• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Perundingan mengenai sektor pertanian pada tingkat WTO sudah dimulai sejak Putaran Uruguay tahun 1995. Perundingan tersebut memiliki agenda tentang pembukaan pasar bagi setiap negara, penurunan tingkat tarif perdagangan, pengurangan bantuan domestik dan bantuan ekspor bagi produk-produk pertanian. Para anggota WTO melakukan pertemuan kembali di Doha, Qatar, yang menyepakati Doha Development Agenda pada November 2001. Doha

Development Agenda bertujuan untuk membuka negosiasi pasar di bidang

pertanian, barang-barang manufaktur dan jasa.1 Pertemuan yang dihadiri oleh 121 perwakilan negara tersebut juga bertujuan untuk meminimalkan hambatan-hambatan perdagangan dunia. Dengan demikian, diharapkan akan menciptakan peningkatan perdagangan internasional antar negara dan antar regional, yang dalam hal ini pada produk-produk pertanian pada khususnya.

Putaran Doha juga mengagendakan perundingan tentang pembuatan aturan-aturan perdagangan yang lebih adil terhadap negara-negara berkembang. Negara berkembang merupakan bagian dari komunitas internasional yang juga dapat melakukan kegiatan perekonomian dan berhak mendapatkan manfaat dari perdagangan internasional. Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional yang dimaksud, diperlukan suatu aturan-aturan yang mengikat dan adil yang tidak merugikan negara berkembang di satu pihak, dalam hal ini terutama di sektor pertanian.

Perbedaan pandangan dan pendapat terjadi antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang tentang kebijakan pertanian dalam perdagangan internasional. Perbedaan pendapat dalam proposal terlihat antara negara-negara maju yang dipeloporioleh Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (UE) dan Jepang, dan

1 BBCNews (2009). Timeline: World Trade Organization. 7 Maret 2009. http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/country_profiles/2430089.stm

(2)

negara-negara berkembang, seperti India, Brazil, Cina dan Afrika Selatan, termasuk Indonesia didalamnya.2

Kendala yang dihadapi dalam perundingan sektor pertanian di WTO tersebut adalah negara maju, khususnya UE, tetap mempertahankan subsidi pertanian yang diberikan kepada para petani di negara-negara anggota UE. Hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat komoditas pertanian dari negara berkembang ke negara maju karena harga yang tidak dapat bersaing. Keadaan seperti ini akan menciptakan perdagangan antar negara yang tidak adil. Pemberlakuan subsidi di negara-negara anggota UE mencerminkan tindakan proteksi negara dan regional pada sektor tersebut.

Terlebih lagi, AS dan UE mendesak agar negara-negara berkembang membuka pasar sebesar-besarnya untuk barang-barang pada sektor manufaktur, yaitu dengan menurunkan tarif pada sektor perindustrian. Sedangkan negara-negara berkembang menginginkan AS dan UE menghapus kebijakan subsidi dan menurunkan tingkat tarif pada sektor pertanian.3

The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) artikel XVI Section B menyatakan bahwa subsidi pada produk ekspor apapun akan mengakibatkan

dampak yang merugikan bagi pihak lain. Hal ini karena produk yang menerima subsidi akan memiliki daya saing yang lebih baik, dilihat dari segi harga dan kualitas, jika dibandingkan dengan produk yang tidak mendapatkan subsidi.4 Dengan demikian, sudah pasti mekanisme perdagangan semacam itu tidak akan mencerminkan perdagangan yang sempurna dan adil karena terdapat pihak yang “diistimewakan”.

UE5memiliki Common Agricultural Policy (CAP) yang pada dasarnya merupakan suatu kebijakan subsidi pertanian yang sistematik hingga saat ini. Komisi Eropa mengalokasikan dana untuk CAP sekitar43 juta euro setiap

2Hanrahan, Charles E., & Schnepf, Randy. (2007). WTO Doha Round: The Agricultural Negotiations. Congressional Research Service.

3 BBCNews (2008). World Trade Talks End in Collapse. 15 April 2009. http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7531099.stm

4 Tercantum didalam General Agreement on Tariffs and Trade, 1986, Text of the General Agreement, Geneva.

(3)

tahunnya,6dengan mengalokasikan hampir sekitar 44% dari anggaran tahun 2005 untuk menjamin harga minimum yang melindungi sektor pertanian. Komisi Eropa juga memberlakukan tarif dan kuota terhadap barang-barang impor tertentu dari luar Eropa. Tujuannya adalah menjamin produksi pangan yang stabil dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani di negara-negara Eropa.7

Secara historis gagasan CAP sangat terkait dengan komitmen untuk membentuk Common Market yang ditandatangani melalui Traktat Roma 1957. Hal ini ditandai dengan setelah tiga tahun Traktat Roma ini dibentuk, yaitu pada tahun 1960, komisi Eropa melontarkan gagasan untuk menciptakan CAP tersebut. Gagasan ini kemudian diresmikan dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1962. Kepentingan Eropa dalam CAP tampaknya juga dipengaruhi oleh membanjirnya produk-produk impor di dalam pasar Eropa pada tahun 1960-an. Terdapat kekhawatiran jika pemerintah tidak memberikan subsidi melalui CAP, maka produsen pertanian Eropa akan tidak mampu bersaing, sehingga membahayakan sektor pertanian. Motif perlindungan pada sektor pertanian tersebut tersirat dari artikel 33 (39) Traktat Komunitas Ekonomi Eropa (Traktat Roma 1957).

