu terjadinya aksi teroris di berbagai dunia; negara paling tertutup dan paling tidak bebas di seluruh dunia.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras dan teroris (Teks memberi stereotip terhadap Wahhabi). 2 Najd Tempat lahirnya paham Wahhabi. Najd

adalah wilayah Arab yang dalam sejarah Islam tidak pernah memunculkan intelektual dan pemimpin Islam, kerap melahirkan perampok, kelompok orang yang paling akhir masuk Islam, tempat asal Musailamah al-Kazzab (nabi palsu).

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok yang rendah diri dan pro kekerasan. (Teks memberi inferioritas terhadap Wahhabi).

3 Afganistan Representasi negara penganut Wahhabi: menolak iptek dan demokrasi, mengurung perempuan di dalam rumah, mengharamkan nyanyian, membenci kesenian, memanjangkan jenggot wajib hukumnya bagi laki-laki, dan mengharamkan filsafat serta tasawuf.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras dan tertutup (Teks memberi stereotip dan stigmatisasi terhadap Wahhabi).

4 Eropa dan Amerika

Salah satu negara tujuan Arab Saudi mengekspor paham Wahhabi sehingga kasus bom bunuh diri yang terjadi di negara ini akibat ekspor paham tersebut.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras dan tertutup (Teks memberi stereotip dan stigmatisasi terhadap Wahhabi).

5 Indonesia Kelompok penganut paham ini melakukan aksi kekerasan seperti:

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras 2 Teroris adalah individu, kelompok, maupun negara yang telah membuat ketenangan pihak lain

terusik, terganggu, tidak aman lagi, dan bahkan dirugikan, baik secara sosial, ekonomi, politik, maupun intelektual (Ali, 2004: viii).

(5)

mengeluarkan fatwa sesat, mengafirkan dan mengusir orang, teror, membakar rumah-rumah kelompok keagamaan yang mereka anggap sesat.

dan teroris (Teks memberi stereotip terhadap Wahhabi).

6 Taliban Kelompok garis keras Afganistan penganut paham Wahhabi yang beberapa tahun ini aktif melakukan kegiatan teror di pelbagai belahan dunia.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras dan teroris (Teks memberi stereotip terhadap Wahhabi 7 Al-Qaidah Kelompok jaringan penganut paham

Wahhabi yang beberapa tahun ini juga aktif melakukan kegiatan teror di pelbagai belahan dunia.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras dan teroris (Teks memberi stereotip terhadap Wahhabi 8 Musailamah

Al-Kazzab

Nabi palsu yang berasal dari Najd dan berusaha menandingi popularitas Nabi Muhammad saat itu.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok yang rendah diri. (Teks memberi inferioritas dan stigmatisasi terhadap Wahhabi).

9 Kelompok Khawarij

Ideologi garis keras pada masa awal Islam, didirikan oleh orang Najd; pertama kali memomulerkan konsep ”kafir”; membantai Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Ash. Wahhabi adalah bentuk baru dari kelompok ini.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok yang rendah diri dan prokekerasan. (Teks memberi inferioritas dan stereotip terhadap Wahhabi).

10 Muhammad Ibn al Saud

Raja Arab Saudi yang beraliansi dengan Wahhabi yang kemudian membuat Wahhabi lancar melakukan intimidasi, terorisme, pengafiran, dan pembantaian; Raja ini berasal dari klan pendukung utama Musailamah al-Kazzab; tidak saleh dan kurang bermoral; gemar menghamburkan harta, berjudi, dan bermain perempuan.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok yang rendah diri, tertutup, pro kekerasan, dan teroris (Teks memberi inferioritas, stigmatisasi, dan stereotip terhadap Wahhabi).

11 Hamid Alghar

Penulis buku “Wahhabism: a Critical Essay”. Buku ini menggambarkan tentang keberhasilan Arab Saudi mengekspor paham Wahhabi yang menggerakkan para generasi untuk melakukan aksi terorisme.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras dan teroris (Teks memberi stereotip terhadap Wahhabi

12 Stephen Sulaiman Schwartz

Penulis buku “The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror”. Dalam buku ini disebutkan bahwa dukungan Saudi terhadap Wahhabi adalah bentuk pengelabuan atas praktik amoral yang dilakukan kerajaan Saudi. Ideologi yang disebarkan oleh Saudi Arabia inilah yang mempengaruhi kelompok Islam Indonesia garis keras.

Memperkuat posisi Wahhabi sebagai kelompok garis keras (Teks memberi stereotip terhadap Wahhabi).

(6)

bahwa kekerasan dan terorisme yng dilakukan Oleh Wahhabi adalah wujud dari sifat inferioritasnya. Dalam beberapa literatur keislaman, tokoh ini dianggap sebagai tokoh yang beraliran liberal

sebagai kelompok yang rendah diri, tertutup, pro kekerasan, dan teroris (Teks memberi inferioritas, stigmatisasi, dan stereotip terhadap Wahhabi).

