i Puji syukur kami ucapkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas karunia‐ Nya Laporan Akhir “Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif Dalam Upaya Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Kepulauan Mentawai” ini dapat kami selesaikan.
Tujuan dari Laporan ini adalah untuk mengetahui jenis mata pencaharian alternatif yang paling cocok untuk dikembangkan berdasarkan daya dukung lingkungan
Akhirnya kami dan Tim serta semua pihak yang telah membantu dalam bentuk moril, materil dan sumbangan pikiran dalam penulisan laporan ini. Semoga dapat menjadi pedoman untuk kegiatan yang akan datang. Padang, 2009 Tim Penyusun
ii Hal Kata Pengantar ... i Daftar Isi ... ii Daftar Tabel ... iv Daftar Lampiran ... v RINGKASAN EKSEKUTIF ... vi 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 4 1.3 Luaran ... 5 1.4 Metodelogi ... 5 1.4.1 Lokasi Kegiatan ... 5 1.4.2 Metode Pengumpulan data ... 5 1.4.5 Analisa Data ... 6 2. KONDISI UMUM LOKASI ... 9 2.1 Sejarah ... 9 2.1.1 Desa Saibi Samukop ... 9 2.1.2 Desa Saliguma ... 9 2.1.3 Desa Katurei ... 10 2.2 Kependudukan ... 12 2.3 Sarana dan Prasarana ... 14 2.4 Sosial‐Ekonomi Penduduk ... 15 3. ANALISIS EKONOMI ... 21 3.1 Desa Saibi Samukop ... 21 3.1.1 Minat Masyarakat Terhadap Beberapa Mata Pencarian Alternatif ... 22 3.1.2 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Bahan Baku ... 23 3.1.3 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 25 3.1.4 Pertimbangan Berdasarkan Peluang Pasar ... 27 3.1.5 Usaha Alternatif yang Layak Dikembangkan ... 29 3.1.6 Pengembangan Usaha Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kelayakan Finansial ... 30 3.1.7 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut ... 30 3.1.8 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Pengolahan Ikan ... 32 3.1.9 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Mikro ... 34 3.2 Desa Saliguma ... 36 3.2.1 Minat Masyarakat Terhadap Beberapa Mata Pencarian Alternatif ... 37
iii 3.2.4 Pertimbangan Berdasarkan Peluang Pasar ... 42 3.2.5 Usaha Alternatif yang Layak Dikembangkan ... 44 3.2.6 Pengembangan Usaha Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kelayakan Finansial ... 45 3.2.7 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut ... 46 3.2.8 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Pengolahan Ikan ... 48 3.2.9 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Perikanan ... 49 3.2.10 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Mikro ... 51 3.3 Desa Katurei ... 53 3.3.1 Minat Masyarakat Terhadap Beberapa Mata Pencarian Alternatif ... 54 3.3.2 Pengembangan Usaha Alternatif Berdasarkan Pertimbangan Kelayakan Finansial ... 55 3.3.3 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut ... 55 3.3.4 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Pengolahan Ikan ... 57 3.3.5 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Perikanan ... 59 3.3.6 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Mikro ... 60 3.3.7 Analisa Kelayakan Finansial Usaha Kerajinan ... 62 4. STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF ………. 64 4.1 Desa Saibi Samukop ... 64 4.1.1 Faktor Internal dan Eksternal Usaha Budidaya Rumput Laut Dan Strategi Pengembangannya ... 64 4.1.2 Faktor Internal dan Eksternal Usaha Pengolahan Ikan Asin Dan Strategi Pengembangannya ... 67 4.2 Desa Saliguma ... 64 4.2.1 Faktor Internal dan Eksternal Usaha Pengolahan Ikan Asin Dan Strategi Pengembangannya ... 71 4.2.2 Faktor Internal dan Eksternal Usaha Keramba Jaring Apung Dan Strategi Pengembangannya ... 74 4.3 Desa Katurei ... 64 4.3.1 Faktor Internal dan Eksternal Usaha Pengolahan Ikan Asin Dan Strategi Pengembangannya ... 78 4.3.2 Faktor Internal dan Eksternal Usaha Keramba Jaring Apung Dan Strategi Pengembangannya ... 82 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ………. 86 5.1 Kesimpulan ... 86 5.2 Rekomendasi ... 87 DAFTAR PUSTAKA ... 89
iv
Hal 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Aktifitas Dan Jenis Kegiatan di Kecamatan Siberut Selatan ... 13 2. Aksessibilitas dari Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurai ke Pusat Kecamatan ... 15 3. Jumlah Dusun dan Penduduk di Desa Saibi Samukop, Saliguma Dan Katurai Kecamatan Siberut Selatan Tahun 2005 ... 16 4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurai Kecamatan Siberut Selatan Tahun 2006 ... 18 5. Persentase Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurai Kecamatan Siberut Selatan Tahun 2006 ... 19 3.1 Prioritas Usaha Berdasarkan Minat Masyarakat Di Desa Saibi Samukop ... 22 3.2 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Bahan Baku ... 24 3.3 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 26 3.4 Pertimbangan Berdasarkan Peluang Pasar ... 28 3.5 Prioritas Usaha Alternatif yang Layak Dikembangkan Berdasarkan Pertimbangan Teknis ... 30 3.6 Prioritas Usaha Berdasarkan Minat Masyarakat Di Desa Saliguma ... 36 3.7 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Bahan Baku ... 39 3.8 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Tenaga Kerja ... 41 3.9 Pertimbangan Berdasarkan Peluang Pasar ... 43 3.10 Prioritas Usaha Alternatif yang Layak Dikembangkan Berdasarkan Pertimbangan Teknis ... 45 3.11 Prioritas Usaha Berdasarkan Minat Masyarakat Di Desa Katurei ... 54 3.12 Prioritas Usaha Alternatif yang Layak Dikembangkan Berdasarkan Pertimbangan Teknis ... 55
v
Hal
1. Peta Lokasi Kawasan Konservasi Laut daerah (KKLD) ... 90
vi PENGEMBANGAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD) KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI
Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/COREMAP II) telah menetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Kepulauan Mentawai yang meliputi Desa Saibi Samukop, Saliguma, dan Desa Katurei dengan Surat Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 178 Tahun 2006, tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kepulauan Mentawai Tanggal 11 Desember 2006.
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tersebut secara keseluruhan mempunyai luas 50.532,87 hektar dengan pemanfaatan kawasan Saibi Samukop dan Saliguma diprioritaskan untuk mendukung perikanan berkelanjutan, sedangkan kawasan Katurei diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari.
Kemiskinan masyarakat nelayan diduga berkaitan erat dengan penurunan hasil tangkapan. Menurunnya hasil tangkapan nelayan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; 1) Terjadinya degradasi fisik ekosistem utama (terumbu karang dan mangrove), 2) Sedimentasi yang diakibatkan pengrusakan/pembalakan hutan, 3) Pengeboman dan pemutasan ikan, 4) Alat tangkap/teknologi penangkapan kurang memadai untuk menghasilkan tangkapan ikan,dan lain sebagainya.
Untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan keluarganya dari satu sisi dan mengurangi eksploitasi sumberdaya perikanan serta degradasi habiatnya khususnya terumbu karang di sisi lainnya, harus dikembangkan
vii alternatif tersebut memerlukan strategi mengingat dari satu sisi sangat tidak mudah untuk memulai sesuatu usaha yang baru bagi masyarakat nelayan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi terhadap sumberdaya perikanan, sedangkan disisi lain suatu usaha yang baru bisanya juga rentan untuk bertahan. Strategi yang dimaksud antara lain: 1) Memilih usaha yang telah ada dilakukan oleh masyarakat di lokasi studi sehingga usaha tersebut paling tidak telah dikenal oleh masyarakat; 2) Memilih usaha disamping layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan variabel teknis, juga layak secara finansial, dimana hal ini diperkirakan suatu tolok ukur dari pada keberlangsungan atau kontinuitas komoditi yang dihasilkan dari suatu usaha yang akan dikembangkan; 3) Menentukan strategi pengembangannya berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya yang merupakan langkah konkrit yang perlu dilakukan disamping untuk mewujudkan usaha‐ usaha tersebut, juga berkaitan dengan keberlangsungan dan pengembangannya. Untuk itu perlu dilakukan suatu studi yang secara umum untuk mengetahui strategi pengembangan usaha alternatif di lokasi studi. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk mengetahui : jenis‐jenis mata pencaharian alternatif yang ada di Desa Saibi Samukop, Desa Saliguma dam Desa Katurai; jenis mata pencaharian yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan variabel teknis dan kelayakan finansial usaha dan strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternalnya.
