5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Agronomi Kelapa Sawit
Dalam dunia botani, semua tumbuhan diklasifikasikan untuk memudahkan dalam identifikasi secara ilmiah. Metode pemberian nama ilmiah (latin) ini dikembangkan oleh Carolus Linnaeus. Tanaman kelapa sawit diklasifikan sebagai berikut :
Klasifikasi Tanaman Kelapa Sawit Divisi : Traheophyta Subdivisi : Ptereopsida Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Spadiciplorae/Arecales Familia : Palmae Subfamili : Cocodeae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis jacq.
Varietas tandan kelapa sawit cukup banyak dan diklasifikasikan dalam berbagai hal, misalnya di bedakan atas tipe buah bentuk luar, tebal cangkang, warna buah dan lain-lain. Dalam warna buah maka spesies (Elaeis guineensis Jacq) dikenal dengan beberapa varietas. (Lubis, 2008).
1. Nigrenscens yaitu buahnya berwarna coklat sampai hitam waktu muda dan menjadi merah kuning (orange) sesudah matang.
2. Virescens yaitu buahnya berwarna hijau waktu muda dan sesudah matang berwarna merah kuning (orange).
3. Albescens yaitu buah muda kuning pucat, tembus cahaya karena mengandung sedikit karotein.
Tingkat aborsi pembungaan sangat tinggi sehingga banyak terjadi kegagalan tandan matang, menyebabkan produksi tandan rendah demikian pula rendemennya. Buah pada suatu tandan tidak serentak matang, bentuk batangnya dan susunan anak daun juga berbeda. Ketahanan terhadap keadaan
6
tergenang lebih baik sehingga pada daerah sering banjir mungkin akan berguna. (Lubis, 2008).
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit
Untuk memperoleh produksi kelapa sawit yang maksimal, diharapkan faktor lingkungan, genetis dan faktor teknis agronomis selalu dalam keadaan yang optimal.
2.2.1Topografi
Selain syarat ketinggian tempat maksimum 400 meter dpl, kelapa sawit sebaiknya ditanam di lahan yang memiliki kemiringan lahan 0-12°.Sementara itu, lahan yang memiliki kemiringan lahan 13-25° bisa ditanami kelapa sawit tetapi pertumbuhannya kurang baik.Berbeda halnya dengan lahan yang kemiringannya lebih dari 25° sebaiknya tidak dipilih sebagai lokasi penanaman kelapa sawit karena berisiko terhadap bahaya erosi dan menyulitkan dalam pengangkutan buah saat panen.(Sunarko. 2014).
2.2.2 Drainase
Kondisi tanah yang sering mengalami genangan air biasanya tidak disukai tanaman kelapa sawit karena akarnya memerlukan banyak oksigen. Drainase yang jelek akan menghambat kelancaran penyerap unsur hara dan proses nitrifikasi sehingga sehingga tanaman tanaman akan kekurangan unsur nitrogen. Karena itu, drainase tanah yang akan dijadikan lokasi perkebunan kelapa sawit harus baik dan lancar sehingga ketika musim hujan lahan tidak tergenang. (Sunarko 2014).
2.2.3 Tanah
Kelapa sawit dapat tumbuh diberbagai jenis tanah, seperti tanah podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, regosol, andosol, dan aluvial (Sunarko 2014).Ada dua sifat sifat utama media tanah sebagai media tumbuh, yaitu sifat kimia dan sifat fisik tanah.
7 Sifat fisik tanah
Sifat fisik tanah seperti kedalaman tanah, tekstur, dan struktu tanah merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman kelapa sawit.Tanaman ini dapat tumbuh baik di di tanah yang bertekstur lempung berpasir, tanah liat berat, dan tanah gambut.
Tabel.2.1 Kesesuaian lahan Tanaman kelapa sawit berdasarkan pada sifat fisik Tanah.
Sifat tanah Baik Sedang Kurang
Lereng Kurang dari 12° 12-23° Lebih dari 23°
Kedalaman tanah Lebih dari 75 cm 37,5-75 cm Kurang dari 37,5 cm Ketinggian air tanah Lebih dari 75 cm 37,5-75 cm Kurang dari 37,5 cm
Tekstur Lempung Agak berpasir Pasir
Struktur Kuat Sedang Lemah (masif)
Konsistensi Gembur Teguh Sangat teguh
PH 4-6 3,2-4 Jurang dari 3,2
Sumber: PPKS Medan Sifat kimia tanah
Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang besar untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif. Karena itu, untuk mendapatkan produksi yang optimal dibutuhkan tanah dengan kandungan unsur hara yang tinggi, Ph tanah sebaiknya bereaksi asam dengan kisaran nilai 4-6 dengan ph optimum 5-5,5.