Peran yang dimainkan oleh aktor-aktor ini turut mewarnai bagaimana teks memperkuat karakteristik Wahhabi sebagai kelompok keagamaan Islam garis keras yang senantiasa melakukan aksi kekerasan dan terorisme. Tentu saja, teks ini menguntungkan kelompok liberal dan merugikan kelompok Wahhabi. Kelompok Wahhabi senantiasa ditampilkan dalam citra yang buruk sehingga teks ini terkesan mengajak pembaca untuk antipati terhadap kelompok Wahhabi dan menyetujui sepenuhnya pendapat Gus Dur yang antipati terhadap Islam Fundamentalis.

Berdasarkan pemetaan terhadap kelompok ini, terlihat bahwa kelompok liberal diposisikan sebagai subjek penceritaan, sedangkan kelompok Wahhabi diposisikan sebagai objek penceritaan.

3.2 Deskripsi Bahasa

Tahap deskripsi adalah analisis kebahasaan terhadap teks yang meliputi kosakata, tata bahasa, dan struktur teks.

3.2.1 Tataran Kosakata

Kosakata adalah hal penting dalam analisis wacana kritis karena berhubungan dengan bagaimana suatu realitas direpresentasikan dalam bahasa. Atau dengan kata lain, pemilihan kosakata terkadang memaksa kita untuk melihat bagaimana realitas seharusnya dipahami. Analisis kosakata pada teks ini meliputi: (a) kosakata: membuat klasifikasi; (b) kosakata: membatasi pandangan; dan (c) kosakata: pertarungan wacana. Ketiga konsep ini diadopsi dari pemikiran linguistik kritis Roger Fowler.

a. Kosakata: Membuat Klasifikasi

Pemakaian kosakata oleh teks memunculkan klasifikasi kelompok keagamaan. Meski klasifikasi kelompok ini tidak dibagi secara eksplisit dalam teks, namun dari penggunaan kosakata dapat ditarik demarkasi antara kelompok keagamaan Islam Wahhabi yang diklaim garis keras dan kelompok keagamaan Islam anti Wahhabi. Hal ini tergambar dalam kalimat-kaliamt berikut ini:

(1) Gus Dur menyebut kelompok Islam Wahhabi sebagai kelompok Islam yang memiliki rasa rendah diri yang sangat tinggi.

(2) Mereka menganggap diri dan kelompoknyalah yang memiliki otoritas kebenaran sejati. Kelompok lain adalah kafir.

(3) Kelompok ini (Wahhabi) berhasil meraih pengikut sekitar 10% dari keseluruhan umat Islam.

(4) Meski terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya mereka (Wahhabi) segelintir saja.

Penggunaan kata kelompok dalam teks ini, sebagaimana terrepresentasi dari kalimat di atas, mengindikasikan adanya segregasi yang sengaja dilakukan teks antara kelompok Islam Wahhabi dengan kelompok Islam yang anti Wahhabi.

(7)

Wahhabi, sebagai objek penceritaan teks, dikategorikan sebagai kelompok Islam garis keras. Hal ini terepresentasi dari pemakaian kosakata bercetak miring dalam kalimat-kalimat berikut ini:

(5) Kelompok Islam Wahhabi gampang mengkafirkan orang. (6) Kelompok lain harus dimusuhi bahkan dibasmi.

(7) Ciri-ciri rasa rendah diri (Wahhabi) yang dikemukakan Gus Dur mudah ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror, pembakaran rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat.

(8) Hampir semua gerakan Islam garis keras dewasa ini merupakan bagian dari, atau setidaknya dipengaruhi oleh kelompok Wahhabi.

(9) Kaum Wahhabi menjadi kekuatan destruktif ketika mereka melakukan aliansi mengejutkan dengan sekelompok bandit pimpinan Muhammad Ibn Al Sa’ud. (10) Sejak saat itulah, kaum Wahhabi terus melancarkan intimidasi dan teror dalam

bentuk pengkafiran dan pembantaian.

(11) Wahhabi dikenal sebagai gerakan anti ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumberketerbelakangan umat Islam.

(12) Ideologi yang diekspor penguasa Saudi-Wahhabi telah menggerakkan mereka (generasi di Eropa–Amerika) untuk melakukan aksi terorisme.

(13) Keluarga Saud dan Wahhab yang kini menguasai otoritas politik dan agama di Arab Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang dikenal saleh, kalau tidak dapat disebut kurang bermoral.

(14) Ideologi yang disebarkan oleh mantan bandit inilah yang kemudian dianut kelompok Islam Indonesia yang gemar mengafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap mereka yang berbeda pendapat.