Kegiatan studi ini dilakukan di Desa Saibi Samukop, Desa Saliguma dam Desa Katurai Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi studi memfokuskan pada lokasi manajemen area Coremap II . Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yakni: Studi Kepustakaan, Metode Survey dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Data sekunder
viii lapangan dengan menggunakan metode pengumpulan data Triangulation, yakni Indepth
Interview, wawancara dengan menggunakan kuisioner, Focus Group Discussion (FGD) dan
observasi.
Analisis data menggunakan gabungan pendekatan deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisa secara deskriptif dengan penampilan dalam bentuk tabel, sedangkan data kuantitatif dilakukan penghitungan berdasarkan rumus‐rumus tertentu.
Berdasarkan pertimbangan aspek teknis (minat masyarakat, ketersediaan bahan baku/sumberdaya alam, ketersediaan tenaga kerja, peluang pasar), usaha alternatif yang layak dikembangkan di lokasi studi Desa Saibi Sumakop adalah: usaha budidaya rumput laut, usaha pengolahan ikan asin. Sedangkan di lokasi studi Desa Saliguma adalah: usaha pengolahan ikan dan usaha budidaya perikanan khususnya keramba jaring apung. Sementara itu di Desa Katurai adalah usaha pengolahan ikan dan usaha budidaya rumput laut.
Semua usaha alternatif selain layak dikembangkan secara teknis disamping itu juga dapat memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga nelayan, juga mempunyai kelayakan finansial untuk dikembangkan, yang dapat dipaparkan sebagai berikut: 1) Usaha budidaya rumput laut di Desa Saibi Sumakop, dengan total investasi Rp. 18.890.000,‐ diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 30.910.000,‐/tahun; BCR sebesar 2,06; ROI 106,26 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 0,94 tahun; 2) Usaha pengolahan ikan di Desa Saliguma, dengan total investasi sebesar Rp. 7.975.000,‐ diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 57.350.000,‐/tahun; BCR sebesar 4,91;
ix budidaya keramba jaring apung di Desa Katurai, dengan total investasi sebesar Rp. 54.600.000,‐ diperkirakan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 217.674.000,‐ /tahun; BCR sebesar 4,09; ROI 309,52 % dan tingkat pengembalian modal (PPC) hanya selama 0,32 tahun.
Strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan pertimbangan faktor internal dan eksternal secara umum mencakup: 1) Membentuk kelompok usaha bersama, sesuai dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan; 2) Mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja keluarga, dimana selama ini tenaga keluarga ini masih belum banyak dimanfaatkan; 3) Melakukan penyuluhan dan pelatihan: manajemen usaha dan oraganisasi, serta teknik usaha sesuai dengan usaha alternatif yang dikembangkan; 4) Melakukan pendampingan secara berkelanjutan dan sebaiknya menggunakan tenaga pendamping lapangan yang telah bertugas sejak awal proyek, karena mereka telah membaur dan dikenal oleh masyarakat sehingga diharapkan lebih efektif dan efisien; 5) Memanfaatkan cadangan dana bantuan pinjaman modal dari pemerintah untuk usaha kecil dan menengah atau ekonomi kerakyatan secara optimal dari pemerintah; 6) Perlu mendapatkan dukungan dan fasilitasi dari dinas instansi terkait sesuai dengan usaha alternatif yang akan dikembangkan, 7) Membangun pola kemitraan bisnis yang memungkinkan untuk memperoleh penyediaan modal dan akses pasar serta untuk kestabilan harga.
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Kepulauan Mentawai terletak di pantai barat Sumatera merupakan Kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang ditetapkan dengan Undang ‐ Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kabupaten ini merupakan gugusan kepulauan yang terletak di Samudera Hindia, sehingga sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.
Pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan lautnya pada saat ini adalah untuk usaha perikanan terutama penangkapan dan sebagian kecil usaha budidaya. Selain itu, daerah ini terkenal dengan potensi ombak yang sangat cocok untuk pariwisata bahari (surfing). Pemanfaatan laut di luar bidang tersebut masih sangat terbatas. Pemanfaatan laut lainnya adalah untuk sarana transportasi. Sebagian masyarakat masih mengambil karang sebagai bahan bangunan, hiasan dan souvenir. Kenapa masyarakat mentawai menggunakan karang sebagai bahan bangunan (pondasi dan dinding) rumah dikarenakan oleh sedikitnya ketersediaan batu kali dan bahan galian c (tanah liat untuk membuat batu bata) di kepulauan mentawai itu sendiri. Oleh karena itu melalui program COREMAP dilakukan upaya‐upaya untuk mencari bakan baku alternative pengganti karang sebagai bahan bangunan.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk serta faktor‐faktor ekonomi lainnya maka tekanan terhadap sumberdaya alam laut dan ekosistemnya semakin meningkat pula. Hal tersebut semakin dipicu oleh kegiatan yang tidak mengacu pada kriteria‐kriteria pembangunan berwawasan lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya alam laut di lokasi ‐
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 2
lokasi tertentu cenderung berlebihan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menanggulangi masalah tersebut.
Salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan adalah melalui perlindungan sumberdaya alam yang dilakukan melalui konservasi dengan cara menyisihkan lokasi‐lokasi tertentu yang memiliki potensi
keanekaragaman jenis biota laut, gejala alam dan keunikan, serta ekosistemnya menjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL).
Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi wilayah perairan laut termasuk pesisir dan pulau‐pulau kecil serta tumbuhan dan hewan di dalamnya dan bukti peninggalan sejarah dan sosial
budaya yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Komnas Kolaut, 2005).
Berkaitan dengan upaya tersebut, Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program/COREMAP II) telah menetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang meliputi Desa Saibi Samukop, Saliguma, dan Desa Katurei dengan Surat Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 178 Tahun 2006, tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kepulauan Mentawai Tanggal 11 Desember 2006.
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tersebut secara keseluruhan mempunyai luas 50.532,87 hektar dengan pemanfaatan kawasan Saibi Samukop dan Saliguma diprioritaskan untuk mendukung perikanan berkelanjutan, sedangkan kawasan Katurei diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pariwisata bahari.
Kemiskinan masyarakat nelayan diduga berkaitan erat dengan penurunan hasil tangkapan. Menurunnya hasil tangkapan nelayan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ; 1) Terjadinya degradasi fisik ekosistem utama (terumbu karang dan mangrove), 2)
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 3
Sedimentasi yang diakibatkan pengrusakan/pembalakan hutan, 3) Pengeboman dan pemutasan ikan, 4) Alat tangkap/teknologi penangkapan kurang memadai untuk menghasilkan tangkapan ikan,dan lain sebagainya.
Dengan berkurangnya hasil tangkapan nelayan akan berdampak pula pada berkurangnya hasil pendapatan atau penghasilan nelayan tersebut yang menyebabkan tingkat kesejahteraan menurun sehingga berkemungkinan besar dapat menimbulkan masalah sosial di kawasan tempat tinggalnya. Berdasarkan pengalaman yang ditemukan di lapangan, sebenarnya masyarakat nelayan memiliki banyak waktu luang, karena kegiatan penangkapan tergantung pada musim angin. Secara perhitungan sederhana dapat diperkirakan waktu produktif rata‐rata nelayan dalam 1
(satu) tahun adalah sekitar 9 (sembilan) bulan, dan dalam 1 (satu) bulan adalah sekitar 20 hari.