8 2.2.4Kondisi iklim
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada suhu udara 27° C dengan suhu maksimum 33° C dan suhu minimum 22° C sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata tahunan yang memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1.250-3000 mm yang merata sepanjang tahun (dengan jumlah bulan kering kurang dari 3), curah hujan optimal berkisar 1.750-2.500 mm.
Aspek iklim lainnya yang juga berpengaruh pada budidaya kelapa sawit adalah ketinggian tempat dari permukaan laut (elevasi).Elevasi untuk pengembangan tanaman kelapa sawit adalah kurang dari 400 m dari permukaan laut (dpl).(Sulistyo, 2010).
Tabel.2.2 Parameter iklim untuk kesesuaian lahan tanaman kelapa sawit Parameter
iklim Kelas 1 (S1) Kelas 2 (S2) Kelas 3 (S3) Kelas 4 (N1 Curah hujan 2.000-2.500 mm 1.800-2.000 mm 1.500-1800 mm Kurang dari 1.500 mm Defisit air 0-150 mm/tahun 150-250 mm/tahun 250-400 mm/tahun Lebih dari 400 mm/tahun Hari tanpa
hujan Kurang dari 10 Kurang dari 10 Kurang dari 10
Kurang dari 10 Temperatur 22-23° C 22-23° C 22-23° C 22-23° C
Penyinaran 6 jam 6 jam Kurang dari 6 jam
Lebih dari 6 jam
Kelembaban 80% 80% Kurang dari
80%
Lebih dari 80% Sumber: PPKS Medan
9 Tabel 2.3 Kriteria kelas kesesuaian lahan
Uraian Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3 Kelas N1
Tinggi
tempat 0-400 m 0-400 m 0-400 m 0-400 m
Topografi Datar Berombak Berbukit Curam
Lereng (%) 0-15% 16-15% 25-36% Lebih dari
36% Genangan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sedikit
Drainase Baik Sedang Kurang Sangat
kurang Kedalaman tanah Lebih dari 80 cm 80 cm 60-80 cm Kurang dari 60 cm Bahan organik 5-10 cm 5-10 cm 5-10 cm Kurang dari 5 cm Tekstur Lempung hingga liat Liat hingga berpasir Berlempung Liat atau pasir Batuan Kurang dari
3% 3-15% 15-40%
Lebih dari 40% Air tanah Lebih dari 80
cm 60-80 cm 50-60 cm 40-50 cm Ph 5-6 4,5-5 4-4,5 atau 6,5-7 Kurang dari 4 atau lebih dari 7 Curah hujan 2.000-2.500 mm 1.800-2.000 mm 1.500-1.800 mm Kurang dari 1.500 mm Defisit air 0-150 mm 150-250 mm 250-400 mm Lebih dari
400 mm
Suhu 22-26° C 22-26° C 22-26° C 22-26° C
Penyinaran 6 jam 6 jam 6 jam Kurang
dari 6 jam
Kelembaban 80% 80% 80% 80%
Angin Sedang Sedang Sedang Kencang
Bulan
kering 0 0-1 2-3
Lebih dari 3 Sumber: PPKS
Penggolongan kelas kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan potensi produksi dan pertimbangan kondisi fisik lahan.Potensi produksi setiap lahan berbeda tergantung dari kondisi fisik lahan setempat yang ditentukan oleh faktor pembatas seperti iklim, tanah, topografi, dan ketinggian tanah diatas
10
permukaan laut.Disamping itu sifat fisik tanah dan sifat kimia tanahnya perlu juga ditinjau.
2.3Umur ekonomis tanaman kelapa sawit
Secara umum tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari 25 tahun produksinya akan semakin rendah. Umur ekonomis tanaman kelapa sawit yang di budidayakan umumnya 25 tahun.Pertimbangan teknik replanting ini adalah produktivitas tanamannya.
Pengelompokan tanaman berdasarkan masa berbuah yaitu fase TBM (tanaman belum menghasilkan) yakni 0-3 tahun, sedangkan fase TM saat umur tanaman memasuki >3 tahun. Pengelompokan tanaman berdasarkan umur tanaman yaitu yang tergolong tanaman remaja umur 3-8 tahun, dan tanaman akan tergolong dewasa apabila tanaman sudah berumur 14-20 tahun.