(15) Ideologi inilah yang dianut secara resmi oleh Taliban di Afganistan dan jaringan al-Qaidah yang beberapa tahun ini aktif melakukan kegiatan teror di pelbagai belahan dunia.

(16) ...rasa rendah itulah yang mendatangkan brutalisme.

Kata-kata yang bercetak miring di atas betul-betul menyudutkan posisi kelompok keagamaan Wahhabi. Kelompok ini dicap sebagai dalang dan sumber berbagai macam aksi kekerasan, termasuk terorisme, yang terjadi di seluruh dunia. Teks membentuk citra Wahhabi sebagai kelompok yang menakutkan, keras, menyeramkan, intoleran, brutal,dan anarkis. Wahhabi adalah penjahat agama. Bahkan Wahhabi yang hanyalah merupakan salah satu paham keagamaan Islam diberi label “ideologi”. Hal ini menunjukkan bahwa teks berusaha menakuti-nakuti publik dengan menempatkan wahhabi sebagai sistem kepercayaan yang kedudukannya sama dengan Islam. Dalam pandangan teks, Wahhabi adalah sistem ideologi yang berlandaskan pada kekerasan.

Citra ini lebih diperkuat lagi ketika teks menghadirkan kelompok Taliban dan al-Qaidah sebagai bagian dari kelompok Wahhabi. Al-Qaidah dan Taliban adalah kelompok-kelompok Islam yang dituduh oleh Amerika menjadi dalang dari semua aksi terorisme. Oleh karena itu, ada kesamaan persepsi antara teks dengan Amerika yang sama-sama menuduh Islam sebagai penyebab aksi teror yang terjadi di seluruh dunia.

b. Kosakata: Membatasi Pandangan

Selain membentuk klasifikasi, pemakian kosakata yang ditawarkan oleh teks membatasi pandangan pembaca. Artinya, pembaca diarahkan pada pemahaman realitas tertentu.

(8)

Teks mencoba membentuk sekaligus membatasi pemahaman pembaca bahwa Wahhabi adalah gerakan yang lebih mengarah pada gerakan teroris dari pada gerakan keagamaan. Hal ini terbukti dari kehadiran kosakata Taliban dan al-Qaidah (lihat contoh pada poin 15).

Teks juga mencoba membatasi pemahaman publik bahwa Wahhabi adalah kelompok keagamaan destruktif dan tidak credible. Hal ini dibuktikan oleh hadirnya Najd dan Khawarij sebagai potret masa lalu Wahhabi. Najd dan Khawarij digambarkan oleh teks sebagai berikut

(17) Kota Najd adalah satu wilayah yang dalam sejarah Islam tidak pernah memunculkan intelektual atau pemimpin Islam yang diakui. Wilayah ini malah terkenal sebagai wilayah yang kerap melahirkan para perampok suku Badui. Nabi sendiri mengakuinya dalam salah satu hadits. Orang-orang Najd juga adalah kelompok orang yang paling akhir masuk Islam. Bahkan Najd melahirkan tokoh oposan Nabi Muhammmad yang amat terkenal: Musailamah al-Kazzab (Musailamah Sang Pembohong). Musailamah mendeklarasikan diri sebagai nabi pesaing untuk menandingi popularitas kenabian Muhammad saat itu.

(18) Selain Wahhabi, ideologi garis keras pada masa-masa awal Islam, Khawarij, juga didirikan orang-orang Najd. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa Wahhabisme sebenarnya hanyalah bentuk baru dari ideologi Khawarij. Orang-orang Khawarijlah yang mempopulerkan konsep takfir (pengafiran) dan bahkan pembunuhan terhadap mereka yang tidak setuju dengan pendapatnya. Kelompok inilah yang kemudian membantai sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, dan melancarkan aksi yang sama terhadap gubernur Damaskus saat itu, Amr Bin Ash.

Kosakata-kosakata yang bercetak miring di atas memperkuat identitas Wahhabi sebagai paham yang tidak kredible untuk diikuti karena berasal dari kota yang bercitra buruk dan kelompok yang juga bercitra buruk dan bengis.

c. Kosakata: Pertarungan Wacana

Kosakata yang tergambar dalam teks, tidak hanya membuat klasifikasi dan pembatasan pemahaman atas realitas, melainkan kosakata juga merupakan pertarungan wacana.

Beberapa kosakata dalam teks ini menunjukkan adanya pertarungan wacana yang pada akhirnya beriplikasi pada pertarungan ideologi masing-masing. Pertarungan wacana yang dibangun oleh teks ini adalah pertarungan wacana Islam garis keras dengan pertarungan wacana Islam bukan garis keras. Islam garis kelas mengacu pada kelompok Wahhabi (disebutkan secara eksplisit dalam teks), sedangkan kelompok Islam bukan garis keras tidak mengacu pada kelompok khusus karena tidak dieksplisitkan oleh teks. Meski demikian, penulusuran terhadap kosakata dapat membantu kita dalam melihat kelompok Islam bukan garis keras mana yang dimaksudkan oleh teks.