Dengan kondisi yang ditemukan diatas maka perlu dilakukan upaya untuk pengembangan usaha alternatif selain usaha penangkapan ikan agar dapat menstabilkan dan meningkatkan pendapatan nelayan dan mengurangi tekanan terhadap sumber daya ikan pada waktu‐waktu tertentu. Usaha tersebut dapat dimulai dengan memanfaatkan waktu luang nelayan dan keluarganya sebagai usaha alternatif.
Untuk mengembangkan usaha alternatif tersebut diperlukan strategi pengembangan, hal ini disebabkan oleh ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya perikanan sehingga tidak mudah untuk mengubah ketergantungan tersebut dengan memberikan usaha yang baru (alternatif). Disisi yang lain suatu usaha baru juga rentan untuk dapat bertahan atau tetap eksis. Jenis‐jenis usaha alternatif yang akan dikembangkan perlu dilakukan pemilihan usaha yang telah dikenal masyarakat serta mempertimbangkan variabel teknis yang biasanya menjadi kendala atau kesulitan dalam pengembangannya. Variabel teknis yang dimaksud adalah minat masyarakat, ketersediaan bahan baku atau sumberdaya alam, ketersediaan tenaga kerja dan peluang pasar (analisis teknis).
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 4
Dan sebelum usaha‐usaha tersebut dilaksanakan maka sebelumnya perlu dilakukan analisis kelayakan usaha masing‐ masing usaha agar dapat diprediksi apakah usaha‐usaha tersebut, secara financial benar‐ benar layak untuk dikembangkan atau tidak. Analisa kelayakan usaha akan memberikan gambaran apakah usaha itu memberikan keuntungan atau kerugian secara private,
selain itu juga menggambarkan kebutuhan modal usaha, tingkat efisiensi penggunaan modal, perbandingan antara penerimaan dan biaya, serta lama pengembalian modal. Tahap selanjutnya harus dilakukan strategi pengembangannya berdasarkan faktor internal dan eksternalnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan Studi tentang “Pengembangan
Mata Pencaharian Alternatif dalam Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Kepulauan Mentawai.” 1.2. Tujuan
Tujuan dari studi ini secara umum adalah untuk mengetahui :
1. Jenis mata pencaharian alternatif yang paling cocok untuk dikembangkan berdasarkan prioritas.
2. Jenis mata pencaharian yang cocok dikembangkan berdasarkan kelayakan teknis dan finansial.
3. Bagaimana strategi pengembangannya berdasarkan faktor internal dan eksternal serta daya dukung lingkungan.
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 5
1.3. Luaran
Luaran dari studi ini adalah sebuah dokumen yang berisi hal sebagai berikut :
1. Jenis mata pencaharian alternatif yang layak dikembangkan berdasarkan aspek teknis dan finansial. 2. Strategi pengembangan usaha alternatif berdasarkan faktor internal dan eksternal. 1.4. Metodologi 1.4.1. Lokasi Kegiatan Kegiatan dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu di Desa Saibi Samukop, Desa Saliguma dan Desa Katurei. Dan diperkirakan dilakukan selama 4 (empat) bulan kerja. 1.4.2. Metode Pengumpulan Data
Kegiatan ini menggunakan 3 (tiga)
pendekatan yaitu ; Studi Kepustakaan, Metode Survey dan Participatory Rural Appraisal (PRA). Studi kepustakaan diperlukan untuk menghimpun data awal dan referensi yang diperlukan. Metode survey adalah penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data, keterangan dan fakta yang terjadi secara faktual baik tentang institusi sosial, budaya, ekonomi
maupun politik (Nazir, 1988). Dalam studi ini survey dilakukan di Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurai yang masuk ke dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Dan terakhir metode Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah metode untuk menghasilkan rancangan program yan relevan dengan kondisi faktual dan keinginan masyarakat nelayan di lokasi studi. Tujuan mendasar dari metode ini adalah pengembangan
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 6
kemampuan masyarakat dalam menganalisa keadaan mereka sendiri dan melakukan perencanaan serta rencana aksi.
Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah menggunakan Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah untuk menggali dan menganalisis permasalahan, kebutuhan dan peluang dalam usaha penangkapan ikan yang mereka lakukan serta mata pencarian alternatif yang cocok dan berkelanjutan.
Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber antara lain; Laporan kegiatan atau penelitian yang berkaitan dengan studi, instansi terkait seperti BAPPEDA dan Dinas Kelautan dan Perikanan serta instansi lain, dan LSM serta Perguruan Tinggi. Data sekunder ini akan disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kawasan Konservasi Laut Daerah.
Sedangkan data primer didapatkan melalui penelitian lapangan dengan metode pengumpulan data Triagulation yang merupakan metode pengumpulan data dengan beberapa teknik sekaligus seperti Indepth interview yang dilakukan kepada tokoh‐tokoh masyarakat setempat dimana penelitian dilaksanakan, wawancara dengan menggunakan kuisioner dilakukan kepada responden masyarakat nelayan, Focus Group Discussion (FGD) dan observasi. Data Primer digunakan sebagai parameter untuk mengetahui perikanan berkelanjutan dan pariwisata dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi.
1.4.3. Analisa Data
Analisa data menggunakan gabungan pendekatan deskriptif dan kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif dianalisa secara deskriptif dengan penampilan table‐tabel, sedangkan data kuantitatif dilakukan penghitungan berdasarkan rumus‐rumus tertentu. Analisa data ini dilakukan untuk mendapatkan nilai kelayakan lahan, kelayakan finansial berdasarkan daya dukung lingkungan pada lokasi studi.
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 7
Penentuan mata pencaharian alternatif selain usaha penangkapan ikan yang akan dikembangkan didasarkan pada 4
(empat) variabel teknis sebagai Constrain yaitu minat masyarakat, ketersediaan bahan baku/sumberdaya alam, ketersediaan tenaga kerja dan peluang pasar. Penilaian variabel‐ variabel tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem Rating Scale, yaitu dengan memberikan bobot penilaian (skor) pada setiap variabel tersebut.
Nilai 4 untuk kategori sangat baik, nilai 3 untuk kategori baik, nilai 2 untuk kategori kurang baik dan nilai 1 untuk kategori sangat kurang baik. Ranking dari setiap jenis usaha yang akan dikembangkan sangat ditentukan oleh skor total atau nilai rata‐rata skor. Ambang batas usaha yang layak untuk dikembangkan adalah total skor minimal 10 dan skor rata‐rata 2,5 (Hidayat, 2001). Penentuan mata pencaharian alternatif berdasarkan pertimbangan kelayakan finansial digunakan rumus‐rumus sebagai berikut : 1. Modal Usaha (Total Investation) = Modal Tetap + Modal Kerja 2. Total Biaya (Total Cost) = BIaya Tetap (Fixed Cost) + Biaya Variabel (Variable Cost) 3. Penerimaan (Gross Income) = Jumlah Produksi (Q) x Harga (P) 4. Keuntungan (Net Income) = Penerimaan – Total Biaya 5. Kriteria Investasi : a. Benefit Cost of Ratio (BCR) = Penerimaan/Total Biaya, Kriteria : BCR > 1, Usaha layak dikembangkan. b. Efisiensi penggunaan modal diukur dengan ROI (Return of Investment)
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 8 ROI = Keuntungan/Modal Usaha x 100 % Kriteria : Makin besar ROI, makin efisien penggunaan modal. c. Lama pengembalian modal diukur dengan Payback Period of Capital (PPC) PPC = Modal Usaha/Keuntungan x Periode Produksi (Bulan atau Tahun) Makin kecil nilai PPC semakin baik.
Selanjutnya untuk merumuskan strategi khusus dalam pengembangan mata pencaharian alternatif di lokasi studi ini, menggunakan Analisa Tabel SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threaten). Dalam analisa ini untuk mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) dalam pengembangan usaha tersebut. Kemudian berdasarkan identifikasi tersebut disusun strateginya dengan menggunakan Analisa Tabel SWOT.