Article 33 (39) of the EC Treaty (Treaty of Rome 1957) sets out the internal objectives of the CAP: to increase agricultural productivity by

promoting technical progress and ensuring the optimum use of the factors of production, in particular labour; to ensure a fair standard of living for farmers; to stabilise markets; to assure the availability of supplies; to ensure reasonable prices for consumers.8

Mengacu pada ketentuan yang termuat dalam artikel 33 (39) tersebut, CAP bertujuan untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Hal tersebut dapat dicapai dengan memberikan bantuan teknik dan menjamin secara maksimal penggunaan faktor-faktor produksi, terutama tenaga kerja; menjamin standar hidup yang layak bagi petani; menciptakan stabilisasi pasar; menjamin ketersediaan produk pertanian; dan menjamin harga yang terjangkau bagi konsumen.

6 BBCNews (2008). Q&A: Common Agricultural Policy. 10 Mei 2009. http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4407792.stm

7 Bretherton, Charlotte., & Vogler, John. (1999). The European Union as a Global Actor. New York: Routledge. Hal. 53.

8 European Parliament (2001). European Parliament Fact Sheets: The Treaty of Rome and Green Europe. 26 April 2009. http://www.europarl.europa.eu/factsheets/4_1_1_en.htm

(4)

Lima tujuan besar tersebut yang termuat dalam artikel 33 (39) Komisi Eropabertentangan dengan wacana pasar bebas yang berlaku dalam WTO. Bantuan keuangan seperti subsidi bagi faktor produksi maupun bantuan ekspor tersebut merupakan kebijakan proteksi suatu negara. Melalui kasus ini dapat terlihat bahwa CAP sangat menguntungkan produsen pertanian negara-negara anggota UE dengan melindungi petani-petani domestik Eropa dan mendiskriminasikan produk pertanian negara-negara berkembang (negara bukan anggota UE). Hal ini, sehingga, menciptakan mekanisme perdagangan internasional yang tidak merugikan di pihak negara berkembang.Produk pertanian negara-negara berkembang tidak dapat berkompetisi, karena harganya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produk negara anggota UE.

Disamping itu, dengan adanya pemberian bantuan subsidi, hasil produksi pertanian UE selalu mengalami kelebihan atau surplus. Berlebihnya hasil produksi tersebut menyebabkan terjadinya dumping komoditas pertanian, dengan 'dibuang' (dumped) ke negara lain.9 Sehingga, kasus tersebut sangat mengganggu stabilitas perdagangan internasional terutama di negara-negara penerima produk

dumping tersebut. Jadi, tidak mengherankan jika harga jualnya akan jauh lebih

rendah di pasaran internasional.

Diplomasi dan negosiasi yang dilakukan olehKomisi Eropadalam perundingan WTO merupakan suatu refleksi kepentingan negara-negara anggotanya. Dengan kata lain, keputusan dan kebijakan Komisi Eropamemungkinkan dibuat berdasarkan kepentingan konstituensi domestik (aktor-aktor domestik) dari negara anggota.Posisi di meja perundingan merupakan hasil dari proses konsultasi di tingkat domestik negara anggota dan juga di tingkat regional Eropa. Diplomasi UE ke dalam (negara-negara anggota) dan juga ke luar (negara-negara anggota WTO) terlihat mampu mempengaruhijalannya perundingan WTO sektor pertanian pada kurun waktu tersebut. Kegigihan dan negosiasi Komisi Eropadalam memperjuangkan CAP merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya deadlock dalam perundingan tersebut. Perundingan WTO mengalami kemacetan sejak tahun 2003, hingga sampai

9 Wiarda, Howard. J. (2001). European Politics in the Age of Globalization. Orlando, Florida: Harcourt College Publisher.

(5)

saatnya di adakan pertemuan tingkat menteri pada tahun 2005.Hal ini karena terdapat ketidaksepakatan mengenai pencabutan subsidi pertanian yang dilakukan oleh negara-negara maju dalam keanggotaan UE.

Pada pertemuan tingkat menteri WTO di Hongkong, Desember 2005, menyepakati semua subsidi untuk ekspor pertanian negara maju dihapus pada 2013, yang didukung penuh oleh Komisi Eropa. Pada posisi lain, negara-negara berkembang meminta subsidi tersebut sudah harus dihapuskan sepenuhnya pada 2010. Pencapaian kesepakatan itu bukan sebuah terobosan mengejutkan, karena memang sebelumnya Komisi Eropa telah mengatakan akan mempertahankan subsidi pertanian hingga 2013.10 Hal tersebut memang sudah menjadi wacana yang ditetapkan oleh Komisi Eropa untuk mempertahankan CAP. Dengan demikian, dapat terlihat begitu kuatnya posisi Komisi Eropa melalui negosiasi-nya dalam perundingan perdagangan WTO pada studi kasus CAP .

1.2. Permasalahan

Perspektif liberal dalam ekonomi politik berkaitan dengan ajaran

“Laissez-faire, Laissez-passer”, oleh Adam Smith, “biarkan bekerja, biarkan lewat”.11

Kegiatan ekonomi, terdapat perdagangan bebas didalamnya, dibiarkan bergerak dan akan berkembang dengan bebas jika negara tidak menghalanginya dengan memberi batasan-batasan tertentu. Perdagangan bebas menolak adanya bentuk kebijakan subsidi sebagai bantuan dalam kegiatan perdagangan internasional, sama seperti yang dikatakan oleh Milton Friedman.12 Joseph E. Stiglitz menambahkan bahwa dengan pemberian bantuan berupa subsidi merupakan suatu bentuk kebijakan proteksi suatu negara.13Penolakan terhadap bantuan subsidi sebagai kebijakan proteksi tersebut ditujukan agar perekonomian berjalan dengan sendirinya tanpa ada turut campur pemerintah yang akan mendorong kepada

10 Kompas (2005). Subsidi Pertanian Akan Dicabut. 1 April 2009. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0512/19/ln/2299107.htm

11Balaam, David. N., & Veseth, Michael. (2005). Introduction to International Political Economy. New Jersey: Pearson and Prentice Hall. Hal. 43.

12 Friedman, Thomas. L. (2002). Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun (1st ed), Penerbit ITB, Bandung, Indonesia.