Di dalam teks, ditemui beberapa kosakata yang tersusun atas kalimat-kalimat yang mengacu kepada doktrin kelompok Islam liberal. Adapun kaliamt-kalimat tersebut adalah:

(18) Ideologi yang dikembangkan kelompok yang gemar mengafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat ini sangat mirip dengan ideologi Islam yang sekarang dianut kerajaan Arab Saudi

(19) Kaum Wahhabi menjadi kekuatan yang destruktif ketika melakuakn aliansi yang mengejutkan dengan sekelompok bandit pimpinan Muhammad ibn al-Sa’ud.

(9)

(20) Anak-anak muda yang menyediakan diri menjadi martir dalam kegiatan bom bunuh diri di Eropa dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun ini, sebetulnya datang dari generasi yang benar-benar terdidik secara “Barat”. Tapi ideologi yang diekspor penguasa Saud-Wahhabi telah menggerakkan mereka untuk melakukan terorisme. (21) Arab Saudi adalah negara paling tertutup dan paling tidak bebas di dunia. (22) Wahhabi menolak tekhnologi dan jaringan informasi.

(23) Dengan tegas Wahhabi menolak demokrasi.

(24) Wahhab yang kini menguasai otoritas politik dan agama di Arab Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang dikenal saleh.

(25) Wahhabi mengurung perempuan

Kalimat (18) yang mengandung kosakata: ideologi, mirip, dan Kerajaan Arab Saudi mengisyaratkan kebencian teks terhadap dunia Arab. Begitu pun pada kalimat (19) yang juga mengandung kosokata berkonotasi kebencian pada Saudi Arabia. Kalimat (20) mengandung kosakata: bom bunuh diri, terdidik, barat, diekspor, terorisme, mengisyaratkan bahwa teks pro terhadap dunia Barat. Kalimat (21) mengandung kosakata: tertutup, tidak bebas, mengisyaratkan bahwa teks anti ekslusivis dan proliberal. Kalimat (22), (23), dan (24) mengandung kosakata: menolak iptek, demokrasi, menguasai otoritas politik dan agama, megisyratkan bahwa Wahhabi bukan pendukung negara demokrasi dan sekuler, melainkan pendukung negara teokrasi. Hal ini tentu bertolak belakang dengan keberadaan teks yang mendukung demokrasi dan sekularisasi. Kalimat (25) mengandung kosakata mengurung, perempuan, mengisyaratkan bahwa Wahhabi adalah kelompok yang anti emansipasi wanita.

Berdasarkan data-data yang dimunculkan teks, terlihat bahwa teks sangat pro Barat, anti Arab, anti ekslusivisme, proliberalisme, prodemokrasi, prosekularisme, dan proemansipasi. Karakteristik yang dihadirkan oleh teks memiliki kesamaan dengan apa yang diperjuangkan oleh Islam Liberal, yaitu Islam harus berkiblat pada Barat agar maju, Islam harus beradaptasi dengan dunia modern, Islam harus liberal, sekular, prodemokratis, propluralis, dan proemansipasi. Dengan demikian, wacana yang dikembangkan oleh teks adalah wacana pertarungan antara Islam liberal yang berideologi liberalisme dengan Islam radikal yang berideologi fundamentalisme. Atau dengan kata lain, teks membangun pertarungan antara ideologi liberal dan ideologi fundamental.

Wahhabi sebagai representasi dari Islam radikal digambarkan oleh teks dengan bahasa yang kasar dan tidak bersahabat. Teks menempatkan Wahhabi sebagai sumber segala aksi kekerasan. Pembaca tentu diajak oleh teks agar tidak bersimpati kepada Wahhabi sebagai Islam radikal fundamental yang berusaha mengembalikan Islam pada khittahnya, yaitu al-Qur’an dan Hadist, melainkan diajak bersimpati kepada Islam liberal yang membebaskan.

3.2.2 Tataran Tata Bahasa

Struktur kalimat yang dibangun oleh teks pada umumnya berbentuk kalimat deklaratif yang berpola SPOK/Pel. Wahhabi menempati posisi subjek, sedangkan kelompok oposisi Wahhabi menempati posisi objek. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini:

(25) Kaum Wahhabi terus melancarkan intimidasi dan teror dalam bentuk pengafiran dan pembantaian terhadap orang-orang yang mereka anggap kafir.