11 Potensi Produksi
Produktivitas tanaman kelapasawit jenis Tenera secara umum pada lahan kelas S1, S2 dan S3 seperti disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit
Umur Kelas S1 Kelas S2 Kelas S3
(Thn) T RBT TBS T RBT TBS T RBT TBS 3 22 3,2 9 18 3,0 7 17 3,0 7 4 19 6,0 15 18 6,0 14 17 5,0 12 5 19 7,5 18 17 7,0 16 16 7,0 14 6 16 10 21 15 9,4 18 15 8,5 17 7 16 12,5 26 15 11,8 23 15 11,1 22 8 15 15,1 30 15 13,2 26 15 13,0 25 9 14 17,0 31 13 16,5 28 13 15,5 26 10 13 18,5 31 12 17,5 28 12 16,0 26 11 12 19,6 31 12 18,5 28 12 17,0 26 12 12 20,5 31 11 19,5 28 11 18,5 26 13 11 21,1 31 11 20,0 28 10 20,0 26 14 10 22,5 30 10 21,8 27 10 20,0 25 15 9 23,0 28 9 23,1 26 9 21,0 24 16 8 24,5 27 8 23,1 25 8 22,0 24 17 8 25,0 26 8 24,1 25 7 23,0 22 18 7 26,0 25 7 25,2 24 7 24,0 21 19 7 27,5 24 7 26,4 22 6 25,0 20 20 6 28,5 23 6 27,8 22 5 27,0 19 21 6 29,0 22 6 28,6 22 5 27,0 18 22 5 30,0 20 5 29,4 19 5 28,0 17 23 5 30,5 19 5 30,1 18 4 29,0 16 24 4 31,9 18 4 31,0 17 4 30,0 15 25 4 32,4 17 4 32,0 16 4 34,0 14 Rerata 11 21 24 10 20 22 10 19 20
Sumber : Lembaga Pendidikan Perkebunan, 2013 Keterangan :
T = Jumlah tandan/ph;
BRT = berat rata-rata tandan (kg); TBS = Ton TBS/ha/th.
12
2.4Replanting
Replanting adalah pembukaan areal dari bekas perkebunan kelapa sawit yang sudah tua dan tidak produktif lagi.Teknik replanting selalu berkembang namun selalu terkait dengan masalah baru.
2.5. Dasar Kebijakan Replanting
Hal-hal yang menjadi pertimbangan Perusahaan untuk melaksanakan replanting ialah sebagai berikut:
4.4.1 Umur tanaman lebih dari 25 tahun
Pada umumnya kelapa sawit dibudidayakan sampai berumur 25 tahun.Pada umur lebih dari 25 tahun tanaman sudah tinggi, tandannya sudah jarang sehingga diperhitungkan kurang produktif atau tidak ekonomis lagi.Sehingga perusahaan melakukan kebijakan replanting.
4.4.2 Tinggi tanaman lebih dari 13 meter
Ketinggian tanaman yang sudah mencapai 13 meter menjadi dasar kebijakan perusahaan untuk melakukan replanting. Tanaman yang sudah tinggi dapat menyulitkan pemanen karena harus menggunakan egrek yang disambung dua.
4.4.3 Produksi per hektar rendah
Produksi adalah hal yang paling penting bagi perusahaan.Akan tetapi produksiyang seharusnya maksimal menjadi tidak maksimal dikarenakan jumlah pokok yang sudah banyak tumbang atau berkurang akibat penyakit busuk pangkal batang.Hal ini perusahaan melakukan kebijakan replanting.
4.4.4 Jumlah tegakan kurang 100 pokok/ ha
Jumlah tegakan per hektar perlu diperhatikan.Pada awal penanaman jumlah tegakan per hektar adalah 100 pokok/ ha.Namun karena tingkat serangan penyakit busuk pangkal batang yang sangat tinggi mengakibatkan jumlah pokok per hektar berkurang menjadi kurang dari 100 menjadi patokan perusahaan melakukan replanting.