(6)

perdagangan yang tidak adil. Kegiatan perekonomian diserahkan kepada pasar, dimana terdapat pasar bebas yang mendorong kepada perdagangan internasional, perpindahan modal dan teknologi, dan pergerakan pekerja. Negara adalah sebagai fasilitator dan regulator.

Namun, kesenjangan dalam WTO Summit di Doha terlihat melalui kebijakan pertanian UE dalam perdagangan di sektor pertanian yang kemudian mengalami kemacetan sejak tahun 2003, hingga tahun 2005. Kebijakan Komisi Eropamelalui CAP bertentangan dengan aturan perdagangan internasional (free

trade). Hal ini karena terdapat ketidaksepakatan mengenai penghapusan subsidi

pertanian yang membuat komoditas pertanian negara berkembang menjadi tidak dapat bersaing dengan adil.

Dalam hal ini memungkinkan dapat dilihat dari alasan, pertama, yang melatarbelakangi Komisi Eropa bersikukuh memperjuangkan kebijakan CAP dalam perundingan perdagangan tingkat WTO. Kemudian, kedua, perlu dilihat juga bagaimana proses diplomasi negosiasi dalam perundingan tingkat WTO.

Peran serta konstituensi domestik dalam nasional negara turut menentukan kepentingan yang nanti akan diprioritaskan kebijakan nasional.14Kemudian, kebijakan nasional tersebut direfleksikan menjadi kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri diperjuangkan pada tatanan internasional untuk memenuhi kebijakan dan kepentingan domestik negara-negara anggota UE.

Negara-negara Eropa yang tergabung dalam lembaga regional UE menghadapi tantangan yang lebih tinggi. UE adalah sebagai lembaga regional memposisikan negara-negara anggota harus menyamakan pendapat dan kepentingan dari masing-masing negara sebelum beranjak ke perundingan tingkat multilateral. Sehingga, setiap negara anggota memiliki kesamaan visi, misi dan tujuan di perundingan tersebut, dalam hal ini adalah perdagangan pertanian WTO.

Oleh karena itu, terlihat betapa pentingnya mekanisme diplomasi dan negosiasi UE, yang dilakukan oleh Komisi Eropa diberbagai level. Pada akhir proses pendekatayang dilakukan ke domestik negara anggota dan regional, akan

14 Bates, Robert. H. (1981). Markets and States in Tropical Africa. London, England: University of California, Ltd. Hal. 8.

(7)

menghasilkannegara-negara UE yang menjadi satu entitas yang sangat kuat dalam bernegosiasi. Tesis ini mencoba untuk menganalisis bagaimana cara UE dalam memperjuangkan CAP di forum WTO.

1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi strategi diplomasi dan negosiasiKomisi Eropadalam perundingan perdagangan sektor pertanian WTO untuk memperjuangkan CAP, 2001-2005. Penelitian ini juga berusaha untuk melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi Komisi Eropa bersikukuh memperjuangkan CAP dalam perundingan-perundingan WTO.

Penelitian ini memiliki signifikansi bagi ilmu hubungan internasional khususnya kajian ekonomi politik internasional dengan melihat variabel-variabel yang diteliti adalah adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara faktor politik dan faktor ekonomi di wilayah internasional, dengan berbagai macam perundingan dan keputusan yang dihasilkan. Kecenderungan dalam memperkuat hubungan antar negara anggota dalam regional juga memperkuat posisi kawasan tersebut dalam perundingan pada level internasional.

1.4. Tinjauan Pustaka

Tesis ini menggunakan sumber-sumber yang berasal dari buku dan jurnal akademis yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan dalam penelitian. Sumber tersebut berkaitan dengan konsep tentang perjanjian multilateral (Multilateral

Agreement) dan diplomasi, serta aktor yang terlibat didalamnya. Disamping itu,

pada bagian ini penulis juga memaparkan tentang hal yang menjadi dasar UE tetap mempertahankan CAP Eropa sebagai kebijakan pertaniannya.

Kerjasama didefinisikan sebagai hubungan antar negara yang tidak mendahulukan kekerasan dan tindakan pemaksaan terhadap negara lain, dengan kata lain menjauhkan konflik dari bentuk hubungan tersebut. Kesepakatan antara pihak yang bekerjasama merupakan suatu bentuk legitimasi atas kerjasama

(8)

tersebut yang selanjutnya akan diimplementasikan.15 Tingkah laku negara berbeda-beda satu sama lain, sehingga diperlukan suatu koordinasi kebijakan untuk mengatur dalam menciptakan kerjasama melalui perundingan yang menghasilkan kesepakatan. Dengan demikian, melalui koordinasi kebijakan bertujuan agar kepentingan dan tujuan pihak-pihak yang terlibat, dapat terfasilitasi dalam kesepakatan tersebut sehingga tidak terjadi benturan kepentingan.16

Kerjasama antar negara Eropa dimulai sejak tahun 1952 dengn dibentuknya European Coal and Steel Community (ECSC)sebagai pasar bersama untuk produk, pekerja dan modal dari sektor batubara dan baja. Kemudian berkembang lagi dengan traktat-traktat yang baru seperti European Economic

Community (EEC) (1958) dan Single European Act (1987). Dengan terbentuknya

komunitas-komunitas tersebut semakin membuat terintegritasnya negara-negara Eropa di dalam satu sistem guna memperkuat regionalnya. Sejak Perjanjian Maastricht (Treaty on European Union) tahun 1992, UE makin terbuka untuk keanggotaan baru, terutama negara-negara yang secara geografis dan geopolitik terletak di Eropa. Traktat ini membentuk 3 pilar utama Uni Eropa yaitu