(10)

Struktur kalimat (25) menempatkan kelompok Wahhabi pada posisi subjek dengan perannya sebagai pelaku, sedangkan intimidasi dan teror menjadi objek sasaran utama dari kelompok ini. Struktur kalimat demikian banyak ditemukan dalam teks. Hal ini memberi indikasi bahwa teks menempatkan Wahhabi sebagai aktor utama dalam rangka memengaruhi publik (pembaca) agar takut terhadap kelompok Wahhabi. Wahhabi adalah aktor utama dari berbagai macam aksi kekersaan. Oleh karena itu, Wahhabi adalah kelompok keagaamaan yang harus diwaspadai dan dicurigai.

3.2.3 Struktur Teks

Persoalan yang dikaji dalam struktur teks adalah pengurutan teks untuk melihat tingkat koherensinya. Teks ini tersusun atas beberapa elemen, yaitu:

- Sifat rendah diri Wahhabi dan implikasinya pada berbagai aksi kekerasan dan teroroisme.

- Wahhabi adalah kunci utama dari berbagai prilaku kekerasan dan terorisme di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, di Afganista, dan aksi teror jaringan al-Qaidah.

- Potret kota Asal kelompok Wahhabi yang buram

- Wahhabi sebagai bentuk baru kelompok garis keras khawarij pada masa awal Islam.

- Berbagai sikap Wahhabi terhadap budaya dan gender - Ekspor Wahhabi ke seluruh dunia

- Kebejatan keluarga kerajaan Saudi Arabia

Struktur teks ini diawali dengan penggambaran kekejaman Wahhabi dan diakhiri dengan keburukan potret keluarga kerajaan Saudi Arabia yang merupakan penganut setia Wahhabi. Teks ini mengembangkan wacana yang menghakimi Wahhabi sebagai satu-satunya paham dan kelompok yang menyebarkan sekaligus melakukan aksi kekerasan. Teks tidak pernah menyebutkan kelompok Islam radikal yang lain; teks juga tidak menyebutkan apa itu paham Wahhabi, siapa pendirinnya, dan bagaimana sejarahnya; teks hanya melihat Wahhabi dari sisi sifat rendah dirinya yang teramat sangat karena asal usulnya dari wilayah Najd; teks hanya menggambarkan sisi negatif yang ada pada paham Wahhabisme. Oleh karena itu, koherensivitas teks tidak logis karena teks belum menjelaskan kepada pembaca apa itu Wahhabi dan bagaimana ajarannya. Teks langsung menyuguhkan berbagai kekerasan Wahhabi kepada pembaca. Ini tentu saja membangun pencitraan yang buruk terhadap ajaran Wahhabi.

3.3 Interpretasi

Hubungan antara teks dan konteks sosial budayanya bersifat tidak langsung. Untuk menghubungkan antara teks dengan struktur sosial diperlukan suatu tahap analisis yang disebut tahap interpretasi. Hal yang dibahas pada tahap ini adalah bagaimana hubungan antara teks, media, dan penulisnya.

Pada tahap deskripsi bahasa, ditemukan data-data kebahasaan yang menunjukkan adanya stereotip, inferioritas, dan stigmatisasi yang dilakukan oleh teks terhadap kelompok Wahhabi. Streotip, inferioritas, dan stigmatisasi dalam teks tersebut harus dibongkar melalui penelusuran terhadap produksi teks.

Teks ini diambil dari kumpulan tulisan yang ada di website Islam Liberal (http://islamlib.com), dan ditulis oleh salah satu aktifis JIL bernama Saidiman. Tulisannya senantiasa hadir di situs ini dan disejajarkan dengan tulisan tokoh-tokoh

(11)

penting, seperti Gus Dur, Gunawan Muhammad, Dawam Rahardjo, Rizal Malaranggeng, Luthfi Assyaukani, Abd Moqsith Ghazali, zuly qadir, dll.

Website Islam liberal ini memuat semua produk JIL, baik itu sindikasi media, talk show rutin radio namlapanha yang tersebar di 40 radio seluruh Indonesia, berita, artikel, atau apa pun yang sesuai dengan prinsip JIL, yaitu sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, yang oleh sebagian kalangan disingkat ke dalam istilan sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme).

Jika ditelusuri, tulisan-tulisan JIL yang termuat dalam website ini sebagian besar diarahkan pada upaya memperbaharui pemikiran keislaman. Pembaharuan ini dilakukan melalui pengembangan penafsiran Islam yang liberal yang sesuai dengan prinsip-rinsip yang dianut JIL. Dasar utama yang digunakan sebagai landasan pemikiran adalah penalaran rasional. Oleh karena itu, berkiblat kepada barat adalah keharusan bagi kelompok ini.

Dalam salah satu tulisannya, Assyaukani menyebutkan bahwa Islam hanya maju jika berkiblat pada Barat. Reinesan dan reformasi dalam Islam bukanlah merujuk kepada gerakan kebangkitan yang kembali kepada semangat ortodoksisme dan konseratisme, tetapi gerakan dalam Islam adalah gerakan yang mengembalikan nilai-nilai dan semangat rasionalisme dan liberalisme (Assyaukani, 2004 dalam http//islamlib.com).