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 9
2. KONDISI UMUM LOKASI
2.1. Sejarah
2.1.1. Desa Saibi Samukop
Nama Saibi, berasal dari salah satu cabang sungai Simatalu Saibi yang sekarang diduduki Dusun Limau, Dusun Masaba, Dusun Kulumen. Penduduk Saibi juga, sebagiannya berasal dari Simatalu Saibi dan sebagian lagi berasal dari Sila’Oinan. Mukop berasal dari kata sungai yang mengalir di pusat Desa Saibi sekarang ini. Oleh karena itu, Desa Saibi dinamakan Saibi Samukop yang resmi menjadi pemerintahan desa pada tahun 1983. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Saibi Samukop direncanakan menjadi pusat Kecamatan Pulau Siberut karena posisinya ditengah‐tengah antara Siberut Utara dan Siberut Selatan. Tetapi karena alasan sumber air minum yang sulit, rencana ini dibatalkan dan pusat kecamatan dipilih di Muara Siberut setelah ada hasil survey sumber air minum di daerah ini.
2.1.2. Desa Saliguma
Desa Saliguma merupakan salah satu desa dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Siberut Selatan. Terletak pada sisi sebelah timur Pulau Siberut, sebelah utara berbatasan dengan Desa Saibi Samukop, sebelah selatan dengan Desa Maileppet, dan di bagian barat berbatasan dengan Desa Madobag dengan luas wilayah 96,55 km2. Untuk dapat sampai ke Desa Saliguma harus menempuh perjalan laut selama 1 jam dengan speed boat 40 hp dari pusat kecamatan di Muara Siberut yang berjarak 35 km. Desa Saliguma terletak di sebuah teluk yang bernama Sarabua. Didepan Teluk Sarabua terbentang satu Pulau bernama Pulau Bugei atau disebut juga Pulau Pasir. Sepanjang pinggir pantai Desa Saliguma pada Teluk Sarabua ditutupi oleh hutan bakau yang lebat dan dalam kondisi baik. Nama Saliguma sendiri berasal dari nama 4 sungai yang melintasi daerah tersebut, yaitu Sa (Sungai
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 10
Sarabua), Li (Sungai Limu), Gu (Sungai Gulu’guk), dan Ma (Sungai Malibagbak). Pemerintahan Desa ini dibagi menjadi 4 Dusun, yaitu: Dusun Malibagbag, Dusun Sikebbukat, Dusun Simatoiming, dan Dusun Limu.
Pada awal mulanya masyarakat yang tinggal di Desa Saliguma berasal dari daerah Sila’Oinan. Daerah Sila’Oinan sendiri
berada di pedalaman atau biasa disebut daerah hulu, khususnya Sila’Oinan tengah karena sebagian penduduk Sila’Oinan berada di tengah dari aliran sungai yang menuju Salappa dan Rereiket. Perpindahan penduduk diawali dengan adanya program pembangunan sosial di Desa
Saliguma yang berlangsung dalam 3 Tahap. Tahap pertama antara tahun 1978 s/d 1979 sebagai Proyek Sosial Desa Binaan yang dinamakan Saliguma I. proyek tahap kedua pada tahun 1980 dan disebut Proyek Desa Binaan – Saliguma II. Terakhir pada tahun 1992 yang disebut Saliguma III. Setelah perpindahan penduduk, daerah Sila’Oinan dijadikan sebagai lahan pertanian‐ladang penduduk serta tempat pemeliharaan ternak, antara lain; ternak babi dan ayam.
2.1.3. Desa Katurei
Konon nenek moyang orang Katurei bersasal dari Simatalu, Kecamatan Siberut Utara yang kemudian tinggal dan berladang/beternak di Bat Kokok (Hulu sungai Katurei) pada saat ini disebut Pumaijat (perkampungan lama). Teluk Katurei merupakan daerah untuk mencari ikan dalam bahasa Mentawai disebut dengan Mutiop. Lambat laun orang Katurei mulai menetap di sekitar Teluk Katurei. Tempat yang menjadi pemukiman orang Katurei pertama kali adalah Dusun Tiop. Dalam bahasa Mentawai, Tiop berarti tempat mencari ikan. Sambil mencari ikan di sekitar teluk, masyarakat Tiop membuka ladang di daerah Toloulaggok dan Malilimok. Orang yang pertama membuka ladang di Tiop adalah dari suku Saruruk, kemudian disusul oleh suku Sauddeinuk, Samatobek dan Sabola. Kemudian mereka
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 11
menetap sejak tahun 1972. Pada tahun 1975 berdatangan suku lain dari Tiop dan Sarereiket, mereka adalah suku Sakeletuk, Sailo Koat, dan suku Betimongan asal Sarereiket.
Sementara di Malilimok, suku Sakerebau dan Sabelepangulu pembuka ladang pertama dan menetap di sana, disusul kemudian oleh suku Samatobe, Seleilei, Sabola. Melalui program dari Depsos PMKT di Malilimok pada tahun 1987, penduduk di daerah hulu tepatnya dari Simangkat
dipindahkan ke Sarausau yang kemudian menjadi salah satu dusun saat ini di wilayah Desa Katurei. Dusun Sarausau ini umumnya dihuni oleh mereka dari suku Sabubuk, Sagoilok, Siriabangan, Sirisokut, Berimanua, Saleilei, Sabola, dan Saruruk.
Bantuan yang diberikan Depsos adalah berupa bahan bangunan rumah ukuran 5 m x 6 m, yaitu kayu untuk tonggak sebanyak 6 batang, papan panjang 3 sebanyak 99 helai, papan panjang 2,5 m sebanyak 55 helai dan uang sebanyak Rp. 500.000,‐ untuk pembuatan atap sekaligus upah.
Secara administratif, Desa Katurei menjadi desa pada tahun 1983. Penjabat Kepala Desa ketika itu adalah Saverius Sabolak dengan Sekretaris Desa Lugai Manai. Pada Tahun 1983 pusat desa berada di Dusun Tiop. Sebelum menjadi Desa Katurei merupakan sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala kampung di bawah Wali Nagari yang saat itu berkedudukan di kecamatan. Kepala Kampung yang pernah menjabat di Desa Katurei adalah Siat Leleu menyusul Josua dan terakhir David. Tahun 1984 diadakan pemilihan Kepala Desa, dimana Lukas Saleilei terpilih menjadi Kepala Desa dengan Sekretaris Lugai Manai, menjabat dari tahun 1984 sampai 1989 dengan pusat desa di dusun Sarausau. Dari tahun 1989 sampai 2001 Kepala Desa Katurei di jabat oleh Lugai Manai, mantan Sekretaris Desa sebelumnya dan sekretarisnya adalah Antonius dan pemerintahannya tetap berpusat di Sarausau. Sejak
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 12
Tahun 2001 sampai sekarang pusat desa berada di dusun Malilimok dengan Kepala Desa Moses Sakeletuk dan Sekretaris Desa J.P. Sugiarto.
2.2. Kependudukan
Berdasarkan laporan dari BAPPEDA Mentawai tahun 2004 jumlah penduduk Siberut Selatan pada tahun 2001 adalah 14.966 jiwa, pertambahan jumlah penduduk semakin meningkat sampai tahun 2003 hingga pada tahun 2004 jumlah penduduk menjadi 17.525 jiwa.
Penduduk dalam hal ini akan dilihat dari tingkat pendidikan, agama dan aktivitas dan kegiatan didapatkan 70 % penduduk di daerah Siberut Selatan tidak tamat SD dan belum sekolah. Penduduk yang tamat SD sekitar 18,90 %, sedangkan yang tamat SLTA sekitar 4,71 %. Statistik pendidikan ini memberikan gambaran bahwa tingkat pendidikan penduduk secara umum masih sangat rendah. Namun demikian, terdapat penduduk yang menyelesaikan pendidikan sampai ke tingkat Srata 2 dan Strata 3.