13
2.6 Metode Replanting
Metode replanting dikelompokkan menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Metode Tumbang serempak 2. Metode Underplanting 3. Metode Chipping
Mengenai metode replanting mana yang akan dipilih dapat dianalisa berdasarkan hubungan antara metode-metode replanting dengan beberapa masalah yang harus di pertimbangkan yaitu: lingkungan(environment), serangan hama kumbang tanduk, penyakit ganoderma , biaya (cost) hasil replanting.
1. Metode Tumbang Serempak
Metode penumbangan serempak merupakan metode peremajaan yang dilakukan dengan cara menumbang tanaman tua secara keseluruhan diikuti dengan pengolahan tanah dan penanaman tanamn baru. (Yusuf, 2012).
Keunggulan dalam penumbangan metode serempak adalah dilakukannya pengolahan tanah yang lebih intensif sehingga persiapan lahan menjadi lebih bagus dan dapat menyediakan media tanam yang lebih ideal bagi tanaman.(Yusuf, 2012).
Kekurangan metode ini dilakukan dengan cara menumbang tanaman tua secara keseluruhan. Selama kegiatan peremajaan ini pendapatan dari penjualan TBS terputus dan sekaligus muncul beban biaya pemeliharaan tanaman baru selama kurang lebih 3 (tiga) tahun.(Yusuf, 2012).
2. Metode Underplanting
Metode peremajaan underplanting adalah metode peremajaan dengan menanam tanaman muda/baru diantara tanaman tua (yang akan diremajakan). Underplanting mulai populer pada sejak tahun 1990-an di beberapa perkebunan swasta dan negara. (Yusuf, 2012).
14
Underplanting sawit tua sering kali digunakan untuk mengimbangi biaya replanting dan kurangnya pendapatan selama belum menghasilkan. Hal tersebut dapat menyebabkan beberapa penyakit dan hama dapat menyerang tanaman muda. (Turner, 2013).
Keunggulan utama yang dapat diperoleh dari penerapan peremajaan metode underplantingadalah kesempatan petani untuk tetap memperoleh penghasilan selama tanaman diremajakan dari tanaman tua yang belum ditumbang/diracun.Dengan demikian penghasilan dengan petani tidak terhenti sehingga petani diharapkan masih dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari.(Yusuf, 2012).
Kekurangan teknis yang muncul pada metode underplanting adalah terhambatnya pertumbuhan tanaman baru akibat tertimpa sisa tanaman tua yang telah diracun.Selain itu juga terjadi persaingan dalam memperoleh hara dan cahaya matahari antara tanaman tua dan tanaman muda. Masalah lain pada umumnya ditemui pada peremajaan dengan underplanting adalah rimbunnya tukulan bekas TBS yang membusuk dan kesulitan pemanen pada saat transisi penggunaan dodos ke egrek karena tinggi – pendek tanaman baru yang sangat beragam akibat etiolasi. (Yusuf, 2012).
15 3. Metode Chipping
Metode chipping merupakan metode pembukaan lahan tanpa bakar dengan proses CCD (cutting – chipping – decomposition).
Metode ini menggunakan alat berat sejenis excavator dengan tunkai yang telah dimodifikasi menggunakan alat tertentu yang akan mencacah batang tanaman kelapa sawit yang sudah tua. Ketebalan yang dianjurkan dalam mencacah pohon kelapa sawit adalah maksimal 15 cm. (Sutarta, 2015).
Untuk penumbangan secara manual dapat dilakukan dengan menggunakan kapak atau gergaji mesin.Tanaman ditumbang searah dengan jalur penanaman.(Sutarta, 2015).
Proses Chipping batang Tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada gamabar 2.1
Gambar 2.1 Proses Chipping Tanaman Kelapa Sawit
Pada Gambar 2.1 dapat dilihat excavator sedang mencincang batang kelapa -Sawit.
16
2.7 Batang Tanaman Kelapa Sawit
Beberapa sifat penting dari setiap bagian batang kelapa sawit disajikanpada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Sifat Penting Bagian Kelapa Sawit
Sifat - Sifat Penting Bagian Dalam Batang
Tepi Tengah Pusat
Berat Jenis 0.35 0.28 0.2 Kadar Air (%) 1.56 257 365 Kekuatan Lentur, (kg/cm²) 29996 11421 6980 Keteguhan Lentur,(kg/cm²) 295 129 67 Susut Volume 26 39 48 kelas awet V V V
kelas kuat III- V V V
Kandungan kimia batang sawitadalah selulosa 54,38 %,; lignin 23,95%; abu 2,02%, dan unsur-unsur lainnya. Dengan pendekatan bahwa batang sawit bahan berligno selulosa makadekomposisi sawit tidak jauh berbeda dengan dekomposisi kayu. Berdasarkan haltersebut pemanfaatan fungi pelapuk kayu yang sudah teridentifikasimemungkinkan untuk digunakan dalam mempercepat proses degradasi pohonsawit (Bakar, 2003).