Islam Liberal adalah sebuah istilah yang diadopsi dari Leonard Binder dalam bukunya yang berjudul Islamic Liberalism yang diterbitkan oleh Chicago University, dan Charles Kurzman dalam bukunya yang berjudul Liberal Islam: A Sourcebook yang diterbitkan oleh Oxford University. Kurzman mendefinisikan Islam Liberal sebagai kelompok yang secara kontras berbeda denga Islam adat (customary Islam) dan Islam Radikal (revivalist Islam). Islam adat adalah sebuah Islam yang ditandai dengan kombinasi kebiasaan kedaerahan. Misalnya pengultusan orang-orang yang dianggap suci, pertunjukan-pertunjukan ritual yang mengekspresikan tradisis-tradisi di daerah, seperti membunyikan bedug, tradisi musikal, menghormati ruh-ruh, perayaan tahun baru Islam dsb. Islam radikal adalah sebuah kelompok Islam yang disebut sebagai Islam Fundamentalis atau Wahhabisme. Islam ini menyerang Islam adat karena dianggap kurang memperhatikan inti ajaran Islam. Adapun Islam Liberal adalah tradisi Islam yang menghadirkan masa lalu dalam konteks modern dan meyatakan bahwa Islam jika dipahami secara benar maka ia akan sejalan dengan liberalisme barat (Kurzman, 1988:99).

Dengan berpijak pada pendapat Kurzman dan Binder, lahirlah sebuah pemikiran baru yang menamakan diri JIL yaitu jaringan Islam Liberal. Kelompok ini menggunakan kata jaringan dengan tujuan utama untuk menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Jaringan ini dimotori oleh kaum budayawan dan intelektual dari sarjana, doktor, professor, sampai kyai.

JIL berpandangan bahwa keterpurukan umat Islam saat ini dikarenakan paham fundamentalisme yang memahami al-Qur’an secara tekstual formalistik, yang pada akhirnya berimbas pada kejumudan, keterbelakangan, bahkan terorisme. Oleh karena itu, JIL mencoba membangun penalaran rasional atas teks-teks keislaman sebagai prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca.

JIL secara umum memiliki agenda, antara lain menentang sistem pemerintahan teokrasi dan mendukung demokrasi, mendukung gerakan feminisme, membela hak-hak kaum tertindas (Ahmadiyah dkk), membela hak-hak non muslim, mengembangkan ideologi liberalisme. Dengan semangat berlebihan, mereka memusuhi semua pemikiran teosentris, meskipun sering mengorbankan keyakinan

(12)

dan kepercayaan yang telah mapan dan diyakini kebenarannya. Dalam penerapan ajaran Islam, mereka mendahulukan substansi sebuah syariat dari pada tatanan tekstual yang secara jelas sudah dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadits. Mereka mengakui bahwa kebenaran bersifat relatif, inklusif, dan akomodatif. Mereka sekularisasi secara menyeluruh dan komprehensif (Muhith, 2008 dalam harian Republika).

Agenda-agenda ini tentu saja bertolak belakang dengan prinsip dasar Islam radikal yang menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pijakan utama, mempercayai kebenaran absolutis Tuhan, menolak segala paham dari barat, baik itu sekularisme, pluralisme, kapitalisme, maupun liberalisme. Bagi kaum radikal, kehidupan umat Islam saat ini sudah sangat terasuki oleh sekularisme barat yang dianggap bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu, mereka merasa berkewajiban untuk mengembalikan umat Islam ke jalan yang lurus sesuai dengan ajaran otentik al-Qur’an.

Prinsip dasar Islam radikal sangat berbeda dengan prinsip dasar Islam liberal. Perbedaan prinsip inilah yang kemudian menjadi penyebab banyaknya tulisan yang ditulis oleh kaum intelektual (dari yang bergelar sarjana, Dr, Prof, sampai yang bergelar kyai) di website ini yang mengecam Islam fundamental, termasuk teks “Rendah Diri Kaum Wahhabi”. Motif yang hadir dibenak publik tentu saja beraneka macam. Apakah tulisan itu diperuntukkan untuk memperbaiki citra Islam yang pro terhadap kekerasan? Ataukah sebaliknya, memperkuat legitimasi bahwa Islam identik dengan kekerasan melalui tulisannya yang seringkali memojokkan kelompok lain? Apakah tulisan tersebut merupakan representasi dari gerakan anti al-Qur’an dan Hadits? Ataukah membebaskan umat Islam, tidak hanya pada pemahaman yang kaku, tetapi juga membebaskan terhadap ajarannya? Pembaca tentu berhak memilih motif sesuai dengan kesadarannya.