Community Domain (most common policy areas), Common Foreign and Security Policy (CFSP), dan Justice and Home Affair (JHA). Integrasi (neo-functionalism)

ini yang menitikberatkan pada aktor supranasionalisme oleh Komisi Eropa sebagai pembuatan kebijakan dalam membentuk agenda Eropa. Hal tersebut guna membangun agenda pasar bersama menuju pasar tunggal, yang berada pada pilar pertama Uni Eropa.17

Terdapat beragam definisi dan konsep tentang Multilateral Agreement. John Gerard Ruggie dalam buku Multilateral Matters (1993), mendefinisikan bahwa perjanjian perdagangan multilateral (Multilateral Trade Agreement) sebagai suatu kerjasama perdagangan yang dilakukan oleh lebih dari tiga negara yang terlibat. Negara-negara melakukan koordinasi dan penyelarasan kebijakan nasionalnya masing-masing yang kemudian hasil perundingan tersebut dijadikan

15 Dougherty, James. E., & Pfaltzgraff, Robert. L. (1997). Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Survey, (4th ed), New York: Addison Wesley Longman, Inc. Hal. 418.

16 Keohane, Robert. O. (1984). After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. New Jersey: Princeton University Press. Hal. 51-52.

(9)

prinsip dasar dalam perdagangan internasional yang disepakati bersama. Prinsip tersebut mewakili aktifitas dan aturan yang berlaku tanpa mendahulukan dan menguntungkan bagi kepentingan kelompok atau negara tertentu. Perdagangan internasional memiliki prinsip dasar, yaitu “non-discrimination” (tidak diskriminasi) yang harus dijalankan oleh setiap negara.18 Prinsip dasar tersebut juga mencakup perihal untuk menciptakan dan memelihara hubungan mutual antara negara-negara yang terlibat.

R. P. Barston menyatakan hal yang sama seperti John Gerard Ruggie, yaitu tentang tujuan dan fokus dibentuknya Multilateral Trade Agreement sebagai komitmen bersama secara legal tentang hak dan kewajiban setiap negara, yang kemudian diimplementasikan pada realitas kegiatan komersil.19 Di dalam bukunya yang berjudul Modern Diplomacy, R. P. Barston juga menyatakan tentang pengaruh kekuatan birokrasi di dalam proses pembentukan perjanjian multilateral.20 Birokrasi memiliki peran yang dapat mempengaruhi kebijakan negara yang dinegosiasikan pada tingkat nasional, kemudian tingkat multilateral.

Sementara itu, Robert H. Bates dalam buku Markets and States in Tropical

Africa, menambahkan bahwa turut campur domestik dapat menentukan kebijakan

nasional pada sebuah negara, dalam hal ini pada bidang pertanian. Aktor domestik selain pemerintah memiliki pengaruh terhadap pembentukan kebijakan yang terimplikasi pada level internasional.21 Pembentukan dan pemberlakuan kebijakan tersebut juga tidak lepas dari kepentingan aktor lokal, seperti kepentingan publik dan swasta. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara politik domestik dengan internasional. Sehingga pada level tertentu perwakilan negara harus dapat menyelaraskan dan mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan yang ada diantara kedua level analisis tersebut. Kebijakan pertanian didasarkan pada tindakan pemerintah dan aktor domestik yang salah satu contohnya dengan melakukan penentuan harga produk pertanian (stabilitas harga).

18 Ruggie, John. G. (1993). Multilateralism Matters: The Theory and Praxis of an Institutional Form, New York: Columbia University Press. Hal. 7.

19 Barston, R.P. (1988). Modern Diplomacy. England: Longman Group. Hal. 247. 20 Ibid., Hal. 255.

(10)

Pada level internasional, terbentuknya perjanjian multilateral juga tidak lepas dari aktor negara dalam pembuatan dan pengimplementasian kebijakan pada tingkat tersebut. Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye, menjelaskan tentang pembentukan rezim internasional atau organisasi internasional berdasarkan kekuatan (power) dari negara yang memiliki kekuasaan. Sebagai contoh kasus adalah Amerika Serikat (AS) sebagai negara besar, memiliki power dalam membuat aturan-aturan dan membentuk organisasi yang dititik-beratkan pada tatanan global dalam hubungan internasional. Pada kasus ini power atau kekuatan negara dapat dilihat sebagai alat untuk melindungi kepentingan ekonomi dan keamanan AS. Sebagai contoh adalah dengan terbentuknya United Nations (UN),

the International Monetary Fund (IMF), the World Bank dan the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).22

Mengacu pada pernyataan pada alinea sebelumnya, Amerika Serikat (AS) menggunakan GATT untuk menjaga pasar domestiknya pada aturan yang termuat dalam GATT. Seperti yang disampaikan oleh AS bahwa GATT tidak memiliki acuan yang legal untuk mencegah suatu kelompok atau komunitas dalam membuat kebijakan sebagai proteksi pada perdagangan pertanian. GATT adalah instrumen yang digunakan oleh AS untuk dapat menjaga level harga dan memproteksi dari impor, sektor pertanian.

Begitu pula dengan UE, yang merujuk pada artikel XI, General

Elimination of Quantitative Restrictions,paragraph 1, GATT:

“No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.”23

Artikel XVI, section A_Subsidies in General, GATT, berkaitan dengan subsidi:

“If any contracting party grants or maintains any subsidy, including any form of income or price support, which operates directly or indirectly to increase exports of any product from, or to reduce imports of any product

22 Keohane, Robert. O., & Nye, Joseph. S. (1985). Two Cheers for Multilateralism. Foreign Policy, 60, 148-167. 18 Mei 2009. http://www.jstor.org/stable/1148896. Hal. 148.

