• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen. menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen. menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 1.1 Pengertian perlindungan konsumen

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) memberikan pengertian yang cukup luas mengenai Perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum

kepada konsumen.1 Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk

memperdayakan konsumen untuk memperoleh atau menemukan pilihanya atas barang dan/atau jasa kebutuhanya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan

konsumen tersebut.2

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat melalui undang-undang khusus memberi harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya UUPK tersebut beserta perangkat hukum lainya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika

ternyata hak-haknya telah dilanggar atau dirugikan oleh pelaku usaha.3

1 Ibid., Pasal 1.

2

Susanti Adi Nugroho,”Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya”, ed. 1, cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2008), halaman 4.

3 Happy Susanto,”Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan”, cet. 1 (Jakarta: Visimedia, 2008),

(2)

11

2. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkat praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan

konsumen mempunyai dasar pijakan yang benar-benar kuat.4 Berdasarkan Pasal 2

UUPK, asas-asas perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:5

a. Asas manfaat

Maksud asas ini adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibanya secara adil.

c. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material dan spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

4 Ibid., halaman 17.

(3)

12

Asas ini dimaksudkan untuk jaminan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari upaya perlindungan

konsumen, yaitu:6

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkanya dari akses negatif/pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6 Ibid., Pasal 3.

(4)

13

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

3. Pihak-Pihak Terkait 3.1 Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau

consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada.7

Secara harfiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan dari penggunaan barang dan jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata

consumer sebagai pemakai atau konsumen.8

Sebelum berlakunya UUPK, praktis hanya sedikit pengertian konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1993, kata konsumen disebut dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan, tanpa disertai penjelasan tentang pengertian konsumen. Istilah

lainya yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”.9

Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas dari pada pembeli.

Sebelum UUPK terbentuk, sebenarnya konsumen sudah mendapatkan perlindungan dalam hukum positif kita. Akan tetapi, belum digunakan istilah konsumen, melainkan dengan memakai istilah lain. Kemudian setelah diundangkanya UUPK, semakin jelaslah siapa yang disebut sebagai konsumen.

7

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. 2 (Jakarta: Diadit Media, 2002), halaman 3.

8 Ibid

(5)

14

3.2 Pelaku usaha

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga pelaku usaha tersebut sebagai berikut:

a. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan seperti perbankan, usaha leasing, “tengkulak”, penyedia dana lainyam dan sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha yang berkaitan dengan pangan, orang/badan memproduksi sandang, orang/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, dan sebagainya.

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, supermarket,

hyper market, rumah sakit, klinik, usaha angkutan (darat, laut, udara)

kantor pengacara dan lainya.10

Menurut UUPK pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi , importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

3.3 Pemerintah

Pemerintah sebagai stakeholders pembangunan memiliki peran vital dalam pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, yang pelaksanaanya

10 Adrian Sutedi,”Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen” (Bogor:

(6)

15

dilakukan secara menyeluruh dari berbagai unsur pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Adapun tugas dan fungsi pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan

dan/atau Menteri Teknis terkait.11 Pembinaan yang dilakukan oleh

pemerintah meliputi upaya untuk:

a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. c. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

2) Pemerintah sebagai pengawas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 30 UUPK disebutkan bahwa pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah pihak-pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan.

Pengawasan pemerintah dilakukan terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen serta penerapan peraturan perundang-undanganya. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan LPKSM selain dilakukan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undanganya juga dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.

4. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha 4.1 Hak dan Kewajiban Konsumen

11 Op.cit., Pasal 29 ayat (1) dan (2).

(7)

16

Dalam sejarah pada tahun 1962, hak-hak konsumen telah dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang disampaikan dalam Kongres Gabungan Negara-Negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen

meliputi:12

a. Hak untuk memperoleh keamanan (the right to be secured). b. Hak untuk memilih (the tight to choose).

c. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed). d. Hak untuk didengar (the right to be heard).

Sementara itu hak-hak konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 adalah:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang diperjanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur menganai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasanya yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan npendidikan konsumen.