3.4 Tahap Eksplanasi

Tahap ini bertujuan untuk menempatkan teks sebagai bagian dari proses sosial, yaitu dengan cara menunjukkan bagaimana sebuah teks terbentuk dan bagaimana teks tersebut ikut mempengaruhi struktur sosial.

Munculnya teks berjudul “Rendah Diri Kaum Wahhabi” ini terinspirasi oleh pendapat Gus Dur pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina. Dalam beberapa literatur, Gus Dur dianggap sebagai salah satu tokoh Pemikir Islam yang beraliran Liberal.

Pemikiran Gus Dur yang penuh kontroversi tak bisa ditelan secara mentah-mentah, melainkan harus dinalar terlebih dahulu agar tidak terjadi miskonsepsi dan misinterpretasi.

Gagasan yang dilontarkan Gus Dur tentang sifat rendah diri kaum Wahhabi yang menyebabkan mereka berbuat anarkis, dieksplor luar biasa oleh penulis menjadi sebuah tulisan yang betul-betul menghujat sekaligus menyudutkan kelompok Wahhabi. Penulis tidak lagi memandang Wahhabi dari perspektif paham keagamaannnya yang purifikatif, melainkan lebih kepada kebrutalan Wahhabi sebagai dalang dari berbagai aksi kekerasan di seluruh dunia. Wahhabi dipotret sebagai kelompok rendah diri yang hanya mampu memunculkan keeksisannya dengan jalan kekerasan. Atau dengan kata lain, prinsip Wahhabi untuk memurnikan ajaran agama Islam hanyalah sebuah topeng untuk melegalkan aksi kekerasan guna menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu kelompok Islam. Oleh karena itu, penulis lebih mengedepankan kepada khalayak aksi kekerasan yang dilakukan Wahhabi dari pada

(13)

konsep keagamaannya. Padahal toh belum terbukti bahwa dalang dari semua kekerasan adalah akibat dari ulah kelompok Wahhabi.

Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Wahhabi sebagaimana yang diklaim oleh teks adalah mengafirkan orang, mengeluarkan fatwa sesat, mempercayai adanya otoritas sejati, menolak demokrasi, membenci kesenian, mengurung perempuan, menggabungkan otoritas agama dan politik, serta menolak kebebasan. Prilaku-prilaku Wahhabi ini sangat ditentang oleh kelompok Islam Liberal sehingga mereka melakukan gerakan oposisi melalui bendera liberalisme.

Terjadinya liberalisasi pemikiran keagamaan tak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu-ilmu sosial yang terus mengalami perkembangan. Munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu sosial seperti ilmu sosial kritis, postkolonial, poststruktural, dan oksidentalisme memberikan kontribusi yang tidak kecil atas terjadinya “revolusi keagamaan di Indonesia”. Tanpa disadari atau tidak, kita turut mengakses pemikiran-pemikiran ini, bahkan menjadikannya sebagai rujukan dalam menafsikan agama (Qadir, 2007: 31).

Perkembangan pemikiran ini juga tak dapat dilepaskan dari perkembangan pemikiran keagamaan di Amerika, Eropa, dan di jazirah Arab terutama wilayah Mesir. Di benua Amerika telah lama berkembang pemikiran keagamaan yang mengarah pada rekontekstualisasi doktrin agama, pemikiran tentang perlunya dialog antaragama, dialog intrareligius, dan dialog praktis. Sementara di Eropa berkembang pemikiran tentang perlunya reaktualisasi pemikiran keagamaan khususnya di kalangan Katolik dan Protestan. Di kalangan Islam terdapat beberapa pemikir yang turut mempenagruhi perkembangan Islam, diantaranya Hassan Hanafi di Mesir, Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dll. (Qadir, 2007: 47-48).

Berkaitan dengan metodologi berfikir Islam liberal, kelompok ini berusaha melakukan interpretasi baru atas doktrin al Qur’an dan Hadits , interpretasi atas sejarah sosial dan konteks sosial masyarakat Islam berdasarkan ilmu bahasa , kritik sejarah, dan studi-studi sosial. Nama-nama seperti Nurcholis Madjid, Djohan Effendy, Gus Dur, merupaka peletak dasar Liberal Islam di Indonesia (Qadir, 2007: 46).

Selain dipengaruhi oleh berkembangnya pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, lahirnya Islam liberal juga didukung oleh kondisi sosial bangsa pasca jatuhnya rezim orde baru. Tradisi kritik dan kontrol yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa orde baru, berubah menjadi sesuatu yang signifikan pada masa reformasi hingga sekarang. Orang semakin bebas berfikir, berekspresi, berpendapat, termasuk bebas menginterpretasikan teks keagamaan yang dianggap sakral dan dikultuskan.