Apabila dilihat jumlah penduduk berdasarkan agama maka didapatkan mayoritas penduduk di Siberut Selatan beragama Katolik selanjutnya diikuti oleh agama Islam dan Protestan. Dalam hal pelaksanaan ibadah agama, walaupun penduduk di daerah ini berbeda agama tetapi sampai saat ini menurut keterangan pihak kecamatan belum pernah terjadi konflik yang disebabkan karena perbedaan kepercayaan. Dengan demikian dapat dikatakan kerukunan umat beragama di daerah ini berjalan sangat kondusif.
Jumlah penduduk berdasarkan aktifitas dan jenis kegiatan dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu, 1). penduduk yang belum bekerja, tidak bekerja serta mengurus rumah tangga, 2). penduduk yang bekerja atau menerima pensiun dari pekerjaannya.
Penduduk kelompok pertama termasuk kelompok tidak produktif sehingga mereka merupakan beban bagi keluarga. Kelompok kedua merupakan kelompok produktif dan menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dari Tabel 1, dapat diketahui hampir 70 % penduduk Siberut Selatan mempunyai kegiatan mengurus rumah
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 13 tangga dan pelajar, sedangkan yang mempunyai kegiatan produktif hanya 30 %. Kondisi ini menggambarkan beratnya beban tanggungan keluarga dimana setiap tiga orang penduduk produktif menanggung tujuh orang penduduk yang tidak produktif. Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Aktifitas Dan Jenis Kegiatan Di Kecamatan Siberut Selatan
No Jenis Kegiatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%) 1 Belum/Tidak Bekerja 4.999 28,65 2 Mengurus Rumah Tangga 2.938 16,84 3 Pelajar 4.100 23,50 4 Pensiunan 10 0,06 5 Petani/Perkebun 4.362 25,00 6 Peternak 132 0,76 7 Nelayan/Perikanan 289 1,66 8 Industri 14 0,08 9 Konstruksi 3 0,02 10 Perdagangan 144 0,83 11 Transportasi 18 0,10 12 PNS 183 1,05 13 TNI/POLRI 14 0,08 14 Lainnya 243 1,39 Jumlah 17.449 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai 2003
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 14
Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui pekerjaan penduduk yang dominan adalah disektor pertanian dan perkebunan. Selanjutnya diikuti oleh nelayan dengan jumlah 289 jiwa dan PNS sejumlah 183 jiwa. Apabila dibandingkan antara luas perairan lautnya dengan jumlah nelayannya maka dapat dikatakan jumlah nelayan di daerah ini sangat sedikit.
2.3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana di Daerah Siberut Selatan ini adalah sarana pendidikan, fasilitas kesehatan, ibadah, olahraga, perhubungan, pelayanan jasa dan objek wisata. Uraian masing‐masing sarana dan prasarana tersebut adalah sebagai berikut.
Sarana pendidikan yang terdapat di daerah ini mulai dari TK sampai SLTA. Sarana untuk pendidikan SLTP dan SLTA berada di pusat kecamatan, sedangkan SD terdapat di seluruh desa. Jumlah murid Sekolah Dasar di daerah ini sebanyak 2742, SLTP sebanyak 616 dan SLTA 338. Apabila diasumsikan setelah tamat SD muridnya hanya melanjutkan ke SLTP di daerah ini dan setelah tamat SLTP hanya melanjutkan SLTA di daerah ini, berarti setiap murid SD yang melanjutkan ke SLTP hanya sekitar 22 % sedangkan murid SLTP yang melanjutkan ke SLTA hanya sekitar 55 %. Dapat juga dikatakan penduduk yang tamat SD yang melanjutkan tingkat pendidikan sampai ke SLTA adalah sekitar 13 %.
Sarana kesehatan yang terdapat di daerah ini berupa 1 unit puskesmas di pusat kecamatan dan puskesmas pembantu sebanyak 5 unit. Selain itu juga terdapat posyandu untuk melayani balita dan ibu anak. Jumlah sarana kesehatan dan jumlah tenaga medis dan paramedis.
Sarana peribadatan yang terdapat di daerah ini adalah berupa mesjid, musholla dan gereja di seluruh desa. Menurut keterangan kecamatan sarana peribadatan di daerah ini sudah cukup memadai. Begitu juga dengan sarana olahraga seperti lapangan sepak bola, lapangan volly ball terdapat di setiap desa. Lapangan bulu tangkis terdapat hanya di pusat kecamatan. Banyaknya lapangan sepak bola yang terdapat di daerah ini ikut mendukung perkembangan olah raga sepak bolanya. Hal ini dapat diketahui dari kesebelasan sepakbola yang berasal dari Siberut Selatan termasuk yang terkuat di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 15
Jalan aspal yang terdapat di Siberut Selatan hanya di ibukota kecamatan sepanjang 16 km, sedangkan jalan desa umumnya telah disemenisasi. Sesuai dengan letak geografisnya sarana angkutan yang dominanan adalah kapal laut dan perahu motor, sedangkan untuk angkutan di pusat kecamatan dan antar desa umumnya adalah perahu motor. Pusat kecamatan di Muara Siberut terdapat kantor pos, wartel dan PLN. Selain itu juga terdapat penginapan dan rumah makan. Beberapa perairan Siberut merupakan objek wisata bahari terutama untuk selancar (surfing), yang banyak dikunjungi oleh turis mancanegara.
Tabel 2. Aksessibilitas dari Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurai ke Pusat Kecamatan No Aksesibilitas
Jarak (Km)
Saibi Samukop Saliguma Katurei
1 Jarak
a. Pusat Kecamatan 42 35 25
b. Pusat Kabupaten 112 105 75
c. Pusat Propinsi 188 181 180
2 Transportasi ke Pusat Kecamatan a. Armada Boat pedagang/ Kapal ikan Boat Pedagang/ Kapal ikan Boat Pedagang/ Kapal antar Pulau
b. Waktu tempuh 2 – 3 jam 2 – 3 jam 1 – 3 jam
c. Frekuensi / minggu 1 – 3 kali 1 – 3 kali 2 – 4 kali Sumber : BPS Kabupaten Mentawai 2003
2.4. Sosial‐Ekonomi Penduduk
Keadaan sosial ekonomi penduduk yang dilihat adalah penduduk menurut mata pencaharian, pendapatan dan pengeluaran. Selain itu juga diamati kondisi perumahan, dengan jalan mengumpulkan data sekunder, serta informasi dari masing‐masing kepala desa binaan COREMAP II.
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 16
Jumlah penduduk Desa Saibi Samukop sebanyak 2.495 jiwa dimana penduduk
terbanyak terdapat di Dusun Saibi Muara dan yang paling sedikit terdapat di Dusun Sua. Jumlah penduduk Desa Saliguma pada tahun 2005 sebanyak 1697 jiwa. Mayoritas penduduk Desa Saliguma adalah warga asli Mentawai (99,46%), selebihnya terdiri dari etnis Batak, Minang dan Jawa. Di Desa Katurei jumlah penduduk sebanyak 1854 jiwa
Untuk lebih jelasnya jumlah penduduk pada setiap dusun pada masing‐masing desa dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Jumlah Dusun dan Penduduk di Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurei Kecamatan Siberut Selatan Tahun 2005
Desa Saibi Samukop Desa Saliguma Desa Katurei Nama Dusun Jumlah Pddk Nama Dusun Jumlah
Pddk
Nama Dusun
Jumlah Pddk
Saibi Muara 690 jiwa Sikebbukat 598 jiwa Tiop 469 jiwa Saibi Hulu 690 jiwa Simatoimiang 377 jiwa Sarausau 458 jiwa Masoggunai 189 jiwa Malibagbak 460 jiwa Torolagog 370 jiwa Pangasatat 212 jiwa Limu 207 jiwa Malilimok 557 jiwa
Simoi Laklak 460 jiwa Gotap 55 jiwa
Sibuda Oinan 165 jiwa
Totoet 162 jiwa
Sua 138 jiwa
Total 2.495 Jiwa 1697 Jiwa 1854 Jiwa
Sumber: Kepala Desa 2005
Sesuai dengan letak geografisnya, mata pencaharian penduduk di masing‐masing dusun tidak sama, walaupun secara umum mata pencaharian penduduk di ketiga desa ini adalah sebagai petani. Mata pencaharian penduduk Desa Saibi Samukop secara umum dapat dibedakan atas pertanian (perkebunan) yang dominan adalah kelapa, cengkeh, manau, ubi, coklat, nilam dan pinang. Dari delapan dusun yang terdapat di Desa Saibi
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 17
Samukop, usaha perikanan dominan terdapat di Dusun Totoet dan Dusun Sibuda Oinan. Di dusun ini hampir 50 % penduduknya berusaha sebagai nelayan sedangkan 25 % sebagai petani kebun dan 25 % lainnya berusaha sebagai pencari kayu dan pengumpul hasil hutan. Penduduk di dusun lainnya sebagian besar berusaha sebagai petani kebun, sedangkan pekerjaan nelayan hanya merupakan pekerjaan sambilan bagi sebagian kecil masyarakatnya.