12 Adrian Sutedi, op.cit., halaman 49.

(8)

17

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagimana semestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainya.

Terlepas dari hak yang dimiliki, konsumen pun memiliki sejumlah kewajiban meliputi:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barangdan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.13

4.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 UUPK meliputi:

a. Hak untuk menerima yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutunya dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

13 Op.cit., Pasal 5.

(9)

18

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainya. Sementara kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UUPK, yaitu: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskrimitif.

d. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mecoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat/diperdagangkan.

e. Memberikan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian atas akibat dari penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

f. Memberikan kompensasi, ganti rugi, dan penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban hukum maka haruslah berbicara mengenai ada tidaknya suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen

(10)

19

atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Dalam asas umum hukum perdata dinyatakan bahwa siapapun yang melakukan tindakan yang dapat merugikan pihak lain, wajib memberi ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Menurut konsep dan teori ilmu hukum, perbuatan yang merugikan tersebut dapat lahir karena:

a. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (wanprestasi).

b. Karena perbuatan melawan hukum. 5.1 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

5.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha Berdasarkan UUPK

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha diatur secara tersendiri/terpisah dari pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha maupun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku usaha tersebut diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPK. Beban pembuktian terhadap ada atau tidaknya kesalahan pelaku usaha (Pasal 22 dan Pasal 28), serta pembebasan pelaku usaha dalam pertanggungjawaban (Pasal 27).

Beban pembuktian yang ditanggung pelaku usaha untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan konsumen merupakan sistem pembuktian terbalik karena justru pihak yang digugat yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan. Berdasarkan hukum tentang pembuktian pada umumnya, setiap orang yang mendalilkan bahwa orang tersebut mempunyai sesuatu hak atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dengan menunjuk sesuatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya

(11)

20

hak tersebut. Walaupun beban pembuktian dalam perkara ini dibebankan kepada pelaku usaha, tidak menutup kemungkinan bagi pihak Kejaksaan

untuk dapat melakukan pembuktian.14

6. Ganti Kerugian

6.1 Dasar Pertanggungjawaban dan Kerugian yang dapat Dituntut

Pelaku usaha mempunyai tanggung jawab secara umum untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat dari pengkonsumsian produk yang dihasilkan. Adapun kerugian yang bagaimanakah yang dapat dituntut dari pelaku usaha berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK adalah sebagai berikut:

a. Kerugian atas kerusakan. b. Kerugian karena pencemaran.

c. Kerugian konsumen sebagai akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan.15

Adapun mengenai jangka waktu pemberian ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 19 ayaat (3) UUPK, yakni dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila pelaku usaha tersebut menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi maka konsumen yang mengalami kerugian tersebut dapat mengajukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau Pengadilan di tempat kedudukan konsumen.

Dalam hukum perikatan, ganti rugi pada umumnya terdiri dari tiga unsur, yaitu biaya, rugi, bunga. Namun dalam setiap kasus, tidak selamanya ketiga unsur tersebut selalu ada. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kerugian yang diderita seseorang fapat dibedakan menjadi kerugian ekonomis (economic loss) dan kerugian fisik (physical harm).

14

Irna Nurhayati, “Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen Dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 30, No. 1, Tahun 2011), halaman 31.

15 Janus Sidabalok, “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, cet 2 (Bandung: PT Citra

(12)

21

Kedua jenis kerugian ini sangaat berbeda. Kerugian ekonomis dapat dihitung secara matematis dan diwujudkan dalam bentuk sejumlah uang sedangkan kerugian fisik sulit dihitung dengan uang. Untuk menentukan jumlah kerugian yang bberkaitan dengan kerugian fisik misalnya, luka-luka, maka orang terpaksa memperbandingkan dua hal yang tidak sama macamnya dan satu-satunya ialah menaksir nilai dagi keganjilan itu

dengan suatu ukuran yang mungkin terpakai, yaitu dengan

memperhitungkanya dengan sejumlah uang.16

6.2 Besarnya Ganti Rugi dan Wujud Penggantian Kerugian

Pada dasarnya, bentuk atau wujud ganti kerugian yang lazim dipergunakan ialah uang, yang oleh para ahli hukum ataupun yurisprudensi dianggap paling praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa.