(11)

into, its territory, it shall notify the CONTRACTING PARTIES in writing of the extent and nature of the subsidization, of the estimatedeffect of the subsidization on the quantity of the affected product or products imported into or exported from its territory and of the circumstances making the subsidization necessary. In any case in which it is determined that serious prejudice to the interests of any other contracting party is caused or threatened by any such subsidization, thecontracting party granting the subsidy shall, upon request, discuss with the other contracting party or parties concerned, or with the CONTRACTING PARTIES, the possibility of limiting the subsidization.”24

Kedua artikel tersebut digunakan Komisi Eropa sebagai pembenaran agar dapat melakukan pengaturan impor dan pemberlakuan subsidi pada pertanian, sehingga pernyataan pada artikel 11 dan 16 itu menjadi dasar Komisi Eropa untuk mengklaim bahwa CAP tidak menyalahi aturan yang terkandung dalam GATT.25CAP merupakan kebijakan untuk menjaga harga pasar domestik, hambatan arus impor dan subsidi ekspor.

John Gerard Ruggie menuliskan bahwa negara-negara anggota UE dapat menjaga dan mempertahankan level proteksi yang lebih kuat lagi karena dilakukan secara kolektif melalui komunitas regional, berkaitan dengan CAP.

Dari semua itu, tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan mempengaruhi proses berjalannya suatu negosiasi yang dilakukan pada level multilateral, bahkan terhadap hasil yang diraih. Kekuatan dan kebesaran suatu negara dapat mempengaruhi objektifitas dari perjanjian tersebut. Hal ini karena di dalam perjanjian tersebut banyak pengaruh yang mengedepankan kepentingan-kepentingan pihak yang memiliki kendali. Multilateral Trade Agreement sekarang ini terlihat mementingkan negara-negara maju dibandingkan negara-negara berkembang yang sepatutnya lebih membutuhkan bantuan dan dukungan, seperti contoh kasus CAP Eropa yang sangat menguntungkan Eropa.

24 Ibid., Hal. 26.

25Ruggie, John. G. (1993). Multilateralism Matters: The Theory and Praxis of an Institutional Form. New York: Columbia University Press. Hal. 220-221.

(12)

1.5. K pilar Ketig yang Fore kebij and J mem dihas Sumb 26 Folk oplysn M Kerangka T Berawal utama. Ma ga pilar ters g terkonsent eign and Se jakan luar n Judicial Co mbicarakan t silkan melal Treaty of ber: C.P.F Luh ketinget (nd). W ningen.dk/euo_e Pilar  Masyarakat Tanggung J Kebijak Pasar Inte Kebijak Lingkungan pertani Uni Ekonom Monet Imigrasi, Sua Visa Supranasi (Commu Method Teori dari pilar asing-masing sebut adalah trasi pada k ecurity Polic negeri dan s o-operation tentang kerj lui Treaty of f Maastrich hulima (2009)

What are the Thr en/spsv/all/12/ 1 t Eropa Jawab  kan: ernal kan  , Sosial,  ian mi dan  er aka dan  ional  nity  d) Uni Eropa, g pilar mem hThe Europ kebijakan ek cy (CFSP) sesuatu yan in Crimina jasama untu of Maastrich ht membagi . Metodologi K ree Pillars of EU P Politik dan K B Tang Ke Tindak untuk  kea M Per Me Ke Inte Antar (Interg , secara for miliki konsen pean Comm konomi, sos sebagai pil ng berhubun al Matters uk melawan ht.26 kegiatan U Kajian Wilaya U. (15 Desemb Pilar 2 k Luar Nege Keamanan  ersama ggung Jawab  ebijakan:  kan bersama memperkua manan UE Menjamin  rdamaian endorong  erjasama  ernasional r pemerintah  governmental rmal Komis ntrasi yang unity (EC)

ial dan ling lar kedua ya ngan dengan (PJCC) seb n kejahatan UE ke dalam ah Eropa. Mo er 2009). http:/ eri  a  at  l) Pe ( si Eropamem berbeda di sebagai pil gkungan,The ang berisik n militer, d bagai pilar k . Struktur k m tiga Pilar: onografi. //www.eu-Pilar 3 radilan dan Neger Tanggung Ja Kebijaka Kejahatan L Batas/Neg Hukum Krim Kerjasama a Kepolisia Antar pemer Intergovernm miliki tiga dalamnya. ar pertama e Common kan tentang dan Police ketigayang ketiga pilar 3 n Dalam  ri awab  an: Lintas  gara minal antar  an rintah  mental)

(13)

Pada pilar pertama terdapat pola yang mengacu kepada integrasi UE. Negara-negara anggota harus mengeyampingkan kepentingan nasionalnya dan mendahulukan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Komisi Eropa.Integrasi inilah yang diturunkan dari Komisi Eropa, dan dalam integrasi ini bahwa Komisi Eropa dapat mengeluarkan undang-undang dan kebijakan-kebijakan, yang secara langsung dapat mengikat negara-negara anggota UE, dengan pengawasan Dewan UE dan Parlemen Eropa, serta Mahkamah Eropa.27

Sedangkan Pilar 2 dan 3 masing-masing mengandung jenis yang berbeda, yang merupakan dari kerjasama antar pemerintah (intergovernment). Pilar 2 mewakili kebijakan luar negeri dan keamanan, sementara mewakili 3 pilar kerjasama antar pemerintah yang berkaitan dengan kerjasama kepolisian dan yudisial dalam persoalan kriminal.28

Harold Nicholson menyatakan kegiatan diplomatik terbagi atas dua, yaitu pembuatan kebijakan luar negeri dan negosiasi. Kedua hal tersebut adalah proses yang saling terkait satu sama lain. Negosiasi merupakan suatu cara untuk membuat dan/atau mencapai suatu kebijakan luar negeri.29 Diplomasi melalui negosiasi merupakan konsep utama yang digunakandalam penelitian ini. Penelitian ini akan mengkaji diplomasi dan negosiasi Komisi Eropa untuk memperjuangkan CAP dalam perundingan perdagangan pertanian di tingkat WTO dan akan menggunakanThree Level Game sebagai alat untuk memahami keterkaitan diplomasi UE di WTO dan diplomasinya di domestik dan regional.