Mata pencaharian penduduk Desa Saliguma yang dominan adalah sebagai petani seperti berladang dan berkebun. Usaha tani yang utama adalah nilam, cengkeh dan manau. Selain itu, masyarakat juga mengusahakan kebun pisang, kelapa, tebu dan coklat. Usaha peternakan adalah ayam, sapi dan babi.
Usaha perikanan hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat. Menurut keterangan kepala desa, jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan hanya 12 jiwa dan umumnya bermukim di dusun Malibagbak. Namun demikian, sebagian lagi masyarakat petaninya juga melakukan usaha sambilan menangkap ikan. Usaha penangkapan ikan dilakukan di sungai‐sungai dan laut, terutama di sekitar perairan Teluk Sarabua. Alat penangkapan terdiri dari pancing dan jaring dengan armada yang digunakan adalah sampan.
Mata pencaharian penduduk Desa Katurei secara umum adalah berkebun dan nelayan. Penduduk Desa Katurei umumnya berkebun kelapa, nilam dan cengkeh. Sedangkan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing dan jaring. Namun, ada juga sebagian nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan putas. Untuk lebih jelasnya mata pencaharian penduduk masing‐masing desa dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Mayoritas penduduk di daerah studi bekerja sebagai petani, berladang dan berkebun. Selain itu penduduk juga bekerja sebagai pencari kayu hutan. Penduduk yang bekerja sebagai nelayan jumlahnya relatif kecil baik di Desa Saibi Samukop, Saliguma maupun Katurei. Menurut keterangan kepala desa pada dasarnya penduduk Mentawai adalah petani, walaupun bermukim di pesisir pantai. Usaha menangkap ikan hanya merupakan usaha sambilan dan terbatas untuk konsumsi keluarga. Pada awal tahun
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 18
sembilan puluhan sebagian masyarakat telah melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utama. Walaupun jumlah masyarakat yang bekerja sebagai nelayan relatif sedikit, apabila dikaitkan dengan potensi sumber daya perikanannya.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurei Kecamatan Siberut Selatan Tahun 2006
No Jenis Pekerjaan
Saibi Samukop Saliguma Katurei Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk
1 Petani/Ladang/Kebun 810 jiwa 924 jiwa 920 jiwa 2 Pencari kayu (buruh kayu) 95 jiwa 18 jiwa 51 jiwa
3 Nelayan 28 jiwa 12 jiwa 32jiwa
4 Karyawan 80 jiwa 7 jiwa 22 jiwa
5 Lain‐lain 120 jiwa 9 jiwa 21 jiwa
Jumlah 1133 Jiwa 970 Jiwa 1046 Jiwa
Sumber : Kepala Desa
Pendapatan keluarga di Desa Saibi Samukop berkisar antara Rp. 560.000 ‐ Rp 850.000. Pendapatan tertinggi umumnya berasal dari masyarakat yang berusaha di bidang kehutanan (mencari kayu), namun akhir‐akhir ini dengan adanya kebijaksanaan pemerintah tentang pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan maka usaha mencari kayupun semakin berkurang. Desa Saibi Samukop merupakan areal HPH Koperasi Andalas Padang. Penduduk yang mempunyai pendapatan yang relatif kecil umumnya berusaha di bidang perkebunan, dimana semakin sedikit luas kebun yang dimiliki akan semakin kecil pendapatan sebaliknya semakin besar luas
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 19
kebun yang dimiliki akan semakin besar pula jumlah pendapatan mereka. Pendapatan nelayan rata‐rata setiap bulannya berkisar antara Rp. 500. 000 ‐ Rp. 650.000.
Tabel 5. Persentase Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Saibi Samukop, Saliguma dan Katurei Kecamatan Siberut Selatan Tahun 2006
No Jenis Pekerjaan
Saibi Samukop Saliguma Katurei Persentase Persentase Persentase
1 Petani/Ladang/Kebun 71.50 % 95.26 % 87.96 % 2 Pencari kayu (buruh kayu) 8.38 % 1.86 % 4.88 % 3 Nelayan 2.47 % 1.23 % 3.05 % 4 Karyawan 7.06 % 0.72 % 2.11 % 5 Lain‐lain 10.59 % 0.93 % 2.00 % Jumlah 100 % 100 % 100 % Sumber : Kepala Desa
Pengeluaran terbesar penduduk adalah untuk konsumsi, dimana 56% jumlah pendapatan penduduk Desa Saibi dikeluarkan untuk konsumsi. Pengeluaran lainnya yang mempunyai porsi cukup besar adalah untuk pendidikan sekitar 14 %, perumahan 6 %, sandang 6 %, sosial dan lainnya sekitar 18 %.
Berdasarkan persentase tingkat pengeluaran dapat diketahui tingkat kesejahteraan masyarakatnya, dimana semakin besar persentase pengeluaran untuk konsumsi maka semakin rendah tingkat kesejahteraannya. Menurut keterangan Kepala Desa Saibi sampai saat ini belum ada penduduk yang kekurangan pangan atau rawan pangan. Hal ini disebabkan karena masih luasnya lahan yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan seperti pisang, keladi, sagu, maupun tanaman pangan lainnya.
Tingkat kesejahteraan penduduk di Desa Saibi, Saliguma dan Katurei dapat dilihat dari kondisi perumahan yang sebagian besar merupakan rumah papan. Hal ini disebabkan karena kayu sebagai bahan pembuat rumah cukup mudah didapat di daerah ini. Sebaliknya, untuk membangun rumah batu yang permanen harganya relatif mahal karena seluruh
Yayasan Minang Bahari (SANARI) 20
bahan bakunya didatangkan dari luar daerah (Padang) kecuali pondasi dan kerikil yang berasal dari batu karang di sekitar daerah tersebut. Untuk lebih jelasnya kondisi perumahan di Desa Saibi, Saliguma dan Katurei sebagian besar rumah masyarakat terbuat dari kayu, baik dinding maupun lantainya, sedangkan atap rumah yang dominan adalah seng dan rumbia. Rumah masyarakat memiliki model seperti rumah panggung dengan atap seng dan rumbia. Rumah tersebut memiliki satu sampai dua kamar, satu ruang tamu dan satu dapur.
Rumah penduduk pada umumnya memanjang dan tersusun di kiri kanan ruas jalan di desa tersebut. Sebagian rumah telah mengalami perbaikan seperti atap, dinding dan lantai. Perubahan umumnya terjadi pada pondasi dengan menggunakan batu yang berasal dari terumbu karang. Di pusat desa model perumahan tidak lagi menurut rumah tradisional, bahkan sebagian telah merubahnya dengan perumahan mirip di kota.