Bentuk lain adalah benda (in natura).17 Adapun dalam UUPK bentuk ganti rugi

dapat berupa:

a. Pengembalian uang, atau

b. Pergantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau c. Perawatan kesehatan, atau

d. Pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.18

7. Penyelesaian Sengketa Konsumen

UUPK membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 bagian, yaitu: 7.1 Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri.

Penyelesaian sengketa konsumen sebagimana dimaksud pada pasal 45 ayat (2) UUPK tidak menutup kemungkinan dilakukanya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen

16 Ibid, halaman 157. 17 Ibid, halaman 160. 18 Op.cit., Pasal 19 Ayat (2).

(13)

22

tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK.

b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.

7.2 Penyelesaian Sengketa Melalui proses Litigasi di Pengadilan

Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat atau para pihak tidak mau menempuh alternatif perdamaian maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan. Menurut Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang berdasarkan Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg) yang

berlaku bagi daerah luar jawa dan madura.19 Adapun pihak yang dapat

mengajukan gugatan yaitu:

a. Seseorang yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (class

action).

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikanya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatanya sesuai dengan anggaran dasarnya.

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit.20

19 Janus Sidabalok, op.cit., halaman 149. 20 Op.cit., Pasal 46 ayat (1).

(14)

23

8. Tinjauan Umum Undang-Undang Kepariwisataan

Ketentuan mengenai kepariwisataan di Indonesia saat ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 11 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 4966). Undang-Undang ini adalah pengganti dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara RI Tahun 1990 N0. 78 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3427). Dalam pelaksanaanya, pembangunan kepariwisataan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan masih menitikberatkan pada usaha pariwisata dan masih belum memenuhi syarat untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam pembangunan kepariwisataan yang bersifat menyeluruh. Oleh karena itu, dibentuklah Undang baru untuk menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990, yakni Undang-Undang-Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang diundangkan pada tanggal 16 Januari 2009.

Materi yang diatur dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan meliputi antara lain hak dan kewajiban sejumlah pihak (masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah), pembangunan kepariwisataan yang komperhensif dan berkelanjutan, koordinasi lintas sektor, pengaturan kawasan strategis, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata, badan promosi pariwisata, asosiasi kepariwisataan standarisasi usaha, kompetensi pekerja pariwisata, serta pemberdayaan pekerja pariwisata melalui

(15)

24

pelatihan sumber daya manusia.21 Oleh karena undang-undang ini masih

tergolong baru dan belum semua peraturan pelaksana dari undang-undang ini terbentuk, maka beberapa peraturan pelaksana dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dinyatakan tetap masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Adapun dalam penelitian ini berkaitan juga dengan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya mengingat kegiatan mendaki gunung di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) berada di kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan wisata alam.

9. Pengertian Asas, Fungsi, dan Tujuan Kepariwisataan

Kepariwisataan berasal dari kata “wisata” yang secara sederhana dapat diartikan sebagai bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang dan sebagainya), bertamasya, atau piknik. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam

jangka waktu sementara.22 Orang yang melakukan wisata disebut wisatawan.

Sementara itu pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta pelayanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.23 Jadi Kepariwisataan adalah keseluruhan

21

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Penjelasan Umum.

22 Ibid., Pasal 1 butir 1. 23 Ibid., Pasal 1 butir 3.

(16)

25

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidimensi yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antar wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.24

Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas: a. Manfaat,

b. Kekeluargaan, c. Adil dan merata, d. Kemandirian, e. Kelestarian, f. Partisipasif, g. Berkelanjutan, h. Demokratis, i. Kesetaraan, dan j. Kesatuan.

Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual seetiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Adapun kepariwisataan bertujuan untuk:

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi. b. Meningkatkann kesejahteraan rakyat. c. Menghapus kemiskinan.

d. Mengatasi pengangguran.

e. Melestarikan alam, lingkungan,dan sumber daya. f. Memajukan kebudayaan.

g. Mengangkat citra bangsa. h. Memupuk rasa cinta tanah air.

i. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa.

j. Mempererat persahabatan antar bangsa.25

24 Ibid., Pasal 1 butir 4.

(17)

26

10. Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan dan Pembangunan Kepariwisataan

Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:

a. Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai

pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan.

b. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budya, dan kearifan lokal.

c. Memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proorsionalitas.

d. Memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup. e. Memberdayakan masyarakat setempat.

f. Menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan.

g. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata.

h. Memperkukuh keutuhan Kesatuan Negara Republik Indonesia.26

Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas-asas

penyelenggaraan kepariwisataan yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Adapun pembangunan kepariwisataan meliputi aspek sebagai berikut:

a. Industri pariwisata

Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan.

b. Destinasi pariwisata

Destinasi pariwisata/daerah tujuan pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesbilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.

c. Pemasaran

Yang dimaksud dengan pembangun pemasaran antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu, dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggung jawab

(18)

27

dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing.

d. Kelembagaan kepariwisataan

Pembangunan kelembagaan kepariwisataan meliputi pengembangan organisasi Pemerintah, Pemerintaah Daerah, swasta, dan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme

operasional di bidang kepariwisataan.27

11. Usaha Pariwisata dan Penyelenggaraan Kepariwisataan

Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa

bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, usaha pariwisata meliputi:

a. Daya tarik wisata. b. Kawasan pariwisata.

c. Jasa transportasi pariwisata. d. Jasa perjalanan pariwisata. e. Jasa makanan dan minuman. f. Penyedian akomodasi.

g. Penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.

h. Penyelenggaraan pertemuan, perjalanan intensif, konfrensi, dan pameran.

i. Jasa informasi pariwisata. j. Jasa konsultan pariwisata. k. Jasa pramuwisata.

l. Wisata tirta.

m. Spa.28

12. Hak dan Kewajiban

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan, ketentuan mengenai hak, kewajiban, dan larangan pihak-pihak yang terkait dengan kepariwisataan (wisatawan, pengusaha pariwisata (dalam hal ini disebut pengelola), Pemerintah, dan Pemerintah Daerah) diatur secara terpisah yaitu dalam Bab VII. Ketentuan mengenai hak, kewajiban, dan larangan ini merupakan hal yang yang sangat penting merupakan hal yang sangat

27Ibid., Pasal 7.

(19)

28

penting, yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

12.1 Wisatawan

Wisatawan adalah subyek yang sangat berperan sangat penting dalam

dunia pariwisata. Wisatawanlah yang menentukan maju mundurnya atau sukses tidaknya dunia pariwisata. Oleh karena itu, perlindungan atas hak dan kewajiban

wisatawan perlu mendapat perhatian yang serius.29 Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hak-hak wisatawan diatur secara rinci dalam Pasal 20, setiap wisatawan berhak memperoleh :

a. Informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata. b. Pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar. c. Perlindungan hukum dan keamanan.

d. Pelayanan kesehatan. e. Perlindungan hak pribadi.

f. Perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi.30

Selain itu dalam Pasal 21 juga disebutkan bahwa setiap wisatawan yang

memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhanya.

Sementara itu yang menjadi kewajiban setiap wisatawan yaitu:

a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.

b. Memelihara dan melestarikan lingkungan.

c. Turut serta dalam menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan.

d. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan

dan kegiatan yang melanggar hukum.31

29 I Putu Gelgel, op.cit., halaman 48. 30 Op.cit., Pasal 20.

(20)

29

12.2 Pengusaha Pariwisata/Penyelenggara Kepariwisataan

Sebagai pelaku usaha dalam bidang kepariwisataan, setiap pengusaha

pariwisata (istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan) memiliki sejumlah hak dan kewajiban dalam menyelenggaraan kegiatan usahanya.