Diplomasi multilateral merupakan suatu cara yang terbaik untuk mencapai negosiasi yang sukses. Berridge berpendapat: “Multilateral Diplomacy provides

the best chance for a successful negotation in certain conditions: Brings together all the parties to the agreement; Encourages informality; Embody deadline (help to concentrate); and Has a leader with a vested interest in its success”.30 Hal ini

27 C.P.F Luhulima (2009). Metodologi Kajian Wilayah Eropa. Monografi. Hal. 6-8. 28 Ibid.

29 Nicholson, Harold. (1991). Diplomacy: a Basic Guide to the Conduct of Contemporary Foreign Affairs (1939), Sebagaimana dikutip oleh Bandoro, Bantarto., “Diplomasi Indonesia: Dahulu, Kini dan Masa Depan”, editor Hadi Soesastro, Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, Hal. 46-47.

30 Berridge, Geoff. R. (1995). Diplomacy: Theory and Practice. Great Britain: Hartnolls Limited, Bodmin, Cornwall. Hal. 56-74.

(14)

juga disampaikan oleh Inis L. Claude Jr, bahwa diplomasi multilateral membantu pihak-pihak yang berunding untuk memiliki pengerucutan pembahasan sehingga dapat mencapai suatu pokok isu yang dinegosiasikan bersama.31

Variasi-variasi teoritik yang muncul tentang diplomasi dan negosiasi dapat dikelompokan dalam dua kategori dalam penelitian ini. Kategori pertama berkaitan dengan aspek konstituensi domestik dan internasional (Robert D. Putnam, 1988). Kategori kedua disampaikan oleh Lee Ann Patterson pada tahun 1997 yang merupakan pengembangan dari Robert D. Putnam, yaitu diplomasi level regional.

Diplomasi merupakan suatu cara yang dapat digunakan oleh setiap aktor untuk dapat mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu dengan melakukan komunikasi domestik dalam level domestik. Negara sebagai aktor pada meja perundingan internasional menggunakan diplomasi guna memenuhi kepentingan-kepentingan negara, kelompok sosial, partai, legislator, opini publik dan institusi-institusi. Pembuatan keputusan suatu kebijakan didasarkan atas kepentingan-kepentingan yang dimulai pada level domestik. Berbagai pertimbangan, tujuan dan kepentingan dari berbagai pihak yang terkait menjadi dasar pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan yang hendak dicapai.

Negara tidak lagi menjadi aktor yang tunggal dalam pembuatan dan pengambilan keputusan untuk menentukan arah politik dan kebijakan dalam dunia internasional. Terdapat pengaruh konstituensi domestik yang berpengaruh dalam melakukan pembentukan, perumusan dan pengambilan keputusan atas kebijakan luar negeri. Aktor-aktor internal tersebut seperti partai-partai politik, kelas-kelas sosial, kelompok-kelompok yang berkepentingan (baik dalam hal ekonomi ataupun non-ekonomi), legislator, bahkan opini publik.32

Kelompok-kelompok domestik mengajukan kepentingan mereka dengan melakukan pendekatan dan tekanan kepada pemerintah negaranya untuk mengadopsi kebijakan yang menguntungkan bagi kepentingan domestiknya, dan

31 Claude, Inis. L, (1979). Multilateral Diplomacy. Dalam buku, Elmer Plischke (Ed.). Modern Diplomacy: The Art and the Artisans (hal. 188-198). Washington DC: American Enterprise Institute for Public Policy Research. Hal. 189

32 Putnam, Robert. D. (1988). Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games. International Organization Foundation, The MIT Press, 42:3, 472-460. 27 April 2009. Hal. 432.

(15)

dalam konteks ini aktor-aktor politik mencoba membangun kekuatan (power) dengan membentuk koalisi antar kelompok. Kebijakan itu kemudian diambil berdasarkan kekuatan politik aktor-aktor domestik, yaitu melalui koalisi yang kuat dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.

Pendekatan Komisi Eropa di level regional diperlukan sebagai bagian dari strateginya untukberdiplomasi di tingkat yang lebih tinggi, yaitu WTO. Selain itu, diplomasi Komisi Eropa di level regional adalah untuk mencari kesamaan sikap mengenai isu yang dipertaruhkan yang nantinya diterjemahkan ke dalam kebijakan bersama UE.

Teori Two Level game yang dikembangkan oleh Robert D. Putnam merupakan pendekatan negosiasi yang melihat dari dua perspektif, yaitu secara domestik dan internasional dengan menggunakan dua tingkatan level analisa. Pertama adalah Bargaining between the negotiators, yang akan menghasilkan suatu keputusan. Level ini disebut sebagai Level-1. Kedua adalah Separate

discussions within each group of constituens about to ratify the agreement. Level

ini disebut sebagai Level-2. Pada Level-1 negosiator dari masing-masing perwakilan negara bertemu dan melakukan perundingan, sehingga dihasilkan suatu perjanjian pada tingkat internasional. Sedangkan Level-2 merupakan perundingan yang terjadi di tingkat domestik guna membicarakan apakah akan menyetujui serta meratifikasi keputusan yang dihasilkan pada tingkat internasional. Proses konsultasi di Level-2 dapat dijadikan acuan untuk memposisikan diri dalam proses negosiasi di Level-1, sehingga ditingkat internasional merepresentasikan kepentingan yang hendak dicapai oleh konstituensi domestik.

Pada level nasional, kelompok-kelompok domestik mengedepankan kepentingan mereka dengan mendorong pemerintahnya membuat kebijakan yang dapat mengakomodasi tujuannya. Sementara pada level internasional, negara berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kepentingan domestik, dan juga mencari kesepakatan dengan negara lain dalam perundingan multilateral.33

(16)

Lee Ann Patterson pada tahun 1997 menanggapi hal tersebut seiring berubahnya UE sebagai bentuk lembaga regional antara negara-negara anggota dan menjadi representatif sebagai aktor tunggal diatas negara-negara anggotanya. Peran tersebut dilaksanakan, dalam hal ini, oleh Komisi Eropa dalam melakukan perundingan dan negosiasi.