Sarana penerangan di pusat desa berasal dari genset yang dimiliki oleh masyarakat, namun sebagian besar masih menggunakan lampu teplok (lampu minyak tanah) untuk penerangan rumah, sedangkan sumber air bersih umumnya terdapat di sekitar rumah berupa sumur galian dan sebagian ada juga yang menampung air hujan untuk air minum.
21
3. ANALISIS EKONOMI
Janis usaha yang terkait dengan sektor perikanan dan kelautan sebenarnya cukup banyak dan beragam. Secara umum dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yakni Usaha Penangkapan, Pengolahan hasil prikanan, distribusi, dan pemasaran. Kelompok usaha ini secara langsung terkait dengan keberadaan sumberdaya perikanan. Sedangkan usaha lain yang masih terkait dengan sumberdaya pesisir dan laut adalah usaha jasa kepariwisataan, dan jasa jasa transportasi.
Selain jenis usaha yang terkait langsung dengan hasil laut, beberapa usaha lainnya dapat dikembangkan oleh masyarakat pesisir dalam mendukung usaha yang berbasis hasil laut. Usaha‐usaha tersebut dapat berupa usaha peternakan, kerajinan dan lainnya.
Jenis usaha atau matapencaharian utama yang digeluti masyarakat saat ini di lokasi studi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yakni : 1. Usaha tangkap, 2. Usaha pengolahan, 3. Usaha budidaya, 4. Usaha jasa 3.1 Desa Saibi Samukop Berdasarkan hasil survey diperoleh informasi bahwa 52% responden di kawasan Saibi Samukop berprofesi sebagai nelayan dan sementara itu yang berprofesi sebagai petani 36% dan sisanya 12% berprofesi lainnya.
Hasil survey memperkirakan usaha alternatif yang berpeluang untuk dikembangkan berdasarkan minat dan keinginan masyarakat adalah budidaya rumput laut, pengolahan, budidaya perikanan, usaha mikro dan kerajinan.
22
Tabel 3.1 Prioritas Usaha Berdasarkan Minat Masyarakat di Desa Saibi Samukop
Usaha Alternatif Prioritas Skor Kategori
Budidaya Rumput Laut 1 4 Sangat Baik Pengolahan Ikan 2 3 Baik Budidaya Perikanan 3 2 Kurang Baik Usaha Mikro 4 1 Sangat Kurang Baik Kerajinan 4 1 Sangat Kurang Baik Sumber : Data Diolah, 2009 Budidaya rumput laut menempati prioritas pertama dengan skor 4 dan kategori sangat baik., pengolahan ikan diperkirakan menempati urutan kedua dengan skor 3 diikuti usaha budidaya perikanan dengan skor 2 serta usaha mikro dan kerajinan menempati urutan terakhir dengan skor 1.
3.1.1 Minat Masyarakat Desa Saibi Samukop terhadap Beberapa Mata Pencaharian Alternatif
1. Minat Masyarakat terhadap Budidaya Rumput Laut
Minat masyarakat terhadap budidaya rumput laut disamping harganya cukup bagus, juga mempunyai periode produksi yang cukup singkat dan bisa 6 kali panen dalam setahun. Selain masa panen yang cukup pendek di Desa Saibi Samukop sangat tepat untuk budidaya rumput laut karena lahan yang cukup luas 184,2 Ha untuk pengembangan budidaya serta mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan.
1. Minat Masyarakat terhadap Pengolahan Ikan
Usaha pengolahan ikan ini di Desa Saibi Samukop yaitu pengolahan ikan kering. Sebahagaian responden mengajukan proposal usaha alternatif pengolahan ikan ini. Responden termotivasi untuk berusaha dibidang pengolahan karena ketersediaan bahan baku, selain itu juga disebabkan oleh pemasaran yang cukup menjanjikan.
23 Pengembangan usaha pengolahan hasil laut diperlukan jaringan yang saling mendukung dan
menguntungkan antara industri pengguna dengan industri pendukung serta industri terkait lainnya melalui kerjasama dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta maupun lembaga lainya termasuk perguruan tinggi dan lembaga litbang.
2. Minat Masyarakat terhadap Budidaya Perikanan
Usaha budidya perikanan keramba jaring apung masih sangat terbatas apalagi dikaitkan dengan potensi yang tersedia. Berbagai macam jenis kerapu merupakan jenis yang disukai di restoran sehingga jenis ini menjadi komoditas komersial. Ada beberapa jenis kerapu yang biasa diperdagangkan yaitu kerapu tikus (Cromileptes altivelis), kerapu lodi (Plectropomus leopardus), kerapu sunuk (P. maculatus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu lumpur (E. suillus). Minat masyarakat terhadap budidaya ikan kerapu cukup besar, disamping harganya yang cukup menggiurkan, kondisi laut di Desa Saibi Samukop juga sangat mendukung karena tenang dan jauh dari gangguan arus lalulintas laut. Namun demikian yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, bahwa investasi untuk keramba jaring apung sebagai tempat budidaya ikan kerapu juga sangat besar.
3. Minat Masyarakat terhadap Usaha Mikro (Jasa Transportasi)
Usaha jasa transportasi yang diminati oleh masyarakat adalah jasa transportasi laut (pompong). Usaha ini untuk membantu mobilitas masyarakat disekitar dalam melakukan aktifitas dari satu dusun kedusun lain yang ada di Desa Saibi Sumakop yang memerlukan jasa transportasi laut.
3.1.2 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Bahan Baku
24 pengembangan usaha alternatif bagi masyarakat nelayan adalah pertimbangan faktor
ketersediaan bahan baku. Faktor ini tidak hanya dapat menentukan tingkat keuntungan usaha, bahkan dapat menentukan keberlangsungan (sustainable) dan pengembangan usaha alternatif tersebut lebih lanjut. Ketersediaan bahan baku yang dikaji dalam studi ini adalah ketersediaan bahan baku yang berkaitan dengan masing‐masing usaha alternatif yang telah disusun berdasarkan minat masyarakat untuk dikembangkan.
Berdasarkan wawancara mendalam dan observasi langsung di lokasi studi Desa Saibi Samukop, diperkirakan usaha alternatif yang berpeluang untuk dikembangkan berdasarkan pertimbangan ketersediaan bahan baku, adalah budidaya rumput laut, pengolahan ikan, dan usaha mikro (jasa transportasi) diperkirakan menempati prioritas pertama dengan skor 4, ketagori sangat baik. Selanjutnya budidaya perikanan dan usaha kerajinan diperkirakan menempati prioritas kedua dengan skor 2, kategori kurang baik
Tabel 3.2 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Bahan Baku
Usaha Alternatif Prioritas Skor Kategori
Budidaya Rumput Laut 1 3 Baik Pengolahan Ikan 1 4 Sangat Baik Budidaya Perikanan 2 2 Kurang Baik Usaha Mikro 1 4 Sangat Baik Kerajinan 2 2 Kurang Baik Sumber : Data Diolah, 2009 1. Ketersediaan Bahan Baku untuk Budidaya Rumput Laut
Sumber permodalan untuk usaha budidaya diharapkan oleh responden berasal dari bantuan pemerintah, meskipun pada dasarnya jumlah modal yang dibutuhkan untuk usaha ini tidak begitu besar dan masih bisa diusahakan oleh keluarga nelayan.
25 agak sulit diperoleh namun masih dapat diusahakan di tempat lain. Diperkirakan bibit
rumput laut masih bisa didatangkan dari luar lokasi. Unsur pendukung lainnya adalah perairan yang tenang, terlindung dari pengaruh angin dan gelombang.
2. Ketersediaan Bahan Baku untuk Pengolahan Ikan
Usaha pengolahan ikan yang ditemui di desa studi adalah pengolahan ikan kering. Bahan baku utama untuk pengolahan ikan ini adalah garam, ikan dan tempat penjemuran. Semua bahan‐bahan ini senantiasa tersedia di lokasi studi dan dengan mudah diperoleh. Ikan sebagai bahan baku biasanya dapat berupa hasil tangkapan sampingan nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing, dan alat tangkapan lainnya.