Adapun hak-hak yang dimiliki setiap pengusaha pariwisata yaitu:

a. Mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan.

b. Membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan. c. Mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha.

d. Mendapatkan fasilitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.32

Sementara itu yang menjadi kewajiban setiap pengusaha pariwisata, yaitu: a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat isitiadat, budaya dan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat.

b. Memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab . c. Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif.

d. Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan.

e. Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang beresiko tinggi.

f. Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. g. Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam

negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal.

h. Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan. i. Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program

pemberdayaan masyarakat.

j. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dankegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya. k. Memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri.

l. Memelihara kelesatarian lingkungan dan budaya.

m. Menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataaan secara bertanggung jawab.

n. Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi ssesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.33

32 Ibid, pasal 22.

(21)

30

12.3 Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Selain wisatawan dan pengusaha pariwisata/penyelenggara

kepariwisataan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah juga memiliki peran penting dalam kepariwisataan di Indonesia mengenai kewajiban serta kewenangan. Hal itu dibuktikan dengan diaturnya sejumlah kewajiban serta kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan kepariwisataan.

Adapun Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban:

a. Menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan.

b. Menciptaan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbentuknya kesempatan yang sama dalam berusaha.

c. Memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali.

d. Mengawasi dan mengendalikan kegiatan kepariwisataan dalam rangka mencegah dan menanggulangi berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.34

Kewenangan Pemerintah:

a. Menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional.

b. Mengoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi.

c. Menyelenggarakan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Menetapkan daya tarik wisata nasional. e. Menetapkan destinasi pariwisata nasional.

f. Menetapkan norma standar, pedoman, prosedur, kriteria, dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan.

g. Menegembangkan kebijakan pembangunan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan.

h. Memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali.

i. Melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional.

j. Memberikan kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan.

k. Memberikan informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan.

l. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat danpotensi wisata yang dimiliki masyarakat.

m. Mengawasi, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan

kepariwisataan. 34 Ibid., Pasal 23.

(22)

31

n. Mengalokasikan anggaran kepariwisataan.35

Sementara itu kewenangan Pemerintah Provinsi yaitu:

a. Menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi.

b. Mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya.

c. Melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata.

d. Menetapkan destinasi pariwisata provinsi. e. Menetapkan daya tarik wisata provinsi.

f. Memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya.

g. Memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik provinsi.

h. Mengalokasikan anggaran kepariwisataan.36

Kewenangan Pemerintah kabupaten/kota yaitu:

a. Menyusun dan menetapkan rencana induk pemangunan kepariwisataan kabupaten/kota.

b. Menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota. c. Menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota.

d. Melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendaftaran usaha pariwisata. e. Mengatur penyelenggaraan dan oengelolaan kepariwisataan di wilayahnya. f. Memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk

pariwisata yang berada di wilayahnya.

g. Memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru.

h. Menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup kabupaten/kota.

i. Memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya.

j. Menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata.

k. Mengalokasikan anggaran kepariwisataan.37

35 Ibid., Pasal 28.

36 Ibid., Pasal 29. 37 Ibid., Pasal 30.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan Triase di mulai sejak pasien masuk ke puskesmas pekauman dan pasien dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disertai penyulit akan di arahkan ke

Ekstrak metanol, fraksi n-heksan, dan fraksi etil asetat ternyata memiliki kemampuan untuk menghambat pembentukan warna pada pengujian dengan metode FTC, yang

Kata baku adalah kata standar yang sesuai dengan kaidah pemakaian bahasa yang benar atau kata yang penulisannya sesuai dengan EYD.. Penulisan kata baku yang benar

UUPK menjabarkan definisi tentang perlindungan konsumen merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sedangkan

Definisi perlindungan hukum yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 2

Dari hasil penelitian didapati nilai koefisien kompensasi yang positif dan menunjukkan jika kompensasi ditingkatkan atau dilakukan dengan tepat maka akan dapat meningkatkan

Menggunakan modifier yang sama mengambil sesuatu tanpa diduga pada kecepatan eksekusi program Anda karena hal tersebut menimbulkan beberapa ukuran tambahan sehingga itu tidak

Keterampilan menyimak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterampilan anak autis dalam mendengarkan cerita tentang binatang yang terdapat pada materi