Patterson menyertakan analisis pada level regional yaitu Komisi Eropa yang memiliki peran sebagai pemegang kekuasaan untuk pengambilan keputusan di atas negara-negara anggota Eropa. Pada tingkat internasional, negara-negara anggota Eropa tidak lagi bergerak sendiri-sendiri dengan membawa nama masing-masing negara, tetapi sudah menjadi satu kesatuan pada tingkat regional.34

Kepentingan pada level domestik yang selanjutnya menjadi kepentingan regional, direfleksikan sebagai keputusan bersama untuk dibawa ke perundingan internasional. Pilihan-pilihan yang dicapai dalam kebijakan tersebut dapat memberikan implikasi terhadap lingkungan eksternal. Pada level negosiasi multilateral, negosiator yang menjadi perwakilan suatu negara atau komunitas harus dapat menyesuaikan kepentingan domestik dan kepentingan internasional untuk mencapai titik temu antara kebijakan-kebijakan nasional masing-masing negara. Robert D. Putnam berpendapat bahwa terdapat keterkaitan satu sama lain antara politik domestik dan internasional. Negosiator harus dapat memainkan perannya agar dapat mewakilkan kepentingan negara dan juga dapat mencapai kata sepakat pada tingkat internasional.

Perjanjian multilateral, khususnya dalam perdagangan, didefinisikan sebagai wadah bagi lebih dari tiga negara untuk membentuk kerjasama agar tercapai kepentingan perdagangan dan tujuan dari masing-masing negara. Dengan menggunakan pendekatan diplomasi, perbedaan kepentingan tersebut dirundingkan dan dinegosiasikan sehingga dapat tercapai kesepakatan.

Kesepakatan bersama dalam perjanjian dicapai melalui negosiasi-negosiasi yang cukup rumit, karena masing-masing negara memiliki kepentingan domestik. Proses perundingan diwarnai dengan pendekatan melalui diplomasi dari

34 Patterson, Lee Ann. (1997). Agricultural Policy Reform in the European Community: A Three-Level Game Analysis. The MTI Press, 51:1, 135-165, 6 Mei 2009. http://www.jstor.org/stable/2703954. Hal. 141.

(17)

Domestik Regional Internasional masing-masing perwakilan negara. Setiap aktor melakukan pendekatan melalui diplomasi guna mengajukan kepentingannya. Namun, melalui proses diplomasi itu juga, harus dipertemukan antara kepentingan domestik suatu negara dengan kepentingan bersama baik pada level regional maupun level internasional. Dengan demikian, melalui proses diplomasi diharapkan dapat menghasilkan suatu harmonisasi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini agar tercapai sebuah perjanjian yang saling menguntungkan terhadap isu-isu yang dihadapi secara bersama.

Robert Jervis menyatakan, kerjasama untuk mencapai perjanjian dapat tercipta diantara pihak yang berkaitan satu sama lain guna mencapai suatu keuntungan bersama, yang dalam hal ini dalam perdagangan. Kehadiran institusi internasional dapat meningkatkan kerjasama dengan pengaturan di dalamnya. Sehubungan dengan hal ini, perjanjian perdagangan internasional dapat menjadi sarana dalam penciptaan kerjasama yang saling mutual, melalui WTO. Perjanjian akan menjadi suatu hal yang sangat kuat ketika setiap aktor yang terlibat telah mencapai kata sepakat bersama dan menyetujui hasil perundingan secara kolektif.35 Sehingga, dalam praktek perdagangan terdapat suatu kesepakatan bersama yang dapat menjadi acuan dalam pengimplementasian.

Mengacu kepada penjelasan di atas, gambar 1.1 mengilustrasikan penyelarasan kepentingan melalui komunikasi, negosiasi dan diplomasi pada ketiga level tersebut dimaksudkan agar dapat meraih kesepakatan dan perjanjian yang dapat diterima di setiap levelnya.

Bagan 1.1.

Penyelarasan Diplomasi Uni Eropa

35 Jervis, Robert. (1999). Realism, Neoliberalism, and Cooperation: Understanding the Debate. International Security, The MIT Press, 24:1, 42-63. Hal. 43-56.

(18)

Pada hal tersebut, terdapat keunikan yang terjadi pada konteks UE dalam melakukan diplomasi dibandingkan dengan aktor-aktor lain. Setiap negara anggota UE menyerahkan segala kedaulatannya untuk dapat menentukan suatu kebijakan pada tingkat regional.

Diplomasi dimulai dari tingkat domestik yang berada pada level negara anggota dan bahkan pada level konstituen domestik masing-masing negara, kemudian pada tingkat komunitas yaitu level regional (UE), dan yang terakhir pada tingkat internasional. Hal ini mengingat, negara-negara Eropa telah memiliki institusi supranasional UE, dan setiap keputusan yang diambil adalah untuk kepentingan dan tujuan bersama masyarakat Eropa.

1.6. Hipotesis

Variabel dependen dalam tesis ini adalah pelaksanaan subsidi pertanian UE (CAP), yang selanjutnya akan dianalisa dengan menggunakan variable independen, berupa negosiasi Komisi Eropa.Three Level Game menjabarkan hubungan antara pelaksanaan subsidi pertanian UE negosiasi yang dilakukan Komisi Eropa pada setiap level.

Atas dasar tersebut, tesis ini mengajukan hipotesis yaitu: Keberhasilan Komisi Eropa untuk memperjuangkan CAP di forum WTO adalah dengan menjalankan negosiasi teknis yang didasarkan pada pilar pertama UE. Pertanian adalah yang termasuk di dalam pilar pertama tersebut.