3. Ketersediaan Bahan Baku untuk Budidaya Perikanan
Ketersediaan benih ikan yang akan dibudidayakan di lokasi ini walaupun diperoleh dari daerah lain namun diperkirakan cukup tersedia dari hatchery yang sudah dibangun oleh pemerintah pada tahun 2006 lalu. Dan juga diperkirakan bibit ikan tersebut masih tersedia secara alami, karena diperoleh informasi dari nelayan, bahwa masih selalu diperoleh bibit tersebut melalui alat tangkap yang mereka operasikan.
Sementara pakan yang digunakan sebagai makanan ikan yang dibudidayakan sangat mudah didapatkan, seperti ikan hasil tangkapan serta ikan‐ikan dan hewan‐hewan lainnya yang terdapat dipinggir pantai.
26 mendukung untuk pengembangan usaha budidaya ikan dalam keramba jaring apung.
Kondisi ini dapat dilihat dari tingkat kecerahan dan kejernihan air laut di daerah ini, serta terdapatnya bahagian laut yang agak terlindung dari hempasan gelombang yang besar, karena terlindungi oleh pulau‐pulau di sekitarnya.
4. Ketersediaan Bahan Baku untuk Usaha Mikro
Usaha mikro yang dimaksud dalam mata pencaharian alternatif ini, berdasarkan observasi lapangan adalah jasa transportasi. Kegiatan usahanya berupa jasa pengangkutan dengan pompong dari satu dusun ke dusun lainnya. Ketersediaan bahan baku yang akan digunakan diperkirakan cukup tersedia. Tidak semua bahan baku tersedia dilokasi, namun masih bisa diusahakan untuk dapat didatangkan dari Padang.
3.1.3 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Tenaga Kerja
Berdasarkan pertimbangan ketersediaan tenaga kerja untuk masing‐masing usaha alternatif yang akan dikembangkan dapat pula disusun menurut prioritasnya Penentuan rioritas ini lebih ditentukan oleh waktu luang yang tersedia serta waktu dan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola dari masing‐masing usaha yang akan dikembangan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, dapat diperkirakan usaha alternatif yang berpeluang untuk dikembangkan berdasarkan prioritas pertimbangan tenaga kerja yang tersedia adalah: usaha budidaya rumput laut, pengolahan ikan, serta usaha mikro diperkirakan menempati prioritas pertama dengan skor 4, kategori sangat baik, sedangkan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung menempati prioritas kedua dengan skor 3, dan kerajinan diperkirakan menempati prioritas ketiga dengan skor 2,
27
Tabel 3.3 Pertimbangan Berdasarkan Ketersediaan Tenaga Kerja
Usaha Alternatif Prioritas Skor Kategori
Budidaya Rumput Laut 1 4 Sangat Baik Pengolahan Ikan 1 4 Sangat Baik Budidaya Perikanan 2 3 Baik Usaha Mikro 1 4 Sangat Baik Kerajinan 3 2 Kurang Baik Sumber : Data Diolah, 2009 1. Ketersediaan Tenaga Kerja untuk Budidaya Rumput Laut
Unsur pendukung lain selain bahan baku yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah ketersediaan SDM atau tenaga kerja. Tenaga kerja untuk usaha budidaya rumput laut bisa berasal dari anggota keluarga nelayan sendiri, yang kebanyakan tidak memiliki aktivitas ekonomis lain, sehingga dapat dialokasikan untuk membantu usaha. Meskipun kurang terampil namun untuk usaha budidaya rumput laut cenderung tidak membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang spesifik.
2. Ketersediaan Tenaga Kerja untuk Pengolahan Ikan
Selain faktor ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja juga sangat penting dalam mengembangkan usaha yang akan dikembangkan. Usaha pengolahan ikan dapat dilakukan dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga yang produktif yang belum dimanfaatkan. Dengan kata lain dalam kegiatan pengolahan ikan ini dapat memanfaatkan waktu luang kepala keluarga, ibu rumah tangga, dan juga anak‐anak yang telah dapat membantu bekerja. Untuk usaha pengoalahan ikan ini di lokasi studi, anak‐anak yang telah berusia 10 tahun ke atas telah dapat membantu orang tuanya. Dengan demikian tenaga kerja yang tersedia untuk usaha ini cukup besar.
28 3. Ketersediaan Tenaga Kerja untuk Budidaya Perikanan
Usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung ini dapat memanfaatkan waktu luang nelayan, ketika tidak melaut atau menangkap ikan. Disamping itu, juga dapat memanfaatkan tenaga anggota keluarganya. Tugas sehari‐hari yang akan dilakukannya berupa pemberian pakan, pengendalian hama dan pemeriksaan kondisi lingkungan. Untuk usaha ini anak laki‐laki yang telah berumur di atas 15 tahun dapat membantu orang tuanya, baik untuk ikut menangkap ikan di laut, maupun membantu pekerjaan lainnya semampunya.
4. Ketersediaan Tenaga Kerja untuk Usaha Mikro
Selain faktor ketersedian bahan baku, usaha jasa transportasi ini tidak memerlukan banyak tenaga kerja, karena usaha ini didaerah studi merupakan usaha perorangan. Dari segi waktu untuk tenaga kerja usaha mikro ini termasuk fleksibel sehingga seluruh anggota keluarga bisa terlibat dalam pengembangan usaha ini.
3.1.4. Pertimbangan Berdasarkan Peluang Pasar
Prioritas usaha alternatif berdasarkan pertimbangan peluang pasar didasarkan pada jangkauan pemasarannya, maka dapat disusun prioritas usaha alternatif yang memungkinkan untuk dikembangkan. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan diperkirakan usaha alternatif yang layak dikembangkan di lokasi studi adalah: Usaha budidaya rumput laut, Usaha pengolahan ikan, dan usaha mikro diperkirakan menempati prioritas pertama dengan skor 4, kategori sangat baik. Sedangkan budidaya ikan kerapu dalam keramba diperkirakan menempati
29 prioritas kedua, dengan skor 3, kategori baik. Kemudian usaha kerajinan diperkirakan
menempati prioritas ketiga, dengan skor 2, kategori kurang baik.
Tabel 3.4 Pertimbangan Berdasarkan Peluang Pasar
Usaha Alternatif Prioritas Skor Kategori
Budidaya Rumput Laut 1 4 Sangat Baik Pengolahan Ikan 1 4 Sangat Baik Budidaya Perikanan 2 3 Baik Usaha Mikro 1 4 Sangat Baik Kerajinan 2 2 Kurang Baik Sumber : Data Diolah, 2009 1. Peluang Pasar untuk Usaha Budidaya Rumput Laut Adanya potensi pasar rumput laut yang sangat luas tentunya dapat menjadi entry point bagi industri rumput laut di lokasi studi, khususnya di Desa Saibi Samukop. Kebutuhan bahan baku rumput laut yang juga diprediksi meningkat akan membuka peluang lebih besar bagi para petani rumput laut untuk lebih bergairah dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Tahap panen dan pasca panen merupakan tahap yang juga penting untuk diperhatikan. Pemanenan yang terlalu muda hanya akan menghasilkan produk dengan kualitas rendah yang pada gilirannya akan sulit untuk menembus pasar. Hal ini dapat diatasi melalui pola kemitraan antara petani dan perusahaan yang berorientasi ekspor. Dengan pola kemitraan ini, petani akan mendapatkan bantuan teknis pemeliharaan, sehingga akan dapat menghasilkan produk yang memenuhi standar ekspor. Di Kabupaten Kepuluan Mentawai, pola‐pola seperti ini sedang dan akan terus dikembangkan, sehingga sangat membantu upaya‐upaya peningkatan ekonomi rakyat melalui investasi usaha kecil.
2. Peluang Pasar untuk Usaha Pengolahan Ikan