4.4.1 Nisbah C/N
Senyawa Karbon (C) dan Nitrogen (N) merupakan komponen yang paling mungkin dapat digunakan untuk membatasi proses pengomposan, baik itu ada secara berlebihan maupun jumlahnya mencukupi, atau ketika nisbah C:N tidak tepat. Mikroorganisme dalam kompos mengoksidasi karbon sebagai sumber energi, dan menggunakan nitrogen untuk sintesis protein.
Proporsi perkiraan dua elemen ini harus 30 bagian untuk karbon dan 1 bagian untuk nitrogen menurut beratnya. Untuk menghasilkan proses dekomposisi yang efesien maka sebaiknya C:N nisbah dalam rentang dari 25:1 ke 40:1. Jika diberikan kondisi stabil pada nisbah C:N sebesar 30:1, mikroorganisme dapat mendekomposisi senyawa organik dengan cepat (Ministry of Agriculture and Food British Columbia, 1996).
17
Sedangkan menurut (Isroi, 2005), Nisbah C;N yang paling efektif untuk proses pengomposan adalah 30:1 hingga 40:1. Menurut (Robert, 2007) proses pengomposan akan bekerja paling efektif jika material yang akan dikomposkan harus memiliki nisbah karbon nitrogen 30:1.
4.4.2 Ukuran Partikel
Proses pengomposan akan lebih cepat apabila bahan baku kompos tersebut berukuran kecil. Oleh karena itu dibutuhkan pencacahan atau penggilingan terlebih dahulu untuk bahan yang berukuran besar agar ukurannya menjadi lebih kecil. Walaupun bahan yang berukuran kecil akan cepat terdekomposisi karena luas permukaan meningkat dan mempermudah aktivitas mikroorganisme perombak, namun ukuran yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang yang kemudian timbunan menjadi lebih rapat dan pasokan oksigen kedalam timbunan berkurang sehingga mikroorganisme yang bekerja didalamnya tidak dapat bekerja secara optimal (Djuarnani et al., 2005). Menurut Robert (2007), ukuran paling baik untuk material yang akan dikompos adalah ukuran 0,5 – 1,5 inch.
4.4.3 Porositas
Porositas akan mengacu pada ruang (rongga) di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Rongga-rongga ini akan diisi oleh udara, apabila material tersebut tidak jenuh air. Udara akan memasok kebutuhan Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Hal yang dapat mengurangi porositas adalah dengan memadatkan kompos tersebut.dan pencacahan berlebihan yang akan menghambat sirkulasi udara dengan menciptakan partikel kecil dan pori-pori. Penurunan porositas akan menghambat proses aerasi (Ministry of Agriculture and Food British Columbia, 1996).
18
Menurut Alexander (1994) menyatakan pula faktor yang mempengaruhi proses pengomposan dan kisaran yang dapat diterima dalam proses pengomposan seperti digambarkan pada Tabel 2.5 berikut ini:
Tabel 2.6 Kisaran Nilai Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Faktor Kisaran Yang dapat Diterima
Suhu 54-60ᴼC
Rasio C/N 25:1 – 30:1
Persen Oksigen (Aerasi) >5%
Moisture content 50-60%
Porositas 30 – 36
Ph 6,5 – 7,5
Sumber : Alexander (1994)
Sedangkan menurut Rynk (1992) menggambarkan faktor – faktor yang mempengaruhi proses pengomposan dengan menggambarkan kondisi yang bisa diterima dan kondisi ideal pada Tabel 2.6 berikut ini:
Tabel 2.7 Kondisi yang Bisa Diterima Dalam Proses Pengomposan
Factor Kondisi yang bisa diterima Ideal
Rasio C:N 20:1 – 40:1 25 – 35 :1
Kelembaban 40-65% 45 – 62 % berat
Konsentrasi Oksigen
yang tersedia >5% >10%
Ukuran Partikel 1 inch Bervariasi
Bulk Density 1000lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd
Ph 5,5 – 9,0 6,5 – 8,0
Suhu 43 - 66ᴼC 54 – 60ᴼC