1.7. Operasionalisasi Konsep

Terdapat dua konsep utama yang dipergunakan. Pelaksanaan subsidi pertanian UE (CAP) merupakan variabel dependen. Kemudian negosiasi Komisi Eropamerupakan variabel independen yang akan dijelaskan melalui konsep dan indikator yang ada dalam bagan operasionalisasi.

(19)

NEGOSIASI KOMISI UNI EROPA

PELAKSANAAN SUBSIDI PERTANIAN

UNI EROPA (CAP) Bagan 1.2. Model Analisis Bagan 1.3. Operasionalisasi Konsep

Negosiasi 

Komisi 

Uni Eropa

CAP Profil Pertanian UE CAP dalam Pembahasan di  Komisi Eropa Arti Penting CAP bagi UE Komoditas CAP di WTO

WTO

Proses Pembuatan Keputusan   di WTO Perjanjian Pertanian  Multilateral WTO Pertemuan dan Perundingan  Sektor PErtanian WTO, 2001‐ 2005 

CAP dan WTO

Kontroversi Terhadap CAP Posisi UE Terhadap Isu  Pertanian dalam Doha  Developmen Agenda Dimensi Konsep Indikator

(20)

1.8. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analisis. Prosedur pemecahan masalah yang diselidiki melalui pendeskripsian variabel dependen pada saat penelitian berdasarkan kepada fakta-fakta dan informasi yang ada. Penelitian ini bersifat deskriptif berupaya untuk menjelaskan pentingnya kebijakan pertanian Eropa, CAP, untuk UE. Disamping itu, dengan menggunakan metode ini tidak hanya terbatas sampai pengumpulan, penyusunan dan deskripsi data saja, tetapi termasuk melakukan penganalisaan terhadap data dan informasi, yang akan ditinjau secara kuantitatif.

Penulis menentukan dimensi waktu yaitu pada tahun 2001-2005 adalah mencoba untuk membangun sekumpulan data-data dan informasi. Kemudian penulis dengan data dan informasi tersebut dapat memetakan tentang harmonisasi kepentingan-kepentingan konstituen domestik UE. Pemetaan juga dilakukan pada kegiatan dan aktifitas diplomasi multilateral UE dalam kurun waktu tersebut, beserta posisi UE dan pencapaian diplomasinya.

Dalam analisa pelaksanaan subsidi pertanian UE (CAP) sebagai variabel dependen akan dijelaskan oleh variabel independen diplomasi multilateral UE pada setiap level dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dapat berupa isi deklarasi, joint statement, laporan resmi dari institusi yang terkait, pernyataan resmi, ataupun terbitan khusus. Adapun pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka. Data-data tersebut diperoleh melalui buku-buku hubungan internasional dan jurnal-jurnal akademis, perjanjian internasional dan diplomasi, situs-situs berita resmi, surat kabar dan majalah. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen dan kepustakaan.

1.9. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penelitian, maka akan dilakukan pembabakan penelitian dengan menggunakan sistematika sebagai berikut:

(21)

Bab I merupakan bagian Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, permasalahan, tujuan dan signifikansi, tinjauan pustaka, kerangka teori, operasionalisasi konsep, hipotesa, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab IImemiliki judul Common Agricultural Policy (CAP). Pada bab ini memuat pembahasan tentang pendeskripsian pelaksanaan subsidi pertanian UE dalam perundingan perdagangan pertanian oleh Komisi Eropa di tingkat WTO. Dalam melakukan pembahasan disini akan dijelaskan juga latar belakang, isi perundingan CAP, CAP pada posisinya dalam Pilar dan kondisi masyarakat Uni Eropa, serta permasalahan yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan CAP tersebut.

Bab III dengan judul bab adalah World Trade Organization memuat mengenai WTO dalam segi struktural dan pembahasan seputar perundingan perdagangan sektor pertanian di WTO.

Bab IV dengan judul CAP Uni Eropa dalam World Trade Organization.Bab ini meninjau dan menganalisa berbagai proses seputar perundingan perdagangan di WTO yang membahas mengenai CAP Uni Eropa dan terutama pada penekanan pada deadlock Agenda Doha. Hasil analisa akan meraih bentuk diplomasi Komisi Eropa dalam memperjuangkan CAP-nya.

Bab V adalah Penutup yang merupakan bagian penutup yang akan berisikan kesimpulan dari hasil uji hipotesa dan temuan penulis akan jawaban dari pokok permasalahan.

Referensi

Dokumen terkait

Di satu sisi produk berbahan eceng gondok ini menghasilkan kertas dengan nilai seni yang relatif lebih indah dan di sisi lain adalah upaya pengendalian gulma eceng gondok di

pendidikan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang, 2) Pekerjaan rumah tangga miskin di Kelurahan Binuang Kampung Dalam

Dalam hal ini, dari enam keluarga mereka mempunyai kesadaran untuk mendidik anak remaja mereka karena merupakan tanggung jawab bagi orang tua, meskipun diantara mereka ada yang

Gaya kepemimpinan yang ada pada seorang pemimpin dalam suatu perusahaan atau organisasi mempunyai perbedaan dalam penerapan gaya kepemimpinannya masing-masing, yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengetahui profil pelepasan in vitro ketoprofen dari sediaan tablet lepas lambat dengan menggunakan matriks kombinasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil pelepasan teofilin secara in vitro dari matriks natrium alginat pada berbagai konsentrasi dalam sediaan

Penelitian terdahulu menggunakan etil selulosa pada konsentrasi 5%, 10 %, 20% sebagai matriks untuk membuat tablet lepas lambat yang mengandung aspirin,

Untuk menganalisa tingginya indeks produktivitas produk non teh karena output produk non teh pada periode 1 meningkat daripada periode 0 dan input yang dikeluarkan