Bagi Islam liberal, yang paling penting adalah perlunya tradisi kritis dan dekonstruksi atas pemahaman lama yang telah beratus-ratus tahun berkembang. Islam liberal memahami Islam bukan sebagai barang sekali jadi, tetapi harus dilihat konteks sosila historisnya. Islam harus dipahami secara modern, rasional, dan mengutamakan reason, karena Islam merupakan agama yang sangat mengutamakan rasionalistik (Qadir, 2007: 38).

Kita sebagai orang beragama tentu sepakat jika Islam harus dikawinkan dengan rasionalitas. Akan tetapi, adalah mustahil jika rasio dijadikan satu-satunya alasan dalam rangka memahami Islam secara kaffah. Rasio manusia terbatas dan tak sanggup mengatasi metafisika yang dihadirkan oleh teks. Hal ini terbukti dari tulisan Ulil Abshar Abdallah berjudul Doktrin-Doktrin yang Tidak Perlu dalam Islam yang mengundang emosi masyarakat Islam. Oleh karena itu, tetap dibutuhkan intuisi dan otoritas Sang Khalik dalam pemaknaan teks.

(14)

Berdasarkan faktor historitas Islam Liberal, dapat disimpulkan bahwa Islam liberal adalah Islam yang berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham pstmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala sesuatu yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non Islam pun bisa dikatakan muslim, dekonstruksi al-Qur’an sebagai Kitab Suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan kelompok Islam radikal dan kelompok Islam yang berusaha menerapkan al-Qur’an dan Hadits secara kaffah untuk kepentingannya. Menuduh mereka sebagai penyebab aksi kekerasan dan mendukung prasangka Barat bahwa mereka ini adalah terorisme. Dengan demikian, berbagai atribut yang ada dalam Islam liberal, seperti toleransi dan anti kekerasan, sesungguhnya hanyalah topeng untuk mengelabui umat. Tulisan-tulisan Islam Liberal yang sering menyudutkan kelompok lain menjadi bukti hal ini. Tulisan-tulisan tersebut bukannya mencerahkan umat Islam, malah membangun konflik antar kelompok dalam Islam, memeceh belah kelompok Islam, membingunkan umat Islam, bahkan membodohi umat dengan konsep liberalismenya. Oleh karena itu, beberapa dugaan masyarakat muncul, ada yang menggap Islam liberal sebagai kaki tangan barat untuk menghancurkan umat Islam, ada yang menganggap bahwa Islam ini tak hanya membawa ideologi liberalisme, akan tetapi juga membawa misi kapitalisme dan imperialisme.

Jika teks “Rendah Diri Kaum Wahhabi” dihubungkan dengan konsep liberalisme yang diagung-agungkan oleh penulis sebagai pengikut JIL, bisa saja ini adalah sebuah bentuk untuk membebaskan umat dari agamanya. Jangan beragama karena agama hanya mengajak umat kepada kekerasan.

4. Simpulan

Melalui pembacaan analisis wacana kritis terhadap teks ”Rendah Diri Kaum Wahhabi”, tampak bahwa JIL mencoba membangun pencitraan buruk pada kelompok Wahhabi dan mengajak pembaca agar tidak terjebak pada pola keagamaan yang diterapkan oleh Wahhabi. Usaha yang dilakukan oleh JIL ini tentu saja menyalahi prinsip dasar kelompok JIL sendiri, yaitu menjunjung tinggi kebebasan berfikir dan menjauhi kekerasan atas nama agama. Hal ini dibuktikan oleh teks ”Rendah Diri Kaum Wahhabi” yang menyuguhkan kepada pembaca adanya streotipe kelompok lain dan upaya penciptaan konflik intern umat Islam.

Referensi

Dokumen terkait

stepper untuk menutup dan membuka pintu lift secara otomatis setelah menerima perintah dari RFID. Untuk membuka pintu lift Motor DC akan bergerak

Faktor internal usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba ini  disamping dapat  berupa  kekuatan  dalam  usaha  tersebut,  juga  dapat  berupa  kelemahannya. 

Hasil penelitian menunjukkan: (1) proses pengembangan metode penciptaam lagu anak berbasis tema untuk guru taman kanak-kanak dilakukan dengan cara 10 langkah; (2) kualitas

harus memisahnya, dan jika anak berbuat kurang baik guru hendaknya memberi nasihat dan menegur dengan baik. Tetapi beda halnya dengan di RA Imam Syafi’i ini, dalam mengatasi

Pengaturan mengenai transaksi afiliasi dan transaksi benturan kepentingan tertentu di pasar modal dalam Peraturan IX.E.1 ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada

Program Magister Logistik yang diusulkan ini dikembangkan untuk ikut serta dalam menaggulangi isu-isu nasional dalam bidang logistik khususnya yang terkait

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan

This study aims at estimating the number of cancer mortality and years of potential life lost (YPLL) attributable to smoking in GCC countries in 2015.. Methods : Smoking prevalence